„Taydjin (Paduka jang mulia ), putra Taydjin telah menderita sakit keras. Tidak dojan makan dan minum, sebentar² mengingau dan mengeluarkan kata-kata jang gandjil. Tjobalah Taydjin menengoknja
Ko Kiu bertjekat, sebab Ko Nga Lue adalah putra satu² nja. Sambil ter-gesa2 djalan Ko Kiu ber-kata² sendiri,
"Oh. sungguh tjelaka ! Kalau kehilangan harta tidak mengapa, asalkan djangan kehilangan anakku.
Hei, Sien Hie dari mana sadja anakku tadi sore ? "
Pelajan tua itu agak gugup mendjawab tuannja :
"Tadi...tadi.... ? "
Ko Kiu mendjadi marah
"Ja, tadi kemana anakku itu ? "
Sien Hie: "Tadi kami bersama beberapa pengawal mengantar Siauwya kekelenteng Pek Ma Sie melihat keramaian.....
Ko Kiu tjepat bertanja;
"Lalu kanapa dia bisa djatuh sakit ? Apakah kena gangguan setan ?"
Sien Hie; "Oh, tidak, tidak. . . . Siauwya terganggu oleh seorang njonja muda jang tjantik rupawan.
Ko Kiu tidak marah lagi, meledaklah tawanja jang keras ;
"Hahaha.... haha..... hah kalau
63