GERPOLEK/Perang Ekonomi
Di musim kita Jaya Berjuang, maka Belanda tak mempunyai tempat dan tempo untuk memperkokoh ekonominya. Serangan dari luar dan dari dalam kota yang didudukinya memusingkan kepalanya dan mengancam jiwanya setiap hari. Setiap jam. Kebon, pabrik dan tambang tak bisa dibukanya kembali. Perdagangan dengan luar negeri tak dapat dilakukannya. Bukan saja tentara dan Laskar yang mengancam hidupnya berterang-terangan tetapi Laskar Terpendam, barisan bumi hangus, dan sabotase tiada memberi tempo kepada Belada buat berfikir dengan tenang. Bahkan keluar rumahpun tiada aman bagi Belanda.
Dengan begitu, maka ekonomi Belanda kian hari kian kalut. Tak ada ganti buat delapan juta rupiah yang harus dibelanjakan setiap hari untuk mengongkosi serdadunya. UANG KELUAR berat sekali buat pikulan Belanda yang sudah amat miskin itu, sedangkan UANG MASUK tak ada.
Setelah “Perang digencat” dan politik “Berunding” serta politik “damai” dijalankan, maka Belanda kembali masuk kebun, pabrik, tambang dan kantor. Di Surabaya, Semarang, Jakarta, dan Bandung, di Padang, di Palembang dan Medan; di Pontianak, Banjarmasin, dan balikpapan; di Makasar dll, tempat dia bisa kembali menyuruh buruh Indonesia, memegang mesin, mencangkul dan memikul. Semua pekerjaan itu tak bisa dilakukannya sendiri. Mulailah pula dia menjualkan hasil keringat pekerja Indonesia itu keluar Negeri berupa Karet, minyak, timah, the gula, kina dan lain-lain. Dalam suasana “damai” itu dapatlah Belanda memperkokoh ekonominya buat membelanjai serdadunya. Karena perdagangannya dengan Luar Negeri itu mulai hidup kembali, maka dapatlah pula Belanda meminjam uang dari Amerika untuk memperkuat kemiliteran, keuangan dan perekonomiannya sendiri.
Sebaliknya pula dia terus melakukan BLOKADE terhadap perdagangan republik. Kapal Republik yang keluar dari Indonesia mengangkut barang dagangan DISITA atau ditembakinya. Maksud Belanda ialah supaya dirinya sekian hari sekian kaya dan sekian kuat, tetapi Republik sekian hari sekian miskin, dan sekian lemah. Setelah percederaan pada tanggal 21 Juli 1947, maka hampirlah semua DAERAH-PLUS (ialah daerah berkelebihan) makanan di pulau Jawa jatuh ke tangan Belanda. Yang tinggal cuma daerah yang di zaman “Hindia Belanda” cuma cukup saja buat diri sendiri atau yang dalam kekuarangan (daerah-minus) seperti Bojonegoro, Pajitan, Yogya dan Solo. Daerah Republik yang sudah dalam keadaan kekuarangan makanan dan pakaian itu ditambah kacau-balau pula oleh PERANG UANG yang dilakukan oleh Belanda terhadap uang Republik. Bermacam tindakan jahat, yang langsung atau tidak, telah dilakukan oleh Belanda, untuk memerosotkan harga uang Republik. Akibatnya, ialah kehidupan Rakyat makin sukar karena harga uang semakin merosot dan barang keperluan hidup (seperti makanan dan pakaian) semakin melambung harganya. Perekonomian Rakyat, yang sudah kalut itu diperkalut pula oleh adanya Colonne ke-5 yang dikirimkan oleh Belanda ke dalam pemerintahan administrasi badan-ekonomi ketentaraan dll. Dengan maksud jahat, ialah memperkalut yang sudah kalut itu.
Dalam semangat “damai-nya” maka pemerintah kita mempermudah pula masuknya pelbagai spion yang bertopeng “wartawan” atau wakil dari Serikat Sekerja ini atau itu. Revolusi di zaman manakah dan dinegeri manakah yang membolehkan anggota musuh atau sahabat musuh keluar masuk ke tempat-tempat yang penting bagi pertahanan, seperti Malang, Cirebon dan lain-lain? Puluhan tahun setelah Revolusi BERHASIL, pula maka pemerintah Rusia masih tiada semudah pemerintah Republik Indonesia mengizinkan orang yang keluar-masuk dimana Revolusi itu sedang berlaku dengan hebatnya. Kegampangan keluar masuknya bangsa Asing (termasuk bangsa musuh atau konconya musuh) mempermudah Belanda mencari bagian yang lemah dalam kemiliteran, politik dan ekonomi kita! Juga ekonomi! Karena dengan mengetahui keadaan ekonomi dan harga barang di pedalaman maka Belana dengan mudah dapat menjalankan perang-ekonomi dan perang-uangnya.
Kita tahu bagaimana Belanda menyuruh tengkulaknya membeli makanan sayur, hedan dan lain-lain dari daerah Republik dengan ORI yang tak ada harganya di daerah pendudukan Belanda. Tetapi Rakyat harus menukarkan uang ORI dengan rupiah Belanda, kalau berada di daerah pendudukan, untuk beli semacam itu Belanda MEMBELI-MURAH kepada Republik Indonesia segala barang yang dibutuhkannya. Sebaliknya dia MENJUAL MAHAL kepada Republik segala barang yang dibutuhkan oleh Rakyat Indonesia. Dengan begitu maka uang ORI terus merosot! Sebanding dengan itu pula maka harga barang keperluan hidup sehari-hari buat Rakyat semakin melambung harganya.
Untuk memperbaiki perekonomian Rakyat Indonesia belumlah cukup mendirikan apa yang dinamakan “Braintrust” (Gabungan Otak) itu. Perbaikan perekonomian Rakyat Indonesia haruslah diperbaiki dengan pertolongan Rakyat sendiri dan watak Rakyat sendiri. Tani, buruh, pedagang Indonesia sendiri harus campur dengan merencanakan produksi (penghasilan), distribusi (pembagian) serta pertukaran barang. Tidak cukup selusin atau lebih orang yang bertitel ini atau itu saja memikirkan begini atau begitu buat kaum buruh dan tani, tanpa membawa buruh dan tani itu sendiri ke dalam kincir Produksi dan distribusi. Tetapi buruh dan tani Indonesia cuma baru akan giat bekerja, kalau mereka merasakan sendiri faedahnya rencana ekonomi yang begini atau begitu.
Kalau sesuatu “Braintrust” itu merencanakan produksi dan distribusi itu cuma buat kepentingan segelintir dua manusia saja, rencana itu tak akan kekal hidupnya di Indonesia ini. Apalagi kalau rencananya “Braintrust” itu harus pula disandarkan kepada “Kerjasama” dengan Belanda dan Modal Asing lainnya. Rencana semacam itu akan menjadi rencana Modal Asing saja. Dan “Braintrust” itu akan menjadi kuda-beban modal Asing itu saja. Penyakit perekonomian Rakyat Indonesia sudah sampai begitu mendalam disebabkan oleh wabah kapitalisme Belanda selama 350 tahun dan wabah kapitalisme-militerisme Jepang selama 3½ tahun. Penyakit perekonomian Rakyat tak bisa diobati pel dan pudar lagi, melainkan harus disembuhkan oleh OPERASI oleh pembedahan. Terutama sekali perekonomian Rakyat Indonesia baru dapat diselenggarakan dalam Republik yang merdeka 100%, yang SEKURANGNYA 60% memiliki dan menguasai produksi, distribusi, upah, export, dan import (LIHAT RENCANA EKONOMI oleh TAN MALAKA). Rencana yang dibikin oleh berlusin-lusin “Braintrust” dalam suasana “kerja-sama” dengan modal besar Asing akan berakhir dengan pemerasan dan penindasan atas buruh dan tani Indonesia belaka.
Kami merasa wajib memperingatkan hal tersebut di atas kepada KAUM MURBA!!!
Tetapi tiadalah pula berarti, bahwa dalam revolusi ini kaum Murba (buruh, tani, pedagang dan Rakyat serta intellect jembel!) haruslah berpangku tangan saja! Kaum Murba harus tunda Rencana Ekonomi tulen, besar-besaran, sampai Revolusi ini selesai dengan kemenangan bagi Murba. Tetapi selama Revolusi ini berlangsung, maka kaum Murba harus pula menjalankan Rencana Ekonomi. Rencana itu tak lain hanyalah Rencana-Ekonomi Perang.
Dalam Perang Ekonomi melawan Belanda itu, semua sikap dan tindakan Ekonomi harus ditujukkan kepada Belanda, ialah:
- Mengambil Sikap dan Tindakan dalam Ekonomi (yaitu dalam produksi, distribusi dan lain-lain) yang bersifat merugikan perekonomian Belanda.
- Mengambil Sikap dan Tindakan dalam ekonomi yang bersifat menguntungkan Rakyat yang ber-revolusi.
Berhubung dengan (1), maka Rakyat revolusioner janganlah sekali-kali membantu memperbesar produksi dan perdagangan (distribusi) Belanda!! Sebenarnya lebih efektif (lebih besar hasilnya) kalau di daerah pendudukan Belanda kaum buruh sama sekali tiada mau bekerja dalam kebun, tambang, atau pabrik dan kantor Belanda. Ditambah pula kalau Rakyat sama sekali tiada mau membeli barang dari saudagar Belanda dan tiada mau bekerja dengan Belanda. Hati lemah, keadaan hidup dan 1001 alasan bisa mengizinkan Rakyat Revolusioner bekerja juga dengan Belanda. Memang pula bisa dimasuki perusahaan Belanda itu dengan maksud mengadakan SABOT dari dalam atau mendirikan barisan terpendam. Tetapi tak ada orang yang bisa menyangkal, bahwa BOYCOTT-KERJA dan BOYCOTT BELILAH senjata paling efektif terhadap Belanda ceroboh itu!!
Sebaliknya pula berhubung dengan (2), maka semua sikap dan tindakan harus diambil untuk memperbesar produksi dan memperbaiki distribusi bagi Rakyat kita sendiri. Haruslah pula terutama dipikirkan, bahwa tani tak akan menghasilkan lebih dari pada keperluannya sendiri, kalau kelebihan-hasilnya itu tiada dapat ditukarkannya dengan pakaian, cangkul, garam, minyak dan lain-lain. Jika petani tiada dapat membeli keperluan, yang harus dibelinya itu, maka dia tiada akan menghasilkan lebih dari pada keperluan keluarganya sendiri. Dengan demikian maka hasil tani akan susut, merosot!
Tetapi kalau kaum tani cuma dapat membeli barang asing saja (kain dan lain-lain), maka pedagang asing dan pabrik asing saja yang beruntung. Jadi supaya untung jangan jatuh ke kantongnya musuh untuk membelanjai serdadunya, dan supaya tani mempertinggi hasil, maka haruslah Rakyat sendiri mendirikan pelbagai perusahaan yang dibutuhkan oleh Rakyat kita sendiri.
Memang kita tahu, bahwa perusahaan modern dengan mesin modern, baru bisa kita bangunkan setelah kita merdeka. Tetapi kita semua tahu pula, bahwa kita ratusan tahun lampau sudah pandai memintal benang dan menenun kain, membikin kapak, pacul, minyak, garam dll. Di waktu belakangan ini sudah pula kita bisa membikin kecap, tahu, tempe dll! Walaupun belum secara modern, besar-besaran, kita pula sudah mempunyai mesin buat bikin kain, kertas, kina, alkohol, es dan lain-lain.
Siasat ekonomi kita haruslah menambah apa yang sudah ada. Para ahli kita hendaknya terus memikirkan dan mendapatkan perkakas dan obat-obatan seperti dari zaman Jepang sampai sekarang. Hasil yang menggembirakan kita sampai sekarang ini, harus diperbesar dan diperbaiki.
Selain dari pada semuanya itu, maka sistem KOPERASI-lah yang harus mengisi apa yang kurang dalam PERANG EKONOMI kita menghadapi ekonomi musuh. KOPERASI itu adalah satu SENJATA EKONMI yang hebat bersama dengan senjata politik serta KARABIN dan GRANAT ditangannya SANG GERILYA. Sang Gerilya harus bisa menyelenggarakan KOPERASI itu dimana saja dia berada di kota, di desa dan di gunung. KOPERASI sebagai pengisi perekonomian Rakyat dan pembantu politik serta gerilya itu adalah berbagai macam, yakni:
- Koperasi produksi (penghasilan).
- Koperasi distribusi (pembagian).
- Koperasi pengangkutan.
- Koperasi Kredit (keuangan).
- Koperasi pasar
Kelima Koperasi itu bilamana saja dan dimana saja dapat dan harus diusulkan dijalankan dan diawasi oleh Sang Gerilya.
Di kota dapat didirikan KOPERASI PRODUKSI (membikin pacul, kain, alat perkakas, dan lain-lain); KOPERASI DISTRIBUSI (barang dagangan seperti kain, alat perkakas dan lain-lain); KOPERASI PENGANGKUTAN untuk mengangkut barang dari tempat ke tempat; KOPERASI KREDIT buat mendapatkan modal dengan jalan iuran sesen dua sen, atau serupiah dua rupiah. KOPERASI PASAR, ialah mengendali harga barang di pasar.
Di desa atau di gunungpun dapat didirikan koperasi, terutama koperasi produksi (pertanian) dan koperasi pengangkutan dan koperasi credit.
Maksud koperasi yang pertama, ialah buat mendapatkan harga semurah-murahnya bagi anggotanya. Untung yang dibikin sekecil-kecilnya itu, boleh dipakai untuk memperbesar organisasi sendiri; untuk kepentingan sosial serta untuk kepentingan perang-gerilya. Dalam maksud itu sudah terkandung pula pembelaan diri terhadap perekonomian musuh yang bersifat kapitalis dan imperialistis itu. Akhirnya koperasi dalam ekonomi itu memberikan LATIHAN, yang tepat dan praktis buat melaksanakan PERSATUAN dan menghidupkan kembali semangat TOLONG BERTOLONG, dan GOTONG ROYONG di antara Rakyat kita di kota, desa dan gunung.
KOPERASI itu memberi kesempatan penuh kepada seseorang pahlawan Gerilya untuk melaksanakan serta mempertinggi kesanggupan sebagai PEMIMPIN. Tidak saja di lapangan keprajuritan, tetapi juga di lapangan politik dan ekonomi Sang Gerilya melatih dan menggembleng dirinya sendiri untuk menjadi pemimpin bangsanya itu. Sang Gerilya, sebagai pemimpin pertempuran, pemimpin politik dan perekonomian pada salah satu daerah, adalah pemimpin Negara dalam arti-sempit. Supaya sanggup menjalankan pimpinan yang sempurna atas lingkungannya itu, maka Sang Gerilya haruslah mempunayi cukup pengetahuan tentang kemiliteran, politik dan perekonomian, terutama dalam hal ini, ialah tentangan Koperasi. Tetapi tak kurang pentingnya, ialah SIKAP SOSIAL, SIKAP KEKELUARGAAN yang harus dimiliki oleh Sang Gerilya sebagai pemimpin Sosial itu.
Pengetahuan tentang dasar, undang-undang, organisasi dan administrasi yang mengenai koperasi dapat dipetik oleh Pemimpin Gerilya itu dari beberapa Risalah, yang sudah disebarkan disekitarnya. Tetapi sikap-sosial, yang harus dimiliki olehnya sebagian adalah pembawaannya sendiri dan sebagian lagi boleh diperolehnya dengan jalan latihan dan gemblengan diri sendiri.
Demikianlah di waktu terluang, di waktu tiada berlatih dan bertempur, Sang Gerilya mengadakan perhubungan jiwa yang serapat-rapatnya dengan masyarkat disekitarnya. Dia berlaku seperti adik kepada yang lebih tua dan sebagai kakak atau bapak terhadap yang lebih muda. Barang pinjaman dikembalikannya dalam keadaan baik! Semua hutangnya dibayarnya! Keteledoran orang lain tentang pinjaman dan hutang itu ditegornya dan dibetulkannya dengan suara lemah-lembut. Yang sakit dicarikan obat! Yang mendapat kecelakaan ditolongnya! Dia senantiasa pula membangunkan perasaan tolong bertolong pada mereka yang berada disekitarnya. Dalam waktu terluang dia memberantas buta-huruf dan mengerahkan semua tenaga kejurusan itu. Dia tahu, bahwa kebodohan dan kegelapan adalah temannya kapitalisme-imperialisme. Sebaliknya pula pengetahuan yang disertai budi-pekerti adalah jiwa kekuatan sesuatu bangsa. Sang Gerilya mengerahkan teman-temannya untuk membantu petani mengerjakan sawah-ladangnya di waktu terluang, dan membantu kaum buruh dalam pekerjaannya. Dia mengerti pula, bahwa kemakmuran adalah tulang punggungnya perjuangan.
Ringkasnya tak ada cabang penghidupan yang luput dari matanya dan terlepas dari pada perhatiannya Sang Gerilya. Disamping itu; SEGALA HUTANG DIBAYARNYA DAN SEGALA JANJI DITEPATINYA.
Dengan perhubungan jiwa yang rapat antara Sang Gerilya dengan Rakyat Murba disekitarnya, maka pimpinan yang dilakukannya itu, adalah satu pimpinan-kekal yang tiada mudah buat ditiadakan oleh lawan dan musuh. Seandainya, untuk waktu yang lama atau sebentar, Sang Gerilya terpaksa meninggalkan tempatnya semula, maka ditempat yang ditinggalkan itu akan tetap ada pengikutnya yang akan meneruskan pekerjaannya, sebagai pemimpin baru. Seandainya dia harus berpisah dengan tempat itu, lama atau sebentar, ditempat tadi dia akan mempunyai BARISAN TERPENDAM yang kuat dan boleh dipercayai! Hasrat hidup serta pekerjaannya akan terlaksana terus! Rakyat yang bisa mengatur ekonominya sendiri dan sewaktu-waktu bisa mengadakan Pemimpin Baru dari anggotanya sendiri bila saja dan dimana saja tak akan bisa dikalahkan dengan tank dan pesawat terbang saja!
Perang ekonomi yang dilakukan oleh musuh itu, oleh Rakyat Indonesia, yang menduduki alam yang Maha-Kaya dan Maha-Murah ini, bisa dijawab dengan Perang Ekonomi pula: Baru disinilah PERANG EKONOMI itu berarti sama dengan EKONOMI PERANG.