Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960/Bab 6

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960  (1993) 
Tim Penyusun Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960
Bab VI - Manusia dan Diri Sendiri

BAB VI

MANUSIA DAN DIRI SENDIRI

6.1 Pengantar

Ada saatnya manusia berhadapan dengan diri sendiri. Dalam berhadapan dengan diri sendiri itu, ia mungkin menjumpai masalah-masalah baik yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Semua masalah yang dihadapinya itu menjadi bahan kontemplasi, perenungan bagi dirinya, yang barangkali akan melahirkan suatu pengendapan, dan mungkin pula suatu konflik batin. Untuk jelasnya, berikut ini dikemukakan sajak-sajak Indonesia tahun 1920—1960 yang mengungkapkan masalah hubungan manusia dan diri sendiri.

6.2 Citra Manusia yang Menemukan Diri

Dalam suatu pengendapan, ketika manusia berhadapan dengan diri sendiri, akan lahir suatu pandangan hidup, kebijakan, aforisme, dan seterusnya. Seorang manusia akan menemukan dirinya di tengah-tengah kehidupan ini begitu ia mencapai suatu pengendapan dalam hidupnya, seperti terungkap dalam sajak Samadi, "Hanya 'Nak Tahu Bahwa Tak Tabu":

Selangkah mau ke padang ilmu
Seribu kali bertambah dungu,
Habislah rambut mencari ilmu,
Hanya 'nak tabu, bahwa tak tahu.

   (Senandung Hidup, 1941)

Dari larik-larik Samadi di atas tersingkap pada kita sosok manusia yang menyadari kekerdilannya bahwa manusia di dunia ini bukanlah apa-apa: manusia selalu tak akan pernah sempurna. Kesempurnaaan manusia adalah suatu kesia-siaan.

 Bila dalam sajak Samadi terbaca sosok manusia yang menyadari ketidakmungkinannya untuk sempurna, sajak Sutan Takdir Alisjahbana, "Hidup di Dunia Hanya Sekali" (1938) justru memperlihatkan pada kita sosok manusia yang—barangkali karena sadar akan ketidakmungkinannya untuk sempurna—dipacu untuk berkarya dan berprestasi setinggi mungkin. Hidup di dunia yang hanya sekali, bagi si aku lirik, haruslah diisi dengan karya, dengan prestasi, seperti terbaca dalam larik-larik berikut.

....

Mengapa bermenung mengapa bermurung?
Mengapa sangsi mengapa menanti?
Hidup di dunia hanya sekali
Jangkaukan tangan sampai ke langit
Masuk menyelam ke lubuk samudra
Oyak gunung sampai bergerak
Bunyikan tagar berpancar sinar
Empang sungai membanjiri bumi
Aduk laut bergelombang gunung
Gegarkan jagat jangan kepalang

Lenyaplah segala mata yang layu
Bersinarlah segala wajah yang pucat
Gemuruhlah memukul jantung yang lesu
Gelisahlah bergerak tangan
Terus berusaha selalu bekerja

Punah
Punahlah engkau segala yang lesu
Aku hendak melihat
api hidup dahsyat menyala,
menyadar membakar segala jiwa.
Aku hendak mendengar
jerit peguangan garang menyerang
langit terbentang hendak diserang.
Aku hendak mengalami
bumi berguncang orang berperang
urat seregang mata memandang.

(Lagu Pemacu Ombak, 1976)
Citra manusia yang hampir serupa terdapat juga dalam sajak Or. Mandank, "Aku Belum Hendak Diam." Dalam sajak ini kita jumpai sosok manusia yang ingin melibatkan diri dalam gemuruh perjuangan hidup, biarpun baginya menawarkan diri suatu kehidupan yang tenteram, seperti terbaca di bait pertama:

O, saya tahu tempat yang tenteram
 Tetapi saya belum hendak mengeram
 Kuingin dahulu melalui jeram
 Supaya kupersaksikan gemuruh riam
 Arti hidup yang bukan diam
 Sungguh, aku belum hendak diam!

(Pedoman Masyarakat II/24, 23 Juli 1936)

Melalui larik-larik sajak Or. Mandank itu sampai juga pada kita sosok manusia yang tidak lekas puas, yang tidak gampang tergelincir dalam kemapanan hidup.

Citra manusia yang berjuang dalam hidupnya terdapat pula dalam sajak Samadi, "Kepada Ibuku". Dalam sajak Samadi ini kita temukan sosok manusia yang menyadari bahwa perjuangan hidupnya belum apa-apa. Ia belum sampai di puncak, dan ia pun belum sepenuhnya menjalankan amanat ibunya, seperti terungkap dalam larik-larik ini.

Ibuku!
Gunung yang ibu suruh daki sudah kudaki,
Sekarang aku baru sampai di lerengnya,
Duduk sebentar di atas tunggul pohon mati,
Memandang ke bawah ke lembah yang telah kulalui.
Ah, alangkah dekatnya baru kiranya perjalananku
Kalau dibandingkan dengan puncak yang harus kucapai;
Tapi alangkah banyaknya sudah yang kuderita
Dalam hidup yang masih muda ...

Ya, ya ibuku, aku akan turut segala petuamu,
Aku tidak akan kecewa, aku tidak akan berputus asa;
Hanyalah puncak bukit yang tak dapat bertemu dengan lembah,
Tapi bukankah gunung yang tinggi boleh didaki?
Ibuku, sekarang aku baru sampai di lerengnya.

Duduk sebentar di atas tunggul pohon mati,
Memandang ke bawah ke lembah yang telah kulalui.
....

(Senandung Hidup, 1941)

Jika dalam sajak Samadi, "Kepada Ibuku", kita temukan citra seorang manusia yang di tengah-tengah perjalanan hidupnya tersadar bahwa pencapaian hidupnya belum apa-apa, dalam sajak A.M.Dg. Mijala, "Termenung", kita saksikan sosok manusia yang pada usia tuanya baru menyadari bahwa selama ini ia hanya tahu menerima/Tiada tahu memberi ...'. Keinginan-keinginan si aku lirik tetap saja berbenti pada keinginan tanpa pernah mewujud, dan tiba-tiba saja ia tersadar telah berada di ujung usia, seperti terbaca dalam larik-larik ini.

....
Aku ingin seperti bintang
Yang hanya tampak di waktu malam
Di masa alam gelap yang kelam
Aku ingin seperti bintang
    Jadi pedoman para pencari
Dulu sekarang akan dan nanti.

Tapi aku orang biasa
Merena sahaja tiada berguna...
Teruslah kau bintang teruslah gilang
Intan riwarna warni gemilang!

....

Aku ingin seperti pohon
Berdaun rimbun tempat bernaung
Berbuah seperti pemupus lara.

Aku ingin seperti pohon
Tempat berlindung! tempat berlindung!
Para musafir kelana kembara.

....

Tapi aku orang biasa
Merana sahaja tiada berguna ...

Teruslah kau kembang tenis mengwarni
Harum semerbak menghambur wangi!

Seorang tua 'lah sudah uban
'lah lanjut usia 'lah lemah badan
Termenung diam seorang diri

Memandang dunia penuh bercinta
Cintanya hanya tahu menerima
Tiada tahu memberi ...

(Pujangga Baru, VI/9, Maret 1939)

Di sisi lain, dalam sajak Muhammad Yamin, "Gubahan", kita temukan citra manusia yang ingin mendarmabaktikan dirinya di usia mudanya, seperti terungkap dalam larik-larik ini.

Beta bertanam bunga cempaka
Di tengah halaman tanah pusaka,
Supaya selamanya, segenap ketika
Harum berbau, semerbak belaka.

Beta berahu bersuka raya
Sekiranya bunga puspa mulia
Dipetik handaiku, muda usia
Dijadikan karangan, nan permai kaya

Semenjak kuntuman, kecil semula
Beta berniat membuat pahala,
Menjadikan perhiasan, atas kepala.

O, cempaka, wangi baunya
Mari kupetik seberapa adanya
Biar kugubah waktu lagi muda.

(Jong Sumatra IV/4,5, Mei 1921)

 Dari larik-larik sajak Muhammad Yamin tadi tampak pada kita sosok

manusia yang ingin dirinya berguna untuk orang lain, seperti terbaca juga dalam sajak A.M.Dg. Mijala, "Rindu":

....
Jikalau aku menjadi air,
Akan mengalir daku, mengalir,
Biarkan segala yang mandi panas,
Mandi sejuk hawa sekarang,
Biarkan segala yang mabuk,
Mandi sinar terang sekarang ...

Jikalau aku menjadi api,
Aku membakar daku, membakar,
Biarkan segala yang mengikat,
Melepas tangan kaki sekarang,
Biarkan segala yang mesum,
Berganti harum dupa sekarang ...

Dan jikalau aku menjadi tanah,
Memandang tamasya yang bukan-bukan,
melihat peristiwa yang menyedihkan,
Akan kupeluk bumi sekarang,
Biarkan segala yang merasai,
Tidak tahu merasai lagi ...

(Pujangga Baru, II/5, November 1934)

Manusia yang menjadi pembebas bagi sesamanya—itulah citra yang kita peroleh dari larik-larik sajak A.M.Dg. Mijala, "Rindu". Barangkali, memang selayaknya manusia menjadi pembebas dan pembaharu untuk lingkungan sekitarnya karena manusia dibekali jiwa dan raga, seperti terungkap dalam sajak Intoyo, "Rasa Baru".

Zaman beredar!
 Alam bertukar!
Suasana terisi nyanyian hidup.
 Kita manusia
 Terkarunia
Badan, Jiwa, bekal serba cukup.
 Marilah bersama
 Berdaya upaya
Mencerlangkan apa yang redup.
 Memperbaharu
 Segala laku,
mengembangkan semua kuncup.

 Biar terbuka
 Segenap RASA,
Rasa baharu, dasar harmoni hidup.

(Pujangga Baru melalui Alisjahbana dalam Puisi Baru, 1954)

Di sisi lain, melalui sajak Rustam Effendi, "Lautan", terungkap bahwa manusia itu sesungguhnya sosok yang tak terduga, yang penuh rahasia, bagai lautan, seperti terbaca dalam larik-larik ini.

Terdengar derai ombak, bercerai,
terhampar ke pantai, sorai terurai.
Mengaun deram, derum lautan,
Walaupun di dalam malam yang kelam.

Terbentang muka, alun tiada,
tergenang segera, tidak terduga
Menyanan air, dalam arusan,
Satu pun tak mungkin, dapat menyilam.

Demikianlah konon lautan hidup?
Bersabung ombak sebelah ke luar,
bercatur rasaian, senang dan sukar.

Bagaimanakah artinya rahasia hidup?
Apatah ujud manusia bernyawa?
Seorang pun tiada mungkin menduga.

(Percikan Permenungan, 1953)

Sosok hidup manusia yang penuh rahasia dan tak terduga itu pada sisi lain melahirkan citra manusia yang pasrah, yang menyerahkan diri sepenuhnya pada alam. la hanyut dalam gerak irama alam, seperti terungkap dalam sajak Sanusi Pane, "Dibawa Gelombang".

Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah ke mana aku tak tahu

Jauh di atas bintang kemilau
Seperti sudah berabad-abad

Dengan damai mereka meninjau
Kehidupan bumi yang kecil amat

Aku bernyanyi dengan suara
Seperti bisikan angin di daun
Suaraku hilang dalam udara
Dalam laut yang beralun-alun

Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah ke mana aku tak tahu

(Madah Kelana, 1931)

Citra manusia yang pasrah, seperti terungkap dalam larik-larik sajak Sanusi Pane tadi, dapat dipandang sebagai citra manusia tandingan atau alternatif dari citra manusia yang terungkap dalam sajak Sutan Takdir Alisjahbana, "Hidup di Dunia Hanya Sekali", yang telah dikemukakan di depan. Dalam sajak Takdir kita temukan citra manusia yang berusaha menundukkan alam, tidak mau menyerah pada keadaan, dan berusaha mengisi hidup ini dengan kerja. Sebaliknya, dalam sajak Sanusi Pane, "Dibawa Gelombang", citra manusia yang teruingkap adalah manusia yang tunduk pada alam, pasrah sikap hidupnya, dan menyerah kepada nasib yang akan menggelindingkannya entah ke mana.

Citra manusia yang hampir serupa terdapat juga dalam sajak Hamka "Menumpang Berteduh". Dalam sajak Hamka ini, si aku lirik menganggap seolah-olah dunia ini hanya tempat lewat bagi hidupnya. Apa pun yang terjadi di dunia ini, ia berserah diri, seperti terungkap dalam larik-larik ini.

Berilah aku izin, aku hanya menumpang berteduh!
Tidak sekuntum pun bunga yang 'kan ku petik,
Tidak ada ranting yang ’kan ku patah
Rumput pun tak layu ’ku pijakkan
Aku hanya menumpang berteduh,

Berilah aku izin, aku hanya menumpang berteduh!
Bila hujan telah berhenti turun,
Bila langit telah terang cuaca
Bila embun telah menyintak naik
Halaman ini akan ’ku tinggalkan.

Luka hatiku dipanah, haram tak sanggup 'ku menahan,
Aku hanya menumpang berteduh,
Nanti bila ’ku telah pergi,
Jejakku akan dihapuskan air hujan,
Rupaku yang buruk tak kelihatan lagi ....!

(Pedoman Masyarakat, 12 - 2 -1936, No. 3, Th. II)

Larik-larik di atas memperlihatkan pada kita sosok manusia yang beritikad baik terhadap sesama dan lingkungan, tetapi kurang tampak gairahnya dalam mewarnai lingkungannya ('Nanti bila 'ku telah pergi,/Jejakku akan dihapuskan air hujan'). Barangkali ini bertentangan dengan sosok manusia yang muncul dalam sajak Takdir, "Hidup di Dunia Hanya Sekali", yang terbaca tekadnya untuk mewarnai dunia ini, memberi arti pada kehidupan ini.

Bila dalam beberapa sajak yang dikemukakan di atas kita temukan sosok manusia yang amat bergairah dalam memberi makna pada kehidupan dan ada pula yang tidak terlalu bergairah, dalam sajak Muhammad Yamin berikut ini, "Ibarat", tampak bahwa ada sesuatu yang membatasi gerak manusia.

Hidup di dunia seperti berdagang
Membawa untung kian kemari
Menempuh padang beberapa negeri
Mencari kain pembalut tulang.

Kalau ’lah cukup emas di pinggang
Untuk nafkah kanan dan kiri
Hendaklah teringat di hati sendiri
Ke kampung halaman berbalik pulang.

Beberapa lamanya kita di rantau?
Cobalah sebentar tuan meninjau
Ke atas langit berwarna hijau.

Sebentar sahaja bintang berkilau
Kemudian muram menjadi silau
Selama itulah kita merantau!

(Jong Sumatra, IV/7, Juli 1921)

Dari larik-larik di atas tampak pada kita bahwa ada hukum alam yang membatasi, bahkan mengakhiri, gerak dan keinginan manusia. Karena itu, melalui larik-larik tadi juga terbayang pada kita citra manusia yang tidak serakah, yang tidak memupuk harta duniawi secara berlebihan karena adanya kesadaran bahwa semua itu ada batasnya. Bahkan, ia akan selalu ingat akan kampung halaman, yang kemudian oleh aku lirik lain dari penyair yang sama dalam sajak "Permintaan" diharapkan menjadi tanah kuburnya:

Mendengarkan ombak pada hampirku
Debar-mendebar kiri dan kanan
Melagukan nyanyi penuh santunan
Terbitlah rindu ke tempat lahirku.

Sebelah Timur pada pinggirku
Diliputi langit berawan awan
Kelihatan pulau penuh keheranan
Itulah gerangan tanah airku.

Di mana laut debur mendebur
Serta mendesir tiba di pasir
Di sanalah jiwaku, mula bertabur.

Di mana ombak sembur-menyembur
Membasahi Barisan sebelah pesisir
Di sanalah hendaknya, aku terkubur.

(Jong Sumatra, IV/6, Juni 1921)

 Larik-larik di atas memperlihatkan pada kita sosok manusia yang cinta kepada kampung halamannya. Demikian cinta ia pada kampung halamannya sehingga menganggap tanah airnya adalah kampung halamannya. Dengan demikian, dalam sajak "Permintaan" Muhammad Yamin di atas kita dapatkan citra manusia yang masih sempit wawasan nasionalnya.

 Sajak berikut, "Kusangka Dulu" karya Asmara Hadi menampilkan sosok manusia yang menyadari bahwa nasib manusia mungkin berubah dalam perjalanan waktu. Dulu, diri si aku lirik berputus asa karena patah cinta, kini kembali semangat hidupnya karena sadar bahwa luka lama tak menganga lagi, bahkan di atas luka lama yang telah menutup itu berkembang cintanya:

Kusangka dulu luka jiwaku
Tiada kan dapat sembuh lagi
Kusangka ku akan selalu
Putus harapan, ingin mati

Tapi waktu penawar yang sakti
Dapat menutup luka jiwaku
Dan di atas luka yang dulu
Tumbuh indah mawar cintaku.

   (Pujangga Baru, V/1, Juli 1937)

 Melalui larik-larik sajak Asmara Hadi tadi terungkap citra manusia yang pasrah. Dalam kepasrahan itu, perjalanan waktu ternyata menggelindingkan ke nasib yang lebih baik. Nasib pahit yang pernah dialaminya telah menyingkir dari sisinya.

 Bila dalam sajak Asmara Hadi, "Kusangka Dulu", rahmat dan kebahagiaan yang dialami si aku lirik seolah-olah pemberian sang waktu, dalam sajak Mozasa, "Hujan", terbaca keinginan si aku lirik untuk mencapai keabadian dan sekaligus berguna untuk sesamanya. Dengan demikian, pada diri si aku lirik terungkap citra manusia yang berdaya upaya, yang memiliki keinginan dan cita-cita, tidak pasrah begitu saja, seperti dikemukakan larik-larik ini.

Bagai kapas resikan angin,
ringan-ringan hasrat melayang;
terkadang ada rasa kepingin,
agar sukma tinggi mengawang.

 Bersatu dengan gabak di hulu,
 segar dingin menyiram bumi,
 hinggap melata di rumput hina,
 dibancur matari, naik lagi.

Biar sukma hidup abadi,
bebas lepas meningkah alam
tidak mengikat, tidak mengekang

 Nampak-nampak tani terlalai,
 memuji rahmat semesta alam,
 berlinang-linang air mata riang.

   (Pujangga Baru III/2, Agustus 1935)

 Citra manusia yang ingin mencapai keabadian, ketinggian sukma, yang dengan itu jiwanya menjadi terbebaskan, muncul juga dalam sajak J.E. Tatengkeng, "Sukma Pujangga". Dalam sajak Tatengkeng, si aku lirik yang penyair 'tak ingin dipagari rupa' karena dengan demikian, ia akan merasakan hidup yang seluas-luasnya, yang sedalam-dalamnya, yang kemudian terjelma 'Ke-Indah-Kata', seperti terbaca dalam larik-larik ini.

O, lepaskan daku dari kurungan,
Biarkan daku terbang melayang,
Melampaui gunung, nyeberang harungan,
Mencari cinta, Kasih dan Sayang.

Aku tak ingin dipagari lupa!
Kusangka terbang tinggi ke atas,
Meninjau hidup aneka puspa,
Dalam 'alam yang tak berbatas ...

Tak mau diikat erat-erat,
Kusuka merdeka mengabdi seni,
Kuturut hanya semacam syarat,
Syarat gerak sukma seni.

Kusuka hidup! Gerakan sukma,
 Yang berpancaran dalam mata,
Terus menjelma
 Ke-lndah-Kata

   (Rindu Dendam, 1934)

 Larik-larik sajak Tatengkeng tadi menunjukkan pada kita citra seorang penyair yang berpandangan bahwa keindahan sajak bukanlah sekadar permainan kata. Keindahan sajak, menurut si aku lirik, berasal dari hidup itu sendiri, paduan gerak hidup dan gerak sukma seorang seniman.

 Pandangan yang senafas terbaca dalam sajak Sanusi Pane, "Sajak". Bahkan dalam bait kedua "Sajak" disebutkan bahwa sebuah sajak semestinya berangkat dari ketulusan jiwa penyairnya.

Seperti matahari mencintai bumi,
Memberi sinar selama-lamanya,
Tidak meminta sesuatu kembali.
Harus cintamu senantiasa.

   (Puspa Mega, 1927)

6.3 Citra Manusia yang Mengalami Konflik Batin

 Dalam suatu konflik batin akan terbaca suatu kegelisahan ataupun pencarian diri yang belum menemukan sosoknya. Atau, suatu pencarian makna kehidupan yang belum menemukan jawabnya sehingga yang tinggal adalah bayang-bayang kabur yang menggelisahkan. Misalnya saja kegelisahan yang terbayang dalam larik-larik sajak J.E. Tatengkeng berikut ini, "Kucari Jawab".

Di mata air, di dasar kolam,
Kucari jawab teka-teki alam.

Di kawan awan kian kemari,
Di situ juga jawabnya kucari.

Di warna bunga yang kembang,
Kucoba jawab, penghilang bimbang.

Kepada gunung penjaga waktu,
Kutanya jawab kebenaran tentu.

Pada bintang lahir semula,
Kutangis jawab teka-teki Allah.

Ke dalam hati, jiwa sendiri,
Kuselam jawab! Tidak tercari ...

Ya, Allah yang Maha-dalam,
Berikan jawab teka-teki alam.

O, Tuhan yang Maha-Tinggi,
Kunanti jawab petang dan pagi.

Hatiku haus 'kan kebenaran,
Berikan jawab di hatiku sekarang ...

   (Rindu Dendam, 1934)

 Melalui larik-larik sajak J.E. Tatengkeng tadi terungkap sosok manusia yang gelisah mencari jawab akan makna kehidupan ini. Pencariannya yang intens ternyata belum menemukan hakikat kehidupan sehingga si aku lirik tercampak dalam dunianya yang gelisah. Dalam kegelisahannya itu, ia mencoba lari kepada Tuhannya karena Tuhan adalah sumber kehidupan.

 Bayangan kegelisahan diri manusia terbaca juga dalam sajak J.E. Tatengkeng yang lain, "Mengapa Lagi". Dalam sajak ini terungkap sosok manusia yang dalam dirinya terdapat dua dunia yang berhadapan dan berbenturan. Satu dunia berisi harapan-harapan, sedang dunia yang lain mendendam kekecewaan, keputusasaan, dan kesunyian, seperti terungkap dalam larik-larik ini.

 Mengapa lagi
 Setiap pagi,
Aku bangun dengan pengharapan,
Sedang di hati hilang ketetapan?

 Mengapa lagi
 Setiap pagi,
Aku berharap datangnya suka
Sedang di hati mendendam duka?

 Mengapa lagi
 Setiap pagi,
Kutunjuk muka yang riang manis,
Sedang di hati mengalir tangis?

 Mengapa lagi
 Setiap pagi,
Kusempat gelak, kudapat nyanyi,
Sedang di hati lengang dan sunyi?

   (Rindu Dendam, 1934)

 Sosok manusia yang serupa terdapat juga dalam sajak Selasih, "Siapa Menyangka?":

Sedang bergurau gelak tertawa,
 Pikiran kusut sukma menangis?
Sedang berkata muka bercaya
 Hati dan jantung bagai diiris.

Sedang bersuka bercengkerama
 Pikiran bimbang hati terharu

Sedang berdandan tanda bahagia
 Dada berdebar hati pun pilu??

   (Suryadi A.G., 1987a: 101)

Larik-larik sajak Selasih itu mengungkapkan pada kita citra manusia yang terpaksa harus bersandiwara, bermuka manis, padahal perasaan remuk: ada ketidakberdayaan diri.

 Ketakberdayaan diri itu tampak juga dalam sajak Selasih yang lain, "Lapar". Dalam sajak ini, si aku lirik yang dalam keadaan lapar terjebak dalam ilusi-ilusinya. Padahal, ilusi-ilusi itu sesungguhnya cerminan ketakberdayaan dirinya, seperti terbaca dalam larik-larik ini.

Letih badan, menangis sukma,
Lemah lunglai sendi anggota,
Haus lapar tidak tertahan,
Rasakan hilang nyawa di badan.

Telinga pekak, pandangan kabur,
Kepala pusing, darah berdebur,
Jasmani berhajat pengisi dada,
Rohani berkehendak makanan nyawa.

Jauh di sana, di pihak daksina,
Di seberang lautan di tanah dewa,
Hidangan terhampar di talam kaca,
Lezat rasa, harum baunya.

Di atas udara di tempat tinggi,
Kelihatan wajah seorang bidadari,
Tangannya memegang sebuah kendi,
Berisi air yang putih bersih.

Hidangan di dalam memikat mata.
Air di kendi menarik hati,
Kuulurkan tangan hendak kuraba,
Kulangkahkan kaki 'kan kuturuti.

Tapi,O Allah badanku lemah,
Kekuatan tak cukup menyampaikan niat,
Padangku sempit, kaki terikat,
Hendak dikerasi takut ’kan patah.

124

Citra Manusia dalam Puisi Modern Indonesia 1920-1960

Jika makanan tidak di mata,
Tidakkah beta akan kecewa,
Tampak ada tercapai tiada,
Meracun hati menunda nyawa.

O ayah, serta Bunda,
kakak kandungku, saudara beta,
Tolong anakanda, tunjuki adinda,
Menghilangkan lapar, melepaskan dahaga.

(Pujangga Baru I/1, Juli 1933)

 Dalam sebuah sajak Yusuf Sou'yb, "Duka", citra manusia yang tak berdaya itu muncul juga:

....

Aku duduk termenung seorang;
Dengarkan hatiku meratap tangis
Pada hujan di kota
Membasahi rongga rohaniku
Dalam duka nestapa.

(Pedoman Masyarakat, II/13, 27 April 1936)

 Melalui larik-larik sajak itu hadir sosok manusia yang menjadi cengeng karena ketakberdayaannya. Benturan masalah yang dihadapinya diselesaikannya dengan hujan tangis.

 Sajak Or. Mandank berikut, "Bila Malam Sudahlah Sepi", masih menampakkan sosok ketakberdayaan seorang manusia. Dalam sajak ini, perasaan si aku lirik terkatung-katung karena dihanyutkan gelombang kenang dan rindu. Kegelisahan si aku lirik pun, karena kenangan dan kerinduan, tak terucapkan, ditanggungnya seorang diri, seperti terbaca dalam larik-larik ini.

Bila malam sudahlah sepi,
Cengkerik pun berbunyi
Sedang terlena semesta 'alam,
Hening tenang pewana diam,
Ketika itu, jiwaku indung,
Bidarku hanyut terkatung-katung.

Dibawa arus hiliran kenang,
Jangan sangkakan tempat itu tenang,
Gemuruh serasah di tebing rindu,
Ombak memecah di pantai kalbu,
Gelombang datang dari haluan,
Adakah nampak di mata tolan?

(Pujangga Baru I/1, Juli 1933)

Citra manusia yang sendiri, tak berdaya dalam rindu dan cintanya kembali terbaca dalam sajak Hamka, "Burungku". Dalam sajak itu, si aku lirik meratapi nasibnya yang dalam kegelapan dan kesunyian karena ditinggalkan kekasihnya, seperti terbaca dalam larik-larik ini.

....

Itu hari akan berganti hari,
Itu saat akan bersilih saat,
Engkau akan terbang dari pohon ke pohon,
Engkau akan bertengger dari dahan ke dahan,
Kesunyian 'alam terpecah oleh nyanyianmu yang merdu,
Oh, engkau akan mandi ke telaga yang sejuk, berdua ....
Tapi, aku sendiri, o burungku yang indah!

Itu kegembiraan telah hilang dibawa 'mentari turun,
Pelitamu telah lama padam,
Itu cahaya telah pudar,
Segala sesuatu telah menjadi gelap gulita,

Hatiku telah lama patah,
Bernyanyilah, aku 'ndak dengarkan nyanyianmu yang
 penghabisan, dan aku

Biarlah daku tinggal seorang diri,
meratapi nasib dalam kesunyianku.

(Sunyi Puja, 1948)
Sajak Fatimah H. Delais, "Berpisah", masih memperlihatkan citra manusia yang tak berdaya. Dalam sajak ini, si aku lirik yang berpisah dengan kekasihnya merasa sendiri, resah, dan larut dalam kesunyiannya, seperti terungkap dalam larik-larik ini.

Sungguh berat rasa berpisah
Ninggalkan kekasih berusuh hati,
Duduk berdiri sama gelisah
Ke mana hiburan akan dicari.

Kian kemari mencari kesunyian
Nengangkan kasih diri masing-masing
Hati terharu, dilipur nyanyian
Tapi suara tak mau mendering

Di manakah terbaca dapat awak menyanyi
Bukankah sukma tersentuh duri?
Hati pikiran berusuh diri?

Di manakah dapat bersuka ria
Tidakkah badan sebatang kara?
Kenangan melayang menyeberang segera?

(Pujangga Baru: Th. II, No. 10, April 1935)
Tidak ada gerak, tidak ada kebangkitan, tidak ada perlawanan terhadap keadaan, secara dominan mewarnai sajak-sajak periode 1920—1940 yang mengungkapkan konflik batin. Bahkan, dalam sajak M.R. Dajoh, "Orang Minta-Minta", si aku lirik yang hatinya tersentak melihat penderitaan orang lain juga tidak berbuat lebih lanjut. Perasaan si aku lirik menjadi gelisah karena penderitaan orang lain yang menyentuh hatinya, tanpa ia mampu berbuat apa-apa selain, barangkali, berbagi keresahan, seperti terungkap dalam larik-larik ini:

....


Hamba bangkit berjalan memuji-muji
kekayaan 'alam penuh kemuliaan,
Angan-angan yang berkilau-kilauan dan suci
Seperti menari-nari memandang segala keelokan

Tapi sekonyong-konyong hamba terkejut,
terkejut sangat melihat badan terlentang.
Gemetar hamba tak dapat hamba menyebut
sepatah kata! Tangan, kaki menjadi tegang!

Aduhai, seorang minta-minta di semak
berpakaian compang-camping, bermata dalam.

"Tolong!", katanya, tangannya sedikit bergerak.
Keluh-kesahnya memenuhkan hari dan malam.

(Syair untuk A.S.I.B., tanpa tahun)

Baru dalam sajak Or. Mandank, "Laksana Awan", kita jumpai citra manusia yang bagaikan awan: diam-diam bergerak. Dalam sajak itu terungkap sosok manusia yang penuh gerak dalam kegelisahannya, tidak pasrah begitu saja, seperti terbaca dalam larik-larik ini:

Seketika-ketika tenang
Diam dan senang
Di awang-awang
Tiada bersawang

O, kalau diperhatikan dengan tenang
Bukan diam bukannya senang
Dia bergerak di awang-awang
Membentuk mega tiada bersawang.

 Kadang-kadang
 Sangat kencang
 Bukan kepalang
 Dia pun terbang

Demikian jiwa saya
Di persawangan maya
Di alam indra
Menjelang jaya.

(Pedoman Masyarakat II/21, 30 Juni 1936)

Sajak Rustam Effendi, "Bukan Beta Bijak Berperi", tidak lagi sekadar menunjukkan gerak si aku lirik, tetapi telah mengungkapkan perlawanan seorang manusia baik terhadap kemapanan-kemapanan adat negeri maupun terhadap kemapanan pengucapan puitik, sepertl terungkap dalam larik-larik ini.

Bukan beta bijak berperi
pandai mengubah madahan syair,
Bukan beta budak Negeri,
musti menurut undangan mair.

Sarat saraf saya mungkiri,
Untaian rangkaian seloka lama.
Beta buang beta singkiri,
sebab laguku menurut sukma

Susah sungguh saya sampaikan,
degup degupan di dalam kalbu,
Lemah laun lagu dengungan,
matnya digamat rasaian waktu.

Sering saya susah sesaat,
sebab madahan tidak nak datang,
Sering saya sulit menekat,
sebab terkurang lukisan mamang

Bukan beta bijak berlagu,
dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
hanya mendengar bisikan alun.

(Percikan Permenungan, 1953; terbitan pertama tahun 1926)

6.4 Citra Manusia yang Mencari Makna Hidup

Dalam puisi periode 1940—1960 hubungan manusia dengan dirinya sendiri tampak dalam pandangan hidup, sikap, dan perilaku. Hubungan itu juga tampak dalam introspeksi dan konflik batin yang terjadi dalam diri seorang manusia. Yang masuk dalam introspeksi adalah pernyataan pribadi karena pernyataan pribadi itu muncul setelah seseorang melihat ke dalam diri sendiri.

Individualisme yang mengutamakan suara pribadi dan merupakan pernyataan pribadi yang paling terkenal dalam kurun waktu 1940—1960 adalah sajak Chairil Anwar "Aku".

AKU

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu-sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.

(Deru Campur Debu, 1959)

Dalam sajak Chairil itu tampak pernyataan pribadi berupa penonjolan tanggungjawab pribadi: hidup mati itu merupakan tanggungjawab pribadi dan orang lain tidak perlu turut campur, 'Kalau sampai waktuku/'Ku mau tak seorang 'kan merayu/Tidak juga kau //Tak perlu sedu sedan itu'. Diungkapkan juga bahwa sebagai individu si aku adalah pribadi yang bebas, yang tidak terikat kepada orang lain, 'Aku ini binatang jalang/ Dari kumpulannya terbuang'. Si aku lirik juga tidak peduli pada segala halangan yang menghadang, 'Biar peluru menembus kulitku/Aku tetap meradang menerjang //....//Aku mau hidup seribu tahun lagi'.

Pernyataan pribadi seperti itu dikemukakan juga oleh Mahatmanto dalam sajaknya berikut ini.

INDIVIDU

Aku, aku, saudaraku!
  kata hatiku.
  mengapa aku lagukan selalu?
  aku dan aku saja.....

Tapi, bagaimana takkan kulagukan?
  di mana kan kutinggalkan?
  aku ini kutiadakan?
  di mana aku tiada kubawa?

Aku malu dengan aku-ku ini
  jemu sudah ... Tapi
  kepada siapa hendak kuserahkan

Tidak, tidak, itu hak semata
  yang harus kupertahankan.
  karena aku-ku itu membawa
  sinar kesadaran
  diri priangga.

(Jassin, 1959: 184)

Seperti halnya aku lirik sajak Chairil Anwar, aku lirik sajak Mahatmanto juga menunjukkan pertanggungjawaban pribadi, 'Tidak, tidak, itu hak semata/yang harus kupertahankan/karena aku-ku itu membawa/sinar kesadaran/diri priangga'.

Di samping pernyataan pribadi sebagai pandangan individualisme, terdapat juga pernyataan yang berkaitan dengan pandangan hidup atau pernyataan pikiran lain seperti yang terbaca dalam sajak "Aku" Chairil Anwar berikut.

 AKU

 Melangkahkan aku bukan tuak menggelegak
 Cumbu-buatan satu biduan
 Kujauhi ahli agama serta lembing katanya.

 Aku hidup
 Dalam hidup di mata tampak bergerak
 Dengan cacar melebar, darah bernanah
 Dan kadang satu senyum kukucup-minum dalam dahaga.

(Kerikil Tajam, 1959)

Dalam sajak di atas si aku lirik menyatakan bahwa hidup tidak hanya digerakkan oleh nafsu duniawi, 'tuak' dan 'cumbuan satu biduan', atau hanya dipenuhi oleh angan-angan tentang sorga saja, 'Kujauhi ahli agama serta lembing katanya.', tetapi hidup harus dipandang sebagai suatu kenyataan yang kadang-kadang penuh penderitaan walaupun ada juga kenikmatan duniawinya. Hal seperti itu diungkapkan Chairil Anwar juga dalam sajaknya yang lain, "Sorga", yang mempertanyakan sungguhkah di sorga ada sungai susu dan bidadari beribu, yang sesungguhnya merupakan angan-angan duniawi yang penuh nafsu badaniah.

Dalam sajak Mahatmanto "Rizki Jiwa" yang dimuat dalam Gema Tanah Air (hlm. 186) si aku lirik beranggapan bahwa semua keberuntungan manusia di dunia sesungguhnya adalah rezeki pemberian Illahi ('....//Sebab mimpi yang bagus/membawa kenangan luhur/dan pikiran yang sehat,/membawa tindakan jujur.//Semua rizki Illahi/....').

Dalam hidup biasanya manusia berusaha mencapai tujuan tertentu, dan pada umumnya tujuan hidup itu berupa terwujudnya kesempurnaan pribadi. Hal ini diungkapkan oleh Toto Sudarto Bachtiar dalam sajaknya "Sajak Buat Sebuah Nama". Sajak ini mengemukakan bahwa jika seorang terpaku pada penderitaannya saja tanpa disertai daya upaya untuk mengubah nasib, hidup akan berlalu sia-sia. Oleh karena itu, diperlukan tekad keras dari seseorang untuk mencapai tujuan hidupnya, yang pada akhirnya akan memperoleh kebahagiaan.

SAJAK BUAT SEBUAH NAMA
....

Di hatiku mungkin berakhir cahya tak bertepi
Biar bulan tembaga kan mengawalnya
Dengan muka yang menunjuk pada satu tujuan
Sepi yang mengulur tangan pada suatu nama

Dan harap bisa memberi teduh padaku
Kapan lagi aku bisa terus begini bernyanyi
Dan sampai saat penghabisan
Aku makin merasa tak tahu.

(Etsa, 1958)

Dalam sajak Toto Sudarto Bachtiar yang lain, "Pusat", tekad itu lebih kuat terbaca. Untuk mengatasi penderitaan, orang harus bersikap dan bekerja keras karena hanya dengan kerja segala tujuan dapat tercapai, seperti terbaca dalam larik-larik berikut ini.

PUSAT

Serasa apa hidup yang terbaring mati
Memandang musim yang mengandung luka
Serasa apa kisah sebuah dunia terhenti
Padaku, tanpa bicara.

Diri mengeias dalam kehidupan
Kehidupan mengeras dalam diri

Dataran pandang meluaskan padang senja
Hidupku dalam tiupan usia.

Tinggal seluruh hidup tersekat
Dalam tangan dan jari-jari ini
kata-kata yang bersayap bisa menari
Kata-kata yang pejuang tak mau mati.

(Etsa: 7)

Dalam sajak tadi, si aku lirik hanya menyaksikan pamandangan yang menyedihkan 'padang senja', padahal umur manusia itu terbatas. Oleh karena itu, si aku lirik beranggapan bahwa manusia harus bekerja keras untuk mengisi hidupnya agar hidupnya berbahagia dan tidak sia-sia.

Kirdjomuljo juga mengemukakan hal yang sama dalam sajaknya, "Pantai". Digambarkan dalam sajak itu bahwa tidak ada gunanya orang hanya berpangku tangan karena kehidupan ini seperti laut yang penuh rahasia dan perjuangan. Orang pun dapat memilih dalam hidup ini, berpangku tangan atau berjuang. Berikut ini penggalan sajak "Pantai" itu.

....

Menggulat kejadian dera
seperti menggulat pusaran ombak
dengan tertawa selepasnya
Kami toh akan kembali larut

entah esok, entah lusa, entah lama
bisa di darat, bisa di laut atau langit

Bisa memilih jalan mati
seperti nelayan bisa memilih jalan ke darat
bisa seharian mengembangkan layar
bisa seharian berpangku di pasir
melihat kejadian laut
dengan ngeri, cemas dengan menolak

Tapi mendapat apa berpangku dengan pasir
melukis-lukis dengan jari
melempar-lempar dengan batu
atau menulis tentang angin

mendapat apa berpangku dengan umur
mendapat apa berpangku dengan mati

Kalau mati biarlah di tengah laut
pecah berpencar dengan papan sampan
mencair ke dasar
Cinta, tubuh, sampan, dan laut
terasa masing-masing satu ibu
satu ayah, dan satu nenek.

(Romance Perjalanan I, 1955)

Hidup itu indah dan penuh arti, demikian diungkapkan Kirdjomuljo dalam sajaknya, "Memori". Untuk merebut keindahan hidup itu, si aku lirik berjuang dengan sekuat tenaga. Oleh karena itu, dalam sajak "Memori" yang dikutip sebagian berikut ini, kita temukan citra manusia yang ulet, yang mengabdikan dirinya untuk kerja dan perjuangan hidup karena dalam perjuangan hidup itu terletak keindahan dan makna kehidupan ini.

MEMORI

Bukan soalnya aku berharap
bukan pula mau berpinta
Soalnya tak bisa kuhidup
tanpa keindahan
keindahan wajah, keindahan maut
keindahan cinta, keindahan umur

Itulah, maka segala kupertaruhkan
sampai dasar kematian

Dan sudah waktunya jadi mengerti
kelahiran bukan lagi main-main
kehadiran bukan lagi tanpa sebab
serupa kelahiran puisi
bukan lahir tiada dera
bukan kata tiada arti
....

(Romance Perjalanan I, 1955)
Seringkali terjadi pertautan antara seseorang dengan orang yang dicintainya. Namun, si aku lirik dalam sajak Kirdjomuljo "Nisan" berpendapat bahwa meskipun ada pertautan itu hidup si aku tetap milik si aku lirik itu sendiri.

 NISAN

 ....

 Ada tali antara ibu dan kelahiranku
 ada cinta, antara lahirku dan harapannya
 tapi bukan tali ikatan kehadiran
 Bukan tali membelit gairah dan rambutku
 darah yang mengalir dalam tubuhku

 bukan darah ibu, bukan darah orang lain
 juga nafas dan cinta, milikku sendiri

 ....

(Romance Perjalanan I, 1955)

Karena adanya kesadaran seperti dikemukakan di atas, si aku lirik yakin bahwa hidup ini harus dijalani secara mandiri, tidak bergantung pada orang lain. Dengan demikian, di sini kita temukan citra manusia yang mandiri, yang berani bertanggung jawab.

Umur manusia makin hari makin bertambah. Dengan bertambahnya usia itu akan terjadi kematangan dan kedewasaan pada diri manusia sehingga ia mampu menerima dengan tabah segala nasib yang tiba padanya. Demikian diungkapkan Ajip Rosidi dalam sajak berikut ini.

HARI DEMI HARI

Hari demi hari meninggal, usia bertambah dewasa
Tahu makna hidup mengurai senyum, hianat manusia
Alangkah lapang dada yang mau menerima. Segala derita
Hanya cobaan belaka

Hari demi hari kembali datang, usia kian tua
Tahu makna hidup saling berbantahan, hilang percaya

Ada manusia cukup lapang dada. Timbunan ajab
Menantang segala ancaman

Duh, hari-hariku yang telah berangkat, selamat jalan saja!
Dari tingkap yang membuka langit ke dunia ini, kutahu
Sahadat tak punya agama. Makin tua
Manusia kian hilang setia

Mari hari-hariku yang kan tiba, kuraihkan tanganku sayang
Kupentangkan daun pintu kehidupan, selamat datang!

(Surat Cinta Enday Rasidin, 1960)

Kususuri malam dengan jemariku. Nafasnya
sepi angin laut. Kutumbangkan ia. Tak ada
satu lelaki cukup setia pada satu perempuan saja
Angin bangkit mengusap kita yang hidup dalam
                                    mimpi
Karena ini kota menuntut kepercayaan, sedang
semua telah lepas seperti harapannya yang tersia.

(Surat Cinta Enday Rasidin, 1960)

Konflik batin yang terjadi karena pengkhianatan cinta lebih jelas tampak dalam sajak Sitor Situmorang "Cathedrale de Chartres":

CATHEDRALE DE CHARTRES

Akan bicarakah Ia di malam sepi
Kala salju jatuh dan burung putih—putih?
Sekali-sekali ingin menyerah hati
Dalam lindungan sembahyang bersih

Ah, Tuhan, tak bisa lagi kita bertemu
Dalam doa bersama kumpulan umat
Ini kubawa cinta di mata kekasih kelu
Tiada terpisah hidup daripada kiamat

Menangis ia tersendu di hari Paskah
Ketika kami ziarah di Chartres di gereja

Doanya kuyu di warna kaca basah
Keristus telah disalib manusia habis kata

Maka malam itu sebelum ayam berkokok
Dan penduduk Chartres meninggalkan kermis
Tersedu ia dalam daunan malam rontok
Mengembara ingatan di hujan gerimis

Pada ibu, isteri, anak serta Isa
Hati tersibak antara zinah dan setia
Kasihku satu, Tuhannya satu
Hidup dan kiamat bersatupadu

Demikianlah kisah cinta kami
Yang bermula di pekan kembang
Di pagi buta sekitar Notre Dame de Paris
Di musim bunga dan mata remang

Demikianlah kisah hari Paskah
Ketika seluruh alam diburu resah
Oleh goda, zinah, cinta, dan kota
Karena dia, aku dan isteri yang setia

Maka malam itu di ranjang penginapan
Terbawa kesucian nyanyi gereja kepercayaan
Bersatu kutuk nafsu dan rahmat Tuhan
Lambaian cinta seda dan pelukan perempuan

Demikianlah
Cerita Paskah
Ketika tanah basah
Air mata resah
Dan bunga-bunga merekah
Di bumi perancis
Di bumi manis
Ketika keristus disalibkan

(Surat Kertas Hijau, 1953)

Dalam sajak Sitor itu si aku lirik yang sedang sembahyang di gereja untuk merayakan hari Paskah tiba-tiba dihantui pengkhianatan cintanya. Ia terkenang akan istrinya yang setia, yang telah dikhianatinya karena bermain cinta dengan perempuan lain. Ia pun merasa berdosa pada Tuhannya karena telah berkhianat itu. Namun, sementara itu kehadiran perempuan lain selalu saja membayang sehingga dalam batinnya terjadi konflik yang rumit: antara rasa dosa pada Tuhan, kesetiaan pada istri, dan cinta pada perempuan lain. Terjadi kegelisahan yang mendalam pada diri si aku lirik, tetapi si aku lirik sadar bahwa ia sulit melepaskan diri dari situasi yang menimpanya. Semuanya menyatu dalam dirinya: dosa, kesetiaan, dan pengkhianatan. Dengan demikian, dalam sajak Sitor ini kita dapatkan citra manusia yang gelisah, yang pada satu sisi ingin bertemu dengan Tuhannya, tetapi pada sisi lain menyadari bahwa situasi dirinya menghalangi keinginannya bertemu dengan Tuhan itu.

 Dari sejumlah sajak yang dikemukakan yang berkaitan dengan masalah hubungan manusia dengan diri sendiri dapat dilihat adanya dua corak. Corak pertama berupa introspeksi. Dalam corak ini ada beberapa hal yang diungkapkan oleh sajak-sajak itu, antara lain, citra manusia yang menyadari dan menonjolkan keakuannya, manusia yang menyadari keterbatasan hidupnya sebagai manusia, dan manusia yang menyadari etos kerja sebagai pengisian hidup. Sementara itu, sajak-sajak yang mengemukakan masalah yang berkaitan dengan corak kedua, yaitu konflik, banyak mengungkapkan kesepian, kekosongan dan kebuntuan hidup, dan kegelisahan. Jadi, dalam sajak-sajak yang menampilkan konflik batin ditemukan citra manusia yang, antara lain, kesepian dan gelisah.

 Dalam sajak Chairil Anwar "Selamat Tinggal" diungkapkan bahwa masalah yang dihadapi seorang manusia itu banyak sekali. Oleh karena itu, memecahkan masalah pribadi itu sesungguhnya harus dilakukan oleh setiap pribadi itu, bukan oleh orang lain karena seorang diri saja manusia itu telah menghadapi demikian banyak masalah dalam kehidupannya:

SELAMAT TINGGAL

Aku berkaca
Ini muka penuh luka
Siapa punya?

Kudengar seru menderu
—dalam hatiku?—
Apa hanya angin lalu?

Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta

Ah .....!!

Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal.....!!
Selamat tinggal.....!!

(Deru Campur Debu, 1959)

Introspeksi yang dilakukan dalam hubungan manusia dengan diri sendiri kadangkala membawa diri ke kesadaran bahwa manusia itu tidak sempurna, seperti yang diungkapkan M. Taslim Ali dalam sajaknya "Aku dan Debu". Manusia itu sesungguhnya hanya 'debu' atau sesuatu yang tidak berarti: 'Aku penjelajah gelap dan caya. /Aku debu,/seperti tangis darah dan daging/seperti debu, keluh kakiku,/debu takdir, bedil dan mortir.'(Jassin, 1959: 276). Dari kesadaran yang terungkap dalam sajak "Aku dan Debu" itu tampak bahwa sajak M. Taslim Ali menampilkan citra manusia yang religius, yang sadar bahwa manusia tidak berarti apa-apa tanpa kehadiran Tuhan. Hal yang sama terdapat juga dalam sajak Mohammad Ali "Aku" yang mengemukakan bahwa manusia akan sengsara dan tidak berarti bila ia menjauhkan diri dari Tuhan.

 Manusia yang lemah di hadapan Tuhan itu dikemukakan juga oleh Usmar Ismail dalam sajaknya "Aku pun Masa" (Jassin, 1969:50): 'Sering pabila kalbu sunyi/Terasa nyata lemahku ini/Segala berat menimpa hati/Tiap dayaku terimpit mati.//....//Hanya kau Tuhanku, Pegangan Satu/Meski aku pun masa di dalam kalbu'.

 Dalam berintrospeksi manusia kadang-kadang sadar bahwa dirinya adalah makhluk yang egois, yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Aku lirik dalam sajak Mahatmanto "Dilarang Memetik Bunga", misalnya, yang semula egois dan selalu cemburu pada kebahagiaan orang lain akhirnya sadar dan jemu sendiri dengan sikapnya itu:

.....

Lama-lama aku jadi jemu
bukan oleh bunga
yang sekarang mulai layu

dan bukan oleh tulisan itu
melainkan jemu oleh cemburu

Biarlah! Biarlah dipetik setangkai
akan kembang setangkai yang lain pula

Aku tiada hanya mengingat
ke diri sendiri semata.

(Jassin, 1959: 181)

 Introspeksi yang dilakukan si aku lirik dalam sajak Mahatmanto di atas akhirnya mengubah sikap dan perilaku si aku lirik. Namun, ketika berintrospeksi, manusia kadang-kadang sadar akan nasib yang menimpanya tanpa bisa mengubah nasib yang telah digariskan kepadanya. Hal seperti itu tampak dalam sajak Chairil Anwar "Cintaku Jauh di Pulau" yang mengungkapkan bahwa meskipun si aku lirik telah berjuang keras untuk meraih cita-cita hidupnya, perjuangan itu akhirnya kandas karena maut telah lebih dulu datang menghadangnya. Bahkan suasana sekitar yang tampaknya mendukung terasa percuma:

CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau
gadis manis, sekarang iseng sendiri.

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang terang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertahta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja."

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
Kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.

(Peru Campur Debu, 1959)
Dalam sajak Chairil Anwar yang lain, "Deral-Derai Cemara" bahkan dikatakan bahwa 'hidup hanya menunda kekalahan/ ..../sebelum pada akhirnya kita menyerah' (Anwar, dkk., 1958: 17). Dengan demikian, di sini terdapat citra manusia yang tragis, yang mau tak mau harus menyerah pada nasib.

 Nasib manusia yang tragis adalah sebagian dari kehidupan yang penuh misteri. Pada dasarnya kehidupan itu adalah rahasia yang tak terpahamkan seperti diungkapkan Asrul Sani dalam sajaknya "Orang dalam Perahu". Dalam sajak itu manusia dikiaskan sebagai penumpang perahu yang berada di tengah laut, sedangkan laut itu sendiri adalah lambang kehidupan yang demikian luas dan penuh rahasia. Si aku lirik dalam sajak Asrul Sani ini hanya bisa pasrah, menyerahkan diri kepada angin yang entah akan membawanya ke mana.

 ORANG DALAM PERAHU

Hendak ke mana angin
buritan ini membawa daku
sedang laut tawar tiada mau tahu
dan bintang, tiada
pemberi pedoman tentu.

Ada perempuan di sisiku
sambil tersenyum
bermain-main air biru
memandang kepada panji-panji
di puncak buritan
dan berkata
"Ada burung camar di jauhan!"

Cahaya bersama aku.
Permainan mata di tepi langit
akan hilang sekejap waktu.
Aku berada di bumi luas,
Laut lepas
Aku lepas.
Hendak ke mana angin
buritan membawa daku.

(Mantera, 1975)

 Bila dalam menghadapi kehidupan manusia kadang-kadang hanya bisa pasrah, dalam menanti kematian pun manusia tidak kuasa menentukan usianya. Manusia hanya dapat pasrah dalam menghadapi kematiannya,seperti diungkapkan Kirdjomuljo dalam sajaknya "Margarana". Dengan demikian, dalam sajak Kirdjomuljo ini kita temukan citra manusia yang pasrah, seperti terbaca dalam larik-larik berikut ini.

 MARGARANA

Ada sekali saat
jarak begitu menjadi pendek
umur berlangsung sangat singkat
ialah mati di saat muda

Tak kurasa
apa beda antara ia
mati muda dan jauh larut

Bagaimana bisa menjadi sesal
Bila keduanya
mati atas diri

Setidaknya mati atas cinta

(Roman Perjalanan, 1955)

 Dalam hidup di dunia sesungguhnya manusia itu makhluk yang terasing. Ia merasakan alienasi dengan orang lain, merasa hidup terpisah dengan orang lain. Oleh karena itu, manusia selalu merasa terasing dan kesepian, seperti yang dirasakan si aku lirik dalam sajak Subagio Sastrowardoyo berikut ini.

 ADAM DI FIRDAUS

Tuhan telah meniupkan napasnya
ke dalam hidung dan paruku
Dan aku berdiri sebagai adam
di simpang sungai dua bertemu.

Aku telah mengaca diri
ke dalam air berkilau. Tiba aku terbangun
dari bayanganku beku:
Aku ini makhluk perkasa dengan dada berbulu.

Aku telanjangkan perut dan berteriak:
"Beri aku perempuan!" Dan suaraku
pecah pada tebing-tebing tak berhuni.

Dan malam Tuhan mematahkan
tulang dari igaku kering dan menghembus
napas di bibir berembun. Dan
subuh aku habiskan sepiku pada tubuh bernapsu.

Ah, perempuan!
Sudah beratus kali kuhancurkan badanmu di ranjang
Tetapi kesepian ini, kesepian ini datang berulang.

(Simphoni, 1957)

Sajak Subagio Sastrowardoyo di atas memperlihatkan citra manusia yang kesepian. Kesepian yang dideritanya bahkan tak tumpas dengan tindakan seksual karena sepi masih saja datang menyapanya.

 Kesepian yang dirasakan seorang manusia dapat dikatakan merupakan awal konflik batin yang terdapat dalam hubungan manusia dengan diri sendiri. Chairil Anwar dalam sajaknya "Merdeka", misalnya, juga melukiskan konflik batin yang terjadi karena si aku lirik mendambakan kebebasan, padahal kebebasan mutlak itu tidak ada.

 MERDEKA

Aku mau bebas dari segala
Merdeka
Juga dari Ida

Pernah
Aku percaya pada sumpah dan cinta
Menjadi sumsum dan darah
Seharian kukunyah — kumamah

Sedang meradang
Segala kurenggut
Ikut bayang

Tapi kini
Hidupku terlalu tenang

Selama tidak antara badai
Kalah menang

Ah! Jiwa yang menggapai-gapai
Mengapa kalau beranjak dari sini
Kucoba dalam mati.

 Dalam sajak Chairil Anwar yang lain, "Sia-sia", kesepian menimpa si aku lirik karena keangkuhannya tidak mau menerima kekasihnya. Padahal, tanpa cinta dari kekasihnya itu hidupnya menjadi sepi.

 SIA-SIA

Penghabisan kali itu kau datang
membawa karangan kembang
Mawar merah dan melati putih:
darah dan suci
Kau tebarkan depanku
serta pandang yang memastikan: Untukmu

....

Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri

Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

(Deru Campur Debu, 1959)

Dengan demikian, dalam sajak "Sia-Sia" kita temukan citra manusia yang kesepian karena keangkuhannya.  Dalam sajak Sitor Situmorang "Berita Perjalanan" si aku lirik yang mengembara untuk mencari kepenuhan dan makna hidup pada akhirnya hanya menemukan kesepian dan kekosongan dalam pengembaraannya itu.

 BERITA PERJALANAN

Kujelajah bumi dan alis kekasih
Kuketok dinding segala kota
Semua menyisih

Keragaman nikmat bebas
Serta kerdilnya ikatan batas
Tersisa di tangkapan hanya hampa

Saat memuncak
detik menolak
Terbanting diri pada kebuntuan

Hati berontak
Batas mengelak
Meruah ingin dalam kekosongan

Jakarta, A'dam, Paris, Geneva satu nama
Salju Alpina di Jibuti gurun Afrika

Sejak itu sepakat kebuntuan
Jadi teman seperjalanan kekosongan
Dalam sajak mencari kepenuhan
Perang antara kesetiaan dan pengembaraan

(Surat Keras Hijau, 1953)

Karena hanya menemukan kekosongan dalam pengembaraannya itu akhirnya terjadi perang batin pada diri si aku lirik, yaitu antara mencari kepenuhan hidup dan kesetiaan pada yang telah ada yang berupa ikatan-ikatan lama dan aturan-aturan hidup ataupun keagamaan.

 Dalam sajak Ajip Rosidi "Menolak Hasrat" terjadi juga perang batin pada diri si aku lirik. Aku lirik yang senantiasa mencari apa yang selalu tak dapat ditemukannya, dan justru ia selalu saja menemukan hal-hal yang tidak diharapkannya.

 MENOLAK HASRAT

mengembara aku dalam sendiri dalam sepi
ada yang kucari dan selalu tak kudapat
ada yang kudapat dan terkadang tak kuharap

segala bisa jadi senja diburu kekalutan
memang bisa ditolak permintaan anak bocah
memang bisa ditolak harapan setiap datang

 diamlah dalam malam bening di alam hening
 ia mengupas malam pada paginya

(Pesta, 1956)

Perang batin kadang-kadang terjadi pula karena benturan antara kesetiaan dan godaan seperti yang dikemukakan Ajip Rosidi dalam sajaknya "Sindanglaut". Berikut ini disajikan penggalannya.

....

Laut. Mendenturkah ombak menayang bulan di wajahnya
ke pantai miring pada malamku?
Malam. Gigihkah kesetiaan mencengkam hati selalu?
Kulepas nafas. Laut mendentur masih
Yang garang mendarat, pecah darah bulan putih
Di tanganku ia mengempas, atas dadanya yang gemetar
Kumimpikah damai rumah dan istri setia.

Perempuan ini bicara tentang harapan yang tersia
Kita telah sama kehilangan pegangan dalam galau ini kota
Kita telah kehilangan apa yang kita genggam, karena semuanya
tak berakar pada tangan. Semua telah lepas
Kita bersandar pada pusat malam dan cahaya bulan putih
Kita tenggelam dalam irama lambat memecah pantai

(Surat Cinta Enday Rasidin, 1960)


6.5 Simpulan

Sajak-sajak Indonesia tahun 1920—1960 yang mengemukakan masalah hubungan manusia dengan diri sendiri ternyata menghadirkan beberapa citra manusia. Citra manusia yang tampak dalam kaitan ini adalah citra manusia yang menemukan diri, citra manusia yang mengalami konflik batin, dan citra manusia yang mencari makna hidup. Sajak yang mengungkapkan citra manusia yang menemukan diri antara lain mengemukakan bahwa manusia itu sesungguhnya makhluk yang tak berarti apa-apa di hadapan kekuasaan Tuhan. Sementara itu, sajak-sajak yang mengungkapkan citra manusia yang mengalami konflik batin menunjukkan adanya perkembangan. Apabila dalam kurun waktu 1920—1940 sajak-sajak yang mengungkapkan citra manusia yang mengalami konflik batin banyak menghadirkan citra manusia yang tak berdaya, citra manusia yang menjadi korban situasi dirinya, sajak-sajak kurun waktu 1940—1960 tidak banyak lagi mengemukakan citra manusia semacam itu. Dalam sajak-sajak kurun waktu terakhir itu, citra manusia yang mengalami konflik batin pada umumnya lahir dari pelanggaran terhadap nilai moral dan agama. Demikian, antara lain, yang dapat dikemukakan dalam kaitannya dengan sajak-sajak Indonesia 1920—1960 yang mengungkapkan masalah hubungan manusia dengan diri sendiri.