Dr. Soetomo: Riwayat Hidup dan Perjuangannya/Bab 2

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

BAB II. MANUSIA SOETOMO

MASA KETJIL


Ketika Njonja R. A. Soewadji, ibu Dr Soetomo, hendak melahirkan puteranja, ia dibojongi oleh orang tuanja dari rumah suaminja didesa Pelem kedesa Ngepeh, daerah Ngandjuk. Sebabnja ialah, karena orang tuanja ingin dapat menunggui dan memelihara sendiri anaknja perempuan jang baru pertama kali hendak beranak.

Sedjak Soebroto, demikianlah nama pemberian ajahnja waktu Dr Soetomo baru dilahirkan, keluar dari kandungan ibunja sampai ia hampir berumur 6 tahun, ia diasuh oleh neneknja didesa Ngepeh itu.

Karena asuhan nenek suami-isteri, jang sangat sajang kepada tjutju jang pertama itu, kehidupan Soebroto semasa ketjil itu penuh dengan peristiwa-peristiwa jang diliputi oleh suasana kesajangan, jang dalam hidup Dr Soetomo selandjutnja merupakan kenang-kenangan jang tidak dapat dilupakan. Suatu bukti tentang kesajangan nenek itu ialah tjara pembojongan Njonja Soewadji dari Pelem (Djombang) ke Ngepeh (Ngandjuk) tadi, jang atas pesan orang tuanja harus dilakukan dengan dipikul dalam sebuah tandu, meskipun antara Djombang dan Ngandjuk ada perhubungan kereta-api. Tjara pengangkutan sedemikian itu ialah untuk mendjaga, djangan sampai sang djabang baji didalam gua-garba si-ibu dalam perdjalanan terguntjang-guntjang. Perdjalanan dengan tandu tadi memakan waktu dua hari lamanja; ketjuali empat orang pemikul tandu, turut serta pula pengawal jang bersendjata tombak dan pedang, sedangkan suami Njonja Soewadji, jang pada waktu itu mendjadi guru Sekolah Rakjat, turut mengantarkan isterinja.

Nenek Soebroto itu adalah tuan R. Ng. Singowidjojo, jang kemudian, sesudah naik hadji, bernama Kyai Hadji Abdurrachman. Ia dan isterinja terkenal sebagai orang jang sangat saleh dan baik budi pekertinja.

Suatu kebiasaan nenek suami isteri itu, menurut ingatan Dr Soetomo, ialah hampir setiap malam mereka itu keluar dari rumahnja, duduk dihalaman untuk bersamadi. Nenek laki-laki, jang keluar dari sebelah Timur rumahnja, sambil menuntun Soebroto, berdjalan perlahan-lahan mengelilingi rumah; setiba didepan rumah bertemu dengan nenek perempuan jang keluar dari sebelah Barat rumah; disana mereka itu duduk berdjadjar, tiada berkata-kata, masing-masing memudja, sambil menghitung tesbih ditangannja.

Soebroto tidak mengerti apa arti perbuatan neneknja itu, tetapi hal itu tidak luput meninggalkan kesan jang sangat mengharukan djiwanja; hal itu terlebih-lebih terasanja, apabila bulan sedang memantjarkan tjahaja jang terang benderang. Ia merasa dirinja sangat ketjil, tetapi hatinja penuh dengan ketenangan dan ketenteraman oleh bimbingan tangan nenek laki-laki, dan setelah diam berdiri disamping nenek perempuan jang mengekap badannja, terasalah olehnja, betapa aman dan damainja pengaruh perlindungan kedua orang nenek jang tertjinta itu. Timbul dalam djiwanja perasaan chidmat, pada hal siang harinja sering kali nenek itu dipermain-mainkan olehnja.

Soebroto hidup dimandjakan oleh neneknja. Segala keinginan dan kemauannja selalu dituruti. Kalau Soebroto kebetulan marah dan meradjuk pada orang lain, kedua
Dr Soetomo — 28 Juli 1934
orang tua itupun turut marah pula, sehingga tak ada seorangpun didalam rumah berani berlaku sembarangan padanja. Djuga mamak-mamaknja tidak berani marah kepada Soebroto, bahkan mereka itu merasa takut, sering bertjampur rasa dengki, pada tjutju jang tertjinta itu.

Begitu besar tjinta nenek itu, sehingga apabila sang tjutju merasa sedih, tergambar pula pada wadjah orang tua itu perasaan sedih.

Untuk menjenangkan hati Soebroto, tuan Singowidjojo antara lain memelihara seekor domba jang sangat besar. Tetapi, apa latjur, pada suatu hari datang seorang pegawai Pamong Pradja dirumah neneknja, dan setelah dilihatnja domba jang sebesar dan sebagus itu berkatalah ia kepada nenek Soebroto:

'Saja rasa kurang pantas kambing ini dipelihara dihalamanmu ini, sebaiknja ia digembalakan dihalaman rumahku'.

Mendengar perkataan itu mengertilah nenek Soebroto, bahwa tamu itu menghendaki dombanja. Walaupun dengan sedih hati, pada keesokan harinja domba itu dikirim kekota ketempat kediaman pegawai Pamong Pradja tadi.

Sebelum itu pernah pula terdjadi, bahwa seorang isteri pegawai Pamong Pradja jang datang berkundjung ke Ngepeh, berakibat dipindahkannja seekor burung djalak jang pandai berkitjau, jang sangat digemari oleh Soebroto, kerumah prijaji Pamong Pradja jang isterinja telah melihat-lihat burung tadi.

Dua peristiwa tersebut sangat menusuk hati Soebroto jang masih ketjil itu dan meninggalkan bekas jang tidak dapat dilupakan.

Disebelah rumah neneknja terdapat sebuah blumbang jang djernih airnja, dan didalamnja dipelihara beberapa puluh ekor ikan gurami. Tepi blumbang itu ditanami bunga melati dan mawar, sedangkan disalah satu pendjurunja ada sebatang pohon manggis jang pada masanja sangat lebat buahnja. Bilik tempat tidur Soebroto menghadap pada taman dan blumbang itu, sehingga bau harum bunga-bunga tadi sering terbawa oleh hembusan angin masuk memenuhi bilik itu. Suasana indah tenteram itu sangat mempengaruhi djiwa Soebroto, dan harum melati membangkitkan semangat tjinta kepada alam.

Pada waktu Dr Soetomo telah harum namanja sebagai nasionalis jang terkemuka, ia sering mengandjur-andjurkan, agar bangsa Indonesia suka berbakti dan ingat akan lambang bunga melati jang dianggap olehnja sebagai bunga nasional.

'Bunga melati nampak sederhana, mudah dipelihara sebagai sifat orang Indonesia, baunja semerbak harum, besar nilainja bagi penghidupan orang Indonesia', demikian pandangan Dr Soetomo tentang bunga melati. 'Sedjak kita masih ketjil, biasa kita mentjium bau melati jang menghiasi sanggul Ibu jang mendukung kita. Pada waktu orang mendjadi penganten, bunga melatipun memegang peranan penting dalam upatjara perkawinan. Bukankah hiasan gelung penganten perempuan dan untaian bunga jang dikenakan dileher keris penganten laki-laki dibuat dari pada bunga melati?

Malahan diwaktu orang meninggal dunia bunga melati tak ketinggalan. Bunga melatilah jang dipakai untuk menghias keranda waktu djenazah hendak dimakamkan, dan diwaktu orang berziarah kemakampun biasanja bunga melati pula jang ditaburkan diatas kubur. Selagi bunga jang sederhana udjudnja itu besar faedahnja dalam kehidupan manusia, apakah kita manusia tidak dapat berguna bagi masjarakat?

Dr Soetomo pernah mentjeriterakan kepada sahabat-sahabatnja, bahwa ia masih dapat melukiskan keindahan sekitar blumbang neneknja itu. Pada suatu waktu Soebroto diadjak oleh nenek perempuannja duduk ditepi blumbang melihat-lihat ikan gurami jang berkedjar-kedjaran didalam air kolam jang djernih itu; angin berhembus sepoi-sepoi, hingga Soebroto tertidur diatas ribaan neneknja ditengah-tengah alam jang indah dan tenteram itu. Kedjadian itu sering terlintas dalam kenang-kenangan Dr Soetomo.

Blumbang itu djuga mendjadi pusat terpenting dalam kehidupan sehari-hari keluarga R.Ng. Singowidjojo. Sedih, dan gembira keluarga seakan-akan berputar-putar disekitar blumbang itu. Kalau datang anggota keluarga jang djauh-djauh tempat tinggalnja, merekapun sering berdjam-djam berkumpul ditepi blumbang itu, bertjakap-tjakap dengan bersungguh-sungguh ataupun bersenda-gurau dengan riangnja.

Sebenarnja ada dua buah blumbang dihalaman rumah R.Ng. Singowidjojo. Jang sebuah, ialah jang tadi itu, adalah dibawah pengawasan nenek perempuan, sedangkan jang lain, jang letaknja didekat surau, seakan-akan milik nenek laki-laki. Blumbang jang achir ini disediakan untuk para santeri jang bersembahjang disurau, sedangkan blumbang jang didekat rumah dipakai oleh anak-anak perempuan jang beladjar mengadji pada nenek puteri.

DISEKOLAH RENDAH

Waktu mendjelang umur 6 tahun, terpaksalah Soebroto meninggalkan kehidupan sebagai anak jang serba dimandjakan itu. Pada suatu hari datang ajah dan ibunja di Ngepeh untuk mengambil Soebroto kembali: ia akan dimasukkan sekolah ke Madiun. Dengan perasaan jang berat sekali dari kedua belah fihak, terdjadilah perpisahan antara nenek dan tjutju jang saling sajang-menjajangi itu.

Soebroto dibawa pulang oleh orang tuanja ke Delopo, tempat bekerdja ajahnja sekarang. Dari Delopo ia diantarkan ke Madiun, tempat ia bersekolah, dimana ia dipondokkan dirumah R. Djojoatmodjo, seorang Wedana-Guru. Dipondokan itu Soebroto ditempatkan disebuah kamar jang djauh lebih baik dan bersih daripada bilik anak-anak lainnja jang memondok disitu, tetapi dalam hatinja ia merasa lebih senang, kalau boleh kembali kerumah neneknja didesa itu.

Tidak lama Soebroto tinggal dirumah R. Djojoatmodjo itu, karena ajahnja kemudian mendapat pekerdjaan sebagai Adjun-Djaksa di Madium itu pula, sehingga Soebroto lalu tinggal dirumah ajah-ibu sendiri. Tetapi hidup dibawah asuhan orang tuanja sendiri itupun tidak lama djuga, karena ajahnja ingin memasukkan dia kesekolah Belanda, agar lebih pesat mendapat kemadjuan. R. Soewadji, ajah Soebroto, mendengar kabar, bahwa disekolah rendah Belanda di Bangil ada kesempatan buat anak Indonesia untuk memasukinja. Soebroto pun dikirimkanlah ke Bangil, dipondokkan dirumah mamaknja, Ardjodipuro, seorang guru.

Disinilah Soebroto terpaksa berganti nama Soetomo. Sebabnja ialah, karena waktu dimasukkan sekolah rendah Belanda di Bangil itu ia mula-mula ditolak. Anak mamaknja sendiri, Sahit, dapat diterima. Tuan Ardjodipuro lalu menggunakan akal, agar Soebroto dapat pula diterima. Pada keesokan harinja Soebroto dibawanja lagi kesekolah dan dimintakan tempat dengan dikatakan, bahwa anak jang dibawanja itu adalah Soetomo, adik Sahit jang telah diterima masuk sekolah. Permintaan itu dapat dikabulkan, dan sedjak itu nama 'Soetomo' tetap dipakai.

Dirumah tuan Ardjodipuro itu Soetomo mengalami suasana penghidupan jang baru lagi. Tuan Ardjodipuro adalah seorang ahli kebatinan jang gemar tirakat, jaitu makan, minum dan tidur djauh kurang daripada ukuran buat kebiasaan orang. Ia sebenarnja keturunan Pangeran Diponegoro, telah melarikan diri dari Mataram, karena diburu oleh Belanda. Agar rahasianja itu tidak diketahui orang, ia telah membuang gelar kebangsawanannja dan mengaku keturunan orang biasa. Djiwa Soetomo pun dirumah Ardjodipuro itu terpengaruh oleh tjara hidup mamaknja. Ia tiada lagi makan kenjang-kenjang seperti biasa; dimalam hari ia sering turut keluar rumah, memandang langit jang penuh dengan bintang-bintang jang berkelip-kelip; ia diadjar pula mengheningkan tjipta dan memusatkan perasaan dan pikiran sambil memandang dengan tenang kesatu djurusan, berganti-ganti kelangit, kebumi, ke Barat, Timur, Selatan dan Utara. Soetomo jang seketjil itu melakukan segala petundjuk mamaknja dengan tidak mengerti benar apa maksudnja. Tetapi lama-kelamaan iapun merasa, bahwa kenakalan-kenakalan jang dulu waktu di Ngepeh dan di Madiun sering dilakukannja, sekarang tidak patut lagi dilakukan, terutama bila ia berhadapan dengan mamaknja. Makin hari Soetomopun merasa makin tenang hatinja dan iapun makin merasa takut pada Tuhan.

Sahit jang duduk sekelas dengan Soetomo, disekolah ternjata djauh lebih pandai dan tjakap daripada Soetomo. Kelakuannjapun djauh lebih baik dan lebih suka menurut pada guru dan orang tuanja. Sampai dalam olah-ragapun Soetomo kalah dengan Sahit. Dikelas ia biasa menurun peladjaran dari Sahit atau dari murid-murid lainnja. Soetomo gemar sekali bermain-main dan ... berkelahi. Tidak djarang ia pulang kerumah dengan muka jang bengkak serta badju kojak, bekas berkelahi dengan teman-teman sekolahnja, anak-anak Belanda. Ia tidak takut melawan sinjo-sinjo jang badannja lebih besar daripadanja, tetapi dalam perkelahian itu ia tidak pernah menang. Karena keberaniannja itu, lama-kelamaan teman-temannja malah dapat menghargainja, sehingga tumbuh rasa persahabatan. Anak-anak perempuan banjak jang suka memihak atau membela Soetomo, karena ia lebih ketjil dan lebih muda daripada kawan-kawannja, lawan ia berkelahi.

Diwaktu libur Soetomo biasanja tidak pulang kerumah orang tuanja, melainkan kerumah neneknja di Ngepeh. Selama liburan itu kembalilah ia hidup mewah dan mandja. Nenek Soetomo mempunjai keinginan, bahkan kepertjajaan, bahwa tjutjunja kelak akan mendapat pangkat jang tertinggi dalam dunia pemerintahan. Kepertjajaan itu didasarkan kepada hari kelahiran Soetomo, jaitu Minggu bertepatan dengan hari pasaran Legi, djatuh pada Wuku jang baik, jang menurut perhitungan pawukon membawa deradjat tinggi. Karena itu R.Ng. Singowidjojo bertjita-tjita, agar Soetomo melandjutkan peladjaran kesekolah Pamong Pradja. Ia sering memperingatkan tjutjunja, djangan sampai mau, djika ajahnja menjuruhnja beladjar kesekolah lain. Namun, betapapun djuga, tjita-tjita sang nenek itu tidak terkabul: Soetomo menuruti permintaan ajahnja untuk melandjutkan peladjarannja kesekolah dokter. Salah satu hal jang menjebabkan Soetomo tertarik kesekolah dokter itu ialah: pakaian murid 'Sekolah Dokter Djawa' pada waktu itu. Seorang mamak Soetomo jang djadi murid Sekolah Dokter Djawa itu, Suratin namanja, pada suatu kali dimasa libur pernah datang kerumahnja. Pada mata Soetomo, sungguh gagah dan tampan murid Sekolah Dokter dengan pakaiannja jang indah itu: badju putih bersih, serta pitji pakai pasmen mas! Djauh lebih menarik daripada pakaian pegawai Pamong Pradja, seperti ajahnja sendiri, jang hanja boleh memakai badju hitam sadja!

Lain daripada itu ada suatu peristiwa jang menjebabkan Soetomo tidak suka djadi pegawai Pamong Pradja. Pada suatu hari, ketika ajahnja masih mendjabat Asisten Wedana, pernah ia pagi-pagi terbangun, karena kesibukan didalam rumah; ibunja membakar roti, pelajan-pelajan sibuk menjediakan penganan untuk makan pagi dan bekal bagi ajahnja jang hendak bepergian dinas. Sambil mengenakan pakaian, ajahnja menggerutu menjumpah-njumpah pekerdjaannja jang terasa sangat berat. Mendengar keluh-kesah ajahnja itu Soetomo bertanja, mengapa ajahnja suka mendjabat pekerdjaan serupa itu. Dengan lantang ajahnja mendjawab: 'Kalau tidak suka bekerdja begini, masakan saja dapat memberikan makanan roti padamu!' Selandjutnja Soetomo mendengar ajahnja berkata: 'Mudah-mudahan kelak djangan ada seorangpun diantara anak-anakku jang bekerdja dikalangan Pamong Pradja'.

DISEKOLAH DOKTER

Soetoma djadi masuk kesekolah dokter di Djakarta, setahun sesudah Sahit. Menurut pernjataan Dr Soetomo sendiri kemudian, Sahit tetap djauh lebih pandai dan berkelakuan baik daripada dia sendiri. Sahit dikatakan sangat tjakap, radjin, tertib, lagi pula perendah hati dan suka menolong sesama kawan. Sebaliknja dia sendiri nakal, malas beladjar, suka mendjaplak (menurun) peladjaran teman-temannja, dan gemar berkelahi. Perkelahian itu sering kali timbul karena tabiat Soetomo suka mentjampuri perkara orang lain. Hampir setiap ada orang bertengkar, ia turut tjampur, sehingga berakibat orang lalu berganti musuh, jaitu dengan dia. Karena kenakalannja dan kebiasaannja suka berkelahi itu sering ia menerima hukuman atau peringatan dari Direktur sekolahnja.

Ia suka meneraktir teman-temannja makan-minum dirumah makan atau nonton gambar hidup. Uang untuk bersenang-senang itu biasanja didapat dari orang tuanja dengan djalan membohonginja: ia minta kiriman uang ekstra, jang katanja perlu untuk pembeli buku-buku peladjaran atau pakaian.

Pada waktu udjian ia biasa minta pertolongan dengan diam-diam dari kawan-kawannja; sebagai pembalas budi ia meneraktir kawan-kawannja itu dengan limun, rokok atau sate kambing dari warung Bang Amat, jang terkenal sebagai rumah makannja murid-murid Sekolah Dokter. Karena hidupnja jang rojal itu, sering ia terpaksa pindjam-pindjam uang kepada teman-temannja.

Lebih tjelaka bagi Soetomo daripada sifat rojal itu adalah sikapnja tak mengindahkan benar-benar akan peladjarannja, karena ia berpikir, djika ia dilepas dari sekolah, sewaktu-waktu ia dapat kembali kepada neneknja di Ngepeh.

Mudjur baginja, sikapnja jang tidak baik itu kemudian ditinggalkannja, karena timbul kesadaran akan diri sendiri dan tumbuh kemauan untuk merubah perangainja. Peristiwa jang menjebabkan Soetomo mendapatkan kembali kepertjajaan atas diri sendiri itu terdjadi pada waktu ada pertanjaan tentang soal aldjabar jang sulit dari Guru dimuka kelas, jang tak seorangpun dapat mendjawabnja; Soetomo, dengan niat semula untuk membuat lelutjon sadja, mengatjungkan tangannja keatas, tanda ia sanggup memberikan djawaban. Guru dan teman-temannja sekelaspun mengira, bahwa Soetomo hendak mengatjau sadja seperti kebiasaannja.

Tetapi pada saat itu timbullah kemauan keras dalam hati Soetomo untuk mendjawab pertanjaan Guru itu dengan setepat-tepatnja. Tak mau ia nanti mendjadi sasaran olok-olok Guru dan kawannja. Dan achirnja... ternjata Soetomo berhasil memberikan djawaban jang benar!

Peristiwa serupa itu kemudian terdjadi lagi, pada waktu ada seorang guru baru jang belum kenal akan kepandaian murid-muridnja, mengemukakan persoalan jang sukar, sehingga tak seorangpun dikelas jang sanggup mendjawabnja, ketjuali Soetomo, jang dapat pula memberi djawaban jang dikehendaki oleh guru baru itu.

Sedjak itu Soetomo tidak mau lagi menurun pekerdjaan teman-temannja, ia pertjaja akan kemampuan diri sendiri. Dimata teman-teman dan gurunja Soetomopun naiklah deradjatnja. Suatu hal jang perlu ditjatat ialah, bahwa dengan perubahan penghargaan orang kepadanja itu, Soetomo tetap mendekati teman-temannja jang dulu senantiasa dimasukkan dalam satu golongan dengan dia: golongan murid jang terbelakang. Rupanja ia mengerti benar akan kemalangan nasib golongan itu dan ia merasa, betapa perlunja mereka disampingi oleh teman jang suka memperhatikan nasibnja.

Daalam pada itu kenakalan Soetomo makin mendjadi-djadi pula, bahkan karena ia bukan lagi termasuk golongan jang rendah deradjatnja, kini bertambah banjak kawan-kawannja jang terdjangkit oleh kenakalan dan kerojalannja, jaitu suka membuat gaduh dan onar didalam kelas dan diasrama, melanggar peraturan-peraturan asrama, menggoda pendjaga asrama, keluar dari asrama untuk berdjalan-djalan atau makan-minum dirumah makan, dan sebagainja.

Kemadjuan peladjaran Soetomo achirnja diketahui djuga oleh ajahnja, jang bergirang hati karenanja. Perubahan jang menggembirakan itu nampak pula pada surat-surat Soetomo kepada ajahnja, jang makin ternjata 'berisi'.

Isi surat itu bukan lagi seperti dulu permintaan tambahan kiriman uang, melainkan hal-hal jang membajangkan perkembangan djiwanja, misalnja andjuran dan persetudjuan Soetomo akan tindakan ajahnja, jang telah memasukkan Srijati, adik perempuan Soetomo, kesekolah Belanda. Perbuatan itu bagi seorang Pamong Pradja ditahun 1906, dalam pandangan masjarakat adalah 'luar biasa'. Malah nenek Soetomo sendiri telah menjangka, bahwa menantunja, jaitu ajah Soetomo itu, telah 'masuk agama Kristen'. Bahkan ada seorang amtenar tinggi jang telah mendapat didikan universiter menjatakan bahwa perbuatan ajah Soetomo itu tidak patut, jakni, bahwa seorang jang hanja berpangkat Wedana memasukkan anaknja perempuan kesekolah Belanda!

Didalam surat Soetomo jang lain ia mengusulkan kepada ajahnja, agar adiknja laki-laki, Soeratmo, dimasukkan kesekolah H.B.S., supaja mendapat pendidikan jang lebih baik.

Dimadjukan pula pertimbangan, agar adiknja jang lain, Soesilo, jang beladjar disekolah Stovia, diberi beaja ekstra untuk mengambil peladjaran privaat bahasa Inggris, karena pada waktu itu disamping bahasa Belanda di Stovia hanja diberikan peladjaran bahasa Djerman. Soetomo tahu, bahwa Soesilo madju sekali peladjarannja.

Isi surat-surat Soetomo itu sangat membanggakan hati ajahnja.

Dikala perhubungan batin antara ajah dan anak berkembang serupa itu, datanglah mendadak pertjobaan jang berat bagi Soetomo dan keluarga seluruhnja: Pada tanggal 28 Djuli 1907 R. Soewadji wafat. Tak dapat dilukiskan betapa sedih dan pilu hati Soetomo, waktu menerima surat kawat jang berisi berita kematian ajahnja itu. Didalam buku kenang-kenangannja dituliskan kemudian segala perasaan jang timbul pada waktu itu, dimana disamping kebingungan dan kesedihan terbajang adanja rasa tanggung-djawab atas nasib ibu dan adik-adiknja:

'Siapa jang dapat merasakan kesusahan jang menimpa diri saja? Tidak ada seorangpun didunia ini, ketjuali barangkali mereka jang ada didalam keadaan sebagai diri saja. Saja tidak dapat melukiskan, betapa besar kesusahan dan betapa pekat kegelapan jang meliputi hati saja. Dari sahabat karib saja tidak ada seorang djuapun jang dapat menghibur saja, meskipun mereka itu turut berduka-tjita. Saja ingat akan nasib ibu saja, saja ingat betapa akan nasib adik-adik saja jang kehilangan pelindung jang menaunginja, kehilangan tongkat penjandarkan diri. Ja, mereka kehilangan segala-galanja, terhitung djuga kesanggupan ajah hendak menjekolahkan mereka sampai ditingkatan jang paling tinggi, guna ketjerdasan mereka dan guna kepentingan bagi masjarakat.

Apakah salah kita? Adakah Tuhan adil?'

Soetomo menulis lebih landjut:

'Kematian ajah saja mengandung arti suatu hukuman bagi saja jang tiada terduga dalamnja, tiada terukur besarnja, berarti pula kehilangan kehormatan, malah djuga mendapat malu dan seolah-olah mendapat hinaan pula. Saja merasa, bahwa orang-orang disekeliling keluarga saja telah berubah sikapnja. Penghormatannja, kemurahan hatinja, kemanisan tutur katanja, keramah-tamahan tingkah-lakunja pada perasaan saja ternjata hanja pulasan luar sadja, tiada sungguh-sungguh sampai kelubuk hatinja. Semua itu karena akibat kematian ajah saja.

Ada pula setengahnja orang jang mendjenguk keluarga saja, bukannja dengan maksud hendak menjatakan turut berduka-tjita, melainkan hanja terdorong oleh ingin-tahu belaka, apa keluarga saja ketjukupan, apa orang tua saja kaja, apakah mempunjai hutang, dan bila punja berapa djumlahnja. Malah telah terdjadi djuga ada beberapa barang milik orang tua saja jang hilang diwaktu banjak orang jang datang dirumah untuk menjatakan berduka-tjita. Saja merasa sangat malu, karena pada perasaan saja, seolah-olah segala sesuatu jang tadinja dirahasiakan oleh ajah-ibu saja, hal-hal jang tadinja hanja diketahui oleh lingkungan keluarga, kini, pada hari meninggalnja ajah, lalu terbuka untuk umum. Saja bukan sadja sedih, tetapi djuga malu, seperti orang jang ditelandjangi dimuka ramai. Apakah perasaan orang lain, diwaktu mereka tertimpa kesusahan dan mengalami keadaan serupa itu djuga begitu, saja sendiri tidak tahu.

Jan dapat menghibur hati saja ialah nenek saja dan mamak R. Sosrosugondo sadja, jang selain memberi nasihat dan petua, djuga telah meringankan segala beban jang dipikul ibu. Nenek telah meminta, agar adik-adik saja jang belum bersekolah dibojongi kerumahnja, sedangkan mamak Sosrosugondo sebagai sahabat karib ajah saja meminta, agar adik-adik saja jang masih bersekolah rendah dibojongi kerumahnja, agar dapat meneruskan sekolahnja. Nenek saja meminta kembali sebilah keris ajah jang berasal dari pemberiannja. Setelah keris itu diterima kembali oleh nenek, seketika itu djuga diberikan kepada saja sebagai pusaka.

Apa jang selama itu saja agung-agungkan, kini sudah tidak ada. Ajah saja jang selama itu mendjamin hingga saja dapat berlaku menurut kehendak saja, kini telah meninggalkan saja. Sebagai saudara tertua saja mempunjai tugas jang berat atas adik-adik saja, karena saja harus dapat menggantikan kedudukan ajah. Dapatkah gunung jang besar dan tinggi itu kupeluk dengan kedua belah tangan saja? Tak ada seorang djuapun jang dapat mendjawab soal ini. Hatiku bertanja, hatiku pula jang mendjawabnja.

Saja insaf, bahwa roman muka saja tidak lagi nampak gembira seperti dulu. Ditengah-tengah kawan-kawan saja lebih terasa kesusahan dan rasa malu itu, bila melihat kegembiraan dan keriangan senda-gurau mereka. Karena saja berpendapat tidak patut mengganggu suasana riang gembira kawan-kawan saja dengan roman muka saja jang sedih itu, maka saja putuskan dalam hati sendiri akan mengundurkan diri dari segala pesta-pesta, keramaian dan medan kesenangan. Tempat-tempat jang sunji-sepi mendjadi tempat penghibur diri. Bulan dan bintang-bintang dilangit mendjadi teman-teman saja kembali, seperti ketika ketjil saja dirumah mamak Ardjodipuro di Bangil. Malam jang sunji, tempat jang sepi, itulah tempat saja menjendiri, jang dapat mem-berikan ketenteraman hati, meringankan penderitaan saja. Kebiasaan duduk berdiam diri diwaktu malam, sebagai jang pada masa kanak kanak dibiasakan oleh nenek saja, rupanja memberikan tuntunan pada diri saja untuk mengheningkan tjipta dan bertanja pada diri sendiri'.

Sebenarnjalah tabiat Soetomo djauh berganti. Tidak lagi ia seorang murid jang nakal, suka mengganggu pengurus asrama, melanggar peraturan, berbuat gaduh dikelas — melainkan seorang murid jang bersungguh-sungguh. Ia insaf, bahwa tempat ia bersandar sudah tidak ada lagi. Karena itu haruslah ia dapat mengurus diri sendiri, hemat dan hati-hati, djarang bergaul jang tiada membawa faedah, djarang keluar untuk berdjalan-djalan dengan tiada maksud jang tertentu. Setengah dari temannja menduga, bahwa Soetomo mendapat warisan harta jang sangat banjak, sehingga timbul sikapnja jang angkuh dan sombong.

Tetapi keadaan sebenarnja bukan begitu. Soetomo kini djarang bergaul, djarang teraktir-meneraktir teman-temannja, tidak lagi berlomba-lomba dengan teman-temannja dalam hal kesenangan dan kerojalan, karena ia harus hidup hemat dan tjermat, agar belandjanja tidak melampaui rentjana. Adat kebiasaannja lama: meminta dan terutama memberi rokok, memindjam dan memindjamkan sabun dan pakaian, tidak dilakukan lagi. Ia tidak lagi rojal memberi sebarang-barang kepada kawan-kawannja. Keborosan jang dulu itu ditinggalkannja dengan djalan menjendiri bersunji-sunji; ia mengurangi rokoknja, sampai hampir tidak minum rokok lagi. Tetapi meskipun sekarang biasanja hanja pada hari Saptu petang sadja ia merokok, dipilihnja rokok serutu jang mahal harganja. Demikian pula, meskipun hanja sebulan sekali ia pergi menonton gambar hidup, dibeli kartjis kelas jang tertinggi. Ia berpendirian: tidak mengapa hanja sekali-sekali sadja dihari luar biasa menikmati kesenangan hidup, tetapi sedapat-dapat dalam sekali-sekali itu dirasakan kenikmatan jang sesungguh-sungguhnja.

Karena tjara hidup jang telah berubah itu, tidak perlu lagi ia sampai pindjam uang, malahan ia sekarang sedikit-sedikit dapat menabung dari uang tundjangan jang diterimanja dari Pemerintah, sehingga tidak perlu ia meminta uang dari rumah untuk pembeli berbagai keperluan.


MENDIRIKAN 'BUDI UTOMO'

Tjara hidup Soetomo dengan serba teratur itu menjebabkan ia dalam peladjarannja makin mendapat kemadjuan. Dalam keadaan sedemikian itu pada suatu hari berdjumpalah ia dengan Dokter Wahidin Sudirohusodo. Peristiwa itu terdjadi pada achir tahun 1907, diwaktu Dokter Wahidin mengadakan tjeramah dimuka murid-murid Sekolah Dokter tentang tjita-tjitanja mendirikan sebuah Studiefonds, suatu usaha untuk menolong para pemuda Indonesia, agar dapat melandjutkan peladjaran diperguruan tinggi.

Diwaktu sebelum ada pertemuan itu, dikalangan murid Sekolah Dokter sudah timbul niat mendirikan perhimpunan para murid untuk menambah pesat usaha mengedjar kemadjuan. Setelah Soetomo mendengar uraian Dokter Wahidin tadi, makin kuatlah ia terdorong untuk mendjelmakan perhimpunan itu. Untuk itu ditulisnja surat akan mentjari perhubungan dengan murid-murid dikota-kota
Tjara Dr Soetomo berapat dengan anggota-anggota partainja
lain diluar Djakarta: Magelang, Semarang dan Jogjakarta.

Dokter Wahidin, seorang orang jang bidjaksana dan tenang dalam segala tingkah lakunja serta lemah lembut tutur katanja itu telah mempengaruhi djiwa pemuda Soetomo, membuka hatinja dan menimbulkan tjita-tjita jang keras untuk bekerdja dan berdaja-upaja dalam lingkungan jang luas. Kata-kata jang diutjapkan Dokter Wahidin untuk menjatakan niatnja menolong pemuda jang madju dengan tidak memandang anak siapa dia itu menimbulkan kesadaran Soetomo untuk berbakti dan bekerdja dengan tidak terbatas pada lingkungan keluarga dan sahabat sadja, melainkan untuk bangsa dan sesama manusia.

Setelah dibitjarakan masak-masak terlebih dulu, didirikannjalah dengan bantuan teman-temannja, jaitu d.l.M. Soeradji, M. Mohamad Saleh, Mas Soewarno, Muhamad Sulaiman, Goenawan dan Goembreg, pada tanggal 20 Mei 1908 'Budi Utomo', sebuah perhimpunan bagi pemuda seluruh Indonesia jang memperhatikan terutama soal-soal pengadjaran dan kebudajaan. Dalam penetapan anggota-anggota pengurus Budi Utomo itu Soetomo dipilih mendjadi ketua, Soeradji penulis pertama, Mohamad Saleh penulis kedua, Soewarno, Goenawan dan lain-lainnja mendjadi pembantu.

Adapun penetapan nama 'Budi Utomo' konon kabarnja terdjadi sebagai berikut: Pada pertemuan pertama antara Soetomo serta kawan-kawannja dengan Dokter Wahidin, jang menerangkan maksudnja hendak melandjutkan perdjalanannja ke Banten guna menjiar-njiarkan tjita-tjitanja, Soetomo berkata: 'Punika satunggaling padamelan sae sarta nelakaken budi utami' (= Itu suatu perbuatan baik dan menundjukkan keutamaan budi). Kata-kata 'budi utami' itu kemudian diusulkan oleh Soeradji untuk didjadikan nama perhimpunan.

Soeradji adalah pembantu Soetomo jang pertama. Ia pandai berbasa Djawa; dengan ketjakapannja ini ia sangat berdjasa dalam mendjalankan tugas memberi penerangan kepada kaum tua di Djawa Tengah, jang kebanjakan diwaktu itu hanja suka menerima pertjakapan dengan bahasa Djawa tinggi jang halus.

Pembantu Soetomo jang kedua ialah M. Mohamad Saleh, seorang pemuda jang disegani oleh teman-temannja karena sifatnja sebagai pendiam jang giat dan djudjur dalam pekerdjaannja. Kerapian organisasi dan administrasi perhimpunan sebagian besar adalah hasil kegiatan Mohamad Saleh.

Selandjutnja Soetomo membagi-bagikan pekerdjaan kepada Soewarno untuk menjelenggarakan perhubungan dalam lapangan kesenian dengan bangsa Belanda, dan kepada Goenawan (kemudian terkenal sebagai Dr Goenawan Mangunkusumo) untuk mengurus propaganda dalam pers.

Tentu sadja dalam perdjuangannja sebagai pemimpin Budi Utomo itu Soetomo tidak terluput dari pertjobaan-pertjobaan dan rintangan-rintangan. Pada suatu kali, setelah beberapa kali terdjadi perselisihan paham antara Soetomo dengan guru-gurunja tentang Budi Utomo, hampir ia dilepas dari sekolahnja. Beberapa orang guru telah menuduh, bahwa Soetomo bermaksud hendak melawan Pemerintah Hindia Belanda. Pada ketika jang kritik itu atas andjuran Goenawan telah diadakan kata sepakat antara kawan-kawan Soetomo, bahwa apabila Soetomo dikeluarkan dari sekolah, merekapun akan minta serentak dilepas djuga. Mudjur bagi Soetomo dan kawan-kawannja, karena pemimpin umum sekolah, Dr H. F. Roll, adalah seorang guru jang luas pendiriannja. Dalam rapat guru-guru, ia telah membela pendirian Soetomo, a.l. ia bertanja kepada para guru jang hadlir: 'Bukankah diantara tuan-tuan jang hadir disini banjak jang lebih merah daripada Soetomo, dimasa tuan-tuan masih berumur 18 tahun disekolah dahulu?' Karena pengaruh Dr H. F. Roll itulah Soetomo tidak sampai dilepas.

Dr H. F. Roll itu adalah seorang Belanda jang bersikap progresip; tiada sedikit usahanja membantu kemadjuan pengadjaran di Indonesia. Antara lain ia berhasil dalam hal memperdjuangkan, supaja Sekolah Dokter didjadikan Sekolah Tinggi Kedokteran.

Kepada Soetomo, selain membelanja waktu akan dilepas sebagai murid, pernah Dr Roll memberikan bantuan jang penting, jaitu memindjamkan sedjumlah uang guna keperluan kongres Budi Utomo jang pertama.

Untuk mempersiapkan kongres Budi Utomo jang pertama itu tidak sedikit pengorbanan jang diberikan oleh Soetomo dan kawan seperdjuangannja. Ada jang memberikan arlodji, kain-pandjang, ikat kepala dan barang-barang lain untuk didjual guna membeajai kongres itu. Uang tundjangan bulan Puasa jang mereka terima dari Pemerintah sebagai murid Sekolah Dokter, mereka sediakan pula untuk perongkosan kongres. Belum lagi pengorbanan tenaga. Surat-menjurat dan perkundjungan dilakukan untuk mendapat perhubungan dengan kalangan terkemuka didalam dan diluar Djakarta, misalnja dengan R. M. A. A. Kusumo Utojo (Bupati Djepara), Pangeran Achmad Djajadiningrat (Bupati Serang), P. A. A. Kusumojudo di Djatinegara, dengan R. M. Soetomo, murid Sekolah Pamong Pradja di Magelang, dengan Bupati Temanggung jang membantu mempropagandakan terlangsungnja Kongres Budi Utomo didepan para pegawai negeri jang tergabung dalam perkumpulan Sasongko Purnomo'.

Mohamad Saleh dikirim Soetomo ke Djepara untuk mengadakan perhubungan dengan para puteri adinda R. A. Kartini, sedangkan Goenawan ke Karanganjar untuk menemui Bupati R. A. A. Tirtokusumo, jang achirnja dalam kongres dipilih djadi ketua. Soetomo sendiri beberapa kali mengadakan perhubungan dengan tuan E. F. E. Douwes Dekker di Djakarta.

Kongres Budi Utomo jang pertama itu berlangsung di Mataram pada tanggal 4-5 Oktober 1908. Pimpinan perhimpunan selandjutnja diserahkan kepada kaum tertua, diantaranja terdapat Dokter Wahidin Soediro Husodo; sedjak itu Budi Utomo bersifat perhimpunan untuk umum, bukan untuk kaum peladjar sadja sebagai semulanja.

Selain menuntut tjita-tjita bagi kemadjuan pengadjaran dan kebudajaan, Soetomo djuga sering berhubungan dengan orang-orang Belanda jang terkenal dalam dunia kerochanian. Dengan Ing. Meyl, seorang pemimpin theosofie jang terkenal dan dengan D. van Hinloopen Labberton kerap kali ia mengadakan perhubungan. Dari kedua ahli kebatinan itu ia sering menerima berbagai-bagai nasihat dan petundjuk mengenai soal-soal kerochanian.

Kedua orang Belanda tersebut djuga berdjasa kepada Budi Utomo, karena banjak kenalan mereka diantara para pembesar Pamong Pradja jang meminta pemandangannja terhadap perhimpunan jang didirikan oleh peladjar-peladjar itu. Diantara pembesar-pembesar itu ada jang menjangka Budi Utomo berbahaja bagi pemerintahan. Berkat pemandangan jang diberikan oleh kedua orang tersebut dengan sedjudjur-djudjurnja, maksud mereka jang semula akan memberantas gerakan Budi Utomo itu berbalik mendjadi tindakan jang bersifat membantu.

Pada waktu hari lahir resmi Budi Utomo, tanggal 20 Mei 1908, Soetomo berumur 19 tahun dan masih harus tiga tahun lagi menjelesaikan peladjarannja di Sekolah Dokter itu.

SOETOMO SEBAGAI SUAMI

Sebagai seorang suami, Dr Soetomo rupanja tidak sangat beruntung. Ia baru kawin setelah berumur 30 tahun. Salah satu sebab dari perkawinannja jang sekasip itu ialah karena ia merasa sukar memilih djodoh.

Kisah perdjodohannja dengan Njonja E. Bruring dituturkan sebagai berikut:

Waktu Soetomo bekerdja dirumah sakit Zending di Blora pada tahun 1917, pada suatu hari ia pergi kestasion kereta-api untuk mendjemput zuster baru. Zuster itu ternjata seorang njonja Belanda jang berbadan kurus, bermuka putjat dan lemah lembut tutur katanja. Keadaan jang sedemikian itu menarik hati Soetomo; ingin sekali ia mengetahui apa jang mendjadi penderitaan njonja itu. Ternjata, bahwa zuster itu belum selang lama datang di Indonesia dari negeri Belanda, dimana ia baru kematian suaminja. Kematian suami jang sangat ditjintainja itu menjebabkan dia merasa tak dapat hidup berbahagia lagi didunia ini dan mendjadikannja suka duduk termenung-menung memikirkan nasib malangnja. Karena itulah ia dipanggil oleh kakaknja perempuan jang telah lama tinggal di Indonesia, untuk tinggal berkumpul dengan dia, dengan harapan akan dapat melupakan kesedihan hatinja.

Ternjata harapan itu tidak berbukti. Kebetulan sekali dimasa itu rumah sakit Zending Blora membutuhkan tenaga zuster. Kakak njonja Bruring lalu berusaha menempatkan adiknja itu untuk mengisi lowongan tadi, agar dapatlah kiranja dalam pekerdjaan itu njonja Bruring terhibur hatinja. Itulah asal mulanja pertemuan Soetomo dengan bakal isterinja.

Dalam melakukan pekerdjaan dirumah sakit ternjata, bahwa njonja Bruring tidak djuga dapat melepaskan angan-angannja dari kedjadian jang telah lampau itu. Pikirannja senantiasa berada ditempat lain, sehingga sering tidak tepat pekerdjaan jang dilakukannja. Entah bagaimana, hati Soetomo tertambat pada zuster baru jang hidupnja diliputi oleh kesedihan itu. Karena djandji Soetomo akan berusaha sedapat-dapatnja melindunginja dan memberikan keelokan didalam hidupnja dengan menghormati kenang-kenangannja, dan sebaliknja zuster Bruring dengan rela akan memberikan kemerdekaan pada Soetomo untuk terus menuntut tjita-tjitanja bagi Nusa dan Bangsa, serta terhadap ibu dan adik-adiknja, maka achirnja bersetudjulah keduanja untuk hidup bersama sebagai suami-isteri.

Perkawinan itu telah mengguntjangkan pihak keluarga njonja, karena kakak njonja Bruring, sebagai djuga kebanjakan orang Belanda diwaktu itu, belum dapat menerima adanja perkawinan antara njonja Belanda dengan seorang 'Inlander'. Perselisihan timbul antara kakak dan adik, sehingga menambah penderitaan bagi siadik.

Djuga masjarakat bangsa Indonesia belum dapat menerima perkawinan antara Indonesia dengan Belanda itu dengan gembira. Dikalangan rakjat banjak orang jang menganggap tidak pada tempatnja, bahwa seorang pemimpin Indonesia beristeri dengan perempuan bangsa Belanda; bahkan setengah orang mengatakan bahwa dengan perkawinan dokter Soetomo itu rakjat Indonesia telah kehilangan seorang pemimpinnja.

Njonja dokter Soetomo ternjata sangat setia terhadap suaminja. Dari tahun 1917 hingga 1919, sebagai pegawai negeri jang masih ketjil gadjinja, Soetomo ditempatkan dikota ketjil di Sumatra, Baturadja, dimana segala keperluan rumah tangga serba mahal. Karena disitu sukar mendapat budjang jang tjakap, djika tak mampu mengeluarkan biaja banjak, terpaksalah isteri dokter Soetomo bekerdja sendiri sebagai 'koki' dan 'babu tjutji'.

Dari tahun 1919 hingga 1923 dikala Soetomo melandjutkan peladjarannja di Eropa, hidup kedua suami-isteri Soetomo-pun tidak dapat dikatakan nikmat. Sebagian besar waktu Soetomo dipergunakan untuk menuntut pengluasan pengetahuan, sedangkan nafkah jang diterima Soetomo tidak berlebih-lebihan, sehingga njonja Soetomo terpaksa bekerdja keras djuga untuk memelihara rumah tangga dan hampir tak pernah dapat pesiar ketempat-tempat penghibur hati. Bahkan pada waktu orang pesiar, jaitu Saptu petang dan hari Minggu, kesibukan bertambah, karena tempat kediaman Soetomo biasa dipakai untuk tempat pertemuan para peladjar dan para terpeladjar Indonesia di Amsterdam. Pada waktu 'week-end' itu sering datang pula putera-putera Indonesia dari Leiden, Utrecht dan Delft dirumah Soetomo. Disitu mereka menemui hidangan-hidangan setjara Indonesia. Kadang-kadang sampai pukul 2 malam njonja Soetomo masih bekerdja didapur, membuat nasi-goreng dan sebagainja; sering dibantu oleh para maha-siswa jang muda-muda, jang dengan gembira mentjutjikan piring dan sendok-garpu.

Setelah pulang kembali ke Indonesia dan Dr Soetomo diangkat sebagai guru pada N.I.A.S. di Surabaja, ada harapan bagi suami-isteri Soetomo untuk hidup nikmat, karena tinggal dikota besar dan tak akan dipindah-pindahkan, lagi pula akan menerima gadji jang sangat tjukup.

Tetapi malang bagi njonja Soetomo, karena hawa panas kota Surabaja tidak tjotjok bagi kesehatan badannja, sehingga ia harus sering tetirah ketanah pegunungan. Dipegunungan badannja terasa sehat, tetapi hatinja tidak merasa senang, karena terpisah dari suaminja.

Ditempat beristirahat didesa Tjlaket, dikaki gunung Penanggungan, jang dibuat menurut rentjana Dr Soetomo sendiri, hanja dua kali dalam seminggu Dr Soetomo dapat datang mendjenguk isterinja. Untuk mengisi kesepian kehidupannja digunung itu njonja Soetomo banjak berbuat kebadjikan bagi penduduk desa sekitarnja. Penduduk jang sakit diberi obat, mereka jang luka-luka dipelihara olehnja; dimana ada jang memerlukan, diberikan sokongan uang.

Kesemuanja itu tak dapatlah mengelakkan, bahwa badan njonja Soetomo jang lemah itu, serta perasaan tak berbahagia dalam hatinja itu, achirnja mendjadikan kesehatannja sangat terganggu. Karena sakitnja, pada tanggal 17 Februari 1934 pulanglah ia kerachmatullah. Pada waktu penguburannja, jang mendapat perhatian besar dari segala bangsa, Dr Soetomo mengutjapkan pidato sebagai berikut:

'Perkenankanlah saja didalam pertemuan ini memakai bahasa isteri saja untuk melahirkan perasaan terima kasih atas kehormatan dan perhatian jang kami terima, pada waktu jang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, waktu datang masanja saja harus menjerahkan badan djasmani isteri saja keharibaan Ibu Pertiwi. Perkawinan antara dua orang dari satu bangsa jang sama keadaannja, serupa peradabannja, setingkat ketjerdasannja, lagi mempunjai satu kemauan, satu tjita-tjita dan satu harapan, belum tentu mendapati kebahagiaan. Sering kali perkawinan itu tidak langsung menemui kebahagiaan. Apalagi perdjodohan antara dua orang jang berlainan kebangsaannja, jang seorang dianggap rendah oleh golongan masjarakat pihak jang lain, seorang lainnja ini dianggap tinggi oleh golongan masjarakat jang satunja. Barang tentu perdjodohan serupa itu sedikit sekali harapannja dapat berlangsung baik dan berbahagia.

Apabila perdjodohan antara kedua orang jang tersebut belakangan ini, antara dua orang jang berlainan kebangsaannja, dapat lulus langsung, sedang pertjeraiannja hanja terdjadi karena kehendak Tuhan, maka njatalah perdjodohan itu mempunjai tali perikatan jang kokoh erat. Dan dalam hal antara saja dengan marhum isteri saja ini, isteri sajalah jang mendjadi sebab jang terutama, hingga pertalian perkawinan itu tetap baik dan dapat terus berlangsung. Disini patutlah saja mengutjapkan terima kasih saja jang tidak terhingga kepadanja. Isteri saja adalah seorang orang jang tjinta pada tanah airnja. Oleh karena itulah ia mengerti dan insaf dan senantiasa memberi dorongan kepada diri saja, agar tjinta saja terhadap Bangsa dan Tanah air makin djadi tebal, dan agar saja mewudjudkan tjinta saja dengan perbuatan pula.

Isteri saja seorang-orang jang tjinta kepada bangsanja. Oleh karena itu ia mengerti akan kewadjiban saja terhadap bangsa saja. Dia selalu mendorong, agar saja membuktikan tjinta saja kepada bangsa saja. Dia tidak berdiri diatas rakjatnja, tetapi ada didalamnja. Oleh karena itu hiduplah perasaan tjintanja dan senang hatinja, apabila saja bekerdja untuk rakjat.

Sebagai seorang-orang Belanda jang sungguh-sungguh, isteri saja tjinta akan kemerdekaan, keadilan dan persamaan. Karena itu pula ia tak senang, apabila mendjumpai hal-hal jang melanggar keadilan dan kemerdekaan. Ia kerap kali mengandjurkan saja untuk menentang perbuatan-perbuatan jang menjalahi kebenaran dan keadilan.

Isteri saja seorang jang tjinta dan setia kepada suaminja. Ketika saja memadjukan usul meminta persamaan hak (gelijkstelling) guna kehormatan dirinja, ia menolaknja. Dan waktu beberapa teman dokter mempertimbangkan, hendaknja ia beristirahat di Eropa untuk kesehatan badannja, iapun menolaknja, karena ia ingin mengalami suka dan duka bersama suaminja. Belakangan saja mengetahui dari orang lain, bahwa isteriku ingin meninggal disampingku, sjukurlah, keinginannja ini dikabulkan Tuhan.

Isteriku, kini kau telah meninggalkan daku. Sungguh banjak pengorbananmu. Baiklah, keinginanmu akan kuturutkan. Akan kuteruskan perdjalananku menuntut kemerdekaan, kebenaran dan keadilan guna menghormati dirimu djuga'.

Sepeninggal isterinja, Dr Soetomo hidup seorang diri dalam rumahnja. Kerap kali sahabat-sahabatnja diundang untuk makan bersama. Beberapa orangpun diadjak tinggal bersama didalam rumahnja itu. Pada bulan Maret 1936, Dr Soetomo bepergian keluar negeri. Ketika sedang berada di Kandy, Sailan, telah terlahir pengakuannja ― terhadap beberapa orang sahabatnja ― diantaranja Dr Drahaman, bahwa sepeninggal isterinja, tidak lagi ia mempunjai ketjintaan, pelita asmaranja sudah padam.

Sesudah Dr Soetomo kembali ke Tanah airnja, iapun hanja memelihara babu sebagai pengatur rumah tangganja.

Njata, didalam pertjintaan rupanja tidak begitu berbahagia hidupnja.

SIKAP DAN SIFAT SOETOMO

Dipandang sebagai seorang manusia biasa, Dr Soetomo adalah seorang jang gemar bergaul dan tidak membeda-bedakan pangkat dan deradjat. Kepada sopirnja sendiri,
Dr Soetomo dilingkungan kaum tani.
Pak Soemo, ia memakai bahasa Djawa tinggi, suatu kebiasaan jang djarang terdapat antara madjikan dengan orang bawahannja. Terhadap djongos, babu dan kokinja, sikapnja sebagai terhadap anggota keluarganja sendiri.

Kyai Hadji Mas Mansjur, seorang pemimpin Islam jang terkemuka, heran melihat sikap ramah-tamah dan sikap kekeluargaan Dr Soetomo terhadap siapapun djuga itu.

Lebih mengherankan lagi sikap Dr Soetomo terhadap lawannja atau orang jang tidak menjetudjui sikap-politiknja. Kalau mereka ini berada dalam keadaan jang memerlukan pertolongan, tidak segan-segan ia mengulurkan tangan untuk menolong dengan tidak mengharap-harapkan upah atau pembalas budi.

R. P. Sosrokardono, seorang pemimpin Sarekat Islam dan seorang wartawan jang terkenal, dulunja adalah sahabat karib Dr Soetomo. Tetapi kemudian mereka telah bertjektjok, sehingga R. P. Sosrokardono jang semula suka membela pendirian Dr Soetomo disurat-surat kabar, lalu suka mengritiknja didalam surat kabar jang diterbitkan sendiri olehnja. Pada suatu waktu R. P. Sosrokardono sakit keras. Demi Dr Soetomo mendengar hal itu, segera ia memerlukan mengundjungi si sakit itu. Kemudian ia datang beberapa kali mengundjunginja dengan membawakan obat baginja.

Hidup Dr Soetomo sehari-hari, bila dibandingkan dengan pangkat, kedudukan dan penghasilannja, adalah sangat sederhana. Lebih-lebih kalau sedang bergaul dengan kaum rendahan, tidak segan-segan ia menundjukkan sifat kesederhanaannja, misalnja makan dan minum bersama-sama dengan bapak-bapak dan bibi-bibi tani. Tidak malu-malu ia makan diwarung bersama dengan kawan-kawannja, seperti misalnja makan bakmi diwarung Tjak Doerasim. Diwaktu kongres atau rapat sering ia mengaso tidur dibalai-balai atau diatas kursi. Ia pernah bepergian dengan kereta-api dari Surabaja ke Djakarta duduk dikelas tiga.

Keradjinannja bekerdja, terutama untuk kepentingan umum, sungguh luar biasa. Pada tiap pagi sebelum pergi kesekolah Dokter atau ke Rumah Sakit, lebih dulu ia menolong berpuluh-puluh orang sakit jang datang dirumahnja. Sering diwaktu itu ia bekerdja tidak dengan bantuan seorang djuru-rawatpun djua. Dalam waktu bekerdja di Rumah Sakit sering orang datang menjela kesibukannja untuk keperluan pergerakan atau untuk kepentingan umum lainnja. Sehabis bekerdja di Sekolah Dokter atau di Rumah Sakit, ia biasa terus pergi ke Gedong Nasional untuk bertemu dengan kawan-kawan seperdjuangan, atau pergi memeriksa keadaan di Bank Nasional. Pada petang hari ia melajani tamu segala bangsa, jang datang berobat. Disamping semua itu ia sering menulis rentjana untuk surat kabar, madjalah atau buku. Kewadjibannja sebagai pemimpin partaipun tidak sedikit minta tenaga, jaitu untuk rapat-rapat, kursus-kursus dan pelbagai matjam pertemuan lainnja.

Ketika Kongres Indonesia Raja jang pertama, dalam tiga hari tiga malam Dr Soetomo hampir tidak pernah tidur, ketjuali sedjenak-sedjenak sadja diatas kerosi dibagian belakang tempat rapat. Waktu Parindra mengadakan kongres di Djakarta, dalam tiga hari tiga malam ia hanja tidur kira-kira tiga djam sadja! Untunglah badannja memang sehat dan kuat.

Roman muka Dr Soetomo jang menundjukkan keramah-tamahan dan sikapnja suka bergaul, mendjadikan orang tertarik kepadanja dan mudah menjetudjuinja.

Tetapi tak ada gading nan tak retak. Ada pula sifat-sifat Dr Soetomo jang kurang baik. Jang banjak diketahui orang ialah tabiatnja jang suka terlampau berterus-terang, jang menjebabkan dia sering menegur kesalahan atau menjalahi pendapat orang lain. Sehingga banjak orang menjebutnja kasar dan suka bertengkar, ada pula orang jang mengatakan, bahwa ia itu seorang pemarah.

Sikap berterus-terang itu ada hubungannja pula dengan kebiasaannja suka menentang lawan setjara kontan. Pada waktu di Solo dalam tahun 1935 diadakan pertemuan antara para wartawan, Saeroen, seorang wartawan dari Djakarta, menjatakan tidak setudju Dr Soetomo didjadikan ketua suatu komisi, dengan alasan bahwa Dr Soetomo bukan pemimpin pergerakan, melainkan seorang pendeta jang tinggi perasaan perikemanusiaannja belaka. Seketika itu Dr Soetomo nampak merah mukanja dan dengan suara menantang ia menjatakan, bahwa iapun sanggup berdjuang dengan pedang.

Pada suatu waktu di Surabaja diadakan rapat umum oleh golongan jang menentang kaum nasionalis, jang a.l. menjerang sikap politik Dr Soetomo. Meskipun pada waktu itu Dr Soetomo tidak diminta bitjara dan tidak disediakan tangga untuk naik kepanggung, iapun tampil kemuka, melompat keatas panggung dan berbitjara menjambut segala serangan terhadap dirinja, sehingga achirnja hadirin bubar beramai-ramai, menuruti djedjak Dr Soetomo jang meninggalkan rapat sambil menjanjikan ‘Indonesia Raja’.

Pendirian Dr Soetomo terhadap agama Islam dan gerakan-gerakan Islam sangat dihargai oleh kaum agama dan oleh kalangan bangsa Arab. Hal itu terbukti dari pengangkatan Dr Soetomo mendjadi penasihat perkumpulan Muhammadijah dan banjaknja kawan-kawannja diantara pemuka Nahdatul Ulama. Iapun termasuk seorang diantara pendiri Kollijah Islam.

Dikalangan bangsa Tionghoa banjak orang jang bersahabat karib dengan Dr Soetomo, terutama setelah dalam kalangan itu didirikan Partai Tionghoa Indonesia. Kebalikannja daripada itu, tidak sedikit orang Tionghoa jang bentji kepadanja, karena dugaan mereka, bahwa Dr Soetomo adalah sahabat bangsa Djepang.

Kalangan Belanda sebagian besar memandang Dr Soetomo sebagai kawan atau sebagai . . . lawan jang dihormati. Memang pendirian Dr Soetomo terhadap Belanda sebagai orang seorang tak ada tjelanja. Ia suka menghargai djasa orang-orang Belanda jang benar-benar telah berbuat baik terhadap Indonesia. Terhadap orang Belanda seperti itu tidak segan ia menjatakan kata-kata pudjian. Demikianlah misalnja dalam buku ‘Puspa Rinontje’ ia membentangkan dengan pandjang lebar usaha-usaha seorang Belanda jang bernama Holle, disertai dengan andjuran kepada kaum pemimpin rakjat Indonesia, agar suka meniru siasat Holle untuk mengikat hati rakjat, sehingga mereka itu dengan suka hati mau mendjalankan penerangan dan tuntunan untuk perbaikan nasibnja. Adapun Holle itu adalah seorang ahli pertanian jang sangat tjinta pada rakjat petani; ia sangat berdjasa dalam usaha mempertinggi nilai hasil bumi. Ia mengandjurkan antara lain kepada sekalian pemuda, hendaknja mereka pada waktu hendak menikah gadis pilihannja, membawa sepasang (dua buah) buah njiur untuk diserahkan kepada penghulu dan kemudian untuk dipergunakan djadi benih untuk ditanam dalam perkebunan. Andjuran itu achirnja menimbulkan suatu kepertjajaan dalam masjarakat tani Pasundan, bahwa njiur tadi adalah lambang bagi perkawinan. Kalau njiur itu kelak subur hidupnja, maka perkawinan itu akan membawa bahagia pula. Itulah sebabnja, maka tiap-tiap buah njiur jang dibawa oleh tjalon penganten dipilihnja dengan teliti dan hati-hati sekali; akibatnja ialah, bahwa pohon njiur jang tumbuh dari benih itu subur hidupnja, sehingga achirnja ditanah Periangan terdapat banjak sekali pohon njiur jang tumbuh dengan suburnja pula.

Seorang Belanda lain, jang oleh Dr Soetomo sangat dihargai djasanja, ialah Mr J. H. Abendanon. Tiap mengemukakan djasa R. A. Kartini, tidak lupa ia menjebut-njebut djasa Mr J. H. Abendanon itu. Dalam bukunja ‘Perkawinan dan perkawinan anak-anak’, jang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1928, Dr Soetomo menulis: ‘Penulis merasa salah, djika dalam menjebut nama R. A. Kartini melupakan nama Mr J. H. Abendanon, seorang Belanda sahabat bangsa Indonesia itu. Karena dengan usaha Mr J. H. Abendanon itulah achirnja dapat dikumpulkan surat-surat jang berisi tjita-tjita R. A. Kartini, dan dengan terbitnja buku tersebut kita bangsa Indonesia mengetahui akan keluhuran budi puteri tersebut, dan karena itu pula timbullah perasaan tjinta kepada Tanah air dan Bangsa diantara bangsa Indonesia'. Atas usaha Dr Soetomo buku kumpulan surat-surat R. A. Kartini 'Door Duisternis tot Licht' itu telah diterbitkan salinannja dalam bahasa Djawa. Selain nama MrJ. H. Abendanon disebut-sebut pula didalamnja nama Njonja G. H. van Deventer jang berdjasa bagi kemadjuan kaum wanita Indonesia.

Didalam buku Dr Soetomo 'Kenang-kenangan', jang ditulis untuk memenuhi permintaan sahabatnja, H. Kraemer di Bogor, diperingati a.l. djasa-djasa dan budi orang-orang Belanda: Dr H. F. Roll, Dr E. F. E. Douwes Dekker, D. van Hinloopen Labberton dan sebagainja.

Pernah karena pertentangan antara pergerakan Indonesia dengan golongan Belanda sangat meruntjing, redaksi harian 'Suara Umum' selalu menulis kata 'Belanda' dengan huruf b ketjil, dengan tidak setahu Dr Soetomo sendiri. Hal itu ditegur oleh seorang Belanda. Dengan tidak malu-malu Dr Soetomo menjatakan dengan terus-terang akan kekeliruan sikap jang menurut pendapatnja karena sentimen belaka itu. Sedjak itu tjara menulis demikian tadi tidak dipakai lagi, sungguhpun kritik-kritik masih terus dilakukan dengan hebatnja.

Sebagai seorang anggota keluarga dan saudara jang tertua, Dr Soetomo berlaku sebagai pengganti ajahnja terhadap enam orang adik-adiknja. Meskipun pada waktu ketjilnja sering hidup terpisah dengan ajah-ibu, pada hari tua tampak besar pula tjintanja kepada orang tuanja.

Kesehatan ibunja selalu diperhatikannja dengan sungguh-sungguh. Pada suatu kali Dr Soetomo menghadap ibunja di Solo; segera nampak padanja, bahwa ibunja dalam keadaan sangat lemah. Setelah diketahuinja, bahwa ibunja sedang berpuasa, dengan pandjang-lebar Dr Soetomo memberikan penerangan tentang wadjib dan tidaknja orang berpuasa menurut adjaran agama, dan dengan lemah-lembut dibudjuknja ibundanja, supaja suka berhenti berpuasa untuk mendjaga kesehatan. Achirnja sang ibupun menuruti nasihat anaknja dan sedjak itu untuk selandjutnja barulah berpuasa, apabila badannja benar-benar sehat.

Djuga anggota keluarganja jang lain selalu diperhatikan keadaannja. Ia merasa senang, apabila mereka itu mendapat kesenangan, sebaliknja sangat sedih, apabila ada jang menderita kesukaran dalam hidupnja. Pernah ia menangis, karena mengetahui seorang kemanakannja perempuan bertengkar dengan suaminja.

Diantara kemanakannja jang perlu disokong, terutama untuk peladjarannja, diberikan sokongan seperlunja. Tetapi orang lainpun tidak sedikit jang diberinja sokongan, diantaranja ada jang dibantu dengan diam-diam, agar bantuan itu tidak diketahui orang.

Pada waktu Dr Soetomo sudah meninggal dunia dan djenazahnja tengah disutjikan dirumahnja, di Simpang Dukuh, Surabaja, datanglah seorang pemuda jang menjerbu ketempat djenazah disutjikan itu sambil menangis dan menjebut-njebut: 'Bapakku, bapakku!' Semua anggota keluarga dan orang-orang jang hadlir lainnja, heran tertjengang-tjengang dan mengira, bahwa pemuda itu sakit ingatan, karena ia bukan anggota keluarga, bahkan tak ada orang jang kenal padanja.

Belakangan orang mengerti, bahwa pemuda itu adalah salah seorang dari mereka jang dengan diam-diam disokong beaja sekolahnja oleh Dr Soetomo. Pemuda jang menangis itu adalah seorang murid N.I.A.S. di Surabaja, jang kemudian dapat melandjutkan sekolahnja pula, dan kini telah mendjadi dokter, ialah Dr Abdulmanap.


PERNJATAAN ORANG-ORANG TERKEMUKA TENTANG DR SOETOMO

Pendapat seseorang tentang sifat orang lain jang semurni-murninja ialah apabila djarak antara kedua orang itu tidak terlalu dekat, sehingga pendapat itu tidak mudah dikeruhkan oleh sentimen perseorangan. Dalam pada itu djarak jang paling djauh antara kedua orang itu adalah djika orang jang dilukiskan sifat dan tabiatnja itu sudah meninggalkan dunia jang fana ini.

Pernjataan orang-orang terkemuka tentang Dr Soetomo sebagai manusia dan sebagai pedjuang untuk kemuliaan bangsa, jang dilahirkan setelah almarhum itu meninggal, seperti terdapat dalam kutipan-kutipan dibawah ini, dapatlah kita anggap sebagai pernjataan-pernjataan jang tulus dan djudjur, bebas dari pelbagai prasangka dan sentimen.

Sanusi Pane, pudjangga jang terkenal itu, jang dimasa itu bergerak aktif dalam Gerindo (Gerakan Rakjat Indonesia) menjatakan:

„. . . . . . Kita semua berdoa agar Dr Soetomo dapat sembuh dari sakitnja, karena kita merasa, bahwa beliau masih sangat diperlukan bagi bangsa kita. Tetapi doa kita tidak terkabul. Allah telah memanggil beliau kembali keasalnja. Memang Allah lebih mengetahui terhadap hamba-Nja. Kita semuanja menurut dengan pudjaan terhadap kebidjaksanaan-Nja. Meskipun demikian, kita merasa berduka-tjita. Kita ini manusia dan tidak sempurna.

Soetomo sudah meninggal dunia. Sesudah beliau bekerdja dan berdjuang selama seperempat abad untuk kepentingan bangsa dan tumpah darahnja. Beliau lahir didalam masa pergerakan nasional mulai tumbuh dalam pembentukannja jang njata, dan sedjak itu hidup beliau melulu hanja untuk keperluan memadjukan bangsanja. Mengorbankan perasaan, mengorbankan kesenangan, mengorbankan harta benda. Beliau besar sebagai pengandjur. Djuga besar sebagai manusia. Siapa jang sedang berhadapan muka dengan beliau, pasti merasa tengah berhadapan dengan manusia jang mulia, jang njata-njata tidak mengemukakan 'aku'-nja, melainkan benar-benar mempersatukan djiwa dengan rakjat. Segala lapangan selalu diperhatikan. Beliau
Dr Soetomo beramah-tamah dengan penduduk kampung.
berdjoang dalam lapangan politik, tetapi djuga giat bekerdja dilapangan pengadjaran, bekerdja dalam dunia pers, untuk pengetahuan, untuk amal, pun djuga memperhatikan soal kebudajaan.

Dalam segala lapangan itu, beliau memberikan teladan, mengandjurkan atau menggembirakan. Hidupnja memang gembira dan selalu mendorong untuk bekerdja dan berdjoang. Njata sekali beliau itu seorang pemimpin besar dan manusia jang luhur. Kini daja hidupnja telah padam, tetapi namanja akan mendjadi peringatan bangsa untuk selama-lamanja, akan selalu menggembirakan hati dan memperkokoh semangat.

Barisan rakjat jang berdjalan menudju pada tjita-tjitanja, diam sedjenak, memberikan saluut pada salah seorang pemimpin besar jang sedang berlajar kezaman jang kekal'.

Hadji Agus Salim memperingati marhum Dr Soetomo sebagai berikut:

'Diantara beribu-ribu jang telah meninggal dunia tiadalah meninggalkan bekas dan tempat terluang. Peribasanja: Datang tiada menambah djumlah, pergi tiada mengurangi bilangan. Tetapi terhadap diri Dr Soetomo tidak demikian halnja. Bepergiannja kerachmat Allah telah meninggalkan bekas dan tempat terluang jang susah ditjarikan gantinja. Sedjak lahirnja pergerakan nasional hingga 30 tahun beliau selalu memegang pimpinan, selalu dengan kesungguhan hati dan dengan ketjakapannja jang sukar ditjari tolok bandingnja, apapula jang melebihi. Hidup, suara, tindakannja didalam pergerakan bangsa kita telah memberikan bekas jang tidak akan musna. Ia lahir ditengah-tengah dunia Islam, moga-mogalah Allah Ta'ala melimpahkan 'Husn -al Chatmah'. Hendaknja mendapat rachmat Allah dan mudah-mudahan pengorbanan dan kebaikannja dilebihkan dari segala keutamaannja serta dilimpahkan pengampunan segala kekurangan dalam tindak dan niatnja'.

Tuan W. Wondoamiseno, ketua Dewan Partai Sarekat Islam Indonesia, jang turut serta pada waktu penguburan djenazah Dr Soetomo, menulis tentang pribadi marhum Dr Soetomo a.l.:

'Dr Soetomo gemar memberikan pertolongan atau bantuan, sampai-sampai pada golongan jang mendjadi lawan dalam perdjoangan, asal sadja dimadjukan permintaan. Pertolongan atau bantuan ini diberikan dengan ichlas, meskipun beliau mengetahui akan menderita kerugian bagi dirinja sendiri.

Ia senantiasa ramah-tamah dan suka bergaul dengan siapa sadja, meskipun dengan orang jang berlawanan dengan tudjuannja.

Apa jang dilahirkannja, itulah pula isi hatinja.

Sebagai pemimpin ia tidak suka membeda-bedakan tentang deradjat; baik orang miskin atau kaja, berpangkat atau tidak, semuanja dipandang sama sebagai sesama machluk Tuhan.

Kalau bekerdja untuk kepentingan Nusa dan Bangsa, tidak kenal pajah dan lelah, menudju tjita-tjita jang gemilang ialah kemerdekaan Indonesia.

Djarang terdapat dalam sedjarah pergerakan, seorang pemimpin jang mempunjai tjita-tjita luhur dan mengerdjakan sendiri tertjapainja tjita-tjita itu hingga disaat achir usianja. Karena itu, sudah semestinja rakjat melahirkan duka-tjitanja jang tiada terhingga, dan memang kita akui betapa besar amal dan pengorbanan jang sangat mulia itu'.

Ketua Partai Politik Katholik Indonesia, I. J. Kasimo, setelah dengan pandjang-lebar menguraikan riwajat hidup dan perdjoangan Dr. Soetomo, telah berkata, bahwa almarhum itu njata seorang pemimpin dan ksatria bagi Nusa dan Bangsa Indonesia, karena segala ketjintaan terhadap Tanah Air dan Rakjat tidak hanja diutjapkannja belaka, melainkan dikerdjakan dengan penuh tenaga dan pikirannja. Persatuan Muslim Indonesia (Permi), sebuah partai Islam revolusioner jang kemudian dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda, tak ketinggalan pula melahirkan penghormatan terhadap almarhum Dr Soetomo, jakni dengan perantaraan tulisan Rasuna Said dalam madjalah 'Menara Puteri', jang bunjinja demikian:

'Djarang orang jang mempunjai sifat ksatria, rela berkorban, berani, merdeka berfikir, lantjar menulis dan djuga mahir berpidato. Tetapi Tuhan telah menakdirkan sifat-sifat jang utama itu pada tuan! Orang-orang tentu tidak akan lupa akan sifat-sifat tuan jang senantiasa sebagai ksatria terhadap lawan dan kawan. Orang tidak akan lupa terhadap kedermawaan tuan mengorbankan segala milik tuan, mengorbankan pikiran, tenaga dan harta benda; djuga uang, karena sudah bukan rahasia lagi, bahwa segala hasil uang jang tuan kumpulkan achirnja tuan dermakan sebagai amal. Tidak akan dilupakan keberanian tuan melaksanakan pekerdjaan jang sudah tuan jakini kebaikannja, sungguhpun pada mulanja terkadang mendapat halangan dan tjelaan. Pun pula keichlasan hati serta keteguhan kemauan tuan disaksikan orang banjak.

Dr Soetomo! Tuan tidak mengandjurkan orang lain berkorban, sedangkan tuan sendiri tidak melakukannja. Pun tuan tidak berkata tjinta Tanah Air dan Bangsa, sedangkan hati tuan bentji. Tidak, tidak, tuan tidak sedemikian! Tuan telah berkata agar kaum terpeladjar madju memimpin rakjat, memberikan obor penerangan, karena kalau bukan kaum terpeladjar, siapakah jang akan melakukannja? Kita sebagian daripada kaum itu, tidak hendak dipisahkan. Kemuliaan kita adalah kemuliaan kita djuga, kehinaan kita adalah kehinaan kita sendiri pula. Andjuran tuan itu sudah tuan buktikan dengan perbuatan sehingga mengchawatirkan bagi pangkat tuan. Tetapi dengan keberanian tuan jang ichlas itu tuan telah mendapat penghormatan jang njata, jang sedjati, baik dari kawan maupun lawan. Karena tuan insjaf akan nilai diri tuan'.
Gedung N.V. Bank Nasional Indonesia, buah usaha Dr Soetomo, jang telah banjak djasanja bagi perkembangan perdagangan dan perekonomian bangsa Indonesia.
Pada penutup tulisannja, Rasuna Said berkata: 'Kita ichlaskan tuan sekarang, meskipun dengan hati jang berat, — alam dan suasana turut ribut, ketika tuan meninggal dunia ―. Kita jang tuan tinggalkan akan melandjutkan langkah kearah tjita-tjita tuan. Marilah para putera-puteri kita, kita tjapai idaman bapa kita itu. Kita wadjib melandjutkannja. Sudah tidak sesukar lagi sebagai jang telah

ditempuh oleh almarhum bapa kita itu. Marilah saudara-saudari, tundjukkan ketjintaan pada bapa almarhum kita dengan menjelesaikan pekerdjaan jang belum selesai'.