Lompat ke isi

Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960/Bab 5

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960  (1993) 
Tim Penyusun Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960
Bab V - Manusia dan Manusia Lain

BAB V

MANUSIA DAN MANUSIA LAIN

5.1 Pengantar

Di antara makhluk ciptaan Tuhan, manusia adalah makhluk yang paling sempurna di muka bumi ini. Namun, kesempurnaan manusia tetap ada batasnya. Keterbatasan manusia, antara lain, tampak dari tidak mungkinnya manusia hidup seorang diri, tanpa manusia lain. Seorang manusia senantiasa memerlukan kehadiran manusia lain untuk kesempurnaan keberadaan dirinya. Namun, di sisi lain, kehadiran manusia lain itu juga menimbulkan masalah. Seorang manusia, di samping mampu menjalin kerja sama dalam hubungannya dengan orang lain, pada dirinya juga tersimpan potensi konflik dengan manusia lain. Oleh karena itu, dalam hubungan manusia dengan manusia lain dapat dikatakan terdapat dua corak yang mendasarinya, yaitu keselarasan/keserasian dan konflik.

Wujud hubungan manusia dengan manusia lain biasanya berupa hubungan antarpersonal. Corak kerja sama pada umumnya memperlihatkan hubungan antarpersonal yang saling mengisi, memberi, dan melengkapi. Sementara itu, hubungan antarpribadi yang diwarnai konflik menunjukkan pola hubungan yang bercorak pertentangan. Berikut ini citra-citra manusia yang mengungkapkan masalah hubungan manusia dengan manusia lain yang terdapat dalam puisi Indonesia tahun 1920—1960, yang dalam tulisan ini berasal dari 50 sajak.

5.2 Citra Manusia yang Cinta Keluarga

Puisi Indonesia tahun 1920—1960 yang mengemukakan masalah hubungan manusia dan manusia lain cukup banyak yang menampilkan citra manusia yang cinta keluarga, terutama dalam puisi sebelum kemerdekaan. Dari 50 sajak yang mengemukakan masalah hubungan manusia dan manusia lain terdapat 16 sajak yang mengungkapkan citra manusia yang cinta keluarga. Hubungan antarpersonal yang mendalam pada umumnya memang terjadi pada dua pribadi yang saling memiliki hubungan darah ataupun batin, seperti orangtua—anak, seseorang dengan kekasihnya. Namun, dapat juga terjadi antara dua pribadi yang tak mempunyai hubungan darah terjalin hubungan yang erat dan dalam, yang merasuk ke dalam batin.

Sajak Seleguri, "Ratap Ibu" mengungkapkan duka hati seorang ibu yang ditinggal mati anak gadisnya: Di hari raya, saat ia mengharapkan anak gadisnya menjadi penerima handai tolan yang berkunjung, justru semua itu tinggal kenangan karena anak gadisnya telah tiada, sehingga

....

Anakku, kekasih ibu,
Buah hati junjungan ulu;
Lengang rasanya kampung negara,
Sunyi senyap di hari raya,
Bunda sebagai hidup sendiri,
Selama tuan ta' ada lagi.

Tidak berguna sawah dan benda,
Emas intan tidak berharga;
Rumah besar rasa terbakar,
Untuk siapa kekuatan bunda.

Aduh kekasih, aduh nak sayang,
Di mana tuan terbaring seorang;
Bawalah ibu sama berjalan,
Mengapa bunda tuan tinggalkan.

(Pujangga Baru, V/1, Juli 1937)

Dari larik-larik di atas terbayang sosok seorang ibu yang demikian sayang pada anaknya meskipun barangkali dapat juga dikatakan sebagai seorang manusia yang cengeng karena meratapi kematian anaknya. Sosok seorang ibu yang sayang pada anaknya itu juga ditampilkan Seleguri dalam sajaknya yang lain "Petaruh Ibu": Seorang ibu menasihati anaknya yang berangkat dewasa. Salah satu nasihat itu demikian.

Ingat tilikan pergunakan mata
Bedakan syare'at dengan hakikat
Intan dan baja sama berkilat
Usah samakan emas tembaga.

(Pujangga Baru, V/6, Desember 1937)

Kecintaan pada anak itu juga terungkap dalam sajak Hamka, "Dalam Penjara": Di hari raya, dalam penjara, seorang ayah yang ditahan karena membela tanah airnya, terkenang akan anak istrinya. Betapa sayang si ayah pada anak-anak dan istrinya itu, terbayang dalam bait-bait ini:

Kalau sentana orang lain, anakku!
Ayah kirimi engkau baju dan kain, pakaian di Hari Raya
Tapi, ciumlah tangan ibumu,
Bimbinglah tangan adikmu.
Pakailah apa yang ada, dan pergilah ke mesjid!
Pakaian ayahmu banya pakaian orang rantai.

Ayah teringat dikau anakku,
Abang tersedar engkau istriku.
Ingat sahabat dan handai tolan, aku ingat rumah tanggamu.
Di mana Matahari tanah airku memancarkan sinarnya.
Sedang aku sendiri, dilingkung oleh tembok yang tinggi
Dihambat oleh dinding yang pucat.

O diri, berhentilah engkau mengeluh.
Air mata! berhentilah engkau jatuh!
Bukan lantaran mencuri aku dipenjara,
Bukan lantaran merampok aku masuk bui,
Tapi buat kehormatan 'ku, o ummat!
Buat kemuliaan tumpah darahmu!

Berhentilah menangis anak,
Pakailah pakaian apa yang ada
Sekalah air matamu, o buah hatiku!
Doakan abang lekas pulang ....

(Pedoman Masyarakat, 11/41—42, 10 Desember 1936)

Dari larik-larik di atas terbaca citra seorang laki-laki pejuang yang juga seorang bapak yang bertanggungjawab dan sayang pada anak istrinya. la rela berkorban untuk keduanya: tanah air dan keluarga.

Sajak A.M.Dg. Mijala berikut, "Buruh", menampilkan pula sosok seorang suami yang cinta dan setia pada istrinya. Karena cintanya pada istrinya, segala bebannya sebagai seorang buruh dijalaninya dengan tabah. Pahit getir sebagai seorang buruh tidak begitu terasa karena ia pun tahu istrinya selalu setia mendampinginya dalam situasi apa pun, seperti terungkap dalam larik-larik berikut.

....

Semenjak pagi sudah begitu
Sampaikan petang baru berenti
Lelah penat tidak terasa
Demikian asyik menulis harta.

Bukan harta punya sendiri
Hanya harta punya majikan
Harta sendiri hanya tenaga
Tenaga badan dan pikiran.

Kapan pulang terasa penat
Istri di rumah pun dapat kerja ...

Habis bulan terima gaji

Debet kredit dihitung ulang
Sekali ini harta sendiri
Membuat pusing kepala pening.

....

Bulan masuk tahun pergi
Nasib buruh tidak berubah
Siang-siang tangan penuh
Pulang balik tangan kosong.

Isteri di rumah setia terus
Senang susah sama dipikul ....

(Pujangga Baru, IV/12, Juni 1937)

Sementara itu, dalam sajak Mosaza, "Ziarah", tampak pengabdian seorang anak pada mendiang ibunya yang lahir dari hati yang tulus, seperti terbaca dalam larik-larik berikut.

Kudengar resikan fajar mengeluh, lembut-lemah.
Kusadari! badanku lembab di embun, menyejukkan rasa
hati-perasaan, mendinginkan pikiran-kepala yang berat.

Kuberdiri dari memeluk nisan, walau badan lesu
letai, persendian lemah-kaku.
Kupetik bunga yang melingkungi peristirahatan,
ibuku itu, kutanam dulu dengan cinta-kasih sembah-
gairatku, ketika ia baru tiga berjalan.
Ranting sudah menjadi batang, batang ranting
meranting, daun rindang-merimbun, penampung luruh lisut
Kuambil empat kuntum, empat macam bunga, dari satu
satu sudut, dua-dua semacam warnanya.
Kuberdiri tentang kepala, kulurut penampung satu
per satu penampung berbuat menghampar, rata tidak
tertutup belum.
Merah-putih selimutnya, redam-halus, gilang-gemilang
di sinar emas, menyelisik masuk, dari celah ranting.
Ibu! itu baharu persembahanku ...

(Pujangga Baru, II/3, September 1934)

Larik-larik di atas memperlihatkan pada kita citra seorang manusia yang berbakti pada ibunya, pada orang tuanya. Citra serupa terdapat juga dalam sajak Fatimah H. Delais, "Keluhan Kalbu":

....

Memandang bunga
Di taman Ibunda
Banyak terkulai lemah sayu
Termangu selalu ditampar mutu.

Daku tersedar
Sukma bergetar
Dari segi ratapan jiwa
Kugubahlah dia di "taman pujangga"

Gubahan berisi
"Keluhan" kalbu
Mengalir memenuhi rekaan kata
Dalam kegelapan malam duka.

Dengarlah angin membisikkan pesan
Pesan beralun dari kuburan
"Berkembanglah wahai puspa rupawan
Membumbung harum ke mega kebah'giaan"

(Pedoman Masyarakat, II/39, 18 November 1936)

Kedekatan batin dengan ibu yang dirasakan oleh aku lirik bahkan telah memberi si aku lirik inspirasi, semangat hidup, untuk meraih cita-cita, kebahagiaan hidup di dunia, seperti diungkapkan penyair dalam bait terakhir. Dengan demikian, citra ibu di sini menjadi gantungan jiwa, tempat si anak mengadukan nasib dan memperoleh kekuatan jiwa.

Citra seorang anak yang berbakti kepada orang tuannya juga diperlihatkan M.R. Dajoh lewat sajaknya "Pekerjaan Anak". Dalam sajak itu, seorang anak kecil telah bekerja keras, menanggung beban hidup yang berat tanpa berkeluhkesah, demi meringankan beban hidup bapaknya, seperti terungkap dalam larik-larik berikut.

....
Panas-terik membakar punggung,
punggung panas tak berbaju!
Anak kecil telah menanggung
kehidupan di atas batu.

....
"Saya berhenti dahulu!
"Bahu sakit ditekan beban!
"Nanti dahulu Bapak! Tunggu!
"Saya besar! Beban ringan!

"Saya suka menolong Bapak!
"Saya pikul beban berat.
"Lihat tangan saya, bapak!
"Kaki, tangan bertambah kuat!

"Seperti besi kekuatan saya!
"Saya kuat, ya, bapak?"
Anak memikul dengan payah,
Beban berat berderak-derak.

Jalan panas berbengkok-bengkok.
Memikul beban terengah-engah.
Anak kecil membungkuk-bungkuk,
bekerja seperti orang tua!

(Syair untuk A.S.I.B., tanpa tahun)

Kasih sayang tulus seorang ibu kepada anaknya juga tampak dalam sajak-sajak W.S. Rendra yang lain, misalnya dalam sajak "Ada Tilgram Tiba Senja" (Ballada Orang-orang Tercinta: 26—27) yang menunjukkan betapa besar rasa sayang seorang ibu kepada anaknya: ia mengharapkan anaknya pulang di saat anaknya mendapat kemalangan, bukan ketika anaknya sedang dalam keadaan senang.

Seorang ibu bersedia berkorban demi anaknya, biarpun anaknya itu seorang "yang diburu segenap penduduk kota", seorang yang melakukan tindak kriminal, seperti yang dilukiskan dalam sajak W.S. Rendra berikut.

TANGIS
Ke mana larinya anak tercinta
yang diburu segenap penduduk kota?
Paman Doblang! Paman Doblang!

Ia lari membawa dosa
tangannya dilumuri cemar noda
tangisnya menyusupi belukar di rimba.

Sejak semalam orang kota menembaki
dengan dendam tuntutan mati
dan ia lari membawa diri
seluruh subuh, seluruh pagi.

....

Kalau kotor warna jiwanya
ibu cuci di lubuk hati.

Cuma ibu yang bisa mengerti
ia membunuh tak dengan hati.

Kalau memang hauskan darah manusia
suruhlah minum darah ibunya.

....

Paman Doblang! Paman Doblang!
Kalau di rimba rembulan pudar duka
katakan, itulah wajah ibunya.

(Ballada Orang-orang Tercinta, 1957)

Ketulusan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya biasanya mendapatkan balasan yang setimpal dari anaknya seperti yang digambarkan dalam sajak Djamil Suherman "Kepada Ibuku" yang mengungkapkan perasaan sayang dan rindu seorang anak kepada ibunya, meskipun semasa ibunya hidup ia pernah melukai hati ibunya itu.

KEPADA IBUKU

Yang kini terbaring tak kenal cintaku
masih tergores di kenang ramah dan kasihmu
masih tergores rasa ikhlas dan duka citamu
sepercik senyum kala menanggung

dan mengantarmu ke haribaan kuning
ah tak kukenal lagi lesung jasadmu
di dekapan pagi begini dingin

Yang dulu kulepas bertambat tangis
begini lelap dalam dekapan dua tugu
meliak lukaku parah di dada
kerna hati penuh ingkar

Kini tak kudengar lagi dendang sayangmu
saat-saat rindu menbekam tak ramah lagi padaku
Jika jalan-jalan penuh simpang tak lagi
tahu pilihanku - hanya kerdip mata
betapa inginku rebah di sisimu

Yang kini terbaring tak terasa hembusan panas napasmu
Wewangian sorga yang pemah kau taburkan untukku
tajam membekas di bawah telapak kakimu
tidakkah cinta memaafkan
kutinggalkan doa dalam naungan

....

(Nafiri, 1983)

Rasa cinta kepada ibu memiliki nuansa yang berlainan dengan rasa cinta kepada kekasih. Dalam sajak W.S. Rendra "Gerilya" terasa kuat sekali rasa cinta kepada ibu. Seorang gerilyawan muda belia nekad menyusup ke tengah kota karena kuat keinginannya mengubur jenazah ibunya yang menjanda. Namun, remaja belia itu akhirnya gugur ditembus peluru Belanda. Orang kampung mengenali mayatnya dan kemudian menguburkannya.

GERILYA

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki terguling di jalan.

Angin tergantung
terkecap pahitnya tembakau
bendungan keluh dan bencana.

Tubuh biru
tatapan mata biru
Ielaki terguling di jalan.

Dengan tujuh lubang pelor
diketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
melepas kesumatnya.

....

Orang-orang kampung mengenalnya
anak janda berambut ombak
ditimba air bergantang-gantang

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki terguling di jalan.

Lewat gardu Belanda dengan berani
berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubur ibunya.

(Ballada Orang-orang Tercinta, 1957)

5.3 Citra Manusia yang Dilanda Cinta Asmara

Di antara sajak-sajak yang mengemukakan masalah hubungan manusia dengan manusia lain terdapat 21 sajak yang mengungkapkan citra manusia yang dilanda citra asmara. Dalam sajak-sajak yang mengungkapkan citra manusia yang dilanda cinta asmara tersebut pada umumnya tergambar tiga situasi, yaitu kedua belah pihak saling mencinta, salah satu merindukan yang lain, atau kedua belah pihak dilanda kemelut cinta. Sajak Yogi berikut ini, "Menyiangi Padi", misalnya, mengungkapkan dua insan muda yang saling dirundung kasmaran, seperti terbaca dalam larik-larik di bawah ini.

Tengah naik gerang matahari,
Anak dara menyiangi padi;
Rumput dikais sambil berdendang,
Berpantun, bersajak menunjukkan sayang.

Suara membubung dalam udara,
Halus manis sadu perdana:
Padi dibelai sepenuh hati
Berat tanggungan rupanya Sitti.

Dari jauh suara bergema,
Bunyi seruling muda teruna;
Lagu kandung cinta berahi,
Menyeruh kekasih belahan diri.

Anak dara tegak termangu,
Mendengar seruling bagai menyeru;
Darah di dada berdebar-debar,
Hati terpikat bagai dijantur.

Setelah tiba muda belia,
Malu sangat rupanya dara;
Tersenyum sipu muka berseri,
Memandang ke lambaian daun padi.

Sama bingung muda teruna,
Dipanah Amor tegak terlena;
Had kedua bersabung cinta,
Gemuruh perjuangan iman di dada.

(Pujangga Baru, III/10, April 1936)

Dari larik-larik di atas tampak pada kita bahwa si aku lirik adalah sosok manusia, yang ketika sedang dilanda kasmaran, lemah, tak berdaya tanpa kehadiran kekasihnya. la begitu bergantung pada curahan sayang kekasihnya, yang mampu memberinya gairah hidup, tetapi belum juga kunjung datang.

Sosok manusia yaiig melankolik ketika sedang daiam kasmaran terbaca juga daiam sajak Amir Hamzah, "Buah Rindu II". Kekasih yang dipuja-puja tetapi tak ketahiian ujung pangkalnya menjadikan si aku lirik berpaling pada maut (’Datanglah engkau wahai maut/Lepaskan aku dari nestapa/Engkau lagi tempatku berpaut/Di waktu ini gelap gulita.’). Akan tetapi, maut tak juga mengakhiri derita asmaranya. Kekasih yang dipuja-puja, dirindui siang malam, tetapi tak juga kunjung jumpa, mengakibatkan si aku lirik tersiksa dan terbakar dalam api cintanya, seperti terungkap dalam larik-larik ini.

Sesa'at sekejap mata beta berpesan
Padamu tuan aduhai awan
Arab manatah tuan berjalan
Di negeri manatah tiian bertahan?

Sampaikan rinduku pada adinda
Bisikkan rayuanku pada juita
Liputi lututnya muda kencana.
Serupa beta menieluk dia.

Ibu, konon jauh tanah Selindung
Tempat gadis duduk berjuntai
Bonda hajat hati memeluk gunung
Apatah daya tangan ta' sampai.

Elang, Rajawali burung angkasa
Turunlah tuan barang sementara
Beta bertanya sepatah kata
Adakah tuan melihat adinda?

Mega telah kusapa
Margasatwa telahku tanya
Maut telah kupuja
Tetapi adinda manatah dia!

(Pujangga Baru, VIII/12, Juni 1941

Larik-larik itu menampakkan pada kita sosok kekasih setia, yang mati-matian berusaha menemukan gadis kecintaannya yang menghilang tak tentu rimbanya. Demi gadis kecintaannya, ia rela menyerahkan diri pada maut—yang malangnya tak kunjung datang menjemputnya. Tinggallah ia sendiri terbakar api cintanya.

Pertentangan kadangkala muncul dalam hubungan antarpribadi. Ketidakmampuan menerima dan memahami manusia lain dalam hubungan antarpribadi itu barangkali yang menjadi penyebab timbulnya pertentangan itu. Bisa juga tindakan-tindakan sepihak menjadi picu dalam ketidakselarasan hubungan antarpribadi, seperti yang terungkap dalam sajak Hamka, "Sampai Hati". Dalam sajak Hamka itu, si aku lirik ditinggal kekasihnya, seperti dinyatakan dalam larik-larik ini.

Setelah itu dian dari pengharapan menjadi nyala,
Dihembus-hembuskan dengan sejuk oleh nafasmu yang turun naik,
Sekarang kau pergi, kau biarkan dian 'tu padam,
Kini, aku tinggal seorang diri dalam kegelapan.
Kau sendiri yang telah menanamkan asmara dalam jiwaku,
Kau sendiri yang telah memupuk dengan tanganmu yang halus,
Sekarang itu tanaman kau cabutkan dan kau berangkat pergi ...
Melengonglah sejenak ke belakang, tengoklah tanamanku takkan
tumbuh lagi.

Kau sendiri yang telah membina mahligai dalam kebon cita-citaku,
Kau sendiri yang menjadi baas dan tukangnya.

Sekarang mahligai itu kaubiarkan runtuh,
Aku, aku telah tinggal dalam kedinginan malam, kau tak perduli
     lagi.

Kau telah didik hatiku dalam kemanjaan,
Kau telah ajar jantungku dalam pengharapan,
Ah, itu dian yang padam, itu bunga yang tercabut,
Itu mahligai yang telah runtuh ....

(Sunyi Puja, 1948)

Larik-larik sajak Hamka tadi memperlihatkan pada kita citra manusia yang luruh semangat hidupnya karena ditinggal kekasihnya. Tanpa kekasihnya, seolah-olah ia hidup dalam kesendirian dan terkurung dalam kenestapaan. Sekaligus ini menunjukkan kepada kita, betapa konflik dalam suatu hubungan antarpribadi akan memporak-porandakan salah satu pihak: salah satu akan menjadi korban. Atau barangkali itu sekadar gambaran diri yang tidak siap menjadi korban, gambaran diri yang tidak siap ditinggalkan, sehingga secara tidak langsung menghadirkan citra manusia yang kurang tegar dalam perjuangan hidupnya.

Citra manusia serupa terdapat juga dalam sajak Yogi, "Di Mana Hatiku Tak Kan Pilu": aku lirik yang berlarut-larut dalam kepiluannya karena ditinggal kekasihnya, seperti terungkap dalam larik-larik berikut.

....

Bintang di langit berkilap-kilapan,
Pungguk merindu di pohon kayu;
Adinda membantu-patung pujaan,
Di mana hatiku tak kan pilu.

Dari jauh beta kemari,
Menurutkan hati disayat rindu;
Tuan melengos berdiam diri,
Di mana hatiku tak kan pilu.

Keluh kesah mendayung sampan,
Mengharap jiwa hendak bersatu;
Arah tuan memutuskan harapan,
Di mana hatiku tak kan pilu.

Aku memetik puspa di hati,
Untuk suntingan sanggul jiwaku;
Tuan mengabaikan emas sekati,
Di mana hatiku tak kan pilu.

(Panji Pustaka, X/22, 15 Maret 1932)

Bila dalam sajak "Sampai Hati" dan "Di Mana Hatiku Tak Kan Pilu" si aku lirik merasa sengsara karena ditinggal kekasihnya, dalam sajak Armijn Pane, "Aku Cuma Si Gelung Ciyoda", si aku lirik justru menampik cinta orang lain yang mencintainya karena merasa diri hina. Dirinya yang hanya seorang pelacur, dirasanya tidak patut menerima cinta yang murni yang datang dari orang lain, seperti terungkap dalam larik-larik ini.

....
Aku cuma si gelung ciyoda,
Barang siapa bolehlah punya,
Mengapa tuan cinta pada saya,
Aku cuma si gelung ciyoda.

Tuan bodoh suka percaya,
Pada bibir si gelung ciyoda,
Manis senyuman, racun jiwa,
Aku cuma si gelung ciyoda.

Jangan percaya di air mata,
Kesedihan hati si gelung ciyoda,
Cuma buat-buatan saja,
Aku cuma si gelung ciyoda.

Jangan aku dicinta lama-lama,
Bersua cuma sekali saja,
Lalu sepakkan diri saya,
Aku cuma si gelung ciyoda.

Aku cuma si geiung ciyoda,
Kekasih orang di jalan raya,
Apa yang dipandang pada saya,
Aku cuma si gelung ciyoda.

(Gamelan Jiwa, 1960)
Biarpun dari larik-larik tadi tampak pada kita sosok manusia yang hina martabatnya, terbaca juga dari sikapnya ketika menampik cinta seorang laki-laki pancaran kebesaran jiwanya. Ia tidak mau melihat seorang laki-laki terjebak dalam cintanya yang semu. la tidak ingin ada orang lain yang menjadi korban keadaan dirinya. Karena itu, jarak yang barangkali telah tercipta antara dirinya dengan laki-laki yang mencintainya, tetap ia pertahankan. Akhirnya, jarak tetap saja membentang: dua dunia yang tak akan pernah bertemu.

Keinginan bersahabat dengan orang lain dapat timbul karena berbagai hal. Rasa kagum terhadap seseorang juga dapat menimbulkan keinginan bersahabat, seperti yang diungkapkan dalam sajak Rival Apin "Puteri Bening" tentang seorang pemuda kota yang merasa kagum terhadap keluguan, kesederhanaan, kesucian, dan kecantikan gadis desa.

PUTERI BENING
Kenangan bagi gadis desa-gunung
pagi dingin
pancuran dengan air putih bening
air sembahyang, telekung putih jernih

suci bening membungkus segala, selain muka
hidup bercahaya mata, merah membasah bibirmu
merkah
jelita menghimbau

senyuman, suci bening
sederhana sorga!
pemuda kota ini tepekur terpesona memandang

(Jassin, 1959: 390)

Kekaguman seorang pemuda terhadap kecantikan seorang gadis merupakan benih-benih berseminya cinta. Akan tetapi, tidak jarang kekaguman itu berhenti pada kekaguman saja, atau hanya berkembang sebatas persahabatan saja. Dalam sajak Kirjomulyo "Ke Pasar" (Romansa Perjalanan: 133), seorang pemuda mengagumi seorang gadis, tetapi belum sampai jatuh cinta: 'Dan wajah yang dibawa/begitu mengesan dalam diri//Tapi itu bukan cinta/hanya serupa lonjakan'. Pada sajaknya yang lain "Jalan Jempiring", kekaguman terhadap seorang gadis menimbulkan kebimbangan antara rasa cinta dan kagum. Akan tetapi, semua itu akhirnya hilang terbawa perjalanan waktu.

JALAN JEMPIRING

Derai daunan tiba perlahan
beserta keinginan senja
bersama seujud wajah wanita

Aku tertegun
antara hati dan puisi
bersilang antara dua kehendak

Ke mana akan pergi
menuruti hati
atau menuruti hari

Dan langit baru melupakan
keduanya

(Romansa Perjalanan, 1979)

Cinta merupakan salah satu ungkapan perasaan bahwa seseorang membutuhkan orang lain. Cinta seorang pemuda kepada seorang gadis atau sebaliknya dapat terjadi pada pandangan pertama seperti yang terbaca dalam sajak Chairil Anwar "Lagu Biasa"; si aku lirik jatuh hati kepada seorang gadis pada jumpa pertama di sebuah rumah makan. Keduanya langsung akrab seperti sudah lama berkenalan.

LAGU BIASA

Di teras rumah makan kami kini berhadapan
Baru berkenalan, Cuma berpandangan
Sungguhpun samudra jiwa sudah selam-berselam

Masih saja berpandangan
Dalam lakon pertama
Orkes meningkah dengan "Carmen" pula.

Ia mengerling. Ia ketawa
Dan rumput kering terus menyala

la berkata. Suaranya nyaring tinggi
Darahku berhenti berlari

Ketika orkes mulai "Ave Maria"
Kuseret ia ke Sana ....

(Kerikil Tajam dan yang Terampas, 1959)

Cinta—di samping manis—acapkali meminta pengorbanan yang menimbulkan penderitaan lahir batin. Dalam sajak W.S. Rendra "Ballada Penantlan", seorang gadis menanti kepulangan sang pacar yang telah berjanji padanya untuk mengawininya sehingga ia rela mengorbankan segalanya, termasuk kedaraannya. Ia terus saja menanti. Bertahun-tahun ia menunggu di depan jendela sampai ibunya meninggal dan adiknya seorang demi seorang berangkat kawin. Ia menampik semua pinangan dan membiarkan sang waktu menggerogoti usianya. Namun, kekasihnya tak kunjung datang sampai pada akhirnya ia pun meninggal dan berkubur di bawah jendela penantiannya. Itulah gambaran tragis hidup dan cinta sang gadis yang telah melepas kedaraannya, tetapi penantiannya ternyata sia-sia. Berikut penggalan sajak "Ballada Penantian".

....

Ia menanti depan jendela, tetes hujan merambat di kaca.
Adik-adiknya sudah dulu ke altar, dada-dada diganduli bayi dan lelaki
lukanya mendindingi dirinya dari tiap pinangan pulang sia-sia.
Ia menanti depan jendela, ketuaan mengintip pada kaca.
Kandungan hatinya mengelukan jumlah kata, seperti kesingupan gua

subuh demi subuh khayal merajai dirinya
makin bersilang parit-parit di wajah, beracun bulu matanya

tatapan dari matanya menggua membakar ujung jalan.
Ia menanti tidak lagi oleh cinta.
Ia menanti di bawah jendela, di kubur dimmbuhi bunga berbatu.
Dendam yang suci memaksanya menanti di situ di kubur di bawah jendela.

(Ballada Orang-orang Tercinta 1957)
Harapan yang sia-sia untuk menggapai hidup bahagia bersama kekasih juga terdapat dalam sajak-sajak Chairil Anwar, misalnya "Cintaku Jauh di Pulau" berikut ini.

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.

(Deru Campur Debu, 1959)

Demikian pula sajak Djamil Suherman berikut.

ELISA

....
Tapi kurasa kini aku pun kelasi
di luar mauku datanglah angin selatan
membawa kapalku jauh melancar
tidak ku tahu kapan aku kembali

Sekali kau bernyanyi
sekali kau pautkan hatiku
membayang segala impian di jauh hari

(Nafiri, 1983)

Cinta itu sebuah misteri, terjalin dengan penuh rahasia dan tidak terduga. Sering terjadi cinta tumbuh dan berkembang dengan awal salihg membenci. Kesediaan menerima kembali kekasih yang telah berkhianat dan meninggalkan merupakan bukti misteri cinta itu, seperti yang diungkapkan Chairil Anwar dalam sajaknya "Penerimaan": si aku lirik bersedia menerima kembali kekasihnya yang telah meninggalkannya—yang sudah tidak suci lagi, 'bak kembang sari sudah terbagi'—karena si aku lirik masih tetap mencintai kekasihnya itu.

PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

 <td style="text-align: center; padding:0.3em; border: solid 1px #a3b1bf; font-size: 110%; background-color:

  1. CEE0F2; width: Kesalahan ekspresi: Karakter tanda baca "[" tidak dikenal.%;">[[{{{link}}}|{{{tab}}}]](Deru Campur Debu, 1959)


Pertentangan atau perselisihan kadangkala juga terjadi antara dua kekasih atau antara keluarga. Hubungan dua kekasih tidak selamanya serasi. Kesalahpahaman sering terjadi sehingga menimbulkan perselisihan, bahkan perpisahan atau perceraian. Dalam sajak Toto Sudarto Bachtiar, "Perempuan" terlukis kehidupan seorang perempuan yang penuh misteri. Karena dirinya penuh misteri yang tak terpahamkan orang lain, kesalahpahaman sering terjadi di antara dia dan kekasihnya. Akan tetapi, ia tidak berani menentang kekasihnya karena khawatir kalau ucapannya mengandung bisa.

 <td style="text-align: center; padding:0.3em; border: solid 1px #a3b1bf; font-size: 110%; background-color:
  1. CEE0F2; width: Kesalahan ekspresi: Karakter tanda baca "[" tidak dikenal.%;">[[{{{link}}}|{{{tab}}}]]PEREMPUAN


Waktu itu, kemelut bulan di ujung pagi
Jamku di atas padang dinihari
Tak jemu kutulis surat beribu di dadanya
Tanpa alamat, kata-kata yang memeras tubuh

Kuusap lagi kisut-kisutnya pada dahi
Aku tahu, kala kuhirup senyumnya panjang sekali
Himpunan mimpi berebahan dipinggirnya
Hidup begini tambah menaruh arti bulan di ujung pagi

Aku selalu bertanya jam berapa dia mau pulang
Pagi, siang, atau harus kuantarkannya kalau hari meremang
Jawabnya selalu tiada. Bisu pada bibirnya
Terlalu bisu untuk mengucap kata-kata berbisa.

(Suara, 1962)

Perpisahan atau perceraian biasanya menyebabkan seseorang bersedih, merasa sunyi, dan hampa. Dalam sajak Djamil Suherman "Sunyi" si aku lirik patah hati karena menyadari cintanya telah pergi dan tak akan kembali. Si aku lirik menyendiri dalam kemuramannya.

SUNYI
Yang sunyi bersendiri
yang pergi tak kembali
tapi sunyi dan pergi lahir atas cinta
yang kisahnya terkubur hari ini
mereka lupa mulanya
ada kegelapan sesudah purnama

(Nafiri, 1983)

Patah hati, di samping menyebabkan seseorang menderita juga mungkin mengakibatkan seseorang mendendam seperti yang terungkap dalam sajak W.S. Rendra "Ballada Kasan dan Patima": Patima yang ditinggalkan begitu saja oleh lelaki hidung belang, Kasan, akhirnya mengutuk Kasan. Kasan termakan kutukannya, tersesat di pegunungan kapur dan terjerumus ke dalam Jurang. Berikut ini penggalan sajak "Ballada Kasan dan Patima".

....

Bau kemenyan dan kemboja guncang
bangkit Patima mencekau tangan reranting tua
menjilat muka langit api pada mata
dilepas satu kutuk atas kepala Kasan! Ya, Kasan!

- Dan Kasan berkendara pedati empat kuda
terenggut dari arah dalam buta mata
terlempar ke gunung Selatan tanah padas
meraung anak bini, meringkik kuda-kuda
dan semua juga kuda dikelami buta mata.

Datang kutuknya! Datang kutuknya!
Pada malam-malam bergemuruh di tanah kapur selatan
deru bergulung di punggung gunung-gunung

bukan deru angin jantan dari rahim langit
deru Kasan kembara berkendara pedati empat kuda
larikan kutuknya lekat, kecut cuka panas bara.

(Ballada Orang-orang Tercinta, 1957)

Masalah perpisahan antara dua kekasih itu banyak ditulis oleh Chairil Anwar, antara lain, dalam sajak berikut ini.

 <td style="text-align: center; padding:0.3em; border: solid 1px #a3b1bf; font-size: 110%; background-color:

  1. CEE0F2; width: Kesalahan ekspresi: Karakter tanda baca "[" tidak dikenal.%;">[[{{{link}}}|{{{tab}}}]]TAK SEPADAN

Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros.

Dikutuk sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka.

Jadi, baik juga kita padami
Unggunan api ini

Karena kau tidak'kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka

 <td style="text-align: center; padding:0.3em; border: solid 1px #a3b1bf; font-size: 110%; background-color:

  1. CEE0F2; width: Kesalahan ekspresi: Karakter tanda baca "[" tidak dikenal.%;">[[{{{link}}}|{{{tab}}}]](Kerikil Tajam, 1959)

Dalam sajak Chairil Anwar yang lain, "Orang Berdua" digambarkan konflik antara suami-istri karena tidak ada saling pengertian di antara keduanya. Tidak adanya saling pengertian akhirnya menyeret keduanya ke dalam penderitaan:

 <td style="text-align: center; padding:0.3em; border: solid 1px #a3b1bf; font-size: 110%; background-color:

  1. CEE0F2; width: Kesalahan ekspresi: Karakter tanda baca "[" tidak dikenal.%;">[[{{{link}}}|{{{tab}}}]]ORANG BERDUA

Kamar ini jadi sarang penghabisan
di malam yang hilang batas.
Aku dan dia hanya menjangkau
rakit hitam

’Kan terdamparkah
atau terserah

pada putaran pitam?
Matamu ungu membatu

Masih berdekapkankah kami atau
mengikut juga bayangan itu?

 <td style="text-align: center; padding:0.3em; border: solid 1px #a3b1bf; font-size: 110%; background-color:

  1. CEE0F2; width: Kesalahan ekspresi: Karakter tanda baca "[" tidak dikenal.%;">[[{{{link}}}|{{{tab}}}]](Deru Campur Debu, 1959)

Sajak Chairil Anwar yang lain lagi, "Mulutmu Mencubit Mulutku" menggambarkan istri yang sering menyakiti perasaan suami sehingga melahirkan rasa dendam: ’Mulutmu mencubit di mulutku/Menggelegak benci sejenak itu/Mengapa merihmu tak kucekik pula/Ketika halus-perih kau meluka??’ (Kerikil Tajam: 37). Dalam "Pelarian" (Chairil Anwar) perselisihan itu berakibat perceraian.

PELARIAN

I
Tak tertahan lagi
remang miang sengketa di sini.

Dalam lari
Dihempaskannya pintu keras tak berhingga.

Hancur luluh sepi seketika
Dan paduan dua jiwa.

 <td style="text-align: center; padding:0.3em; border: solid 1px #a3b1bf; font-size: 110%; background-color:

  1. CEE0F2; width: Kesalahan ekspresi: Karakter tanda baca "[" tidak dikenal.%;">[[{{{link}}}|{{{tab}}}]](Kerikil Tajam, 1959)

Di sisi lain, W.S. Rendra menggambarkan melalui sajak "Perempuan Sial" bahwa kehidupan berkeluarga yang tidak dilandasi cinta akan berantakan. Dalam sajak Rendra itu diungkapkan Farida yang bersuamikan laki-laki tua yang tidak mampu lagi memuaskan hasrat seksualnya Sehingga memaksanya bermain serong dengan Nizar, pemuda sebayanya. Namun, Nizar ternyata meninggalkannya begitu saja.

...

Ah, tubuhnya! Ah, rambutnya!
tempat tidur tersia suami tua.

Bunga bagai dia diasuh angin
oleh nasib jatuh ke riba lelaki tua dingin.

Nizar yang menopangnya dari kelayuan
perempuan bagai bunga, lelaki bagai dahan.

Lelaki muda itu bertolak tinggalkan dia
terasa jantung dan hati dari timah.

la terbaring di taman tua
pestol di tangan dan lubang di jidatnya.

Suaminya yang tua berkata:
- Farida, engkau ini perempuan sial!

(Ballada Orang-orang Tercinta, 1957)
5.4 Citra Manusia yang Menjalin Persahabatan

Dalam hubungan manusia dengan manusia lain, di samping terdapat citra manusia yang cinta keluarga dan citra manusia yang dilanda cinta asmara terdapat pula citra manusia yang menjalin persahabatan. Citra manusia yang menjalin persahabatan itu timbul karena pada dasarnya dalam berhubungan dengan manusia lain, seorang manusia selalu membutuhkan sahabat. Dengan demikian, dalam hubungan manusia dengan manusia lain kita dapatkan citra manusia yang menjalin persahabatan, meskipun dengan catatan bahwa pengertian menjalin persahabatan di sini adalah baru sebuah upaya, yang barangkali berhasil barangkali pula tidak. Oleh karena itu, dalam beberapa sajak yang mengungkapkan citra manusia yang menjalin persahabatan akan tampak bahwa upaya itu kadang-kadang gagal sehingga terlihat citra manusia yang tidak bersahabat, misalnya.

Upaya manusia untuk menjalin persahabatan terwujud lewat berbagai cara dan pengungkapan, antara lain rasa simpati kepada sesama yang menderita, seperti terdapat dalam sajak Toto Sudarto Bachtiar "Gadis Peminta-minta" dan sajak Muhammad Ali "Gadis Kecll dl Simpang Sepi", misalnya. Sajak Toto Sudarto Bachtiar tersebut mengungkapkan rasa simpati kepada seorang gadis kecil peminta-minta, sementara sajak Muhammad Ali memperlihatkan rasa simpati kepada seorang gadis kecil yang menjual diri. Dalam sajak Muhammad Ali "Gadis Kecil di Simpang Sepi" terlihat rasa simpati kepada seorang gadis kecil yang terpaksa menjual diri karena tekanan ekonomi. Gadis kecil yang mestinya masih pantas berhias dengan renda dan pita sebagaimana anak-anak sebayanya karena dunia hitam yang digelutinya tiap malam menjadi terbiasa dengan rokok. Aku lirik yang menyaksikan hal itu menjadi terharu dan tidak sampai hati karena melihat gadis kecil itu terlalu cepat matang oleh keadaan. Karena kematangan itu terlalu cepat datangnya, gadis kecil itu pun tak takut pada hantu sebagaimana layaknya seorang gadis kecil sehingga si aku lirik—seperti terbaca berikut ini—berusaba membujuknya kembali ke jalan yang benar.

....

Apabila kamu berjumpa, ia setua kitab suci:

Apa kau cari, gadisku, dalam malam selarut ini?
Kau tak takut orang mati hidup kembali?

Ah, aku lagi menanti orang mati lewat di sini
Dia beri aku api, aku beri dia mimpi!

Pulanglah gadis, pulanglah kecil
jangan kau mati malam ini
aku beri kau renda, aku beri kau pita
dan sebuah nama jelita
Apakah renda? Apakah pita dan nama jelita?
Dan aku pulang ke mana?
Ah, sini rokok sebatang, cetuskan api-api!
Dan tuan mau mimpi?

(Hitam atas Putih, 1972)


Namun, gadis kecil itu tetap saja bertaban di dunia bitam karena keadaan ekonomi yang memaksanya. Pita dan renda baginya tak berarti apa-apa karena. yang dibutubkannya bukan itu. Baginya, renda dan pita adalab sebuab masa lalu. Dengan demikian, sajak Muhammad Ali itu mencoba menampilkan pemahaman tentang seorang manusia yang tersuruk ke dunia hitam karena keadaan.

Sementara itu, dalam sajak Toto Sudarto Bachtiar "Gadis Peminta-minta" juga terlihat rasa simpati kepada gadis kecil yang hidup menderita. Gadis kecil dengan kesederhanaan dan kesengsaraan yang melekat pada dirinya itu seolah-olah 'hidup dari kebidupan angan-angan yang gemerlapan'. Si aku lirik pun dalam sajak itu melihat bahwa sesimgguhnyajiwa si gadis kecil itu terlalu mumi, belum waktunya untuk kenal duka. Jadi, di sini terlihat bagaimana tumbuh rasa simpati dan keinginan bersahabat di hati si aku lirik karena ia tidak tega melihat penderitaan si gadis kecil itu. Bahkan, 'Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil/Bulan di atas itu, tak ada yang punya/Dan kotaku, ah kotaku/ Hidupnya tak lagi punya tanda'.

Dalam sajak "Gadis Kecil di Simpang Sepi" dan "Gadis Peminta-minta" rasa simpati itu ditujukan kepada seseorang yang belum dikenal. Sajak Toto Sudarto Bachtiar yang lain, "Kawan", mengungkapkan bahwa persahabatan itu dapat terjalin dengan siapa pun karena pada dasarnya' setiap orang yang sepenanggungan dan sependeritaan adalah seorang sahabat, seperti terbaca dalam larik-larik sajak "Kawan" berikut.

....
Aku tak perlu tahu dia siapa
Tapi kami pernah sama mencintai malam

Aku dan dia tak ada bedanya
Hidup keras indah menari depan mata

(Etsa, 1958)

Dalam sajak Ajip Rosidi "Kepada Kawan" juga terungkap pernyataan kepada seorang sahabat yang memiliki nasib yang sama:

1. Kuulurkan tangan paling akrab kita taklah berbeda
karena tanggapan melahirkan tantangan padaku
kuletakkan hati paling hangat kita adalah sama
bergelut dengan manusia pecah dalam warna seribu

(Pesta, 1956)

Dalam sajak yang lain, Ajip Rosidi mengungkapkan si aku lirik yang mengajak sahabatnya untuk bersama-sama hidup dalam perjuangan:

TAHUN DEMI TAHUN
....

Semua tahun kembali terkenang lapar dan rindu
mata telah jadi kaca pudar melembari urat wajah
mari kita leburkan diri melumat satu jat
kita kan hidup satu degup dalam satu gerak

(Pesta, 1956)

Sementara itu, dalam sajak Djamil Suherman "Ikrar" terungkap keinginan bersahabat secara tulus:

IKRAR

(kepada karibku M)

Begitu gairah kuberikan piala kehormatan padamu
bersama salam setitik darah dan air mata
kauadukan persamaan nasib ke dalam dasarnya
tangan berjabat tangan dalam kealpaan yang mesra

O, mari kita reguk inilah piala kehidupan
tanda persahabatan yang saleh antara yang malang
dan percaya kebenaran ada padanya
karena kita saling merasakan getaran yang satu
meski dalam dunia yang terpisah.

(Nafiri, 1983)

Sajak Djamil Suherman itu mengungkapkan bahwa persahabatan mungkin terjadi di antara dua manusia karena nasib dan pandangan yang sama meskipun mungkin mereka dipisahkan oleh tempat yang berbeda sehingga tidak saling mengenal. Warna persahabatan yang demikian itu terungkap juga dalam sajak Toto Sudarto Bachtiar berikut ini.

KEPADA W.W.

Mengapa kurasa senasib dengamnu dalam kehidupan
Karena sajakmu yang mengadu tenaga dengan kematian
Aku memang tak kenal kerajaanmu
Tapi kerajaanmu di sini, aku menunjuk ke hati

Mengapa orang harus kenal-mengenal
Padahal rasa-merasa lebih sangat takzim
Hingga pudar segala garis-garis yang menepis kita
Siksa yang terberat, buahnya matang

Kalau kau kukenal, mungkin kulupa wajahmu yang berat
Tapi ini topimu meneduhkan kembara
Kata-kata yang cair dalam batinku
Tak kurasa orang lain yang bicara

Mengapa kurasa senasib dengamnu dalam kehidupan
Karena aku punya ibu kota yang malang
Karena kukenal penduduknya yang malang
Seperti tubuhmu, seperti aku

(Suara, 1962)

Persamaan nasib seperti yang dikemukakan dalam sajak Toto Sudarto Bachtiar itu melahirkan persahabatan yang akrab. Si aku lirik merasa senasib dengan sahabatnya karena keduanya memiliki semangat berjuang dalam menghadapi kehidupan. Dengan adanya saling pengertian dalam persahabatan itu, persahabatan yang terjalin akan lebih kental—’rasa-merasa lebih sangat takzim' daripada ’kenal-mengenal’ secara lahiriah.

Dalam sajaknya yang lain, Toto Sudarto Bachtiar mengungkapkan bahwa seseorang tidak perlu tahu siapa sahabatnya itu karena setiap orang yang sependeritaan adalah sahabatnya:

KAWAN

....

Aku tak perlu tahu dia siapa
Tapi kami pernah sama mencintai malam

Aku dan dia tak ada bedanya
Hidup keras indah menari depan mata

(Etsa, 1958)

5.5 Simpulan

Dari sajak-sajak yang mengemukakan masalah hubungan manusia dengan manusia lain ternyata corak kerja sama cukup menonjol. Dengan menonjolnya corak kerja sama itu, citra manusia yang tampak dalam puisi Indonesia 1920—1960 yang terutama adalah citra manusia yang cinta keluarga, citra manusia yang menjalin persahabatan, dan citra manusia yang dilanda cinta asmara. Masing-masing citra manusia tersebut mengisyaratkan adanya hubungan yang kental dan erat antara sesama manusia. Dalam citra manusia yang cinta keluarga, misalnya, terlihat hubungan yang saling menyayangi antara anggota keluarga, seperti seorang bapak yang mencintai istri dan anak-anaknya. Dalam citra manusia yang menjalin persahabatan juga terlihat tumbuh dan berkembangnya rasa simpati terhadap sesama manusia. Dengan demikian, dapat dikatakan keselarasan mendasari hubungan manusia dengan manusia lain, dan itu adalah salah satu ciri manusia Indonesia sebagaimana yang terungkap dalam sajak-sajak Indonesia tahun 1920—1960.