Lompat ke isi

Biografi Tokoh Kongres Perempuan Indonesia Pertama/Nyi Driyowongso

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

NYONYA DRIYOWONGSO

Apabila kita mengungkap perinstiwa bersejarah tentang Kongres Perempuan Pertama yang berlangsung 22 -- 25 Desem-ber 1928 di Dalem Joyodipuran, sekarang kantor Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, salah satu dari anggota pimpinan kongres tercatat nama Driyowongso. Dia duduk sebagai anggota pimpinan kongres mewakili Wanita Partai Sarekat Islam Indonesia. Penelusuran terhadap asal-usul dan lingkungan keluarga Nyonya Driyowongso dapat diikuti uraian berikut ini.

Nyonya Driyowongso waktu kecil bernama Marakati. Dia dilahirkan dari keluarga kurang mampu di suatu pedesaan Pasuruhan, Jawa Timur. Daerah Pasuruhan waktu itu merupakan sasaran dakwah agama Islam yang disebarkan oleh KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Karena itu tidak mengherankan apabila agama Islam berkembang dalam kehidupan masyarakat Pasuruhan termasuk di daerah tempat kelahiran Marakati. Marakati dilahirkan dari keluarga muslim. Hal ini dapat diketahui bakatnya membaca Al Qur'an dikembangkan waktu memberikan pengajian bagian anak-anak puteri di Pakualaman Yogyakarta.

Marakati mempunyai tiga orang adik satu ibu lain ayah yaitu Moh. Noor (Driyodipurwo) yang tinggal dan wafat di Kampung Mangkukusuman Yogyakarta; Supiyani tinggai di Krenekan, Kelurahan Klepu, Kecamatan Ceper, Klaten; dan yang terakhir Ruslin, perempuan, meninggal di Yogyakarta tahun 1940.

Supiyani (Ny. Driyosusastro) adik Marakati yang telah berumur 73 tahun kurang begitu banyak mengingat tentang kehidupan kedua orang tuanya dahulu, karena sejak kecil ikut kakaknya (Driyowongso) dan jarang sekali berkunjung ke tempat orang tuanya itu.

Hal semacam ini dialami juga oleh anak angkat Driyowongso yaitu Moh. Yasir, Yahya (Sunyata), dan Baitum. Masih ter-lintas pada ingatan Supiyani bahwa Marakati tidak dapat membaca dan menulis huruf latin karena dia tidak mengikuti pendidikan secara formal di sekolah. Maldum pada zaman itu jarang sekali anak-anak rakyat kecil diberi kesempatan belajar. Kesempatan bersekolah pada zaman itu di belenggu oleh aturan pemerintah kolonial Belanda. Kesempatan bersekolah masih terbatas bagi anak-anak orang berpangkat atau priyayi; sedang anak petani, pedagang hanya disediakan Sekolah Angka Loro.

Untuk lebih jelasnya dapat kiranya diikuti catatan hasil penelitian Maklenfeld yang termuat dalam harian De Locomotief tentang keadaan pendidikan bangsa kita saat berdirinya Budi Utomo tahun 1908 yang benar-benar memprihatinkan. Di Pulau Jawa dari 1000 orang rata-rata hanya 15 orang saja dapat membaca dan menulis. Bila perempuan dihitung jumlahnya menjadi 16 orang. Sebagai contoh di daerah Madiun dari 1000 orang hanya 24 orang yang tidak buta huruf; di Jakarta 9 orang; di daerah Tangerang 1 orang. Nasib seperti ini dialami juga oleh Marakati Dia hanya dapat membaca huruf Arab dan Jawa. Orang tuanya hidup di pedesaan, maka nasibnya seperti anak-anak lainnya tidak mengikuti pendidikan di sekolah. Sekolah di daerah-daerah terpencil jarang sekali, maka tidak mengherankan mereka yang tinggal di desa, tersebut buta huruf. Walaupun Marakati telah menjadi korban zamannya, namun setelah berumah tangga ia membiayai sepehuhnya sekolah adik-adik, kemenakan dan anak angkatnya. Dia tidak rela apabila mereka menderita seperti dirinya, ia selalu mengharap agar mereka nasibnya lebih baik. Dapatiah dibayangkan bagaimana beratnya biaya sekolah di sekolah partikelir waktu itu.

Sementara itu dalam masyarakat, berkembang suatu pendapat bahwa anak perempuan cukup memiliki keterampilan memasak di dapur dan mengerjakan tugas-tugas kerumahtanggaan saja sehingga tidak perlu menuntut ilmu di sekolah. Pandangan demikian dialami oleh Marakati. Dengan pandangan itu maka banyak anak-anak wanita yang tidak bersekolah.

Marakati termasuk pribadi yang sopan, kalem dalam bicara serta sederhana. Badannya gemuk, tidak begitu tinggi, kulitnya kuning. Dia banyak berkawan, tidak angkuh, jiwa sosialnya besar. Jiwa sosialnya yang besar ini semakin kuat dalam kehidupan rumah tangga. Marakati merasa kasihan melihat anak-anak lain yang sengsara. Maka walaupun dirinya sendiri tidak berlebihan, namun kalau melihat kesengsaraan orang lain timbullah niatnya untuk memberi bantuan seperlunya.

Setelah menginjak dewasa tibalah pertemuan jodoh Marakati ialah Yahya yang selanjutnya dikenal dengan Pak Driyowongso. Yahya juga kelahiran daerah Pasuruhan. Mulai dari awal memasuki hidup berumahtangga keduanya sudah sama-sama menyadari bahwa ada beban berat yang wajib menjadi tanggungjawabnya. Di samping hasil kerjanya untuk mencukupi keperluan hidup, juga harus membiayai sekolah adik-adik dan kemenakan yang ikut menumpang di rumahnya. Demikian juga anak angkatnya. Hal ini dapat dimaklumi karena Marakati dari keluarga kurang mampu sehingga untuk membantu meringankan beban orang tua, adik-adiknya sejak kecil ikut di rumahnya.

Walaupun beban yang menjadi tanggungjawabnya berat tetapi suami isteri ini dalam suasana gembira. Antara Marakati dan Yahya terdapat keharmonisan pikiran dan kehendaknya .

Dengan keserasian dan keharmonisan itu beban yang berat dijalani dengan penuh optimis. Keterpaduan pemikiran suami isteri ini dalam kehidupan rumah tangga merupakan modal dasar terhadap ketenangan hidup.

Pak Driyowongso perawakannya tinggi besar dan memiliki kemampuan yang lancar dalam berbicara, kritis dan "korek" terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda yang banyak melanggar kemanusiaan dan keadilan. Dengan kritiknya yang tajam menyebabkan Driyowongso keluar masuk tahanan pemerintah kolonial Belanda. Hal ini dialami saat ia sebagai pegawai pegadaian di Pasuruhan. Karena tulisannya yang begitu tajam itu menyebabkan Pak Driyowongso dipenjara di Magelang selama dua tahun. Dalam kondisi yang demikian itu, keluarga yang ditinggalkan di rumah menjadi menderita. Honorarium tulisannya dari surat kabar terhenti karena ia masuk penjara.

Penderitaan Ny. Driyowongso beserta keluarganya di Pasuruhan mendapat perhatian Pengurus Muhammadiyah Cabang Pasuruhan maupun dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta. Baik pak Driyowongso maupun isterinya di Pasuruhan termasuk aktivis Muhammadiyah, sehingga dalam keadaan menderita itu keluarganya mendapat perhatian khusus dari Muhammadiyah. Karena itu pada tahun 1922 KH. Fakhruddin memboyong Ny. Driyowongso sekeluarga untuk pindah dari Pasuruhan ke Yogyakarta. Ikut dalam boyongan ini Moh. Yasir (kemenakan) dan Muhammad Noor (Driyodipurwo) adik Marakati.

Sesampai di Yogyakarta Driyowongso tinggal di Kampung Kauman. Dalam keadaan menderita ini, untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari diperoleh dari honorarium Driyowongso sebagai pengurus Muhammadiyah. Di samping itu Ny. Driyowongso mempunyai pekerjaan sambilan yaitu membirui kain yang hendak dibatik dengan dibantu tiga orang tenaganya. Waktu itu masyarakat Kampung Kauman bekerja sebagai pengusaha batik. Ada di antara masyarakat Kauman yang telah maju usahanya sebagai juragan batik, dan ada pula yang menjadi pedagang dengan menjual barang-barang hasil batikan ini ke berbagai daerah, seperti yang pernah dijalani sendiri oleh KH. Ahmad Dahlan.

Perkawinan yang cukup lama antara Marakati dengan Yahya, suaminya, tidak dianugerahi anak. Pernah Ny. Driyowongso miskram, selanjutnya tidak mempunyai keturunan lagi. Apapun yang ditakdirkan Tuhan diterimanya dengan senang hati. Untuk menghibur kehidupan rumahtangganya, diambil tiga orang anak angkatnya yaitu:

  1. Muhammad Yasir, kemenakan pak Driyowongso berasal dari Pasuruhan
  2. Baitum (Ny. Driyosupadmo) tinggal di Dagen Yogyakarta berasal dari Bantul
  3. Sunyata kelahiran Patuk, Gunung Kidul yang kemudian diganti nama oleh pak Driyowongso seperti namanya sendiri Yahya

Mengenai nama Driyo yang dipergunakan oleh Driyowongso dan keturunannya, ada suatu cerita sebagai berikut. Leluhur Yahya (pak Driyowongso) pada zaman penjajahan Belanda ialah Ki Ebun Jolodriyo terkenal pemberani, ke mana pun Untung Suropati melawan Belanda di situ pulalah ia berada. Bahkan waktu Untung Suropati ditahan dalam penjara, Ki Ebun Jolodriyo juga bersama-sama dalam penjara tersebut.

Ki Ebun Jolodriyo mempunyai anak cukup banyak. Di antara anak laki-laki Ki Ebun itu pada suatu hari ada yang meninggalkan keluarganya untuk berjuang melawan Belanda sampai bertahun-tahun tidak pulang. Ki Ebun mengira anak laki-lakinya telah meninggal dunia. Berhubung Ki Ebun Jolodriyo masih memiliki harta benda, dan sadar bahwa dirinya sudah semakin tua, kemudian dibagi-bagilah harta bendanya itu kepada anak-anaknya, kecuali anak laki-lakinya yang telah meninggalkan rumah. Setelah anaknya pulang Ki Ebun Jolodriyo hanya berpesan bahwa anak keturunannya kelak mengambil namanya dengan sebutan Driyo, dan sejak itulah anak keturunannya memakai sebutan Driyo diambil dari nenek moyangnya bernama Ki Ebun Jolodriyo.

Sebenarnya anak-anak angkat dan adik-adik yang bukan dari garis pak Driyowongso tidak berhak memakai sebutan itu, namun untuk mengenang leluhurnya yang telah berjuang melawan Belanda, semuanya saja termasuk anak angkat disuruh menggunakan Driyo, misalnya Baitum anak angkat dari Bantul dengan nama Driyosupadmo.

Di samping ketiga anak angkat yang ikut sejak kecil ialah Moh. Noor dan Supiyani. Keduanya ini adik Marakati satu ibu lain ayah. Baik anak angkat maupun adik-adik yang sejak kecil bersama di rumahnya jarang sekali dipertemukan dengan orang tua mereka. Maka tidak mengherankan bahwa Supiyani, adik kandungnya sendiri, kurang mengenal orang tuanya. Ketiga anak angkatnya sejak kecil sampai hidup berkeluarga juga belum pernah dipertemukan dengan orang tua mereka. Hal ini tampaknya sengaja dilakukan agar mereka menganggap bahwa Nyonya Driyowongso dan suaminya itu orang tua mereka sendiri, sehingga hormat dan cinta kasihnya tidaklah berkurang.

Anggapan ini memang terujud dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun mereka sebagai anak angkat diperlakukan seperti anaknya sendiri. Apa yang menjadi keperluan untuk biaya sekolah dan kebutuhan lainnya ditanggung sepenuhnya. Marakati sadar bahwa dirinya tidak berpendidikan formal, namun setelah berkeluarga ingin meningkatkan taraf hidup adik-adiknya, kemenakan dan anak angkatnya. Semuanya diberi kesempatan bersekolah walau harus mengeluarkan biaya yang cukup besar karena mereka bersekolah partikelir. Moh. Yasir mengikuti sekolah di Suranatan kemudian melanjutkan ke HIS Adhi Dharma yang didirikan oleh RM. Suryopranoto. Demikian juga Supiyani, Baitum dan Moh. Noor.

Selama tinggal di Kauman, keperluan hariannya hanya pas-pasan. Semakin lama kebutuhan hidup semakin bertambah besar, maka timbullah niatnya untuk mengembangkan usahanya dengan berjualan kebutuhan harian, ada beras, gula dan lain-lain. Setelah dua tahun di Kauman, mereka sekeluarga berpindah tempat ke Ngasem sambil mengembangkan usaha tersebut. Namun nasib sial selalu ditemui, karena usahanya di Ngasem untuk berjualan kebutuhan hidup sehari-hari mengalami kebangkrutan. Selanjutnya keluarga ini berpindah lagi menyewa rumah di Wirobrajan.

Waktu tinggal di Wirobrajan ini benar-benar terkenang dalam ingatan Moh. Yasir bahwa keadaan perekonomian rumah tangganya sangat kurang. Sehari-harinya hanya dapat makan nasi dua kali saja dalam keadaan tidak kenyang, bahkan karena penderitaan hidupnya, nasi bubur yang dimakan tanpa lauk-pauk cukup diberi garam.

Dari kampung satu ke kampung lain Driyowongso harus kontrak rumah, karena belum ada uang untuk membeli tempat atau rumah sendiri secara tetap. Keadaan semacam ini berlangsung lama, maka setelah dua tahun tinggal di Wirabrajan,Driyowongso pindah tempat lagi. Di tempat baru ini mereka sekeluarga hidup dengan ekonomi yang hanya pas-pasan juga. Walaupun demikian Nyonya Driyowongso selalu seiring sejalan dengan suaminya, tidak pernah absen dalam perjuangan.

Driyowongso memberikan bimbingan kepada adik, kemenakan dan anak-anak angkatnya agar hidup sederhana. Mereka ditanamkan agar percaya pada diri sendiri dan jangan selalu menggantungkan nasibnya kepada orang lain. Apa yang dikatakan baik oleh Nyonya Driyowongso maupun suaminya selalu ditaati oleh anak-anaknya tanpa ada yang membantah. Mereka taat bukan karena takut, tetapi secara sadar bahwa apa yang dikatakan baik berupa nasihat maupun perintah harus dilaksanakan, karena keduanya adalah orang tuanya yang wajib dihormati. Mereka sadar bahwa tanpa asuhan, bimbingan dan curahan kasih-sayang dari Nyonya Driyowongso berdua mungkin tak dapat diketahui nasib hari depannya. Mulai bersekolah bahkan sampai saat memasuki perkawinan diberi biaya sehingga mereka benar-benar merasa berhutang budi atas kebaikannya itu.

Kebaikan hati Ny. Driyowongso dan suaminya itu tercermin dalam hidup bermasyarakat. Driyowongso dikenal orang sabar, terbuka dan suka menolong. Setiap tamu yang datang ke rumahnya disambut dengan senang hati. Apa yang dimiliki bila diminta orang lain yang benar-benar membutuhkan, maka diberikan dengan hati ihlas. Dalam hal menjamu tamu Ny. Driyowongso tidak mengada-ada, tetapi apa yang dimakan hari itu juga yang disajikannya.

Driyowongso berkali-kali berpindah tempat tinggalnya. Setelah beberapa tahun di Pakualaman keluarga ini pindah menyewa rumah ke jalan Sukun Yogyakarta. Rumah yang ditempati sebagian disewakan untuk kost. Untuk mengurusi makan sehari-hari anak kost itu maka dipanggillah dua orang pembantu. Di samping itu untuk menopang hidupnya Ny. Driyowongso juga suka membuat kue-kue dan disetorkan ke warung-warung makan.

Bimbingan kerja mandiri telah diberikan sejak kecil oleh Ny. Driyowongso kepada anak-anak yang ikut di rumahnya. Supiyani dan Baitum teringat waktu ikut Ny. Driyowongso setiap hari disibukkan mengurusi urusan rumah tangga. Dengan cara demikian mereka merasakan manfaatnya setelah berdiri sendiri dalam kehidupan keluarga. Mereka tidak merasa canggung lagi karena sudah terbiasa sejak kecil.

Rupa-rupanya perjuangan hidup mengusik perhatian pak Driyowongso untuk pindah ke kota besar, Jakarta. Karena itu pada tahun 1950 pak Driyowongso pindah ke Jakarta untuk meneruskan dan mengembangkan profesinya sebagai seorang penulis dalam surat-surat kabar dan majalah. Isterinya yang mengikuti kepindahan itu juga tidak tinggal diam berpangku tangan tetapi harus bekerja lebih keras karena dituntut kebutuhan hidup di kota besar. Nyonya Driyowongso sekeluarga tinggal di Cipete. Ia memulai usahanya dengan memasak untuk suatu asrama. Penghasilannya ini benar-benar dapat mencukupi kebutuhannya. Sementara adik-adik dan anak angkatnya sudah tidak menjadi beban tanggung jawabnya, karena mereka sudah berkeluarga sendiri.

Tentang kebaikan hati Ny. Driyowongso dan suaminya masih mengesan dalam kenangan Supardi suami Baitum. Ia terkesan terhadap kesederhanaan dan kebaikan hati Nyonya Driyowongso dan suaminya. Keduannya bergaul dengan siapa pun tanpa membedakan antara si kaya dan yang miskin. Perhatian keluarga ini selalu tertumpah kepada orang-orang yang sengsara, tidak mempunyai pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kehadiran Driyowongso mengadu nasib ke Jakarta itu juga merupakan tempat perpisahan terakhir Nyonya Driyowongso dengan suaminya. Setelah berada di Jakarta kurang lebih 10 tahun pak Driyowongso meninggal karena sakit jantung dan dimakamkan di kota tersebut.

Tak lama kemudian Ny. Driyowongso menderita sakit verlam. Ketika memasak untuk suatu asrama pada suatu hari dia terjatuh kemudian menderita sakit. Keluarga dan anak-anak angkatnya tidak sampai hati apabila Ny. Driyowongso sakit dan sendirian di Jakarta jauh dari keluarga. Kemudian diboyonglah ia ke Yogyakarta. Pihak keluarga telah berusaha sekuat tenaga untuk penyembuhan sakit Ny. Driyowongso. Kurang-lebih selama enam tahun Ny. Driyowongso mengalami sakit verlam dan pada 16 Februari 1966 meninggal dunia di rumah adiknya Moh. Noor (Driyodipurwo) Mangkusuman Yogyakarta. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Semaki Kulon Yogyakarta dengan mendapat penghormatan terakhir dari masyarakat dan teman-teman seperjuangannya.

Moh. Yasir terharu sekali atas meninggalnya orang tuanya itu. Ia merasa kecewa karena belum dapat berbuat banyak sebagai balas jasa kepada orang tua angkatnya itu, namun keduanya kini telah dipanggil menghadap Tuhan. Karena itu agar jiwanya menyatu, maka Moh. Yasir dibantu segenap keluarga memindahkan kubur Pak Driyowongso dari Jakarta ke samping makam isterinya di Yogyakarta.

Meninggalnya Ny. Driyowongso juga menimbulkan keharuan dari segenap warga dan teman-teman seperjuangannya, khususnya anggota Organisasi wanita. Mereka selalu terkenang akan kebaikan hatinya. Tidak ada lain mereka hanya mengiringi do'a dengan harapan semoga amalnya mendapat balasan setimpal dari Tuhan dan generasi muda dapat meneladani perjuangannya.

Dalam mengembangkan cita-cita Muhammadiyah Ny. Driyowongso bersama suaminya turut aktif di dalamnya dan bahkan duduk sebagai pengurus Muhammadiyah Pasuruhan. Karena itu saat keluarga ini sedang menderita karena Pak Driyowongso dihukum oleh pemerintah Belanda akibat tulisannya yang tajam, mereka mendapat perhatian dari pimpinan pusat Muhammadiyah di Yogyakarta. Ny. Driyowongso telah tergembleng jiwanya atas bimbingan Kiai Haji Ahmad Dahlan. Karena itu walaupun dalam keadaan menderita namun terus mengikuti kegiatan Muhammadiyah mengadakan dakwahnya sampai di pedesaan-pedesaan.

Setelah berpindah ke Yogyakarta keluarga ini tinggal di Kampung Kauman. Usahanya membina dirinya sebagai anggota Aisyiyah secara langsung di bawah asuhan Nyai Ahmad Dahlan dan' para pengurusnya. Kegiatan mengikuti dakwah Muhammadiyah di Pasuruhan berlanjut terus, bahkan semakin mantap. Di Yogyakarta Ny. Driyowongso juga mengikuti Nyai Ahmad Dahlan ke pelosok-pelosok desa.

Di samping mengikuti kegiatan dalam organisasi, pembinaan terhadap keluarganya pun mendapat perhatiannya juga. Anak-anak angkat dan adik-adik yang mengikuti di rumahnya dibiasakan mengikuti pengajian yang diselenggarakan di Kauman. Setelah pak Driyowongso ke luar dari tahanan di Magelang dan kembali bersama keluarga di Yogyakarta ia juga memberi dorongan kepada isterinya agar terus berjuang mengikuti gerak langkah Aisyiyah.

Muhammadiyah yang didirikan pada tahun 1912 di Yogyakarta kemudian berkembang ke berbagai daerah lain di Indonesia. Organisasi ini tumbuh di mana-mana bagaikan cendawan di musim hujan. Dalam perkembangan Muhammadiyah, Ny. Driyowongso berperan di dalamnya.

Setelah Muhammadiyah, susul-menyusul lahir organisasi perjuangan bangsa Indonesia antara lain Serikat Dagang Islam yang selanjutnya menjadi Partai Serikat Islam Indonesia. Partai ini di bawah pimpinan Haji Umar Said Cokroaminoto secara tegas menyatakan non cooperation dengan pemerintah kolonial Belanda. Jiwa dan semangat HOS Cokroaminoto ini diterima pak Driyowongso dengan sepenuh hati. Karena perkembangan dan perjuangan Partai Sarekat Islam itu dianggap lebih sesuai dengan jalan pikirannya, maka akhirnya pak Driyowongso dan isterinya mengikuti gerak langkah dan perjuangan Partai Sarekat Islam. Gerakan Muhammadiyah yang telah bertahun-tahun diikuti ditinggalkan karena dianggapnya tidak secara tegas melawan pemerintah kolonial Belanda.

Pada waktu Driyowongso tinggal di Pakualaman telah mengikuti secara aktif kegiatan Partai Sarekat Islam, Nyonya Driyowongso memberi pelajaran pada pengajian anak-anak perempuan, sedang suaminya membina anak laki-laki. Pengajian ini dikoordinasikan oleh Partai Sarekat Islam. Sebagai anggota Partai Sarekat Islam, maka setiap ada rapat Ny. Driyowongso aktif menghadirinya.

Baitum anak angkatnya masih terkenang keaktifan Ny. Driyowongso, karena seringkali bersama-sama anggota yang lain mengadakan rapat di rumahnya dan juga di tempat lain. Karena itu kehadiran Ny. Driyowongso dalam Kongres Perempuan Pertama 22 -- 25 Desember 1928 di Dalem Joyodipuran Yogyakarta adalah mewakili Wanita Partai Sarekat Islam. Dapat dibayangkan bagaimana kegiatan Ny. Driyowongso bersama anggota kongres perempuan yang lain bekerja keras mempersiapkan pelaksanaan kongres tersebut. Dengan terpilihnya Ny Driyowongso duduk dalam pimpinan Kongres Perempuan Pertama waktu itu merupakan suatu bukti bahwa dia termasuk anggota yang aktif dalam Partai Sarekat Islam. Rupa-rupanya dengan kepindahannya ke berbagai tempat antara lain ke Jakarta menyebabkan dia tidak aktif lagi dalam gerak langkah Wanita Partai Sarekat Islam. Lebih-lebih lagi setelah menderita sakit yang cukup lama itu Ny. Driyowongso benar-benar terhenti kegiatannya dalam perjuangan organisasi .