Biografi Tokoh Kongres Perempuan Indonesia Pertama/Nyonya Alfiah Muridan Noto

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

NYONYA ALFIAH MURIDAN NOTO

Pada 8 Desember 1906 lahirlah seorang bayi perempuan di rumah keluarga Raden Ngabehi Abdul Kadir di Jalan Tanjung (sekarang Jalan Gajah Mada) Yogyakarta. Ayahnya bernama Raden Ngabehi Abdul Kadir, ibunya bernama R. Ay. Sutibah. Raden Ngabehi Abdul Kadir adalah seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta, sedangkan isterinya seorang pedagang. Bayi perempuan itu kemudian diberi nama RA. Alfiah. Raden Ngabehi Abdul Kadir berharap agar Alfiah kecil kelak menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa, dapat menempatkan diri dalam masyarakat serta mempunyai rasa tanggung jawab terhadap tugasnya. Alfiah adalah anak keempat dari empat bersaudara.

Raden Ngabehi Abdul Kadir sebagai orang tua sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Membiasakan anak-anak berdisiplin, berwatak jujur dan bersikap sopan terhadap siapa pun. Mereka selalu memberi contoh dalam kehidupan sehari-hari, sehingga anak-anaknya langsung dapat mengamati dan mencontoh tingkah laku orang tua mereka.

Pada usia enam tahun Alfiah dimasukkan ke Sekolah Angka Loro, tetapi di sini hanya satu tahun. Setelah itu Alfiah pindah ke sekolah Budi Utomo di Yudonegaran. Di Sekolah Budi Utomo ini diberi pelajaran bahasa Belanda. Alfiah tidak lama belajar di Sekolah Budi Utomo ini karena dia pindah lagi ke Netrale Hollandsch Javanese Meisyes School (NHJMS). Sekolahan ini khusus untuk anak-anak perempuan. Lama belajarnya tujuh tahun dan bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda.

Di sekolah Alfiah termasuk anak yang cerdas dan tidak pernah tinggal kelas. Berkat ketekunan belajarnya Alfiah berhasil menyelesaikan pendidikan rendahnya di NHJMS tepat pada waktunya dan apda tahun 1922 Alfiah dinyatakan lulus dengan nilai baik. Setelah lulus dari NHJMS Alfiah meneruskan pendidikannya ke Europesche House School tetapi tidak sampai lulus karena keburu menikah. Pendidikan agama diperoleh dari orang tuanya dan kalau sore sekolah mengaji diKauman di bawah bimbingan K.H. Ahmad Dahlan. Itulah sebabnya Alfiah dalam ilmu agama sangat mumpuni dan akhir- nya menjadi seorang tokoh wanita Islam.

Pada tahun 1924 Alfiah menikah dengan Muridan Notoputra Noto Sumbodro, seorang pedagang. Muridan Noto sendiri juga seorang pedagang yang berhasil pada waktu itu. Pernikahan Alfiah dengan Muridan Noto merupakan kehendak orang tua. Jadi pada waktu menikah keduanya belum saling mengenal. Meskipun demikian, ternyata mereka dapat hidup bahagia dan dikaruniai lima orang anak yaitu dua orang laki-laki dan tiga orang perempuan.

Seperti yang telah dialami oleh Alfiah Muridan Noto sendiri semasa kanak-kanak, anak-anaknya pun dididik dengan baik dan berdisiplin. Karena itu tidak mengherankan apabila hari depan anak-anaknya pun tidak mengecewakan. Kepada anak-anaknya, Alfiah Muridan Noto bersikap sama. Ia tidak membedakan anak laki-laki dan perempuan, apalagi tentang sekolah. Semuanya diberi kebebasan untuk memilih sekolah yang sesuai dengan cita-citanya.

Sejak muda Alfiah sudah senang berorganisasi. Pada tahun 1991 ia masuk menjadi anggota organisasi Wanodyo Utomo, yang merupakan bagian wanita dari Sarekat Islam. Kegiatan dalam organisasi ini antara lain memberi pelajaran mengaji, sholat dan pemberantasan buta huruf. Kemudian setelah menikah ia keluar dari organisasi Wanodyo Utomo dan masuk organisasi wanita PSII. Di sinilah Ny. Alfiah Muridan Noto bertemu dengan Ny. Driyowongso, Ny. Umi Salamah, dan lain-lain.

Pada 22 sampai 25 Desember 1928 di Dalem Joyodipuran Yogyakarta diselenggarakan "Kongres Perempuan Indonesia I". Pada Kongres Perempuan Indonesia I tersebut, Ny. Alfiah Muridan Noto duduk sebagai anggota pengurus, wakil dari wanita PSII.

Adapun susunan pengurus Kongres Perempuan Indonesia I selengkapnya adalah sebagai berikut:

Ketua : Ny. RA. Sukonto
Wakil Ketua : Nn. Siti Munjiah
Penulis I : Nn. Siti Sukaptinah (Ny. Sunaryo Mangunpuspito)
Penulis II : Nn. Sunaryati (Ny. Sukemi)
Bendahara I : R Ay. C. Harjodiningrat
Bendahara II : RA. Suyatin (R Ay. S. Kartowijono)
Anggota : Nyi Hajar Dewantoro

Ny. Driyowongso

Ny. Alfiah Muridan Noto

Ny. Umi Salamah

Ny. Jahanah

Nn. Budiyah Muryati (Ny. Gularso)

Nn. Hayinah (Ny. Mawardi)

Nn. Ismudiati (Ny. Abdulrahman Saleh)

RA. Mursandi.

Akan tetapi pada waktu Kongres Perempuan Indonesia I ini dilaksanakan Ny. Alfiah Muridan Noto tidak dapat aktif hadir. Hal ini disebabkan putranya sedang sakit keras.

Sejak 8 Maret 1942, pemerintah Bala Tentara Jepang mulai berkuasa. Pada masa pendudukan Bala Tentara Jepang ini semua organisasi pergerakan dibubarkan termasuk Wanita PSII. Kemudian Ny. Alfiah Muridan Noto masuk menjadi pengurus Fujinkai di Yogyakarta (Yogyakarta Si Fujinkai) Adapun usaha-usaha Fujinkai yaitu:

  1. Mengobarkan semangat cinta tanah air dan bangsa dikalangan wanita dan menanamkan nasioonalisme.
  2. Mengannurkan agar suka berkorban dan rela menderita untuk tanah air dan bangsa
  3. Menyiapkan tenaga untuk ikut serta di belakang garis peperangan
  4. Menganjurkan hidup hemat
  5. Memperbanyak hasil bumi dengan menanami semua tanah yang kosong dengan tanaman penghasil bahan makanan dan pakaian antara lain: ubi, ubi kayu, kapas, jarak dan lain-lain
  6. Menghidupkan pekerjaan tangan dan industri dirumah seperti memintal benang, membuat kaos kaki
  7. Mengadakan latihan-latihan yang diperlukan
  8. Menghidupkan pekerjaan untuk memberantas pengangguran

Meskipun kegiatan Fujinkai sudah ditentukan pemerintah, namun oleh para pengurus dan anggota dimanfaatkan untuk menyebarluaskan ide kemerdekaan Indonesia. Melalui organisasi Fujinkai ini cita-cita tanah air tetap dimasukkan dalam setiap pidato-pidatonya.

Pada 17 Agustus 1945 bangsa Indonsia memproklamasikan kemerdekaannya. Sejak itu bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka, berdaulat penuh baik ke dalam maupun keluar. Proklamasi 17 Agustus 1945 juga merupakan alat pemberitahuan kepada dunia luar bahwa Indonesia sudah menajadi bangsa yang merdeka. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, perjuangan rakyat Indonesia memasuki tahap baru. Membela dan mempertahankan kemerdekaan menjadi tugas dan kewajiban seluruh rakyat termasuk kaum wanitanya.

Pada masa kemerdekaan ini Ny. Alfiah Muridan Noto masuk organisasi wanita "Persatuan Wanita Republik Indonesia" (PERWARI) yang dipimpin Nyi Sri Mangunsarkoro dan sebagai wakilnya adalah Nyi M.D. Hadiprabowo,. sedangkan Ny. Alfiah Muridan Noto duduk sebagai komisaris. Perlu diketahui bahwa PERWARI merupakan peleburan Persatuan Wanita Indonesia (PERWARI) dan Wanita Negara Indonesia (WANI) pada Kongres Organisasi-organisasi Wanita I di Klaten 15 -- 17 Desember 1945. PERWARI merupakan perkumpulan sosial yang berazaskan Ketuhanan Yang Mahaesa, kebangsaan dan kerakyatan. Kepada para anggota PERWARI diberi pendidikan politik umum agar mereka sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan ibu bangsa.

Pada 22 -- 25 Desember 1952 diselenggarakan Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) IX di Bandung. Kongres memutuskan antara lain perlunya diperingati "Seperempat Abad Kesatuan Pergerakan Wanita Yang Permanen”. Untuk melaksanakan amanat tersebut. Nyi Sri Mangunsarkoro yang pada waktu itu menjabat ketua panitia pusat mengambil inisiatif mendirikan yayasan berbadan hukum.

Yayasan yang kemudian dinamakan "Yayasan Hari Ibu" dikukuhkan notaris RM. Wiranto, 15 Desember 1953. Nyonya Alfiah Muridan Noto dalam "Yayasan Hari Ibu" ini ditunjuk sebagai bendahara. Adapun susunan pengurus Yayasan Hari Ibu secara lengkap sebagai berikut :

Ketua : Ny. Suroto
Wakil Ketua : Ny. Supardi
Sekretaris : Ny. Iman Sudiyat
Bendahari : Ny. Suwandi dan Ny. Alfiah Muridan Noto
Pembantu : Dr. Sarjito, Sindutomo, Yudaningrat dan Harjowinoto
Kecuali itu juga dibentuk pengawas "Yayasan Hari Ibu" yang terdiri Nyi Sri Mangunsarkoro, Ny. Aisisyah Bilal, Ny. Sundoro, Ny. Hariati, Ny. Gani Suryokusumo dan Ny. Effendi.

Tujuan "Yayasan Hari Ibu" yaitu mendirikan gedung Persatuan Wanita Indonesia sebagai monumen seperempat abad Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia. Gedung tersebut harus didirikan di Yogyakarta, karena Kongres Perempuan Indonesia I di selenggarakan di Yogyakarta 22 Desember 1928.

Untuk mengujudkan berdirinya Gedung Persatuan Wanita itu, Ny. Alfiah Muridan Noto dan Ny. Suwandi selaku bendahara beserta pengurus lainnya bekerja siang malam tanpa mengenal lelah. Usaha-usaha pengumpulan dana bagi pembangunan gedung tersebut berupa gerakan darma bakti kepada seluruh wanita Indonesia sebesar 25 -- 50 sen, melalui organisasi-organisasi dan lurah, camat, gubernur dan kegiatan-kegiatan lain.

Tepat pada peringatan 25 tahun "Hari Ibu", 22 Desember 1953 dilaksanakan perletakan batu pertama gedung yang terletak di Jalan Solo (sekarang Jalan Laksda Adisucipto). Perletakkan batu pertama dilakukan sendiri oleh Ny. Sukonto, ketua Kongres Perempuan Indonesia I.

Ternyata apa yang dilakukan Ny. Alfiah Muridan Noto dan pengurus "Yayasan Hari Ibu" lainnya menjadi kenyataan. Pada 20 Mei 1956 dilakukan peresmian pembukaan Gedung Persatuan Wanita bagian pertama oleh Ny. Maria Ulfah selaku Ketua KOWANI.

Sejak tahun 1953 Ny. Alfiah Muridan Noto keluar dari PERWARI. Setelah itu Ny. Alfiah masuk ke organisasi Muslimat Masyumi sebagai anggota pengurus besar. Sebagai anggota Pengurus Besar Muslimat Masyumi Ny. Alfiah ikut berkampanye untuk memberikan penerangan kepada kaum wanita agar ikut serta mempergunakan hak pilih mereka dalam pemilihan umum tahun 1955. Dalam kampanyenya ditekankan agar para suami memberi izin kepada istri-istrinya untuk pergi ke tempat pemungutan suara.

Pada 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya antara lain pembubaran Konstituante, tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945. Pada masa itu suasana politik semakin berat. PKI semakin berkuasa, begitu pula keadaan ekonomi menjadi semakin sulit.

Untuk menanggulangi keadaan semacam itu, maka atas prakarsa beberapa pemuka Islam dari Yogyakarta dan Solo seperti Ny. Aisyah Hilal, Ny. Zainab Damiri, Ny. Gitoatmojo, Ny. Sunaryo Mangunpuspito, Ny. AR. Baswedan mengadakan musyawarah di Yogyakarta pada 27 -- 29 April 1962. Musyawarah tersebut mendapat restu dari Pangdam VII Diponegoro Brigjen Sarbini. Bahkan Ny. Sudirman (isteri Jenderal Sudirman) bersedia membantu dan menjadi penasehat organisasi yang akan dibentuk. GBPH Prabuningrat juga memberi dorongan agar organisasi yang akan dibentuk itu tidak hanya bergerak dalam hal hal yang tradisional seperti pengajian saja, akan tetapi juga pada aktivitas lain yang memajukan pengetahuan dan ketrampilan wanita. Musyawarah tersebut berhasil membentuk wadah persatuan yang disebut organisasi "Wanita Islam".

Sebagai organisasi yang independen Wanita Islam mempunyai azas, dasar dan tujuan sebagai berikut:

Azas dan dasar : Organisasi ini berasaskan Islam, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Tujuannya : Mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Dalam Pengurus Pusat ”Wanita Islam" Ny. Alfiah Muridan Noto diserahi tugas sebagai komisaris. Adapun susunan Pengurus Pusat Wanita Islam sebagai berikut:

Penasihat : Ny. Sudirman dan Ny. H. Agus Salim
Ketua Umum : Ny. H.Z. Damiri
Ketua I : Ny. A.R. Baswedan
Ketua II : Ny. Rabs Syamsurijal
Ketua III : Ny. Sunaryo Mangunpuspito
Sekretaris : Ny. Imam Suhadi
Komisaris : Ny. Alfiah Muridan Noto

Ternyata dalam waktu singkat Wanita Islam dapat berkembang pesat. Kegiatan Wanita Islam antara lain pengajian, menyelenggarakan kursus-kursus keterampilan dan penyebarluasan kesadaran akan perlunya menangkal bahaya komunisme Kecuali itu Wanita Islam juga menangani masalah marriage counseling. Ternyata kegiatan marriage counseling ini dapat berjalan baik dan diterima oleh masyarakat. Itulah sebabnya Departemen Agama mulai tertarik dengan kegiatan tersebut. Untuk itu Departemen Agama mengajak para tokoh Wanita islam termasuk Ny. Alfiah Muridan Noto untuk meningkatkan kegiatan marriage counseling ini Akhirnya kegiatan marriage counseling ini diberi nama Badan Kesejahteraan Rumah Tangga (BKRT).

BKRT ini .bertujuan untuk menyiapkan pasangan yang akan menempuh hidup baru dan membantu menyelesaikan keretakan atau perpecahan rumah tangga. Usaha BKRT ini dirasakan ada manfaatnya, kemudian oleh Departemen Agama dilembagakan menjadi Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4).

Pada tahun 1970.Ny. Alfiah Muridan Noto mengundurkan diri dari organisasi Wanita Islam. Pengunduran diri ini dilakukan karena sudah tua. Pada usia tua ini Ny. Alfiah Muridan Noto mengamati perkembangan zaman dan membantu mengasuh para cucu. Hal ini dilakukan agar generasi muda lebih baik dan lebih siap lagi. Kecuali itu Ny. Alfiah Muridan Noto juga terjun dalam bidang seni kerawitan, masuk perkumpulan kerawitan "Ngudyo Laras" pimpinan Ny. Pujo Subroto.

Pada tahun 1989 suaminya, Muridan Noto, meninggal dunia dalam usia 83 tahun. Sekarang (1990) dalam usianya yang senja, Alfiah Muridan Noto tinggal di Jalan Brigjen Katamso Yogyakarta.