Buku Praktis Bahasa Indonesia 2/Sastra
Mengenal Nilai Sastra
[sunting]Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah sastra atau karya sastra: prosa atau puisi. Dengan membaca karya sastra, kita akan memperoleh "sesuatu" yang dapat memperkaya wawasan dan/atau meningkatkan harkat hidup. Dengan kata lain, dalam karya sastra ada sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan.
Karya sastra (yang baik) senantiasa mengandung nilai. Nilai itu dikemas dalam wujud struktur karya sastra, yang secara implisit terdapat dalam alur, latar, tokoh, tema, dan amanat atau di dalam larik, kuplet, rima, dan irama. Nilai yang terkandung dalam karya sastra itu, antara lain, adalah sebagai berikut:
(1) nilai hedonik, yaitu nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca;
(2) nilai artistik, yaitu nilai yang dapat memanifestasikan suatu seni atau keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan;
(3) nilai kultural, yaitu nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, atau kebudayaanl;
(4) nilai etis, moral, agama, yaitu nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama;
(5) nilai praktis, yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Sastra Bernuansa Sejarah
[sunting]Peristiwa masa silam tidak mungkin berulang lagi. Benarkah pandangan itu? Secara sekilas, pandangan itu dapat kita terima. Namun, pola kejadiaanya mungkin saja tampil pada masa kini atau pada masa yang akan datang. Agaknya itulah yang menyebabkan timbulnya ungkapan "kita perlu belajar pada sejarah" karena peristiwa pada masa lampau dapat memberikan hikmah pada kehidupan masa kini atau pada hari esok.
Karya sastra yang bermuatan kisah masa silam bukanlah rekamam fakta sejarah yang sesungguhnya, melainkan hasil rekaan. Sekalipun demikian, karya itu juga bukan sepenuhnya buah imajinasi pengarangnya.
Nilai kepahlawanan atau semangat perjuangan, misalnya, dapat kita simak dalam novel Mutiara (Nur Sutan Iskandar, 1946), Pagar Kawat Berduri (Trisnoyuwono, 1963), Surapati (Abdul Muis, 1965), dan Robert Anak Surapati (Abdul Muis, 1987). Dalam Mutiara, Nur Sutan Iskandar berkisah tentang perilaku penjajah di tanah Aceh. Kendati ia tidak terlibat langsung dalam peristiwa itu, mata batinnya mampu menjangkau dan menjadi saksi sejarah. Untuk itu, ia bertutur melalui karyanya pada cukilan percakapan di bawah ini.
“ | Cut Meutia agak termangu-mangu.
... "Tuhan, aku bersumpah akan meneruskan perjuangan bangsa ini sekuat tenagaku. Tak ada mati yang kuharapkan mati syahid dalam mempertahankan agama, bangsa, dan tanah airku yang suci ini." |
” |
Begitulah Iskandar menitipkan pesan jiwa patriotisme. Dengan demikian, di dalam karya itu tersirat juga nilai kepahlawanan.
Trisnoyuwono pernah mengangkat unsur sejarah pada masa perang kemerdekaan di dalam karyanya Pagar Kawat Berduri. Fakta sejarahnya ialah perang revolusi menjelang kedaulatan pada tahun 1949. Ia menampilkan kembali dalam karya sastranya itu kisah kehidupan orang tahanan (lebih dari 150 orang) yang meringkuk di sebuah kamp darurat di Salatiga. Mereka terbelenggu penderitaan, tetapi dalam dadanya tetap tumbuh semangat untuk membela negara.
Ragam puisi--wiracarita (epos) atau balada—yang bertemakan perjuangan juga tidak sedikit dalam karya sastra. Melalui sejumlah sajak, Amir Hamzah mengemukakan keperkasaan Hang Tuah; Chairil Anwar menampilkan kegagahan Pangeran Diponegoro; M. Saribi Afan menampilkan keberanian Pangeran Sudirman; dan Subagio Sastrowardojo menampilkan ketegaran Mongonsidi ketika menghadapi tiang eksekusi. Keperkasaan, kegagahan, keberanian, dan ketegaran tokoh itu dapat kita hayati kembali dalam mengisi wawasan kebangsaan kita. Subagio Sastrowardoyo dalam Monginsidi menumbuhkan "cinta bangsa" bagi generasi penerusnya.
“ | Aku adalah dia yang berteriak 'merdeka' sebelum ditembak mati. Aku adalah dia, ingat, aku adalah dia! | ” |
Sastra dan Nilai Budaya Daerah
[sunting]Sebagian besar sastra daerah di Indonesia identik dengan sastra lisan. Fungsinya, selain sebagai saluran untuk memelihara dan menurunkan buah fikiran suku atau puak yang mempunyai sastra itu, juga cerminan alam pikiran, pandangan hidup, serta ekspresi rasa keindahan masyarakat pemiliknya. Itulah yang biasa dinamakan dengan nilai budaya daerah.
Sistem nilai itu berupa konsepsi yang hidup dalam alam pikiran warga masyarakat sebagai sesuatu yang amat bernilai dalam kehidupan. Wujudnya dapat berupa adat-istiadat, tata hukum, atau norma-norma yang mengatur langkah dan tindak budaya yang adab. Dengan sikap rasa ikut memiliki, dalam diri seseorang akan timbul rasa menghargai dan memiliki sesuatu yang sebenarnya memang milik bersama, seperti ada rasa memiliki terhadap ungkapan di dalam bahasa Jawa tut wuri handayani dan pepatah bulat air kerena buluh, bulat kata karena mufakat. Dalam kehidupan keluarga sering kita dengar petuah, "Janganlah menjadi anak seperti Si Malin Kundang dan Si Mardan yang mendapat kutukan karena tidak hormat kepada orang tua."
Sastra dan Kebenaran
[sunting]Seseorang yang ingin memahami "kesiapan" sastrawan tentu perlu membaca karyanya. Hal itu dapat dilakukan jika sastrawan itu mampu mengutarakan pikiran dan perasaanya dengan baik dan jelas. Kejelasan pengungkapan khazanah batin sastrawan ke dalam karyanya itu tentu bergantung pada kepiawaiannya memberdayakan bahasa sebagai sarananya.
Betapapun hebatnya gejolak imajinasi atau ide sastrawan, ia tidak akan mampu menuangkannya sama persis dengan apa yang dirasakannya. Hal itu boleh jadi disebabkan oleh minimnya penguasaan bahasa sastrawan dan/atau keterbatasan bahasa itu sendiri sebagai sarana. Selain itu, apa yang terungkap dalam karya itu bukanlah semata-mata hasil pengamatan sastrawan, tetapi juga apa yang dirasakan dan ditafsirkannya tentang objek yang dihadapinya. Karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa seni merupakan tiruan alam tidak sepenuhnya benar.
Bila karya sastra bukan semata-mata tiruan alam, berarti sastra itu tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang memperjuangkan kebenaran. Akan tetapi, dalam kenyataannya, ukuran kebenaran sering diterapkan orang dalam menilai suatu karya sastra. Penikmat sastra acapkali menghubungkan peristiwa yang tertuang dalam karya sastra dengan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.
Tanggung jawab moral terhadap kebenaran itu memang harus ada dalam diri sastrawan melalui karyanya. Jika tidak, penikmat sastra alam menolaknya. Untuk itu, yang perlu dipersoalkan adalah pengertian kebenaran dalam karya sastra itu.
Kebenaran dalam karya sastra bukan kebenaran yang sama persis dengan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari, kebenaran pelambangan, kebenaran ideal, atau kebenaran yang sepatutnya terjadi. Patokan semacam itu akan dapat membantu pemahaman para penikmat sastra dalam menerima cerita dongeng atau cerita kepahlawanan yang berbaur dengan kesaktian dan keajaiban, sebagaimana terlihat dalam epos "Ramayana" dan "Mahabarata".
Sastra dan Agama
[sunting]Agama bagi kebanyakan bangsa pada berbagai macam tingkat kemasyarakatan merupakan daya penyatu yang amat sentral dalam pembinaan kebudayaan. Agama mampu mengawal hukum moral, mendidik tunas muda, dan mengajarkan aneka kearifan dan kebijakan.
Seiring dengan fungsinya, agama juga bertindak sebagai faktor kreatif dan dinamis, perangsang atau pemberi makna kehidupan. Melalui agama, kita pun dapat mempertahankan keutuhan masyarakat agar hidup dalam pola kemasyarakatan yang telah tetap, sekaligus menuntun umat untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Peran agama sebagai pendorong penciptaan karya sastra, sebagai sumber ilham, patut pula diperhitungkan. Sebaliknya, acapkali karya sastra bermuara pada ajaran agama. Bahkan, dalam kenyataan, agama merupakan ambang pintu bagi segenap kesusastraan agung di dunia serta sumber filsafat yang selalu mengacu kepadanya.
Sebagai karya kreatif, karya sastra yang mengangkat masalah kemanusiaan, yang bersandarkan kebenaran, akan menggugah nurani dan memberikan kemungkinan pertimbangan baru pada diri pembacanya. Hal itu tentu ada kaitannya dengan tiga wilayah fundamental yang menjadi sumber penciptaan karya sastra: kehidupan agama, sosial, dan individual. Oleh karena itu, cukup beralasan apabila sastra dapat berfungsi sebagai peneguh suasan batin pembaca dalam menjalankan keyakinan agamanya.
Petikan sajak "Di Depanmu Aku Sirna Mendebu" (Budiman S. Hartojo) tergolong karya keagamaan yang menyiratkan kebesaran Sang Pencipta.
Di depan-Mu sirna mendebu
Engkaulah segalanya, kekekalan sempurna
Di mata-Mu semesta lenyap mengabu
Engkaulah yang abadi, serba dan maha
.....
Keagungan Tuhan, tuntunan mencintai sesama, dan ketakwaan kepada Sang Khalik juga dapat ditemukan dalam sejumlah karya sastra Indonesia.
Semangat Perjuangan dalam Puisi Indonesia
[sunting]Pergerakan kebangsaan untuk mewujudkan cita-cita "merdeka" telah berkobar di mana-man. Para sastrawan menyatu dalam satu barisan perjuangan kemerdekaan. Pekik yang mengobarkan semangat kebangsaan dari kalangan sastrawan terbit dalam wujud puisi perjuangan. Chairil Anwar, dengan mengangkat kegagahan sang pahlawan nasional Diponegoro, bangkit seraya berujar:
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
Pelopor Angkata 45 ini menyatakan bahwa hidup dan kehidupan ini harus mempunyai makna dan harus diisi kendati berbagai rintangan terus menghadang. Dinyatakan pula bahwa tekad perjuangan harus mencerminkan sikap:
Sekali berarti
Sudah itu mati
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda
Taufik Ismail, tokoh Angkatan 66, mengangkat ulang betapa kejamnya penjajahan. Melalui sajak "Setasiun Tugu", ia melukiskan kepongahan militer Belanda pada 1947. di dalamnya terungkap bahwa pengorbanan para pejuang kemerdekaan semakin punya arti dalam kehidupan masa kini
....
Seluruh penjemput sama tegak, memandang ke arah barat
Ibu muda menjagakan anaknya yang kantuk dalam lesu
Wahai ibu muda, sehari atap-atap kota berbasah
Karena kezaliman militer pagi tadi terjadi di Klender
Seluruh Republik menundukkan kepala, nestapa, dan resah
Uap unggun berdesir menyerat gerbong jenazah terakhir!
Kita,setiap warga bangsa, harus pasrah dan jangan separuh hati melepas kepergian para perintis kemerdekaan. Jangan ditampik jasa dan pengabdian mereka. Itulah pesan Mansur Samin dalam sajak "Agustus", yang mengingatkan kita agar pengorbanana dalam meraih kemerdekaan tidak perlu ditangisi. Pengorbanan adalah tebusan kemerdekaan yang kita rebut. Sang penyair mengguratkan:
...
Jangan tangisi, jangan hindari kenyataan ini
Karna fajar pagi akan membuka langit sedihnya
Menyediakan tanya untuk kita tidak salinb bicara
Di mendung gerimis Agustus ini
Simpanlah risalah lama melanting ke kedalaman
...
Hentingkan di sini, jangan dengan separo hati
Puisi Absurd
[sunting]Istilah absurd dapat diartikan 'tidak harmonis', sesuatu yang kurang jelas atau tidak sesuai dengan logika'. Dalam sastra, sifat absurd muncul dalam bentuk pengabdian konvensi pengaluran, penokohan, dan/atau penampilan tema seperti dalam drama atau dalam novel absurd. Dalam drama dan novel absurd ditampilkan manusia yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya, merasa tidak berarti, terasing, terpencil, atau terselisihkan. Dalam puisi absur, makna konvensional suatu kata tidak diperlukan. Kata tidak mampu lagi mendukung makna keseharian.
Sebagai contoh, sajak "Pot" karya Sutardji Calzoum Bachri berikut ini tergolong absurd.
Pot apa pot itu kaukah pot aku
Pot pot pot
Yang jawab pot pot pot potkaukah pot itu
Yang jawab pot pot pot potkaukah pot aku
Potapa potitu potkaukah potaku
Pot
Puisi Sufi
[sunting]Puisi sufi dapat diartikan puisi yang ditulis oleh penganut paham tasawuf, puisi yang mengandung nilai-nilai tasawuf, atau puisi yang mengandung pengalaman tasawuf. Puisi sufi biasanya mengungkapkan kerinduan penyairnya kepada Tuhan, hakikat hubungan makhluk dengan Sang Khalik, dan segala perilaku yang tergolong dalam pengalaman religius.
Sebagai contoh, dapat kita simak sajak "Tuhan, Kita Begitu Dekat" karya Abdul Hadi W.M. di bawah ini.
Tuhan,
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam api-Mu
Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kain-Mu
Puisi Mbeling
[sunting]Dalam bahasa Jawa mbeling berarti 'nakal dan keras kepala'. Kata itu digunakan oleh Remy Silado dan kawan-kawannya untuk memberi predikat pada puisi yang menggugat puisi yang dianggap mapan dalam kovensi estetisnya, seperti puisi Rendra, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Djoko Damono.
Puisi mbeling muncul pada awal tahun 1970an. Sajak-sajak ataupun karya-karya para penyair mapan ditiru untuk mencari efek kejenakaan. Bahasa apa saja dapat digunakan dalam puisi mbeling. Kalimat-kalimat yang digunakan adalah wujud dari pengungkapan yang bersifat ringan, main-main, dan kadang-kadang lucu. Sekalipun demikian, tidak jarak puisi itu mengandung nilai yang dapat kita petik. Misalnya, sajak berikut ini lebih mempersoalkan dosa sendiri daripada mempersoalkan dosa orang lain.
Aku Ingin Tanya
Siapakah yang paling banyak dosa
Pelacur,
Garong,
Koruptor,
Kau,
Atau aku?
(S.G., Stop, No. 163 September 1973)
Protes sosial, kritik, dan persoalan serius lain dikemas dalam bahasa yang sederhana. Dalam puisi berikut, penyair mengingatkan bahwa di sekitar kita banyak orang yang menyembunyikan diri di balik topeng.
Catatlah
Catatlah di buku hatimu
Ikatlah di jari-jemarimu
Torehlah di biji matamu
Dan mengigaulah:
Bahwa dari ini:
Banyak orang main akrobat
Dengan topeng-topeng lusuh
Meski bukan sirkus
(Th. Sugiyo)
Walaupun hanya berusia singkat (1971—1977), puisi mbeling (yang dikenal pula dengan aneka macam nama, seperti puisi awam, puisi lugu, puisi underground) telah memberi kesempatan kepada banyak penyair muda yang karyanya tidak tertampung dalam majalah sastra resmi, pada akhirnya dapat menjadikan mereka sebagai penulis "serius" pada saat ini.
Citraan dalam Puisi
[sunting]Kepiawaian seorang penyair agar gubahannya dapat memukau para penikmatnya acapkali ditentukan oleh ketepatan gambaran angan atau citraan yang disuguhkan. Citraan itu merupakan unsur penting dalam struktur sajak yang dapat membantu penghayatan karya sastra itu.
Sarana retorika itu dapat disebut gambar angan sebuah objek yang tampak oleh mata (batin), tetapi juga dapat menyarankan hal-hal yang merangsang pancaindra yang lain. Sebagai "permainan bahasa" yang erat kaitannya dengan fungsi pancaindra, citraan setidaknya dapat dibedakan atas beberapa macam:
citraan bauan, misalnya:
Bau tubuhnya murni
bagi bau rerumputan
Kudekap ia
bagai kudekap hidup dan matiku.
citraan gerakan, misalnya:
Pohon-pohon cemara di kaki gunung
pohon-pohon cemara
menyerbu kampung-kampung
Bulan di atasnya
menceburkan dirinya ke dalam kolam
citraan lihatan, misalnya:
Sepasang mata biji saga
Tajam tangannya lelancip gobang
Berebahan tubuh-tubuh lalang di lobang
citraan dengaran, misalnya:
Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
citraan cecepan, misalnya:
lidahku telang mengecap
kesat selera mau
citraan rabaan, misalnya:
Kalau hanya berpegang pada nyanyi luka
Tahun ini kau lalu tanya tanpa suatu nama
Teraba nadiku makin bernafsu sangat cemas
Dan pelahan mengutus datang hari-hari mati
Sapaan dalam Sajak
[sunting]Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia mengemukakan keterangan mengenai nomina penyapa. Karena keanekaragaman bahasa dan budaya daerah, pemakai bahasa Indonesia memiliki bentuk lain yang dipakai sebagai penyapa untuk pesona kedua. Ada empat hal yang biasanya diperhitungkan orang untuk menentukan kata penyapa, yaitu (1) letak geografis, (2) bahasa daerah, (3) lingkungan sosial, dan (4) budaya bangsa.
Budaya bangsa kita yang sangat memperhatikan tata krama pergaulan, sering membuat orang segan memakai pronomina persona kedua atau kata ganti orang kedua kamu, engkau, dan Anda karena dirasakan kurang hormat. Itulah sebabnya istilah kekerabatan seperti bapak, ibu, adik, kakak, dan paman nama jabatan, pangkat atau gelar, misalnya lurah, dan profesor dapat digunakan sebagai kata penyapa
(1) pronomina persona kedua : kamu, engkau, Anda
(2) istilah kekerabatan : bapak, ibu, kakek
(3) jabatan, pangkat, gelar : lurah, letnan, haji, raden
Di dalam bahasa yang hanya mempunyai satu pronomina persona kedua, nomina penyapa itu dapat dipakai di dalam situasi formal ataupun tidak formal.
Berikut ini pemakaian kata penyapa yang digunakan di dalam sajak.
DOA
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita,
kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik,
setelah menghalaukan panas payah terik.
Angin malam menghembus lemah, menyejuk badan melambung rasa menayang pikir, membawa angan
ke bawah kursi-Mu.
Hatiku tenang menerima kata-Mu, bagai bintang memasang lilinnya.
Hatiku terbuka menunggu kasih-Mu,
bagai sedap malam menyirak kelopak.
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan kata-Mu,
penuhi dadaku dengan caya-Mu,
biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku sayu!
(Nyanyi Sunyi)
Sepintas kita menyangka bahwa kekasihku pada larik pertama adalah manusia yang dicintai penyair. Akan tetapi, dari bagian lain sajak itu kita dapat menduga bahwa kekasihku dan –mu adalah Tuhan. "Angin malam menghembus lemah, menyejuk badan, melambung rasa menayang pikir, membawa angan ke bawah kursi-Mu".
Perhatikan bagian menayang pikir, membawa angan ke bawah kursi-Mu di dalam larik itu. Semuanya, bersama dengan "angin malam" pada awal larik, memberikan siratan makna kepada "doa di tengah malam yang secara khusyuk dihadapkan ke bawah 'arasy Allah'.
Dari contoh itu kita mendapat gambaran bahwa mengenal siapa yang berbicara atau mengetahui siapa yang dimaksud dengan –mu, engkau, tuan, kekasih oleh penyair akan memudahkan kita menangkap atau memahami isi sajak.
Bengkel Sastra
[sunting]Sudah sejak tahun 1994 dalam kegiatan Bulan Bahasa dan Sastra di Pusat Bahasa selalu diramaikan dengan penyelenggaraan Bengkel Sastra. Bengkel Sastra adalah suatu kegiatan cipta sastra yang diselenggarakan dalam rangka upaya meningkatkan apresiasi siswa terhadap sastra. Selain itu, Bengkel Sastra juga merupakan wadah penyaluran bakat dan kreativitas siswa dalam bidang cipta karya sastra.
Karya Sastra yang dipilih sebagai bahan kegiatan Bengkel Sastra, antara lain, adalah puisi dan cerita pendek. Khusus untuk puisi yang dijadikan bahan adalah puisi bebas dan puisi modern.
Tujuannya agar para peserta "Bengkel" dapat mengenal unsur-unsur, serta cara-cara penciptaan puisi dan penulisan cerita pendek.
Drama sebagai Karya Sastra
[sunting]Ruang lingkup kegiatan kesusastraan terdiri atas beberapa subsistem, yaitu subsistem puisi, subsistem prosa (cerpen dan novel), dan subsistem drama. Subsistem drama seperti juga subsistem sastra lainnya merupakan bagian-bagian dari subsistem komunikasi antarmanusia, yang ditandai oleh kehendak manusia (penulis) untuk berkomunikasi secara tidak langsung. Keinginan penulis ingin berbicara tentang manusia dan kemanusiaan, tentang hidup dan kehidupan, tentang hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan manusia lain, dengan alam, dan dengan Tuhan ditandai oleh pola hubungan manusia melalui dialog. Peranan dialog dalam karya sastra sangatlah penting dan dominan karena ia (dialog) mewakili penulis dalam hal penyampaian karakterisasi tokoh-tokoh dalam cerita secara mendalam kepada penonton melalui para pekerja teater (produser, sutradara, aktor, dan perangkat lainya) sehingga terwujud atau tervisualisasi sebuah naskah drama yang menjadi tontonan yang berarti dan bermakna.
Objek harapan karya sastra draman, seperti juga karya sastra lainnya adalah hidup dan kehidupan manusia, yang terdiri atas beberapa episode menuruti hukum hidup manusia, yaitu kehidupan itu ada awal, puncak, dan akhir. Oleh karena itu, struktur dramatik yang dominan dalam karya sastra drama berbentuk segitiga, yaitu bagian awal (eksposisi), komplikasi (konflik), bagian tengah (klimaks/krisis), dan bagian akhir (resolusi).
Penulis drama mempunyai tujuan dalam menulis, misalnya ia menyatakan kedirian atau falsafah, ide-idenya, kepercayaannya. Mungkin juga ia ingin mengajari manusia tentang bagaimana seharusnya hidup atau mungkin juga hanya sekedar ingin mengisahkan pengalaman hidup saja. Untuk itu, terpulang kepada pembaca apakah ia dapat atau mau mengambil manfaat dari karya tersebut. Oleh sebab itu, dalam karya drama pengarang/penulis akan memilih permasalahan yang penting dalam kehidupan manusia (subject matter) sebagai bahan untuk menyatakan/mengekspresikan ide-idenya dalam cerita (tema). Hal lain yang menandai karya sastra drama adalah penulis/pengarang menggunakan unsur bahasa dalam karangannya berupa bentuk dan gaya. Dalam hal bentuk penulis/pengarang drama dapat memilih cerita seperti tragedi, tragedi komedi, dan komedi. Selain itu, hal yang menyangkut gaya pengarang/penulis drama dapat memilih gaya, seperti realistik, romantik, atau absurd.
Sajak dan Rima
[sunting]Sajak merupakan karya sastra yang berciri mantra, rima, tanpa rima, ataupun kombinasi kedua-duanya. Kekhususan sajak, jika dibandingkan dengan bentuk sastar yang lain, terletak pada kata-katanya yang topang-menopang dan berjalinan dalam arti dan irama. Dalam sajak terdapat rima, yaitu pengulangan bunyi berselang yang terjadi dalam larik (baris,leret) atau pada akhir larik-larik yang berdekatan.
Contoh:
Apa yang terjadi nanti
Jika awan bergulung
Singgah dipunggung gunung
Sanjak
[sunting]Saat ini, istilah sanjak dihindari pemakaiannya. Sebagai gantinya digunakan sajak.
Rima
[sunting]Rima adalah penggulungan bunyi berselang dalam sajak, barik dalam larik (baris, leret) maupun pada akhir larik-larik yang berdekatan. Agar terasa keindahannya, bunyi yang berirama itu ditampilkan oleh tekanan, nada, atau pemanjangan suara. Jenis rima, antara lain, runtun vokal atau asonansi, purwakanti atau aliterasi, dan rima sempurna.
Paham relativisme
[sunting]Paham relativisme adalah paham penilaian yang menghendaki tidak adanya penilaian lagi atau penilaian yang dihubungkan dengan tempat dan waktu terbitnya karya sastra.
Paham Absolutisme
[sunting]Paham absolutisme merupakan penilaian karya sastra berdasarkan paham, aliran, politik, moral, atau ukuran tertentu yang bersifat dogmatis dan pandangan yang sempit.
Paham Perpektivisme
[sunting]Paham ini merupakan penilaian ditinjau dari barbagai sudut pandang, yaitu dengan memberikan gambaran tentang nilai-nilai sebuah karya sastra, baik pada masa pemunculannya maupun pada masa berikutnya.
Mengenal Cerita Rakyat
[sunting]Sastra atau seni pada umumnya berkaitan erat dengan kepekaan manusiawi. Jika kepekaan makin memudar, akan terasa betapa pentingnya kehadiran seni dalam hidup kita. Kata orang bijak, dengan mendengar atau membaca karya sastra, akan menjadikan kita lebih lengkap sebagai manusia.
Sastra tradisional, dalam hal ini cerita rakyat, terdapat di semua suku di Indonesia. Isinya berupa gambaran masyarakat pemiliknya, yang tidak hanya mengungkapkan hal-hal yang bersifat permukaan, tetapi juga sendi-sendi kehidupan secara lebih mendalam. Kehadirannya sering merupakan jawaban dari teka-teki alam yang terdapat di seputar kita. Sayangnya, penuturan cerita itu sudah langka sehingga penginventarisasian cerita rakyat perlu diupayakan demikian rupa agar dapat kita nikmati tuah yang tertuang di dalamnya.
Pada umumnya, cerita itu diperoleh para penutur cerita, misalnya, pada waktu (a) pelaksanaan perhelatan; dan (b) percakapan sehari-hari;, (c) sedang bekerja atau dalam perjalanan; dan (d) seseorang ingin mengetahui asal-usul sesuatu.
Cerita rakyat, selain merupakan hiburan, juga merupakan sarana untuk mengetahui (a) asal-usul nenek moyang, (b) jasa atau teladan kehidupan para pendahulu kita, (c) hubungan kekerabatan (silsilah), (d) asal mula tempat, (e) adat-istiadat, dan (f) sejarah benda pusaka.
Cerita rakyat juga bisa berperan sebagai penghubung kebudayaan masa silam dengan kebudayaan masa yang akan datang. Dalam arti luas, sastra lisan dapat pula berperan sebagai sarana untuk menanamkan benih-benih kesadaran tentang keagungan budaya yang menjadi penunjang kehidupan suatu bangsa.
Cerita Berbingkai
[sunting]Cerita berbingkai termasuk salah satu cerita pelipur lara yang dikenal dalam masyarakat tradisional. Dalam cerita itu terdapat cerita lain sebagai cerita sisipan, yang didalamnya terkadang terdapat pula cerita lain sehingga cerita itu menjadi sangat panjang. Cerita sisipan itu merupakan cerita lepas yang tidak berkaitan dengan cerita induknya. Jadi, ada dua fokus perhatian dalam cerita berbingkai, yaitu cerita induk dan cerita sisipan.
Sebagai cerita yang berisi fatwa yang berguna bagi kehidupan manusia, cerita berbingkai bertujuan untuk menanamkan ajaran agama, pengetahuai duniawi, dan memberikan hiburan.
Cerita berbingkai, yang semula berasal dari India dan Persia ini, hidup dan berkembang dalam sastra Indonesia dan Malaysia. Di India, bentuk cerita itu disebut akhyayikakatha' cerita atau percakapan yang menyenangkan'. Cerita berbingkai dalam sastra Indonesia, antara lain "Hikayat Seribu Satu Malam", "Hikayat Bahtiar", "Hikayat Kalila dan Damina", dan "Hikayat Bayan Budiman".
Dalam "Hikayat Seribu Satu Malam", yang dalam bahasa Inggris disebut "The Arabian Nights", misalnya, terdapat kisah sedih mengenai Scheherazade. Wanita cantik itu, sebelum dihukum mati, diminta oleh seorang raja untuk bercerita. Untuk itu, Scheherazade bercerita secara bersambung selama 1001 malam. Seusai bercerita, sang raja menyadari keburukan hatinya sehingga ia membatalkan niatnya untuk membunuh wanita rupawan itu. Cerita sisipan dalam cerita berbingkai itu, antara lain, "Ali Baba dengan Empat Puluh Orang Pencuri", "Nahkoda Sindbad", dan "Aladin dengan Lampu Wasiatnya", yang masing-masing berdiri sendiri sebagai cerita utuh.
Seni dan Kreativitas
[sunting]Aktivitas berkesenian acapkali dihubungkan dengan kata kreativitas. Hal ini didasari oleh lekatnya proses penciptaan sebuah karya seni (sastra, lukis, tari, dan lain-lain) dengan kegiatan kreatif.
Pada hakikatnya setiap manusia memiliki potensi dasar dalam berkreasi seni. Perbedaanya terletak pada tingkat kepekaan orang masing-masing, yang bergantung pada faktor, misalnya, bakat dan kesungguhan berlatih. Kreativitas atau daya cipta seseorang dapat lahir melalui tantangan yang dihadapinya sehingga kreativitas dapat berupa hasil karya yang mempunyai nilai lebih.
Secara khusus, kreativitas dalam kesenian adalah kemampuan menemukan, membuat, merancang ulang, dan memadukan pengalaman masa silam dengan gagasan baru hingga berwujud sesuatu yang lebih baru.
Mitos
[sunting]Dalam alam kehidupan mitologis tidak terlihat garis pemisah yang tegas antara manusia belum dapat disebut subjek.
Terbentuknya mitos bermula dari pikiran manusia yang tidak mau menerima begitu saja semua fenomena alam yang ditangkap dengan akal dan pancaindranya. Karena dorongan naluri yang amat kuat, pikiran manusia itu ingin mencari sesuatu yang dianggap lebih konkret dari pada kenyataan duniawi. Namun, dalam usaha menemukan yang lebih nyata dan lebih kekal itu, seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu cenderung membayangkan sesuatu dengan dunia angannya sendiri. Itulah cikal bakal lahirnya mitos.
Mitos bersifat mendidik, irasional, dan intuitif, bukan uraian filosofis yang sistematis. Istilah itu mengacu pada wilayah makna yang berkaitan dengan kepercayaan, folklor, antropologi, sosiologi, psikologi, dan karya seni, termasuk seni sastra. Penghormatan kepada leluhur, kepercayaan pada pohon kehidupan, kekaguman pada keteraturan tata surya, misalnya, dapat menjadi awal lahirnya mitos. Mitos itu dapat juga dikatan cerita anomim mengenai asal mula alam semesta serta tujuan hidup. Selain itu, mitos tidak hanya bertujuan untuk mengenang peristiwa masa lalu, tetapi juga mengajak kita untuk menghargai dan menyikapi keadaan masa kini dan masa yang akan datang.
Karena pada prinsipnya ada masyarakat yang lebih tanggap pada masa lampau, masa sekarang, atau masa yang akan datang, mitos itu bersifat ganda, sekaligus berhubungan dan tidak berhubugan dengan sejarah. Jadi, mitos dapat berubah sesuai dengan kepentingan dan kerangka acuan masyarakat atau individu dalam masyarakat yang memiliki mitos.
Mengenal Teater Tradisional
[sunting]Teater atau drama tradisional lahir dari kehidupan budaya daerah dan terbina oleh suatu tradisi yang khusus daerah. Sebagai buah kesenian, teater hadir pula dalam bingkai kebudayaan nasional, sebagai hamparan kebudayaan yang lebih luas yang membaurkan berbagai macam tradisi. Oleh karena itu, teater tradisional di satu pihak adalah unsur budaya daerah, milik masyarakat daerah, dan di pihak lain merupakan bagian dan kebanggaan nasional.
Teater tradisional yang berakar dan terpelihara dalam masyarakat daerah memiliki ciri spesifik: (1) terbatas pada lingkungan budaya pendukungnya; (2) bergerak statis; (3) bagian dari suatu kosmos kehidupan yang bulat; dan (4) milik bersama dan buakn hasil kreativitas individu.
Kendati perkembangan teater tradisional terkesan lamban, dalam kenyataannya budaya daerah itu merambah dan saling bersentuhan dengan budaya daerah lain. Lenong, misalnya, bentuk teater rakyat gaya Jakarta, sekarang ini ternyata bukan lagi hanya milik orang betawi, melainkan juga milik suku lain yang tinggal di Jakarta. Demikian juga, seni wayang yang selama ratusan tahun hanya menggelarkan cerita "Ramayana" atau "Mahabarata", kini juga berperan sebagai wadah penyampaian teknik bertani, pemeliharaan lingkungan, atau peningkatan taraf hidup masyarakat pedesaan di semua daerah. Fenomena itu merupakan tentu saja merupakan proses integrasi dan hasil sentuhan modernisasi.
Teater tradisional, selain berfungsi sebagai hiburan, juga berperan sebagai sarana pendidikan, penebal rasa solidaritas kolektif, dan penyampai kritik sosial. Sebagai unsur budaya bangsa, beragam teater daerah masih dapat kita saksikan di berbagai wilayah, misalnya makyong, mendu (Riau), randai, bakaba (Sumatera Barat), mamanda, tatayung (Kalimantan), topeng arca, topeng cupak (Bali), sanreli (Sulawesi), lenong topeng betawi (Jakarta/Betawi), topeng cirebon, topeng banjet, longser (Jawa Barat) srandul, ketoprak, encling (Jawa Tengah), lundruk, janger, kentrung, dan reog ponorogo (Jawa Timur).
Studi Filologi
[sunting]Secara khusus filologi dapat diartikan telaah tentang teks/naskah untuk menetapkan keaslian, baik bentuk maupun isinya. Dalam hal ini, yang paling diutamakan adalah penulusuran bentuk teks yang paling autentik atua yang dapat dipercaya.
Gaya, bentuk, dan corak bahasa yang hidup pada suatu zaman dapat diketahui melalui studi filologi. Selain untuk menyelidiki bahasa dan isi suatu naskah, filologi juga tergolong ilmu yang menyelidiki kebudayaan suatu bangsa berdasarkan naskah. Dari hasil penelitian filologi dapat diketahui latar belakang budaya seperti adat-istiadat, kepercayaan, dan pandangan hidup suatu bangsa.
Penelitian filologi memerlukan tahap kerja dengan urutan sebagai berikut:
(1) menentukan sasaran penelitian;
(2) menginventarisasi versi naskah;
(3) melakukan observasi pendahuluan dengan mendeskripsikan
(a) nomor naskah, (b) ukuran naskah, (c) tulisan/aksara naskah,
(d) keadaan naskah, (e) kolofon, dan (f) ringkasan isi naskah
(4) menentukan naskah dasar;
(5) mentransliterasi naskah;
(6) menerjemahkan teks.
Erotisme dan Pornografi
[sunting]Batas pengertian antara erotisme dan pornografi sangat samar karena sebagian medan maknanya bertumpang tindih. Baik erotisme maupun pornografi keduanya sama-sama merujuk pada libido, yang dalam perkembangan berikutnya teraktualisasi dalam keinginan seksual.
Erotisme dan erotisisme adalah keadaan bangkitnya nafsu birahi, yang didasari oleh rangsangan nafsu (libido). Di dalam karya sastra yang tergolong erotisme/erotisisme libido merupakan dasar atau ilham yang mengarah kepada penggambaran perilaku, keadaan, atau suasana yang dapat menimbulkan nafsu birahi. Cuplikan "La Ronde" karya Sitor Situmorang berikut dapat digolongkan ke dalam sajak erotis.
....
Adakah yang lebih indah
Dari bibir padat merekah?
Adakah yang lebih manis
Dari gelap dibayang alis?
...
Lalu, paha, pualam pahatan
Mendukung lengkung perut.
Berkisar di pusat, lalu surut
Agak ke bawah, ke pusar segala.
...
Dalam pornografi, penggambaran tingkah laku seksual dilakukan secara sengaja dan mencolok. Tujuannya lebih ditekankan pada perangsangan nafsu birahi. Dengan kata lain, secara implisit, dalam pornografi terkandung makna dasar 'cabul', 'tidak senonoh', dan 'kotor' jika ditinjau dari norma kesopanan dan kehidupan beradab. Selain berupa lukisa, pornografi ada juga yang berupa tulisan dalam wujud cerpen, novel, atau sajak.
Ketatabahasaan dalam Sajak
[sunting]Ada beberapa segi ketatabahasaan yang perlu kita pahami di dalam sajak apabila kita ingin menangkap makna sajak. Setelah kita dapat menangkap makna itu, barulah kita mampu menikmatinya.
Masalah ketatabahasaan yang dimaksud adalah pemakaian bahasa yang kadang-kadang tidak mengikuti aturan yang biasa seperti pad pemakaian bahasa di dalam keperluan lain.
Untuk memudahkan pemahaman marilah kita perhatikan contoh berikut.
Sepasang mata biji saga
Tajam tangannya lelancip gobang
Berebahan tubuh-tubuh lalang ditebang
Arkidam, Jante Arkidam
Itulah bait pertama balada "Jante Arkidam" yang ditulis oleh Ayip Rosidi. Balada itu menggambarkan kejantanan seorang jagoan pada masa penjajahan Belanda dulu.
Sekarang mari kita lihat larik pertama bait tadi. Jika kita menganggap larik itu merupakan kalimat lengkap, lagu pengucapannya mestinya menaik pada suku terakhir kata pertama, lalu diikuti jeda, dan baru dilanjutkan dengan bagian berikut. Lagunya menjadi
// sepasang mata biji saga //.
Kalimat itu dapat menjadi jawab bagi pertanyaan mata biji saga/berapa?
Dengan pengucapan kalimat seperti pada jawab itu, makna deretan kata tersebut tidak bergayut dengan larik-larik yang lain.
Keempat larik itu dapat diparafrasekan seperti pada contoh berikut.
Sepasang mata(nya) bagai biji saga
(dan) tajam tangannya bagai lelancip gobang
Berebahan tubuh-tubuh. (bagaikan) lalang, dia tebang (Dia)
Arkidam, Jante Arkidam
Keterlepasan kata atau unsur larik sajak sudah menjadi sesuatu yang biasa dilakukan secara sengaja oleh penyair agar larik sajaknya lebih singkat dan lebih berirama atau dapat menghasilkan rima yang baik sehingga dapat memberika peluang bagi pembaca untuk membentuk citraanya. Unsur-unsur yang terlesap itu dapat dikembalikan lagi—penulisannya diletakkan di antara tanda kurung—dengan tujuan agar makna larik sajaknya menjadi lebih mudah dipahami.
Menangkap Makna Puisi
[sunting]Banyak orang terharu, terenyuh, atau terpukau ketika menikmati seuntai sajak atau puisi. Segi apakah yang menyebabkan puisi menarik perhatian orang? Berdasarkan penafsiran subjektif, jawaban pertanyaan itu dapat beraneka ragam. Persoalan yang dikemukakan atau bentuk penyajian dapat menjadi penyebab keindahan puisi. Namun, pada dasarnya isi dan bentuk atau tema dan struktur secara bersama-sama menjalin keindahan puisi. Kedua aspek itu merupakan kesatuan yang utuh yang saling mendukung. Keserasian antara bunyi dan merdu, imajinasi yang dibangun, pemikiran yang dituangkan, watak yang dimunculkan, dan majas khas yang digunakan merupakan ramuan keapikan puisi.
Meskipun puisi dibentuk oleh banyak unsur, dalam kenyataanya sering hanya satu atau beberapa unsur yang menonjol. Keindahan unsur yang mencuat itulah yang acapkali dijadikan dasar jawaban atas pertanyaan mengenai hal itu. Pesona puisi itu dapat terjadi karena, misalnya, iramanya yang dominan.
Sajak "Priangan Si Jelita", karya Ramadhan K.H., agaknya dapat memperlihatkan adanya keharmonisan bunyi dan citraan yang apik.
Seruling di pasar, merdu
antara gundukan pohonan pina,
tembang menggema di dua kaki
Burangrang-Tangkubanperahu
Jumrut di pucuk-pucuk
Jamrut di air tipis menurun
Membelit tangga di tanah merah
Ddikenal gadis-gadis dari bukit