diri itu,
Melihat ini Liem Tjiong bagaimanapun djuga tak tega untuk meninggalkan, ia berdjongkok dan ikut menitikkan air mata.
“ Moymoy, Liem Tjiong bukannja akan mentjeraikanmu, hanjalah memberimu kebebasan. Kau boleh menurut dan boleh djuga menentangnja. Bila kau tetap setia anakku, tidak ada halanganja pula untuk kau menantinja. Liem Tjiong bukan akan meninggalkanmu setjara kedjam... banja memberi kebebesan.
” Moymoy, moymoy... . aku mohon maaf akan kata2ku dalam surat itu. Moy, djangan salah mengerti, aku bukan akan menjisihkanmu..... Bila memang demikian tekad hatimu, aku akan berdjuang sampai dapat berkumpul lagi denganmu, bangunlah adik, d angan kau bikin hatiku pedih. . . . moy moy...“
Ajah mertuanja mengurut-urut putrinja jang nakin kalap tak sadarkan diri ini.
Liem Tiiong bagaimanapun djuga tak tega batinja, melihat sang kekasih menderita batin demikian hebat la berkata dengan suara jang dalam karena menahan perasaan :
— „Moymoy moy, aku pasti kembali dan berkumpul lagi denganmu, Moymoy,.... aku tak akan dapat meninggalkanmu dalam
52