Babad Jaka Tingkir: Babad Pajang

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Babad Jaka Tingkir: Babad Pajang  (1981) 
oleh Moelyono Sastronaryatmo

TIDAK DIPERJUALBELIKAN
Proyek Bahan Pustaka Lokal Konten Berbasis Etnis Nusantara
Perpustakaan Nasional, 2011


Babad Jaka Tingkir
Babad Pajang

Moelyono Sastronaryatmo

TIDAK DIPERJUALBELIKAN
Proyek Bahan Pustaka Lokal Konten Berbasis
Etnis Nusantara
Perpustakaan Nasional, 2011


Babad
JAKA TINGKIR
Babad Pajang


Dialihbahasakan oleh
MOELYONO SASTRONARYATMO

Diterbitkan oleh
Proyek Penerbitan Buku Sastra
Indonesia dan Daerah
Hak pengarang dilindungi undang-undang

KATA PENGANTAR

 Bahagialah kita, bangsa Indonesia, bahwa hampir di setiap daerah di seluruh tanah air hingga kini masih tersimpan karya-karya sastra lama, yang pada hakikatnya adalah cagar budaya nasional kita. Kesemuanya itu merupakan tuangan pengalaman jiwa bangsa yang dapat dijadikan sumbér penelitian bagi pembinaan dan pengembangan kebudayaan dan ilmu di segala bidang.

 Karya sastra lama akan dapat memberikan khazanah ilmu pengetahuan yang beraneka macam ragamnya. Penggalian karya sastra lama yang tersebar di daerah-daerah ini, akan menghasilkan ciri-ciri khas kebudayaan daerah, yang meliputi pula pandangan hidup serta landasan falsafah yang mulia dan tinggi nilainya. Modal semacam itu, yang tersimpan dalam karya-karya sastra daerah, akhirnya akan dapat juga menunjang kekayaan sastra Indonesia pada umumnya.

 Pemeliharaan, pembinaan, dan penggalian sastra daerah jelas akan besar sekali bantuannya dalam usaha kita untuk membina kebudayaan nasional pada umumnya, dan pengarahan pendidikan pada khususnya.

 Saling pengertian antardaerah, yang sangat besar artinya bagi pemeliharaan kerukunan hidup antarsuku dan agama, akan dapat tercipta pula, bila sastra-sastra daerah yang termuat dalam karya-karya sastra lama itu, diterjemahkan atau diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Dalam taraf pembangunan bangsa dewasa ini manusia-manusia Indonesia sungguh memerlukan sekali warisan rohaniah yang terkandung dalam sastra-sastra daerah itu. Kita yakin bahwa segala sesuatunya yang dapat tergali dari dalamnya tidak hanya akan berguna bagi daerah yang bersangkutan saja, melainkan juga akan dapat bermanfaat bagi seluruh bangsa Indonesia, bahkan lebih dari itu, ia akan dapat menjelma menjadi sumbangan yang khas sifatnya bagi pengembangan sastra dunia.

 Sejalan dan seirama dengán pertimbangan tersebut di atas, kami sajikan pada kesempatan ini suatu karya sastra daerah Jawa, yang berasal dari Sana Pustaka Kraton, Surakarta, dengan harapan semoga dapat menjadi pengisi dan pelengkap dalam usaha menciptakan minat baca dan apresiasi masyarakat kita terhadap karya sastra, yang masih dirasa sangat terbatas.

Jakarta, 1981

Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah

I Lagu Dandanggula, 30 bait.
Baris 1 bait ke 1 s/d baris 1 dan akhir bait ke-8.
Baris 1 bait ke-1;
Nihan doning ulun manulad Sri,
Baris 1 dan akhir dari bait ke-9.
Amabakduana pan sawusing,
Dewaraja semana.

Terjemahan
 Padaku ditugaskan untuk menyalin Serat Babad Jaka Tingkir, Raja berkehendak dijadikannya "pusaka" (Serat Babad Jaka Tingkir) itu dikemudian hari. Ikatan lagu Dandanggula sebagai mulanya, dimaksud sebagai penawar (untuk menyenangkan) hati yang sedih. Hendaknya pula segala isyarat di dalam cerita ini, mereka yang pandai-pandai dan mereka pula yang berbudi luhur (bijaksana) mengawali kehidupan ini dari kebaikan tingkah-lakunya.

 Pada hari Minggu diawali penurunannya, bulan Sapar tanggal 22 jam 11. Sangat bintang Mustari bersamaan taun Jimawal windu Sancaya. Mangsa katiga menurut hitungan bulan Jawa, tanggal 16 dengan ditandai sengkala "Sang Mahamuni Anata Goraning Rat" atau taun Jawa 1748.

 Menurut hitungan tarikh Nabi ditandai dengan sengkalan "Pandhita Aguna Sinembah ing Jagad kabeh" atau taun 1237. Bulan Agustus Masehi tanggal 23 ditandai sengkala "Trus Sinembah Sariraning Ratu", taun 1820. Sembahku kami tujukan tak ada lain kepada sang Pencipta Alam ini, Tuhan seru sekalian alam.

 Yang Mahaasih di dunia dan akherat, yang menguasainya sapta-pratala (tujuh bagian-bagian dunia) dan sapta-akasa (langit ketujuh). Beliau yang menciptakan di dalam enam hari gumelar dan isi dari bumi ini, akasa, bumi. Beliau pula yang mengatur dengan urut (tertib, ajek) segala perjalanan di dunia ini.

 Atas kehendaknya (Tuhan) manusia di dunia ini diberi pengertian dalam segala hal. Atas kehendaknya pula bahwasanya manusia di dunia jangan berbudi ganas, dalam tingkah-laku jangan terburu-buru (tergesa-gesa). Pakailah pula keseimbangan dalam menuju ketertiban, dan berbuatlah supaya jangan sampai melukai orang. Demikian pula segala peri perbuatan hendaknya disesuaikan waktu dan tempat (mangsa-kala).

 Kepada Sang Anurageng Jagad itulah sembahku saya tujukan, pujiku kuhaturkan kepada Kangjeng Nabi Muhamad utusan Tuhan Yang Mahaesa. Demikian pula kepada Nabi Mustapa yang menjadi awal para rasul Allah. Akhirnya kepada para Ambiya yang menjadi utusan di dunia ini, mereka adalah pelita menerangi di dunia lagi pula mereka adalah mewakili Hyang Suksma.

 Sang Nur (cahaya) adalah tanda kebesaran Tuhan, pada hakekatnya adalah awal dari kehidupan ini, Nabi Muhamad pun kejadiari dari Nur. Mudah-mudahan selalu diberkahi oleh rahmat Tuhan dan selalu diasihinya pula kepada Nabi Muhamad yang terpuji maupun kepada keluarganya.

 Kepada para sahabat Nabi, mereka adalah Sayid Abubakar, Sayid Umar, Sayid Usman dan yang keempatnya Sayid Ali. Mereka kesemuanya sebagai kalipatulah, di dunia ini sebagai penggantinya rasul. Mereka pula para sahabat Nabi yang meneruskan akan tugas (pekerjaan) Nabi-nabi di dunia ini, menyebar luaskan agama Islam dan memherikan tuntunan kehidupan yang sempurna di seluruh dunia.

  Baris 1 bait ke-9 s/d baris ke 1 dan akhir dari bait ke-30.
  Baris 1 dari bait ke-9;
  Amabakduana pan sawusing,
  Baris ke-1 dan akhir, dari bait ke-30;
  Amet sraya mring liyan negari,
  Wong Jawa kagegeran.

Terjemahan
Selesai dan sempurnalah sudah segala puji-pujian kepada mereka, berikut diceritakan Babad Tanah Jawa. Dinamakan jaman Srikalaraja, cerita para ratu-ratu diawali cerita sesudahnya. Ialah Prabu Dewaraja. Raja Majapahit yang terakhir, beliau bernama sang Prabu Brawijaya ke V, tatkala mudanya bernama Raden Alit. Konon Negara Majapahit berdiri sampai 100 taun umurnya, beliau Prabu Brawijaya ke V yang bertakhta terakhir, merupakan turun ke tujuh dari Raja-raja terdahulu yang menguasai Negara Majapahit.

Prabu Suruh sebagai awal Raja di Negara Majapahit, setelah mangkat beliau diganti oleh putranya bernama Sang Prabu Anom sebagai Raja Majapahit yang ke II, belum disebut Prabu Brawijaya. Setelah mangkat diganti putranya bergelar Sri Brawijaya ke I, kemudian putranya bergelar Brawijaya II sebagai penggantinya, setelah mangkat diganti lagi putranya.

Gelar Prabu Brawijaya III, diganti oleh putranya bergelar Brawijaya IV. Kemudian diganti oleh putranya bergelar pula Prabu Brawijaya V atau nama kecilnya Raden Alit. Beliau Prabu Brawijaya V adalah turun ke tujuh dari Raja-raja Majapahit terdahulu. Cerita yang berikut di bawah ini dimulai dari sesudah Negara Majapahit bedah, atau dimulai sesudah Prabu Brawijaya V (yang terakhir) meloloskan diri dari Kraton Majapahit (musna, muksa tak diketahui ke mana perginya, mati atau hidup).

Hilang dari manusapada (dunia) ini, beliau mempercepat dirinya kembali ke alam muksapada (muksapada lawan kata dari manusapada), tiada karena "mati", akan tetapi beliau musna beserta badannya. Beliau kembali ke jaman kesucian atau jaman kesempurnaan, sesungguhnya beliau Prabu Brawijaya V adalah manusia yang sempurna. Beliau adalah seorang yang sahid waskita tahu akan apa yang akan terjadi, tahu pula akan apa yang dinamakan mula dan akhir kehidupan di dunia ini.

Beliau tiada was-was akan kehidupan di dunia ini, beliau hidup di dunia ini maupun beliau hidup pula di jaman kelanggengan (di alam baka maupun di alam fana). Sesungguhnya pula kehidupan di dunia kelanggengan itu, segala kemulyaan yang sesungguhnya ada di situ. Kalau pun dibandingkan dengan kehidupan kemulyaan yang ada di keraton di dunia ini bukan lagi menjadi bandingannya. Sang Prabu Brawijaya (V) muksa pada waktu itu diikuti oleh para punggawa negara yang sudah tahu pula akan kemuksaan. Mereka di antaranya Rakyan Mahapatih Gajahmada, para satriya dan para bupati, para mantri dan para punggawa, para wadyabala Majapahit. Kesemuanya dapat turut bersama-sama muksa Sang Prabu Brawijaya kembali sempurna kejaman kelanggengan dikarenakan mereka pula telah putus akan "ilmu kelanggengan" (kemuksaan). Mereka tabu akan ilmu sejati, mereka tahu pula akan ilmu kasunyatan. Mereka pula turut serta mengiringkan. Prabu Brawijaya (V) mencapai alam muksa, namun bagi mereka yang "bodoh" (belum menghayati arti kasunyatan hidup ini), tentu saja tak akan dapat mencapai alam muksa.

Tak ada bedanya dulu dan sekarang, manakala orang tak bertanya akan hakekat kehidupan kesunyatan ini, akhirnya pun akan sengsara menyesal di kelak kemudian harinya. Mereka adalah orang yang goblog pandir, bodoh tak tahu akan rahasia kehidupan manusia di dunia ini. Kenyataan akan ilmu kehidupan, merupakan ilmu yang utama yang membicarakan pengertian-pengertian bagaimana melepas diri ini, mencapai kebebasan dari panandang akhirnya ke alam kemuksaan atau kelepasan. Itulah akhir dari orang-orang yang goblog dan pandir celaka dirinya, lain pula dengan mereka orang-orang yang telah menghayati hakekat kehidupan nyata di dunia ini (ilmu kesempurnaan).

Mereka yang turut bersama-sama muksa dengan Prabu Brawijaya (V) sejumlah sepertiga punggawa Majapahit, namun mereka tergolong yang sudah lanjut usia saja. Adapun mereka yang tergolong masih muda-muda diperintahkan raja untuk tinggal di Negara Majapahit, maksud raja tak ada lain mereka diharapkan (ditugaskan) untuk meneruskan keturunan-keturunan. Mereka diperintahkan untuk tidak melawan kepada pendatang baru, mereka pula diperintahkan untuk masuk Agama Islam yang luhung itu. Namun kepada mereka kawula Majapahit yang telah menghayati akan keimanannya terhadap agama, tak ada bedanya mereka pun sebenarnya telah membawa pada dirinya iman Islam yang suci itu. Namun ada juga kebahagiaannya mereka yang diperintah kan oleh Prabu Brawijaya (V) untuk tinggal di Negara Majapahit itu, sebagai penganut Agama Buda mereka menerima menganut Agama Islam yang suci. Sesungguhnya Agama Islam yang luhung itu mulai masuk di Majapahit awal bedahnya kerajaan, dengan ditandai sengkalan "Sirna Ilang Kertaning Bumi" atau Hilang musna ketentraman dunia" atau tahun 1400 A.J. (1478 A.D.), jaman berganti menginjak jaman Kalawijisaya. Alam Angadiyati meliputi 3 (tiga) daerah ialah Nagari Benang, Giri dan Demak. Adapun raja yang tertua, bernama Raja Pandita Prabu Anyakrabumi atau Jeng Sunan Benang, juga disebut Sri Mahanarendra wadat (tidak beristri, membujang), juga bernama Sang Mahadimurti. Beliau adalah seorang Wali-Kutub Ghosul Alam Kutub Rabani berkedudukan di Benang, beliau juga disebut Sang Adiningrat.

Raja yang kedua masih ipar dari Raja yang pertama (Sunan Benang), bernama Prabu Satmata, juga disebut Kangjeng Sunan Giri, Ratu Tunggal, juga dinamakan Mustapa Purbaningrat, dinamakan juga Jeng Sunan Kutub Aotad. Beliau adalah pucuk pemerintahan di seluruh Tanah Jawa.

Berkedudukan di istana Giri, juga dinamakan Kedaton Girialiman. Raja yang ketiga yang bertindak juga sebagai wakil dari Sunan Giri, berkedudukan di Demak adalah masih putra Sri Brawijaya sendiri, bergelar Adipati Bintara.

Beliau oleh para wali dinobatkan menjadi Raja, disaksikan pula oleh pendeta-pendeta agung, para mukmin-mukmin agung. Seluruh Tanah Jawa turut menyaksikan, manakala Dipati Bintara dirajakan dan berganti nama, bergelar Panembahan Bintara.

Juga disebut Senapati Jinbun kalipah-rasul di Negara Demak, beliau pula seorang raja yang memegang tampuk pimpinan untuk seluruh Tanah Jawa. Manakala dinobatkan menjadi raja, ditandai dengan sengkalan "Dahana Mati Siniram ing Narendra" atau "Api (kobaran api) padam disiram (oleh) raja" tahun 1403 A.J. 1481 A.D. Cerita selanjutnya berganti mengulangi Prabu Brawijaya.

Konon Prabu Brawijaya yang terakhir (V) banyak putraputranya, istri tertua dari Negara Campa bernama Jara. Terkenal putri teramat cantik, tak ada bandingannya di dunia ini. Selanjutnya istri raja ada yang bernama Ratu Dwarawati, terkenal akan keayuannya.

Kata orang keliwat ayunya, sehari dapat berubah-ubah keayuannya tujuh kali. Berputra tiga orang jumlahnya, yang mati tidak akan diceritakan. Yang masih hidup, tertua bernama Ratu Pembayun terlahir putri, ayu dan endah rupanya.

Konon keayuannya turun dari ibundanya, kelak kemudian hari dijodohkan (dikawinkan) dengan Ratu Pajang Pengging yang bernama Sri Handayaningrat. Beliau adalah raja yang sakti lagipula seorang perwira di medan laga, menurut catatan banyak ratu-ratu sabrang takluk dihadapinya, banyak daerah-daerah berlindung karena kesaktiannya pada Prabu Handayaningrat.

Cerita perihal Prabu Handayaningrat manakala masih muda senang sekali berperang, Raja Bali bernama Prabu Kalagerjita dari Negara Bali Agung tak mengakui kekuasaan Srinarendra Brawijaya Majapahit. Tiga tahun sudah, Raja Bali Agung tak menghaturkan upeti ke Majapahit.

Raja Bali Agung prabu Kalagerjita barulah mencari dan meminta bantuan pada lain negara untuk menyerang Majapahit, konon prajurit sejumlah tiga leksa (1 leksa = 10.000, 3 leksa = 30.000) dikerahkan untuk memukul Negara Balambangan. Prajurit Negara, Bali Agung unggul, para Adipati Brang-wetan (kawasan-kawasan di-Timur) dibikin tunduk olehnya. Itu pula waktu itu orang-orang Bali sedang mujur nasibnya unggul dalam peperangan, sebaliknya prajurit-prajurit Jawa nasibnya sedang sial, mereka kalah dalam peperangan.

Pada waktu itu pasukan-pasukan dari Bali menyerang ke arah Barat, prajurit-prajurit Majapahit yang bertempur melawannya banyak yang dikalahkan oleh prajurit-prajurit dari Bali. Seluruh pasukan Majapahit dapat dituntaskan dari medan laga oleh orang-orang Bali, sedemikian runyam keadaannya, mana ada orang-orang yang pemberani berhati "perempuan", sama sekali keberanian tak ada dimilikinya lagi. Kesemuanya ngeri melihat tandangnya orang-orang Bali yang begitu sakti di peperangan, apalagi raja-raja yang dimintai tolong oleh orang-orang Bali.


II. Lagu Asmaradana, 32 bait.
Bait ke 1 baris 1, dan baris 1 dan akhir dari bait ke-32.
Baris 1, dari bait ke 1;
Mangkana Srinarapati,
Baris 1 dan akhir dari bait ke-32;
Tan tumama ing jejampi,
sewu siwuhen srinata.


Terjemahan

Waktu itu Raja Majapahit Srinarapati Brawijaya sangat susah memikirkannya, perihal kekalahan wadyabala Majapahit menghadapi orang-orang dari Bali Agung beserta sekutu-sekutunya. Demikian pula Mahapatih Gajahmada, sedih pula memikirkan kekalahan-kekalahan Majapahit menghadapi orang-orang Bali.

Konon Sri Brawijaya berusaha mengadakan sayembara, berbunyi "Siapa saja yang dapat menolong kesulitan Negara Majapahit, dapat mengundurkan dan atau mengalahkan musuh dari Negara Bali Agung dan sekutu-sekutunya, dia akan diambil menantu oleh Raja Majapahit Sang Prabu Brawijaya".

Dia akan diperjodohkan dengan putri raja yang sulung. Konon sesudah sayembara diundangkan, banyak pula raja-raja yang berusaha membantu raja dalam berperang melawan Raja Bali Agung. Maksudnya tak lain akan mengharapkan dapat diperjodohkan dengan putri Prabu Brawijaya yang sulung tadi.

Kecantikan sang putri dari Majalengka memang bagaikan Dewi Supraba, konon Sri Handayaningrat dari Pajang Pengginglah yang memasuki sayembara Raja Majapahit, menang dalam peperangannya. Kalahlah musuhnya dari Nungsa Kambangan.

Raja Bali menyerah kalah, dilanjutkan pula Sri Handayaningrat pergi berlayar ke Timur untuk menaklukkan Pulo Sembawa. Akhirnya Raja Sembawa pun menyerah kalah. Dilanjutkan pelayarannya ke Pulau Praguwa, Raja Praguwa pun menyerah kalah. Sebagai tanda kekalahannya, menyerahkan upeti. Kemudian Srinaradipa (Sri Handayaningrat) berlayar ke Pulau Agung di Selebes.

Mereka adalah orang-orang Bugis yang di Makasar di pulau yang bernama Selebes Sri Handayaningrat dapat menundukkan raja-rajanya. Mereka pun Raja-raja di Pulau Selebes tunduk menyerah kepada Sri Handayaningrat.

Sri Handayaningrat kemudian melanjutkan pelayarannya menuju ke Pulau ternate, Manila. Menyerahlah Raja-raja di Ternate maupun di Manila, dilanjutkan menuju ke Tanah Purwa.

Di pulau Burneo (Kalimantan), negara Banjarmas dibedahnya. Rajanya menyerah, tunduk pada Sri Handayaningrat termasuk seluruh kawasan daerah jajahannya. Sampailah pelayarannya Sri Handayaningrat ke pulau yang besar dan memanjang, bernama Pulau Sumatra. Rajanya pun dapat dikalahkannya.

Di medan peperangan para prajurit dari Sumatra, banyak yang terpukul oleh wadyabala Sri Handayaningrat. Konon Sri Handayaningrat telah melebarkan jajahan Majapahit hampir ke seluruh pelosok Nusantara, kesemuanya pun tunduk menyerah pada Sri Handayaningrat Majalengka (Majapahit).

Setelah melebarkan jajahan Majapahit, kembalilah Sri Handayaningrat ke Negara Majapahit, tak terceritakan lagi akan kelanjutan tugas-tugasnya. Srinarendra Pajang-Pengging atau sri Kalana Dayaningrat sudah diperjodohkan dengan sang putri putra raja Brawijaya (V) Majapahit.

Mereka dalam perkawinannya merupakan pasangan yang saling asih, berikut akan diceritakan perihal lainnya.

Yang ditugaskan menyusun cerita ini, mohon maaf sebesarbesarnya atas kekhilafan-kekhilafannya dalam hal memerinci putra-putra Majalengka (Majapahit). Baginya (si penyusun cerita) memang alpa (lupa, tidak paham) mana yang tua dan mana yang muda, hanya sepanjang ingatannya saja.

Sang Sudewi mempunyai adik lelaki bernama Sang Lembupeteng, bagus rupanya. Berasal tak berbeda dengan kakaknya perempuan dari Negara Cempa, Sang Lembupeteng berkedudukan di Mandura dan dinamakan Adipati Mandura. Beradik putri juga berasal dari Negara Cempa, amat ayu rupanya. Namanya Ratu Masrara, sangat kasih dan sayangnya pada kakak-kakaknya. Oleh Ratu Pembayun istri Sri Handayaningrat Pajang Pengging diangkat seakan-akan saudara sekandung, dan mengikuti Ratu Pambayun bermukim di Pajang-Pengging.

Ratu Masrara ketika dewasanya di cintai oleh iparnya, adik Handayaningrat, amat rupawan. Selama hayatnya tak mau dijodohkan, hanya ingin membaktikan diri pada kakaknya, Raja Pengging-Pajang Sri Handayaningrat.

Sang Putri Ratu Masrara meski dipaksa-paksa oleh ibu dan bapaknya, tak mau juga. Yang menjadi cita-citanya tak lain hanya akan mengabdikan diri untuk selamanya pada kakaknya, lama-lama kelihatanlah sang putri badannya amat kurus, cahayanya surem.

Kakaknya Sang Prameswari Pengging menyadari hai ini, tahu pula akan isi hati dan maksud dari adiknya Ratu Masrara. Usaha apapun yang dilakukan oleh Sang Prameswari, ternyata tak membawa perubahan apa-apa pada dirinya Putri Masrara.

Hatinya telah hanyut, cinta tak terbalas. Putusan sang putri tiada lain matilah saja, oleh karena itu akan halnya orang-tua maupun saudara-saudaranya tak akan dihiraukan lagi.

Akhirnya sang putri "mati kendhat" (kendhat berarti bunuh-diri, atau mempercepat kematiannya dengan jalan a.l. menggantung diri). Makamnya dinamakan "Makam Rara Kendat", berada di tepian sebelah timur kedaton Pengging, di dekatnya ada sebuah umbul (sebuah mata air) dinamakan orang "Umbul Rara Kendat".

Ganti yang diceritakan putra Sri Brawijaya, yang bernama Radyan Jaka Damar. Konon ibunya "putri-denawa" (denawa berarti buta, raksasa), Radyan Jaka Damar ditugaskan oleh ayahandanya di Palembang, dan diberi julukan arya Damar Palembang.

Dibekali oleh Raja Majapahit wadyabala laki-perempuan sebanyak 500 kepala keluarga. Dan kepadanya diberi hak pula untuk memakai (membunyikan) gamelan yang dinamakan Lokananta, dan diberi wewenang untuk memakai kelengkapan upacara-upacara layaknya bagai seorang Ratu.

Setiap tahunnya Radyan Arya Damar Palembang, pergi menghadap ke ayahandanya Raja Majapahit. Konon Arya Damarlah yag menurunkan para raja, satria, dipati-dipati yang perkasa di Palembang dan kawasan sekitarnya.

Dan diceritakan pula, Sang Arya Damarlah sesungguhnya yang menurunkan Susunan Candibalang di negara Palembang, seorang raja sakti.

Putra Prabu Brawijaya lainnya, yang bernama Betara Katong. Berkedudukan di Pranaraga, beliaulah yang menurunkan para pembesar pembesar (wong agung) di Pranaraga semuanya.

Dari selir Raja Brawijaya Majapahit, terlahir antaranya dua orang putri kakak-beradik. Yang pertama dikawinkan dengan Adipati Lowanu.

Yang lainnya, dikawinkan dengan Dipati Gawong. Ada lagi putra Prabu Brawijaya Majalengka, juga terlahir dari selir. Seorang pria yang amat bagus rupanya, konon ibunya berasal dari Wandan. Dikenal juga sebagai Putri Wandan-kuning. Sang Putri Wandan-kuning, dahulu menjadi (mengabdikan diri sebagai) parekan (abdi putri, yang bertugas melayani keperluan raja, khususnya di dalam kedaton) pada Sang Prameswari Ratu Mas Dwarawati, yang berasal dari Negara Campa.

Dahulunya manakala ayahanda Sang Prameswari Ratu Mas Dwarawati Raja dari Kerajaan Campa, melebarkan kawasannya menaklukkan Negara Wandan. Raja Wandan menyerah kalah, sebagai tanda bukti bernaung pada Kerajaan Campa menghaturkan upeti dan menghaturkan putrinya.

Itulah Putri Wandan-kuning, setelah diterima oleh Raja Campa diterimakan pada putrinya. Akhirnya dibawa serta ke negara Majapahit, pada suatu ketika Raja Majapahit Prabu Brawijaya sakit payah sekali. Penyakitnya apa yang dikenal "rajasinga", atau penyakit pada alat kemaluannya.

Segala obat tak bisa menyembuhkannya, semua dukun-dukun tak dapat pula mengobatinya. Raja sangat bersedih hati, segala obat tak mempan lagi.

III. Lagu Sinom, 31 bait.
Baris 1, dari bait ke-1 dan baris 1 dan akhir, dari bait ke-31
Baris 1, dari bait ke-1 ;
Ing dalu sang nata nendra,
Baris 1 dan akhir, dari bait ke-31.
Kuneng laminya semana,
sang nata ken nimbali patih sarkara.

Terjemahan
 Pada suatu malam bermimpilah Sang Raja Brawijaya, manakala antara sadar dan tidak didengarnya suara sayup-sayup. Namun jelas, dan berkata, "Wahai Raja Majapahit, kalau raja menghendaki kesembuhan dari penyakit rajasinga yang kau derita itu lakukanlah "bersetubuh dengan Putri Wandan-kuning". Jika kau telah bersanggama dengannya, hilanglah penyakitmu itu, kau akan sembuh", raja terjaga dari tidurnya terasa penyakitnya kambuh lagi, seluruh badannya terasa nyeri. Bukan main sedih raja, menderita karenanya.

 Tak banyak yang akan diceritakan perihal Sang Prabu Brawijaya, akhirnya kejadian Prabu Brawijaya telah bersanggama dengan Putri Wandan-kuning, ternyata suara yang didengarnya dalam mimpi tadi, benar. Raja Brawijaya sembuh dari deritanya, penyakit rajasinga hilang darinya.

 Diceritakan pula akhirnya Putri Wandan-kuning hamil, laporan telah sampai pada raja Majapahit. Masa datang bayi terlahir, seorang lelaki bagus warnanya. Namun setelah kelahiran si bayi tadi, Raja Majapahit Prabu Brawijaya malu, apalagi kalau terdengar bayi yang terlahir itu bapaknya Prabu Brawijaya, ibunya Putri Wandan-kuning seorang abdi dari Prameswari Ratu Dwarawati. Akhirnya raja memutuskan untuk menyingkirkan saja bayi itu, diberikan untuk dipelihara kepada seorang juru-sawah (petani).

 Bayi dibawa diselundupkan melalui pintu butulan (Pintu rahasia, terletak di bagian belakang bangunan utama), tak seorang pun yang mengetahuinya. Kepada juru-sawah (petani) telah diterimakan, dipesankan disuruhnya mengakui sebagai anaknya saja. Lama-kelamaan sang raja-putra tadi telah besar (dewasa) diberi nama Bondan Kejawan, atau Raden Lembu Peteng dan bertempat tinggal turut ayah-bunda angkatnya (yang memeliharanya) di Tarub.

Namun pada para pembaca Babad ini kuperingatkan, janganlah keliru memahaminya. Lembupeteng ada dua, satu yang berasal dari istri padmi (permaisuri) dan berkedudukan di Madura bergelar Adipati Mandura, dan yang satu lagi terlahir dari istri ampil (selir) dan berkedudukan di dukuh Tarub, dialah si Bondan Kejawan juga dinamakan Raden Lembupeteng.

Ada lagi putra terlahir dari Putri Cina sebagai istri padmi pula, konon seorang Raja Cina yang berputrakan Putri Cina tadi. Adapun Putri dari Cempa yang menjadi permaisuri juga, sebagai permaisuri raja yang lebih muda.

Putri Cina tak lama mengandung, sudah tujuh bulan usia kandungannya.

Entah apa sebabnya, manakala Putri Cina tadi mengandung hati Raja Majapahit sangat benci kepadanya. Kehendak raja, sang Putri Cina diterimakan (diberikan) kepada putranya di Palembang yang bernama Raden Arya Damar. Dengan pesan, tak diperkenankan mengadakan hubungan kelamin dengan putri triman tadi, selama bayi yang dikandungnya belum lahir. Namun setelah lahir bayi tadi nantinya, terserah akan kehendak Raden Arya Damar.

Akhirnya Sang Putri Cina dibawa ke negara Palembang, tak lama lahirlah bayi yang dikandungnya. Bayi lelaki bagus rupanya, dan dinamakan Raden Patah akhirnya dikenal dengan nama Panembahan Bintara. Adalagi putra Prabu Brawijaya (V) dari istri ampil (selir), oleh ayahandanya ditempatkan di Sumenep. Ada lagi putra Raja Majapahit, dua lelaki dan satu orang wanita. Yang tertua bernama Raden Gugur, adiknya seorang lelaki juga bernama Radyan Jaka Teki. Beradik seorang wanita, bernama Ratu Turnus. Meski sudah dewasa, namun masih juga membujangkan diri.

Akan perihalnya Raden Jaka Gugur turut pada ayahnya di Kerajaan Majapahit, diangkat sebagai senopati. Demikian pula adiknya yang bernama Raden Jaka Teki, diberikan jabatan yang sama pula mengerjakan kelancaran pemerintahan di dalam praja. Pada waktu Negara Majapahit dibedah oleh lawan, Raden Jaka Gugur menginginkan sekali akan turut ayahandanya muksa, namun dilarang.

Pesan ayahandanya, Prabu Brawijaya (V) Raja Majapahit kepadanya, supaya Raden Jaka Gugur beserta adiknya dan wadyabala Majapahit tunduk pada saudaranya (Raden Patah) yang telah membedah Majapahit. Pesan dari ayahandanya, agaknya tak dihiraukan kemudian harinya.

Diputuskannya, pergi masuk hutan-belantara bersama-sama dengan saudara-saudaranya yang berasal dari satu ayah dan ibu. Raden Gugur, Raden Teki dan seorang saudaranya lagi dalam perjalanannya sampailah sudah di kaki Gunung Lawu, sebelah tenggara kota Majapahit. Dalam perjalanan kaki, dihitung sampai memakan enam hari.

Sesampainya di kaki Gunung Lawu, Raden Arya Gugur berkeinginan mendirikan padepokan. Bersama-sama dengan adikadiknya, Raden Arya Gugur akan menjalankan tapa-brata dipadepokan itu.

Adapun hutan di dekatnya telah selesai dibabati, dijadikan sebuah dukuh (desa) untuk kemudian dijadikan tempat bermukim sesaudara. Lama-kelamaan dukuh tadi menjadi ramai, banyak penduduk di sekitar lambung gunung Semeru yang berdiam diri di dukuh Raden Gugur tadi.

Adapun dukuh tadi, akhirnya dinamakan nama dari yang membangun, ialah "Dukuh Gugur". Syahdan lolosnya Raden Arya Gugur, Raden Teki bersama saudaranya seorang lagi, merepotka juga pada Raden Patah Raja Demak. Selama tiga tahun utusan disebar untuk melacak menemukannya, sesudahnya 3 tahun berlalu barulah mereka diketemukan.

Utusan Kerajaan Demak menyampaikan pesan, bahwasanya Raden Arya Gugur dimohon kesediaannya untuk datang menghadap ke Negara Demak, pada waktu itu Raden Arya Gugur bersama-sama adik-adiknya telah memeluk Agama Islam juga. Akan tetapi padanya, Raden Arya Gugur masih senang melakukan tapa-brata di padepokannya. Raden Arya Teki adiknya, ditempatkan di daerah tempuran, namanya dusun Tersana tak jauh juga dari padepokan Gugur tadi. adiknya lagi perempuan, sudah dijodohkan dengan Kyageng Majasta. Ada lagi putra Raja Majapahit, terlahir dari seorang istri ampil.

Seorang putra yang rupawan, cahaya bersinar-sinar tak ubahnya bagaikan sinar bulan purnama. Kulitnya kuning langsat, kulitnya sehalus beledu, pandangannya penuh kawaskitan namanya Raden Jaka Prabangkara. Pandai mengerjakan apa saja, namun oleh Prabu Brawijaya tak diakuinya sebagai putra.

Dulu kala, raja Majapahit pada suatu hari berkehendak cengkrama disertai abdi kinasihnya bernama si Semut dan si Gatel. Kebiasaan raja kalau bercengkrama, berbusana seperti rakyat jelata (berlaku sandi), sehingga tak seorang pun tahu bahwa dia adalah rajanya. Keluarlah raja dengan kedua pengiringnya dari kedaton, untuk pergi melihat-lihat dilaladan luar istana Majapahit.

Pada suatu ketika raja berhenti untuk mengasokan diri, sebab lama telah berkeliling-keliling. Badan serasa lemas, dan kantuknya datang. Kebetulan di dekatnya ada satu rumah milik seorang mantri jagal, dan sang mantri jagal mempersilakan kepada mereka untuk menggunakan rumahnya sebagai tempat mengaso, dan diterima oleh raja yang menamur kawula tadi. Konon mantri jagal tadi, mempunyai anak perempuan cantik rupanya, dan menjanda.

Telah beranak seorang, namun mati pula anak itu. Dasar janda yang belum tua, malahan masih dalam keadaan janda kembang. Tak heran rupanya sangat ayu, dan kepada raja yang menamur kula tadi sangat baik pelayanannya. Raja sangat tertarik, hatinya terpaut pada wanita janda kembang, anak mantri jagal tadi. Akhirnya raja mengadakan sanggama dengan janda kembang tadi.

Keesokan harinya raja berpamitan pulang, tak terceritakan lagi akan halnya raja Majapahit yang menamur kawula. Akan halnya si janda-kembang yang telah ditiduri Raja Majapahit tadi, telah mengandung. Bayi lahir dari rahimnya, keluar seorang

PNRI lelaki amat bagus rupanya, dinamakan Raden Jaka Prabangkara.

Dewasanya diabdikan pada Raja Majapahit, diangkat sebagai Lurah sungging (termasuk salah satu pekerjaannya menggambar, memberi warna dan lain sebagainya) pandai menggambar. Oleh Raja diperintahkan Raden Jaka Prabangkara untuk menggambar seluruh penghuni hutan, segala sipat hewani yang ditemukan di hutan tadi. Juga diperintahkan untuk menggambar semuanya barang bangunan yang berada di luar istana maupun di dalam istana Majapahit.

Juga diperintahkan untuk digambar seisi samodra, ikan yang kecil-kecil maupun ikan-ikan yang besar. Semua yang hidup di dalam air, yang merangkak, yang merayap harus digambarnya pula. Raden Jaka Prabangkara menyelesaikan tugasnya dengan sempurna dan baik sekali, semuanya seindah warna dan serupa aslinya.

Raja Brawijaya amat tertegun melihatnya, kasih sayangnya terhadap Jaka Prabangkara teramat kuat. Namun dalam tata kelahirannya, Raden Jaka Prabangkara tak diakuinya sebagai putra. Lain lagi dibatinnya sang prabu, Raden Jaka Prabangkara tetap diakuinya sebagai putra.

Pada suatu ketika, Raja Brawijaya memerintahkan kepada Raden Jaka Prabangkara untuk menggambar permaisurinya Ratu Mas Andarawati. Gambar telah diselesaikan, tak sedikit pun berbeda dengan rupa Ratu Mas Darawati yang sebenarnya, atau Putri dari Negara Campa tadi. Raja sangat senang dihatinya, mengagumi karya lukisan Raden Jaka Prabangkara.

Lukisan bagaikan bisa berbicara saja, namun lama-lama Sribupati memperhatikan juga dibagian kelamin dari Ratu Mas Dwarawati. Mengapa pula ada tahi lalatnya, apakah terpercikan tinta. Raja marah, Raden Jaka Prabangkara dipanggilnya dan bertanya, "Hai, Jaka Prabangkara. Coba lihat lukisanmu ini, mengapa pula terpercik oleh noda-noda hitam, apakah mangsi itu?" Raden Jaka Prabangkara menjawab, "Betul raja, nodanoda hitam itu tinta, terpercik tiada sengaja."

Raden Jaka Prabangkara juga menerangkan, belum sempat untuk menghapusnya noda-noda hitam tadi. Raden Jaka Prabangkara memohon maaf kepada raja, atas kekhilafannya itu. Namun raja tetap murka, di dalam benaknya tetap memikirkan adanya noda-noda hitam digambar Ratu Mas Dwarawati, apalagi noda hitam itu dekat dengan kelaminnya Ratu Mas Dwarawati. Dalam hati, raja berpikir apakah Jaka Prabangkara memang sesungguhnya mengetahui, bahwasanya pada alat kelamin Ratu Mas Dwarawati memang ada noda hitamnya?

Raja Brawijaya menyadari, bahwasanya memang permaisurinya ialah Ratu Mas Dwarawati berciri pada alat kelaminnya "tahi-lalat" yang hijau warnanya. Manapula tanda itu tepat benar letaknya pada lukisan Raden Jaka Prabangkara, ingat hal itu Raja bertambah murka adanya.

Dalam hati Raja Brawijaya berkata, "Kalau benar demikian adanya, apakah Jaka Prabangkara sudah mengadakan sanggama dengan adinda Mas Dwarawati? Mengapa pula kalau melakukan hubungan kelamin, Jaka Prabangkara tahu benar akan ciri-ciri istri saya? Berani dan jahat benar Jaka Prabangkara itu, sudah keterlaluan berani mengadakan hubungan kelamin dengan istriku Ratu Mas Dwarawati, anak yang tidak tahu balas budi. Segala kebajikanku, dibalasnya dengan perbuatan bersenggama dengan istriku?"

Tiada luntur amarahnya terhadap Jaka Prabangkara, lamakelamaan malahan menjadi-jadi. Setiap saat tampak oleh raja Jaka Prabangkara, seakan-akan api menjadi-jadi berkobar-kobar urubnya. Demikian pula akan halnya Raja Brawijaya, setiap melihat rupa Jaka Prabangkara menjadi-jadi pula luapan amarahnya. Keputusan Raja Brawijaya terhadap Jaka Prabangkara, Jaka Prabangkara akan dibunuhnya saja.

IV. Lagu Dandanggula, 27 bait.
Baris ke-1, dari bait ke-1 dan baris 1 dan akhir dari bait ke-27.
Baris 1, dari bait ke-1;
Kyana Patih Gajahmada prapti,
Baris 1 dan akhir, dari bait ke-27;
Srinarendra anjetung tan angling,

Sang Sri angreras driya.

Terjemahan.

Kepada Mahapatih Gajahmada, Raja Brawijaya telah menguraikan hal ihwalnya Jaka Prabangkara dari mula sampai akhir. Kepadanya pula dijelaskan maksud raja untuk membunuh saja Raden Jaka Prabangkara, sebab Raden Jaka Prabangkara sudali dianggapnya sebagai musuh oleh sang Raja Majapahit. Demikian bencinya seakan-akan siang dan malam, wajah Raden Jaka Prabangkara selalu menghantuinya, sehingga raja pun tak dapat nyenyak untuk tidur.

Manakala Mahapatih Gajahmada mendengar penjelasan Raja Brawijaya, sangat sedih hatinya dan menghaturkan pandangannya, "Duli tuanku Raja Majapahit Prabu Brawijaya, mahapatih pamanda Gajahmada tak setuju dengan maksud duli tuanku Prabu Brawijaya untuk membunuh putranda Raden Jaka Prabangkara, dikarenakan hanya dugaan saja yang belum tentu kebenarannya. Sebab, ada peribahasa mengatakan, "Sebuas-buasnya ular yang sangat ampuh bisanya, dan sebuas-buasnya singa pun, mereka si ular dan si singa tak akan memakan anak-anaknya sendiri. Apalagi manusia yang derajadnya lebih tinggi dari hewan, manusia ciptaan Tuhan yang diberinya budi, akal yan sehat dan bijaksana. Tak ada orang tua yang akan makan (membunuh) anaknya sendiri.

Ada pula peribahasa, "Tega dalam sakitnya, namun kalau mati tak akan menegakannya". Apa pula dosa Raden Jaka Prabangkara, bukankah segala sesuatunya itu hanya dikarenakan kesalah pahaman saja, Duli tuanku telah salah duga pada Raden Jaka Prabangkara, apalagi dugaan itu tak bersandarkan buktibukti yang nyata.

Paduka Gusti tak dapat menahan hati, dikarenakan keburu nafsu paduka bertindak yang ceroboh dan tidak senonoh. Marah tak karuan alang-ujurnya, bukankah duli tuanku terkenal seorang raja yang telah putus menjajahi segala penjuru bumi. Bukankah paduka raja pun terkenal, seorang raja yang kayaraya, bukankah pula paduka raja terkenal orang yang arif dan bijaksana dalam mengendalikan pemerintahan. Dan lagipula paduka raja terkenal orang yang tahu akan apa yang akan datang,

Paduka raja tahu benar akan segala kekurangan-kekurangannya dalam menjalankan ketertiban hukum. Semuanya dilaksanakan dengan sangat cermat dan berhati-hati, lagipula disertai kebijaksanaan. Putusan paduka tentu akan berdasarkan penelitian-penelitian nyata, sebagai bahan kelengkapan bukti adanyasuatu perkara.

Putranda Raden Jaka Prabangkara, perkaranya pun belum jelas. Tuduhan sudah terlontar padanya, disusul pula putusan "mati" padanya. Suatu putusan yang tidak tepat, bukan demikian ulah seorang yang dinamakan bijaksana dan utama.

Andaikan putusan paduka raja akan terlaksana, Raden Jaka Sungging Prabangkara mati karena hukuman yang dijatuhkan padanya. Pamanda akan bertanya, siapakah orang yang paling menderitanya? Tak ada kekecualiannya dan orang lain yang lebih menderitanya, hanya orang tuanyalah yang menderita. "Mapatih Gajahmada mendekat Prabu Brawijaya disertai isak-tangisnya, "Prabu, jangan diteruskan putusan paduka raja untuk membunuh putranda Raden Jaka Sungging Prabangkara, paduka raja akan menyesalinya di kemudian hari. Ingatlah, Prabu adalah pusat pengendalian tertibnya hukum, Prabu pula pusat pengendalian segala-sesuatunya perihal pelaksanaan adanya peraturan-peraturan."

Prabu Brawijaya tersentuh dalam hati kecilnya, air mata meleleh membasahi kedua pipinya. Hatinya sangat meronta-ronta, sungguh tajam dan membelah hati aturnya pamanda Mapatih Gajahmada, dapat pula mencegah akan perbuatan yang keliru dari rajanya. Akhirnya Raja Brawijaya memutuskan tidak jadi menghukum mati Raden Jaka Sungging Prabangkara, segeralah Raja Majalengka mendekati Mapatih Gajahmada dan membisikinya,

"Paman, aku telah keliru. Trimakasih kuucapkan pada pamanda Mapatih Gajahmada. Namun paman, terserah saja pada anda. Hanya kuminta saja, hendaknya Raden Jaka Sungging Prabangkara meninggalkan Majapahit. Kalau hal ini terlaksana, jangan ada orang lain yang mengetahui", Mapatih Gajahmada menyanggupkan diri dan mohon pamit untuk menemui Raden Jaka Sungging Prabangkara.

Mapatih Gajahmada segera menemui Raden Jaka Sungging Prabangkara, dan berkata, "Raden, titah ayahanda Prabu Brawijaya, Raden diberi tugas untuk menggambar (melukis) apa saja isi akasa itu, dan demikian pula seisi langit kesemuanya.

Termasuk di antaranya, bulan, bintang-bintang, kilat, tatit, kekuwung, teja, teluhbraja, daru, dan bekas angin melintas, laban-laban, bintang berpindah, baledeg, gelap, galudug, mendung, mega-mega, mega yang kuning, dan ujung dari akasa maupun langit.

Caratwarsa, hujan, angin-angin. Lagipula isi dari akasa, termasuk segala macam burung, demikian pula burung-burung yang tidak hidup di bumi ini, burung-burung yang terbang di akasa, burung Dewata dan semacam itu juga Peksiraja (Burung Raja)",

keterangan :

Dalam Serat Dasanama, karangan YOSODIPURA II, diterangkan satu persatu bagian-bagian dan golongan-golongannya. Antara lain :

Nama-nama dari "langit" : akasa, langit, gegana, wiyat, jumantara, widig-widig, samu-samu, lintang, kartika, sukra, sudama, dan sasa.

Nama-nama dari "bledeg" (petir, halilintar) : bledeg, gelap, gragas, wrahaspati, ketug, kupak, pater, cancala, jaladha.

Nama-nama dari mega : mega, sirada, ima-kapura, sastiti, imantaka, ulur, kokap,

Nama-nama dari "cleret (kilat) : caleret, kilat, lidah, widyata, tatit, kedap, kelap.

Nama-nama dari "galudug" (guntur) : galudug, geter, guntur, grah, dan gumuruh.

Nama-nama dari "kekuwung" (pelangi); kekuwung, wangkawa, danu, danumaya, tejaherwa.

Raden Jaka Sungging Prabangkara, menyanggupkan diri, akan melaksanakan segala titah Prabu Brawijaya. Mapatih Gajahmada pamit, untuk melapor pada Prabu Brawijaya.

"Gusti, Prabu Brawijaya. Raden Jaka Sungging Prabangkara menyanggupkan diri,

untuk menggambar apa yang paduka titahkan," Raja Brawijaya sangat senang hatinya menerima laporan Patih Gajahmada.

Pasewakan hari itu segera bubaran, Raja Brawijaya segera memerintahkan pada kawula praja untuk membuat sebuah layang-layang dengan ukuran 7 depa (1 depa = 1,70 m). Selain itu diperintahkan juga untuk membuat "kurungan" di mana nantinya menjadi tempat tinggal Raden Jaka Sungging Prabangkara menjalankan tugasnya menggambar di akasa. Segala peralatan untuk keperluan Raden Jaka Sungging Prabangkara telah dipersiapkan, laporan telah masuk ke Prabu Brawijaya bahwasanya pembikinan layang-layang sebesar 7 depa dan kurungan tempat tinggal Raden Jaka Sungging Prabangkara telah selesai.

Layang-layang segera dihaturkan kepada Prabu Brawijaya, disaksikan oleh segenap para mantri negara. Tali-temali yang dibutuhkan untuk menaikkan layang-layang telah siap, demikian pula benang pengulur bagi layang-layang beserta gulungannya. Raden Jaka Sungging Prabangkara segera menghadap raja, dan bermohon diri untuk memulai tugasnya menggambar seisi langit dan akasa. Raja Brawijaya segera bertitah kepada Raden Sungging Prabangkara, "Wahai Prabangkara, terimalah sepucuk surat ini, dan baca alamatnya surat itu."

Raden Jaka Sungging Prabangkara menerima surat yang tertutup sampulnya, dan segera tulisan yang tertera di atas sampul dibacanya. Berbunyi "Surat Prabu Brawijaya untuk anakku Raden Jaka Sungging Prabangkara", selanjutnya Prabu Brawijaya memesan kepada putranya, "Prabangkara, jelas apa yang tertera di sampul bukan? Nah, pesanku padamu jangan sekalikali kau buka suratku ini sebelum tugasmu selesai. Laksanakan hai itu", Raden Jaka Prabangkara matur sendika. Segala perintah Raja Brawijaya akan dilaksanakan sebaik-baiknya. Segera mohon diri, naiklah Raden Jaka Sungging Prabangkara ke dalam kurungan.

Raja segera memerintahkan untuk mengulur tali, dan layanglayang segera diperanginkan. Angin deras datang meniup mengangkat layar layangan, terangkat naik ke atasmeninggi di akasa tak ubahnya bagaikan burung garuda terbang melayang.

Layang-layang terbang meninggi hampir tak tampak mata, Prabu Brawijaya segera menghunus pedangnya yang sangat tajam. Pedang terhunus putih mengkilat bercahaya, dipandangnya letak layang-layang jauh mengecil di akasa, lama-kelamaan tak tampak lagi. Segera Prabu Brawijaya memerintahkan, untuk menghentikan tali (benang) layang-layang, jangan sampai terulur lebih jauh lagi.

Raja segera turun dari dampar seraya menjinjing pedangnya, kepada Mapatih Gajahmada, para dipati, dan punggawa Majapahit berseru, "Wahai para kawula Majapahit, saksikan akan ucapanku ini yang kutujukan kepada Jaka Sungging Prabangkara. Hai anakku Jaka Sungging Prabangkara, janganlah anakku mendarat manakala belum sampai di daratan Ciña. Janganlah kawatir, di daratan Ciña nantinya ada seorang yang akan mengangkat anak padamu dan akan membantu pula. Sarana itulah, kau akan menemukan kebahagiaanmu di kelak kemudian hari.

Akan menemukan kemulyaan yang besar, dan kau pula akan menyebarkan keturunanmu di Negara Ciña meluas sampai ke daerah-daerah. Anak-cucumu kelak akan banyak pula yang pergi ke Tanah Jawa, dan kuizinkan kepada mereka turut serta menikmati hasil-bumi dari Tanah Jawa. Apa yang mereka kerjakan di sini akan tidak menemui kesukaran, dan mereka merasa tak asing lagi bertempat tinggal di Tanah Jawa."

Mapatih Gajahmada dan para dipati mengiyakan titah raja kepada putranya Raden Sungging Prabangkara, mereka turut berdoa semoga Raden Sungging Prabangkara di kelak kemudian hari benar-benar akan mengalami sesuai dengan harapan Prabu Brawijaya. Seusai mereka berdoa, langit kelihatan dikejutkan dengan bunyi guruh, guntur menggelegar bersautan, seakan-akan mereka mengatakan "aku juga turut menyaksikan titah Prabu Brawijaya". Segera Raja Brawijaya mengangkat pedangnya ke atas, secepat kilat diayunkannya memutus tali pengikat layang-layang. Putus tali, melesat layang-layang jauh meninggi di langit disertai tiupan angin yang keras sekali. Masih juga kelihatan layang-layang mengarungi akasa raya bagaikan seekor naga agung melayang di akasa.

Lama-kelamaan tali layang-layang tak keliliatan lagi, terbawa jauh meninggi mengikuti ke mana layang-layang terbang. Segera Sang Raja Brawijaya menyarungkan kembali pedangnya, seraya memandang jauh ke atas melihat hilangnya layang-layang.

Hati raja tersentuh, seraya teriris-iris layaknya. bimbang dalam hati, menyesali apa yang telah diperbuatnya. Tertegun terpukau, menyaksikan hilangnya layang-layang dari pandangan mata. Seakan-akan kehilangan burung yang sangat dicintai, manakala mula kecil dipeliharanya baik-baik, asih dan sayang tertumpu, apalagi sudah menjelma bagaikan manusia saja. Namun sekarang burung itu lepas hilang dari tangan, seakan-akan raja telah kehilangan sesuatu yang sangat dicintainya.

V. Lagu Mijil, 46 bait.
Baris 1 bait ke-1, dan baris 1 dan akhir, dari bait ke-46.
Baris 1 dari bait ke-1;
Mangu-mangu ma guneng nekani,
Baris 1 dan akhir, dari bait ke-46.
Titi purna pamaosing tulis,
kawimbuhan gambuh.

Terjemahan

Ragu-ragu dalam hati susah derita datang menimpanya. Seakan-akan sial dirinya, bagaikan seseorang yang sedih kehilangan jantung-hatinya (apa yang dicintainya).

Badan lemas, seakan-akan tulang uratnya lolos dari diri. Dalam benak raja tak ada lain yang terpikir, hanya pada putrandanya yang tercinta pikiran terpaut.

Didorong rasa cemburu dan menuruti hawa-nafsu raja telah bertindak keliru, suatu perbuatan yang tidak patut dijalankan oleh seorang agung. Hanya menuruti kata orang, yang belum tentu juga akan kebenarannya. Akhirnya hukuman mati, dijatuhkan, suatu putusan yang tidak tepat, hanya sesal dan derita yang disandangnya.

Andaikan dia (R. Sungging Prabangkara) mati, apakah sudah terobati atau terpuaskan kemauannya? Sudah padamkah kemarahannya, sebenarnya itu hanya suatu tindakan manusia yang keliru.

Tindakan yang terburu-buru, tak dipikirkan terlebih dahulu. Dikarenakan nafsu saja, telah berani melanggar akan ketertiban hukum.

Hukum diperkosa (ngutuh-tak tahu malu) tak tahu diri lagi, budi-luhur dan keutamaan jauh ditinggalkannya. Akan halnya contoh raja-raja dahulu kala, bukankah mereka itu menjunjung tinggi adanya tertib hukum, mengenal akan batas-batas wewenangnya?

Hati yang bijaksana yang selalu dikenalnya, bukankah mereka-mereka (raja-raja yang terdahulu) yang berwibawa itu dikarenakan selalu ingat akan contoh-contoh dan wulang-wulang yang terdahulu.

Seorang ratu berkewajiban bertutur-kata yang baik, jangan melukai hati orang. Sifat bijaksanalah yang menjadi busana bagi seorang yang dikatakan raja, putus akan segala peraturan dan hukum.

Dikatakan baik bagi seorang ratu, manakala dia itu mentaati apa yang dikatakan "darma-ji" (pedoman-pedoman bagi seorang raja).

Akan berlarut-larut kalau diceritakan "busana bagi raja", Tampak Raja Brawijaya meneteskan air matanya, demikian pula Mapatih Gajahmada dan para dipati, mantri sedih dikarenakannya. Mereka terkenang akan kepribadian Raden Jaka Sungging Prabangkara, seorang pemuda yang bagus lagi rupawan, pandai menguasai segala ilmu, watak berbudi-luhur.

Raja segera bertitah akan kembali ke kedaton, dalam hati menyerah kepada Tuhan Yang Mahaesa. Pasewakan dibubarkan oleh Kyana Patih Gajahmada, kembalilah para dipati dan mantri punggawa ke tempatnya masing-masing.

Akan halnya Raden Jaka Sungging Prabangkara yang ditarik melesat secepat kilat, kurungan yang terpaut pada layang-layang melayang mengarungi akasa-raya. Bumi tak tampak lagi, seakan-akan terbenam menjadi satu dengan namu-namu. (= udara).

Siang dan malam tak henti-hentinya angin membawa layang-layang semakin meninggi, jauh mengayuh jumantara.

Lama-kelamaan sampailah sudah layang-layang ke tempat di mana bermukim burung-burung Raja (Kagapati, Garuda), burung Beri, burung Dewata dan sebangsanya. Raden Jaka Sungging Prabangkara dengan cepat melukisnya burung-burung tadi.

Selesai melukis burung-burung, segera seisi akasa-raya dilukisnya. Tak ada yang ketinggalan satu pun, semua telah tergambar.

Enam puluh hari sudah lewat, selesai sudahlah tugas yang dibebankan oleh Prabu Brawijaya kepadanya. Sang Anom (Raden Jaka Sungging Prabangkara), segera bertanya pada dirinya.

"Ingin sekali aku akan mengetahui, apakah gerangan yang tertulis pada surat yang dialamatkan padaku ini. Namun dalam perasaannya juga bangkit, bukankah ayahanda Prabu Brawijya melarang aku membukanya terlebih dahulu, sebelum tugasku selesai kesemuanya?" raden Jaka Sungging kepengin sekali mengetahui rahasia surat itu.

Sampul surat yang tertutup, segera dibukanya. Kata-kata yang tertulis di dalamnya, satu persatu kata demi kata dibacanya. "Dari lubuk hatiku yang suci, surat ini kutujukan padamu anakku Raden Sungging Prabangkara. Teriring pula pangestuku padamu, serta pujiku untukmu.

Kau anakku Raden Sungging Prabangkara, seorang yang telah putus akan segala makna kehidupan di dunia ini. Kau pula anakku, seorang yang telah menjalani budi-luhur bijaksana, mendalami mengenal akan hal-hal yang halus-kasar, baik maupun yang buruk. Kau, seorang yang setia dalam pengabdian. Sekarang anakku, kau sedang menjalankan tugas yang kubebankan padamu. Kutugaskan padamu untuk menggambar seisi akasa-raya, apa yang tampak di akasa-langit jangan sampai tak kau gambar. Anakku Prabangkara, suratku ini sebagai tanda kataku yang terakhir padamu.

Suratku ini jadikanlah pemisah kasih pemutus sayang antara ayah dan anak, antara aku dan kau anakku. Putus sudah tali kesayanganku, diawali manakala kau terbang melayang tergantung jauh melaju terkait pada layang-layang, jauh mengayuh akasa-raya.

Itulah akhir pertemuanku denganmu, dan kupesan di mana saja kau nantinya berada janganlah bersusah-payah untuk kembali ke Majapahit.

Namun kuingatkan padamu, jangan pula kau sedih dan salah paham padaku. Apa lagi berpikir yang bukan-bukan, kudoakan kau selamat. Pesanku tawakallah pada Tuhan Yang Mahaesa.

Hatiku sekarang lain dengan dahulu terhadapmu, aku juga heran mengapa pula aku benci melihatmu. Jika tampak olehku, selalu marah saja padamu.

Tak ada penawar akan kebencianku dan kemarahanku padamu, hatiku menjadi tak sabaran lagi. Malah terciptalah dalam benakku untuk berbuat yang tidak-tidak padamu.

Tak kuketahui pula di mana lagi letak budi luhurku, ganas kasar dalam tindakanku, hanya benci saja yang tampak olehku padamu itu. Mengapa pula kemarahanku padamu tak reda-reda, aku pasrah kepada Tuhan Yang Mahaesa.

Bahwa sesungguhnya kau dan aku dipisahkan, lain tempat tak berkumpul lagi. Namun tetap kupesankan padamu, apapun juga jalankan dengan hati rela, jangan sampai kau anakku salah paham.

Bukan maksudku kuhendaki kau mati, namun ketahuilah aku sebenarnya menunjukkan akan jalan di mana akhirnya kau akan menemukan kemuliaan dalam hidupmu. Untuk itu haruslah kau ketahui hal-hal yang rumit, yang tidak terjangkau oleh akal manusia, hal-hal yang penuh mengundang bahaya. Akan hal-hal yang sulit dan sukar, hal-hal yang aneh wajib kau ketahui. Di dalam kehidupanmu, wajib kau merasakan derita sakit, panas dan pedih.

Duhai anakku, akan halnya segera perintahku padamu itu, ada yang kau maksudkannya. Kamu kuberi pelajaran hendaknya kau pandai, untuk kemudian bukankah kau akan menjadi bijaksana? Pengetahuanmu telah meliputi akan segala hai, tak kewalahan lagi akan memandang sesuatunya.

Bukankah pula orang menjadi wibawa dan bahagia diawali dari kehidupannya yang sengsara, bukankah pula mereka itu selalu menurut akan peraturan-peraturan yang telah digariskan bagi kebijaksanaan seorang raja (darmaji). Kesemuanya itu tak lain yang diharapkan, semoga rohmat Tuhan terlimpah padamu.

Akhirnya kau akan menerima nugraha sejati dari Tuhan Yang Mahaesa, itu pula dikarenakan rohmatnya. Akan terhindar pula kau dari kepapaan dan penderitaan, akhirnya kau pantas disebut sebagai seorang bangsawan, darmawan, darmaji, lagi pula punyawan.

Kau pula nantinya jadi orang hartawan, gunawan dan kertawan. Akan halnya keuntungannya orang menjadi susilawan dan budiman, turun-turunnya kelak kemudian hari akan mendapat juga kemulyaan.

Wahai anakku Prabangkara, dengarkan permintaanku ini. Kupanjatkan doa, kuminta padamu Tuhan Yang Mahaesa, jangan kau sekali-kali akan mendarat kalau tidak di daratan Cina.

Namun mendaratlah di situ di Negara Cina, jangan pula kau akan terhempas jatuh di tanah. Namun kuminta mendaratlah dengan selamat, tak lama anakku tentu ada orang yang akan membantumu, dia yang akan mencurahkan kasih-sayangnya padamu.

Itulah mula dari kehidupanmu, kelak kau akan menjadi Raja. Wadyabalamu akan sayang padamu, kau akan mendapatkan kerajaan yang lebih mulya di daratan Negara Cina nantinya. Kau akan menjadi hartawan.

Sebagai seorang Raja kau akan terkenal di seluruh negeri, kau akan dihormati oleh lawan-lawanmu semua. Kepandaianmu dan kesaktianmu tak perlu diragukan lagi, kau seorang prajurit yang tangguh, dan kau pula seorang perwira yang sakti.

Lagipula kelak kau akan mempunyai banyak anak, laki maupun wanita. Anak dan cucumu akan tersebar merata di manamana, kesemuanya menjadi hartawan. Besok pula anak-cucumu banyak yang menyusul berlayar ke bumi Jawa ini

Kesemuanya menghendaki untuk bertempat tinggal di Tanah Jawa, dan kuizinkan anak-cucumu menikmati hasil-bumi Tanah Jawa.

Apa saja yang dikeijakan oleh mereka akan menjadi gampang, padamu anakku Prabangkara hendaknya kau selalu berhati-hati. Selalulah awas-eling. Jangan lupa akan segala pesanku padamu",

Tamatlah sudah isi surat Prabu Brawijaya dibacanya, tak dapat ditahan pula air mata membasahi kedua pipinya. Rasa hati pilu, disertai isak-tangis yang sangat mengharukan.

VI. Lagu Gambuh, 44 bait.
Baris 1 dari bait ke-1, dan baris 1 dan akhir dari bait ke-44.
Baris 1 dari bait ke-1;
Kambuh ing driya wimbuh,
Baris 1 dan akhir dari bait ke-44;
Barang patanyanipun,
Dyan Jaka amucung alon.


Teremahan

Hati sedih, serasa diiris-iris. Jantung berdetak, seakan-akan lepas dari gantungannya. Penglihatannya buram, pikiran sedih. Pikiran bingung, seakan-akan melayang terbang mengayuh akasa. Tak lain, Raden Jaka Prabangkara dalam kebingungan dan kesedihan.

Namun hatinya telah tetap, menyerah pada kehendak Tuhan Yang Mahaesa. Kesadarannya telah kembali, hilanglah sudah rasa was-was dan kawatirnya.

Surat yang telah dibacanya segera disimpan, tak lain Raden Jaka Sungging Prabangkara hanya berdoa memohon kepada Tuhan Yang Mahaesa, semoga apa yang akan dialaminya nanti lekas-lekas terlaksana. Akhirnya Tuhan Yang Mahaesa merohmatinya, permintaan Raden Jaka Sungging Prabangkara terkabul.

Tiada lain hanya Tuhan Yang Mahaesalah yang selalu mengasihi umatnya, dan hanya beliaulah yang selalu menolong umatnya di kala dalam kesusahan.

Tiada tersangka-sangka, datanglah angin deras menderu menghembus layang-layang tadi. Tertiuplah bersama-sama lajunya angin, menukik mengarah ke daratan.

Tak ada angin yang menghalanginya yang datang dari bawah, kesemuanya tersisih oleh jalannya layang-layang yang menukik ke bawah.

Tak ubahnya bagaikan Kagendra (burung garuda) meniup dari akasa, melesat jauh melayang ke bawah. Apalagi dibarengi datangnya angin dari arah barat-daya kuat deras meniupnya.

Layang-layang laju melayang terdorong oleh derasnya angin-angin, angin dari segala penjuru berkumpul menjadi satu seakan-akan lekas lekas mempercepat turunnya layang-layang tadi.

Tak berapa lama, sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Mahaesa yang mengasihani pada umatnya yang sedang dalam kesengsaraan (penderitaan), menurunlah layang-layang tadi dari ketinggian.

Tampak apa yang dinamakan tanah daratan Cina, terpampang luas dari ketinggian. Kelihatan pula dengan jelas, batas-batas kota, desa-desa, tepian hutan-hutan.

Kaki gunung-gunung, hutan-hutan di lereng-lereng tampak sudah. Waktu itu hampir fajar merekah, angin berhenti bertiup, dan mendaratlah layang-layang yang ditumpangi Raden Jaka Sungging Prabangkara.

Sebuah pendaratan yang empuk dan halus, layang-layang tiba di tepian hutan tak jauh dari letak sebuah dusun. Namun waktu itu segala-galanya kelihatan sepi, tak tampak satu orang pun juga.

Konon desa itu namanya Yutwai, jauh dari ibu kota dimana raja bersinggasana. Di desa Yutwai tadi, bermukimlah seorang janda yang amat miskin dan hidupnya sangat menderita bernama Kim Liong.

Lama sudah ditinggal suaminya (mati), oleh karena itu sangat menyedihkan kehidupannya. Nista dan papa yang disandangnya di desa Yutwai itu.

Si janda Kim Liong mempunyai anak perempuan satu, rupa ayu manakala si gadis tadi sudah menginjak masuk alam remajanya. Namun terbawa gadis dusun, tak tampak tanda-tanda berahinya.

Keng Mu Wah namanya, gadis dusun yang tak mengenal kebagusan busana, apalagi menyandang perabotan perhiasan layaknya sebagai wanita. Susah pula hidupnya, melarat dan menderita. Tak berayah lagi, setiap hari membantu ibunya janda Kim Liong bekeija mencari makanan di hutan dekat dusun Yutwai tadi.

Kayuan-kayuan, daun-daunan dijadikan mata pencahariannya. Dijualnya ke desa dekatnya, harga tak menjadi soal asal laku sekedar untuk menghidupinya berdua.

Uang yang diterimanya, dibelikannya untuk mencukupi keperluan sehari-harinya. Pada suatu ketika, seperti biasanya tiap hari janda Kim Liong bersama anaknya si ayu Keng Mu Wah pergi ke hutan di dekat dusun Yutwai.

Hutan-hutan disusupinya, sekedar mencari dan mengumpulkan kayu-kayuan, daun-daunan untuk sayuran yang akan dijualnya ke pasar dimancapat dan mancanagari.

Waktu itu hari masih pagi waktu menunjukkan jam 8, janda Kim Liong terperanjat melihat adanya sebuah rumah di depannya.

Sadar pula bahwa yang tampak olehnya sebenarnya bukan rumah, hanya bentuknya seakan-akan rumah saja. Rumah yang berbentuk bagaikan rakitan (tatanan) perahu saja ukuran kecil, memakai layar penampung angin, banyak pula tali-temali terkait.

Raden Jaka Sungging Prabangkara mengetahui dan melihat dari kejauhan ada orang yang berusaha akan mendekatinya. Turunlah Raden Jaka Sungging Prabangkara dari kurungan, dengan langkah yang pelan-pelan didekatinya orang tadi.

Janda Kim Liong beserta anaknya si ayu Keng Mu Wah mundur selangkah, takut dan was-was dirinya. Seluruh tubuh janda Kim Liong menggigil ketakutan, apalagi gadis Keng Mu Wah tak lepas-lepas erat-erat memegangi tangan ibunya.

Dalam hati bertanya-tanya, apakah ini yang disebut perayangan si baureksa bumi (dusun) ini, ataukah sebangsa roh-halus penjaga hutan.

Ataukah ini yang dinamakan danyang-danyang gunung, ataukah dinamakan demit-demit dari hutan yang besar yang menguasai hutan gunung di sini.

Janda Kim Liong terheran-heran dalam hatinya, bertanyatanya manusia ini pasti jelmaan dari roh-halus atau setan? Manapula ini tentu perayangan jenis lelaki, busana bagus lain pula dengan kebiasaan busana yang dipakai di daratan Cina.

Setan yang rupawan, halus tingkah-lakunya, cahyanya bersinar-sinar, sehingga silau mata memandanginya.

Menilik dari cahya yang bersinar-sinar, orang ini tentu bukan sembarangan. Tentu orang agung yang memputrakannya, bukan dari orang keturunan kebanyakan.

Raden Jaka Sungging Prabangkara seketika itu teringat akan busana yang dikenakan oleh parekan (abdi perempuan) yang dulu pernah jadi prameswari Raja Brawijaya di Majapahit. Bukankah tampak mata mereka sipit-sipit, kuning kulitnya.

Dalam hati Raden Jaka Sungging Prabangkara bertanya-tanya, "Apakah ini yang dinamakan Putri Cina?" Raden Jaka Sungging Prabangkara ditanyai oleh janda Kim Liong berbahasa Cina, "Wahai pemuda rupawan, aku bertanya padamu. Katakanlah jawabanmu dengan sesungguhnya kepadaku.

Apakah kau ini yang dinamakan lelembut (roh-halus), penghuni dari hutan-hutan dan gunung-gunung, apakah kau ini tergolong yang dinamakan perayangan yang menguasai daerah ini? Apakah kau ini yang dinamakan danyang dari alas-belantara ini, yang bertugas menjaganya?

Apa pula kehendakmu di sini, apakah kau akan mengganggu warga di desa sekitar ini, apakah kau akan menyebarkan wabah penyakit di desa ini. Namun apakah kau ini manusia sesungguhnya, katakanlah padaku dengan sebenarnya? Apakah kau ini si Liong Te Pekong?

Yang datang akan mencabut kehidupanku, dan mendatangkan pati padaku? Kalau kau ini manusia sesungguhnya, coba katakan dari mana asalmu, dan daerahmu itu namanya apa?

Siapa pula namamu?" Raden Jaka Sungging Prabangkara dengan sopannya menjawab, suara halus mengenakkan hati. Satu persatu pertanyaan janda Kim Liong dijawabnya dengan memuaskan, bahasa yang dipergunakannya bahasa Cina.

Konon Raden Jaka Sungging Prabangkara paham akan aksara Cina, yang memberi pelajaran tak lain emban (abdi perempuan) permaisuri Raja Brawijaya yang berasal dari Negara Cina.

Konon banyak pula wadyabala, para mantri dari Cina yang turut ke Majapahit, mengikuti Putri Cina permaisuri Raja Brawijaya. Tak mustahil, bahwa Raden Jaka Sungging Prabangkara fasih dan lancar dalam menggunakan bahasa dan tulisan Cina. Terjawab sudah semua pertanyaan janda Kim Liong, oleh Raden Jaka Sungging Prabangkara.

VII.   Lagu Pocung, 49 bait.
   Baris 1 dari bait ke-1, dan baris 1 dan akhir dari bait ke-49.
   Baris 1 dari bait ke-1;
   Lah ta biyung kula pan dede lelembutan
   Baris 1 dari bait ke-49, dan baris akhir.
   Negundhung-undhung nibok randha artanipun,
   margi saking suta panggihan kanthinya.

Terjemahan

"Ibu, aku ini bukannya lelembut (roh-halus), bukan pula perayangan, bukan danyang atau demit dan bukan pula Ong Te Pekong, dan bukan dewa diriku ini.

Sesungguhnya aku ini manusia seperti ibu, aku berasal dari Tanah Jawa. Aku orang Jawa mengabdi pada Raja Agung Majapahit.

Terlahir dari keturunan orang hina dan papa, namaku Prabangkara. Tak kenal aku akan budi luhur, tanpa budaya diriku. Bodoh lagipula tak ada harga diriku ini. Mula dari kecil aku ini selalu menuruti kemauan sendiri, terlanjur sudah hidup tak tentu arah, semaunya sendiri.

Bagiku tak terlintas dari benakku akan dapat mengabdikan diri pada seorang raja, manakala lagi pada waktu itu aku belum mengenal tulisan.

Banyak teman handai taulan yang pandai-pandai dalam tulis-menulis, namun dirikulah yang paling bodoh.

Tak ada ilmu yang kupunyai, bagaikan tak tahu aku akan arah mana utara dan mana yang selatan. Oleh Karena itu, aku dimurkai oleh raja. Adapun kedatanganku di sini ibu, sama sekali tak terlintas dalam pikiranku untuk berbuat yang jahat.

Tak terlintas dalam benakku akan mengganggu, sebenarnya ibu aku ini sedang dalam tugas menjalani perintah Raja Majapahit.

Ditugaskannya kepadaku untuk menggambar seisi langit dan akasa-raya ini, semua penghuni yang elok-elok di dalamnya.

Aku berada di dirgantara dikarenakan naik dengan layang-layang yang tak ubahnya bagaikan perahu-kunting (Kecil), dilengkapi pula layar-layar sebagai penampung angin.

Banyak pula perlengkapan kebutuhanku dibawakannya, malah lihatlah ibu masih tersisa berlebih-lebihan di dalam kurungan tempat tinggalku ini.

Ibu manakala tugas pekerjaanku telah selesai, datanglah angin deras meniup mendorong layang-layang yang kutumpangi ini ke bawah. Siang dan malam layang-layang menurun mengarah ke daratan.

Tampak olehku sudah gunung-gunung, berbareng dengan matinya (berhentinya) angin meniup mendaratlah layang-layang yang kutampi tadi, waktu itu sudah larut malam menjelang pagi hari.

Mendaratlah kurunganku ini di daratan, waktu itu hatiku bertanya-tanya di manakah gerangan aku ini. Untung bagiku, melihat kedatangan ibu.”

Janda Kim Liong yang asyik mendengarkan cerita Raden Jaka Sungging Prabangkara, terheran-heran dirinya. Tak sepatah kata pun terucap dari mulutnya, tertegun melihat kejadiannya. Sungguh jauh asal pemuda rupawan ini

Runtuhlah hati janda Kim Liong melihat Raden Jaka Sungging Prabangkara, belas-kasih tertumpah padanya. Berkatalah janda Kim Liong, "Ananda Jaka Sungging kalau demikian ananda sudah di seberang terbawa terkatung-katung melayang di akasa-raya dideru derasnya angin.

Amat jauh daratan Cina ini dengan Tanah Jawa, tenggara arahnya pulau Jawa itu dari daratan Cina.

Kalau mau ke Tanah Jawa amatjauh letaknya, harus melalui samodra luas, melintasi pulau-pulau yang besar tersebar di mana-mana.

Kalau berlayar melalui samodra, memakan waktu 3 bulan itu pun dibantu oleh keajegan angin. Ananda, almarhum pamanda dulu pernah pula berlayar ke Tanah Jawa. Suamiku dulu pernah pula pergi ke Kerajaan Majapahit, mengikuti putri Raja Ong Te yang akan diperjodohkan dengan Ratu Majapahit.

Namun kabar yang kudengar, betulkah sang putri dari Cina itu sudah berpisah dengan Raja Majapahit? Berita yang tersiar, waktu itu Putri Cina sedang mengandung 7 bulan. Atas kehendak Raja Majapahit, Putri Cina ditrimakan (diberikan) pada putranya yang berada di Palembang,

Beliau bernama Raden Arya Damar, memperistri putri triman dari Raja Majapahit, itulah si Putri Cina, benarkah berita itu ananda? Raden Jaka Sungging Prabangkara menjawab, "Ibu, itu benar.

Sekarang ibunda Putri Cina itu telah melahirkan, seorang bayi lelaki. Rupanya tak ubah rama Sang Ratu” janda Kim Liong meyautnya, "Duhai putranda, bagaimana pula bentuk dan ujudnya yang ananda naiki kurungan itu, ingin ibu akan melihatnya”, Raden Jaka Sungging Prabangkara segera mengantarkan janda Kim Liong melihat kurungan tempat Raden Sungging Prabangkara menunaikan tugasnya.

Berjalanlah mereka bertiga menuju tempat kurungan, Raden Jaka Sungging Prabangkara ada di depan, janda Kim Liong di belakangnya, putri sang janda si Keng Mu Wah tak jauh dari ibunya. Sampailah mereka di tempat kurungan, kepada mereka dipersilakan oleh Raden Jaka Sungging Prabangkara untuk naik kekurungan.

Ibu Kim Liong heran melihat bentuk dan isi kurungan, alatalatnya serta perlengkapannya tak ubahnya bagaikan peralatan rumah saja.

Macam-macam hasil lukisan Prabangkara terpapar dalam kurungan itu, semuanya indah. Segala macam penghuni di akasa, terlukis olehnya.

Kim Liong beserta putrinya Keng Mu Wah segera dijamu oleh Raden Sungging Prabangkara, aneka macam penganan disajikan, tak terkecuali makanan yang berasal dari Tanah Jawa yang tahan lama dinikmatinya.

Macam-macam minuman disediakan, dan disajikan pula kepada Ibu Kim Liong dan anaknya Keng Mu Wah. Mereka bertiga bersama-sama menikmati sajian, mereka makan bermacammacam roti dari gandum, mentega. Setelah janda Kim Liong beserta anaknya Keng Mu Wah selesai makan, berkatalah Raden Jaka Sungging Prabangkara,

"Ibu Kim Liong, jika ibu tidak berkeberatan dan setuju sependapat dalam hati, maukah ibunda Kim Liong menerimaku. Ananda ingin mengabdi pada ibunda Kim Liong. Sebab, tak ingin aku pulang ke Tanah Jawa maupun ke Majapahit. Malu kiranya, kalau kukenang yang sudah-sudah", Kim Liong sangat bersukacita mendengar permintaan Raden Jaka Sungging Prabangkara hendak turut besertanya.

"Raden, baiklah ananda kuterima. Namun tidak ragu-ragukah ananda turut beserta ibu Kim Liong ini? Aku sangat miskin, lagi hina tak ada yang kupunyai." Raden Prabangkara menyaut, "Ibu, kuterima dengan segala keadaan yang ada", ibu Kim Liong sangat senang hatinya mendengar jawaban Raden Jaka Sungging Prabangkara. Diajaklah Raden Sungging Prabangkara pulang ke rumah ibu Kim Liong, tak lupa Raden Jaka Sungging Prabangkara membawa segala makanan, peralatan yang tersisa di kurungan. Banyak makanan dan barang-barang peralatan yang dibawa nya ke rumah ibu Kim Liong, tidak mustahil berulang-kali mereka bertiga mengusungnya.

Layar layangan dirucat dan diturunkan, kerangkanya dipi-sah-pisahkan sehingga memudahkan membawanya pulang. Empat hari lamanya mereka memindahkan barang-barang isi kurungan tadi.

Waktu telah berjalan lama, ibu Kim Liong sangat mengasihi pada Raden Jaka Sungging Prabangkara. Sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri. Kepada ibu Kim Liong Raden Jaka Sungging Prabangkara menyerahkan cincin bawaannya, sebuah cincin yang indah dilolosnya dari jari kelingking kanan. Pennata jingga dan embanan emas menghiasinya cincin tadi, "Ibu terimalah cincin ini, juallah. Uangnya dapat ibunda pakai sebagai modal dagangan dan penyangga hidup kita bersama"” Kim Liong dengan rasa terharu menerimanya dan beijanji akan melaksanakan usulan Raden Jaka Sungging Prabangkara.

Modal dari cincin tadi sungguh mendatangkan kebahagiaan dan rejeki bagi Kim Liong sekeluarga, apapun yang diperdagangkan sangat mudah mendatangkan rezeki. Untung berdatangan dari dagangan yang terjual.

Raden Jaka Sungging Prabangkara sehari-harinya melukis, ada lukisan pohon-pohonan dan burung-burung, Ibu Kim Liong selalu yang menjualkannya.

Terkenal sudah kepandaian Raden Jaka Sungging Prabangkara, seluruh desa tahu si Jaka ahli menggambar. Orang beli pun berebutan, harga bersaing. Berapa pun harga yang dipasang ibu Kim Liong tak menjadi soal bagi pembeli, asal dapat barang lukisan Raden Jaka Sungging Prabangkara, khususnya lukisan manusia lelaki dan wanita. Banyak pula yang memesannya terlebih dahulu, pembelinya tak terkecuali laki dan wanita.

Harta bertumpuk-tumpuk pada janda Kim Liong, konon si janda menjadi hartawan dikarenakan anak pungutnya si Jaka Sungging Prabangkara, si pembawa rejeki.

VII.  Lagu Kinanti, 35 bait.

   Baris 1 dari bait ke-1 dan baris 1 dan akhir, bait ke-35.

    Baris 1, bait ke-1;
    Mangkana pan kamisuwur,
    Baris 1, bait ke-1 dan akhir dari bait ke-35;
    Sri Ong Te bethara prabu,
    sang narendra semu kingkin.

Terjemahan

Nama Raden Jaka Sunggih Prabangkara terkenal luas menjelajahi daerah-daerah mancapat, mancalima, mancapitu, mancawolu dan mancasanga.

Terkenal pula bahwasanya janda Kim Liong mempunyai anak angkat "sibagus dari desa Yu Dwai", dikenal oleh masyarakat sekitarnya karena kewasisannya dalam berbagai-bagai ilmu.

Banyak pula yang mengundangkan bagus bagaikan bulan purnama, cahayanya bersinar. Tutur bahasanya manis, lagipula akrab dengan tata-susila. Pantas terkenal dibelahan bumi, kehalusan budinya, kewaskitaannya apalagi kebijaksanaan hatinya sungguh melekat pada hati mereka yang pernah bertemu dan mengenalnya.

Di dalam praja, manca-nagari di pelosok-pelosok daerah-daerah daratan Cina sampai pun di luaran mancanagari, kesemuanya menyanjung-nyanjung Jaka Sungging anak Kim Liong dari Yudwai. Jaka Sungging sungguh rupawan, tak ada bandingannya dengan perjaka-perjaka di seluruh daratan Cina. Dia ada iah seorang perjaka yang tangguh dalam segala hal, pantas dipu-ja-puja orang sebumi.

Kalau dia menggambar, gambarannya tak ubah dengan aslinya. Suatu gambar yang agaknya bisa seindah aslinya, tak dapat dibedakan mana tinta dan mana kertasnya.

Apa yang digambar dipindahkan sewujudnya dalam kertas, tiada mustahil banyak pula utusan-utusan nerpati maupun satria datang memesan gambarannya Raden Jaka Sungging Prabangkara.

Suatu hasil lukisannya serupa benar dengan yang digambar, beraneka wama dilekatkan sehingga gambar itu sendiri seakan-akan dapat bergerak. Namun banyak juga Raden Jaka Sungging Prabangkara menerima pembayaran balas-jasanya. Beraneka barang-barang yang indah, uang maupun busana-busana yang apik. Nama Raden Jaka Sungging Prabangkara sangat terkenalnya, schingga Kangjeng sribupati Sri Ong Te yang Agung mendengar pula kisah Raden Sungging tadi. Dia adalah seorang raja yang membawahi para narpati (ratu).

Seluruh daratan Cina Raja Agung Sri Ong Te yang menguasainya, tak terkecuali daratan-daratan, pesisir dan lautan. Terkenal pula di luaran daerah, bahwasanya Sri Ong Te adalah raja yang agung, lagi bijaksana.

Manakala Sri ong Te mendengar berita perihal juru gambar yang teramat pandai, kepenginlah Raja Ong Te bertatap muka dengan Raden Sungging Prabangkara.

Diutusnya punggawa raja untuk menemui dan memanggil Raden Jaka Sungging Prabangkara datang di istananya, banyak pula para narpati mancanagari yang turut akan melihatnya.

Kembalilah sudah Utusan raja, Raden Jaka Sungging turut serta dibawanya. Raja Ong Te segera bertitah pada Raden Sungging untuk mendekat, dan majulah Raden Sungging Prabangkara menyembah beijalan dengan sangat sopannya.

Jalan beijongkok tak ubahnya bagaikan burung merak yang sedang memperlihatkan sayap-sayapnya, cekatan dalam langkah tak akan keliru, leher bergerak bagaikan mengiringi irama.

Siku tangan kiri dan kanan melenggang sesuai dengan ajunya langkah kaki, namun semuanya kelihatan manis dan serasi tak ada yang mengecewakan. Dengan menundukkan kepala Raden Sungging Prabangkara mendekat pada Sri Raja Ong Te, mata tajam melihat kedepan.

Semua yang hadir tertegun melihatnya, tak sepatah katapun mereka berbicara. Rajapun tak ketinggalan tertegun menyaksikannya, mata memandang tak berkedip-kedip.

Dalam hati Raja Ong Te berkata, "pantaslah pemuda ini bukannya anak orang sebarangan, tentunya turunan orang-orang bijaksana.

Patut pula keturunan dari para ratu, solah-bawa tindak-tanduk rendah-hatinya sungguh sangat mengesankan”. Raja Ong Te mencoba untuk mengetahui kebenaran dari dugaannya, bahwasanya Raden Jaka Sungging Prabangkara tentu putra seorang Ratu, namun dalam hatinya pula telah mengatakan bahwa Raden Jaka Sungging akan membohonginya. Bertanyalah Raja Ong Te kepada Raden Jaka Sungging Prabangkara,

"Wahai ananda, kuucapkan selamat datang di istana ini”, Raden Jaka Sungging Prabangkara menjawabnya, "Duli tuanku Raja Agung Sri Ong Te, hamba ucapkan terima kasih untuk salam duli tuanku. Semoga dapat kujunjung tinggi-tinggi rahmat raja, akan kujadikan jimat bagiku, semoga dapat menjadi kekuatan bagiku dalam kehidupan ini.” Raja Ong Te melanjutkan pertanyaannya,:

"Ananda, coba ceritakan darimana asalmu?”, Raden Jaka Sungging Prabangkara menjawabnya, berasal dari Tanah Jawa dan anaknya orang yang hina-dina.

Dulu hamba mengabdi pada Raja Brawijaya dari Majapahit, namun permohonan hamba pada raja janganlah salah terka.

Sesungguhnya hamba seorang yang bodoh, tingkah laku sopan tak mengenalnya, itulah hamba pribadi. Lain dengan teman-teman hamba, kesemuanya pandai-pandai. Sebenarnya tak patutlah hamba mengabdikan diri pada Ratu Majapahit, sebab watak tak baik apalagi hamba pun tak mengenal akan ketertiban peraturan.

Bodoh bukan kepalang tanggung, menurut kemauannya sendiri mulai dari kecil. Tak mengenal pula akan rasa masam dan manis, pait dan gurih, pedas dan asin. Pendek hamba tak mengenal apa yang dikatakan sad-rasa (sad berarti keenam rasa, suatu kata kiasan untuk menyatakan dirinya sebagai orang yang paling bodoh dan dungu atau orang yang tak mengenal sama sekali dengan peraturan), itulah diri hamba yang sesungguhnya tak mengenal akan peraturan-peraturan mengabdikan diri pada raja, jadinya hamba pun sengsara”, awal sampai akhir telah dihaturkan kepada Raja Ong Te.

Setelah Raja Ong Te mendengar cerita Raden Jaka Sungging Prabangkara yang diawali dari mengabdi pada Raja Brawijaya Majapahit, sampai terdampar di daratan Cina, Raja Ong Te timbul belas kasihannya. Raden Jaka Sungging segera disuruhnya mendekat, dan dengan menyembah laju menggeser tempat duduknya mendekat pada kaki Raja Ong te. Raja Ong te menjengukkan kepalanya, sambil berbisik pada Raden Jaka Sungging Prabangkara.

"Wahai anakku, mengapa pula kau berbohong diri, sudah sewajarnya kau ceritakan siapakah orang tuamu itu” dengan rendah hati Jaka Sungging Prabangkara menjawab, "Junjunganku Raja Agung Sri Ong Te, maafkan diri hamba dikarenakan hamba berbohong.

Namun apapun perintah raja Ong Te akan kujalankan, bahwasanya hamba ini putra dari Raja Brawijaya Majapahit Ratu di Tanah Jawa. Terlahir dari istri ampeyan (selir, bukan permaisuri), ibu anak dari seorang jagal berpangkat mantri di Majapahit.

Kedatangan hamba di daratan Cina ini, sekedar menjunjung tinggi perintah Raja Brawijaya Majapahit. Tugas dan kewajiban hamba, tertulis sudah dalam sepucuk surat yang hamba bawa ini.

Segala cerita perihal isi surat telah disampaikan kepada Raja Agung Ong Te, tak terkatakan lagi bagaimana rasa haru yang menimpa sang raja. Pilu hatinya seakan-akan dirinya sendiri yang menderita, hati sedih serasa tersayat-sayat turut memikirkannya.

Berkatalah Raja Ong Te, "Kau Sungging Prabangkara, aku sebagai pelindungmu sekarang. Tak kuhalangi kehendakmu menyandikan diri, namun kehendakku mulai sekarang baiklah cucuku berada di istanaku. Ibumu dan saudara-saudaramu akan kuperintahkan juga untuk diboyong kemari", Jaka Sungging berterimakasih dan menyerahkan segala-galanya pada Raja Ong Te.

Kepada Raja Si Tong Ki Sae diperintahkan untuk menjalankan tugas memboyongi ibundanya Raden Jaka sungging Prabangkara beserta keluarganya.

Konon janda Kim Liong beserta putrinya Keng Mu Wah telah diboyongi ke istana, dan oleh raja mereka ditempatkan di sebuah rumah yang baik tak jauh dari istana raja.

Raja beserta para mantri-mantrinya sangat kasih dan sayang pada Raden Jaka Sungging Prabangkara, banyak pula mereka memberikan hadiah-hadiah kepada Raden Sungging Prabangkara. Lama kelamaan bukan menjadi rahasia umum lagi, siapakah sebenarnya Raden Sungging Prabangkara itu. Bagaikan asap yang mengepul meninggi, tak ada lagi yang akan dapat menutup dengan tirai.

Bahwasanya Raden Jaka Sungging Prabangkara putra Ratu Majapahit Prabu Brawijaya. Raja Ong Te segera mengangkat menantu, dijodohkan dengan cucu sang Prabu sendiri. Raden Jaka Sungging Prabangkara dikawinkan dengan Siti Tumiyan, malahan kehendak raja Raden Prabangkara disuruhnya mengawini putri janda Kim Liong si cantik Keng Mu Wah. Tak terasa sama sekali bahwa Keng Mu Wah adalah madu Siti Tumiyan, kedua-duanya mengangeap saudara sendiri. Pada Raden Jaka Sungging Prabangkara, kasih sayang mereka tertumpah.

Lama kelamaan kesohorlah sudah nama Raden Jaka Prabangkara, seluruh belahan bumi mengenalnya.

Kepandaiannya melebihi sesamanya, bijaksana, tangguh dan perwira. Mumpuni dalam segala hai, rendah-hati alus dan menjunjung tinggi keluhuran budinya, ahli dalam agama tutur-katanya sangat mempesona hati.

Bijaksana dalam mengatasi segala kesulitan, adil dalam hukum berwatak kesatria lagipula rupawan. Raut mukanya_ bersinar-sinar bagaikan cahaya bulan, tak mustahil banyak wanita yang memujanya.

Cerita Raden Arya Prabangkara tak akan dilanjutkan lagi, beliau sudah bahagia di Negara Cina. Cerita selanjutnya menyusuli, Negara Majapahit dengan Rajanya Prabu Brawijaya konon putra bungsunya bernama Jaka Karewet, terlahir dari istri ampeyan (selir, bukan permaisuri).

Ibu Jaka Karewet sebelum diambii raja sebagai parara-rara (gadis-gadis cantik, biasanya dari dusun atau dukuh, daerah-daerah yang dipekerjakan di kraton, khusus melayani raja dan permaisuri) di kraton Majapahit. Dia anaknya seorang abdi Jagal Panatus, namun bukan anaknya lelurah mantri jagal di Majapahit.

Lama kelamaan Raja Brawijaya berkenan menghamili gadis tadi, dalam kandungannya telah berumur 2,5 bulan. Manakala siparara-rara tadi sedang masanya nyidam, timbullah rasa benci kalau melihat Raja Brawijaya.

Pada suatu ketika Raja Brawijaya memanggil ni rara Pejagalan, maksud raja akan ditidurinya. Namun hati rara Pajagalan tak mau melayaninya, dipaksa-paksapun enggan. Malahan nirara Pajagalan menangis sejadi-jadinya.

Raja sangat murka kepadanya, diputuskannya bahwa ni rara Pajagalan harus dikeluarkan dari kedaton Majapahit. Segera diperintahkannya kepada punggawa praja, untuk melaksanakan tugas tadi.

Perintah menyebutkan, bahwasanya ni rara Pajagalan harus dipulangkan ke asalnya, bahwasanya Raja Brawijaya waktu ini tak memakainya lagi. Tak lama kandungan ni rara Pajagalan semakin membesar, masa telah tiba pula bayi terlahir seorang lelaki. Maksud hati ni rara Pajagalan akan melaporkannya kepada Raja Brawijaya, namun tak jadi terhalang dikarenakan raja masih murka kepadanya.

Andaikan jadi melapor, manakala Raja masih murka tentu tak akan berkenan di hati. Sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Mahaesa, bayi tadi lekas membesar lagipula tinggi badannya.

Waktu berjalan 14 tahun sudah umur anak tadi, dengan dinamai Jaka Karewet. Raut mukanya bersinar bagaikan bulan purnama, tak akan sama dengan lain-lain anak di mana pun juga.

Kesenangan Jaka Karewet tak lain menggembala kerbau di hutan, mulai kecil memang Jaka Karewet sudah terlatih masuk hutan untuk menggembala kerbau maupun sapi.

Banyak pula teman-temannya dari Pajagalan yang senang menggembala sapi maupun kerbau di hutan, namun Jaka Karewet kalau menggembala selalu menyendiri.

Sudah menjadi kelaziman para pengembala, senang bermain-main, bersenandung, mengadakan teka-teki antara teman, bercerita perihal wayang-topeng, ada pula yang bermain udung dan gegendongan. Itulah pula adat kuna, anak-anak bermainmain sesuka hatinya. Namun Ki Jaka Karewet tak mau mengumpuli teman-temannya, hanya menyendiri saja kesukaannya.

Pada suatu ketika Ki Jaka Karewet manakala sedang menggembala sapi dan kerbaunya, terpisah jauh dari teman-teman Pajagalan. Masuk ke dalam hutan belantara, Ki Jaka Karewet merasa letih badannya. Mengasolah Ki Jaka Karewet di sebuah padang yang tak jauh letaknya dari tengah-tengah hutan-belantara tadi. Duduklah dia di atas tanah, menjelang matahari hampir terbenam tampak olehnya dari kejauhan sebatang pohon beringin yang baru sekilan tingginya (sekilan; ukuran panjang dihitung dari ujung jari ibujari sampai ujung jari kelingking).

Batangnya tak akan melebihi sebesar lidi, namun kelihatan kokoh. Batang pohon bercabang empat, daun-daunnya kecil lemas membentuk bagaikan "cunduk mentul" (sejenis tusuk konde, kebiasaan dikenakan pada temanten putri, Bentuk memanjang, melebar bagian atas dengan disertai pengikat yang dapat lemas bergerak-gerak). Rupanya Ki Jaka Karewet senang melihat pohon beringin yang kecil setinggi sekilan tadi.

Dalam hatinya Ki Jaka Karewet ingin sekali memilikinya, bukankah daunnya serupa benar dengan bentuk sunting? Segera dicabutnya pohon beringin bercabang empat tadi, terbawa juga akar-akarnya. Bukan main senang Ki Jaka Karewet. dalam hatinya ingin sekali bakal memakai dedaunan pohon beringin tadi untuk penghias telinganya.

Sudah menjadi kehendak tuhan Yang Mahaesa, akar-akar dari pohon beringin yang dicabutnya terlilit "akar-mimang" (akar-mimang adalah jenis akar yang dapat mendatangkan kesaktian bagi si pemakainya, biasanya dipakai melilit perut sebagai pengikat atau sabuk) Jaka Karewet memakainya akarmimang tadi sebagai sumping (suntingan), bentuk serasi atas dan bawah, depan maupun belakangnya.

Seketika itu juga diri Jaka Karewet menjadi "siluman" (tak kelihatan oleh siapa pun atau hilang), manusia tak akan dapat melihatnya. Reksasa-reksasa, prayangan dan peri-lelembut (rohroh halus) pun tak mungkin akan dapat melihat ujud Jaka Karewet.

Sesudahnya bersunting akar-mimang, pulanglah Jaka Karewet beserta kerbau, sapi dan kambingnya. Namun apa yang terjadi, ternak gembalaannya sapi, kerbau dan kambing-kambing itu tak ada yang mau bergerak maju. Kesemuanya diam tak bergerak di tempatnya masing-masing, berkali-kali hewan-hewannya digiring untuk maju tetap saja berhenti.

Berkali-kali disebatnya kerbau, kambing dan sapi itu, namun berhenti juga tak beijalan. Dalam hati Ki Jaka Karewet bertanya, "Apakah dikarenakan suntingku ini, hewan-hewan itu tak mau bergerak? Jangan-jangan sumping (sunting) ini pula nanti mencelakakan aku”.

X.    Lagu Megatruh, 36 bait.
    Baris 1, bait ke-1 dan baris 1 dan akhir, dari bait ke-36.
    Baris 1, dari bait ke-1;
    Nulya wau ki Jaka sesumpingipun,
    Baris 1 dan akhir dari bait ke-36,
    Wus bukti Ki Jaka nulya mantuk,
    para punggawa tuwa-anom.

Terjemahan

Segera ditanggalkan suntingnya, dan diletakkan di tanah. Dicobanya untuk menghela kerbau, sapi dan kambing-kambing itu. Menurutlah semua hewan-hewannya, beijalan beriring-iring menuju ke rumah.

Ki Jaka berhenti sejenak, bertanya pada diri sendiri, "Apakah dikarenakan sunting ini pula, hewan-hewanku tak mau dihela?” segera sunting dipakainya, dicobanya sekali lagi menghela hewan-hewan gembalaannya, nyatalah bahwa hewan-hewan itu tak mau bergerak. Malahan lari bercerai-berai, seakan-akan mereka menghadapi sesuatu hal yang menakutkan saja.

Ki Jaka menanggalkan sunting-beringinnya, seketika itu juga Kelihatan lagi diri Ki Jaka. Dicobanya sekali lagi, kerbau, kambing dan sapinya dihela, menurut.

Diperintahnya apa saja hewan-hewan menurut, sadarlah ki Jaka apa yang terjadi sebenarnya. Tak ada lain daya khasiat da- ri akar-beringin ini yang kupergunakan sebagai suntinganku.

Beringin itulah yang menjadikan diri Ki Jaka menjadi tak Kelihatan oleh siapa pun juga. Belum puas rasa di hatinya kalau belum membuktikan sekali lagi.

Dipilihnya seekor kambingnya, pohon beringin ajaib tadi segera dimasukkan dalam seruas bambu wuluh (nama _ sejenis bambu) dan dengan tali-temali diikatkannya melilit di perut kambing.

Sampailah sudah iring-iringan hewan gembalaannya di rumah, segera masing-masing dikandangkan. Ki Jaka mengambil bambu wuluh yang berisikan beringin-ajaib tadi, namun segera pula tak kelihatan diri Ki Jaka. Ki Jaka memasuki rumahnya, dalam keadaan dirinya siluman. Ibunya tak melihat akan kedatangan anaknya, tiada sadar Ki Jaka membawa serta wuluh tempat beringin ajaib tadi, tidak mustahil dirinya memungkinkan tidak dilihat oleh ibunya. Keluar-masuk bambu-wuluh selalu dibawanya saja.

Ibu Jaka Karewet bertanya-tanya, mengapa anakku sampai lama benar belum juga masuk ke rumah? Apa saja yang dikerjakan di kandang lembu?

Jaka Karewet yang menahan lapar berseru pada ibunya, "Ibu, aku lapar, ingin nasi perutku kosong", namun ibunya sama sekali tak melihat di mana anaknya berada.

"Karewet, Karewet di mana saja kau berada ini, tak terlihat olehku", saut ibunya menyela seru Jaka Karewet. "Di sini saya berada, ibu" berkali-kali Jaka Karewet menerangkan kepada ibunya. "Jaka, hanya suaramu saja yang kudengar, namun wajahmu tak tampak olehku", sambii berjalan kian-kemari ibu Jaka mencarinya lagi di mana rupa si Karewet anaknya. "Kemari ibu, aku ada di sini. Tak tahan aku menderita lapar, perutku kosong ibu. Aku inginkan nasi", selalu demikian saja yang terucap dari mulut Jaka Karewet.

Ibunya menangis tersedu-sedu keheranan dalam hatinya, mengapa ada suara namun rupa tak tampak," Jaka, sedih aku memikirkannya. Bagaimana ibu akan memberimu makan, kalau diri-


PNRI Red Batel Pesteta mu tak tampak olehku". Jaka Karewet baru sadar, bahwasanya tabung bambu wulung yang berisikan pohon beringin-ajaib dan akar -mimang terbawa pada dirinya.

Tabung bambu wuluh segera diletakkan di atas daun pintu, tampaklah sekarang diri Jaka Karewet oleh ibunya. ibunya segera menubruk Jaka Karewet, dan dirangkulnya erat-erat disertai isak-tangisnya.

"Duhai, jantung hatiku kau Jaka Karewet. Apa pula sebabnya kudengar suara minta makan, namun kucari kamu tak ada?" diterangkannya oleh Jaka Karewet bahwasanya si Jaka memiliki pohon beringin-ajaib yang berakarkan akar-mimang.

"Anakku, rahmat Tuhan terlimpah padamu. Kau miliki pohon beringin ajaib akar-mimang itu.

Jika kau kenakan pada dirimu (dibawa), dirimu tak akan terlihat (hilang dari pandangan manusia). Sebaiknya pohon beringin ajaib beserta akar-mimang itu kau bungkus yang erat dan kau masukkan dalam bambu wuluh gading (sebangsa bambu yang berwarna kuning)".

Jaka Karewet mengiyakan perintah ibunya, dan segera melaksanakannya. Pohon beringin-ajaib beserta akar mimang telah dibungkus erat-erat dan dimasukkan dalam bambu wuluh-gading. Ibunya melayani anaknya, diberinya nasi sehingga Jaka Karewet kenyang perutnya.

Dikarenakan lesu dan letih badannya, Jaka Karewet tertidur dengan pulasnya. Keesokan harinya Jaka Karewet berkata pada ibunya, "Hari ini ibu, aku segan mengembalaternak. Biarlah teman-temanku saja yang mengerjakannya”, ibunya menyetujui.

Pagi hari itu Ki Jaka membawa serta tabung wuluh-kuning yang berisikan beringin-ajaib beserta akar-mimangnya ke luar rumah, sekali lagi ingin membuktikan khasiat barang-ajaibnya.

Ditujunya sebuah pasar yang tak jauh letaknya, berjalanlah ki Jaka ke sana - ke mari, namun tak seorang pun yang dapat melihat padanya. Ki Jaka Karewet, dalam keadaan siluman. Setelah puas membuktikan daya khasiatnya barang-ajaibnya tadi, segera pulang.

Lama kelamaan setiap pagi harinya, tak ada lain yang dikerjakan Jaka Karewet kecuali berlalu-lalang, berjalan kian-kemari mengitari, menjelajahi menelusuri jalan-jalan di dalam negeri.

Suatu ketika Jaka Karewet membawanya lagi barang-ajaibnya berkeliling memasuki rumah-rumah para bupati, kesatria, bangsawan-bangsawan, mantri dan semua kawula raja. Diteruskannya penjelajahannya, rumah Rekyana Patih Gajahmada dan sebuah petaman. Orang-orang yang bertugas di kepatihan maupun di taman tak melihat akan dirinya, tetap saja si Jaka Karewet siluman.

Diteruskan lakunya, tampak sebuah bangunan di dalam kedaton. Masuklah ki Jaka melewati sri menganti (tempat para tamu menanti, sebelum dapat diterima oleh raja atau pejabat keraton), para penjaganya pun tak ada yang mengetahui dan menegurnya. Lajulah Ki Jaka menuju ke kaputren, prabayasa, purwakanti dan purwalulut.

Semua bangunan di dalam keraton telah dilihatnya semua, Ki Jaka merasa sangat lapar dikarenakan letih beijalan mengitari dan melihat keadaan bangunan-bangunan di dalam keraton.

Tampaklah olehnya sebuah rumah, segera Ki Jaka memasukinya. Rumah seorang kawula raja yang berpangkat Mantri Gedong, si empunya rumah sedang akan bersantap. Ki Jaka Karewet segera turut duduk dengannya, selagi Mantri Gedong tadi makan ki Jaka turut serta melahapnya makanan yang telah tersedia dimukanya.

Nasi yang dihidangkan dalam pinggan besar habis, Mantri Gedong tidak menyadari bahwa ki Jaka Karewet turut serta memakannya. Para pembantu Mantri Gedong terheran-heran menyaksikan tingkah laku tuannya, "Mengapa tuanku Mantri Gedong lain dari biasanya, nasi sepinggan besar dihabiskannya. Kejadian ini belum pernah dialami sebelumnya, apakah makannya dibantu oleh demit-demit?" ucap pembantu-pembantunya.

Puaslah dalam hatinya, Ki Jaka meyakini sudah akan keampuhan pohon beringin ajaibnya dan akar-mimang yang selalu dibawa keliling memasuki rumah-rumah para mantri, para kawula raja tua dan muda. Setiap hari pula pekeijaannya tak lain kecuali turut menikmati makanan mereka sekenyang-kenyangnya.

XI. Lagu Sinom, 27 bait.
Baris 1 bait ke-1, dan baris 1 dan akhir dari bait ke-27.
Baris 1, bait ke-1;
Para Dipati satriya,
Baris 1 dan akhir, dari bait ke-27;
Kawula bedhol seksana,
ngangen-angen kang tutur timbuling toya.

Terjemahan

Namun sebaliknya teijadi kehebohan di antara para satria, para kawula raja, termasuk Rekyana Patih Gajahmada maupun Sang Mahaprabu Brawijaya. Mereka membicarakan hal yang sama yang dialami masing-masing, di kala mereka bersantap penganan ataupun nasi cepat dan banyak habisnya. Seakanakan ada yang turut serta memakannya, namun tak tampak orangnya. Siapa dan apakah mereka itu?

Seluruh istana geger membicarakan adanya maling-sandi yang memasuki istana, dan seorang maling yang sakti tentunya. Maling mandraguna yang pekeijaannya turut bersantap mereka, menabuhi gong pusaka Kraton Majapahit beserta bende pusaka Kyai Gerah Kapat pusaka dari Kraton Jenggala.

Lagipula maling aguna tadi sering pula minum waragang (jenis minuman keras) milik Raja Brawijaya, juga semua minuman yang tersedia di istana raja. Mapatih Gajahmada dan para kawula maupun raja sangat susah hatinya, sebab mereka merasa bertanggung jawab akan ketentraman di istana.

Sudah semestinya kesusahannya Raja Brawijaya, menjadi tanggung jawab pula dari rakyatnya. Mapatih Gajahmada menyadari, kalau hal ini terus berlangsung ialah adanya gangguan-gangguan dari siluman tadi, pada patihlah segala tumpuan kesalahan akan terlempar. Kekawatiran santer tersebar merata, merekawas-was kalau-kalau tindakan maling-sakti tadi akan membunuh juga Raja Brawijaya.

Seluruh negeri dalam keadaan tercekam, takut dan tidak tentram hatinya. Suatu ketika Mapatih Gajahmada melapor kepada Raja Brawijaya usaha dan siasat yang akan disiapkan untuk dijadikan perangkap menangkap si maling aguna tadi. Raja Brawijaya menyetujui usulannya, dan persiapan makan di istana segera diperintahkan.

Keesokan harinya makanan telah tersedia di istana, Raja Brawijaya telah duduk di tempatnya, disertai Mapatih Gajahmada, para bupati, satria, pramea, mantri, dipati mancanagari, hulubalang dan para kawula Majapahit.

Raja Brawijaya memulai meminum minumannya yang telah tersediakan, aneka-macam tersedia. Ada jenis minuman yang namanya Bogander Wina, brem, tape, weragang, anggur, arak, tuwak, umbras, anggur pahit, anggur manis dan kenis-adas. Seluruh yang hadir turut serta menikmati minuman yang tersedia bersama-sama raja.

Hati mereka sangat senang, suasana di istana tak ubahnya ramainya orang di pasar. Ki Jaka dari kejauhan hanya melihat saja, kepengin juga akan turut serta mencicipi dan menikmati bersama-sama minum-minuman. Duduklah Ki Jaka Karewet dekat tertipat duduknya rekyana Patih Gajahmada, saat di mana perangkap telah dipasang. Masuklah sudah Raden Jaka Karewet, dalam jebakan Patih Gajahmada.

Di depan kursi yang diduduki Jaka Karewet, terhampar jenis-jenis minuman yang menggiurkan. Namun segala minumanminuman itu, oleh Rakyana Patih Gajahmada telah dicampuri obat berdaya memabukkan. Setiap jenis minuman yang tersedia di depannya Jaka Karewet dicampuri dengan obat pemabuk darubesi dan kecubung.

Jaka Karewet mengikuti saja Raja Brawijaya dan para punggawanya, manakala mereka meneguk minuman, turut pula Ki Jaka minum. Demikian dilakukan berulangkali, akhirnya obat pemabuk yang telah banyak ditelannya merasuk ke seluruh tubuhnya. Mabuk sejadi-jadinya, Ki Jaka Karewet dalam adaan tidak sadarkan diri dan terjebaklah sudah maling aguna tadi.

Kursi bergerak-gerak, tangar Ki Jaka meraba-raba kanan dan kiri. Kepalanya pusing bukan kepalang, perut mual seraya diaduk-aduk. Semakin kcras goncangan kursi, semakin jadi pula obat pemabuk tadi meracuni diri Jaka Karewet. Tak henti-hentinya Jaka Karewet muntah, akhirnya terpelantinglah diri Ki Jaka jatuh terguling di dekat kursinya. Berbareng dengan jatuhnya Ki Jaka dari tempat duduknya, lepas pula tabung-wuluh berisi pohon beringin-ajaibnya dan akar-mimang. Seketika jimat tadi terpisah dari dirinya, kelihatanlah diri Ki Jaka Karewet berguling di tanah.

Para prajurit, para kawula Martalulut, Kajineman, Singanagara yang bersiap-siap di sekitar pambojanan (tempat untuk makan) segera menubruk Jaka Karewet yang berguling terpental di tanah. Riuh-rendah sorak-sorai menggemuruh di pelataran istana, para punggawa menyaksikan para prajurit memegangi Jaka Karewet si maling aguna.

Banyak kata-kata yang terumpatkan pada Jaka Karewet, mana ada yang mengatai-ngatai, "Itulah si maling aguna, yang bisa siluman. Merasa dirinya tak ada bandingannya di dunia ini, si potet, si julik, si petut. Tak ada lelaki di dunia ini, melainkan dia sendiri si maling aguna. Rasakan sekarang, tak seberapa keperwiraan dan kesaktianmu. Pengecut, akhirnya ketangkap juga”.

Jaka Karewet telah tertangkap, kedua tanganya telah diikat. Tak berdaya, berguling lemas di tanah dikarenakan daya yang ampuh dari obat pemabuk darubeksi dan kecubung. Segera Jaka Karewet dihadapkan kepada Mapatih Gajahmada.

Sang Rekyana Patih segera meramu obat penawar mabuk, jeruk linglang, dicampur dengan daun orang-aring dan air nasandir, tak lupa aduan kati-gubug. Sebagian ramuan ada yang dibakar dan asapnya diasapkan dilubang hidung Ki Jaka Karewet, sebagian yang dicampuri air nasandir dioleskan pada _ bibirnya. Selain itu pada kedua matanya diolesi pula dengan kapur-barus. Jaka Karewet seketika itu juga sadarkan diri, mata terbuka melihat keadaan sekitarnya. Seketika itu juga ingatlah bahwa Raja Brawijaya yang ada di depannya, juga tampak Mapatih Gajahmada dengan para prajurit istana yang dilengkapi dengan senjata.

Ingat akan dirinya tercincang, tangan terbelenggu dalam hatinya Ki Jaka Karewet telah menyerahkan diri. Apapun nasib yang akan menimpanya, sungguh malu dalam hatinya menyandang kejadian di istana raja.

Bertanyalah raja kepada Jaka Karewet, "Hai anak muda, darimana asalmu. Rupamu bagus, sakti pula kau ini. Bisa menghilang, dan apa pula maksudmu mengadakan sandiupaya memasuki dan mengganggu istanaku ini?" Ki Jaka Karewet menjawabnya, "Ampun gustiku sribupati, kumohon maaf atas kelancangan tindakan hamba. Ingin sekali hambamu menyembah pada (kaki) gustiku, namun apa daya tangan-tanganku terikat tali-temali," sang raja demi mendengar atur Jaka Karewet segera memerintahkan punggawa untuk melepas tali-temalinya.

Seutas tali melingkar tersampir dibahunya, sebagai tanda Jaka Karewet sebagai pesakitan. Berkatalah Ki Jaka Karewet kepada Raja Brawijaya, "Duli tuanku Raja Agung Brawijaya, abdimu bukan seorang maling aguna, bukan pula duta lawan laku cidra akan mengganggu berbuat huru-hara di keraton Majapahit. Lagipula hambamu ini bukan seorang kesatria, ataupun berpangkat dipati, ulubalang, mantri.

Hamba hanya seorang yang hanya menuruti kemauannya sendiri, bagaikan seekor kuda yang jalang tak tahu akan sopan santun maupun aturan. Itulah diri hamba sejak mula kecilnya, rumah hamba di Pajagalan.

Tak berbapa, ibuku seorang yang hina dina lagi miskin sengsara. Hidup menjanda selama-lamanya di Pajagalan, nama hamba Jaka Karewet. Nenekku seorang Penatus Jagal, namanya Kartimaya. Segala tingkah-polah hamba, tak ada yang menyuruhnya sekedar menuruti keinginan diri pribadi saja. Kelancangan laku hamba yang sedemikian rupa itu, hanya sekedar ingin menyakinkan diri dan membuktikan daya khasiat kesaktiannya pusaka yang kutemu. Sebuah pohon beringin yang tingginya tak lebih dari sekilan tumbuh di tengah-tengah hutan lantara, disertai pula adanya akar-mimang melekat di akar-akarnya pohon beringin tadi. Itulah pusaka yang kutemukan, kuketahui kesemuanya sesudah kucabut pohon beringin ajaib tadi", Raja Brawijaya terheran-heran mendengarkan cerita Ki Jaka Karewet.

Dalam hatinya timbul penyesalannya, mengapa pula diri raja terlalu terburu nafsu menerka seseorang yang belum tentu bukti kesalahannya. Raja segera memerintahkan untuk menghadapkan Lurah Mantri Jagal, Ki Kartamaya. Utusan segera berangkat ke Pajagalan, tak lama telah dihadapkan pada raja Kyai Kartamaya Lelurah Mantri Jagal.

XII. Lagu Maskumambang, 41 bait.
 Baris 1 bait ke-1 dan baris 1 dan akhir dari bait ke-41.
 Baris 1, dari bait ke-1;
 Sang aprabu esmu kaduwung ing galih,
 Baris 1 dan akhir dari bait ke-41;
 Enengena Dyan Jaka kang sampun singgih,
 ing Pajang - Pengging sarkara.

Terjemahan

Segera Prabu Brawijaya memanggil Kyai Kartamaya supaya mendekat, kepala tertunduk maju ke depan Kyai Kartamaya kelihatan isak-tangisnya. Malu dirinya melihat apa yang di depannya tak lain Ki Jaka Karewet, cucunya sendiri yang membikin huru-hara di istana raja. "Duhai cucuku, mengapa dirimu pula yang menjadi sebab raja murka", demikian berkalikali Ki Kartamaya bergumam disertai tangisnya di depan raja.

"Kaki Mantri Jagal, Kartamaya. Coba terangkan dan jelaskan padaku, siapa anak ini?" Kartamaya menjawab pertanyaan raja. "Ampun Gustiku Raja Brawijaya, perkenankan abdimu Kartamaya menceritakan riwayat cucuku Jaka Karewet ini. Ibunya seorang priyantun dalem (selir raja) yang dahulu kala telah mengandung ki jaka sebelum dikeluarkan dari istana raja. Hambamulah yang selanjutnya memelihara putri tadi, dan tak lama Jaka Karewet lahir. Sampai sekarang ni rara ma sih berada di Pajagalan, tak mau kawin lagi. Senang sudah melihat Jaka Karewet yang terlahir dari turunan istana ini. Sejak kecil oleh ibunya selalu dimanjakan saja". Ketika Prabu Brawijaya mendengar bahwasanya ibunya Jaka Karewet adalah seorang putii yang telah dikeluarkan dari istana manakala sedang mengandung, ingatlah raja yang sebenarnya. Jaka Karewet, tak lain putranya sendiri. Bukan kepalang senang raja, namun suka-citanya rapat-rapat terselubung jauh terpendam di lubuk hati sanubarinya.

Adapun ibu Jaka Karewet yang tertinggal di rumah Pajagalan, semalaman hatinya tak tentram, kawatir akan anaknya Jaka Karewet. Teringat pula pada suatu pagi, Jaka Karewet di pesannya jangan pergi-pergi meninggalkan rumah. Namun memaksa juga, dan akhirnya Jaka Karewet pergi meninggalkan ibunya.

Ni janda Pajagalan telah mendengar berita, bahwasanya Prabu Brawijaya menangkap maling yang sakti mandraguna dapat menghilang. Semakin kawatir hatinya, dalam hati bertanyatanya tentu anaknya si Jaka Karewet yang telah berulah demikian rupa sehingga tertangkap.

Tak tahan menyandang duka, segeralah janda Pajagalan pergi melesat akan menemui anaknya di istana raja. Dipasewakan terlihat Ki Jaka Karewet sedang dihadapkan Raja Brawijaya, namun janda Pajagalan terus saja menemui anaknya. Tak terpikirkan olehnya namun Prabu Brawijaya ada di depannya Ki Jaka Karewet.

Di kedua pipinya basah oleh air mata, isak-tangis yang memilukan menyeling seru janda Pajagalan, "Duhai jantung hatiku, anakku tersayang.

Bagaimana pula kau sampai begini, nak. Bukankah sudah kukatakan kepadamu, janganlah kau pergi pagi itu. Namun kau paksakan juga maksudmu itu, nah sekarang apa jadinya. Kaupun tak menurut kata ibumu, janda ini.

Lihatlah pula dirimu menjadi pesakitan raja, tali melingkarimu. Tidakkah kau pikirkan, bagaimana sedih hatiku memikirkanmu semalam-malaman? Hanya denta yang kusandang sela selama hidupku ini, kau anakku jantung hatiku, agaknya Tuhan sudah menakdirkanmu untuk mendapatkan kesengsaraan ini. Kau Jaka Karewet, sejak kecil tak pernah melihat siapakah ayahmu itu. Anakku, ibu bercita-cita ingin besok mendambakanmu, ingin ibu kelak selalu dekat denganmu. Sekarang remukrendam hatiku, tersayat-sayat empeduku, seribu susah menumpu di kepalaku, bagaimana kau ini Jaka Karewet. Kau terlahir belum sempat merasakan apa yang dinamakan hidup mukti itu, sedari kecil hidupmu selalu dalam alam kemanjaan saja.

Bagaimana pula kau berani masuk di dalam istana raja Brawijaya Bukankah kau ini anak desa, ibumu seorang yang hina dina lagi melarat. Mengapa pula kau berani-berani mendekat pada Mahaprabu Brawijaya yang bijaksana, raja yang dikasihi oleh dewanya. Seluruh dunia tak ada yang menyamainya, beliau adalah rajanya raja.

Kau anak desa yang tak tahu diri, apalagi tata-cara sopan santun. Tidak mustahil kau tentu akan mendapatkan hukuman dari Prabu Brawijaya, bagaimana lagi akan nasibku ini ngger Jaka Karewet. Siapa pula yang akan menjadi tautan hatiku, siapa lagi yang kelak kuharapkan tempat pengayomanku?" semua yang hadir tak berucap sepatah kata pun. Sedu-sedan janda Pajagalan, dapat merontokkan hati mereka. Di pasewakan seakan-akan hujan tangis, apalagi mereka mengetahui bahwasanya Jaka Karewet tak lain putra Prabu Brawijaya sendiri.

Raja juga turut meruntuhkan air matanya, hatinya tersayat-sayat ingat akan kejadian masa lampau manakala ibu Jaka Karewet pernah sekali waktu menghias di kenya puri istana Majapahit, dia istrinya dan dia pula ibu Jaka Karewet.

Prabu Brawijaya segera memerintahkan pada Rekyana Patih Gajahmada, "Paman, memang benar Jaka Karewet adalah putraku. Dan apa yang dikatakan oleh janda Pajagalan benar pula, dia adalah istriku. Baiklah paman, bawalah Jaka Karewet dan ibunya ke kapatihanmu", Mahapatih Gajahmada datang bersembah, mohon diri berlalu disertai Jaka Karewet dan ibunya menuju ke kepatihan Gajahmada. Tak ketinggalan Ki Kartimaya ikut serta mengikuti ke kapatihan. rara pembesar istana, para mantri dan punggawa raja banyak yang mengiringkannya sampai di kepatihan Gajahmada. Sesampai di dalem kapatihan, Mapatih Gajahmada mengajak Jaka Karewet untuk berganti busana.

Pagi harinya utusan Prabu Brawijaya menghadap Mapatih Gajahmada untuk menyampaikan titah Mahaprabu Brawijaya, memberikan busana-busana kasantanan kepada Jaka Karewet. Sesudah diterimakan, kembalilah utusan Raja Brawijaya. Tak henti-hentinya tiap hari banyak para prayagung dan pembesar-pembesar istana Majapahit menghaturkan busana untuk Jaka Karewet ke dalem kapatihan Gajahmada. Dyan Jaka Karewet mulya sudah, bukan lagi sebagai anak dusun ibu seorang janda pejagalan yang melarat, dan cucu Kyai Kartamaya, melainkan putra Raja Brawijaya. Banyak harta benda yang dipunyainya, busana yang indah-indah selalu tersedia bagi Ki Jaka Karewet.

Tercapailah sudah cita-cita ibunya, anak mulya ibu bahagia.

XIII. Lagu Dandanggula, 28 bait.
Baris 1 dari bait ke-1, dan baris 1 dan akhir dari bait ke-28.
Baris 1 dari bait ke-1 ;
Kawuwusa nateng Pajang - Pengging,
Baris 1 dan akhir dari bait ke-28 ;
Adipati Banten pratuwin,
pepekan danasmara.

Terjemahan

Konon Raja Pajang - Pengging Sri Handayaningrat wafat, dan meninggalkan putra 2 orang lelaki. Yang sulung bernama Raden Kebokanigara dan yang bungsu bernama Raden Kebokenanga. Atas kehendak kakeknya, kedua putra Sri Handayaningrat tidak diangkat menjadi ratu. Namun Pengging - Pajang yang semula bentuk kerajaan, diubah kedudukannya menjadi sebuah Kadipaten. Dibagi dua untuk para putra Sri Handayaningrat, dinamakan Pengging tua dan Pengging muda. Kedua putra tadi selalu masih ditunggui oleh ibundanya, permaisuri Raja Handayaningrat.

Tak selang berapa lama, ibunda permaisuri Handayaningrat meninggal dunia. Jadilah Raden Kebokenanga dan Raden Kebokanigara tak beribu dan bapa lagi, akan kejadian ini kakeknya Prabu Brawijaya menghendaki kedua cucunya untuk dibawa ke Majapahit. Raden Kebokenanga dan Raden Kebokanigara tak ubahnya seperti putranya sendiri saja anggapan Prabu Brawijaya kepada mereka, kasih sayang tertumpah kepada mereka. Apalagi permaisuri raja, Kangjeng Ratu Andarawati sangat mengasihaninya juga, tak ubahnya Raja dan permaisuri ayah dan bapa bagi mereka.

Kerajaan Pajang - Pengging setelah diubah kedudukannya menjadi Kabupaten diserahkan kepada para kesatria dan para sentana Raja Handayaningrat, diembani pula oleh para mantri yang bijaksana tak ubahnya bagaikan cara menata pemerintahan pada waktu Raja Handayaningrat dahulu.

Konon pada waktu Prabu Brawijaya muksa, lolos dari Kerajaan Majapahit, permaisuri raja Ratu Andarawati tak menyertainya. Adapun Putri Cempa Dwarawati (Andarawati) sepeninggal Raja Brawijaya jadilah seorang Islam yang saleh, agama selalu dijunjung tinggi sebagai pelita dalam hidupnya. Putra dari Ratu Dwarawati berada di Ampel Gading terkenal dengan sebutannya Sunan Ampel, dan satu lagi cucunya putra dari Sunan Ampel bernama Jeng Sinuhun Benang (Bonang). Keduaduanya sebagai penyebar Agama Islam yang besar, sebagai penganut agama Islam yang tekun dan berwibawa.

Raja Brawijaya dahulu sebelum meloloskan diri dari Kerajaan Majapahit untuk muksa, meninggalkan pesan kepada permaisuri Kangjeng Ratu Dwarawati bahwasanya sepeninggal Prabu Brawijaya hendaknya Kangjeng Ratu Dwarawati tetap berada di Majapahit. Ditugaskan kepada Kangjeng Ratu Dwarawati untuk tetap momong putra, cucu dan sentana, punggawa Majapahit. Ditekankan pula bahwasanya mereka diwajibkan memeluk agama Islam sarengat Nabi, agama suci dan luhur itu. Adapun bagi Prabu Brawijaya, tak ada bedanya Buda dan agama Islam itu, sebab pada diri Prabu Brawijaya sebenarnya sudah "islam". Sang Prabu Brawijaya telah mengenal apa hakekat menyembah Tuhan Yang Mahaesa tadi, baginya tak akan ada kesulitan untuk menempuhnya. Sebab beliau adaiah seorang yang bijaksana berbudi luhur, tahu apa yang dinamakan hakekat hukum "sangkan paran" (manusia berasal dari Tuhan kembali pula akhirnya ke Tuhan Yang Mahakuasa).

Adapun selanjutnya sang permaisuri Ratu Dwarawati bermukim pada cucunya ialah Jeng Susuhunan Benang atau disebut juga Prabu Anyakrakusuma, tak ketinggalan Raden Kebokanigara dan Raden Kebokenanga turut serta mengikutinya eyangda Ratu Dwarawati. Banyak pula cucu-cucu dari permaisuri Ratu Dwarawati yang turut di Benang, sebab sesungguhnya mereka sangat menghormati kepada Ratu Dwarawati, apalagi Jeng Susuhunan Benang Anyakrakusuma.

Raden Kebokenanga dan adiknya Raden Kebokanigara masih saudara sepupu dengan Jeng Susuhunan Benang (Bonang) Anyakrakusuma, rajaputra Pengging kedua-duanya mereka yang lebih tua dari pada Jeng Susuhunan Benang. Tidak mustahil tali persaudaraan antara Prabu Anyakrakusuma dan Raden Kebokanigara dan Raden Kebokenanga sangat akrabnya. Kecuali itu Adipati Mandura Lembupeteng pun bermukim di Benang, bersama-sama dengan saudara-saudaranya menuntut agama Islam sarengat Nabi. Selama di Benang Adipati Mandura sangat kasihnya kepada kedua kemenakannya Raden Kebokenanga dan Raden Kebokanigara, apalagi dengan Jeng Sunan Benang. Adapun Prabu Anyakrakusuma masih keponakan dengan Adipati Mandura Lembupeteng, menantu Arya Baribin di Madura.

Pesan Prabu Brawijaya kepada Ratu Dwarawati, bahwasanya sepeninggal raja, hendaknya kerukunan tetap dibina antara trah Majapahit. Tidak mustahil antara keturunan-keturunan Majapahit terjalin keakraban yang mendalam sekali, terbukti Kangjeng Sinuhun di Giri, Kangjeng Sinuhun di Derajad, Susuhunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan kangjeng Sunan Gunungjati sangat kasih dan sayangnya kepada raja putra Majapahit Raden Kebokenanga dan Raden Kebokanigara. Tak ubahnya mereka bekti dan sayang kepada Prabu Brawijaya Ratu Agung Majapahit.

Tak berapa lama, Ratu Dwarawati permaisuri Prabu Brawijaya mangkat dikarenakan sudah lanjut usianya, jenazahnya dimakamkan di Karangkemuning. Banyak putra-santana keturunan Majapahit yang sedih dikarenakannya, mereka seakanakan kehilangan pepundhen orang tua. Diadakanlah upacaraupacara memule, tilawat membaca Kuran, membaca dengan tasbeh, takmid, tahlil dan istipa. Mereka memanjatkan doa, semoga arwah kakeknya Ratu Dwarawati diterima disisi Tuhan Yang Mahaesa, dan semoga tetap teijalin kukuh trah Majapahit sepeninggal Ratu Dwarawati dan Prabu Brawijaya.

Negara Demak semakin besar, seluruh Tanah Jawa mengakui akan kekuasaannya bahkan seluruh jajahan Majapahit pun mengayom pada Demak. Tak ada kecualinya, kesemuanya telah menjalankan ibadah Agama Islam. Banyak pula para ajar, wewasi, guntung, manguyu, cantrik, sogata, sewa, resi, yang telah menjadi ulama agung. Tak terhitung banyaknya para jahid, para mungaid, mupti, sulaka, kukuma di seantero Tanah Jawa maupun bekas jajahan Kerajaan Majapahit dahulu.

Konon pada suatu ketika, jatuh pada hari Isnen (Senin) di negara Demak berkumpul para wali se Tanah Jawa dan para dipatinya. Hadir dalam pertemuan itu, Pimpinan Waliyulah ialah Jeng Sinuhun Benang Kutubrabani juga disebut Gosulngalam, Kangjeng Sinuhun Giri Wali Kutubrabani sotad, Jeng Susuhunan Gunungjati Cirebon ialah Wali Kutubngukba, Jeng Sinuhun Majagung disebut Wali Kutubnukba, Jeng Susunan Derajad Wali Kutub Rabaninukba, Jeng Susuhunan Kalijaga atau Seh Malaya Wali Kutub abdal, Jeng Susuhunan Murya Wali Kutub rabanianwar, Jeng Susuhunan Kudus putra Jeng Susuhunan Ngudung yang gugur dalam peperangan melawan Dipati Terung senapati Majapahit, Kangjeng Susunan Kudus disebut Wali Kutub rabaniyah akyar. Mereka sejumlah delapan tadi dikenal dengan "delapan martabat wali", masih ditambah satu lagi ialah "wali umran" menjadi jumlah sembilan, ialah Jeng Panembah an Senopati Jimbun. Tiada terkecuali kelihatan para pembesar daerah-daerah, ialah Naradipati Palembang, Adipati Balambangan, Adipati Lumajang, Adipati dari Terung, Adipati Panataran, Adipati Basuki, Adipati Tunggarana, Adipati Japan, Adipati Surengkewuh (Surabaya), Adipati Mandura Lembupeteng, Sang Arya Baribin, Adipati Sumenep Risang Jaranpanolih, Dipati Pranaraga dan Dipati Madiun, Jagaraga dan Sukawati, Adipati Rawa, Adipati Balitar, Tambakbaya, Adipati Taruwangan, Lowana, Gowong, Adipati Binarong, Banyumas, Adipati Banten, Adipati Pajajaran, Ciyancang, Sokapura, Adipati Sumedang, Barebes, Wirata, Pekalongan, Tegal, Dipati Pandanarang, tak ketinggalan Arya Damar Adipati Palembang.

XIV. Lagu Asmaradana, 29 bait.
 Baris 1, dari bait ke-1, dan baris 1 dan akhir, dari bait ke-29.
 Baris 1 bait ke-1 ;
 Mangkana kang para Wali,
 Baris 1 dan akhir dari bait ke-29;
 Ponang tatal den taleni,
 Seh Malaya gambuh ing tyas.

Teijemahan

Adapun maksud para wali berkumpul, disaksikan pula oleh para adipati, para pandita, ulama, mupti, kukuma, pukuha, sulaka di Demak ialah akan membicarakan perihal maksud para wali untuk mendirikan sebuah masjid yang besar yang akan dijadikan pusaka di kelak kemudian harinya. Suatu mesjid yang akan dipergunakan untuk berembug, berkumpul, menjalankan ibadah solat Jumat manakala para tamu termasuk para wali, adipati-adipati di Tanah Jawa dan seberang berkumpul ataupun berada di Negara Demak. Suatu bangunan masjid agung yang diharapkan jangan sampai nantinya mengecewakan, suatu bangunan yang indah baik dan pantas lagipula hendaknya jadi pusaka bagi Negara Demak.

Demikianlah para wali delapan berkehendak akan meninggalkan suatu karya untuk di kemudian harinya, suatu bentuk bangunan sebuah masjid yang besar dan agung, dikeramatkan oleh para ratu di Tanah Jawa.

Adapun masjid besar yang lama, konon Kangjeng Susunan Ampellah yang memprakarsai dan membuatnya manakala Majapahit dalam jaya-jayanya. Susunan Ampel membuat masjid itu untuk Adipati Bintara, dan sekedar untuk mengenang tatkala hutan daerah bumi Demak dijadikan dusun tempat permukimannya. Yang selanjutnya di dukuh itulah.

Raden Patah memulai permukimannya sesuai petunjuk dari Jeng Susunan Ampeldenta. Suatu padang yang penuh ditumbuhi gelagah yang harum baunya, lama-kelamaan jadilah tempa itu sebuah praja ini dikenal kemudian harinya sebagai praja Kabintaran. Banyak para santri yang tekun mendalami ibadah agama Islam, selanjutnya pada suatu ketika Jeng Susunan Ampeldenta datang untuk membikinkan berdirinya sebuah masjid tak seberapa besarnya. Maksud Jeng Susuhunan untuk para jemaah yang akan mengadakan solat Jumat.

Jangan pula keliru, bahwa masjid Demak dua jumlahnya, yang lama dan yang baru. hendaknya teliti dan terang memahaminya, sebab berdirinya kedua masjid itu dapat dibaca pada tahun sengkala pembikinannya. Masjid Demak yang lama diberi tahun sengkala "Guna Trus Unineng Jagad" (Berguna Terus Sepanjang Masa) atau tahun 1503 Jawa, tahun 1581 Masehi. Para Wali yang berembug di Demak tadi akan membuat "tempat pasalatan" yang besar dan akan dijadikan pusaka di Tanah Jawa.

Masing-masing telah diserahi tugasnya, macam pekerjaan sampai dengan penyelesaiannya termasuk besar dan kecilnya bangunan yang dibutuhkan, rendah dan tinggi maupun panjang dan pendeknya. Semua macam bentuk dan ukuran masjid yang akan dibuat itu lengkap sudah diukur bagiannya masing-masing.

Tiang utama yang dinamakan "saka guru" berjumlah 4 sebagai penyangga utama dari bangunan masjid Demak dibebankan kepada para wali sembilan, mereka adalah: Jeng Sinuhun Benang Kutubrabani Gosulngalam, Jeng Sinuhun Giri Wali Kutubrabani sotad, Jeng Sinuhun Gunungjati Cirebon Wali Kutubngukba, Jeng Sinuhun Majagung Wali Kutubnukba, Jeng Sinuhun Derajad Wali Kutubabdal, Jeng Sinuhun Murya Wali Kutubrabanianwar, Jeng Sinuhun Kudus Wali Kutubrabaniyah akyar dan akhirnya Panembahan Bintara sebagai Wali umran. Tiang sejumlah dua belas, terletak di antara ke empat saka guru dan saka rawa, dinamakan "saka pangendit" atau saka "panengah" diserahkan kepada: Jeng Pangeran Atasangin, Pangeran Sitijenar, Pangeran Gerage, Raja pandita di Garesik, Pangeran Baweyan, Sinuhun Candana, Sinuhun Geseng, Pangeran Cahyana yang dimakamkan di gunung Lawet, Pangeran Jambukarang, Pangeran Karawang, Seh Wali Lanang, Seh Waliyul Islam, Seh Mahribi, Seh Suta Maharaja, Seh Para, Seh Bantong, Raja pandita Galuh, Raja pandita Pemalang, pandita Karangbaya, Jeng Susunan Katib, Susunan Pantaran, Susunan Tembalo, pandita Usmanraga, pandita Usmanaji. Mereka adalah para wali, dibawah kesembilan wali utama tadi.

Sejumlah dua puluh tiang lainnya lagi yang berada di luar dari tiang penyangga yang namanya tiang panengah tadi, dinamakan "sakarawa". Mereka yang ditugaskan mempersiapkan, ialah: para wali lainnya, pandita-pandita yang mempunyai tanah pemberian dari yang wewenang disebut pandita merdika, ulamaulama besar, para mupti, para kukuma, para jahid dan ngabid, mungaid, ahlul iman, mukmin dan para soleh. Bagian-bagian lainnya, termasuk yang dinamakan: sunduk-kili, pamidangan, delurung, panitih, takir-lambang, balandar, pangeret, diserahkan kepada para dipati.

Para kesatria diberi tugas menyelesaikan bagian-bagian masjid yang dinamakan: tetakir pananggap, palisir, wuwung agung atas dan bawah. Adapun para sentana besar-kecil turut membantu para satria.

Selebihnya diberi tugas menyelesaikan bagian masjid lainnya, yang dinamakan; usuk-usuk dan pagar bata masjid diserahkan kepada para mantri hulubalang dan mantri pramea. Para jemaah lainnya diberi tugas menyelesaikan bagian atap mesjid yang dinamakan "sirap" atas dasar gotong-royong (urunan).

Suatu ketika janji untuk berkumpul telah disepakati, segala racikan bakalan bangunan-bangunan masjid telah siap dan sete rusnya dipasang kelompok demi kelompok pasang demi pasang. Tinggallah tiang utama yang berjumlah empat itu (saka guru) yang belum terakit sempurna, masih kurang satu. Jeng Sinuhun Benang menanyakan mengapa Wali Sunan Kalijaga atau Seh Malaya belüm juga kelihatan. Mengapa pula Seh Malaya hanya berdiam diri saja, bukankah besok pagi-pagi tiang utama keempat-empatnya harus sudah terakit berdiri? Agaknya Jeng Sinuhun Kalijaga merasa dirinya diperbincangkan, tak lama sowanlah Jeng Sinuhun Malaya dihadapan Jeng Sunan Benang Anyakrakusuma. Jeng Sunan Anyakrakusuma memarahi Jeng Sunan Kalijaga, pekerjaan merakit saka-guru terhenti dikarenakan tugas yang diserahkan kepadanya belum juga selesai.

Jeng Sinuhun Kalijaga berdatang sembah dan memohon maaf sebesar-besarnya, mohon izin untuk segera berkumpul dengan pekerja yang sibuk merakit bagian-bagian masjid. Dikumpulkannya tatal-tatal kayu yang berserakan di mana-mana, berkali-kali Jeng Sunan Kalijaga mengumpulkannya sehingga banyak sudah tertumpuk. Selanjutnya tatal-tatal kayu tadi diwujudkannya dalam bentuk tumpukan-tumpukan yang teratur rapi memanjang dan membulat. Tali pengikatnya kuat-kuat melingkar menelusuri sepanjang ukuran saka-guru yang menjadi kewajibannya untuk diselesaikan pada had itu juga. Tak ubahnya bentuk bulat memanjang sudah bagikan tiang saja, segeralah Seh Malaya bersemadi memohon rohmat Tuhan semoga apa yang dikehendaki jadi.

XV. Lagu Gambuh, 36 bait.
 Baris 1 bait ke-1, dan baris 1 dan akhir dari bait ke-36.
 Baris 1 dari bait ke-1;
 Madhep ing keblat gupuh,
 Baris 1 dan akhir dari bait ke-36;
 Seh Malaya wot santun,
 ngarsaning raka wot sinom.

Terjemahan

Dipejamkannya kedua mata, keluar masuknya napas seirama dengan bulatnya doa-doa yang dipanjatkan kepada Tuhan Yang Mahaesa. Tiada lain yang dimohonkan semoga gulungan dan tumpukan tatal dapat dipergunakan sebagai kelengkapan penyangga bangunan masjid, "saka-guru". Atas kehendak Tuhan Yang Mahaesa, jadilah gulungan tatal berujud seutuh dan sepanjang saka-guru yang dibutuhkan. Tak ada bedanya dengan ketiga saka-guru lainnya, semuanya sama dalam bentuk maupun ukuran. Terkabullah sudah keramat Jeng Sunan Malaya, seluruh yang menyaksikan peristiwa tadi tertegun dan terheran-heran. Tak ada lain yang terucapkan kecuali memuji keagungan Tuhan Yang Mahaesa, atas kehendaknya jadilah tumpukan tatal tak ubahnya dengan saka-guru yang lain.

Sang Ratu Wadat (Jeng Sinuhun Benang) mengucapkan terima kasihnya kepada Jeng Sunan Kalijaga, persiapan dimulai mendirikan keempat tiang penyangga (saka-guru) tadi. Malam telah tiba, para hadirin selesailah sudah menjalankan solat Jumungahnya, disusul solat Mahrib dan solat Isa. Waktu telah menunjukkan jam 3 pagi, mereka yang bertugas dalam wewenangnya masing-masing telah bangun. Bersama-sama mereka menjalankan solat subuh, seusai menjalankan ibadat pekerjaan merakit-rakit dimulai. Pada waktu pagi hari, para wali sembilan berhasil sudah memancangkan tiang-tiang utama sejumlah empat (saka-guru), disusul kemudian pemasangan sirah-gada, pananggap, panosor. Mereka yang tergolong para Walisor-soran, memancangkan keduabelas tiang pangendit (panengah).

Disusul pemasangan lambang, duduh tetakir, balandar, usuk dan pananggap. Keduapuluh tiang lainnya (saka-rawa) menyusul dipancangkan, para wali merdika menerima tugas dan kewajiban menyelesaikannya. Para pandita agung, ulama besar, kukuma-kukuma, mupti, mungaid, sulaka, para tapa, ngabid, mukmin dan para ahli ilmu bergotong-royong membantu menyelesaikan pemasangan saka-rawa tadi, dan memasang dudur, balandar panerus, takir dan usuk-usuknya. Tak ketinggalan para satria, sentana, bupati, mantri, ulubalang, lalang-laut, menyelesaikan pekeijaannya masing-masing dalam turut serta mendirikan masjid tadi. Setelah tiang-tiang utama dan tiang penyangga lainnya berdiri, disusul kemudian penanggap-ngisor dan sirap (atap dari kayu). Akhirnya para Wali berembug untuk menentukan "keblat" (arah bagi orang bersembahyang atau keblat bagi mereka yang akan bersujud) dari masjid, harus benar-benar tepat arahnya. Sebab yang benar arah dari keblatnya ialah adep dari masjid itu mengarah ke Kakbah di Mekah, kalau sampai tidak mengarah berarti akan tidak sahlah sembahyang yang dilakukan di masjid itu nantinya.

Berkali-kali arah atau keblat masjid tadi ditentukan, masih juga para Wali ada yang menyalahkan. Berulangkali arah masjid diganti-ganti, namun belum juga para wali sembilan tadi sependapat. Masih dirasa kurang pas, sehingga usaha-usaha menentukan bagi arah atau keblat mesjid dihentikan untuk sementara.

Hari telah menjelang malam, kesepakatan kata telah terjadi antara Jeng Sinuhun Benang dan Jeng Sinuhun Giri. Malam itu diadakan doa-doa untuk memohon petunjuk dari Tuhan Yang Mahaesa bagaimana arah (keblat) mesjid yang sebenarnya nanti. Berkumpullah para wali delapan, bersama-sama memulai memanjatkan doa-doa kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Mereka bersila dengan tapakur bersemadi, seakan-akan yang tampak hanya dunia kabir. Arahnya ke timur, terus ke barat. Akhirnya Kakbatullah di Mekah kelihatan dengan jelasnya, para Wali-wolu dan Senapati Jinbun dalam semedinya memperhatikan dengan seksama keblat dari Kakbatullah Masjidil Karam tadi. Bersama-sama mereka pun segera mengarahkan keblat mesjid barunya ke arah yang tepat searah dengan keblat ke Kakbatullah di Mekah. Namun masih juga para Wali tadi belum sependapat dalam menyipat arah masjid baru tadi, meskipun telah jelas tampak pedomannya ialah Kabatullah di Mekah. Berkali-kali pula mesjid baru tadi digeser-geser, belum juga merasa puas akan ketepatannya.

Tak sabar lagi Jeng Sinuhun Benang dan Sang Ratu Tunggul memulai bersemadi memohon petunjuk Tuhan Yang Mahaesa, diciptanya "doa memperciut bumi". atas kehendak Tuhan Yang Mahaesa, terkabullah permohonannya itu. Atas rahmatnya Walikatong, doa "memperciut bumi" dikabulkan, tampak jelas kota Mekah dekat sekali, seakan-akan Kakbatullah hanya terletak di depan hidung saja. Prabu Wahdat segera memerintahkan kepada Seh Malaya untuk bertindak membenahi arah masjid baru, dari arah utara Seh Malaya melangkahkan kakinya yang satu ke arah selatan. Kaki menjulur merentang panjang dan besar, Jeng Sunan Kalijaga dalam keadaan berdiri merentangkan kedua kakinya. Kaki kanan menjangkau sampai di luar tembok Kota Mekah di mana Kabaktullah di dalamnya, dan kaki kiri tetap berpijak di arah barat-laut dari masjid baru di Demak. Tangan kanannya memegangi Kakbatullahi, tangan kiri memegang "sirah-gada" dari masjid Demak. Kakbatullah dan sirah-gada masjid Demak ditarik kedua-duanya, memanjang dan keduaduanya jadi berdekatan. Jadilah sudah arah (keblat) yang tepat, masjid Demak searah berkeblat pada Kakbatullah di Mekah sedikit pun tak bergeser arahnya.

Jeng Sinuhun Benang segera memerintahkan kepada Seh Malaya, bahwa penentuan arah yang tepat telah tercapai. Jeng Sinuhun Kalijaga segera melepaskan Kakbatullah dan sirah-gada masjid Demak, kedua-duanya kembali dalam tempatnya masing-masing. Segera Seh Malaya melapor, dan Jeng Sinuhun Benang mengucapkan terima kasih dan mereka para Wali bersyukur kepada tuhan Yang Mahaesa atas rohmat yang dilimpahkan.

XVI. Lagu Sinom, 24 bait
Baris 1 dari bait ke-1, dan baris 1 dan akhir dari bait ke-24.
Baris 1 dari bait ke-1;
Kuneng lamining pakaryan,
Baris 1 dan akhir dari bait ke-24;
Denira jumeneng nata,
ari nata sampun ingangkat sarkara.

Terjemahan

Mesjid Agung di Negara Demak berdiri sudah, 27 tahun terpautnya dengan berdirinya mesjid lama, ialah tahun Jawa 1530 atau 1608 tahun Masehi. Atas kesepakatan para Wali Agung, dipindahlah masjid lama dari tempat semula ke Suranatan. Konon mesjid lama itu hanya diperuntukkan ibadah sang ratu saja, dinamakan pula "mesjid-jero" (jero berarti di dalam). Pertemuan antara para Wali sembilan, dan para Walisor-soran, adipati-adipati, kesatria dan santana, pendeta-pendeta di seluruh Tanah Jawa dan daerah seberang telah selesai.

Syahdan pada jamannya Jeng Susunan Ampel Gading, tersebutlah seseorang berkelana dari Tanah Benggala - Deli. Konon orang tadi dikenal berasal dari Atas-angin (daerah-daerah yang terletak di atas bagian garis katulistiwa dinamakan "Atasangin"), dikenal dengan sebutannya Pangeran Atas-angin. Pada jamannya Jeng Sinuhun Ampel Gading, Pangeran Atas-angin berkedudukan sebagai mupti di negari Kaliwungu. Dia adalah menantu dari Sultan Deli yang bergelar Sultan Sarip Asnawi, raja di raja untuk seluruh dataran Benggala. Sultan Deli Sarip Asnawi berputra 2 orang lelaki, satu tetap berada di Benggala, satunya lagi berada di Kaliwungu. Dengan demikian putra Raja Sultan Deli tadi, masih ipar dengan bupatinya Kaliwungu.

Berputra empat, 1 wanita dan 3 pria. Putranya yang wanita menjadi istri dari pengganti bupati Kaliwungu, adapun ketiga putra-putra lelakinya dari Kaliwungu pindah ke Pandanarang Samarang. Putra lelaki tiga orang tadi, yang sulung berkedudukan di Pandanarang Samarang menjadi dipati terkenal kayaraya, bijaksana lagipula berbudi luhur. Adiknya jadilah seorang saudagar yang terkenal, bertempat tinggal di Gunung Pragota juga di Semarang. Adapun saudaranya yang bungsu juga berdiam di Pandanarang, kesenangannya tak ada lain kecuali bertapa dan berguru, tidak mustahil bahwa segala macam ilmu dimilikinya.

Dipati Pandanarang telah lama tidak mengadakan kunjungan ke Demak, hal itu berlangsung sesudah berdirinya masjid Demak yang baru. Masalahnya berkisar ketidak-puasannya mengenai tata-cara penerimaan dan pengaturan tempat duduk dari para adipati yang diundang dalam perembugan di Demak itu. Dirinya merasa malu dan terhina oleh Pangeran Bintara atau Sultan Demak, dikarenakan waktu itu dibedakan tempat duduknya. Para Waliyullah dan para pandita, mupti, ulama, kukuma, pukaha, ahli-tapa, mukmin, mungaid dan sribupati di bagian atas duduknya sedangkan Pangeran Pandanarang sebagai dipati kedudukannya duduk bersama-sama dengan para punggawa-punggawa yang berpangkat, para kesatria, bupati, prameya dan mantri di bagian bawah.

 Kesal hatinya sepulang dari Demak, sejak itu tak ada niatnya untuk berkunjung ke Sultan Demak lagi. Berulang kali Sultan Demak memanggilnya, berulang kali dengan seribu alasan yang manis diajukan suatu alasan "berhalangan". Agaknya Jeng Sunan Kalijaga menerima laporan juga, sehingga diputuskannya untuk berkunjung menemui Dipati Pandanarang di Samarang. Pada iparnya ialah Dipati Pandanarang, Jeng Sinuhun Kalijaga bertanya sebab musababnya Dipati Pandanarang kalau dipangil oleh Sultan Demak tak berkenan datang memenuhinya. Dari awal sampai akhir telah dijelaskan oleh Adipati Pandanarang sebab musababnya, akhirnya Jeng Sunan Kalijaga luntur juga belas kasihnya pada adik iparnya itu.

 Sejak itu banyak sudah bermacam-macam ilmu kesempurnaan diwulangkan Sunan Kalijaga pada adik iparnya Dipati Pandanarang. Ilmu kawalian, hakekat kesucian, kesempurnaan hidup, hidup yang sempurna atau yang dinamakan "jati-murti",hakekat "sangkan-paran". Jeng Sunan Kalijaga meyakini, bahwasanya adik-iparnya kelak kemudian hari dapat diharapkan menjadi calon Waliyullah. Adapun adik sang Adipati Pandanarang yang bungsu yang senang agama dan ulah tapa, mengetahui kakaknya menerima ilmu sejati dari Jeng Sunan Kalijaga segera menyerahkan bulat-bulat akan dirinya kepada Jeng Sunan Kalijaga. Jeng Seh Malaya (Sunan Kalijaga) tak berkeberatan sama sekali, dengan senang hati adiknya diberi juga segala ilmu kewalian tak ubahnya ilmu-ilmu yang serupa yang pernah diajarkan kepada Dipati Pandanarang. Kedua-duanya ialah Dipati Pandanarang dan adiknya tadi, menurut Seh Malaya kelak akan menjadi Waliyullah yang besar. Sejak itu Dipati pandanarang beserta istrinya lagipula adiknya juga beserta istrinya, meninggalkan segala kenikmatan kehidupan duniawi. Sepenuh hidupnya diabdikan hanya pada agama, kepada kebajikan dan kebenaran. Akan halnya putra sang Dipati Pandanarang yang lelaki, ditugaskan untuk belajar mengenai dan menuntut ilmu pada kakeknya Sunan Majagung.

 Pada suatu malam di mana orang-orang sedang nyenyak tidur, Dipati Pandanarang beserta istrinya dan adiknya beserta istrinya pula, meninggalkan Samarang dari kehidupan semulanya sebagai seorang Dipati dan seorang saudagar. Sampailah kedua kakak-beradik tadi disebuah gunung, namanya Gunung Tembayat. Konon Pangeran Pandanarang bergelar kemudian Jeng Susuhunan Tembayat, dan adiknya bermukim tidak jauh dari Gunung Tembayat bergelar Jeng Panembahan Kajoran. Kedua-duanya sesuai dengan sabda Jeng Sunan Kalijaga menjadi Waliyullah.

 Panembahan Bintara atau Sultan Demak suatu ketika jatuh sakit, tak lama kemudian mangkatlah Sultan Demak. Jenazah dimakamkan di sebelah utara masjid Demak, ditandai sengkalan "Sirna Guna Kertaning Rat" (Hilang ilmu dan kebahagiaan dunia) atau tahun Jawa 1581, tahun Masehi 1608. Sepuluh tahun almarhum Sultan Demak menikmati hasil karyanya mendirikan sebuah masjid pusaka itu.

 Penggantinya adaiah putra sulungnya yang bernama Pangeran Sabrang-lor, penobatannya dilakukan oleh Kangjeng Sinuhun Benang dan Kangjeng Sinuhun Giri dan disaksikan oleh para olia se Tanah Jawa. Putra Sultan Demak, kecuali Pangeran Sabrang-lor yang menggantinya masih ada tiga lagi, satu putri dan dua lelaki. Adik Pangeran Sabrang-lor sebagai putri menjadi istri dari Pangeran Widagda di Cirebon. Adiknya bernama Raden Trenggana, yang bungsu bernama Pangeran Sabrang-kidul atau terkenal dengan julukannya Pangeran-kali, konon sang pangeran wafat dikali karenanya.

 Pangeran Sabrang-lor yang bergelar Sultan Demak (II) tidak lama menduduki takhtanya, hanya dua tahun digantikan oleh adiknya yang bernama Raden Trenggana bukan putra Sultan Demak (II) yang menggantikannya. Makam Sultan Demak (II) berada di bawah ayahandanya, letaknya di sebelah utara masjid Demak.

XVII. Lagu Dandanggula, 29 bait.
Baris 1 dari bait ke-1, dan baris 1 dan akhir dari bait ke-29.
Baris 1 dari bait ke-1 ;
Raden Trenggana jumeneng aji,
Baris 1 bait ke-29 dan baris akhir;
Lampahira Kyaigeng Pengging,
mangkat ungkur-ungkuran.

Terjemahan
 Raden Trenggana menggantikan kakaknya Pangeran Sabranglor (Sultan Demak II) menjadi raja, bergelar Sultan Demak (III). Wanasalam diangkat menjadi patihnya, Sunan Kudus sebagai pengulu kraton Demak.

 Sunan Giri Kedaton pada waktu itu sakit, tak lama mangkat. Jenazahnya dimakamkan di Istana Giri-pura, ditandai taun sengkala "Siking Guna Karyaning Bumi" tahun Jawa 1436 atau tahun Masehi 1514. Putranya menggantikan, bernama Jeng Sinuhun Giri juga disebut Ratu Tunggul Walikutubbu-rabani Aotad. Tak beda dengan almarhum ayahnya, beliau sangat bijaksana kaya ilmu dengan penuh kewaspadaan lagipula seorang yang sakti gemar bertapa.

 Adapun Jeng Sinuhun Benang atau Sri Anyakrakusuma telah wafat juga, jenazahnya dimakamkan di asrama-sunya Benang. Ditandai dengan sengkala Wisik Sukci Adining Bumi, tahun Jawa 1445 atau tahun Masehi 1523. Adiknya menggantikan, dengan sebutan Kangjeng Sinuhun Derajad tak ubahnya seperti almarhum kakaknya, gelar Wali Gos Kutub-rahman. Konon selang setengah tahun dari wafatnya Prabu wadat Anyakrakusuma, mangkat pula Dipati Mandura Lembupeteng. Jenazahnya dimakamkan di Karang Kajenar terletak di bagian bawah makam Ibu Prameswari. Putranya menggantikan sebagai dipati Mandura, namanya Lembuwara.

 Raden Kebokanigara dan Raden Kebokenanga sesudahnya Prabu Wadat Anyakrakusuma wafat dan sesudah wafat pamandanya Adipati Lembupeteng Mandura merasa segan untuk mengabdi di Keraton Demak. Kedua raja-putra tadi memilih kehidupan kembali ke Pengging, sebab kedua-duanya ingin mengabdikan pada jalan kehidupannya sendiri-sendiri. Raden Kebokanigara memillih bermukim di Gunung Merapi, hidup sebagai seorang ajar, istri sebagai endang dan putra-putranya sebagai manguyu dan jejanggan. raden Kebokenanga memilih kehidupannya sebagai layaknya seorang santri, tak diinginkannya hidup selayaknya seorang raja-putra Pengging. Seluruh penduduk Pengging dalam pimpinan Raden Kebokenanga sangat maju ibadahnya, tekun dalam mendalami agama. Demikian pula putra-santana Pengging tak ketinggalan, kesemuanya melakukan ibadah agama Islam. Kedua raja-putra Pengging tadi, hidup menyendiri-menyendiri namun satu alasan mereka. Rasa kecewa terhadap Sultan Demak, mengapa pula sebagai rajaputra Pengging - Pajang tidak pernah dipikirkan akan kedudukannya, bukankah Pengging - Pajang dahulunya Kerajaan dan akhirnya oleh Prabu Brawijaya diubah menjadi Kadipaten. Namun tak seorang adipati pun diangkat di Pengging - Pajang itu. Meskipun Raden Kebokenanga menjalani kehidupannya sebagai santri biasa, namun kewibawaan dan tata-kramanya di Pengging - Pajang itu tak ubahnya bagaikan Kerajaan jaman mendiang ayahandanya. Tigaribu wadya Pengging - Pajang yang mengikutinya langkah-langkah Raden Kebokenanga atau yang kemudian bernama Kyaigeng Pengging, tak lebih dari 400 pengikutnya yang setia selalu di dekat Kyageng Pengging. Sehariharinya kecuali beribadah, lepas bersembahyang pergilah ke sawah atau ke ladang.

 Tersebutlah seorang waliyullah sakti bernama Ki Seh Walilanang-sejati atau Ki Seh Sunyata Jatimurti, Susunan di Lemahbang, Ki Seh Jatimulya. Nama beliau sendiri adalah Seh Sitijenar, terkenal seorang ahli-laku, tapa-brata, memiliki segala ilmu yang muluk-muluk (tinggi), ahli rasa dan tak akan terkecoh ataupun keliru dalam membedakan rasa manisnya gula dan bukan gula. Seorang tapawan yang memiliki ilmu yang sempurna dalam menghayati panembahnya kepada Tuhan Yang Mahaesa, tahu dalam penghayatan kehidupannya dalam menjalankan ibadah agama "mana ada dan mana tiada", tahu pula yang diartikan "kawula dan gusti", tahu pula hal "awal dari ada dan akhir dari ada" pendek kata beliau, Seh Sitijenar, seorang yang tahu apa yang akan terjadi, seorang yang bersifat terbuka di dalam sikap dan hatinya maupun dasar-dasar penghayatan hidupnya. Seorang waliyullah sakti yang sudah tanpa aling-aling lagi, memiliki ilmu mampu tak kena pati, sempurna dalam pelepasan diri. Mendalami sedalam-dalamnya akan ilmu kesempurnaan hidup atau kemuksaan diri, beliau, Seh Sitijenar, adalah seorang "mahamulya di dalam kemulyaannya" (maha mulya kamulyane).

Kyai Ageng Pengging menerima kedatangan Waliyullah Seh Sitijenar dengan segala kerendahan hati dan keterbukaannya. Lama Seh Jatimurti bermukim di Pengging, sempat pula Kyai Ageng Pengging berguru kepada waliyullah tadi. Segala ilmu yang dimiliki oleh Waliyullah Seh Sitijenar tertumpah pada Kyai Ageng Pengging, pendek tak ada ilmu yang tidak terwulangkan padanya. Sekarang setidak-tidaknya Kyai Ageng Pengging tak ubahnya Seh Sitijenar saja, beliau adalah muridnya tersayang dan terkasihi. setelah bermukim lama di Pengging, pulanglah Seh Jatilanang ke tempat tinggalnya, kembali ke Sitijenar.

Konon selain Kyai Ageng Pengging, sahabat-sahabat beliau sejumlah 40 orang turut berguru pula pada Waliyullah Sitijenar. Mereka adalah Ki Gede Banyubiru, Ki Gede Getasaji, Ki Gede Balak, Ki Gede Butuh, Ki Gede Ngerang, Ki Gede Jati, Ki Gede Tingkir, Ki Gede Petalunan, Ki Gede Pringapus, Ki Gede Nganggas, Ki Gede Wanalapa, Ki Gede Paladadi, Ki Gede Ngambat, Ki Gede Karangwaru, Ki Gede Babadan, Ki Gede Wanantara, Ki Gede Majasta, Ki Gede Tambakbaya, Ki Gede Bakilan, Ki Gede Tembalang, Ki Gede Karanggayam, Ki Gede Selandaka, Ki Gede Purwasada, Ki Gede kebokangan, Ki Gede Kenalas, Ki Gede Waturante, Ki Gede Taruntum, Ki Gede Pataruman, Ki Gede Banyuwangi, Ki Gede Puma, Ki Gede Wanasaba, Ki Gede Kare, Ki Gede Gegulu, Ki Gede Candi digunung Pragota, Ki Gede Adibaya, Ki Gede Karurungan, Ki Gede Jatingalih, Ki Gede Wanadadi, Ki Gede Tambangan, Ki Gede Ngampuhan, Ki Gede Bangsri Panengah. Keempat-puluh sahabat seilmu dan seperguruan tadi, mengaku saudara dengan Kyai Ageng Pengging. Semakin kokoh dan akrab persahabatannya, antara Pengging, dan daerah-daerah yang dikuasai oleh sahabatsahabatnya tadi.

Konon pada waktu Seh Sitijenar balik ke tempatnya, Kyai Ageng Pengging turut mengantarkannya, tak ketinggalan keempatpuluh sahabat-sahabatnya. Lama pula Kyai ageng Pengging dan keempat-puluh sahabat-sahabatnya bermukim di Sitijenar. Banyak ragam ilmu, aneka permasalahan kehidupan, dirembug dengan Waliyullah Seh Jatimurti. Selesai berembug dengan Waliyullah Siti Jenar, berpamitlah Kyai Ageng Pengging bersama-sama keempat-puluh sahabatnya. Kyai Ageng Pengging bersama-sama sahabatnya sejumlah tujuhbelas bersamasama pulang dalam satu rombongan, dan selebihnya balik menuju tempat tinggalnya masing-masing. Ketujuhbelas sahabat yang menemani Kyai Ageng Pengging itu: Kyai Ageng Banyuwilis, Kyai Ageng Getasaji, Kyai Ageng Balak, Kyai Ageng Majasta, Kyai Ageng Tambakbaya, Kyai Ageng Tembelang, Kyai Ageng Baki, Kyai Ageng Babadan, Kyai Ageng Wanatara, Kyai Ageng Karanggayam, Kyai Ageng Argoloka, Kyai Ageng Pringapus, Kyai Ageng Kayupuring, Kyai Ageng Nganggas, dan Kyai Ageng Wanalapa. Kyai Ageng Pengging beserta sahabat-sahabatnya pergi menuju ke Tingkir, menemui Kyai Ageng Adipurwa. Dengan senang hati Kyai Ageng Tingkir menerima kedatangan saudaranya Kyai Ageng Pengging beserta kesemuanya sahabatsahabat seperguruan tadi.

Dua hariduamalam keenambelas tamu-tamu sahabat seperguruan menginap di Adipurwan Tingkir, makan dan minum disajikan dengan penuh, lagipula penuh keharuan dan keakraban. Lepas dua hari berada di Tingkir, keenambelas sahabat seperguruan Kyai Ageng Tingkir berpamitan pulang. Empat dari enambelas para Kyai Ageng tadi, ialah Kyai Ageng Argoloka, Kyai Ageng Pringapus, Kyai Ageng Gede Kayupuring, dan Kyai Ageng Purwasada berpisah di perjalanan menuju ke arah barat daya dan lainnya keduabelas para Kyai Ageng menuju ke arah tenggara, ke Pengging.

Kyai Ageng beserta kesebelas sahabat seperguruannya telah sampai di Pengging, dan kepada sahabat-sahabatnya Kyai Ageng Pengging mengajaknya bermalam di rumahnya. Dua hari dua malam mereka menikmati udara Pengging, setelahnya berpamitan pulang ke tempatnya masing-masing.

XVIII. Lagu Pangkur, 33 bait.
  Baris 1 bait 1, baris 1 dan akhir dari bait ke-33.
  Baris 1 dari bait 1.
  Kuneng kang wus mantuk samya,
  Baris 1 dan akhir dari bait ke-33;
  Yen pinengkok wani katrap,
  sura tan nedya ngunduri.

Terjemahan

Raja Bintara yang baru dirajakan, sangat disayang dan dikasihi oleh para Wali Agung. Para satria, sentana, punggawa dan mantri sangat menghormatinya. Namun selama Sultan Bintara menduduki takhtanya hatinya selalu resak, sebab tersiar berita bahwasanya kedua kakaknya raja putra Pengging lama sudah tidak sowan (menghadap) ke Demak. Apalagi berita yang meyakinkan telah diterimanya, bahwasanya kedua kakaknya tadi selama menetap kembali ke Pengging sudah meninggalkan adat kehidupannya sebagai kesatria. Mereka melebur diri sebagai rakyat biasa, dan beralih dalam tata-cara kehidupan seorang santri. Tidak mustahil seluruh Pengging pun berubah, banyak pula surau tempat-tempat menjalankan ibadah agama. Keresahan Sultan Bintara tadi malah menjadi-jadi, timbullah perkiraannya jangan-jangan kedua kakaknya raja putra Pengging akan melawan Demak. Untuk menghilangkan keragu-raguannya, diutusnyalah duta menuju ke Pengging dengan maksud kedua raja putra tadi diminta datang ke Demak, Sultan Bintara ingin berembug dengan mereka. Keempat utusan Sultan Bintara berangkat, dan sampailah mereka di Pengging. Duta Bintara me lapor kepada Kyai Ageng Pengging, bahwasanya Sultan Demak menginginkan bertemu dengan para raja-putera Pengging, di Demak. Setelah menceritakan maksud kedatangannya yang tak lain Sultan Bintara menghendaki para rajaputera tadi menghadap ke Demak, jawaban diberikan kepada duta 4 orang tadi. "Saudara-saudara duta Sultan Bintara, sudilah kiranya saudarasaudaraku melapor pada Sultán Bintara bahwasanya sekarang aku belum bisa menghadap. Sebab hatiku masih susah memikirkan kepergian saudaraku tua Radyan Kebokanigara. Kakang pergi tak tahu ke mana yang dituju, malah beserta isteri dan puteranya. Tak satu pun dari kawulanya yang mengiringi kepergiannya. Lama sudah kucari-cari, namun hasilnya nihil tak kutemukan kakakku itu. Akan halnya aku sendiri, untuk waktu ini belum bisa memenuhi permintaan Sultán Binatara Demak untuk menghadapnya. Namun kujanjikan manakala kakakku telah pulang, aku bersama-sama dengan Radyan Kebokanigara akan menghadap Sultan Bintara di Demak. Itu pesan-pesanku pada kalian semua, dan sekarang pulanglah," keempat duta setelah menerima jawaban dan pesan-pesan Kyai Ageng Pengging bermohon diri pulang ke Demak.

Di hadapan Sultán Binatara, keempat duta melapor dari awal sampai akhir. Sultán Bintara menerima laporan-laporan para duta dengan penuh perhatian, namun dalam hatinya timbul keraguraguan. Keragu-raguan yang selalu menggoda hati kecilnya, kecurigaannya timbul kepada kedua raja-putera Pengging Radyan Kebokanigara dan Radyan Kebokenanga yang sekarang mereka telah melebur kekesatriaannya menjadi orang kebanyakan bergelar Kyai Ageng Pengging dan Kyai Ageng Tingkir. Mengapa mereka selama aku menjadi Sultán Bintara tak pernah sekalipun menghadap, bukankah itu suatu perbuatan melawan kesahan pemerintahanku? Jangan-jangan nanti mereka akan merongrong kewibawaanku pula, apalagi mereka itu cucu-cucu dari ayahda Prabu Brawijaya Ratu Agung Majapahit. Mereka kakak-kakakku itu bukankah putera Raja Pajang-Pengging Sri Handayaningrat, apalagi beliau adalah menantu dari Raja Brawijaya. Apakah mereka menginginkan kedudukan seperti ayahnya, menjadi Raja di Pengging-Panjang? Hati Sultan Bintara digoda oleh masalah masalah tadi, tidak mustahil beliau menaruh sak-wasangka terhadap kedua kakaknya di Pengging itu!

Syahdan Kangjeng Susunan Majagung sudah lanjut usianya, tak lama mangkatlah beliau. Jenazahnya dimakamkan di tempat persemediannya, putranya menggantikan kedudukan ayahandanya. Almarhum Kangjeng Susunan Majagung mempunyai saudarasaudara, kesemuanya bergelar Pangeran. Mereka adalah Pangeran yang berkedudukan di Demak, ada yang di Ampelgading, di Darajad, di Benang, di Giri, juga yang ada di Majagung.

Diceritakan bahwasanya setiap jatuh bulan Rabingulawal tanggal 12, di Masjid Agung Demak diadakan peringatan Maulud Nabi. Adat istiadat peringatan tersebut. selalu dirayakan secara besar-besaran, para Wali, mupti, sulaka, ulama, kukuma, ngabid, pandita agung-agung, para petapa, para dipati, kesatriya, mantri, adipati-manca dari seluruh Tanah Jawa berkumpul di Demak.

Sudah menjadi kelaziman pada setiap peringatan Maulud Nabi, selalu diadakan pembacaan Riwayat Nabi, pembacaan singir dengan lagu-lagu yang merdu silih-bergantian. Sesuai peringatan yang baku, dilanjutkan perembugan antara Sultan Demak dan para Wali agung, kemudian dilanjutkan tahlilan, akhirnya santap bersama.

Keesokan harinya diadakan upacara gerebegan, Sultan Demak berkenan mengadakan paseban agung di sitinggil Demak. Dalam peringatan gerebegan tadi, Sultan Demak duduk di singgasana (dampar) manikwungu menghadap ke utara, kiri kanan Sultan duduk para Wali Agung atau Wali-pangarsa (ngarsa berarti depan, di muka), para Wali-pawingking berada di masjid bersama-sama dengan para pandita. Para ulama, kukuma, abid, sulaka, pukaha berada di serambi masjid dan halaman.

Baris depan menghadap Sultan Demak, duduk para kesatria, bupati dan para sentana. Di taratak berhadapan dengan bangsalwitana (bangunan di mana Sultan Demak mengadakan paseban) duduk para satria-sepuh, para kesatria yang dalam aluran darah masih berkedudukan sebagai paman Sultan duduk di kursi sebelah-menyebelah berhadapan dengan dampar manik-wungu. Di pagelaran duduklah Kyai Patih Demak Wanasalam beserta para pembesar Kraton Demak, dipati manca, nayaka, pramea dan mantri.

Di dalam peringatan garebegan tadi, Sultan Demak berkenan pula mengeluarkan prajurit-prajuritnya. Alun-alun Demak pada peristiwa peringatan garebegan itu penuh dengan wadyabala Kasultanan, bahkan ditambah lagi dengan prajurit-prajurit dari seluruh Tanah Jawa. Hajad garebegan Maulud Nabi, diawali dengan keluarnya hajad dalem berwujud "gunungan" (jenis-jenis makanan yang dibentuk menyerupai gunung, konon ada 2 jenis gunungan laki dan perempuan) dari Kraton Demak dibawa langsung menuju ke mesjid agung Demak. Setelah disampaikan hajad Sultan, disusulkan doa-doa. Sesuai diadakan doa-doa untuk hajad dalem (Sultan Demak), makanan-makanan yang berujud "gunungan" tadi dibagi rata pada mereka yang hadir atau menyaksikan garebegan tadi.

Sesudahnya selesai pembagian gunungan tadi, Sultan Demak berkenan kembali ke istana dengan para Wali, untuk santap bersama. Setelah selesai Sultan dan para Wali santap bersama, bubarlah pasewakan garebegan Maulud Nabi. Para Wali kembali ke tempatnya masing-masing, barisan di alun-alun membubakarkan diri.

Pada suatu ketika berbareng Demak memperingati Maulud Nabi dan garebegan, tiga hari sesudahnya berkumpullah para Waliyulah, pandita agung-agung, mupti, para kukuma yang tua-tua, di kraton Kasultanan Demak. Acara pokok pada waktu itu membicarakan perihal perkembangan dan masalah-masalah yang timbul dari akibat pemantapan penyebaran Agama Islam di Tanah Jawa khususnya dan di seberang pada umumnya. Tak lupa pula dibicarakan usaha-usaha pemantapan akan sarengat menurut parentali Nabi Mukamad, dan kukuhnya sarak agama. Pada siapa saja yang dengan sengaja memungkiri adanya sarak agama, berarti mereka memungkiri adanya Tuhan Yang Mahaesa. Dan kepada mereka yang memungkiri adanya Tuhan Yang Mahaesa, berarti melanggar hukum Agama, kepada mereka harus dijatuhi hukuman.

Tatkala itu Jeng Susunan Kudus melapor kepada Jeng Sunan Derajad perihal ihwal Pangeran Sitijenar yang selalu melawan sarak agama, sarengat Nabi dan mengingkari rukun Islam.

Ilmu-ilmu yang digelarkannya sungguh membahayakan akan hukum-hukum agama Islam, lagipula selalu bertentangan dengan perentah-perentah Nabi, tak pula menjalankan ibadah di masjid. Solat Jumat enggan, tak pernah berdoa dan dikir. Tindakannya selalu menggurui, tak mempan akan tegur-sapa lain orang. Tak ada yang ditakutinya, nyawa bukan apa-apa bagi Pangeran Sitijenar. Nyata-nyata apa yang dilakukan Pangeran Sitijenar, tak ada lain kecuali menelanjangi adanya sarak-sarak agama Rasul. Sering pula membuka tabir kerahasiaan agama, hatinya kokoh lagi berani pantang mundur.

XIX. Lagu Durma, 42 bait.

Baris 1 dari bait ke-1, dan baris 1 dan akhir dari bait ke-42.
Baris 1 dari bait ke-1;
Angandika wau Jeng Sunan Darajad,
Baris 1 dan akhir, dari bait ke-42.
Dyan pinedhang wau Susunan Lemahbang,
ludiranya dres mijil.

Terjemahan

Dengan penuh perhatian Jeng Sunan Derajad mendengarkan laporan Jeng Sunan Kudus perihal Seh Siti Jenar, sebagai jawabannya Sunan Derajad berkenan mengeluarkan pendapatnya, "Kaki Sunan Kudus, apa yang kaulaporkan perihal Pangeran Sitijenar tadi memang betul. Aku sendiri menyaksikannya, kalau demikian halnya tindakan pangeran Sitijenar tak ubahnya musuh yang menghalangi akan ajunya barisan dari prajurit. Hal itu tak dapat dimaafkan, kepadanya harus dijatuhkan hukuman."

Kebulatan suara diambil di antara para wali-pangarsa, kukuma, pukaha, pandita dan mupti bahwasanya Pangeran Sitijenar terang dan jelas akan kesalahannya. Kepadanya harus dijatuhi kukumulah, dihukum sampai mati (manjing kinisas).Tindakan pencegahan dengan jalan menghukumnya mati adalah tepat, dikarenakan kalau terlambat akan sangat membahayakan ketentraman negara apalagi rusaknya sarak Rasul. Segera diperentahkan menjemput Pangeran Sitijenar, utusan kembali beserta Seh Sitijenar.

Segera Sunan Derajad memerintahkan kepada Sunan Kudus untuk menanyai Seh Sitijenar, "Yang terhormat (maha pinundhi) Seh Sitijenar, akan halnya perbuatan anda yang selalu berlawanan dengan sarak agama Rasul, maupun dalil, kadis, ijemak dan kiyas itu sungguh sangat disayangkan. Namun kalau anda berhenti bertingkah dan berbuat semaunya sendiri, maaf bagi anda. Namun kalau nyata-nyata anda masih bersikeras dalam maksud anda untuk melanggar ketentuan-ketentuan agama, kukumulah yang akan anda terima."

Seh Jatimurti atau Pangeran Sitijenar menjawab disertai senyum kegirangan, "Sungguh suatu kebahagiaan yang terlimpah padaku, suatu anugerah yang tiada bandingannya. Sesuatu yang di dunia ini jauh lebih berharga, lebih indah di alam sair-kabir. Akan kehendak dan maksud Jeng Sunan Derajad berkenan memaafkannya atas ulah dan tingkahku yang dianggap melanggar dan bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum agama saya mengucapkan terimakasih. Bahwa sesungguhnya beliau Jeng Susunan Derajad adalah Wali-agung junjungan saya, lagipula terucap rasa terimakasihku beliau sudah berkenan "mengeman" (menyelamatkan) kehidupanku ini dari hukuman yang akan dijatuhkan pada diriku.

Namun apapun alasannya tuduhan-tuduhan yang dilimpahkan kepadaku, tetaplah aku mempertahankan akan pendirianku. Sebab bagiku amat hina mengingkari kata-kata yang telah terucapkan dari mulutku. Bahwa sesungguhnya diriku ini tak lebih dari seorang "kawula" (umat Tuhan), bertingkah sekedar hanya atas "kehendak Gusti" (Tuhan Yang Mahaesa). Apa yang dipikirkan manusia, apa yang didengarnya, apa yang dilihatnya, bertingkah, berulah, berkata-kata, bertindak benar dan luput kesemuanya itu juga atas kehendak Tuhan Yang Mahaesa.

Tak ubahnya apa yang terjadi pada diriku, bahwasanya luluhlah sudah diriku bersatu dengan sang pencipta. Tak ada lagi aku, yang ada hanyalah beliau si pencipta kehidupan ini. Kawula sudah tidak ada, yang adapun hanya Gustinya. Sebab kehidupanku bukan milikku, Gustilah yang menjadi pemiliknya.

Diriku adalah Gustiku, beliau yang disembah-sembah dan beliau pula yang dipuji-puji. Akan halnya kenyataan-kenyataan itu, wajiblah kita waspada dan berhati-hati dalam mendalami dan menghayati arti kesempurnaan hidupnya. Hidup yang dikatakan "waluya-jati," tak berbeda dengan "jatining agesang" (Yang dinamakan kehidupan yang sesungguhnya, adalah mereka yang hidup menerima, menghayati akan kemulyaan yang sejati dalam hidupnya).

Dia tak akan kena pati, dia tak akan mati.Pada dirinya, selembar bulunya pun tak ubahnya dijadikan sarana pangkal-tolak menyembah dan memuji. Itulah yang dinamakan sembah-puji, jika demikian keadaan manusia itu baginya tidak berbusana pun tak akan susah, kalaupun tak makan hatinya tetap senang, kalau dihina dirinya bukan kepalang sukacita hatinya. Kalau ancaman dan bahaya mendatangi diri, mati akan merenggut nyawanya dia akan tetap tersenyum menghadapinya. Pada dirinya tak ada sama sekali rasa was-was apalagi takut, hanya kesentosaan jiwa lahir maupun batinnya yang ada pada diri manusia seperti itu. Namun kalaupun mendapatkan rahmat dari Tuhan Yang Mahakuasa, dia pun tak akan merasa bersukacita yang berlebih-lebihan. Apapula kalaupun dirinya disanjung-sanjung, sama sekali dia tidak akan merasakannya sanjungan itu. Bahwa sesungguhnya manusia itu tak wenang akan menolak, akan datangnya bahagia, celaka, sakit maupun mulya. Jika manusia tersandang salah satu dari yang saya sebutkan tadi, wenangnya hanya "menerima." Sebab kesemuanya itu merupakan "ganjaran" (pemberian) dari Gusti (Tuhan Yang Mahakuasa).

Hanya Gusti yang langgeng hidupnya, hidup yang sesungguhnya tak dapat pula disamakan dengan "berbudi." Manakala manusia itu sudah menghayati akan "pupusing-rasa" (sari-sarinya, rasanya dari rasa), dialah yang boleh dikatakan sudah memegang rasa yang sejati. Sebab akan halnya "rasa yang sejati" jangan keliru, bukan pula diartikan rasa enam jenis rasa dan juga bukan rasa yang dirasakan dengan lidah. Tidak pula diartikan rasa yang terasakan oleh hati, rasa dari pikiran yang bekerja, rasa dari badan yang merasakannya, bukan rasa hati dari hasil orang memperbincangkan dirinya, bukan pula rasa yang diderita manakala sakit, dan rasa bahagia ataupun senang manakala menerima kemulyaan.

Pada hakekatnya orang yang telah memegang adanya "rasasejati" itulah, dapat dikatakan sudah memegang "inti dari rasa" (pusering rasa). Rasa yang sedemikian itu dapat dikatakan Raja dari segala rasa, sebab "rasa-sejati" akan membawahi segala macam rasa di badan manusia ini, dia akan dapat mengendalikan segala aneka rasa. Orang yang sedemikian itu, yang sudah memiliki "rasa-sejati," sudah dapat dikatakan selalu mulya rasanya, dia dalam keadaan "waluya jatimurti" (hidup sempurna dan menerima kemulyaan yang sesungguhnya).

Jeng Susunan Kudus bukan main amarahnya, berkatalah "Saudaraku Pangeran Sitijenar, kalau demikian ucapanmu itu kau katakan tak ubahnya dirimu sama dengan Tuhan, atau setidaktidaknya kau mengaku dirimu Tuhan. Perbuatan anda tak ubahnya tingkah seorang setan, bualanmu mempesona hati namun jelas di belakangmu tampak "jabariyah," hai Seh Sitijenar kau mengaku-aku dirimu sebagai Tuhan. Dirimu hina, tak ada gunanya kau hidup di dunia ini, iblis telah merasuki jiwamu. Akhirnya pun kau akan sengsara di dunia ini, kau akan mendapatkan hukuman dari negara. Sebab kau sudah berani melanggar kukumulah, berani menyimpang dari sarak Rasululah, kau sudah berbuat kerusuhan dan mengganggu akan hukum-hukum negara.

Kau Sitijenar seorang yang sudah kelewat berani berulah berbuat menelanjangi sarak Rasulullah, tak ada lain hukuman yang dijatuhkan padamu "mati". "Jeng Sunan Kudus mengundangkan, Seh Sitijenar sudah jelas akan kesalahannya dan akan menerima hukuman "hukuman mati," pelaksanaannya dipenggal lehernya dengan pedang besok pada hari Jumat selepas sembahyang Jumat.

Pangeran Sitijenar atau Seh Sitijenar, Seh Lemahbang mendengarkan kata-kata Jeng Sinuhun Kudus yang merupakan putusan hukuman mati kepadanya dengan tersenyum. Kelihatan kedua matanya bersinar kemilau, raut wajahnya bercahaya menandakan dia seorang yang memiliki hati yang sentosa dalam tekad dan pendirian, hatinya kokoh sedikit pun tak ada rasa was-was maupun takut. Lemah-lembut dengan senyumnya yang khas Pangeran Sitijenar berucap, "Wahai teman-temanku para Wali-agung dan sahabat-sahabatku para pendita, kelakuan anda semua tak ubahnya bagaikan orang menakut-takuti, pada anak kecil saja.

Lihatlah, bukankah si orok akan terdiam dikarenakan ditakuttakuti atau diancam, kaukatakan "si orok akan kena sawan" (sawan berarti penyakit sawan). Itu, si orok diam tiada menangis lagi, karena kau ancam kau takut-takuti, akan kena sawan. Akhirnya kaubelai orok itu, kausaputi air-matanya yang membasahi kedua pipinya.

Aku bukan orok, bukan pula anak kecil yang takut karena ancaman. Mengapa kalian berputar-putar berbelit-belit dalam ucapan, mengancam-ancam mengudal mendakwa akan kesalahan orang, aku bukan orok ataupun anak-kecil. Malu diriku akan ucapan kalian, tak akan mundur setapak pun aku dalam pendirianku. Ketahuilah wahai para wali-agung dan sahabat-sahabatku para pandita, dikenal aku ini "orang dari Sitijenar," nama pun aku memakai nama "Sitijenar." Sitijenar tempat itu bagiku adalah nyawaku, malu aku sebagai manusia memakai nama "Sitijenar" akan mundur dan takut pada kalian, aku adalah Pangeran Sunyata Jatimurti.

Buat apa Pangeran Sunyata Jatimurti hidup di dunia ini menanggung malu dan hina, bukankah kau sudah melemparkan tuduhan kepadaku bahwasanya aku ini dirasuk iblis? Kalau demikian akan halnya pada diriku, mengapa pula ketika aku terlahir masih dihidupi? Bukankah lebih baik, matilah saja manakala aku sebagai orok terlahir di dunia ini? Kau tuduhkan padaku aku berbuat makar terhadap negara, melanggar sarak agama Rasulullah.

Aku akan berterus terang pada kalian, sebab semuanya serba terang dan jelas keadaannya. Kata dan perbuatankau, pada pagi dan sore, siang dan malam hari sama, setiap saat yang kulakukan, kuucapkan pun sama, kesemuanya nyata. Memang demikian adanya, dulu sekarang maupun besoknya akan tetap sama dalam ucap dan perbuatanku. Namun, aku pun menyadari, terserah anda semuanya apa pun yang kau tuduhkan kepadaku, dan apapula yang kaugambarkan pada diriku ini."

Jeng Susunan Derajad keheran-heranan melihat mendengarkan jawaban Seh Sitijenar, dalam hati berkata "sangat sentosa dan kuat Seh Sitijenar dalam mempertahankan pendiriannya." Seluruh yang hadir dalam persidangan itu, tak ada yang berucap sepatah kata pun. Semuanya terdiam, terpesona oleh jawaban-jawaban Seh Sitijenar. Akhirnya Jeng Susunan Derajad memerintahkan membubarkan sidang, dan akan dilanjutkan lagi pada hari Jumat yang akan datang.

Hari Jumat telah tiba, waktu yang telah ditetapkan dan dijanjikan akan berkumpulnya para Wali-agung dan pendita-pendita untuk menjalankan hukuman mati bagi Seh Sitijenar atau Pangeran Lemahbang. Masjid Agung Demak pada waktu hari Jumat itu penuh dengan para jemaatnya, para Wali Agung berkumpul di situ, Srinaranata Sultan Demak, para pandita, ulama besar-kecil, para kesatria, punggawa dan para dipati. Selepas mereka menjalankan solat Jumat, para Wali Agung dan Sultan Demak diikuti oleh para jemaat lain-lainnya keluar menuju bangunan-bangunan di luar masjid yang khusus disediakan.

Tampak Jeng Sunan Derajad bersama-sama Sultan Demak duduk di teratak (tarub) yang terletak di sebelah timur pintu mesjid, para Wali Agung berada di sebelah timur dari halaman masjid bersama-sama dengan para pandita dan para mukmin. Di alun-alun berkumpul para dipati, kesatria, punggawa dan mantri.

Kelihatan Pangeran Sitijenar atau Seh Sunyata Jatimurti berada di depan, cukup terlihat oleh segenap yang hadir pada hari itu. Jeng Susunan Derajad segera memerintahkan kepada Jeng Sunan Kudus untuk segera melaksanakan hukuman mati bagi Pangeran Sunyata Jatimurti. Berkatalah Jeng Sunan Kudus, "Saudaraku Pangeran Sunyata Jatimurti, bersiaplah anda menerima kukumulah "kisas" (hukum mati)."

Pangeran Sunyata jatimurti segera menjawabnya, "Saudara Sunan Kudus, diriku telah siap menerima kukumulah "kisas," saya persilakan anda melaksanakannya dengan segera." Sunan Kudus segera menghunus pedangnya, kelihatan mata pedang berkilat-kilat. Sekali babat, putuslah leher Pangeran Sunyata Jatimurti, kepala pisah dengan badan berguling di atas permadani merah yang dilapisi kain putih. Darah bercecer membasahi permadani, deras mengalir bagaikan arus sungai.

XX. Lagu Mijil, 33 bait.

Baris 1 dari bait ke-1, dan bans 1 dan akhir dari bait ke-33.
Baris 1 dari bait ke-1;
Rudira bang merbabang kaeksi,
Baris 1 dan akhir, dari bait ke-33.
Yata bubaran kang para Wali,
tansah brangta wuyung.

Darah merah membara kelihatan mengalir membasahi permadani, hiruk-pikuk yang hadir menyaksikannya. Mereka berkata, "Bagaimana ini Pangeran Sunyata Jatimurti, konon katanya sakti mandraguna. Sekali dibabat Jeng Sunan Kudus penggal juga kepala dari badannya, mati akhirnya. Ah, bualannya saja mengaku yang tersakti, mati darahnya merah warnanya. Kukira darah orang yang mengaku-aku sakti itu lain warnanya."

Badan Pangeran Sunyata Jatimurti yang telah terpisah dari kepalanya seakan-akan menjawab cemoohan para hadirin yang mengata-katainya, segera darah hitam kelam keluar mengalir dari badannya dengan derasnya. Para hadirin yang menyaksikan keanehan tadi, masih juga menanggapinya dengan kata-kata, "Ah, kau Pangeran Sunyata Jatimurti, bukankah biasa saja orang memiliki darah hitam itu?" agaknya badan Pangeran Jatimurti berkenan juga menjawabnya lagi. Keluar dari badan tadi, darah kuning mengalir pula dengan derasnya. Masih juga mereka memperolok-olokan Seh Lemahbang, bahwasanya biasa orang memiliki darah kuning. Dijawab lagi oleh badan Seh Sitijenar, keluar dengan derasnya darah berwarna putih dari badan tadi. Para hadirin pun masih dalam pendiriannya menanggapi dengan kata-kata sindiran, ah biasa saja orang memiliki darah putih. Bukankah manusia itu memiliki ke-empat warna darah itu, bukankah pula dari dulukala unsur-unsur warna merah, hitam, kuning dan putih dimiliki manusia? Namun anehnya, keempat darah merah, hitam, kuning dan putih tadi dapat berbicara seakan-akan menanggapi kata-kata mereka yang hadir tadi. "Berbahagialah kita semua, bersyukurlah kita semua bahwasanya kita dapat menikmati kehidupan ini. Berbahagialah pula mereka yang menemukan pati utama, sebab mereka sebenarnya telah menemukan kenikmatan yang sejati.

Manusia sejati akan selalu waspada akan makna mati, sebab bagi manusia yang telah menghayati tumpukan-tumpukan ilmu, ada istilah manusia itu mati. Jangan disamakan "layon" dan mati, sebab sebenarnya mati itu memang tidak ada, yang ada hidup langgeng. Nyatanya badan terkubur (layon), hakekatnya tetap hidup hanya berpindah tempat. Kepindahannya membawa serta memboyongi kemulyaan pati, membawa serta keratonnya. Pendek kata tak akan dapat dilukiskan bagaimana indahnya masuk ke alam kemulyaan-pati itu, segala-galanya serba indah." Terpelenggong dan terheran-heran bercampur takjub hadirin yang menyaksikannya, luar biasa dan aneh ada darah dapat berkata-kata. Mereka mengatakan itu tentu ilmu "singkir," bukankah Pangeran Sunyata Jatimurti pandai akan menyulap? Tak ada dalam dunia ini darah dapat berkata-kata, bukan mustahil itu perbuatan setan.

Apakah itu yang menjadi andalannya Pangeran Sunyata Jatimurti, memiliki ilmu sulap bertemankan setan?

Ah, kasihan juga Pangeran Sunyata Jatimurti ini, tak lapang nantinya jalan menuju ke alam akhiratnya. Ilmunya akan menghalang-halanginya saja, matinya pun ti tidak akan sempurna. Mereka pun terus mengejek pada Pangeran Sunyata Jatimurti, bahwasanya dia bagaikan orang goblog dungu iagi bodoh, memilih memiliki ilmu sulap yang tak lain ilmunya setan.

Seketika itu juga kepala Pangeran Sunyata Jatimurti dapat berkata-kata, kelihatan senyum khas sang pangeran terlukis dari bibirnya, "Kuperintahkan pada kalian, darah hitam, kuning, merah dan putih. Segeralah kembali ke badanku ini, jangan sampai kau ada yang ketinggalan. Jangan-jangan kau nanti tidak turut beserta aku masuk ke sorga," laksana diirup keempat warna darahdarah tadi mengalir masuk ke badan, tak setetes pun darah-darah itu membekas di permadani.

Tak lama kepala yang terpisah tadi, bergerak seakan-akan berjalan berputar mengitari badan yang terpisah tadi, sebanyak 3 kali seraya berseru kepada para hadirin, "Wahai sahabat-sahabatku semua, sayang seribu sayang masih juga kalian ini tidak percaya. Masih pula kauanggap aku ini menipu kalian, kauanggap aku ini bukan-bukan," setelah itu kepala yang terpisah dari badannya telah menyatu, tak ubahnya seperti sediakala. Terdengarlah, suara, "Wahai sahabat-sahabatku, nyata benar panunggaling Gusti pamoring sawujud, (badan dan kepala yang menyatu tadi, melambangkan bersatunya si pencipta dan yang dicipta, yang manembah dengan yang disembah). Seutuhnya wujud Pangeran Sunyata Jatimurti, dari Sitijenar. Cahya gemilang, raut mukanya terang bagaikan bulan purnama dengan rendah hati tutur kata yang manis dan menawan hati berkata, "Assalam alaikum" (Damai dan selamatlah atasmu), salam Jeng Pangeran Sunyata Jatimurti segera dibalas oleh para hadirin, "Alaikum salam" (damai dan selamatlah padamu juga). Seketika itu segenap yang hadir pada hari Jumat tadi, di tratak di halaman dan lain-lainnya seakan-akan bergunjing. Terdengar suara-suara yang mengagungkan nama Tuhan Yang Mahaesa, memuji kebesarannya. mata tajam memandang tak berkedip, sepatah kata pun tak terucap dari mulutmereka. Namun dalam hatinya dan pikirannya dapat terbaca, seakan-akan mereka menyesali dirinya telah mengumpat-umpat, memperolok-olokkan pada diri Pangeran Sunyata Jatimurti. Mereka pun mengakui, sambil berbisik-bisik mereka mengomentari, "Bahwa sesungguhnya, beliau Pangeran Sunyata Jatimurti tak kena pati. Bahwa sesungguhnya, beliau itu "mati dalam hidup, dan hidup dalam mati."

Bahwa sesungguhnya Pangeran Seh Sitijenar tidak mati, hidup selamanya dan mulya selamanya di tempat akhir, dan sesungguhnyalah badan dan sukmanya selamanya abadi (langgeng). Kelihatan Pangeran Sitijenar berjalan mendekati Sang Mahawiku Jeng Sunan Derajad, salam diucapkannya. Tak lupa diucapkannya salam tertuju pada Sultan Demak, para Wali agung lainnya, para pandita dan para hadirin kesemuanya. Setelah selesai menyalami para hadirin, berkatalah Pangeran Sitijenar kepada Jeng Susunan Derajad, "Yang mulya Jeng Sunan Derajad, selesailah sudah kami menerima hukuman kisas. Perkenankanlah saya mohon diri sekarang juga, untuk berpindah tempat ke alam yang lebih indah. Kami ucapkan semoga Jeng Sunan Derajad, para sahabatsahabat semua selamat dan sejahtera bahagialah dirimu. Pada Yang Mulya Sultan Demak, saya mengucapkan semoga selalu selamat dan bahagia lahir dan batin. Pada sahabat-sahabatku, para pandita, para ulama, para mukimin dan para wali kuucapkan semoga anda semua bahagia dan mulya. Akhirnya kuucapkan semoga anda semua, para sentana besar dan kecil, para nayaka, bupati dan mantri, para punggawa raja selalu dalam keadaan selamat."

Seketika itu juga badan Pangeran Sunyata Jatimurti kelihatan bersinar-sinar, terang benderang bagaikan sinar matahari menerangi jagad. Namun seakan-akan cahaya yang terpancar dari diri Seh Sitijenar tak kalah terangnya dengan sinar matahari, bahkan sinar matahari pun suram dibandingnya. Semua mata hadirin terpukau melihatnya, silau dibuatnya. Segera Seh Jatimurti berkata, "Kuucapkan pada kalian semua, semoga selamat dan bahagia sepeninggalku. Aku mohon pamit," setelah para hadirin menjawabnya dengan kata-kata, "Kami berdoa, semoga Pangeran Sunyata Jatimurti, di alam akhirat bahagia dan mulya, demikian pula kami yang ditinggalkan di sini semoga pula selamat dan bahagia." Tampak jelas cahaya putih bersinar menjulur jauh ke atas dari badan Seh Sunyata Jatimurti, tak lama gaiblah Pangeran Sitijenar. Sungguh mulya Pangeran Sitijenar, kegaibannya terasa sekali. Bekas tempat-tempat berpijaknya mengeluarkan bau yang wangi, di segala penjuru harum baunya seharum bunga kasturi.

Para hadirin yang menyaksikan dari awal sampai akhir kegaiban Seh Sitijenar, berucap "Tak kusangka akan begini akhirnya, sesungguhnya pangeran Sunyata Jatimurti orang yang sempurna dalam hidup dan patinya. Sesungguhnya beliau adalah orang yang tidak ada bandingannya di dunia ini, kemulyaan sejati telah ada padanya." Setelah para hadirin menyaksikan kegaiban Pangeran Sunyata Jatimurti, segera Jeng Sunan Derajad memerintahkan kepada yang berwajib, "Kuperintahkan pada kalian semua, mulai saat ini semua tempat yang pernah dipergunakan oleh Pangeran Seh Sitijenar apakah itu yang semula tempat persemediaannya atau tempat perguruannya hendaknya kalian beri tanda sebagai layaknya kaumenandai adanya "makam" (diberi batu nisan dan kelengkapannya "kijing maejanek")." Pertemuan hari Jumat itu telah selesai, Sultan Demak kembali ke kraton, demikian pula para Wali-agung telah kembali ke tempatnya masing-masing, tak ketinggalan para hadirin lainnya bersama-sama membubarkan diri.

XXI.
 Lagu Asmaradana, 32 bait.
 Baris 1 dari bait ke-1, dan baris 1, akhir dari bait ke-32.
 Baris 1 dari bait ke-1;
 Wauta Rekyana Patih,
 Baris 1 dan akhir dari bait ke-32;
 Wewangsulan sangking Pengging,
 tembunge angraras driya.

Terjemahan Perintah segera diundangkan Patih Wanasalam kepada keempat utusannya, mereka ditugaskan untuk segera berangkat menunaikan tugas melacak semua tempat patilasan Pangeran Sunyata Jatimurti. Segala yang merupakan tempat persemediaannya, tempat pertapaannya dan tempat perenungannya segera harus diberi tanda sebagai layaknya memberi tanda batu nisan pada orang yang meninggal. Keempat utusan para mantri tadi segera mohon diri, untuk segera berangkat menyelesaikan tugas yang dibebankan kepada mereka. Tak lama segala tempat-tempat yang pernah dijadikan kegiatan-kegiatan Pangeran Seh Sitijenar telah selesai ditandai, dan pulanglah keempat mantri melapor kepada Patih Wanasalam.

Akan halnya para murid dari Pangeran Sunyata Jatimurti, sepeninggal sang pangeran sangat susah diri mereka. Seakan-akan mereka ditinggal orang tuanya, sebab Pangeran Seh Sitijenar kecuali sebagai guru, di hati mereka tak ubahnya sebagai orang tua sendiri. Sedih bagaikan anak yatim piatu yang tak berbapa-ibu lagi, yang tertinggal hanya bekas-bekas kasih-sayang Sang Pangeran Sunyata Jatimurti saja. Sangat dalam menjangkau lubuk hati mereka, sehingga mereka seakan-akan turut merasakan penderita annya maupun kamulyaannya.

 Akan halnya Sultán Demak sesudah peristiwa Pangeran Sunyata Jatimurti dijatuhi hukuman kisas dan dirinya gaib, teringatlah akan janji saudara sepuhnya yalah Kyai Ageng Pengging. Kyai Pengging berjanji, manakala kakaknya yang bemama Kyai Ageng Tingkir atau Raden Kebokanigara telah kembali dari perantauannya akan bersama-sama dengannya menghadap ke Demak.

 Satu tahun telah berlalu dari janji Kyai Ageng Pengging kepada Sultan Demak, satu waktu yang cukup panjang untuk menantinya. Timbullah gagasan yang tidak-tidak dari Sultan Demak, jangan-jangan kakak-kakaknya yang ada di Pengging dan Tingkir memang sudah bersepakat tidak sudi seba ke Demak. Hal itu tidak mustahil terjadi, demikian menurut pikiran Sultan Demak. Tentu saja kalau hal itu terjadi akan sangat membahayakan bagi kelangsungan berdirinya Negara Demak, dari pada menanggung resiko dan mengundang bahaya lebih baik cepat-cepat diadakan tindakan pencegahan atau penumpasan.

 Delapan orang mantri diberinya tugas untuk menyampaikan sepucuk surat Sultan kepada Kyai Ageng Pengging, setelah jelas perintah Sultan berangkat kedelapan mantri utusan tadi menuju ke Pengging. Sampailah sudah kedelapan utusan Sultan di Pengging, Kyai Ageng menerima sepucuk surat dari duta dan segera dibacanya isi surat itu. "Atas nama Kangjeng Nabi Muhammad yang menjadi nayaka (duta) di dunia ini, dengan segala ikhlasan dengan kesucian hati surat ini dari Srinata Sang Prabu Sultan Demak yang atas perkenannya Nabi Muhammad dutadi, yang membawahi dan memerintah seluruh Tanah Jawa dan daerahdaerah yang termasuk wilayah Kerajaan Demak di seberang maupun raja-rajanya yang tunduk pada kekuasaan Tanah Jawa.

 Kami tujukan kepada anda kakakku Radyan Kebokenanga Adipati Pengging yang masa kini sedang dirundung duka, karena kehilangan kakaknya Radyan Kebokanigara sekeluwarga yang tidak diketahui ke mana perginya.

 Salam kami aturkan kepada kakangmas Adipati Pengging Radyan Kebokenanga, semoga kakangmas sekeluwarga dalam keadaan sehat walafiat.  Selain daripada itu, perkenankanlah saya memperingatkan pada kakangmas Radyan Kebokenanga akan halnya janji kakanda akan seba ke Demak. Setahun sudah berlalu, namun belum tampak juga kakanda memenuhi janji seba ke Demak.

 Semula keempat utusan kami melapor bahwasanya kakangmas akan sowan ke Demak, manakala kakanda Radyan Kebokanigara telah kembali dari perantauannya yang juga tidak diketahui ke mana perginya. Setahun sudah lalu, saya sangat mengharapkan akan kedatangan kakanda Radyan Kebokenanga. Akan halnya andika kakanda Radyan Kebokanigara sampai sekarang pun belum juga kembali dari perantauannya, sudah semestinya kakanda memberitahukan kepada saya di Demak.

 Sebenarnya bagi kami sendiri sungguh akan kehilangan kakanda, kalaupun kakanda tidak seba ke Demak. Berapa jauhkah Pengging ke Demak itu? Bukankah kami dengan kakanda Radyan Kebokanigara dan Radyan Kebokenanga itu masih saudarasepupu juga? Kakanda yang mulya, dengan segala kerendahan hati kakanda kumohon untuk dapat meluluskan permohonanku datang ke Demak. Akan halnya kakanda Radyan Kebokenanga yang masih dalam perantauannya dan belum juga diketemukan di mana gerangan berada, bukankah sudah menjadi kewajiban saya akan turut juga nanti bersama-sama kita mencarinya.

 Sesungguhnya kedatangan kakanda di Demak sangat saya perlukan dan saya harapkan, siapa lagi orangnya jika aku tidak bermusyawarah dengan kakandaku saudara-sepupu untuk menitihbuih mengendalikan pemerintahan Kasultanan Demak. Sudah menjadi tugas dan kewajibanku selalu akan mengajak kakanda dalam bersama-sama memerintah Tanah Jawa. Kakanda Radyan Kebokanigara adalah saudaraku yang tertua, pinisepuh dari kerabat agung Majapahit. Bukankah kakanda cucu almarhum Prabu Brawijaya yang tertua sendiri, dan bukankah kakanda juga sebagai tali pengikat sapu keturunan agung Majapahit? Kakanda adalah putera dari Ratu Agung Sri Handayaningrat di Pengging, turun-temurun dari silsilah kakanda ke atas pun semuanya turunan raja.  Kakanda sudah menjadi keinginanku untuk selalu akan berembug dengan kakanda, khususnya dalam menjalankan roda pemerintahan Kasultanan Demak. Akhir kata, kumohon dengan sungguh-sungguh sudilah kakanda memenuhi apa yang kami uraikan dalam surat ini, dan kumohon keberangkatan kakanda bersamasama duta yang menghaturkan surat." Tamat sudah isi surat, dari awal sampai akhir kata demi kata telah dipahami kesemuanya oleh Kyai Ageng Pengging. Bertanyalah Kyai Ageng Pengging pada duta Demak, "Mantri, selain surat ini, adakah pesan-pesan dari Sultan Demak yang dititipkan padamu?" mantri-duta menjawab, "Kyai, ada pesan yang dititipkan pada kami, manakala Kyai Ageng Pengging berkehendak akan pergi ke Demak kami diperintahkan untuk mengawal Kyai Ageng. Untuk itu kami siap sedia menerima perintah Kyai Ageng, bagaimana kehendak Kyai Ageng," segera kyai Ageng Pengging menjawabnya. "Baiklah, namun kuajukan saran mengasolah dahulu barang dua hari di Pengging," mantri-duta kedelapan orang tadi dengan senang hati menuruti permintaan Kyai Ageng Pengging, pondokan makan dan minum memenuhi mereka selama 2 hari berada di Pengging. Busana yang baik-baik diberikan kepada mereka, kedelapan mantri-duta. berpikir tentu berhasil tugas mereka membawa Kyai Ageng Pengging ke Demak, mereka bersukacita dalam hatinya. Dua hari telah berlalu, berarti pula 2 hari Kyai Ageng Pengging memparsiapkan jawaban-jawabannya kepada Sultan Demak, hari ketiga selesailah sudah apa yang akan menjadi jawabannya kepada Sultan Demak nantinya.

 Pagi hari ketiganya, Kyai Ageng Pengging berkenan memanggil kedelapan mantri-duta Demak. Mereka duduk berjejer-jejer di paringgitan dalem Pengging, menghadap Kyai Ageng Pengging. "Mantri-duta, terimalah surat jawabanku ini kepada Sultan Demak hendaknya kauhaturkan," diterimanya surat jawaban itu dan para mantri-duta delapan segera bermohon diri untuk kembali ke Demak. Pesan yang diberikan pada mereka, "Sampaikan kepada Sang Raja, manakala waktunya telah datang dan atas kehendak Yang Mahakuasa saya akan seba ke Demak. Dan sampaikan pula kepada Sri Sultan, saya sekarang ini dalam keadaan berkabung dengan wafatnya guru kami Pangeran Seh Sitijenar."

 Duta mantri-delapan telah datang di Demak, segera surat dihaturkan kepada Sultan Demak, akan halnya isi dan maksud surat Kyai Ageng Kebokenanga Sultan Demak telah memahaminya. Sekali lagi surat dari Pengging dibacanya, disemaknya dengan hati-hati.

XXII. Lagu Mijil, 36 bait.
Baris 1 dari bait ke-1, dan baris 1 dan akhir, dari bait ke-36.
Baris ke 1 dari bait ke-1;
Punika kang serat terus mijil,
Baris ke 1 dan akhir dari bait ke-36;
Yayah rare panakawaneki,
sang anom ing ngayun.

Terjemahan
 "Teriring dengan segala puji dan dari lubuk hati yang suci, kami sampaikan salam hormat kami dari kakanda Ki Gede Pengging, kepada Srinarapati yang bertakhta di Negara Demak, yang menjadi Kalipah Nabi, Duta dari Hyang Manon, yang menguasai memerintah seluruh Tanah Jawa dan yang mempunyai wewenang mula atas perkenan Tuhan yang Mahaesa memerintah segala kawula di Tanah Jawa.

Beliau yang menguasai semua keraton di Tanah Jawa, dan beliau yang memerintah semua ratu-ratunya. Beliau yang putus dalam segala ilmu, beliau yang arif dan bijaksana, berbudi luhur dan selalu mengayomi akan semua kawulanya yang sedang dalam penderitaan.

 Surat dari kami kakanda Kebokenanga, seorang yang sangat hina-dina, seorang santri yang miskin melarat, bodoh lagipula dungu. Kami yang merasa seorang tak berbudi, dan lagipula kami yang sedang dirundung malang, semoga beliau Sultan Demak berkenan menerimanya.

 Kiranya perlu kami kabarkan, telah kami terima surat dari yang mulya Sultan Demak melalui mantri-duta yang dikirimkan ke Pengging lepas beberapa hari ini. Yang mulya Sultan Demak berkenan untuk memanggil kakanda Kebokenanga menghadap bersama-sama mantri-duta delapan ke Negara Demak. Adapun isi surat tak lain Yang Mulya Sultan Demak menginginkan berembug dengan kakanda Pengging perihal hal-hal yang penting mengenai mengelola dan menjalankan pemerintahan Kasultanan Demak.

 Dengan ini perlu kiranya kami atur periksa, insya allah atas ridlo Tuhan Yang Mahakuasa dan manakala waktu telah datang kami akan seba menghadap Paduka Yang Mulya Sultan Demak. Namun terpaksa kami belum dapat memenuhinya sekarang untuk menghadap ke Negara Demak bertemu dengan Yang Mulya Sultan. Sebab sekarang ini kakanda sedang menyandang kesedihan, dirundung kedukaan yang tiada terhingga. Tiada lain seribu maaf semoga terlimpah pada kakanda Pengging, dan kami mohonkan segala pengertian Jeng Sultan Demak jangan sampai ada dugaandugaan yang bukan-bukan kepada diri kami.

 Sudah sewajarnya bagi seorang nerpati (raja) selalu ikhlas dan rela menerima segala permasalahan dari kawulanya, dan sudah menjadi kewajibannya pula untuk selalu hambeg-paramarta kepada rakyatnya yang kecil seperti kakanda ini (kecil-kecil, jembel)." Sultan Demak selesai membacanya sekali lagi surat dari Pengging tadi, bertanya kepada mantri-duta, "Adakah dari kakanda Radyan Kebokenanga menitipkan pesan-pesan lainnya lagi pada kalian? " mantri-duta menjawabnya, "Yang mulya, ada juga pesan gustiku Radyan Kebokenanga yang dititipkan kepada kami. Bahwasanya Gusti Radyan Kebokenanga masih dirundung malang, kesusahannya yang dahulu belum reda tertumpuk lagi datangnya kedukaan lainnya. Beliau sangat sedih bagaikan kehilangan orangtua, kesedihan beliau tidak lain karena ditinggal gurunya Pangeran Sunyata Jatimurti," Sultan Demak mengangguk-anggukan kepalanya, dalam hati bertanya-tanya bagaimana si kakang Kebokenanga itu. Akhirnya mantri-duta ditanyainya lagi, "Coba jawablah pertanyaanku ini, selama kalian 2 hari ada di Pengging, bagaimana tampak tata-rakit di sekitar Kapenggingan itu. Bagaimana suasananya, sepi atau ramai." Mantri-duta menjawabnya satu-persatu, "Yang mulya Sunan Demak, akan halnya tata-rakit dalem Kapenggingan agaknya mengandung rahasia. Ada sesuatu yang disembunyikan. Masalahnya sedemikian rupa sehingga kalau tak diperhatikan tak akan dapat memahaminya pula, kelihatannya Kepenggingan itu sepi-sepi saja. Namun kalau diperhatikan dengan seksama, di dalam kesepiannya mengandung keramaian yang luar biasa. Jelasnya, kelihatannya sepi sebab Pengging bekas suatu kerajaan yang berubah kedudukannya menjadi Kadipaten. Apalagi Kyai Ageng Pengging sekarang tak mau memakai atau menjalani kehidupan setata-caranya seorang luhur layaknya seorang Adipati apalagi putera Raja Agung Handayaningrat. Kyai Ageng Pengging hidup selayak kawula dusun, tak ubahnya dengan para putrasentana kawula Pengging keseluruhannya. Mereka hidup sebagai santri-pakir, hal itu sama saja dilakukan oleh semua warga Pengging tak ada bedanya. Mereka kesemuanya meninggalkan kehidupan setata-caranya kesatria," hanya cara solah-tingkah lagaklagu tak ubahnya orang dusun (desa), yang mereka kerjakan sehari-harinya.

 Kewibawaan, keagungan atau tanda-tanda mereka masih putera raja sama sekali tak membekas dipandang dari tata-cara kehidupannya sehari-harinya, sebab Radyan Kebokenanga tak mengadakan paseban setata-caranya kesatria-kesatria. Tak ada lain yang menjadi kesukaan Kyai Ageng Pengging, kecuali berenung diri, bersemadi, tapakur berdoa, menjalankan tapabrata, dan sering menyendiri di tempat-tempat keramat dan yang sepi-sepi. Itulah Yang Mulya kalau dilihat tata-lahirnya, suasana Pengging memang sepi.

 Namun dalam kesepiannya ada sesuatu yang ramai juga. Tak dapat diungkiri lagi keadaan Pengging sekarang ini jauh lebih ramai dari dahulunya, sebab di mana-mana terdapat tempat menjalankan ibadah. Banyak surau, langgar apalagi Pengging baru saja membangun sebuah mesjid yang besar dan megah. Tak terkecualinya mulai dari Kyai Ageng Pengging sampai kekawulanya semuanya tekun melakukan ibadah.

 Kyai Ageng Pengging tekun sekali, mendalami agama Islam, demikian pula para santri tak ketinggalan dalam kegiatan-kegiatan menyebar-luaskannya. Namun meskipun di Pengging terkenal dengan masyarakatnya yang tekun beragama, tak dilupakan pekerjaan sehari-harinya mereka sebagai petani. Ada kalanya mereka ke sawah, berkebun, berladang.

 Jeng Sultan, dilihat dari sepintas lalu memang tak dapat dibedakan antara trah prayagung dan orang dusun. Namun kenyataannya tidak emikian, di kadaleman Pengging sendiri terlihat tetap masih bertata-rakit seperti halnya rerakitan seorang Raja Agung Sri Handayaningrat dahulu. Segala upacara kebesaran Keraton Pengging tetap terpampang menghias di padaleman Kraton Pengging itu. Pusaka andalan Pengging dari Sri Handayaningrat masih dipundi-pundi, berjajar rapi dan selalu dihormatinya." tertegun sejenak dahi berkerut, sambil mengincangkan alis Sultan Demak berkata dalam hatinya, "Ah, kalau demikian keadaannya Pengging sekarang ini bukan mustahil kakanda Radyan Kebokenanga tentu mempunyai maksudmaksud tertentu, setidak-tidaknya bagi Negara Demak tentu akan merupakan ancaman. Bukankah kata-katanya yang tertera di surat balasan kakanda Radyan Kebokenanga hanya merupakan kelaziman antar saudara saja? Manis budi bahasanya, halus pula rasa yang terpancarkannya, namun di balik kehalusan budi dan tutur kata itu ada sesuatu yang disembunyikan kakang Kebokenanga. Kalau aku tidak rangkap pikirku. Tentu akan terjebak oleh kata-kata kangmas Radyan Kebokenanga itu."

 Sultan Demak segera mengizinkan para mantri-duta memohon diri, kembalilah ke puri Sri Sultan.

 Tersebutlah seorang petapa sakti bernama Ki Seh Malangsumirang, berasal dari dukuh Ngudung. Masih saudara sepupu dari almarhum Jeng Sunan Ngudung, beliau sang petapa sakti masih muda usianya. Usianya tak lebih dari tigapuluh dua tahun, masa penuh dengan kemantapan dan cita-cita. Seh Malangsumirang terkenal dengan kesaktiannya, melebihi dari sesamanya, pendiriannya tegas dan kuat lagi sentosa, tegas dalam ucap dan teguh dalam janji, seseorang yang sangat perasa dan tidak mudah untuk diperdayakan, memiliki segala ilmu mulai dari kecilnya. Segala kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh Seh Malangsumirang tadi, hasil dari ketekunan belajar pada maha gurunya Jeng Susunan Giri Perapen.

Konon ketika Seh Malangsumirang berusia tujuhbelas tahun, telah memiliki ilmu-sejati wejangan dari Jeng Sunan Giri Perapen, dilanjutkan bertapa-brata di hutan-hutan yang ganas lagi seram, di jurang-jurang yang terjal, di dalam gua-gua yang angker, di lembah-lembah lereng-lereng gunung, di puncak gunung, di tepi samodra, di teluk-teluk maupun di tanjung-tanjung selama sepuluh tahun.

Seusai 10 tahun menjalankan tapa-raga, dilanjutkan menjalankan "tarek makjun rabani" yang berarti bertapa "tingkahgila" (laku ngedan). Ulah dan tingkahnya, tak ubahnya bagaikan orang yang gila. Pikiran kosong melompong, bodoh dungu lagi pandir, tak ada yang dikerjakan selain berkelana kian-kemari Ada kalanya duduk termenung, merenungkan sesuatu yang tidak mungkin orang akan mengetahuinya pula. Tak ada sesuatu kesibukan yang menjadi pekerjaannya, tak pula menjalankan sarengat-sarengat kebiasaan agama, segala tata sarak Nabi tak diperdulikan lagi. Tak pernah bersembahyang, pendek kata tak ada yang diturut kecuali menuruti kemauannya sendiri.

Kesenangannya memelihara "srenggala" kecil (srenggala sejenis anjing yang sangat galak), diajarinya sehingga anjing tadi sangat menjelma. Tak ubahnya bagaikan abdinya Ki Seh Malangsumirang saja, apa saja yang diperintahkan pada anjing itu selalu dapat memahaminya. Ke mana saja Ki Seh Malangsumirang pergi, srenggalanya tentu tak ketinggalan selalu mengikutinya di belakang.

XXIII Lagu Sinom, 30 bait.
Baris 1 dari bait ke-1 dan baris 1, akhir dari bait ke-30.
Baris 1 dari bait ke-1;
Ya ta Sang Malangsumirang,
Baris 1 dan akhir dari bait ke-30;
Ya ta Seh Malangsumirang,
kang andulu yayah sinamberan dhandhang.

Terjemahan

Berkelana berjalan kian kemari, berkeliling mengelilingi praja-praja. Banyak pula manca-nagari yang telah dijelajahinya, kesemuanya itu tak ada maksud tertentu ataupun tujuan tertentu. Sekedar hanya berjalan-jalan, berkelana menjelajahi daerah-daerah. Itulah yang dinamakan "laku utama bagi manusia sakti", perilaku yang segila orang gila itu hanya dipergunakan sebagai tirai diri saja, bahwa sesungguhnya Ki Seh Malangsumirang seorang ilmuwan dan kelewat sakti.

Sudah menjadi kebiasaan Ki Seh Malangsumirang melihat dan memperhatikan orang-orang yang pergi ke mesjid untuk sembahyang, namun Seh Malangsumirang sendiri tidak bersembahyang. Hanya anjingnya saja yang turut ke mesjid mengikuti orang-orang yang bersembahyang, tentu saja hal itu merepotkan dan membikin gaduh orang-orang yang sedang bersolat di mesjid. Pernah sekali Ki Seh Malangsumirang dipaksa untuk bersembahyang, namun enggan juga. Dicemoohi ataupun dikata-katai, namun Ki Seh Malangsumirang tidak juga marah malahan hanya tersenyum saja, tak menjawab sepatah pun juga.

Merata berita tersiar ke segala penjuru praja, bahwasanya tindakan-tindakan ulah dan tingkah dari Ki Seh Malangsumirang jelas merintangi kekhusukan agama, menyingkur sarak rasululah. Kepadanya kalau diancam dan ditakuti akan kekuasasaan Sultán Demak, sama sekah tiada gentar hatinya. Bahkan keberaniannya timbul, seakan-akan tak ada orang yang ditakutinya, dan tak ada orang yang dapat melarang segala tingkah lakunya. Semakin diancam, semakin berani itulah Ki Seh Malangsumirang.

Tiga tahun lamanya tingkah-polah Ki Malangsumirang "berlaku gila", tiga tahun pula Ki Seh Malangsumirang dianggap gila-gilaan.

Negara Demak menyadari bahwasanya perilaku Seh Malangsumirang jelas mengancam ketentraman, mengganggu kerukunan orang menjalankan ibadahnya untuk itu segera diadakan perembugan untuk mengatasi keadaan yang serba resah.

Pada waktu itu umur Ki Seh Malangsumirang sudah mencapai 30 tahun, suatu ketika berkumpullah para Wali-agung, mukti, sulaka, pandita, membicarakan perihal Ki Seh Malangsumirang yang sudah berbuat gila-gilaan. Kesepakatan antara mereka bahwasanya Ki Seh Malangsumirang dinyatakan terang dan terbukti bersalah melanggar sarak kukumulah, mengaku dirinya berbadan rohani, mengaku dirinya tak ubahnya seperti Tuhan (Hyang) untuk segala kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya itu, jatuhlah putusan harus dihukum mati (kinisas).

Hal itu mengingat pula, bahwasanya sebelum putusan dihukum mati dijatuhkan kepadanya, pernah kepadanya (Ki Seh Malangsumirang) diusahakan oleh kemenakannya sendiri ialah Jeng Sunan Kudus yang sangat mengasihi pamandanya itu untuk disadarkan. Namun berkali-kali kepadanya diingatkan atau diberikan saran-saran yang baik dan menurut hukum-hukum agama, berkali-kah pula tidak digubrisnya, bahkan perbuatan gilanya menjadi-jadi.

Jadilah kepada Ki Seh Malangsumirang dijatuhj hukuman "kisas", pelaksanaannya akan dibakar sampai mati di alun-alun Demak. Ki Seh Malangsumirang yang mendengar akan keputusan para Wali tadi sangat senang hatinya, sama sekali tak takut dan tidak gentar menghadapinya.

Jatuhlah hari Senin, Ki Wanasalam telah mempersiapkan segala sesuatunya sehubungan akan dibakarnya sampai mati Ki Seh Malangsumirang, sebagai akibat perbuatannya yang kegila-gilaan. Pada hari itu berkumpul para Wali-agung, pandita, tak ketinggalan Sultan Demak hadir dalam rangka pelakasanaan hukuman mati bagi Ki Seh Malangsumirang. Sultan Demak duduk di singgasananya berjajar dengan Jeng Susunan Derajad, para Wali-pangarsa ada di kiri-kanannya, menyusul segolongan dengan para wali-pangarsa para sribupati.

Di depan para Wali - pangarsa beijajar rapi para Wali - sorsoran sebelah-menyebelah kirikanan, para pandita, kukuma, ulama, mupti, para jamhur segolongannya. Di depan Nerpati Demak kelihatan Patih Wanasalam, para dipati, punggawa, satria. Di alun-alun berbaris rapi para pramea, mantri.

Kyai Seh Malangsumirang telah berada bersama-sama di tempat duduk segolongan dengan Wali Sora-soran dengan diikuti oleh anjing kesayangannya. Raut mukanya bercahaya terang bagaikan bulan purnama, hati tentram tenang pandangan matanya tajam mengarah ke depan. Sama sekali tak terasa takut di hatinya, dalam tingkah dan ulahnya tidak mencerminkan bahwasanya dia adalah terdakwa yang akan menerima hukuman mati (kisas), Ki Seh Malangsumirang tak ubahnya bagaikan pinang dibelah dua dengan Ki Sunyata Jatimurti atau Ki Seh Sitijenar, serupa benar dalam penampilan dan ketenangannya.

Tak lama perintah dikeluarkan Jeng Sunan Derajad kepada Jeng Sunan Kudus, bahwasanya hukuman kisas pada Ki Seh Malangsumirang hendaknya segera dilaksanakan. Jeng Sunan Kudus segera memberitahukan kepada pamandanya Seh Malangsumirang," Paman Malangsumirang, kesepakatan dan keputusan para Waliullah, para kukuma setanah Jawa, para dipati punggawa dan para satria, menetapkan pada hari ini pamanda Ki Seh Malangsumirang dikarenakan terbukti sudah akan kesalahannya berbuat kegila-gilaan melanggar sarak agama Islam, dan berbuat kegaduhan sehingga masyarakat dan Negara Demak terancam keselamatannya lagi pula menyebar-luaskan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan kukumulah, sehingga terjadi keresahan yang meluas seantero Tanah Jawa, pamanda Ki Seh Malangsumirang menerima hukuman kisas. Untuk itu paman bersiaplah menerimanya", Ki Seh Malangsumirang dengan senyum khasnya tak ubahnya dengan Ki Seh Sitijenar berkata kepada Jeng Sunan Kudus, "Wahai anakku Sunan Kudus, perintahkan segera menghidupkan unggunan kayu-kayu itu, manakala nanti apinya telah berkobar-kobar pamanmu akan masuk ke dalamnya. Namun kumintakan padamu nanti kubutuhkan secarik kertas kalam dan tinta, akan kutuliskan wasiatku nantinya. Telah diterima kertas 2 koras (koras berarti jahitan, kemungkinan 2 jahitan kertas atau 2 buku isi kertas kosong), kalam beserta tintanya dan Jeng Sunan Kudus.

Kepada Patih Wanasalam segera diperintahkannya untuk segera mengapikan unggunan atau tumpukan kayu-kayu yang terletak di sebelah utaranya dari pohon beringin-sengkeran Sultan Demak. (Lazimnya setiap alun-alun utara maupun alunalun selatan milik raja tentu dipelihara sepasang pohon beringin yang dikeramatkan, dan merupakan milik raja yang bertakhta sebagai kelengkapan kebesarannya, arti sengkeran-dikurung. Dan kebiasaannya pohon-pohon beringin tadi dikurungi dengan pagar).

Patih Wanasalam segera memulai menyiramkan minyak untuk menghidupkan unggukan-unggukan kayu, tak lama tumpukan-tumpukan kayu telah berubah menjadi api-unggun. Kobaran apinya menjadi-jadi, seakan-akan menjilat-jilat ke angkasa, suara kayu-kayu yang terbakar menderu mengaum bagaikan raungan singa yang kelaparan. Semua yang menyaksikan berdiri bulu-romanya, hati tercekam karena sangat penakutkan kobaran api yang telah menggunung itu.

Segera Ki Seh Malangsumirang berdiri, berjalan dengan langkah yang mantap menuju panggungan-pancaka, tak ketinggalan anjingnya turut serta mengikuti Ki Seh Malangsumirang. Setelah mengucapkan salam kepada para hadirin yang berada di sekitar panggungan-pancaka tadi, naiklah Ki Seh Malangsumirang dengan anjingnya kepanggungan-pancaka. Di atas sudah Ki Seh Malangsumirang bersama anjingnya, segera perlahan-lahan menuruni panggungan-pancaka masuk ke dalam apiunggun yang berkobar-kobar di tengah-tengah alun-alun Demak. Di tengah-tengah api unggun, tampak Ki Seh Malangsumirang dengan tenangnya duduk bersila. Anjing kesayangannya duduk pula di hadapannya, seakan-akan siap menerima perintah dari Ki Seh Malangsumirang. Apa yang tampak oleh para hadirin, suatu pemandangan yang menakjubkan. Badan Ki Seh Malangsumirang tiada mempan termakan api, utuh bagaikan tak kena apa-apa. Demikian pula anjingnya, seakan-akan tak ada api di sekelilingnya.

Ki Seh Malangsumirang segera memerintahkan anjingnya, untuk segera mengambil kertas kalam dan tinta yang ditinggalkan Ki Seh Malangsumirang di tempat duduknya semula. Anjing yang telah memanusia tadi segera mengerti akan perintah Ki Seh Malangsumirang, segera naik ke atas menuruni panggung-pancaka laju mengambil kertas kalam dan tinta yang sengaja ditinggalkan Ki Seh Malangsumirang. Anjing kembali dengan membawa kertas kalam dan tinta, segera diserahkan kepada Ki Seh Malangsumirang.

Di dalam kobaran api yang panas dan meninggi setinggi gunung, dengan tenangnya Ki Seh Malangsumirang menulis wasiatna dihadap oleh anjingnya yang sangat menjelma. Sesungguhnya Ki Seh Malngsumirang Wali-mulya, tampak ya lahirnya ya batinnya. Mulya sejati keramatnya berlebih-lebihan, dirinya telah luluh dengan si pencipta. Dia seorang yang telah dikawasakan untuk memurba (menguasai, dikuasakan karena rohmat Tuhan Yang Mahaesa) keadaan lahir dan batinnya, beliau disebut pula seorang yang "mulya jati-wisesa".

Keramatnya memenuhi, kemulyaannya tak terbatas, apa yang dicipta jadi, apa yang diinginkan ada. Dia pula yang telah memiliki penghayatan ilmu (pengertian) perihal kamuksan, itulah akhir dari pada segala ilmu. Tahu pula akan halnya awal dari mula dan akhir dari tiada. Lagipula tahu akan asal kehidupan itu, dan ke mana akhirnya akhir kehidupan itu. Dapat pula mati dalam hidup, dan hidup dalam kematiannya. Beliau adalah seorang wali agung yang tak mempan oleh pati, tak sebarang manusia di dunia ini yang memiliki ilmu yang begitu sempurna seperti Ki Seh Malangsumirang. Sesungguhnya tidaklah mudah orang menuntut ilmu itu, seribu-satu halangan terhampar di depannya.

Salah-salah bahaya mengancam jiwanya, namun bukan untuk si waskita dan bijaksana. Bijaksana dan waskita ya lahirnya ya batinnya, dia pula yang mempunyai wewenang untuk mengetahui ya di dunia ini maupun di dunia sana (akhirat), dia akan sempurna di dunia maupun di alam akhirat. Menyusupi halus dan kasar bukan halangan baginya, Ki Seh Malangsumirang sesungguhnya nyata dalam ilmunya (putus ilmunya) Lagipula disertai gentur-tapa-bratanya, tidak mustahil Ki Seh Malangsumirang bagaikan tak akan dapat diinjak bayangannya. Tak ada bandingannya, dijauhkan dari marabahaya dan hidupnya di dunia ini bagaikan ditopang pilar-pilar keselamatan saja.

Sesungguhnya ilmu yang tidak dilandasi oleh tapa (tapa diartikan selalu melatih diri mendekat kepada Tuhan Yang Mahaesa, selalu dapat menyeimbangkan lahir dan batinnya. Belum tentu diartikan harus menyakiti diri pergi ke tempat-tempat yang dikeramatkan, atau lain sebagainya), bagaikan masakan yang tiada rasanya. Sudah menjadi kewajiban manusia di dunia ini, mereka menuntut ilmu pada guru yang berilmu. Namun bukan ilmu sebarang ilmu. bukan pula ilmu sulap. Ilmu yang sejati, sejati dan sempurna dalam segala-galanya. Jangan pula berkalikali kau menuntut ilmu, tuntutlah sekaligus dan sekali jadi. Hendaknya yang awas dan waspada, dalam menuntut akhir dari segala ilmu, tak lain mengetahui akan akhir dari kehidupan ini. Kejar dan usahakan sampai kena, tanyai gurumu sehingga luntur sihnya padamu. Kalau tidak kau barengi dengan tekad yang kuat, hati yang mantap mana mungkin guru akan memberimu bontosnya ilmu. Jika tidak demikian, jangan dikatakan tidak mungkin gurumu hanya memberi ilmu "ruba-ricik" (membagi angka). Itulah yang dinamakan "ilmu ukur", bukan itu yang dimaksudkan. Orang yang dungu menganggapnya dirinya tentu sudah memiliki "ilmu-sejati", tak ubahnya dirinya yang dungu lagi goblog itu bagaikan ada orang muda lagi goblog pergi ke tukang emas. Maksudnya akan membeli emas, kepadanya oleh tukang-mas tadi diberi dandanan serupa mas. Apa hendak dikata si pandir dan goblog lagi muda berasal dari gunung tadi, menganggapnya dandanan kuning keemas-emasan tadi emas yang sesungguhnya. Tiada tahunya itu barang palsu, itu sulapan namanya namun masih bersikeras menganggapnya memiliki barang dandanan dari emas mulya.

Selama menulis di dalam api-unggun yang berkobar-kobar tadi, Ki Seh Malangsumirang merasa tenang-tenang saja, demikian pula anjingnya. Seakan-akan tak terjadi apa-apa di sekitarnya, malah layaknya bernaung di bawah pohon yang rindang lagi lebat daun-daunnya. Mereka yang melihatnya, tak ubah hati mereka bagaikan disambar burung dandang.

XXIV. Lagu Dandanggula, 30 bait
Baris 1 dari bait ke-1, dan baris 1 dan akhir dari bait ke-30.

Baris 1 dari bait ke-1;
Malangsemirang esthanireki,
Baris 1 dan akhir dari bait ke-30;
Kasukeran andulu suker jis,
wungu andanasmara.

Terjemahan

Keadaan Ki Seh Malangsumirang tadi, tak ubahnya cerita-cerita kuna. Konon di tanah Gede Babil Raja Namrut Sri Batara Jabar memerintahkan untuk membakar hidup-hidup Nabi Ibrahim Kalilulah. Tumpukan kayu menggunung, apinya berkobar melangit. Manakala Nabi Ibrahim di masukkan ke dalam api unggun tadi, atas kehendak Tuhan badannya tak mempan oleh api. Atas kehendak Tuhan pula, api-unggun berubah sebagai maligai yang sangat indahnya. Banyak hiasan mewarnainya, taman bunga mengelilingi penuh dengan beraneka macam puspita. Dari sorga perlengkapan-perlengkapan datang, dampar Jeng Nabi yang terhias dengan mutiara maupun busana yang dikenakannya. Bau harum memenuhi semerbak menyebar ke segala penjuru, itulah ratu-ratunya bau harum tak ada yang menyamai harumnya busana Jeng Nabi Ibrahim pemberian dari sorga.

Konon kata-kata yang dituliskan Seh Malangsumirang pada koras berlagukan Dandanggula tadi merupakan wasiat beliau, dikenal dengan nama "suluk Malangsumirang". Selesai menuliskan kata-kata wasiatnya, segera Ki seh Malangsumirang keluar dari api-unggun yang menggunung ganas berkobar-kobar tadi, diikuti oleh anjingnya yang selalu setia kepada Seh Malangsumirang. Sonanya membawa kertas kalam serta mangsi, Ki Seh Malangsumirang kembali ke tempat duduknya semula bercampur dengan para Wali-sor-soran. Kesemuanya yang hadir terheran-heran menyaksikan kejadian yang baru-baru saja, bahwasanya Ki Seh Malangsumirang dengan badan seutuhnya bersama-sama dengan anjingnya keluar dari jilatan api-unggun yang berkobar-kobar. Para Wali-agung, Sultan Demak, pandita, mupti, satria, bupati dan para punggawa serentak menggeleng-gelengkan kepala tak ada yang sepatah kata pun juga.

Namun terdengar juga suara berisik memanjatkan puji, sesanti pada Ki Seh Malangsumirang, "Bukti dan nyata, apa yang diucapkan oleh Ki Seh Malangsumirang sungguh kejadian, suatu kenyataan yang tidak bisa dibantah" demikian suara mereka yang bengong menyaksikan keajaiban tadi

Sunan Derajad, Jeng Sunan Wali-agung, para Wali-sor-soran, pandita, mupti disalami oleh Ki Seh Malangsumirang, tak ketinggalan semuanya yang hadir pun mendapatkan gilirannya. Mereka merasa mendapat mupangatnya dari hikmah sang sinakti Seh malangsumirang.

Ki Seh Malangsumirang segera mendekat pada Sultan Demak, kertas yang telah ditulisi selama di dalam kobaran pancakadahana segera diterimakan kepada Jeng Sultan. Maksud Seh Malangsumirang, semoga wasiatnya yang telah dibukukan tadi dapat dijadikan "suluk". Selanjutnya dinamakan "suluk Malangsumirang", yang tak lain suatu ilmu yang merupakan penghayatan pangkal-tolak ilmu rasa.

Sultan Demak menerimanya dengan senang hati, kepada juru-baca Kasultanan diperintahkan untuk segera membacanya keras-keras dengan maksud supaya dapat didengar oleh kesemuanya yang hadir. Para hadirin dengan tekun mengikuti isi Suluk Malangsumirang tadi yang berbunyi:

 Malangsumirang yang tak tahu diri,
seorang yang dungu namun memaksakan diri membuat san-
jak (suluk), anak kecil yang tak tahu akan kebenaran (rarywa
nom diterjemahkan anak yang belum berpengalaman atau mu-
da dalam ilmunya, dapat dipersamakan dengan anak kecil)
 Menyebar-luaskan (memaparkan) ilmu yang salah (berba-
haya, berbisa atau dapat dianggap akan mengganggu ketenang-
an orang beragama) seorang yang amat pandir (bodoh, goblog,
dungu) yang tak tahu akan bahaya (kesulitan),
berkata seenaknya sendiri,
bercerita yang tidak ada kebenarannya (bohong),
bodoh dungu namun mengaku dirinya lebih pandai,
(itulah dia Malangsumirang) tak dapat diragukan.

bagaikan bulan purnama, hati tentram tenang pandangan matanya tajam mengarah ke depan. Sama sekali tak terasa takut di hatinya, dalam tingkah dan ulahnya tidak mencerminkan bahwasanya dia adalah terdakwa yang akan menerima hukuman mati (kisas), Ki Seh Malangsumirang tak ubahnya bagaikan pinang dibelah dua dengan Ki Sunyata Jatimurti atau Ki Seh Sitijenar, serupa benar dalam penampilan dan ketenangannya.

Tak lama perintah dikeluarkan Jeng Sunan Derajad kepada Jeng Sunan Kudus, bahwasanya hukuman kisas pada Ki Seh Malangsumirang hendaknya segera dilaksanakan. Jeng Sunan Kudus segera memberitahukan kepada pamandanya Seh Malangsumirang," Paman Malangsumirang, kesepakatan dan keputusan para Waliullah, para kukuma setanah Jawa, para dipati punggawa dan para satria, menetapkan padahari ini pamanda Ki Seh Malangsumirang dikarenakan terbukti sudah akan kesalahannya berbuat kegila-gilaan melanggar sarak agama Islam, dan berbuat kegaduhan sehingga masyarakat dan Negara Demak terancam keselamatannya lagi pula menyebar-luaskan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan kukumulah, sehingga terjadi keresahan yang meluas seantero Tanah Jawa, pamanda Ki Seh Malangsumirang menerima hukuman kisas. Untuk itu paman bersiaplah menerimanya", Ki Seh Malangsumirang dengan senyum khasnya tak ubahnya dengan Ki Seh Sitijenar berkata kepada Jeng Sunan Kudus, "Wahai anakku Sunan Kudus, perintahkan segera menghidupkan unggunan kayu-kayu itu, manakala nanti apinya telah berkobar-kobar pamanmu akan masuk ke dalamnya. Namun kumintakan padamu nanti kubutuhkan secarik kertas kalam dan tinta, akan kutuliskan wasiatku nantinya. Telah diterima kertas 2 koras (koras berarti jahitan, kemungkinan 2 jahitan kertas atau 2 buku isi kertas kosong), kalam beserta tintanya dan Jeng Sunan Kudus.

Kepada Patih Wanasalam segera diperintahkannya untuk segera mengapikan unggunan atau tumpukan kayu-kayu yang terletak di sebelah utaranya dari pohon beringin-sengkeran Sultan Demak. (Lazimnya setiap alun-alun utara maupun alunalun selatan milik raja tentu dipelihara sepasang pohon beringin yang dikeramatkan, dan merupakan milik raja yang bertakhta sebagai kelengkapan kebesarannya, arti sengkeran-dikurung. Dan kebiasaannya pohon-pohon beringin tadi dikurungi dengan pagar).

Patih Wanasalam segera memulai menyiramkan minyak untuk menghidupkan unggukan-unggukan kayu, tak lama tumpukan-tumpukan kayu telah berubah menjadi api-unggun. Kobaran apinya menjadi-jadi, seakan-akan menjilat-jilat ke angkasa, suara kayu-kayu yang terbakar menderu mengaum bagaikan raungan singa yang kelaparan. Semua yang menyaksikan berdiri bulu-romanya, hati tercekam karena sangat menakutkan kobaran api yang telah menggunung itu. Segera Ki Seh Malangsumirang berdiri, berjalan dengan langkah yang mantap menuju panggungan-pancaka, tak ketinggalan anjingnya turut serta mengikuti Ki Seh Malangsumirang.

Setelah mengucapkan salam kepada para hadirin yang berada di sekitar panggungan-pancaka tadi, naiklah Ki Seh Malangsumirang dengan anjingnya kepanggungan-pancaka. Di atas sudah Ki Seh Malangsumirang bersama anjingnya, segera perlahan-lahan menuruni panggungan-pancaka masuk ke dalam apiunggun yang berkobar-kobar di tengah-tengah alun-alun Demak. Di tengah-tengah api unggun, tampak Ki Seh Malangsumirang dengan tenangnya duduk bersila. Anjing kesayangannya duduk pula di hadapannya, seakan-akan siap menerima perintah dari Ki Seh Malangsumirang. Apa yang tampak oleh para hadirin, suatu pemandangan yang menakjubkan. Badan Ki Seh Malangsumirang tiada mempan termakan api, utuh bagaikan tak kena apa-apa. Demikian pula anjingnya, seakan-akan tak ada api di sekelilingnya.

Ki Seh Malangsumirang segera memerintahkan anjingnya, untuk segera mengambil kertas kalam dan tinta yang ditinggalkan Ki Seh Malangsumirang di tempat duduknya semula. Anjing yang telah memanusia tadi segera mengerti akan perintah Ki Seh Malangsumirang, segera naik ke atas menuruni panggung-pancaka laju mengambil kertas kalam dan tinta yang sengaja ditinggalkan Ki Seh Malangsumirang. sebaiknya paman menjauhkan diri saja dan mencampuri urus- an Negari, jangan pula paman Seh Malangsumirang berbuat se- suatu yang mencurigakan (mengundang rasa curiga), sebab tidak mustahil kalau diterus-teruskan perbuatan pamanda, sama halnya dengan melepas tali ikatan yang erat, menjarangkan pagar membubarkan barisan, merobohkan bendera.

Pamanda Seh Malangsumirang kami persilakan memilih, pilihlah tempat untuk padepokan paman yang pantas untuk ditempati, kami inginkan pulakelak menjadi pepunden, sebab sudah menjadi kewajibannya para prayagung, memelihara memperindah melengkapi asrama-asrama, bagi praja hendaknya dapat dijadikan "jimat" (banyak rahmatnya), rahmatnya tersebar meluas di antero bumi, kesemuanya akan turut serta merasakannya.”

Ki Seh Malangsumirang menjawab ajakan-ajakan saran-saran Jeng Sunan Kudus atas nama Jeng Sunan Derajad, "Wahai anak- ku Jeng Sunan Kudus, aku sangat senang mendengar ajakan ananda Jeng Sunan Kudus itu, tak jauh dari sini ada hutan belantara, sebuah tempat yang masih gawat bernama Kalampisan, jauh dari keramaian lagi pula tak pernah manusia menjamahnya, kuinginkan aku berdiam di situ, cukuplah sudah bagiku sebuah "gubug rerompokan” saja (gubug sebuah bangunan biasanya terdiri dari atap daun-daunan tiang-tiangnya dari kayu-kayuan yang menyerupai rumah, namun sekedar untuk berteduh saja), tak kuinginkan kaku berdiam dalam sebuah bangunan (rumah, asrama) yang baik, yang kuinginkan hanya sekedar untuk tempat bernaung saja.”

Jeng Susunan Drajad, Sultan Demak, para Wali-agung, Wali- sor-soran, pendeta, mupti, kukuma, kesatria, mantri, punggawa dipati semua yang hadir, memuji keagungan dan kebesaran jiwa Ki seh Malangsumirang dengan segala kesederhanaannya. Bubarlah sudah pertemuan pada hari itu, semuanya kembali ke tempatnya masing-masing,

Ki Seh Malangsumirang berdiri dan berpamitan segera laju menuju ke tempai pemukimannya yang baru, di hutan belantara yang gawat dan buas, di Kalampisan nama tempatnya. Beralih cerita dari Negara demak, Jeng Kyai Pengging yang akan didongengkan, pada waktu itu Kyai Ageng Pengging sedang dirundung malang, hatinya susah bukan kepalang, tak ada yang dikerjakannya kecuali berdoa dan bersemadi, mengurangi makan dan tidur, kepada Tuhan Yang Mahaesa selalu dipanjatkan doa-doa.

Adapun yang menjadikan kesedihan Kyai Ageng Pengging, tiada berputra yang panjang usianya, konon dahulu putranya empat, ada lelaki adapula yang perempuan, kesemuanya mati manakala masih muda, itulah yang menjadi sebab Kyai ageng Kebokenanga sangat susah, cita-citanya menginginkan anak lelaki, yang berumur panjang.

Rupawan lagi pula tahu akan segala ilmu, dan jadilah pula Pangeraning kulawarga (pangeran diartikan tempat pemberentian, atau tempat bernaung, berlindung tegasnya yang akan merupakan tuntunan tauladan bagi keturunan keturunannya kemudian) dan diharapkan pula anak itu dapat melangsungkan keturunan Kyai Ageng Kebokenanga, pada suatu h a r i jatuh malam Jumat, manakala Kyai Ageng Kebokenanga sedang tekun dalam semadinya, waktu itu menunjukkan jam 3 pagi, rasa kantuk sangat mengganggunya. Keadaan Kyai Ageng Pengging antara tidur dan berjaga, duduk bersemedi di tempat pemujaannya, tak lama antaranya, terdengar suara memanggil-manggil, ada suara namun tak tampak rupa, (saking aib suara dumeling) "Wahai, Ki Kebokenanga. Apa kehendakmu, Tuhan mengabulkannya. Kyai Ageng akan mempunyai anak lelaki yang panjang umurnya.

Lagipula rupawan, cahya raut mukanya memancar terang bagaikan sinar matahari di kala "mangsa katri" (pranata mangsa Jawa menyebutkan inangsa-katri (ketiga, katelu) jatuh pada bulan dan tanggal antara 25/26 Agustus sampai 18 September) sakti lagi pula bijaksana berbudi luhur, mula kecil anak itu nantinya sudah teguh imannya, perwira perkasa dan sakti, terkenal nantinya alean keperwiraannya, bijaksana lagipula amat sopan-santun (berbudi- luhur), namun keberaniannya luar biasa. Sanggup jadi bebanten dari segala kesulitan (sanggup mengatasi segala kesulitan-kesulitan) selalu unggul dalam peperangan, kelak akan menjadi Ratu diTanah Jawa, dia pula besok yang dikehendaki oleh Hyang Suksma untuk menguasai bumi seluruh Jawa, dia Ratu Agung akan menjadi anakmu, Raja dari Negara Pajang, namun bukan kerajaanmu Pajang - Pengging ini.

Yang akan menjadi negara besuk (Pajang) tempatnya di hutan di sebelah timur itu, besok pula hutan itu akan dibabati, di situ akan berdiri Keraton Pajang, beliau akan terus-menerus menjadi raja, namun Kyai tidak akan mengalaminya, (menyaksikannya) sebab besok Kyai Ageng akan muksa, itupun dikarenakan keinginan Kyai Ageng sendiri, dikarenakan tidak menginginkan lagi untuk melihat duunia ini.

Tiada tahan Kyai Ageng melihat (menyaksikan) kebatilan-kebatilan dari ulah manusia, kau paksakan dirimu pulang ke keraton-baka (akherat), besok kalau sudah masanya kau akan kembali ke alam baka, jalannya pun tersedia (sebabnya, alasannya ada) bagimu, untuk muksa kembali ke alam suci, ingatlah Kebokenanga akan kata-kataku itu, pasti terjadi pada dirimu sebab itu sudah menjadi kehendak Suksma,"

Kyai Ageng Pengging tertegun, bertanya-tanya dalam hatinya, bangun dari keadaan antara tidur dan berjaga, dalam hati tiada lain selalu bertanya-tanya.

XXV.
 Lagu Asmaradana, 23 bait.
 Baris 1 dari bait ke-1, dan baris 1 dan akhir, dari  bait ke-23.
 Baris 1 dari bait ke-1;
 Wauta Kyai Geng Pengging,
 Baris 1 dan akhir, dari bait ke-23;
 Datan kawarna ing margi,
 rumangsa budi nom-noman.

Terjemahan Diingat-ingat apa kata suara tadi, dalam hati selalu bertanya-tanya, tertegun tiada lain yang dalam benaknya hanya memanjatkan doa puji syukur, ke hadapan Tuhan Yang Mahaesa atas rohmatnya, yang telah dilimpahkan kepada Kyai Ageng Pengging Kebokenanga.

Keesokan harinya Kyai Ageng Pengging bersolat, sehabis beribadah Subuh Kyai Ageng segera duduk di sanggar pamelengannya (tempat bersemadi), tiada henti-hentinya memuji syukur berdoa atas rohmat Hyang Suksma, keinginannya akan terkabul.

Tiada lama istri Kyai Ageng Pengging mengandung sudah 4 bulan, kembali cerita Kerajaan Demak (Bintara), keadaan aman tentram penuh kesejahteraan.

Sultan Bintara tak henti-hentinya selalu merenung, akan sikap kakaknya Kyai Ageng Pengging Kebokenanga, tak akan seba ke Demak manakala kesusahan hatinya belum pulih, ditinggal saudara tua yang bernama Kyai Ageng Kebokanigara, gurunya pun wafat yang bernama Ki Seh Sunyata Jatimurti, tekadnya bulat lebih baik mati kalau dipaksa untuk seba ke Demak.

Keadaan Keraton Demak pada waktu Pemerintahan Sultan Bintara pertama, aman tentram dan sejahtera, rakyat menikmati keadilan dan kemakmurannya, aneka hasil bumi melimpah ruah memenuhi, konon pada suatu ketika Sang Prabu Bintara, berkenan mengadakan paseban (siniwaka).

Bertempat di bangsal pangrawit istana Demak, Sultan Bintara berkenan memanggil sang patih, dan para ulama semua, Ki Ageng Wanalapa berada di depan raja, beserta Pangeran Kudus dan, Ki Ageng Sidik - iman.

Berkatalah Sultan Bintara kepada Patih Kartanagara, "Patih Kartanagara, bagaimana berita yang terakhir dari kakanda Kyai Ageng Pengging Kebokenanga, coba laporkan", Yang Mulya Sultan Bintara, akan halnya berita Kyai Ageng Pengging, terkenal sudah ke segala penjuru Tanah Jawa, di Pengging banyak santrinya.

Demikianpula sepanjang yang kami dengar, sebabnya kakanda Kyai Ageng Pengging Kebokenanga, keberatan untuk seba (menghadap) ke keraton Demak, memang itulah sudah menjadi keinginannya kalau tidak mana mungkin lama sudah Sultan Bintara memanggilnya, namun tak muncul juga untuk seba ke hadapan Sultan Demak."

Pangeran Kudus menyambung laporan Patih Kartanagara, "Sultan Demak, perkenankanlah kami mengusulkan, sebaiknya Yang Mulya Sultan Bintara mengutus (mengirimkan) "duta lagi ke Pengging, untuk sekali lagi meyakinkan diri benar tidaknya kehendak Kyai Ageng Pengging yang tidak sudi seba ke Demak itu", berkatalah Sang Prabu Bintara kepada punggawanya.

"Kalian berdua mantri, pergilah ke Pengging. Pesanku kepadamu, berhati-hatilah jangan sampai diketahui maksudku yang sebenarnya. Coba selidiki apakah benar tekad Kyai Ageng Pengging tidak sudi menghadap ke Demak", kedua mantri-duta segera memohon pamit.

Kedua mantri-duta sampailah sudah di Pengging, dan segera akan menghadap ke Kyai Ageng Kebokenanga. Lurah parekan menemuinya, dan segera menghadap Kyai Ageng melapor bahwasanya utusan Demak datang mohon diperkenankan menghadap. Kyai Ageng Pengging segera memerintahkan kepada lurah parekan untuk mempersilakan kedua mantri-duta dari Keraton Demak.

Kedua mantri-duta dengan diantar lurah-parekan segera raenuju kemadyasana, Kyai Ageng Pengging segra menjemputnya dan dipersilakan mereka duduk. Segera duta matur kepada Kyai Ageng Pengging, "Kyai Ageng, Sultan Bintara menghendaki Kyai Ageng untuk datang menghadap ke Demak. Kami juga diperintahkan untuk bersama-sama Kyai Ageng pergi hari ini juga ke Demak", dijawabnya oleh Kyai Ageng Pengging, "Baiklah Duta Demak, saya silakan kalian mengaso terlebih dahulu, nanti kita bicarakan sebaik-baiknya". Tamu-tamu segera dilayani makan,minum secukupnya.

Berkatalah Kyai Ageng Pengging kepada mantri-duta, "Para mantri-duta, telah kumengerti maksud timbalan Kangjeng Sultan Bintara kepadaku tadi. Namun, sekarang ini aku tidak bisa memenuhinya untuk menghadap ke Demak. Untuk ini saya mohon maaf sebesar-besarnya", gandek (utusan raja) menyelanya," Kyai Ageng, apakah sebabnya Kyai tidak mau menghadap ke Demak?" "Gandek, tak ada sebabnya padaku. Aturkanlah pada srinarendra, aku tidak bisa menghadap," agaknya kedua gandek tadi merasa diremehkan oleh Kyai Ageng Pengging, terlonta: kata-katanya agak keras. "Apakah itu sudah menjadi tekad dan ketetapan Kyai Ageng untuk tidak mau menghadap ke Sultan Bintara?'.

Kyai Ageng Pengging menjawabnya, "Hai, gandek. Kau ini duta, jangan pula bertingkah seperti anak kecil", kedua utusan menjawab, "Maafkan. Kyai, kalau memang demikian kehendak Kyai, aku hanya menyerah saja. Perkenankanlah kami berdua sekarang juga mohon pamit, kembali ke Demak", Kyai Ageng mengizinkan kedua gandek, berlakulah mereka dari Pengging menuju ke Keraton Demak. Sebelum pergi masih juga Kyai Ageng Pengging sempat memesan kepada kedua gandek tadi," Jangan sampai lupa, sampaikan kepada Sultan Bintara apa yang menjadi jawabanku tadi."

Sultan Bintara telah menerima laporan kedua utusannya, bahwasanya Kyai Ageng Pengging tak mau seba ke Demak. Tiada lain yang terpikir dalam benaknya, kecuali mengira-ngira kalau demikian kakang Kebokenanga mempunyai maksud tidak baik terhadap kekuasaan Demak, terbukti berkali-kali kuminta datang tak mau juga.

XXVI.
 Lagu Sinom, 20 bait.
 Baris 1 bait ke-1, dan baris 1 dan akhir, dari bait ke-20.
 Baris 1 dari bait ke-1;
 Wus mundur caraka Demak,
 Baris 1 dan akhir dari bait ke-20;
 Datan kawarna ing marga,
 aturana jujug sanggar palanggatan.

Terjemahan Konon kakak dari Kyai Ageng Pengging, ialah Kyai Ageng Tingkir telah mendengar kabar bahwasanya Sultan Bintara berkali-kali utusan ke Pengging untuk memanggil adiknya seba ke Demak. Namun berulang kali utusan datang, tetap jawaban Kyai Ageng Pengging tak mau seba ke Demak,

Hari itu juga Kyai Ageng Tingkir memutuskan untuk pergi menemui adiknya Kyai Ageng Pengging.

Bertemulah sudah Kyai Ageng Tingkir dan adiknya ialah Kyai Ageng Kebokenanga, dan setelah dipersilakan duduk Kyai Ageng Tingkir segera memulai pertanyaannya, "Adinda Kyai ageng Pengging, bukankah yayi (dinda) dipanggil untuk menghadap Sultan Bintara di Demak? Mengapa pula adinda tak mau seba, apakah sebabnya?" Kyai Ageng Pengging dengan lemah lembut menjawab pertanyaan kakaknya Kyai Ageng Tingkir, "Kakanda Kyai Ageng Tingkir, apa gunanya dinda ini orang desa. Mengapa pula Sultan Bintara memanggilku, apa pula gunanya aku ini bagi seorang Sultan? "Kyai Ageng Tingkir menyapanya, "Adinda Kyai Ageng Kebokenanga, mengapa pula dinda enggan untuk memenuhi dawuh timbalan Sultan Bintara itu? Bagaimana pula nanti jadinya, tidakkah dinda mengakui bahwa Pengging dan Tingkir itu termasuk di bawah kekuasaan Demak? Setidak-tidaknya tanah-tanah Pengging yang kau diami ini bukankah pula termasuk kekuasaan Demak? Bahkan Ratu Demak itu menguasai seluruh Tanah Jawa, bukankah demikian kenyataannya?"

Kyai Ageng Pengging menanggapinya dengan kata-kata yang lembut dan sareh, "Kanda Kyai Ageng Tingkir, segala bumi ini tak ada lain yang memiliki dan menguasai kecuali Allah. Maksudnya apa memanggil orang dusun seperti dinda ini", selanjutnya masih juga Kyai Ageng Tingkir mengejar dengan pertanyaan-pertanyaannya. "Dinda Kyai Ageng Pengging, janganlah kau hanya bersikeras saja. Coba bayangkan akan segala kemungkinan yang akan terjadi padamu, waspadalah akan bahaya yang akan mengancam akan keselamatan dinda.

Dinda, sesungguhnya bagaikan kelenting tempat masin (sejenis asinan ikan) dinda itu, bagaimana pula masih juga terasa (tercium) akan baunya, tidak akan hilang. Dinda Kyai Ageng Kebokenanga adalah cucu dari Raja Agung Majapahit Prabu Brawijaya, lagipula dinda putra seorang prajurit perkasa, perwira, tangguh apalagi sakti. Tidak mustahil ayahanda diambii menantu oleh Prabu Brawijaya. Dirimu itu, bagaikan bau yang belum juga hilang, andaikan bunga belum juga layu. ke Pengging Kyai Ageng Wanalapa telah datang untuk melapor. Segera Kyai Ageng Wanalapa maju ke depan, dan di hadapan Sultan Bintara menghaturkan sembah untuk kemudian melapor perihal hasil-hasilnya diutus ke Pengging untuk menanyai Kyai Ageng Kebokenanga.

"Perkenankanlah saya melapor ke hadapan Sultan Bintara, tugas saya sebagai utusan Jeng Sultan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan "gagal" tidak berhasil.

Tidak ada salah satu yang dipilihnya, namun tidak menolak pula kedua-duanya. Kyai Ageng Pengging tak punya keinginan apa-apa, keinginannya hanya satu ingin berdiam diri di Pengging saja. Untuk itu, semoga Jeng Sultan Bintara menerimanya, dan kami mohon maaf sebesar-besarnya atas gagalnya kehendak sribupati".

"Kuduga kanda Kyai Ageng Pengging tidak berbuat wajar, tata kelahirannya bermurah hati bermanis-manis namun jauh dalam lubuk hatinya ada sesuatu yang disembunyikan. Tentu, mempunyai rencana terhadap Kasultanan Demak", demikian gumam sribupati Demak Sultan Bintara. Kepada Jeng Sunan Kudus Sultan Bintara berkata, "Dinda Jeng Sunan Kudus, pergilah sekarang juga ke Penging. Bawalah wadya andalan sebanyak yang diperlukan, tugas kanda hanya satu. Jika terbukti kanda Kyai Ageng Pengging mempunyai maksud-maksud tertentu, paling tidak ada tanda-tanda akan berbuat merongrong kewibawaan Kasultanan Demak jangan ragu-ragu yayi kenailah aturan-aturan sesuai dengan hukum dalil dan kadis", Jeng Pangeran Kudus sendika seraya menghaturkan sembah bermohon diri untuk segera berangkat ke Pengging. Sang Prabu Demak kembali ke kedaton, para Wali-agung, pandita, niyaka, pramea kembali ke tempatnya masing-masing.

Tujuh orang andalan Demak yang kesemuanya menyaru sebagai santri menerima perintah dari Jeng Pangeran Kudus, beliau pun berbusana selayaknya seorang santri dusun. Tak lupa pusaka wasiat Kudus dibawanya, sebuah bende (semacam gong) bernama Kyai Macan konon istri Jeng Sunan Kudus yang membawanya. Sebuah pusaka wasiat yang berasal dari Adipati Terung, yang amat bertuah sarana untuk maju ke medan-laga.

Tujuh perwira andalan Demak berjalan beriringan, Kyai Macan dibawanya dipikul oleh para santri tadi laju menuju ke Pengging. Sampailah mereka ke batas pinggiran Nagara Pengging, ada sebuah dusun agak jauh mempunyai sebuah pohon Beringin yang besar tumbuh di tegal (ladang). Berhentilah Jeng Pangeran Kudus beserta ketujuh sahabatnya, mengaso di bawah pohon mandera (beringin) besar lagi rindang.

Selagi mereka mengaso di bawah pohon beringin yang rindang tadi, datanglah bekel desa mendekati Jeng Sunan Kudus. Bertanyalah Ki Soma, "Ki sanak, kami ucapkan selamat kedatang an kalian di sini. Bolehkah kami bertanya, siapa ki sanak ini dari mana dan mau ke mana?" Jeng Sunan Kudus menjawabnya, "Kyai Soma, saya bernama Amad Sapanyana seorang santri dari Kudus. Kami hendak mencari saudara tua kami di Pengging."

"Apakah kiranya kami dapat mengundang ki sanak untuk mampir (singgah di gubug kami, kami persilakan menikmati dawegan (kelapa muda) sekedar untuk penyangga haus dan sekedar makanan untuk penyangga lapar. Namun kuminta maaf jika sekiranya nanti kurang tata dalam kami menerimanya, maklum ki sanak orang dusun.

"Kyai Soma, terima kasih kuucapkan atas budi baikmu. Kuusulkan baiklah sahabatku ketujuh orang yang dahaga, berilah mereka dawegan". Kyai bekel desa segera pulang ke rumah mengambil dawegan, kembali dijinjingnya beberapa buah di tangan kiri dan kanannya.

Diaturkannya dawegan dawegan yang dibawanya kepada Amad Sapanyana, dan ucapan terimakasih diterimanya pula dari Jeng Sunan Kudus (Amad sapanyana). Dawegan segera diminum oleh Jeng Sunan Kudus, demikian pula para sakabat Sunan tak ketinggalan turut serta meminum dawegan pemberian bekel desa Ki Soma tadi.

"Paman bekel desa Ki Soma, jalan mana yang harus kutempuh pergi ke Pengging itu?", dijawabnya jalan menuju Pengging dari dukuh Ki Soma mengarah ke barat-daya. Tak berapa katalah Kyai Ageng Tingkir kepada Kyai Ageng Pengging, "Dinda, anakmu yang baru dilahirkan itu kuberi nama Mas Karebet. Sebab kebetulan pada waktu lahirnya, dinda sedang menyelenggarakan tontonan "wayang-beber". Kyai Ageng Pengging menjawabnya, "Kakanda Kyai Ageng Tingkir, terimakasih dinda ucapkan. Semoga pemberian nama dari kakanda Kyai Ageng Tingkir membawa hikmat dan rahmat, dijauhkan dari penyakit. Dinda hanya mempunyai kewajiban ngemong (menjadi wadah sarana akan dilahirkannya si bayi itu) bayi ini, kanda Kyai Ageng Tingkirlah yang berputra. Semoga dipanjangkan umurnya, mudah-mudahan rohmat Tuhan selalu terlimpah padanya".

Tiga hari lamanya Kyai Ageng Tingkir menjadi tamu di Pengging, ganti Kerajaan Demak yang akan diceritakan. Srinarapati Sultan Demak pada suatu ketika berkenan mengumpulkan para ulama, para wajir (vizier, ah hof vd sultan; atau wazir, perdana menteri. Diterjemahkan pembesar-pembesar dilingkungan Kasultanan Demak), patih, dan Jeng Pangeran Kudus, beserta Ki Ageng Wanapala.

Berkatalah Sultan Demak kepada para hadirin, "Wahai kalian para wazir, para ulama agung, hendaknya kalian ketahui bahwasanya kakanda Kyai Ageng Pengging Kebokanigara nyata sekarang ini menentang pemerintahan yang syah di Demak. Itu berarti suatu tantangan bagiku, sebagai Sultan yang menyelenggarakan tertibnya pemerintahan dan yang menguasai seluruh bumi Tanah Jawa beserta semua yang termasuk di dalamnya.

Kakang Wanalapa, anda saya tugaskan untuk menemui kangmas Kyai Ageng Pengging. Tugas yang anda jalankan menanyakan kepada kangmas Kyai Ageng Kebokenanga, mana yang akan dipilih dari dua pertanyaan yang kuajukan. Pilih salah satu, kangmas kyai Ageng Kebokenanga memilih yang di dalam, atau memilih yang di luar (milih siji ing jaba lan jeronira)". Ki Wanalapa menyanggupkan diri diutus sebagai duta Sultan ke Pengging, dan melapor, "Jeng Sultan, segala perintah telah kami terima. Sebagai duta, tak ada lain tugas kami hanya men jalankan perintah atas nama Sultan". "Baik kakang Wanalapa, keijakan dengan segera dan berangkatlah", seru Sultan Demak kepada Kyai Ageng Wanalapa. Berpamitanlah Kyai Ageng Wanalapa di hadapan Sultan dan Sunan Kudus, laju berangkat menuju ke Pengging.

Kyai Ageng Wanalapa menyaru sebagai seorang santri, berangkat menuju Pengging. Sampailah sudah Kyai Ageng Wanalapa di kapenggingan, pada yang bertugas menyampaikan pesan ingin bertemu dengan Kyai Ageng Pengging, Pamongan santri Pengging melapor kepada Kyai Ageng Kebokenanga, bahwasanya ada utusan Demak seorang santri bernama Kyai Ageng Wanalapa. Kepada santri pamongan diperintahkan untuk segera mempersilakan Kyai Ageng Wanalapa menuju ke sanggar palanggatan (tempat menjalankan ibadah).

XXVIII. Lagu Asmaradana, 11 bait.
  Baris 1 dari bait ke-1, dan baris 1, akhir dari bait ke-11.
  Baris 1 dari bait ke-1;
  Tandya ingaturan nuli,
  Baris 1 dan akhir dari bait ke-11;
  Matura sribupati,
  yen milih tuwin ngungkurna.

Terjemahan

Masuklah Kyai Ageng Wanalapa ke sanggar palanggatan, kepada Kyai Ageng Pengging yang telah menanti di ambang pintu segera diucapkan salam. Kyai Ageng Pengging membalas mengucapkan salam kepada Kyai Ageng Wanalapa, kedua-duanya duduk dengan tenangnya di sanggar palanggatan sambil berjabatan tangan.

"Kyai Ageng Wanalapa kuucapkan selamat atas kedatangan Kyai di Pengging ini", seru Kyai Ageng Pengging kepada Kyai Ageng Wanalapa. "Kyai Ageng Pengging, saya mengucapkan terima kasih. Dan teriring salam sejahtera pada Kyai Ageng dan seluruh warga Pengging semuanya", demikian balas Kyai Ageng Wanalapa. "Dinda Kyai Ageng Wanalapa, tugas apa yang dibebankan pada dinda untuk datang menemui kadang Pengging ini?" Kyai Ageng Wanalapa menerangkannya, "Jeng Sultan Demak mengutus dinda untuk menyampaikan kepada kanda Kyai Ageng Pengging, memilih salah satu dari dua pertanyaannya. Permohonan dinda, sudilah kanda Kyai Ageng Pengging memilihnya dengan tegas dan nyata.

Kelewat (lebih) ada dari ada, dan yang kosong kelewat (lebih) kosong. Tidur sekali, namun berjaga sepanjang masa. Tidur tiap malam, dan berjaga tiap harinya. Sekali makan kenyang salamanya hayat dikandung badan, atau makan tiap sore namun masih juga merasa lapar tiap harinya.

Silakan kanda Kyai Ageng Pengging memilihnya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Srinarapati Demak itu.

Dinda ketahuilah, jika dinda milih "yang ada" dan menghendaki makan setiap harinya ambillah Negara Demak selagi Sultan Bintara masih memegang kekuasaannya", Kyai Ageng Pengging menanggapinya, "Dinda Kyai Ageng Wanalapa, apa pula yang dikhawatirkan Sultan Bintara itu. Coba lihat dinda, di Pengging ini ada apanya? Terheran-heran kanda dibuatnya akan pertanyaan Srinarendra Demak itu, mengapa pula segala pertanyaan tadi agaknya bermuka dua. Setidak-tidaknya penuh dengan kecurigaan terhadap Pengging, Kyai menurut hematku bukankah seorang ratu itu menjadi kalifah Tuhan. Bukankah seorang ratu itu, manusia yang sesempurna-sempurnanya (paling sempurna)? Dinda bagiku tak ada pilihan, dan aku tidak memilih. Atau, aku menghendaki kedua-duanya. Kalaupun aku memilih salah satu di antaranya, tiada guna bagiku. Adi Kyai Ageng Wanalapa, baiklah aturkan pada Sultán Bintara, bahwasanya Kyai Ageng Pengging tidak memilih".

Kyai Ageng Wanalapa menyaurinya, "Kanda, jawaban kanda tidak meyakinkan bagiku. Nyatanya dinda tidak memilih salah satu, atau mau menerima kedua-duanya. Kalau demikian gagallah tugas dinda, tiada gunanya diutus menjadi duta srinarendra Demak. Bagaimana nanti jadinya," Kyai Ageng Wanalapa segera minta pamit dan menyalami Kyai Ageng Pengging. "Adi kyai Ageng Wanalapa, pesanku padamu tolong sampaikan pada Sribupati Demak.

Bahwasanya akan halnya pertanyaan-pertanyaan Sribupati Demak tadi kepadaku, aku tak ada pilihan kedua-duanya. Terserah kepada Sultan Bintara yang akan menanggapi jawabanku itu, sebab kedua-duanyapun aku mau. Bagiku memilih itu suatu pantangan, tiada guna bagiku hidup sebagai manusia di dunia ini kalaupun aku sampai memilih satu di antaranya. Sebab manusia itu tak berhak memilih, ataupun menolak", demikian Kyai Ageng Wanalapa menerima pesan akhir dari Kyai Ageng Pengging segera laju kembali menuju ke Demak

XXVIII Lagu Pangkur, 34 bait.
  Baris 1 dari bait ke-1, dan baris 1 dan akhir dari bait ke-34
  Baris 1 dari bait ke-1;
  Tan cinatur lampahira,
  Baris 1 dan akhir dari bait ke-34;
  Salah Subuh jeng pangeran,
  ing Pengging srengkarang galih.

Terjemahan

Sampailah sudah Ki Gede Wanalapa di kasultanan Demak, dan segera melapor pada Sultan Bintara. Waktu itu di keraton Demak lengkap yang hadir, para Wali-agung para nayaka, pandita. Tak ketinggalan para satria Demak turut menghadap di paseban waktu itu. Kangjeng Sultan duduk di dampar (singgasana) yang beralaskan babud beledu yang sangat indah, belakang raja para ampilan yang membawa alat-alat kebesaran Kasultanan Demak. Banyak, dalang, ardawalika, kacu-mas berjajar rapi diampil oleh para parekan Demak, suatu pemandangan yang lebih mempesona kelihatannya.

Di depan menghadap raja Jeng Sunan Kudus, di belakangnya para Wali-agung, menyebelah kanan-kiri para pandita. Bersabdalah Sultan Bintara kepada segenap hadirin", Para hadirin, saudara-saudaraku semuanya, Jeng Sunan Kudus yang saya hormati. Bagaimana hasil utusanku kyai Ageng Wanalapa ke Pengging, saya minta dilaporkan jawaban-jawaban Kyai Ageng Pengging itu", Jeng Sunan Kudus matur bahwasanya utusan ke Pengging Kyai Ageng Wanalapa telah datang untuk melapor. Segera Kyai Ageng Wanalapa maju ke depan, dan di hadapan Sultan Bintara menghaturkan sembah untuk kemudian melapor perihal hasil-hasilnya diutus ke Pengging untuk menanyai Kyai Ageng Kebokenanga.

"Perkenankanlah saya melapor ke hadapan Sultan Bintara, tugas saya sebagai utusan Jeng Sultan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan "gagal" tidak berhasil.

Tidak ada salah satu yang dipilihnya, namun tidak menolak pula kedua-duanya. Kyai Ageng Pengging tak punya keinginan apa-apa, keinginannya hanya satu ingin berdiam diri di Pengging saja. Untuk itu, semoga Jeng Sultan Bintara menerimanya, dan kami mohon maaf sebesar-besarnya atas gagalnya kehendak sribupati".

"Kuduga kanda Kyai Ageng Pengging tidak berbuat wajar, tata kelahirannya bermurah hati bermanis-manis namun jauh dalam lubuk hatinya ada sesuatu yang disembunyikan. Tentu, mempunyai rencana terhadap Kasultanan Demak", demikian gumam sribupati Demak Sultan Bintara. Kepada Jeng Sunan Kudus Sultan Bintara berkata, "Dinda Jeng Sunan Kudus, pergilah sekarang juga ke Penging. Bawalah wadya andalan sebanyak yang diperlukan, tugas kanda hanya satu. Jika terbukti kanda Kyai Ageng Pengging mempunyai maksud-maksud tertentu, paling tidak ada tanda-tanda akan berbuat merongrong kewibawaan Kasultanan Demak jangan ragu-ragu yayi kenailah aturan-aturan sesuai dengan hukum dalil dan kadis", Jeng Pangeran Kudus sendika seraya menghaturkan sembah bermohon diri untuk segera berangkat ke Pengging. Sang Prabu Demak kembali ke kedaton, para Wali-agung, pandita, niyaka, pramea kembali ke tempatnya masing-masing

Tujuh orang andalan Demak yang kesemuanya menyaru sebagai santri menerima perintah dari Jeng Pangeran Kudus, beliau pun berbusana selayaknya seorang santri dusun. Tak lupa pusaka wasiat Kudus dibawanya, sebuah bende (semacam gong) bernama Kyai Macan konon istri Jeng Sunan Kudus yang membawanya. Sebuah pusaka wasiat yang berasal dari Adipati Terung, yang amat bertuah sarana untuk maju ke medan-laga.

Tujuh perwira andalan Demak berjalan beriringan, Kyai Macan dibawanya dipikul oleh para santri tadi laju menuju ke Pengging. Sampailah mereka ke batas pinggiran Nagara Pengging, ada sebuah dusun agak jauh mempunyai sebuah pohon Beringin yang besar tumbuh di tegal (ladang). Berhentilah Jeng Pangeran Kudus beserta ketujuh sahabatnya, mengaso di bawah pohon mandera (beringin) besar lagi rindang.

Selagi mereka mengaso di bawah pohon beringin yang rindang tadi, datanglah bekel desa mendekati Jeng Sunan Kudus. Bertanyalah Ki Soma, "Ki sanak, kami ucapkan selamat kedatang an kalian di sini. Bolehkah kami bertanya, siapa ki sanak ini dari mana dan mau ke mana?" Jeng Sunan Kudus menjawabnya, "Kyai Soma, saya bernama Amad Sapanyana seorang santri dari Kudus. Kami hendak mencari saudara tua kami di Pengging."

"Apakah kiranya kami dapat mengundang ki sanak untuk mampir (singgah di gubug kami, kami persilakan menikmati dawegan (kelapa muda) sekedar untuk penyangga haus dan sekedar makanan untuk penyangga lapar. Namun kuminta maaf jika sekiranya nanti kurang tata dalam kami menerimanya, maklum ki sanak orang dusun.

"Kyai Soma, terima kasih kuucapkan atas budi baikmu. Kuusulkan baiklah sahabatku ketujuh orang yang dahaga, berilah mereka dawegan". Kyai bekel desa segera pulang ke rumah mengambil dawegan, kembali dijhijingnya beberapa buah di tangan kiri dan kanannya.

Diaturkannya dawegan dawegan yang dibawanya kepada Amad Sapanyana, dan ucapan terimakasih diterimanya pula dari Jeng Sunan Kudus (Amad sapanyana). Dawegan segera diminum oleh Jeng Sunan Kudus, demikian pula para sakabat Sunan tak ketinggalan turut serta meminum dawegan pemberian bekel desa Ki Soma tadi.

"Paman bekel desa Ki Soma, jalan mana yang harus kutempuh pergi ke Pengging itu?", dijawabnya jalan menuju Pengging dari dukuh Ki Soma mengarah ke barat-daya. Tak berapa lama berkumpul pula orang-orang desa di sekitarnya, mereka mengerumuni Jeng Sunan Kudus beserta para sahabat-sahabatnya.

Mereka berkerumun berkeliling mengelilingi suatu benda yang terbungkus. rapi, setengah orang menanyakan apakah gerangan barang yang terbungkus itu. Ada yang mengatakan, itu "panjang-piring". Ada pula yang mengatakan cowek, lempar, cuwo dan layah. Lain lagi ada yang mengiranya terbang yang dibungkus, ada orang lain yang menyanggahnya bukan terbang. Para gembala di sekitar desa tadi banyak pula yang berdatangan, mereka pun melihat-lihat sesuatu yang terbungkus tadi. Agaknya tingkah-laku anak-anak tadi bagi Pak Soma kurang pantas, sedikit marah mereka dikata-katainya. Jeng Sunan Kudus menyela kemarahan ki Soma "Kyai, biarkanlah saja anak-anak itu Bagaimanapun juga mereka itu masih bocah, dia tidak akan berbuat apa-apa. Kyai, ingin aku menamakan tempat ini. Kulihat banyak sekali tampak penduduk desa laki perempuan berdatangan, bagaimana kyai kalau kuberi nama "Samakatingal?".

Segera berpamitan Jeng Sunan Kudus pada Ki Soma, lajulah bersama-sama ketujuh sakabatnya menuju ke arah barat-daya. Ki Soma pun mengantarkan Jeng Sunan Kudus tak seberapa jauh, kepadanya diperintahkan segera kembali setelah dirasa agak kejauhan peijalanan Ki Soma dari dukuhnya.

Jalan arah barat-daya menuju Demak, Jeng Sunan Kudus bergegas-gegas dalam peijalanannya. Bende wasiat Kyai Macan bergantian dipikul oleh ketujuh sakabat Sunan Kudus, lama juga perjalanan mereka itu namun masih jauh juga Negara Pengging itu. Malam tiba, Jeng Sunan Kudus dengan ketujuh sakabatnya berhenti untuk bermalam di tepian kali di sebuah bulak (padang antara desa-desa).

Mengasolah mereka di bawah pohon cemara, Kyai Macan segera diturunkan tali-ternalinya dilepas dan segera digantungkan di pohon Kapundung. Waktu Mahrib tiba, Jeng Sunan Kudus diikuti oleh ketujuh sakabatnya untuk wudu di kali Seusai mereka wudu, dilanjutkan solat Mahrib sebagai imamnya bertindak Jeng sunan Kudus. Dilanjutkan membaca doa-doa sampai waktu Isa tiba,

Kala itu jam menunjukkan angka sembilan malam, bulan bersinar dengan terangnya apalagi purnama. Jeng Pangeran Kudus segera memerintahkan kepada para sahabatnya untuk memukul bende Kyai Macan, suara melengking memenuhi segala penjuru desa. Bahkan ada yang mengira suara bende Kyai Macan tadi seperti raungan seekor macan pula. Mendengar suara raungan yang dikira harimau yang nyatanya bunyi dari suara Kyai Macan bende Ki Amad Sapanyana, gegerlah penduduk di desa-desa sekitarnya. Di susul bunyi bertalu-talunya gendong (kentongan bunyi tanda bahaya di desa) di desa, suatu pertanda bahaya mengancam penduduk desa. Berkumpulah orangorang di desa dan menuju ke satu tujuan, tempat asal suara raungan harimau tadi. Nyatanya mereka mengitari bende Kyai Macan yang tergantung di pohon Kepundung.

Masih juga belum diketemukan asal suara harimau tadi, padang dijelajahi, pinggir-pinggir jurang, semak-semak tak luput diubresnya juga, namun singa tak diketemukan. Mereka heran juga, raungan singa yang begitu meyakinkan, tentu berasal tidak akan jauh dari desanya. Sampailah mereka dalam usaha mencari singa tadi dipinggir kali, sedikit naik ke atas kelihatan pohon Kepundung.

Di bawahnya tampak duduk seseorang yang dihadap oleh tujuh orang lainnya, penduduk desa segera memutuskan untuk menemui mereka. Penduduk yang berdatangan di tempat tadi, menanyai mereka berbarengan. Sehingga Jeng Sunan Kudus memperkarsai untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya.

"Ki sanak, saya adalah seorang santri dari Kudus. Demikian ketujuh sakabatkü ini, mereka berasal dari daerah yang sama. Namaku Ki Amad Sapanyana, kulihat kalian datang bergerombol-gerombol. Adakah sesuatu kepentinganmu datang menemui kami di sini? Di samping itu maksud dan tujuan kami akan pergi ke Pengging, meninjau saudara. Dikarenakan kemalaman, kami berdelapan singgah di daerah ini untuk mengaso dan bermalam."

Penduduk yang mengejar-ngejar singa tahu sudah bahwa tamutamu mereka kemalaman di jalan, sehingga berniat bermalam di daerah dekat desa mereka. Juga diterangkan kepada Jeng Sunan Kudus, bahwa mereka bergerombol malam-malam datang dikarenakan terdengar raungan harimau yang ganas, suaranya menakutkan para penduduk desa. Mereka datang sengaja untuk menemukan harimau itu, dan akan dibunuhnya sebab dipertakutkan mengancam ketentraman penduduk desa. Jeng Sunan Kudus segera menerangkan, bahwa singa tidak ada. Selanjutnya Sunan Kudus berkenan menamakan daerah itu dengan nama "desa Sima", (sima berarti singa, harimau). Konon disebabkan pada waktu Jeng Sunan Kudus dan para sekabatnya ketika melewati daerah (dusun, desa) tadi, tak ada seekor singa yang diketemukan.

Para penduduk desa Banjar-panjang mengucapkan terimakasih, dan sekarang orang mengenalnya desa tadi dengan nama "Sima".

Menjelang pagi hari, Jeng Sunan Kudus bersama sekabatsekabatnya telah melaksanakan solat-makmuman. Sehabis subuh sekira jam tujuh pagi, Jeng Sunan Kudus bersama-sama sekabat-sekabatnya berangkat menuju Pengging. Negara Pengging yang menjadi sambungan cerita, Kyai Ageng Kebokenanga bersusah diri.

XXIX. Lagu Dandanggula, 18 bait.
   Baris 1 dari bait ke-1 dan baris 1 dan akhir dari bait ke-18
   Baris 1 dari bait ke-1;
   Kyai Ageng ing driya sru kingkin,
   Baris 1 dan akhir dari bait ke-18;
   Wusnya seda Ki Ageng ing Pengging,
   tan nedya mundur yuda.

Terjemahan

Tiada lain yang terpikirkan oleh Kyai Ageng Pengging kecuali berkehendak akan muksa, sehari-harian duduk bertafakur berdoa. Dipanjatkannya doa ke hadirat Ilahi, semoga apa yang dimohonkannya terkabul. Sehari-harian pula Kyai Ageng Pengging sudah lupa akan makan dan tidur, badannya ditempa hatinya diperuncing tekadnya dibulatkan, namun pikirannya bersatu dengan tujuan. Jeng Kyai Ageng Pengging menginginkan lekas muksa, kembali kekumulyaan sejati.

Disimpannya rapat-rapat hawa-nafsunya, jiwa jauh menjangkau kearah alam-kabir. Budinya terbuka terang dan bersih, jiwa dan suksmanya bersatu dengan Hyang Tunggal.

Jeng Sunan Kudus dan ketujuh sekabat-sekabatnya sudah jauh meninggalkan Sima, sampailah mereka diperbatasan kota. Waktu itu lohor masanya, Jeng Pangeran Kudus dan sekabatsekabatnya selesai menjalankan solat laju menuju ke rumah Bok Wujil.

Janda Wujil bertempat di sebelah timur pagar bata, dan setelah memberikan salam Jeng Sultan Kudus dan sekabat-sekabatnya ditanyai oleh Bok Wujil. "Selamat datang kucapkan kepada kalian anak-anakku, dari mana saja kalian ini. Ke mana saja tujuan ananda kalian ini", Jeng Sunan Kudus menjawabnya "Bibi Wujil, saya dari Kudus. Amad Sapanyana namaku bibi, kami akan menuju ke Pengging meninjau saudara Kyai Ageng Pengging Kebokenanga. Apakah kiranya Ki Ageng Pengging ada di rumah bibi?" ni randa Wujil menjawabnya, "Kalau tidak salah dugaan bibi, Jeng Kyai Ageng ada juga di dalem. Namun, agaknya sesudah susah hatinya. Enggan makan dan tidur, sehari-harian hanya bertafakur berdoa di kobong dalem saja. Konon cerita yang tersebar, baru-baru saja ini kedatangan duta Nerpati Demak. Dan mulai saat sepeninggal duta Demak itulah Kyai Ageng Pengging kelihatan selalu mengunci diri dalam dalem kobong.

Berdoa tiada henti-hentinya, tak mau ditemui oleh siapa pun juga. Oleh sebab itu seluruh keluarga, santana dan kawula Pengging amat susah memikirkannya". Jeng Pangeran Kudus berkata kepada ketujuh sakabatnya, "Kalian menanti di sini saja, aku akan menemui Ki Ageng Pengging sendiri. Kuingatkan padamu, jika kau dengan suara tangis dari dalam pura kalian haus berjaga-jaga dan waspada." Ketujuh sakabat-sakabatnya matur sandika, jeng Pangeran Kudus segera berucap pada ni bok randa Wujil, "Bibi, kutitipkan ketujuh sakabat-sekabatku ini, aku akan menemui Kyai Ageng Pengging sendiri", ni randa Wujil menyanggupinya dan Susuhunan Kudus laju masuk pura sendirian saja. Sampailah di pintu gerbang pura, kepada si penjaga pintu gerbang Sunan Kudus bertanya.

"Ki sanak, apakah Kyai Ageng Pengging kelihatan berada di dalam?" si penjaga pintu menjawabnya, "Ada, beliau sedang berada di konong-dalem. Kyai Ageng Pengging sedang gering, manapula tak mau makan dan tidur. Seharian hanya berdoa dan tafakur saja. Tak mau pula ditemui oleh siapa saja", Pangeran Kudus berkata kepada si penjaga pintu pura.

"Ki sanak, aku minta tolong padamu. Sampaikan kepada Kyai Ageng Pengging, bahwa duta Hyang Widi akan bertemu lagipula Jabarail akan menyampaikan perintah kepadanya". Penjaga gerbang pura segera pergi, masuklah ke dalam pura menemui parekan segala hal ihwal adanya tamu di luar sudah diceritakan kepadanya. Di kobong dalem Kyai Ageng Pengging menerima berita adanya tamu dari Kudus dari laporan parekan, segera kepadanya diperintahkan untuk segera mempersilakan masuk tamu Kudus tadi.

Parekan dipesan Kyai Ageng Pengging, "Ceti, jemputlah tamu dari Kudus di luar itu, ajaklah ke dalem", dua orang ceti laju menemui Jeng Sunan Kudus dan dipersilakan segera masuk ke dalem. Sesampai di dalem, Jeng Sunan memberikan salam kepada Kyai Ageng Pengging, demikian pula Kyai Ageng Pengging ganti memberi salam kepada Jeng Sunan Kudus.

Kyai Ageng Pengging waktu itu terbaring di kantil (tempat tidur) dikarenakan sakit, Jeng Sunan Kudus seusai menyalami dan berjabat tangan dengan Kyai Ageng Pengging segera maju mendekati kantil. Kyai Ageng Pengging segera menangkubkan kelambu kantilnya, diajaknya Jeng Sunan Kudus duduk di dalamnya. Berkatalah Kyai Ageng Pengging," Yayi Sunan Kudus, kuucapkan selamat datang di Pengging ini," Sunan Kudus membalas

menjawab, "Kakang Kyai Ageng Pengging, insya Allah kita selamat semuanya".

Kyai Ageng Pengging segera memerintahkan kepada rubiyahnya (istrinya) untuk menjamu pada Jeng Sunan Kudus, Nyai Ageng Pengging kembali ke dalam untuk mempersiapkan segala sesuatunya. "Ki raka, perintah dari adinda Jeng Sultan Demak, kakangmas Kebokenanga dimohon untuk datang di Demak sekarang juga bersama-sama dengan adinda", Kyai Ageng Pengging menjawabnya, "Yayi Jeng Sunan Kudus, apa pula maksud Jeng Sultan Demak memanggilku. Hendaknya diketahui yayi, mulai dulu sampai pun sekarang saya tidak pernah mengabdikan diri pada ratu. Lagipula kakanda pun tak pernah di bawah perintah ratu, sebab bukankah asalku ini dari Gusti (Tuhan Yang Mahakuasa). Demikian sebaliknya Gusti pun dari kawula, tak ada bedanya kawula dan Gusti itu, sama. Kanda ini berdiam di dukuh Pengging tempat asalku sendiri, apalagi kehendak Jeng Sultan Demak kepadaku?"

Jeng Sunan Kudus menanggapinya dengan nada keras, "Kakang, ucapmu mengandung rahasia, salah-salah kakang kurang memahami akan celaka diri sendiri". Selanjutnya Kyai Ageng Pengging menanggapi kata-kata Sunan Kudus yang bernada keras tadi, "Bagaimana yayi Sunan Kudus ini kelihatannya matang sudah ilmunya. Namun solah-tingkah budinya tak ubahnya bagai bayi saja, menelan tanpa dipikir terlebih dahulu. Kalau demikian sikap yayi Sunan Kudus, akan sia-sia saja. Jeng Sunan Kudus menurutku, kurang memahami akan hakekat rasa dari ilmu itu".

Sunan Kudus melanjutkan menanyai Kyai Ageng Pengging, "Kyageng, saya persilakan memilih. Pilih mana, keadaan luar atau dalam. Bawah atau atas, kanan atau memilih kiri, demikian pula belakang atau di depan. Coba jelaskan, dalam kesepian terdapat keramaian yang luar biasa. Namun dalam keramaian terdapat kesepian yang teramat sangat sepi." Kyai Ageng Pengging berkata dengan lemah-lembutnya.

"Kelirulah jika saya memilih yang di luar, namun akan sesat (keliru sekali) kalaupun saya memilihnya yang di dalam. Kalau saya memilih di atas, akan ragu-ragu dalam melakukan ibadahnya (menyembah kepada Tuhan Yang Mahaesa-pangidhepe). Jika aku memilih yang di depan, tak akan ketemu pula yang kucari. (kemandang-bergema, bersuara namun tak dapat menemukan wujud suara atau gemanya). Bagiku tidak ada pilihan, dan tidak memilih. Sebab kalau aku memilih jelas akan keliru sekali dan sesat tujuh medahap. Sesungguhnya, akan halnya bawah, atas, kiri, kanan, belakang dan depan itu saya yang menjadi pemiliknya. Atau setidak-tidaknya saya mempunyainya atau memilikinya."

Pangeran Kudus kali ini menanggapinya dengan manis tutur bahasanya lembut, "Kakang kalau demikian sikapmu, aku inginkan kakang Kebokanigara membuktikannya. Aku ingin mengetahui dan menyaksikannya "kakang mati di dalam hidup". "Adi Sunan Kudus, jika kau paksakan padaku untuk melakukan "mati di dalam hidup" baiklah. Aku bisa melakukannya, jangan pula seperti dinda ini. Sangat meremehkan bangkitnya (adanya, timbulnya) iman, jika yayi akan mengetahui burung (peksi-burung) yang indah harus pula mengetahui asal dan kemana pula akhirnya" (perumpamaan burung yang indah tadi untuk menggambarkan jika akan mengetahui sesuatu ilmu yang sempurna atau mulya, tentu akan mengetahui asal ilmu itu dan kemana pula akhirnya. Yang berarti manusia itu berasal dari Tuhan akan kembali pula kepada si pencipta Tuhan Yang Mahaesa. Bagi Kyai Ageng Kebokenanga yang telah memiliki penghayatan akan sari-sarinya ilmu tidak akan membeda-bedakan lagi, sebab pada hakekatnya kembali pada sumber yang satu ialah awal dari segala permulaan, namun bukan yang akhir dari penghabisan sesuatu).

Dengan nada keras bercampur marah Sunan Kudus menanggapi keterangan-keterangannya Kyai Ageng Pengging tadi, "Jika demikian, serahkan mati dan hidupmu padaku". Kyai Ageng Pengging berkata, "Yayi jangan ragu-ragu, beleklah sikutku ini dengan sekingmu" (kata belek berarti menguakan sesuatu, sehingga menjadi terbuka. Dalam hai ini Jeng Sunan Kudus dipersilakan menguakkan sikunya Kyai Ageng Kebokenanga, kulitnya dikuakkan sehingga terbuka nantinya). Jeng Sunan Kudus segera menghunus seking (semacam cundrik tajam dibagian bawah dan sebagian atas dipucuknya, dan kebiasaannya dipakai disengkelitkan di depan tidak di belakang), kulit siku Kyai Ageng Pengging dibeleknya. Berbareng terkuaknya kulit siku tadi, Kyai Ageng Pengging mati. Suara terdengar memberikan salam kepada Jeng Sunan Kudus, dibalasnya "alaikumsalam".

Di kala Kyai Ageng Pengging wafat, Nyai Ageng tidak mengetahui sama sekali sebab masih sibuk mempersiapkan jamuan makan dan minum untuk tamunya tadi. Segera Jeng Sunan Kudus meninggalkan jenazah Kyai Ageng Pengging di kobongan (ruangan atau bangunan yang di dalamnya diperuntukkan tidur, kebiasaannya kobongan itu hanya suatu tatanan kelengkapan untuk sebuah tempat peraduan atau tidur, di antaranya terdapat kasur, bantal (alas kepala) dan guling dalem, laju keluar berkumpul dengan ketujuh sakabatnya yang berada di Wujilan (kediaman Ni randa Wujil). Mereka bersepakat tak akan mundur, kalaupun teijadi peperangan nantinya.


XXX.Lagu Durma, 21 bait.
  Baris 1 dari bait ke-1, dan baris 1 dan akhir dari bait ke-21.
  Baris 1 dari bait ke-1;
  Jeng Pangeran Kudus alon ngandika,
  Baris 1 dan akhir dari bait ke-21;
  Maos donga menuwun rahaijeng lampah,
  kasmaran kang ningali.

Terjemahan

Kyai Ageng setelah berkumpul dengan ketujuh sekabatnya berkata, "Tugas sudah selesai, marilah kita meninggalkan daerah ini. Pesanku pada kalian, jika keluarga dari Kyai Ageng Kebokenanga mengejar kita, jangan sekali-kali kalian melawannya. Teguhkan imanmu dan kuatkan hatimu", ketujuh sekabat Sunan Kudus menyanggupinya dan mereka laju berjalan meninggalkan dukuh Wujilan.

Konon sepeninggal Sunan Kudus, di dalam Kapenggingan Nyai Ageng telah selesai mempersiapkan jamuan makan-minum untuk tamunya, Nyai Ageng segera melapor ke dalem ingin menemui Kyai Ageng Pengging. Di depan pintu kamar Kyai Ageng Pengging di dalem kapenggingan tadi, Nyai Ageng menanti panggilan dari suaminya. Lama dinanti tak ada suara panggilan, diperhatikannya tiada suara berisik di dalam kamar. Masuklah ke kamar peraduan Kyai Ageng, tampak gubah (tirai) kobongan tertutup rapai. Nyai Ageng segera mendekat dan menyingkap gubah kobongan tadi, tampak olehnya tamu tiada lagi namun Kyai Ageng Pengging tergolek di atasnya di kantil Kyai Ageng.

Kecurigaan timbul dalam hatinya, segera dipegang tubuh Kyai Ageng Pengging diraba-rabanya. Namun tetap juga Kyai Ageng Pengging tergolek di atas papan kantilnya, tak bersuara ataupun tak berucap lagi. Beliau sudah muksa, kembali ke jaman kemulyaan sejati. Nyai Ageng menyadari bahwasanya suaminya telah meninggal, menjeritlah Nyai Ageng sekuat-kuatnya. Geger seluruh pura kapenggingan, laki-perempuan, kawulasantana berteriak-teriak mengatakan bahwasanya Pengging telah kemasukan mata-mata musuh.

Berkumpullah segenap rakyat Pengging, satu tekad akan mengejar tamu yang telah membunuh Kyai Ageng Pengging. Persiapan perang dimulai, bermacam-macam senjata dipergunakan, bendera perang dari Kerajaan Pengging - Pajang dikeluarkan demikian pula beraneka ragam daludag tak ketinggalan dibawanya juga.

Radyan Lembuandaka, Radyan Lembusingat, Radyan Lembukilat dan Radyan Lembutatit merupakan sesepuh trah Pengging. Pimpinan perang ada di tangan mereka, perintah dikeluarkan kepada para prajurit Pengging untuk mengejar menangkap musuh yang telah berani membunuh pepunden Pengging Kyai Ageng Kebokenanga.

Barisan menuju ke arali timur-laut, masih juga para prajurit merasa dukacita yang amat berat di hati mereka sebab kehilangan pepunden agung Kyai Kebokenanga. Sambii menantang musuh-musuhnya, mereka mengejar. Kesemuanya berseru hendak bela pati dengan Kyai Ageng Pengging, jauh sudah kapenggingan ditinggalkan oleh mereka.

Tampak oleh mereka dari kejauhan kedelapan santri yang melarikan diri dari Pengging, wadyabala Pengging segera memanggil-manggilnya "Hai, bedebah kalian semua itu. Berhenti, tak layak kalian santri berlaku cidra (munafik, jahat). Jangan segan-segan, mari bertanding dengan kami. Man, bunuhlah juga kami ini para kesatria dari Pengging, jangan lari pengecut."

Raden Lembuandaka, Raden Lembusingat, Raden Lembukilat dan Raden Lembutatit berseru pula, "Bedabah kalian ini, pengecut semua. Lari sesudah berbuat cidra, mari bertanding dengan kami. Belakan dengan pupunden kami Kyai Ageng Pengging, jangan mundur bertanding dengan dangkel Pajang - Pengging" (dangkel, bagian bawah dari batang pohon yang telah ditebang yang masuh terbenam di tanah).

Sunan Kudus mendengar akan tantangan yang diucapkan oleh para dangkel Pengging - Pajang tadi, menyaksikan pula bahwa dirinya telah dikepung oleh prajurit-prajurit Pengging lengkap dengan senjata-senjatanya. Senjata mengarah pada pasukan santri Kudus, namun Jeng Sunan santai saja dalam perjalanannya. Tak digubris, tak dipikir akan ancaman-ancaman dari wadyabala Pengging - Pajang yang siap akan meludesinya.

Segera Jeng Sunan Kudus bertindak, kedua tangannya menengadah ke langit sambil memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Mahaesa, semoga terlindungi dari ancaman-ancaman maut. Permohonan Jeng Sunan Kudus diterima, rohmat Tuhan melimpahi mereka. Namun ketujuh sakabatnya memaksakan diri untuk langsung melawan prajurit-prajurit Pengging - Pajang, Jeng Sunan Kudus tetap melarangnya. "Hai sakabat-sakabatku semua. Jangan kau lawan mereka itu, sudahlah kita bermohon dan pasrah kepada Tuhan Yang Mahaesa. Ketahuilah, bahagia, sakit, mati kalian tidak mempunyai wewenang atasnya, hanya Tuhan Yang Mahakuasa sajalah yang dapat murba keadaan itu semua. Serahkan mutlak kepada purba-wisesa Tuhan", Jeng Sunan Kudus segera mengangkat tongkat ke arah kanan, tampak wadyabala Pengging seakan-akan memburu musuhnya yang jumlahnya banyak sekali.

Wadyabala Pengging merasa berhadapan dengan musuh yang banyak, sehingga mereka bergembira dapat menandingi. ka memilih mati bersama-sama dengan gustinya, Kyai Ageng Pengging Kebokenanga. Tidak mustahil tandangnya bagaikan orang kerasukan setan, Jeng Sunan Kudus segera merobah tongkat wasiatnya yang berujungkan pusaka (cis) ke arah Utara. Wadyabala Pengging - Pajang lari mengejar musuh yang disangkanya ada di sebelah Utara. Mengetahui bahwa wadyabala Pengging - pajang telah berada di sebelah Utara, Jeng Sunan Kudus beserta ketujuh sekabatnya berbalik beijalan ke arah Timur. Namun ketika wadyabala Pengging sudah berada di daerah Utara, tak diketemukan juga musuh-musuhnya. Mereka menyangka hilang sudah musuh-musuh yang tadi jelas tampak oleh mereka, tidak ayal lagi bahwa wadyabala Pengging kecewa dalam hatinya. Lagipula mereka juga meyakini bahwa musuh telah menggunakan daya-upaya mengelabui mereka, apalagi mereka lebih sadar bahwa seseorang tua telah memberikan keterangan bahwasanya itu tadi perbuatan musuh. Mereka sesudahnya mengetahui bahwasanya kena jebak musuh, memutuskan diri untuk kembali ke pangkalan Pengging - Pajang.

Akan halnya Jeng Sunan Kudus dengan ketujuh sakabatnya sampai petang hari mereka berjalan, menjelang waktu mahrib mereka berhenti untuk menjalankan solatnya. Sampai dengan waktu Isa dilanjutkan membaca doa-doa, kecuali juga menjalankan solat sunat dan kamat. Semalaman Jeng Sunan Kudus bersama-sama ketujuh sekabatnya tak tidur,

Semalam penuh mereka memanjatkan doa kehadirat Ilahi, semoga aman dalam perjalanan pulang ke Demak. Bahwa sesungguhnya Jeng Sunan Kudus adalah seorang Waliyullah yang mulia, perwira lagipula paham akan segala ilmu halus dan kasar (agal kalawan lembut).

XXXI. Lagu Asmaradana, 23 bait.
   Baris 1 dari bait ke-1, dan baris 1 dan akhir dari bait ke-23.
   Baris 1 dari bait ke-1;
   Ing bakda subuh lumaris,
   Baris 1 dan akhir dari bait ke-23;
   Ing Wektu Asar kang wanci,

 sesowan srinaranata.

Terjemahan

Sehabis Subuh Jeng Sunan Kudus beserta ketujuh sekabat-sekabatnya meneruskan perjalanannya menuju ke arah Timur laut. Diceritakan kembali pada waktu itu di Pengging sekembalinya para wadyabala menguber musuh-musuhnya, merasa sedih terkecoh oleh perbuatan siasat musuhnya yang telah berhasil membunuh Kyai Ageng Kebokananga. Para sentana laki-perempuan sekalipun Nyai Ageng Pengging tak ada henti-hentinya mereka menangis, tak ada yang diingat kecuali terbayang-bayang akan mendiang Kyai Ageng Pengging junjungannya.

Mereka merasa begitu terharu, dikarenakan mangkatnya Kyai Ageng Pengging meninggalkan seorang putra yang masih bayi. Konon anak lelaki putra Nyai Ageng Pengging tadi bernama Mas Karebet. Genap tujuh hari wafatnya Kyai Ageng Pengging, diadakan selamatan. Para putra sentana dan semua wadyabala Pengging berkumpul, untuk bersama-sama melaksanakan hajad memperingati tujuh hari akan wafatnya Kyai Ageng Kebokenanga.

Nyai Ageng Pengging sepeninggal suaminya Kyai Ageng Kebokenanga sangat susah hatinya, apalagi memikirkan putranya masih bayi sudah ditinggal orang tua. Sehari-harian tak makan malam pun tak tidur, sehingga badan Nyai Ageng kelihatan kurus lagipula sakit-sakitan saja akhir-akhir ini. Berita tentang wafatnya Kyai Ageng Kebokenanga, sampai juga pada keluarga Kyai Ageng Tingkir.

Konon Kyai Ageng Tingkir mengutus Nyai Ageng untuk pergi ke Pengging, setidak-tidaknya untuk melihat keadaannya sesudah Kyai Ageng Pengging wafat dan bagaimana pula dengan keponakannya yang masih bayi itu. Pergilah Nyai Ageng Tingkir ke Pengging, untuk menemui adiknya ialah Nyai Ageng Pengging. Sesampainya di Pengging, lajulah Nyai Ageng Tingkir menjumpai adiknya Nyai Ageng Pengging. Rasa haru di antara kedua Nyai Ageng tadi sungguh membuat suasana di Pengging waktu itu lebih menambah beban bagj yang melihatnya, apalagi Nyai Ageng Pengging sedang sakit pula. Berkali-kali mereka berbincang-bincang, disela tangis mereka yang tidak berhenti-henti. Tak ada lain yang dipermasalahkan kecuali sepeninggal Kyai Ageng Pengging, Nyai Ageng sangat merana hatinya apalagi mempunyai momongan seorang putra lelaki Mas Karebet yang masih sangat muda.

Berkatalah Nyai Ageng Tingkir, "Yayi Nyai Ageng Pengging, terimalah rasa belasungkawaku dan kangmas Kyai Ageng Tingkir atas wafatnya yayi Kyai Ageng Kebokenanga. Di samping itu, kedatanganku di Pengging kecuali akan melepas kerinduanku kepada yayi Pengging juga terdengar berita bahwasanya yayi Nyai Ageng gerah (sakit). Nyai, apa pula yang menjadi beban Nyai, kenapa pula yayi gerah?" Nyai Ageng Pengging menjawabnya, "Kangbok (bakyu, kakak perempuan) Nyai Ageng Tingkir, bukan menjadi rahasia lagi setelah kangmas Kyai Ageng Kebokenanga wafat, serasa hatiku kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Entah kangbok, sesudah itu hatiku sangat merana, akibatnya enggan dinda untuk berbuat sesuatu, makan dan tidur pun sudah tak terpikirkan lagi. Maafkan yayi kangbok, bagaimanapun hatiku masih belum bisa pulih seperti sediakala. Apalagi, bukankah putramu Karebet ini masih kecil, namun sudah tidak berbapak lagi. Apa dayaku kangbok, sebagai seorang wanita yang ditinggal suami. Terpikir olehku kepada siapa nantinya aku akan berlindung, apalagi bagaimana pula akan nasib si Karebet nantinya. Bagiku kangbok tak ingin akan hidup lagi, keinginanku hanya akan menyusul kangmas Kyai Ageng Kebokenanga."

Serasa tersayat-sayat hati Nyai Ageng Tingkir mendengarkan keluh kesah Nyai Ageng Pengging, "Yayi adikku sayang, mengapa pula yayi mengumpat-umpat akan keadaan yang baru disandang kali ini? Itu berarti yayi tidak bisa mensyukuri akan rohmat Tuhan Yang Mahakuasa, bukankah dalam lohilmakpul telah tersurat bahwasanya bahagia, sengsara, dan mati pun manusia tak kuasa apa-apa. Bukankah kesemuanya itu Tuhan yang memurba dan misesa. Manusia yayi, harus bersyukur akan rohmat Tuhan, janganlah yayi selalu menyesali nasib diri sendiri.

Yayi Nyai Ageng Pengging, menurut hematku jika kau tujuinya ingin kangbok akan membawa serta pulang ke Tingkir keponakanku, putramu si Mas Karebet. Biarlah kangbok yang merawatnya, sukur-sukur dapat membesarkannya di kelak kemudian hari", Nyai Ageng Pengging menjawabnya, "Kangbok Nyai Ageng Tingkir, dengan tangan terbuka kuserahkan putramu Mas Karebet. Namun jangan sekarang dibawa ke Tingkir, biarlah menunggu dahulu sampai saya sembuh".

Nyai Ageng Tingkir menuruti apa usulan Nyai Ageng Pengging, dan memesannya, "Yayi pesanku padamu, bersyukurlah atas nikmat Tuhan yang telah dilimpahkan kepadamu. Mulai sekarang yayi harus selalu lebih waspada terutama akan datangnya goda-rencana yang akan selalu mengganggu keselamatan yayi di Pengging ini. Sudahlah yayi, aku akan kembali ke Tingkir, namun sekali lagi pesanku padamu yayi jagalah Mas Karebet baik-baik, lagipula baik-baiklah kepada putra-sentana Pengging. Yayi, dindalah yang menjadi panutan sesudah dimas Kebokenanga wafat, dinda pula yang bertanggung jawab untuk lestarinya trah Pengging - Pajang nanti. Jangan lupa, semua pesanku dan hati-hati lagipula waspadalah", Nyai Ageng Pengging segera merangkul Nyai Ageng Tingkir seraya berkata, "Kangbok, saya akan mengindahkan segala pesan kangbok. Pangestu kangbok saja siang malam hendaknya selalu akan memberkahiku".

Kembalilah Nyai Ageng Tingkir, sampai sudah di Tingkir dan bertemu dengan Kyai Ageng. Segala hai ihwal mengenai Nyai Ageng Pengging, dari awal sampai akhir diceritakannya, Kyai Ageng Tingkir turut pula merasakan kesusahan adiknya di Pengging tadi.

Konon perjalanan Jeng Sunan Kudus beserta ketujuh sekabat-sekabatnya menuju ke Demak sampai 10 hari di perjalanan, namun belum juga sampai. Ketujuh sekabat-sekabatnya mengira bahwa Jeng Sunan Kudus mengajak mereka untuk lelana-brata, itulah mengapa sampai lama belum sampai juga di tempat tujuannya.

Selama di perjalanan Jeng Sunan Kudus tak ada lain yang dikenang melainkan pada almarhum Kyai Ageng Kebokenanga Pengging, agaknya sudah menjadi papesten bahwasananya Kyai Ageng Pengging pulang kerahmatulah. Waktu menunjukkan sudah lohor, sampailah Jeng Sunan Kudus beserta ketujuh sekabat-sekabatnya di tepian sungai. Mereka berhenti untuk mengasokan diri tak lupa menjalankan ibadah solat. Daun-daunan pepe yang dipergunakan sebagai alas sembahyang, seusai sembahyang lohor dilanjutkan memanjatkan doa-doa. Ketujuh sakabat-sakabatnya turut serta mengikuti Jeng Sunan Kudus, dengan mengucapkan amin, amin.

Berkatalah Jeng Sunan Kudus kepada ketujuh sakabat-sakabatnya, "Tahukah kalian nama kali ini?" para sekabat menjawabnya bahwa belum tahu". Baiklah, mulai sekarang kali ini kunamakan Kali Pepe, sebab manakala kita mengadakan sembayang lohor daun-daunan pepelah yang kita pergunakan sebagai alas bersujud", ketujuh sekabat-sekabatnya mengucapkan syukur alhamdulillah bahwasanya Jeng Sunan Kudus telah berkenan menamakan kali itu dengan nama Kali Pepe.

Kali Pepe telah jauh ditinggalkan oleh Jeng Sunan Kudus beserta ketujuh sekabat-sekabatnya, sampailah sudah di Negara Demak. Sehabis menjalankan sembahyang Asar, Jeng Sunan Kudus memerintahkan untuk menghadap Sultan keesokan harinya saja. Kembalilah ketujuh sekabat-sekabatnya ke tempatnya masing-masing, demikian pula Jeng Sunan Kudus malam itu mengasokan diri.

XXXII. Lagu Sinom, 7 bait.
Baris 1 dari bait ke-1 dan baris 1 dan akhir dari bait ke-7.
Baris 1 dari bait ke-1;
Angantya ing dina Soma,
Baris 1 dan akhir dari bait ke-7;
Ananging sanget lenggana,
tan arsa nampik milih,

Terjemahan

Hari Senin telah tiba, kelihatan mereka yang akan seba ke kasultanan Demak telah memenuhi puri. Para pandita, niyaka, punggawa, mantri, dan putra-sentana kasultanan. Tak ada lain yang menjadi pokok pembicaraan kecuali menyanjungjung keberhasilan Jeng Sunan Kudus menjalankan perintah Sultan Bintara dalam menyelesaikan masalah Pengging.

Mereka membicarakan persamaan Jeng Sunan Kudus dengan tokoh wayang Raden Ramadayapati, di mana menjadi duta dari Sri Ramawijaya ke Negara Alengka. Ramadayapati atau Hanoman berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik, bahwasanya betul Prabu Rahwanaraja Raja Negara Alengka yang melarikan Dewi Sinta istri Prabu Ramawijaya.

Pemandangan pada pagi hari itu jatuh hari Senin, di pagelaran kasultanan Demak tak ubahnya akan kedatangan duta utama ialah Sunan Kudus atau Ramadayapati, di mana para rewanda (kera-kera) siap menyambut kedatangan pahlawannya Hanoman. Sesungguhnya Jeng Sunan Kudus tak ubahnya seperti dutanya Sri Ramawijaya ialah Ramadayapati, beliau Sunan Kudus atas keberhasilannya hendaknya menjadi contoh dan suri tauladan bagi siapa saja yang mejadi duta nerpati.

Sesungguhnya beliau Jeng Sunan Kudus adalah seorang Wali ahli dalam segala-galanya, menguasai ilmu beraneka-macam lagipula seorang yang selalu akan menyelesaikan tugasnya sampai tuntas. Seseorang yang keras ibadahnya, budi bahasanya menawan hati apalagi sangat bijaksana dan rupawan.

Di istana Kasultanan Demak hari itu hari Senen, Sultan Bintara mengadakan paseban agung. Di pagelaran telah penuh para kawula, semuanya teratur rapi tak ketinggalan segala kebesaran kelengkapan upacara Kasultanan Bintara ditampilkan juga. Duduklah Sultan Bintara di singgasananya, para Wali-agung bersama-sama para ulama duduk sebelah-menyebelah dari Sultan Bintara, para pukaha, tabid, pandita berada di depan sang prabu Bintara. Adapun Kyai Patih Wanasalam menghadap duduk di depan Sultan Bintara, disusul di belakang sang patih para niyaka, bupati, kaliwon, panewu, dan para prajurit.

Tak lama masuklah Jeng Sunan Kudus, setelah menempati tempat duduknya di depan Sultan Bintara laporan segera dimulai. Sultan Bintara memberikan salam kepada Jeng Sunan Kudus, dan berkata kepadanya,"Yayi, saya ucapkan selamat datang di Demak. Selanjutnya bagaimana yayi akan tugas yang kuberikan kepadamu, apakah berhasil?" Jeng Sunan Kudus menjawabnya, "Pangestu Jeng Sultan Bintara, kami bersamasama dengan ketujuh sekabat selamat tak kurang suatu apa. Akan halnya perintah Jeng Sultan, telah kami sampaikan kesemuanya pada Kyai Ageng Kebokenanga.

Namun Kyai Gede Pengging tetap pada pendiriannya, bertekad tak akan seba ke Demak. Beliau merasa bahwasanya tidak diperintah oleh Sultan Demak, tak mau memilih namun tidak menolak menerima kedua-duanya. Bumi Pengging adalah milik Kyai Ageng Pengging, tetap akan dipertahankannya sampai pun nyawa mencabutnya.

Babad
JAKA TINGKIR

1. Nihan doning ulun manulad Sri,
ring sarkara mamrih memardawa,
tyas wigena panjutane,
juwet silarjeng tuwuh,
wahananing kahanan jati,
sujana paramaria,
witaning tumuwuh,
winangun ingkang sasmita,
ginupita kang srat Babad Jaka Tingkir,
malar dadya pusaka.

2. Ing ri Akad duk wiwit mengeti,
kaping kalih likur sasi Sapar,
wanci pukul sawelase,
lintang ingkang lumaku,
nuju sangat lintang Mustari,
pareng warsa Jimawal,
sancayaning Windu
lek Jawi mangsa katiga,
ping nembelas sengkala Sang Mahamuni,
Anata Goraning Rat.

3. Ejrah Nabi tarehnya marengi,
sinengkalan Pandhita Aguna,
sinembah ing Jagad kabeh,
lek Walandi Anggustus,
kaping tigalikur winarni,
sengkala Trus Sinembah,
Sariraning Ratu,
kang mangka pandoning pudya,
tarlen muhung risang amurweng dumadi,
widining sabuwana.

4. Kang murah ing dunya sih ing akir,

sang akerti ring saptapratala,
len tang kasapta kasane,
sesiing rat sawegung,
panggelamingg wiyat pratiwi,
tiningkah tatakrama,
mamrih tartibipun,
urut-uruting paningtah,
sampurnane dadining sakalir-kalir,
pan ing dalem nem dina.

5. Nulya andadeken ngaras kursi,
karsaning Suksma Saellawu ngasya,
memuruk ing kawulane,
barang pakartenipun,
ing manungsa den enget ing wit,
aja na budi ganas,
ing tingkah kasusu,
sami nganggea ukara,
ing tartibe denya pareng anuju kapti,
wahyaning mangsa kala.

6. Ri titaning ulun mangastuti,
ring Sang Hyang kang Anurageng jagad,
tandya pepudyeng dutane,
ing Ywang kang Mahaluhur,
Kangjeng Nabi Muhamadinil,
Mustapa nabibulah,
panguluning rasul,
wekasaning pra ambiya,
nayakaning bawana dipaning bumi,
gegentining Hyang Suksma.

7. Sang nur ing rat tersandhaning widi,
pan saistu witaning tumitah,
Nur Muhamad kajatene,
muga-muga satuhu,
winantua rahmating Widi,

utawi sulaming Hyang,
lan pasianipun,
tertamtu dhumawuh marang,
nabi duta Muhamad ingkang sinelir,
lintang kawula-warga.

8. Muwah para sakabat pangarsi,
dining kang kanang Sayid Abubakar,
myang Sayid Umar malihe,
Sayid Usman puniku,
sekawane Sang Sayid Ali,
samya dadya kalipah,
gegentining rasul,
anutuken lelampahan,
ira Kangjeng nabi angrata agami,
amranata ing jagad.

9. Amabakduana pon sawusing,
sampat paripurnaning pamudya,
kang winarneng panggalange,
lelagon kang ginelung,
pamugeling carita Jawi,
babading Tanah Jawa,
lelampahanipun,
para nata kang ginita,
wusing jaman Srikalaraja pepati,
Dewaraja semana.

10.Jaman iku ingkang amekasi,
panjenenganira naranata,
Raden Alit duk timure,
jumeneng sang aprabu,
Erawjjaya ping gangsal nenggih,
ing nagri Majalengka,
jangkep satus tahun,
umuring ponang nagara,
turun sapta kang jumeneng narapati,

ing nagri Majalengka.

11. Wiwit prabu Suruh duk ing nguni,
sasedane ginantya ing putra,
Sang Prabu Anom namane,
pan kekalih puniku,
dereng nama Brawijaya Ji,
anulya putranira,
wiwit namanipun,
Sri Brawijaya kapisan,
putra nama Brawijaya kaping kalih,
nulya malih putranya.

12. Nama Brawijaya kaping katri,
putranipun nama Brawijaya,
ingkang kaping sekawane,
Raden Alit puniku,
Brawijaya pingg limaneki,
jangkep ing tedhak sapta,
kuneng kang winuwus,
ing carita kang cinegat,
sabedhahe nagari ing Majapahit,
musnane Brawijaya.

13. Lenyep saking manusapadeki,
apan sumengka mengawak braja,
minggah mring muksapadane,
datan kalawan lampus,
paripurna waluya jati,
ing jaman kasucian,
kasampurnanipun,
sang aprabu Brawijaya,
sampun putus patitising jatimurti,
waskitheng sangkan-paran.

14. Datan samar kawuryaning urip,
urip trusing jaman kalanggengan,
pira-pira kamuktene,

ing karaton kang sestu,
sestu datan kena winilis,
pan tikel pira-pira,
lan duk meksihipun,
neng jaman nungsapada,
cinarita duk muksane Sribupati,
dinulur ing punggawa.

15. Gajahmada Rakyan Mahapatih
lawan sagung bupati satriya,
punggawa para mantrine,
sawadya-kuswanipun,
ingkang sampun sami winasis,
putus ring kamuksan,
tan samar ing kawruh,
tinarimeng kasunyatan,
bisa milu ing muksane Sribupati,
kang bodho datan bisa.

16. Nadya nguni sumilih ing mangkin,
yen wong tanpa ataki-takia,
kapataka ing temahe,
anelangsa ing pungkur,
kumprung pengung tan wrin ing wadi,
wadining widayaka,
nayakaning kawruh,
kawruh marng kalepasan,
praptaning don si bodho aneniwasi,
beda lan kang wus bisa.

17. Watawise kang tumut sang aji,
sapratigan wadya Majalengka,
ingkang tuwa-tuwa bae,
kang anem kinen kantun,
amencarna wiji ing wuri,
kinen sami nungkula,
manjing Islam luhung,

kejawi kang sampun samya,
nungkul batin wus anggawa Islam suci,
samya anandhang iman.

18. Nanging ana bekjane kang kari,
ingkang datan bisa milu muksa,
dene salin agamane,
kang tata Buda kupur,
sinalinan agama gusti,
sami anandhang iman,
Islam pan linuhung,
sirnaning kang tata Buda,
duk bedhahe nagari ing Majapahit,
semana sinengkalan.

19. Sirna Ilang Pakartining Bumi,
duk semana sinalinan jaman,
Kalawijisaya alame,
ngadiyati puniku,
tigang tanah ponang nagari,
ing Benang Giri Demak,
narendra kang sepuh,
paparab nata pandhita,
iya Prabu Anyakrakusumeng Bumi,
ya Jeng Sinuhun Benang.

20. Jejuluke Sang Mahadimurti,
iya Sri Mahanarendra wadat,
wadat salami-lamine,
jumeneng wali Kutub,
Ghosul Ngalam Kutub Rabani,
kang ngasrama ing Benang,
asesunya samun,
pinidha kinantha-kantha,
pakukuthan yekang minangka kuthadi,
nenggih Sang Adiningrat.

21. Dene ratu ingkang kaping kalih,

pan kaipe mring Jeng Sunan Benang,
Prabu Sapmata namane,
jumeneng Ratu Tunggul,
iya Kangjeng Sinuhun Giri,
Mustapa Purbaningrat,
Jeng Wali Kutub,
tetungguling parentah amisesani,
ing jagad Tanah Jawa.

22. Kang ngrenggani pura di ing Giri,
ya ing Girialiman kadatyan,
dene ratu ping tigane,
kang mangka wakilipun,
dening Kangjeng Sunan kekalih,
kekutha bumi Demak,
warising kaprabun,
sutaning Sri Brawijaya,
ginantyaken karatoning Tanah Jawi,
Adipati Bintara.

23. Kang angangkat jumenengira ji,
nenggih Kangjeng para waliyulah,
myang pandhita gedhe-gedhe,
para mukmin gung-agung,
ing sa tanah Jawa ngestreni,
yen Dipati Bintara,
angalih jejuluk,
naradipati Pulembang,
bisikane Panembahan Bintareki,
lan malih sinung nama.

24. Senopati Jimbun kang wewangi,
kalipahing rasul nagri Demak,
angreh Tanah Jawa kabeh,
duk jumenenge prabu,
sinengkalan Dahana Mati,

Siniram ing Narendra,
nengena karuhun,
kang jumeneng nagri Demak,
tan winarna gantya kang wursita malih,
amangsuli carita.

25. Kang ginancar ing kandhanireki,
Prabu Brawijaya kang wekasan,
kacatur kathah putrane,
kang saking garwa sepuh,
Jara ranira nerpati,
putri saking ing Cempa,
kang kocap warna yu,
pinunjul ing pramudita,
sang dayinta nama Ratu Dwarawati,
yeku kang kacarita.

26. Darbe cahya kasumbagan warni,
ing sadina malih kaping sapta,
salin-sumalin warnane,
tetiga putranipun,
ingkang urip bae winarni,
kang pejah tan winarna,
dene ingkang sepuh,
pambajengira sang nata,
pan wanodya Ratu Pembayun nameki,
suwarna langkung endah.

27. Antuk waris saking ibuneki,
semburating cahya kasumbagan,
sumunu cahya angene,
pakramanira antuk,
sang aprabu ing Pajang Pengging,
Sang Sri Handayaningrat,
sektine kalangkung,
aprawira widigdaya,
ing prang ampuh keh ratu sabrang kajodhi,

sinoring pabaratan.

28. Duk ing nguni kala andon jurit,
Srinarendra pan maksih jejaka,
Sang nateng Bali purwane,
dupi balilanipun,
datan purun kareh mring Jawi,
prabu Kalageijita,
nateng Bali Agung,
apan sampun tigang warsa,
denya datan utusan atur upeti,
marang ing Majalengka.

29. Amet sraya mring iiyan nagari,
arsa njara maring Majalengka,
tigang leksa prajurite,
Balambangan pinukul,
wadya Bali unggul ing jurit,
pra dipati brang wetan,
kasoran ing pupuh,
wong ing Bali duk semana,
apan lagya winongwong jayaning jurit,
wong Jawa kagegeran.

30. Pan anglaruk ngilen wong ing Bali,
wadya ji Majalengka duk semana,
ingkang amethuk yudane,
dhadhal larut suh luyut,
datan wonten kang mangga pulih,
wong gedhe tyase kadya,
wanudya sadarum,
tan ana darbe kasuran,
giris mulad marang srayane wong Bali,
ing prang karya asmara.

II

1. Mangkana Srinarapati,

Brawijaya Majalengka,
wimbuh lir ginubah tyase,
awiyoga angkara-kara,
myang Patih Gajahmada,
tyasnya ngranuhi kapasuk,
puseking tyas sru mangarang.

2. Dadya Sri Brawijayaji,
semana karya ubaya,
sayembara parentahe,
sapa kang atetulunga,
ngunduraken prawira,
wong Bali den kongsi nungkul,
ingambil mantu sang nata.

3. Dadiya kang jatukrami,
putri pembajenging nata,
akathah kang para katong,
kang sami tetulung ing prang,
nglebeti sayembara,
kepengin den ambil mantu,
mring sang nateng Majalengka.

4. Denya sang putri linewih,
warnane datanpa sama,
lir Supraba ngibarate,
nulya Sri Handayaningrat,
kang tumandang ing yuda,
antuk karya ing prang unggul,
asor wong Nungsa Kambangan.

5. Srah pan nungkul nateng Bali,
nulya Sri Handayaningrat,
kalana andonjayane,
anglurug layar mangetan,
maring pulo Sembawa,
pinukul ing prang wus nungkul,
para rajaning Sembawa.

Sri Handayaningrat nuli,
laju mring pulo Praguwa,
sinoring perang ratune,
wus nungkul srah upetinya,
nulya Srinaradipa,
layar maring pulo Agung,
pulo Selebes wastanya.

Yeku ing Mekasar Bugis,
aran Selebes pulonya,
Sri Dayaningrat prapta njer,
pra natanya sinor ing prang,
wusnya nungkul sadaya,
Sri Handayaningrat laju,
budhal malih sampun layar.

Srinarendra Pajang Pengging
marang Ternate Manila,
kalana andon jayane,
nateng Ternate Manila,
sami nungkul sadaya,
nulya wau sang aprabu,
layar maring tanah purwa.

Ing pulo Burneo prapti,
nagri Banjarmas binedhah,
bedhah nungkul narpatine,
miwah ing sabawahira,
ing Burneo pra nata,
samya srah bongkokan nungkul,
marang Sri Handayaningrat.

Wusnya mangkana sang aji,
kalana Handayaningrat,
marang ing purwa layare,
prapteng pulo geng apanjang,
aran pulo Sumatra,
mring Palembang negara gung,

narpatine sinoring prang.

11. Kapupu madyaning jurit,
nungkul wadya sahananya,
pan wus ingideran kabeh,
jinajah sagunging praja,
pinukul nungkul samya,
atur bulu bektinipun,
kuneng sawusnya mangkana.

12. Sri narendra Pajang Pengging,
sawadya budhal wus layar,
kondur mring Tanah Jawane,
prapta jujug Majalengka,
kuneng datan winarna,
reroncening kardinipun,
Sri Kalana Dayaningrat.

13. Wus panggih lawan sang suputri,
atut denya palakrama,
langkung sih-asih kalihe,
sigegen datan winarna,
ing solah lamenira,
nyenyuwe lakuning catur,
kang binujung ing carita.

14. Gancare sawiji-wiji,
para putra Majalengka,
pinrih prate lane kabeh,
kang marna minta aksama,
dene supe prenahnya,
kang anem lawan kang sepuh,
mung sapikantuking brangta.

15. Arenira sang sudewi,
priya apekik kang warna,
Sang Lembu Peteng namane,
tunggil saking putri Cempa,

tinanem ing Mandura,
mring rama sinung jejuluk,
adipati ing Mandura.

16. Nulya arine pawestri,
sami saking putrì Cempa,
kalangkung pelak warnane,
anama Ratu Masrara,
tresna mring bokayunya,
pinet ing ratu pambayun,
sadulur kadi putranya.

17. Tumut maring Pajang Pengging,
sang dyah sawusnya diwasa,
kasmaran marang kang ipe,
Sang Prabu Handayaningrat,
baguse tanpa sama,
tan ana lyan ingkang ketung,
amung kang raka narendra.

18. Pinakramaken tan apti,
pineksa mring ibu-rama,
sang retna meksa amopo,
amung ketang ingkang raka,
atajin dhahar nendra,
anggeges sarira kuru,
anglayung liyep araras.

19. Kang bokayu prameswari,
ing Pengging uningeng cipta,
kang dadya paraning tyase,
kang rayi Ratu Masrara,
langkung kewran ing naia,
kang rayi tansah ingimur,
nanging meksa datan kena.

20. Wus kandhem kerem ing kapti,
nanging tan kapadhan karsa,

dadya sang retna karsane,
tan atolih ibu-rama,
tan etang kadang-warga,
amung ketang wirangipun,
dadya anglampus sang retna.

21. Seda kendhat sang suputri,
milane dalasan mangkya,
sang putri kocap makame,
aran makam Rara Kendhat,
tepi wetan kedhatwan,
ing Pengging tepining umbul,
karan umbul Rara Kendhat.

22. Kuneng kang winuwus malih,
putrane Sri Brawijaya,
dyan Jaka Damar wastane,
kang ibu putii denawa,
tinanem ing Palembang,
mring rama sinung jejuluk,
Arya Damar ing Palembang.

23. Binaktan wadya jalwestri,
pan wong limangatus somah,
lan sinungan wewenange,
anabuha Lokananta,
lan wenang anganggea,
tengran kapraboning ratu,
sakwetaranya kewala.

24. Ing saben warsa sumiwi,
maring nagri Majalengka,
Arya Damar cantane,
kang mencarken para nata,
miwah para satriya,
para dipatya gung-agung,
ing Palembang sabawahnya.

25. Lawan cinarita malih,
anenggih Sang Arya Damar,
puniku kang nurunake,
mring susunan Candhibalang,
ing nagari Palembang,
ratu bituwah kalangkung,
Jeng Susunan Candhibalang.

26. Yata kang winuwus malih,
putrane Sri Brawijaya,
kang wasta Bethara Katong,
tinanem ing Pranaraga,
kang anurunaken marang,
para sentana wong agung,
ing Pranaraga sedaya.

27. Wonten putranira malih,
sang aprabu Brawijaya,
kekalih pan sami wadon,
saking ampeyan kalihnya,
tunggil sayayah-rena,
satunggil denya kramantuk,
ing Lowanu adipatya.

28. Satunggile denya krami,
antuk ing Gawong dipatya,
wonten ta malih putrane,
sang aprabu Brawijaya,
sami saking ampeyan,
jalu pekik warnanipun,
ibune kang saking Wandhan.

29. Iya putri Wandhankuning,
cinatur nguni purwanya,
sang putri Wandhankuninge,
puniku pan parekannya,
sang prameswari Cempa,
Ratu Mas Dwarawatiku,

Wandhankuning, putri tawan.

30. Saking karaman nrepati,
ing Cempa duk negri Wandhan,
binedhah ing rama Katong,
anungkul narpatenira,
atur bulu bektinya,
lawan atur putrinipun,
kang minangka tawanira.

31. Nulya sinungken mring siwi,
binekta mring Majalengka,
lami-lami kacarios,
Sang Prabu Brawijaya,
gerah kalananganya,
rajasinganen sang prabu,
kalintang sangeting gerah.

32. Tan tumama ing jejampi,
sagunging dhedhukun samya,
anelas ing usadane,
nging meksa madal kewala,
Sang nata kasangsaya,
susah ngranuhi tyasipun,
sewu siwuhen srinata.


1. Ing dalu sang nata nendra,
lagya erem-erem pitik,
my arsa swara lamat-lamat,
ujaring swara dumeling,
heh ratu Majapahit,
yen arsa waras sireku,
sira sacumbanaa,
lawan putri Wandhankuning,
lamun sira wus kalakon sacumbana.

2. Yekti waras laranira,
sang nata kagyat anglilir,
pungun-pungun sru kagagas,
karaos sangeting sakit,
kuneng datan winarni,
ing solahira sang prabu,
pan sampun sacumbana,
lawan putri Wandhankuning,
sri narendra gerahnya sampun waluya.

3. Sang putri Wandhan semana,
wawrat katur ing sang aji,
praptaning mangsa ambabar,
miyos jalu warna pekik,
nanging Sri Narapati,
sakalangkung wirangipun,
yen angakena putra,
mijil saking Wandhankuning,
dadya sinungaken maring juru sawah.

4. Mijil saking bebutulan,
tan ana wong kang udani,
kinen ngaken sutanira,
priyangga mring juru sabin,
kuneng datan winarni,
ing solah myang laminipun,
Raden Putra namanya,
Bondhan Kejawan wewangi,
Raden Lembupeteng ing Tarub wismanya.

5. Aja na kaliru tampa,
sagung kang samya sudyapti,
mamredawa ing carita,
Lembupeteng pan kekalih,
satunggal saking padmi,
kang tinanem Mandureku,
satunggil sing ampeyan,

kang aneng ing Tarub nenggih,
wonten malih putra priya saking ngarsa.

6. Patut saking putri Cina,
puniku pan garwa padmi,
putrane prabu ing Cina,
prameswari Majapahit,
nanging garwa taruni,
putri ing Cempa kang sepuh,
prameswari ing Cina,
cinarita anggarbini,
lagya pitung candra anulya sang nata.

7. Kae waning driyanira,
sengit mulat ing sang putri,
anulya sang putri Cina,
tinarimaken mring siwi,
Arya Damar wineling,
aja rinewang salulut,
yen durung wawratannya,
lairing kang jabang bayi,
yen wus lair apa sakarepe benjang.

8. Binekta maring Palembang,
sang putri denya garbini,
prapta ing mangsa ambabar,
miyos kakung warna pekik,
sampun sinung wewangi,
Raden Patah namanipun,
yeku duk timurira,
Panembahan Bintareki,
wonten malih putra priya sing ampeyan.

9. Jaranpanolih wastanya,
pinrenah dening ramaji,
aneng Sumenep negara,
wonten malih putra katri,
tunggil sayayah-bibi,

saking ampeyan puniku,
ingkang sepuh pan priya,
Raden Gugur kang wewangi,
arenipun panenggak pan inggih priya.

10. Dyan Jaka Teki wastanya,
arinya malih pawestri,
Ratu Turnus wastanira,
sampun diwasa sang putri,
nging dereng ayun kewarni,
remen wewujang sang ayu,
yata kang kawuwusa,
Dyan Jaka Gugur ing nguni,
pan kinanthi mring kang rama Brawijaya.

11. Aneng nagri Majalengka,
pan kinarya senapati,
ing karya sajroning praja,
lan kang rayi Raden Teki,
Raden Gugur ing nguni,
duk bedhaing Majalengka,
kalangkung wirangira,
arsa tumut ing ramaji,
ing muksane sumengka mengawak braja.

12. Ingkang rama Brawijaya,
asanget tan anglilinani,
Dyan Gugur kinen kariya,
lawan sakadangireki,
tuwin sami wineling,
nungkula mring kadangipun,
Raden Gugur semana,
nglampu nusup ing asepi,
namur kula ngilangken kaputranira.

13. Silurup pan ngayam alas,
lawan sakadangireki,
kang tunggil sayayah-rena

denya lelampah wong katri,
prapta sukuning wukir,
awasta ing wukir Lawu,
kidul-kilening arga,
tebih saking Majapahit,
saking ngriku apan lelakon nem dina.

14. Dyan Jaka Gugur samana,
kendel kalawan kang rayi,
aremen pasitenira,
kinarya enggen amregil,
pan arsa mangun teki,
sira Raden Jaka Gugur,
akarya padhepokan,
munggeng lelambunging wukir,
Raden Gugur abentur kasutapanya.

15. Munggeng lambunging aldaka,
dene padalemaneki,
tan patya doh lan asrama,
babad wana wus kinardi,
padhekahan wus dadi,
tan kawarna lamenipun,
kathah kang tumut wisma,
banjeng nut ujunging wukir,
iring-iring lelengkeh myak lebak-lebak.

16. Wontenta wisma sanambang,
katelah dalasan mangkin,
dhusun karan kang ayasa,
ing Gugur wastanireki,
yata kawuwus malih,
ing nguni Rahaden Gugur,
alama ingulatan,
lami denya tan kepanggih,
kepanggihe antara tigang warsa.

17. Tinimbalan maring Demak,

wus Islam agama sud,
lawan kang rayi kalihnya,
wus anandhang iman sami,
nging Raden Gugur maksih,
karem mangun tapanipun,
neng padhepokanira,
dene ta Rahaden Teki,
pan pinernah marang raka mangulona.

18. Iya ing bumi tempuran,
dene padhukuhaneki,
awasta dhusun Tersana,
dene ingkang rayi estri,
sampun amawi krami,
kyageng Majasta puniku,
kuneng malih winarna,
putraning Brawijayeki,
priya saking ampeyan pekik kang warna.

19. Ulading cahya sumunar,
lir wulan purnamasidi,
lurus pasariranira,
jenar pamulu respati,
pideksa lus kang daging,
aparek driya asemu,
ran Jaka Prabangkara,
wasis ing sabarang kardi,
cinarita kae Jaka Prabangkara.

20. Pan datan ingaken putra,
mring sang prabu Majapahit,
ing purwane srinarendra,
nuju ameng-ameng mijil,
namur kula sang aji,
tan ana wadya kang tumut,
mung kang ngampil pawohan,
Semut Gatel wong kekalih,

srinarendra mider sajawining kitha.

21. Anuju sayah sang nata,
angantuk pan arsa guling,
nuju celak wismanira,
mantri lurah jagal nenggih,
sang nata nulya mampir,
lajeng asare ing ngriku,
yata sang mantri jagal,
darbe atmaja pawestri,
warna pelak wus krama lakine pejah.

22. Wus patutan satunggal,
lawan lakine kang mati,
nanging atmajane lina,
dadya arandha ing mangkin,
lagya mempeng ing warni,
angladeni ing sang prabu,
sang nata wus kagiwang,
datan saranta ing kapti,
nimbok randha sinarenan ing sang nata.

23. Wusnya mangkana sang nata,
kondur maring dalem puri,
tan kawarna lamenira,
nimbok randha kang winarni,
semana anggarbini,
praptane ing mangsanipun,
wawratannya ambabar,
mijil jalu warna pekik,
nggih punika Risang Jaka Prabangkara.

24. Suwita mring Srinarendra,
kinarya lelurah sungging,
winasis akarya gambar,
tinuduh maring ramaji,
anggambar saisining,
wana ing sakutu-kutu,

walantaga salirnya,
jro praja jawi prajeki
pan katulat sedaya tan wonten siwah.

25. Jroning samodra ginambar,
kang mina-mina geng alit,
ingkang gumremet rumangkang,
saisining jalanidhi,
tan salaya ing warni,
kagawokan sang aprabu,
kalangkung asih tresna,
mring Prabangkara panyungging,
ing batine sang nata wus ngaken putra.

26. Amung ing lahir sinasab,
yata semana sang aji,
aken anggambar kang garwa,
Ratu Mas Andarawati,
ginambar sampun dadi,
datan salaya sarambut,
warnane putri Cempa,
sang nata suka tan sipi,
leng-leng mangu mulat ing gambar wangunan.

27. Yayah pindha bisa ngucap,
dangu-dangu sribupati,
mulat ingkang pawadonan,
angandheng-andheng kaeksi,
pan katetesan mangsi,
Ki Jaka panggambaripun,
sang nata semu duka,
tatanya paran marmeki,
kae Jaka aturnya pan katetesan.

28. Ing mangsi panggambar amba,
tan ngantos kawula kerik,
amba nuwun pangaksama,

ing gusti srinarapati,
sang nata datan angling,
kawistara runtikipun,
ginagas ing wardaya,
sang nata tampaning galih,
apa baya si Prabangkara weruha.

29. Sacirining garwaningwang,
jroning kenya yayi dewi,
punang as ana cirinya,
andheng-andhengira wilis,
enggone ambeneri,
tan siwah ing prenahipun,
liring as pawadonan,
basa keni ku tetapih,
Srinarendra saya kagagas dukanya.

30. Pangunandikaning nala,
yen mangkono si panyungging,
baya wus saresmi lawan,
yayi Mas Andarawati,
dene weruh ing ciri,
andheng-andheng ring asipun,
sisungging liwat ala,
wani anyidra ing resmi,
binecikan mengkono pemalesira.

31. Kuneng laminya semana,
sang nata saya ngranuhi,
dukanira mring ki Jaka,
saben ki Jaka kaeksi,
wungu runtikira ji,
dadya karsane sang prabu,
ki Jaka sungging mudha,
karsa pinaten ing ratri,
sang nata ken nimbali patih sarkara.

IV

1.Kyana Patih Gajahmada prapti,
wus jinarwan sakarsaning nata,
lamun Ki Sungging ing mangke,
apan arsa linampus,
aja karya rudahing ati,
lan aja awet dadya,
kaliliping prabu,
asepet medhesi netra,
sru angganjel ing siyang dalu tan kenging,
kinaya eca nendra.

2. Duk miyarsa rekyana apatih,
Gajahmada sanget pemambengnya,
akathah-kathah ature,
wonten salokanipun,
sagalaking sarpa kang mandi,
myang sagalaking sima,
tan wonten kang kolu,
makan sutaning priyangga,
sampun silih manungsa kang sinung budi,
yen koluwa mring suta.

3. Ing pejahe tan tahan sayekti,
lawan wonten ing paribasannya,
nadyan tega larane
tan tega patinipun,
lan punika Ki Jaka Sungging,
dosane tan yumana,
amung salang-surup
panduka kang salah nyana,
dereng yekti kasesapan duka runtik,
tan ngangge sinaringan.

4. Kirang saranta tyas paduka ji,
anindaki ing budi dadakan,
deduka tan sambadeng reh,

paduka pan ratwagung,
kasumbageng ngelaya bumi,
kocap sugih dandanan,
ing reh para putus,
tuwin para bijaksana,
wewekan jrah wruh serapating arempit,
ing semu tan kuciwa.

5. Ing praniti sami ngati-ati,
boten kekirangan ing pranata,
satata tata titine,
tatal titikanipun,
pan puniku pun Jaka Sungging,
ing titi dereng katrap,
traping para putus,
tan wonten kang tumitisa,
pamutuse ing pamancas kang patitis,
witaning para tama.

6. Yen estua karsa paduka ji,
sinten gusti ingkang kaecalan,
tan wun nalangsa ing tembe,
kya patih aturipun,
sarwi nangis anggegondheli,
marang srinaranata,
sampun ta kabanjur,
temah keduwung ing wuntat,
anuruti ing karsa kang tan saririh,
sarehning amranata.

7. Srinarendra waspanira mijil,
pungun-pungun karantan ing naia,
kacatet dening ature,
kyana patih pan putus,
ing weweka tanduking gusti,
dadya srinaradipa,
wurung karsanipun,

denyarsa nglunasi jaka,
duk samana sang nata nulya bebisik,
mring patih Gajahmada.

8. Wus katampan sasmitaning aji,
yen ing mangke karsaning narendra,
Ki Jaka Sungging mudhane,
mung pinrih kesahipun,
saking nagri ing Majapahit,
nyinggahana deduka,
ning rama sang prabu,
nanging sinamun karsanya,
saderenge kelakon kinarya dhemit,
nulya kya patih medal.

9. Panggih lawan ki Jaka Panyungging,
dhinawuhan karsane narendra,
ingapuskrama jatine,
ing mangke karsanipun,
ramandika srinarapati,
andika sinung karya,
anggambara sagung,
saisining awang-awang,
den katulat aneng warna papan tulis,
saisining gegana.

10. Surya wulan lintang-lintang tuwin,
kilat thathit kekuwung myang teja,
kang sarpa tapak angine,
teluhbraja andaru,
laban-laban myang lintang ngalih,
baledheg lawan gelap,
agraning galudhug,
mendhung lawan mega-mega,
sarawungan lelayu kang mega kuning,
ujunging jumantara.

11. Caratwarsa udan angin-angin,

saniskara isining gegana,
kinen anggambara kabeh,
muwah kang manuk-manuk,
ingkang datan urip neng bumi,
kang samya ngawang-awang,
keh waarnaning manuk,
kadya ta peksi Dewata,
sajinise kang datan anunggal warni,
len beri Peksiraja.

12. Kae Jaka sandika tur neki,
anglenggana ing sakarsa nata,
kya patih gya wangsul age,
marek ing ngarsa prabu,
mawotsari rekyana patih,
sampun katur denira,
angembani dhawuh,
tuwin ature dyan Jaka,
Prabangkara datan lenggana karsaji,
thrustheng tyas srinarendra.

13. Wus. bubaran kyana patih mijil,
nulya sang nata aken akarya,
layangan ingkang agedhe,
pitung dhepa gengipun,
mawi kurung panggenaneki,
ki Jaka Prabangkara,
sapirantenipun,
pinanci sasangunira,
kuneng laminira samana wus dadi,
layangan langkung pelak.

14. Sinung pindha layar sampar angin,
olan-olan lan sangga akasa,
sesinthing tadhah angine,
ing tengah nggening kurung,
kadi wisma samakta sami,

sinamaptan sangunya,
sapirantenipun,
sadandaning mawarna,
srinarendra nulya nimbali pepatih,
lawan sagung punggawa.

15. Sampun pepak mantri jro nagari,
punang layangan sumaos ngarsa,
pepak sapala kartine,
tetali ngundhung-undhung,
kadi gunung anakan kesi,
lan sinung pamuteran,
panguluring tangsul,
nulya Jaka Prabangkara,
nembah amit mangastuti ing nerpati,
sang nata ngasta serat.

16. Tetingkeman ingecapan jawi,
nulya sinungaken mring ki Jaka,
sang nata pangandikane,
kulup wacanen iku,
ing cirine kang anengjawi,
Raden Jaka tur sembah,
dan winaca gupuh,
cirine ponang nawala,
sinukmeng tyas mangkana unine tulis,
layang dhawuh mring putra.

17. Sungging mudha Prabangkara kaki,
tampanana iki layang ingwang,
parentah marang dheweke,
nanging pepacuh ingsun,
maring sira layangong iki,
ywa sira buka-buka,
lamun durung tutug,
anggonira anggegambar,
saisining gegana poma ta kaki,
aja wani ambuka.

18. Besuk lamun wus palesta kaki,
enggonira anggambar awiyat,
barang saisine kabeh,
ing kono sira kulup,
ambukaa ing layang iki,
ki Jaka satelasnya,
ing pamacanipun,
cirining srat tetingkeman,
wus kadhadha sandika aturireki,
sawusnya nulya minggah.

19. Ing layangan jro kekurung nenggih,
nulya sang nata ken anginggahna,
layangan den umbulake,
pareng maruta nempuh,
layar samya madhahi angin,
sru muluk angambara,
keras siyutipun,
yayah garudha manglayang,
iberira risang beri Kagapati,
mangkana isthanira.

20. Ponang layangan meh tan kaeksi,
nulya sang nata angunus pedhang,
ingkang kalangkung landhepe,
pedhang katingal murub,
srinarendra tumengeng nginggil,
layangan tan antara,
wus datan kadulu,
sampun silem ing ngawiyat,
dan sang nata aken anyandhet tetali,
den uger ing tetiyang.

21. Tiyang pamugeraning tetali,
nulya sang nata tedhak sing dhampar,
sarya anganggar pedhange,
angandika sang prabu,

heh apatih myang pra dipati,
punggawa Majalengka,
den padha angrungu,
seksenana ujaringwang,
maring sutaningsun si Jaka Panyungging,
kang wus aneng ngawiyat.

22. Heh suta ngong Sungging mudha kaki,
poma sira aja tiba-tiba,
yen durung prapteng pernahe,
ing Cina nagara gung,
kono sira tibaa kaki,
yen wus kalakon sira,
tiba ing Cineku,
kono besuk nuli ana,
kang amupu tetulung mring sira kaki,
tinarik mring kakamulwan.

23. Luwih mulya sira besuk kaki,
amencarken wiji aneng Cina,
werateng tanah-tanahe,
tembe anak putumu,
keh manusung mulih mring Jawi,
padha milu winenang,
amangana besuk,
pametuning tanah Jawa,
samergane pangupajiwane gampil,
samya kerasan wisma.

24. Kyana patih myang para dipati,
sinatriya pra mantri punggawa,
samya saur kukilane,
gumuruh samya jurung,
hayu-hayu muga sang pekik,
rahayua ing paran,
kalakona besuk,
sasebdane rama nata,

tan antara geter pater mertandhani,
jumegur ing ngawiyat.

25. Sinauran dhedhet erawati,
nulya sang nata angangkat pedhang,
tetali pinancas age,
pancas tetali rampung,
sebut mesat tali kang nginggil,
isthane kang pusara,
lir naga-rota gung,
manglayang mring jumantara,
tuwin pindha carat warsa puser angin,
ngragancang ngawang-awang.

26. Tan antara wus datan kaeksi,
kang pusara binekteng layangan,
sruning maruta sumeret,
ngedet yayah den ubub,
kuneng ingkang wus aneng nginggil,
yata wau sang nata,
pedhangira sampun,
sinarungken nulya lenggah,
ing dhedhampar sarwi andulu tetali,
pesate mring gegana.

27. Srinarendra anjetung tan angling,
kunusing tyas angungun kalintang,
yayah kauwan isthane,
basa kauwan iku,
ing tegese wong ngregem peksi,
ingon-ingone lawas,
kekasih tur cumbu,
ucul musna sangking asta,
lenyap dadya kauwaning tyas mranani,
sang sri angreras driya.

IV

1. Mangu-mangu manguneng nekani,
kakenan tyas kepon,
lir kapesan kepasuk puseke,
mewu metek putek kapetek ring,
wirangrong tan aring,
ngarang rangu-rangu.

2. Angles mules yayah den lolosi,
bayune sang katong,
katetangi ketang katresnane,
ring sesuta satataning urip,
asih maring siwi,
sawitning tumuwuh.

3. Ring tumuwuh wahananing jalmi,
jatmikeng lelajon,
lelajone ngajeng kelajenge,
kabujeng ring butajenganeki,
nir prayojan aji,
jingjinging pangejum.

4. Jumurunge kang samya jurungi,
ujar kang rinojong,
anerajang wimijangan bekjeng,
juwet-juwet deh jejawat pati,
pati tan patitis,
tiwas temahipun.

5. Yen estua anemahi lalis,
lalisa aneng don,
ing kasidan mangka usadane,
dedukane teka mindakani,
sandening dumadi,
andon reh kang dudu.

6. Dudu tindak dadak den tindaki,

dumadak tan panon,
dening driya nirteng darunane,
tan derana kadiraning galih,
gelah-gelah westhi,
pangesthining nguthuh.

7. Nguthuh ing reh tar sesthi westhining,
pepathen kinaot,
kautamanira tan pangene,
kahananing nata nguni-uni,
uninga wangening,
wawenang winangun.

8. Wangunaning naya kang winuni,
wenang angon tinon,
witning anung nahen wahanane,
kang winaon ring sang miwahani,
anenilas warti,
anatar pitutur.

9. Ing pitutur marta tar kentaring
amrih katartanton,
ning tumitah paramarta wite,
pawitaning kang para nerpati,
putus ing praniti,
satata winantu.

10. Ing wewaton kang tinaki-taki,
titikaning katong,
kang tinulat-tulat tyas tulaten,
nginte-inte aniten-niteni,
anuting darmaji,
pinuji pinunjul.

11. Panjang lamun kawijila ing ling,
wulanguning katong,
tan wrin waspa nira dres wijile,
tuwin wau rekyana apatih,

myang para dipati,
mantri punggawa gung.

12. Samya ngungun jetung tan kena ngling,
sadaya wetu loh,
sami ton-tonen kabangkitane,
raden jaka limpat sarwa wasis,
sembada lus budi,
pekik wamanipun.

13. Srinarendra wus mupus ing galih,
dan kondur ngedhaton,
kyana patih undhang bubar kabeh,
pra dipati pra punggawa mantri,
sowang-sowang mulih,
kuneng kang winuwus

14. Sang kaswasih kang binekteng angin,
angasut tan alon,
sru sumungsung ing an tarile sane,
muluk yayah ngayuh ing wiyati,
silem kang pratiwi,
mor ing namu-namu.

15. Siyang dalu pangededing angin,
gumarebeg angrok,
mila punang layangan lakune,
datan kandheg-kandheg sru manginggil,
neng jumantareki,
kuneng lamenipun.

16. Duk semana layangan wus prapti,
nggening peksi katong,
paksi beri lawan sajinise,
ingkang sami tinitah neng nginggil,
myang dewata paksi,
ginambar sadarum.

17. Satelase ponang paksi-paksi,

anulya sang anom,
penggambare ing gegana kabeh,
saisen-isening ngawiyati,
tan ana kang kari,
ing panggambaripun.

18. Ri sampunnya sampat ing pakarti,
paripurnaning don,
pan sawidak dina ing lawase,
palestaning panitranireki,
nulya sang apekik,
angesthi ing kalbu.

19. Apan arsa ngyetenana nuli,
dhawuhe sang katong,
kang pinacak anengjro tulise,
tetikeman kang wineling-weling,
ki jaka yun uning,
paran wadinipun.

20. Punang serat binuka tumuli,
mring Ki Sungging anom,
sinukmeng tyas winaca tembunge,
penget iki layang ingsun kaki,
ingkang mijil saking,
sucining tyas ingsun.

21. Sarta wuryaning pangestu mami,
myang sesantining ng mg,
yoga sadaka uparenggane,
dhawuha ta marang sira kaki,
Prabangkara Sungging,
mudha sutaningsun.

22. Kang wus putus ing titi patitis,
Trusing pasang semon,
ri sasmita katon lukitane,
pasang cipta graita lelungit,

kang sarwa binangkit,
pangulah linuhung.

23. Kang tan kewran wraning ganal alit,
laku kang linakon,
setya tuhu ing pasuwitane,
ing mengko kang lagi anglakoni,
ing parentali marni,
mi tuhu pituduh.

24. Ingsun utus anggambar salwirning,
antariksa kono,
barang katon ginambara kabeh,
ing sawusing pangestu ngong kaki,
myang sesanti mami,
marang ing sireku.

25. Ing wiyose kulup Jaka Sungging,
mudha sutaningong,
aprakara layang isun kiye,
dadia ing pratandha ngong kaki,
wekas-wekasaning,
ing pangandikaningsun.

26. Dadya pamegate tresna mami,
mring sira nak ingong,
awit angkatira saking kene,
angambara maring ngawiyati,
kalangan tumiling,
mangalayeng luhur.

27. Pepungkasanta katemu kaki,
lawan jeneng ingong,
kongsi prapteng paranira tembe,
aja susah-susah nganggo mulih,
maring Majapahit,
poma-poma pikulup.

28. Lawan aja salah tampa kaki,

ing reh walangatos,
melang-melang kang ora-orane
tibaa ring pancabaya kaki,
kumaddela maring,
sang amurbeng tuwuh.

29. Marmane kang mangkana ta kaki,
dene ta samengko,
jeneng isun iki teka seje,
rasaningtyas tan kadi ing uni,
teka kudu runtik,
marang ing sireku.

30. Nora kena rinapu riniring,
murang-muring ingong,
wus tan kena ing reh pinrih sareh,
malah wuwuh sangsaya and adi,
bendu ngong mawardi,
kudu amrih dudu.

31. Tan karuhan darunaning budi,
buteng mawor keron,
amung eling sengitingsun bae,
maring sira nora kena lilih,
baya pinasthi,
karseng jawata gung.

32. Pinisahken sira lawan mami,
tan atunggal enggon,
pan mengkono kaki kajatine,
poma-poma lakonana kaki,
sapituduh mami,
aja tumpang surup.

33. Sira nora ingsun prih ing pati,
amung karsaning ngong,
angsung dedalan marang dheweke,
dedalane kamulyanireki,

wruha kang arungsit,
ing baya pakewuh.

34. Ingkang angel ingkang sungil-sungil,
ingkang adoh elok,
ing lakon wruha kangelane,
keneng lara-lapa panas perih,
kadarung miden,
ngudara andarung.

35. Heh ta kulup weruhanireki,
wuwus kang mengkono,
sun kon pinter sireku tegese,
tembe wuwuh wiwekanta ngenting,
andon padomaning,
andedel pandulu.

36. Duluraning amrih amurwani,
kawiryawaning don,
tan lyan saking sangsara wiwite,
tur setyawan anut ing darmaji,
supaya sinung sih,
ing jawata luhung.

37. Anampani nugraha sayekti,
sangking sihing manon,
luwar sangking papa sangsarane,
nulya sinebut bangsawan tuwin,
darmawan darmaji,
punyawan winantu.

38. Ing artawan myang gunawan titih,
kertawan kinaot,
susilawan budiman wadine,
pangundhuhing wowohan ngemehi,
saturasireki,
padha mulyeng pungkur.

39. Heh ta kulup piyarsakna iki,
panedhaning ngong,
mring jawata kang murba ing rehe,
sira aja tiba-tiba kaki,
lamun durung prapti,
ing Cina praja gung.

40. Kono sira tibaa ta kaki,
aja kongsi kantrog,
den aririh tibanta ing tembe,
kono nuli ana kang nulungi,
maring sira kaki,
asih tresna tuhu.

41. Yeku besuk jalaran ta yekti,
bisa dadi katong,
asih lulut balanira kabeh,
luwih mulya karatonireki,
aneng Cina kaki,
asugih brana gung.

42. Pan kasasra ing liyan negari,
jenengira katong,
kineringan parangmuka kabeh,
kasudibyanira amumpuni,
widigdayeng jurit,
prawira dibyanung.

43. Lawan sugih atamaja sireki,
lanang miwah wadon,
anak-putunira keh pencare,
padha tulus padha sugih-sugih,
besuk jaman wuri,
akeh padha nungsung.

44. Layar maring bumi Jawa kaki,
akeh kang padha don,
sedya wisma aneng Jawa kene,

padha wenang milua ing wuri,
mangan pametuning,
tanah Jawa besuk.

45. Samergane padha sinung gampil,
pangupajiwan don,
poma-poma den waspada ing reh,
heh ta Prabangkara anak mami,
den awas den eling,
mring wawekas ingsun.

46. Titi purna pamaosing tulis,
risang prawira nom,
kabarabas deres ing waspane,
lir tineres tyasira sang pekik,
karuna tan sipi,
kawimbuhan gambuh.

VI



1. Kambuh ing driya wimbuh,
kambah barubah kabubuh-bubuh,
lir ginubah bebahing wardaya rujit,
kajujut-jujut kabanjut,
binanjet pating karejot.

2. Kumejot ing jejantung,
meh kajunjung jijange kang ujung,
lir pinejang kapejeng reh gonjang ganjing,
kapanjang-panjang manaput,
sumaput-saput tyas kepon.

3. Kepyan upaya mepu,
mopek kapetek putek margiyuh,
yayah-yayah anggayuh woding wiyati,
mawerdi werdaya nanduk,
pinanduk ing reh wirangrong.

4. Mangarang rangu-rangu,

kapirangu ngungun pungun-pungun,
amangungkung tan kawekang te kang kingkin,
kakenan unang-unang kung,
mangkana sampun sinapon.

5. Pinapas ing pamupus,
mupus ing tyas kentas wus kapusus,
man monang samaneng munadikani,
kinikis enget ing kalbu,
ilang ingkang walangatos.

6. Kang srat sinimpen sampun,
duk semana dyan jaka aneru,
panenedha maring jawata linuwih,
meminta enggaling laku,
yata tinarimeng manon.

7. Asih mring dasihipun,
tetulung mring dasih kawlasayun,
yata sanalika wonten angin prapti,
langkung adres saking luhur,
mengandhap nulya tumempoh.

8. Maring layangan wau,
angin sangking ngandhap tan lumaku,
dadya punang layangan tumurun anglis,
lakar langkung rikatipun,
binakta ing angin angrok.

9. Lir kagendra kadulu,
saking wiyat angayom tumiyup,
cumalorot yata wonten prapta malih,
angin barat-dhaya ngasut,
myang angin udara nempoh.

10. Maring layangan asru,
kang layangan anut dresing bayu,
barat-dhaya udara ngedet kepati,
angalor-ngetan sumiyut,

ngemper aniyub mangisor.

11. Kuneng ing lamenipun,
duk semana karsaning Hyang Agung,
ingkang asih murah mring dasih kaswasih,
tetulung ing kawlasayun,
punang layangan wus ngayom.

12. Rumah angemper sampun,
angungkuli ing dharatan agung,
tanah ageng nenggih ing Ciña negari,
jawi praja dhusun-dhusun,
pinggir wana-wana tunon.

13. Sukuning gunung-gunung,
alas teratab iring pepundhung,
duk semana punang maruta wus mati,
ing wanci meh gagat esuk,
nulya kang layangan anjog.

14. Tan kontrag tibanipun,
alon aririh datan aseru,
aneng pinggir wana edheng-edheng nenggih,
terataban celak dhusun,
asepi mamring kemawon.

15. Tebih lan narendra gung,
ing Yutwai wastane kang dhusun,
dhusun alit bawah ing manca negari,
wonten randha kawlasayun,
aran mbok randha Kim Liong.

16. Dama miskin kalangkung,
sru malarat alit wismanipun,
sampun lami linane lakinireki,
nistha papa kawlasayun,
meh tan jamak samining wong.

17. Kacatur darbe sunu,

estri satunggil warnanira yu,
ing wayahe sang dyah pan sampun birahi,
sumedhenge anomipun,
nanging dereng pati katon.

18. Rehning parawan dhusun,
dhasar miskin sru kangelanipun,
ing warnane apan dereng pati mijil,
sruning papa kawlasayun,
nistha datan amerabot

19. Keng Mu W ah namanipun,
lola tinilar ing ramanipun,
amung lawan renane ngupaya bukti,
saben ari karyanipun,
sira mbok randha Kim Liong.

20. Mring wana celak dhusun,
terataban sesukuning gunung,
wong kekalih kelawan sutanireki,
ramban ipil-ipil kayu,
jejanganan miwah godhong.

21. Ing sapikantukipun,
jejanganan godhong kayu-kayu,
yen wus antuk nulya winade tumuli,
maring dhusun liyanipun,
mrepat myang mancalima doh.

22.Sapayu-payunipun,
kang kinarya ing patumbasipun,
kang binukti ing sadina lan sawengi,
makaten salaminipun,
yata ing dina sawiyos.

23. Mbok randha nuju metu,
mring wana lir saben-sabenipun,
wong kekalih kalawan sutanireki,
dahat ing kawelasayun,

aterutusan wong roro.

24. Maring sukuning gunung,
ereng-ereng lelebak pepundhung,
akerapa reramban ipil-ipil,
jejanganan kayu-kayu,
godhong apan arsa den dol.

25. Semana wancinipun,
maksih injing pan ing pukul wolu,
ni mbok randha semana kagyat ningali,
ing ngarsa ana kadulu,
kadi wisma magrong-magrong.

26. Nanging dede wismeku,
kadi wisma sinawang gengipun,
pinerpekan rakite lir palwa kunthing,
ngangge layar tadhah bayu,
kathah layare mirantos.

27. Dyan Jaka Sungging weruh,
lamun ana jalma nulya mudhun,
sangking kurung Rahaden Jaka aririh,
prapta ing dharatan sampun,
Dyan Jaka merpeki alon.

28. Mring nimbok randha wau,
ni randhesmu ajrih ragi mundur,
tuwin sutanira dahat denirajrih,
gegendholan biyangipun,
pucat sarira dherodhog.

29. Panggraitaning kalbu,
ni mbok randha apa baya iku,
perayangan peri kang amarabumi,
apa bangsaning lelembut,
kang rumekseng alas kono.

30. Myang dhanyang-dhanyang gunung,

apa dhemit-dhemiting wana gung,
kang rumekseng alas gunung kene iki,
kang kabeh sabangsanipun,
padha nyiluman tan katon.

31. Amdi katoni iku,
malih warna mindha manuseku,
sun wetara kakung perayangan iki
asejen panganggenipun,
busanane sarwa seyos.

32. Tan kadi rakitipun,
busanane wong kene satuhu,
dhemit iki warnane teka asigit,
jatmika anteng asemu,
cahyane mancur mencorong.

33. Balerengi dinulu,
yen upama jalmaa satuhu,
iki dudu satune wong cilik-cilik,
amung putraning ratwagung,
kang pantes cahya mengkono.

34. Dyan Jaka awas dulu,
mring mbok randha Kim Liong puniku,
sanalika Dyan Jaka enget ing galih,
anampa sang ra mipun,
busana barang pangangge.

35. Kadi parekanipun,
nguni prameswarinira prabu,
prameswari kang saking Cina negari,
myang suthuping netranipun,
tunggal kang pasang pasemon.

36. Myang kekulitanipun,
dhedhasare kuning kulitipun,
Raden Jaka osiking tyas baya iki,

wong Cina pawestrenipun,
wauta randha Kim Liong.

37. Nulya tetanya gupuh,
cara Cina ing patanyanipim,
lah bagea wong anom kang anyar prapti,
ingong tetanya satuhu,
anedha jinaten ingong.

38. Apa silih lelembut,
dhedhemiting wana gunung-gunung,
perayangan peri kang amara-bumi,
apa dhanyang ing wana gung,
kang padha rumekseng kono.

39. Arsa aganggu-ganggu,
karya lelara kang teluh-neluh,
apa baya manungsa-manungsa yekti,
sajarwaa wong abagus,
apa si Liong Te Pekong.

40. Prapta arsa angracut,
pati urip ngalap jiwaningsun,
yen upama sira manungswa sayekti,
wong paran wastanireku,
tanahmu celak apa doh.

41. Lawan sapa aranmu,
Raden Jaka ariris sauripun,
cara Cina patitis ing tembung manis,
dyan Jaka nguni wus putus,
ing basa Cina mengkono.

42. Muwah ing tulisipun,
apan sampun limpat sang binagus,
kang amuruk nguni embane sang p u t r i ,
ing Cina kang krama antuk,
ing Majapahit sang katong.

43. Akathah wadyanipun,
para m a n t r i ing Cina kang tumut,
punika kang sami rerewangan angling,
lan Raden Jaka ing dangu,
mila winasis sang anom.

44. Barang patanyanipun,
ni mbok randha Kim Liong sadarum,
Raden Jaka Prabangkara pan mangerti,
yata wau wuwusipun,
Dyan Jaka amucung alon.

VII



1. Lah ta biyung kula pan dede lelembut,
dede perayangan,
lan dede dhanyang dhedhemit,
lawan dede Ong Te Pekong dede dewa.

2. Yektosipun kula puniki ta biyung,
pan inggih manungsa,
wong Jawa kamulan mami,
dasihipun srinarendra Majalengka.

3. Kula biyung nemut gatel ing sang prabu,
nanging sanget nistha,
Prabangkara aran mami,
ina budi wijiling wong sudra papa.

4. Tur balilu tanpa kabudayantengsun,
bodho tanpa guna,
ugungan sangkaning alit,
pan kapatuh katungkul umbar-umbaran.

5. Kula biyung tan mantra-mantra ing semu,
angawuleng nata,
duk tinuduh ing nerpati,
sesinaon ing tulis pan dereng bisa.

6. Taksih bingung tuna liwat kumprung pengung,
kathah kanca kula,
sedaya sami winsis,
amung kula biyung kang bodho priyangga.

7. Tuna kawruh datan uningeng lor kidul,
mila gung dinukan,
ing gusti sranarapati,
dene tiba kula ing ngriki punika.

8. Tan sedya yun ing pratingkah aru-biru,
ing nguni purwanya,
kula lagya anglampahi,
parentahing gusti nateng Majalengka.

9. Duk tinuduh anggambar saisenipun,
ngawiyat sadaya,
kang elok-elok kaeksi,
ing antara tetirah ing jumantara.

10. Kula sinung kang minangka marganingsun,
minggah ing gegana,
layangan lir palwa kunthing,
sinamaptan layar-layar kadi palwa.

11. Lawan sinung bekakas piranteningsun,
myang sesangu kathah,
kawrat munggeng kurung sami,
datari kirang sangu malah ngantos tirah.

12. Taksih agung pan puniki luwihipun,
neng tunggangan kula,
dupi ing pakaryan mami,
wus palesta panggambar kula sedaya.

13. Nulya rawuh angin dres kang sangking luhur,
nempuh ing layangan,
layangan anulak bali,
siyang latri ngedet tumurun mangandhap.

14. Dupi sampun celak lawan gunung-gunung,
ngayom mring dharatan,
nuju pamatining angin,
duk ing wau dalu wand gagat wetan.

15. Dadya dhawuh ing kisma tunggangan ingsun,
ing ngriki punika,
kula angungun tan sipi,
katujune dika biyung nunten prapta.

16. Yata wau ni bok randha duk angrungu,
jetung kagawokan,
ngungun gegetun tan sipi,
lenger-lenger dening atebih kalintang.

17. Lan kalangkung welas marang sang binagus,
yata ni bok randha,
alon wuwusipun malih,
yen mekaten anak andika punika.

18. Pan kalaut kalunta kalantur-lantur,
katut ing layangan,
pedhot binekta ing angin,
kombak-kombul tiba ing liyan negara.

19. Pan kalangkung tebih ing tibanireku,
sangking tanah Jawa,
sangking nagri Cina ngriki,
tanah Jawa pan kidul-kilen prenahnya.

24.Nging puniku tebihe kalangkung-langkung,
pan kalang-kalangan,
ing samodra ageng nenggih,
angliwati pulo geng-ageng akathah.

21.Samodra gung lelayaran tigang tengsu,
angin kang sedhengan,
ing nguni anak duk masih,
nenggih paman dika ingkang sampun lina.

22. Apan sampun nate layar duk ing dangu,
maring tanah Jawa,
sampun wruhing Majapahit,
duk Sang Ong Te nguni miwaha ring putra.

23. Krama antuk srinarendra Majalangu,
nguni paman dika,
andherek sang raja putrì,
pan giliran ing pakaryaning narendra.

24. Wretenipun ing mangke sang retnaningrum,
sampun pepisahan,
kalawan srinarapati,
prameswari sang raja putrì ing Cina.

25. Pisahipun lagya bobot pitung tengsu,
nulya karsanira,
sang aprabu Majapahit,
raja putri tinarimaken ring putra.

26. Kang tinandur ing Palembang negara gung,
aran Arya Damar,
puniku punapa yekti,
kae jaka lingira inggih sanyata.

27. Malah sampun ambabar wawratanipun,
putra mijil priya,
warna lir rama sang aji,
ni mbok randha Kim Liong malih wuwusnya.
28. Lah ta bagus kadi paran warnanipun,
jro tunggangan dika,
kula pan arsa udani,
kae Jaka lingira inggih sumangga.

29. Mangkat sampun Ki Jaka kang aneng ngayun,
nulya nyai randha,
ing wurine kang sutestri,
prapta nggening layangan wus sami lenggah.

30. Ing jro kurung ni randha kacaryan dulu,
tuwin sutanira,
sami kacaryan ningali,
dene kadi wisma sapirantenira.

31. Tuwin wau piranti panitranipun,
gambar pira-pira,
kalintang samya di-adi,
isen-isen ing wiyat kang sarwa pelag.

32. Sang binagus amijilken segahipun,
roti warna-warna,"
myang adi-adining Jawi,
kang kewawi kinarya lelungan lawas.

33. Tuwin banyu inuman kang sarwa arum,
apan misih kathah,
kabeh cinaraken sami,
mring ni randha tuwin wau sutanira.

34. Wong tetelu sami mangan roti gandum,
kalawan mertega,
miwah sawarnane roti,
wusnya tuwuk nulya ki jaka wuwusnya.

35. Lah ta biyung yen amarengi ing kayun,
andika yen sotah,
amupu ing kawlasasih,
inggih biyung kawula ngenger ing dika.

36. Kula biyung mapan boten sedya mantuk,
dhateng tanah Jawa,
pan sampun wirang wak marni,
nyai randha langkung sukanireng driya.

37. Wuwusipun inggih prayoga kelangkung,
kalamun andika,
sudi angenger wong miskin,
nistha papa tan adarbe paran-paran.

38. Sang binagus saurnya inggih satuhu,
anulya ki jaka,
den ajak mulih mring panti,
tan lenggana ki jaka sarya babekta.

39. Ngusung-usung pepanganan wong tetelu,
lawan pirantinya,
bekakasira sang pekik,
wangsal-wangsul pangusunge kang dandanan.

40. Lawan sagung kekarene sangu-sangu,
pan kalangkung kathah,
miwah ingkang layar sami,
mori pethak tuwin awaking layangan.

41. Mori alus sakalangkung wiyaripun,
myang atali samya,
ragangan binekta mulih,
patang dina telase pangusungira.

42. Tan kawuwus samana ing lamenipun,
sira ni mbok randha,
Kim Liong tresna tan sipi,
mring ki jaka kadi suta nggene yoga.

43. Sang binagus ageme sesupenipun,
mirah ngenthik kanan,
lawan partepen ireki,
pan kancana jingga cecawi rinengga.

44. Yeku sinungaken mring ni randha sampun,
kinen anjuwala,
kinarya pawitan nenggih,
ni mbok randha angupaya buktinira.

45. Mulur-mulur ni randha rejekinipun,
pan dumadak sangkan,
pangupajiwane gampil,
samargane teka kauntungan kewala.

46. Sang abagus anulis pakartinipun,
karya gambar-gambar,
kekayon myang peksi-peksi,
yen wus dadi kinen nyade ni mbok randha.

47. Wus misuwur ki Jaka pakaryanipun,
pan kathah pajengnya,
rebutan kang tuku sami,
miwah gambar manusa estri lan priya.

48. Rebut unggul patukone datan etung,
laranga sinengka,
kathah kang sami memeling,
susun-susun atimbun estri myang priya.

49. Ngundhung-undhung ni mbok randha artanipun,
semana ni randha,
Kim Liong pan sampun sugih,
margi saking suta panggihan kanthinya.

VIII


1. Mangkana pan kamisuwur,
tepis iring kanan keri,
padedesan amancapat,
mancalima nem sapteki,
mancawolu mancasanga,
sami pangalemireki.

2. Kalamun atmajanipun,
ni mbok randha ing Yudwai,
pan suta pupon punika,
kelangkung denya winasis,
wignya putus sarwa bisa,
dhasar apekik kang warni.

3. Pamulu yayah sitangsu,
sedhenge purnama siddi,
limpat ing tembung noraga,

sedhep bangkite dheweki,
jatmika anteng pesaja,
pantes kaojating bumi.

4. Semana pan sampun kasub,
jro praja manca nagari,
kawentar ing bumintara,
pirang praja manca nagri,
samya angalem Ki Jaka,
suteng randha ing Yudwai.

5. Tuhu baguse pinunjul,
tan ana kang angemperi,
jejaka ing nagri Cina,
sami kasoran ing warni,
sembada kawignyanira,
pinuji ing wong sabumi.

6. Yen akarya gambar putus,
lir wantah tuhuning warni,
punang gambar wewangunan,
yayah bisa ngling pribadi,
semuning gambar tan mantra,
citraning kartas lan mangsi.

7. Pan kadi saestonipun,
barang kang cinitreng warni,
elur aselur kang prapta,
dutaning para nerpati,
myang dutaning pra satriya,
punggawa prameya mantri.

8. Samya mameling wewangun,
ing citra warna sinungging,
ingkang yayah bisa molah,
tan salaya kang kinapti,
akathah wewangsulira,
marang Ki Jaka Panyungging.

9. Peni-peni myang brana gung,
arta miwah busanandi,
duk samana kapiarsa,
dening kanjeng sribupati,
Sri Ong Te kang ageng pisan,
kang angreh para narpati.

10. Ing bumi Cina sadarum,
puniku kang andarbeni,
tah-telatah bumi Cina,
dharatan urut pasisir,
miwah ing lautanira,
puniku kang misesani.

11. Narendra binathara gung,
kasumbageng lyan nagari,
yata semana sang nata,
kayuyun dening pawarti,
kapengin arsa uninga,
ing warnane Jaka Sungging.

12. Duk semana sang aprabu,
utusan aken nimbali,
maring Jaka Prabengkara,
tan alami nulya prapti,
kerit kang darbe wong-wongan,
narpati manca nagari.

13. Marek ing ngarsa sang prabu,
ambekta Ki Jaka Sungging,
Sri Ong Te ngawe Ki Jaka,
kinen majua ing ngarsi,
sojah tur sembah Ki Jaka,
rakiting solah respati.

14. Ngrepepeh denira maju,
apacak merak kasimpir,
terampil parigel sikat,

anindaki tata titi,
titi kaparenging mangsa,
inggeking jangga alungit.

15. Tan dhopo ing siku-siku,
tindak tanduk angenteni,
mabukuh ing byantarendra,
tumancep ing silastuti,
tajeming netya jatmika,
sedhep wiraga mrak ati.

16. Gawok kang sami andulu,
leng-leng tan ana bisa ngling,
tuwin ta wau sang nata,
eram denira ningali,
maring Jaka Prabangkara,
sang nata mancer ing liring.

17. Angartika jroning kalbu,
pepantese bocah iki,
dudu trahing adus kula,
dudu sutaning wong cilik,
pantes trahing kulawirya,
turasing andana warih.

18.Sestu rembesaning madu,
sesekaring kusama di,
bunyok lamun sun corana,
katara ing ulat liring,
saparipolah kawangwang,
suleksana ambawani.

19. Mangsa kenaa sinamun,
wong gedhe lawan wong cilik,
sun terka mangsa ngakua,
yata ngandika sang aji,
heh kulup sira bagea,
tur sembah Ki Jaka Sungging.

20. Pukulun dhateng anuwun,
ing pambagya paduka ji,
kajunjung ing pasuwunan,
dadosa jimat paripih,
mangka tumbaling agesang,
saking sih marmeng nerpati.

21. Ngandika malih sang prabu,
tetanya mring sang apekik,
ing ngendi kamulanira,
tur sembah Ki Jaka Sungging,
amba saking tanah Jawa,
wijiling sudra kaswasih.

22. Nemut gatel ing sang prabu,
Brawijaya Majapahit,
nanging sanget punggung mudha,
bodho kawula tan sipi,
akathah kanca kawula,
sedaya sami winasis.

23. Amung kawula pukulun,
ingkang balilu pribadi,
ing bawa tan mantra-mantra,
wong suwiteng narapati,
cekak budi tanpa daya,
tan uningeng tata titi.

24. Amba dahat kumprung pengung,
ugungan sangkaning alit,
pugung marase sad rasa,
lare tan wrin ing dedugi,
jugul tan mantra uninga,
ing rasa kang nem prakawis.

25.Amla sarkara liripun,
kekecut lawan memanis,
tikta kalawan kayasa,

lirnya pahit lan gegurih,
lawana lawan kathuka,
lirnya papedhes lan asin.

26. Tan mantra-mantra ing semu,
tan wrin ing wadi gatining,
sumiwakeng naradipa,
milanggung manggih reruntik,
yata Ki Jaka aturnya,
miwiti malah mekasi.

27. Ing purwane tibanipun,
wonten dhukuh ing Yutwahi,
Sri Ong Te duk amiyarsa,
gagetun ngungun tan sipi,
dhawuh tresnane sang nata,
marang Ki Jaka Panyungging.

28.Sang nata waspadeng kalbu,
Ki Jaka den awe malih,
kinen majua mangarsa,
tur sembah Ki Jaka Sungging,
majeng nyelak ngarsa nata,
sandhaping amparan rukmi.

29. Sri mahanarendra manglung,
denya ngandika bebisik,
tetanya marang Ki Jaka,
kinen sajarwa kang yekti,
kulup aja kikib sira,
den saweca marang mami.

30. Aja sira wancak kalbu,
sira sapa kang sesiwi,
Ki Jaka matur tur sembah,
dhuh gusti Srinarapati,
kawula datan wewirang,
mila gung mawi kakelir.

31. Ewa makaten pukulun,
ing mangke rehning pun patik,
kaperdi ing karsa nata,
sampun kirang pangaksami,
saru sesiku kawula,
cumenthaka ngaken singgih.

32. Pun patik saestunipun,
sutane Srinarapati,
Brawijaya Majalengka,
narendra ing tanah Jawi,
nging mijil sangking ampeyan,
pun ibu sutaning man tri.

33. Nenggih mantri lurahipun,
jagal nagri Majapahit,
praptamba ngriki punika,
sangking sabdaning ramaji,
tinumrap munggeng pustaka,
serat paringe ramaji.

34. Minangka wewelingipun,
dhateng ing kawula gusti,
wau Dyan Jaka aturnya,
ngaturken ungeling tulis,
ing purwa madya wesana,
wus katur ing sribupati.

35.Sri Ong Te bethara prabu,
ing Cina duk amiyarsi,
kadahut ing tyas karantan,
ngungun waspanira mijil,
welas mring rahaden Jaka,
sang narendra semu kingkin.

IX


1. Ngandika Sri Narapati,

yen mengkono kulup sira,
sadulure putuningong,
ing mengko ta karsaningwang,
basaningsun mring sira,
pan angalih basa putu,
Dyan Jaka nuwun turira,

2. Sang nata ngandika malih,
putuningsun Prabangkara,
ingsun alingi dheweke,
sun turuti karepira,
misih amendhem kula,
alingan werana kulup,
ing reh ingkang pepingitan.

3. Nanging karsaningsun mangkin,
kulup ingsun pundhut sira,
ingsun boyongi marene,
sarta lawan biyungira,
miwah sadulurira,
Ki Jaka tur sembah nuwun,
sumanggeng kersa narendra.

4. Sang nata ngandika aris,
marang kang darbe wong-wongan,
sang raja Si Tong Ki Sae,
lamun Jaka Prabangkara,
pinundhut binoyongan,
kalawan sabiyungipun,
miwah sadulure pisan.

5. Matur sandika wot sari,
datan lenggana ing karsa,
sang raja Si Tong Si Sae,
nulya sri Ong Te bethara,
luwaran sri narendra,
kang nangkil bubar sedarum,
myang Ki Jaka milwa medal.

6. Kuneng ing laminireki,
mung gelise cinarita,
Ki Jaka lawan biyunge,
myang sadulure wanodya,
pan sampun binoyongan,
sinung wisma ing sang prabu,
celak kelawan kadhatyan.

7. Pinggir banon kacepuri,
langkung sinihan ing nata,
dahat kathah peparinge,
tuwin sang raja pinutra,
kelangkung tresnanira,
mring Jaka Prabangkareku,
miwah kang para sentana.

8. Satriya punggawa mantri,
samya tumut asih tresna
tur akathah pisungsunge,
mring Ki Jaka Prabangkara,
yata alama-lama,
kukus sangsaya kumelun,
wus tan kena ingalingan.

9. Lamun Ki Jaka Panyungging,
turasing madu kusuma,
dadya ambabar kulane,
karsanira srinarendra,
tinunggil para putra,
tan alami pinet mantu,
mantu putu mring sang nata.

10. Putranira raja siwi,
putri pambajeng punika,
Siti Tumiyan wastane,
nanging karsane sang nata,
Ki Jaka Prabangkara,
kang wayah kinen amayuh,

lawan sutane ni randha.

11. Sang retna Kim Mu Wah nenggih,
jinajar pakramanira,
langkung sih sinihan karo,
atut aruntut kalihnya,
yata alama-lama,
Dyan Arya Prabangkareku,
wus kasup ing bumintara.

12. Kadibyane amumpuni,
limpat pasanging graita,
prawiranjrah wiwekane,
winasis sabarang karya,
ambek merdu ngulama,
budine menyan katunu,
kacap sabarang pangucap.

13. Wicaksana anrang westhi,
reh susila wirotama,
dhasar apekik warnane,
pamulu pindha sasangka,
ri sedhenge purnama,
akathah kang para arum,
idung-idungening warna.

14. Kuneng kang sampun amukti,
Raden Arya Prabangkara,
tan winarneng sabanjure,
sinigeg caritanira,
lelakon nagri Cina,
kadangon lampahing catur,
yata ganti winursita.

15. Mangsuli cariteng nguni,
negari ing Majalengka,
putranira sang akatong,
Brawijaya wuragilnya,

priya wewangenira,
Jaka Karewet puniku,
patutan sangking ampeyan.

16. Ing purwane sribupati,
amundhut parara-rara
saking wong jagal satane,
nanging dede atmajanya,
lelurah mantri jagal,
sutanng jagal panatus,
wus lami antaranira.

17. Sinarenan ing sang aji,
sang rara anulya wawrat,
pan lagya kalih tengah lek,
angidham-idham kaworan,
denya ngidham sang rara,
asengit mulat ing kakung,
yata Prabu Brawijaya.

18. Anuju karsa nimbali,
mring ni rara Pajagalan,
ayun sinaren karsane,
ni rara sanget lenggana,
pineksa datan kena,
ni rara meksa alumuh,
karuna alara-lara.

19. Sang nata kacuwan kapti,
dadya dukane kalintang,
malah amutung driyane,
kadedawan bendunira,
nulya dhawuh parentah,
mring pawongan pinisepuh,
sang rara kinen metokna.

20. Sangking jroning kenyapuri,
kinen laju angulihna,

maring ing yayah renane,
sang nata wus datan sotah,
mulata mring ni rara,
kaputungan ing tyas prabu,
kunengsamana laminya.

21. Praptaning mangsa nireki,
wawratanira ni rara,
ambabar jalu putrane,
arsa tur pikseng narendra,
sanget kajrihanira,
denira sang nata durung,
kena lilih dukanira.

22. Dadya lulus sami ajrih,
yen ngaturana uninga,
menawa nemahi dede,
kuneng semana laminya,
karsaning Suksmanasa,
kang jabang bayi kelangkung,
longgor enggal agengira.

23. Ya ta ing alami-lami,
wus yuswa patbelas war sa,
Jaka Karewet namane,
sasolahnya kawistara,
sejen lare kathah,
miwah rengrenging pamulu,
sayekti mangsa padhaa.

24. Kacatur karemeneki,
ki Jaka angen maesa,
awit sangking duk timure,
saben ari marang wana,
denya angen maesa,
miwah minda lawan lembu,
maring tengah wanawasa.

25. Akhathah kancanireki,
sami rare Pajagalan,
pakaryane sami angen,
maesa lembu lan menda,
nanging ta kae Jaka
sring amisah paranipun,
remen ing sepi kewala.

26. Suka-suka datan apti,
dedolanan sasendhonan,
tingkah byung karamen-ramen,
wus tamtuning kuna-kuna,
rame angen punika,
keh sesindhen melang-melung,
ana ngidung ura-ura.

27. Ana cecangkriman tuwin,
cecarita topeng wayang,
ana selenthikan binte,
ana genjong tetembangan,
undhung myang gegendhongan,
Ki Jaka agung denipun,
mring kancane sami bocah.

28. Nanging meksa datan apti,
yata semana Ki Jaka,
katuju tebih pisahe,
denira angen maesa,
nelatah kawelantah,
satengahing wana agung,
wonten sakedik bebulak.

29. Ing ngriku kendelireki,
Ki Jaka kalangkung sayah,
ing wancine pan meh lungse,
Ki Jaka lenggah ing kisma,
mulat ngajenge ana,

waringin alit tumuwuh,
ing siti lagya sakilan,

30. Sasada genge punang wit,
sembada pange sekawan,
aciyut-ciyut rondhone,
lemes nyekenuk semunya,
angrepayak kawuryan,
pantes pindha cundhuk mentul,
Ki Jaka remen umiyat.

31. Mangkana osikin galih,
kinarya sumping prayoga,
mengko sun gawane muleh,
senadyan iku garinga,
wangune maksih pelak,
marenthil pating cangkenuk,
nulya binedhol semana.

32. Katut saoyode sami,
resik tan katutan lemán,
dilalah karsaning Manon,
oyode sindhetan mimang,
ngandhap nginggil sembada,
gya sinumpingaken gupuh,
ceples sumumping apelak.

33. Ing ngarsa wingking prayogi,
Jaka Karewed semana,
anyiluman sarirane,
tan katon dening manungsa,
nadyan diyu reksasa,
prayangan peri lelembut,
tan weruh maring Ki Jaka.

34. Nulya Ki Jaka yun mulih,
giniringan lembunira,
tuwin maesa mendane,


  nging sami kendel sedaya,
  den jik-jikaken samya,
  meksa tan ana kang purun,
  datan kenjit ingabanan.

35. Malah kongsi den gitiki,
  meksa ambelot kewala,
  Ki Jaka kaku atine,
  angartika jroning nala,
  apa sesumping ingwang,
  iki kang mawa pakewuh,
  manawa anatas nyawa.

X



1. Nulya wau Ki Jaka sesumpingipun,
  pinet sineleh ing siti,
  Ki Jaka anyoba gupuh,
  nggiring mesa lembu kambing,
  teka sumrinthil kemawon.

2. Nulya kendel Ki Jaka osiking kalbu,
  baya nyata sumping iki,
  kang akarya tan kadulu,
  anulya cinoba malih,
  waringin den alap gupoh.

3. Kae Jaka semana sariranipun,
  pan sampun nyiluman malih,
  yata kang maesa lembu,
  buyar ting salebar malih,
  ingaban meksa ambelot.

4. Ginitikan lumayu pating salemprung,
  ana ngalor ngulon tuwin,
  ngetan ngidul paranipun,
  kae Jaka kendel nuli,
  nelehken waringin alon.

5. Byar katingal Ki Jaka sariranipun,
saksana cinoba malih,
kang kambing maesa lembu,
cinegat tan nganan-ngeri,
giniring lakune golong.

6. Ingabanan kewala anut piturut,
sumrinthil tan nyimpang margi,
sakedhap Ki jaka mangu,
mangkana osiking ati,
samengko pan wus sayektos.

7. Nora samar lamun wit waringin iku,
kang akarya tan kaeksi,
bisa anyiluman iku,
mangkana Ki Jaka nuli,
anyepeng menda sawiyos.

8. Kenendhitan ing tetali den rut-erut,
wit waringin den wadhahi,
wuluh tinalenan sampun,
wonten ing gigiring kambing,
angadeg kang wulu sak ros.

9. Sampun laju Ki Jaka panggiringipun,
datan kawarna ing margi,
semana pan sampun rawuh,
ing wisma kasep ing wanci,
lembu kinandhangken gupoh.

10. Myang maesa kambing wus ngandhang sadarum,
nuli Ki Jaka angambil,
ing wuluh wewadhahipun,
waringin tuwuh ing siti,
Ki Jaka nulya tan katon.

11. Asiluman nulya manjing wismanipun,
kang ibu datan udani,

Ki Jaka sru luwenipun,
kasupen wuluh cinangking,
manjing mijil nyangking wuloh.

12. Ingkang ibu mangkana osiking kalbu,
suwe temen bocah iki,
denya ngandhangaken lembu,
teka nora mulih-mulih,
apa gawene nang kono.

13. Kae Jaka sangking sru kaluwenipun,
nganti kang ibu tan angling,
Ki Jaka anguwuh-uwuh,
ibu-ibu kulangelih,
nedha sekul weteng kothong.

14. Ingkang ibu anjola kaget sumaur,
thole-thole ana ngendi,
prenahira celuk-celuk,
asuwe nggon ingsun nganti,
rupanira nora katon.

15. Mung swaramu karungu neng ngarsaningsun,
kae Jaka anauri,
wonten ngriki kula ibu,
selak aluwe kapati,
kang ibu muwus ngemu loh.

16. Witning ingsun awelas mring sira kulup,
page sira tan keksi,
Ki Jaka sakedhap emut,
denira nyangking waringin,
ingkang aneng jroning wuloh.

17. Nulya punang wuluh sinelapken gupuh,
munggeng sanginggiling kori,
Ki Jaka nulya kadulu,
kang ibu amalayoni,

dhuh karewet sutaningong.

18. Ingkang dadi woding ing wardaya ingsun,
Ki Jaka dipun tangisi,
sarwi tetanya kang ibu,
apa lire tingkah iki,
dene ta mau tan katon.

19. Kae Jaka anuturken purwanipun,
denyatuk kang wit waringin,
kang tumuwuh aneng lebu,
miwiti malah mekasi,
ki Jaka denya wawartos.

20. Duk miyarsa kang ibu ngungun kalangkung,
angandika mring kang siwi,
yen mangkono iku kulup,
baya pitulunging widdi,
marang ing sira nak ingong.

21. Sinung anggon-anggon bisa tan kadulu,
iku minangka paripih,
buntele ingkang akukuh,
wadhahana wuluh gadhing,
simpenen ing pethi kono.

22. Ingkang putra mituhu welinging ibu,
anyimpen kang wit waringin,
mangkana Ki Jaka sampun
sinung sega nuli bukti,
sawusnya tuwuk sang anom.

23. Nulya turu asayah arip kalangkung,
kuneng tan kawarneng latri,
warnanen ing enjingipun,
Ki Jaka anyuwun pamit,
mring ibu tan metu angon.

24. Namung rencangira kinen angen sampun,
Ki Jaka semana mijil,
arsa ngyektenana wau,
anggawa jimat waringin,
Ki Jakawus datan katon.

25. Maring pasar wong pasar tan ana weruh,
pan jinajah den ubengi,
meksatan ana wong weruh,
semana Ki Jaka mulih,
prapteng wisma wus den lolos.

26. Saking singel waringin sinimpen sampun,
kuneng ing laminireki,
Ki Jaka ing saben esuk,
angubengi jro negari,
ngalor ngetan ngidul nguion.

27. Kae Jaka pan kepengin arsa weruh,
ing wismane pra bupati,
para satriya gung-agung,
myang saguning para mantri,
punggawanira sang katong.

28. W.us kajajah sadaya jro wismanipun,
punggawa satriya man tri,
tuwin wau wismanipun,
Gusti Rekyana Apatih,
Gajahmada wus kalebon.

29. Datan ana sawiji wong ingkang weruh,
miwah patamananeki,
sampun jinajah sedarum,
yata ki Jakarsa uning,
kontha sajroning kadhaton.

30. Nulya laju Ki Jaka ing lampahipun,
prapta manjing srimenganti,

tan ana wong ngaru-biru,
wus laju mring kenyapuri,
prabayasa wus kalebon.

31. Purwakanthi miwah jroning purwalulut,
sadaya wus den ubengi,
sajajahaning pura rum,
tan ana kang den liwati,
sawusnya telas kang tinon.

32. Nulya metu Ki Jaka sayah kalangkung,
lawan sanget denya ngelih,
sayah kaliren satuhu,
semana anulya mampir,
ing wismane man tri gedhong.

33. Sapraptanya kang darbe wisma anuju,
kapanggih lagyarsa bukti,
Ki Jaka asrep ing kalbu,
saksana lekas abukti,
Ki Jaka lya nerambol.

34. Mantri gedhong tan wruh yen ana kang tumut,
denya Ki Jaka tan keksi,
sang mantri pengraosipun,
kaecan denira bukti,
sekul sapanjang geng pedhot.

35. Kang ngladeni sedaya sami gegetun,
denya salaminireki,
tan makaten dhaharipun,
baya rinewangan dhemit,
tuwin binadhog ing potho.

36. Wus bukti Ki Jaka anulya mantuk,
pan mangkana saben ari,
Ki Jaka karemenipun,
milya mangan para mantri,

para punggawa tuwa-nom.

XI


1. Para dipati satriya,
sami tinumutan bukti,
marang Ki Jaka punika,
tuwin Rekyana apatih,
Gajahmada tan k a r i
sanadyan Sri Mahaprabu,
pan tinumutan dhahar,
mangkana alami-lami,
wong sapraja pan sami grahitanira.

2. Warata gumyahing warta,
lamun ana maling sandi,
mandraguna anyeluman,
sring atumut momor bukti,
lan asring saba puri,
anabuh gonge sang prabu,
pusaka Majalengka,
myang bendhe ing nguni-uni,
kya grah kapat pusaka sangking Jenggala.

3. Lan asring nginum waragang,
sasaosane Sang Aji,
saananing kang inuman,
saben ari den inumi,
samana sribupati,
langkung sungkawa ing kalbu,
tuwin rekyana-patya,
wimbuh ing driya ngranuhi,
rumasa yen katempuh rumakseng praja.

4. Kasusahaning narendra,
bot-repoting sanegari,
yekti rekyana apatya,

kang katempuh migenani,
yen anggunga kadyeki,
temah dadya aru-buru,
nagari Majalengka,
manawi ta mbok manawi,
endrajala karya tiwasing narendra.

5. Sayekti jagat ruhara,
mangkana rekyana patih,
umatur ring srinarendra,
ngaturken pratikel titi,
panyirep walangati,
pan jroning asmarasandu,
upaya pami kena,
mamrih katona sang maling,
wus kadhadha aturira Gajahmada.

6. Ing dalu tan kawursita,
yata wuwusen ing enjing,
Sang Aprabu Brawijaya,
asra kembul lan abukti,
lan wadya sanegari,
kya patih ngandika sampun,
ngirid sagung punggawa,
satriya prameya mantri,
pra dipati ngamanca lan ulubalang.

7. Sawusnya pepak sadaya,
nulya bojana Sang Aji,
anginum boganderwina,
lawan punggawa geng-alit,
inuman warni-warni,
brem tape weragang anggur,
arak tuwak myang umbras,
badheg sopi wangi-wangi,
anggur pait anggur manis kenis adas.

8. Surake ambata rebah,
yata kawuwusa malih,
Ki Jaka ing pajagalan,
wus dangu denya ningali,
kepengin tumut bukti,
bogandrawina sang prabu,
nulya tumut Ki Jaka,
lenggah celak lan kya patih,
keneng gelar Ki Jaka wus pinasangan.

9. Kursi kang kothong satunggal,
lawan sampun den cawisi,
inuman mawarna-warna,
ngarseng kursi kang asepi,
sedaya den campuri,
darubosi lan kacubung,
pinrih lali wurunya,
yen lali sayekti keksi,
saben minum Ki Jaka datan kantuna.

10. Yata wuru-wuru dawa,
Sri Bethara Majapahit,
lawan sagunging punggawa,
satriya para dipati,
miwah mantri geng-alit,
surake atri gumuruh,
barung swareng tabuhan,
ngrerangin angrarasati,
yayah robing madu sindura la-ela.

11. Karasa edeme samya,
tinon angembang sulasih,
wuwusen wau Ki Jaka,
wus pasah keneng piranti,
angembang wong awarih,
peta wong awarih wungu,
yayah mawinga-winga,

saputen tingalireki,
mayuk-mayuk wus lali ing dhirinira.

12. Gonjit palinggiyanira,
gerayangan astaneki,
goyang murdane lenggotan,
gumeter sariraneki,
dherodhog riwe mijil,
kumyus saengga wong adus,
sumuk sarira panas,
sanalika mutah getih,
kae Jaka tiba sangking kursinira.

13. Tan enget yayah antaka,
baya wus karsaning widi,
Ki Jaka prapteng apesnya,
kaparibaweng nerpati,
dhasar yayahireki,
wau ta duk tibanipun,
Ki Jaka sangking genya,
kàsingsal sesingelneki,
pan malesat tebih sangking murdanira.

14. Jejimat neng jroning dhestar,
waringin tuwuh ing siti,
kang oyot sindhetan mimang,
pan katut ing singelneki,
Ki Jaka pan wus mari,
nyiluman sariranipun,
Ki Jaka byar katingal,
kantu gumuling ing siti,
yata wau wadya kang wus winangsitan.

15. Martalulut kajineman,
Singanagara kang sami,
rumakit sadangunira,
pasang gelar nganan ngeri,

amiweka ring westhi,
semana sareng manubruk,
pinarengan ing surak
gumuruh agageteri,
alok maling heh iki maling aguna.

16. Giyak wadya sak ananya,
milu alok maling-maling,
si maling kang bisa ngilang,
anyeluman tan kaeksi,
si pothet pethut julig,
sakti guna marasandu,
anglelanangi jagat,
baya nora na wong sekti,
mung si maling kang bisa sakti priyangga.

17. Baya nora na wong lanang,
amung dheweke si maling,
nora na wong mandraguna,
amung dheweke si maling,
nora na wong sinakti,
amung dheweke si pandung,
nora na wong prawira,
amung dheweke si maling,
lah ta mara budia maling aguna.

18. Ki Jaka wus tinalenan,
winayuyung ngarsa wuri,
nanging Ki Jaka semana,
pan kadi kapati guling,
tan mantra-mantra eling,
sangking sangetireng kantu,
kerase kang inuman,
mandine kang darubesi,
myang kacubung milane satengah pejah

19. Wusnya binanda Ki Jaka,
sinaosaken ngarsa ji,

dhawuhe Sri Brawijaya,
singele kinen ambesmi,
Ki Jaka den paringi,
sesingel sangking sang prabu,
kae Jaka semana,
ginujengan nganan ngeri,
myang ing wuri dereng enget pisan-pisan.

20. Nulya Patih Gajahmada,
anamakaken tumuli,
kang penawa jeruk linglang,
lawan roning orang-aring,
lan toyaning nasandir,
myang bebekan kati gubug,
ingisepken ing grana,
lan cinecepken ing lathi,
kapurbarus sinipataken ing netra.

21. Byar melek Ki Jaka kagyat,
enget ing wanteyaneki,
terataban sumyar-sumyar,
mulat sarira kagodhi,
binanda den gujengi,
aneng ngarsane sang prabu,
kinepung ing punggawa,
Ki Jaka tan kena osik,
dadya mupus ing driya tumungkul wirang.

22. Dinangu mring srinarendra,
heh sira bocah ing ngendi,
tuhu maksih rare sira,
lawan warnamu respati,
sira bisa tan keksi,
sapa silih kang angutus,
ing reh sandiupaya,
arsa jro ing praja mami,
nyempaluki ing darma karti sampeka.

23. Jaka Karewet aturnya,
dhuh pukulun sribupati,
amba nuwun pangaksama,
sandhape lebu pada ji,
dene tan angabekti,
pakewet dening tetangsul,
duk miyarsa sangnata,
parentah aken nguculi,
dyan tumandang pra mantri nguculi bandan.

24. Mung kantun tenger kewala,
sinampiran ing tetali,
nulya Ki Jaka tur sembah,
dhuh pukulun Sribupati,
amba pan dede telik,
myang sandiupayeng ripu,
dede dutaning nata,
myang satriya pra dipati,
ulubalang punggawa mantri prameya.

25. Pun patik rare umbaran,
ugungan sangkaning alit,
wismamba ing Pajagalan,
gesang datanpa sudarmi,
sutane randha miskin,
sudra papa wijilipun,
pun Karewet wastamba,
pun kaki tetiyang alit,
nama Kartamaya penatus wong Jagal.

26. Dene ta pratingkah amba,
makaten punika gusti,
pan kayun amba priyangga,
tan wonten kang memuruki,
sangking kawula apti,
angyektosaken pukulun,
pustaka nggen amanggya,

wonten tengahing wanadri,
warni witing waringin tuwuh ing kisma.

27.Kawula bedhol seksana,
katut saoyod ireki,
kang oyod sindhetan mimang,
Ki Jaka aturireki,
miwiti amekasi,
duk miyarsa sang aprabu,
kacathet ing wardaya,
angungun Srinarapati,
ngangen-angen kang tutur timbul iang toya.

XII


1. Sang aprabu esmu kaduwung ing galih.
denya budi ganas,
sisingel kinen ambesmi,
kasusu panas ing driya.

2. Lamun aja ganasi yekti pakolih,
semana sang nata,
nulya aken nimbali,
lelurahing mantri Jagal.

3. Kinen ngirit penatusnya kang wewangi,
Kyai Kartamaya,
tan adangu nulya prapti,
kinen maju mring ngarsendra.
4. Kyai Kartamaya wau duk ningali,
lamun wayahira,
kinepung aneng ngarsaji,
supe aneng ngarsa nata,

5. Karuna sru sesambatnya kathah-kedhik,
dhuh katuwonira,
dene teka wani-wani,

angambah ing kene nyawa.

6. Kathah-kathah Kartimaya sambatneki,
yata srinarendra,
andangu lelurahneki,
anenggih sang mantri Jagal.

7. Bocah iku sapa kang aduwe siwi,
matur mantri jagal,
artiba atur pati u r p ,
ajrih yen datan matura.

8. Yektosipun pun Jaka punika gusti,
pang inggih babetan,
wawratan sangking jro puri,
lair Ki Jaka punika.

9. Duk ni rara wedale sangking jro puri,
pan inggih kawula,
gusti ingkang nguningani,
tuwin kang ambaureksa.

10. Malah ngantos sapriki tan arsa krami,
marem anon putra,
priya sangking dalem puri,
milane dinama-dama.

11. Duk miyarsa sang nata enget ing galih,
tuhu yen kang putra,
nanging sinamur ing galih,
kuneng sakedhap sang nata.

12. Kawuwusa ingkang kari aneng wuri,
sira ni mbok randha,
Pajagalan pan salatri,
tyasira gung melang-melang.

13. Malah kongsi tan antuk guling salatri,
anggung terataban,

prapteng enjingira maksih,
tan eca raosing driya.

14. Kae Jaka sakenjing den gegondheli,
maring ibunira,
aja lunga-lunga kaki,
atiningong melang-melang.

15. Kae Jaka tan kenging dipun gondheli,
yata duk semana,
ni randha denya miyarsi,
tetela gediring kathah.

16. Yen sang nata anyekel maling sinekti,
bisa anyiluman,
maksih jejaka kang maling,
ni randha ningseti sinjang.

17. Lan rananya lumayu tiyang kekalih,
sarwi rawat waspa,
rerikatan wong kekalih,
laju maring pasewakan.

18. Prapteng ngarsa ni randha karuna anjrit,
njujug nggening putra,
sesambat kawelasasih,
sarwi anungkemi putra.

19. Katuwone babo nggoningsun sesiwi,
dhuh norakayaa
ingkang kaya awak mami,
baya ta wus bejaning wang.

20. ujaringsun teka nora den piyarsi.
sun palangi sira,
lungaa sadina iki,
sira meksa kudu lunga.

21. Ateningsun wus melang-melang kepati,

mengko sira nyawa,
nemahi nandhang tetali,
pinikut ing sanagara.

22. Sru cilaka nyawa sutaningsun gusti,
anandhang wewirang,
babo kang isun ngengeri,
sun kekudang anak lanang.

23. Mengko teka akarya rudahing galih,
rujiting tyasingwang,
rontok rantas rontang-ranting,
dhuh lae nora kayaa.

24. Dene sira durung wruh rasaning mukti,
lola cilik mula,
urip datanpa sudarmi,
dadi wong umbar-umbaran.

25. Heh pagemu nyawa dadak wani-wani,
ngambah ing jro pura,
akeh punggawa pramantri,
keh wong gedhe jro nagara.

26. Sira durung weruh sikuning nagari,
sira pan wong sudra,
papa ina kawlasasih,
wong desa tanpa ukara.

27. Teka dadak sira kaki wani-wani,
parek-parek lawan,
panjenengan narapati,
tur ratwagung binathara.

28. Kinasihan ing jawata kang linuwih,
gustining sajagad,
nora ana amadhani,
sira nyawa meksih bocah.

29. Bocah desa tan weruh ing tata titi,
laku tan wruhing trap,
katuwana sira kaki,
kaniaya kang akarya.

30. Ni mbok randha karantan-rantan kang tangis,
tuwin sesambatnya,
ni Kartamaya tan sipi,
Ki Jaka milya karuna.

31. Kang miyarsa sami angungun tan sipi,
malah kabarabas,
mijil waspanira sami,
lan sumerep yen sutendra.

32. Yata wau mangungun srinarapati,
karantaning driya,
kumembeng waspanireki,
karaos enget ing driya.

33. Sang aprabu dhawuh mring rekyana patih,
iku ta si Jaka,
pan sayekti suta mami,
gawanen mring wismanira.

34. Kyana patih sandika aturireki,
nulya srinarendra,
jengkar manjing kenyapuri,
kyana patih undhang bubar.

35. Kae jaka wus kerid ing kyana patih,
kang ibu tut wuntat,
kalawan renanireki,
tuwin ta Ki Kartamaya.

36. Miwah lurah mantri jagal datan kari,
myang mantri punggawa,
sadaya sami ngurmati,

umiring mring Raden Jaka.

}}
  1. Sapraptaning kapatihan pinisalin,
    sira Raden Jaka,
    datan kawarna ing latri,
    wuwusen ing enjingira.

  2. Prapta duta kang sangking srinarapati,
    nampan pira-pira,
    isi busana pisalin,
    sangking kang rama narendra.

  3. Saben ari elur kang sami tetuwi,
    sagunging satriya,
    dipati punggawa mantri,
    samya sung pasalin sinjang.

  4. Warna-warna arta busana mranani,
    Dyan Jaka semana,
    kamulyanira tan sipi,
    miwah kasugihanira.

  5. Enengena Dyan Jaka kang sampun sigih,
    gantya kawuwusa,
    ingkang pinunggel ing kawi,
    ing Paiang Pengging sarkara.

XIII

  1. Kawuwusa nateng Pajang Pengging,
    Narapati Handayaningrat,
    tan patya panjang yuswane,
    sedanira sang prabu,
    pan atilar putra kekalih,
    sami jalu kalihnya,
    wastane kang sepuh,
    Raden Kebokanigara,
    ingkang anem Dyan Kebokenanga nenggih,
    sami pekik kang warna.

  1. Ginantyaken ing ramanireki,
    rajaputra ing Pengging kalihnya,
    karsane kang eyang mangke,
    tan jinenengken ratu,
    nagri Pengging apan pinalih,
    kabupaten kewala,
    ing Pengging nem-sepuh,
    ibunira maksih gesang,
    nenggih ratu Handayaningrat ing Pengging,
    momong putra kalihnya.

  2. Tan alami kang ibu ngemasi,
    dadya loia raden kalih pisan,
    ing wayah pan maksih anem,
    kalangkung kawlasayun,
    tinilar ring rama nerpati,
    lan ibu sorinira,
    mangkana winuwus,
    karsanira ingkang eyang,
    Sang Aprabu Brawijaya Majapahit,
    kang wayah kalih pisan.

  3. Pan pinundhut maring Majapahit,
    mring kang eyang pinundhut atmaja,
    dinama-dama kalihe,
    dening wayah pembayun,
    pan kinarya liruning siwi,
    sok tresnaning narendra,
    tu win Kangjeng Ratu,
    Andarawati kalintang,
    asih tresna mring wayah jalu kekalih,
    dene tan yayah rina.

  4. Dene nagrinira Pajang Pengging,
    pan tinengga ing para satriya,
    sentana ing Pengging kabeh,
    para mantri gung-agung,

datan owah kadi duk meksih,
Prabu Handayaningrat,
kuneng tan cinatur,
ing solah myang laminira,
kang winarna sabedhahing Majapahit,
musnane Brawijaya.

}}
  1. Putri Cempa Ratu Dwarawati,
    datan milu muksa mring kang raka,
    pan sampun Islam batine,
    anut agamanipun,
    ingkang putra ing Ampelgadhing,
    sasedane kang putra,
    anut wayahipun,
    nenggih Jeng Sinuhun Benang,
    amemuri agama sarengat nabi,
    rasul anyakraningrat.

  2. Lan welinge kang raka ing nguni,
    maring prameswari putri Cempa,
    pan kinen kariya bae,
    momonga para sunu,
    para wayah kangsamya kari,
    memuriya agama,
    sarengating rasul,
    Sang Aprabu Brawijaya,
    nadyan Buda jer wus pralebda ing budi,
    waspadeng sangkan paran.

  3. Nadyan pramesuri Dwarawati,
    binoyongan maring ingkang wayah,
    Prabu Nyakrakusumane,
    ing Benang jengsinuhun,
    ingkang eyang pinundhi-pundhi,
    akathah para wayah,
    ingkang sami tumut,
    mring eyang wonten ing Benang,

rajaputra ing Pengging kekalih sami,
tumut wonten ing Benang.

9. Dhasar Jeng Sinuhun Benang nenggih,
pan kaprenah sadherek misanan,
lan rajaputra kalihe,
ingkang kaprenah sepuh,
rajaputra ing Pajang Pengging,
Kangjeng Sinuhun Benang,
anem prenahipun,
langkung denya sih-sinihan,
ingkang raka kekalih lawan kang rayi,
Kangjeng Sinuhun Benang.

10. Pan karasa wong agung ing Pengging,
aneng Benang samya anggegulang,
ing agama sarengate,
tuwin wau wong agung,
ing Mandura sang adipati,
Lembupeteng Mandura,
pan sampun kekuwu,
wonten ing asrama Benang,
Jeng Sinuhun ing Benang kelangkung asih,
tresna maring kang rama.

11. Pan anguwa prenahira nenggih,
Jeng Sinuhun Anyakrakusuma,
mring sang nateng Mandurane,
Lembupeteng puniku,
pan mantune Arya Baribin,
ing nagari Mandura,
mangkana winuwus,
Sri Lembupeteng Madura,
dahat sihe marang kaponakaneki,
Dyan Kebokanigara.

12. Miwah Raden Kebokenangeki,

sasedane yayah-renanira,
kekalih mangka lirune,
soking katresnanipun,
kadi sutanira pribadi,
tan mantra kaponakan,
wa mangkana lamun,
taksiha kang yayah-rena,
wonten ugi kaote sihira maring,
atmaja kaponakan.

13. Tuwin Kangjeng Sinuhun ing Giri,
dahat tresna dhateng ingkang raka,
wong agung Pengging kalihe,
miwah Kangjeng Sinuhun,
ing Darajat makaten ugi,
pratuwin ingkang uwa,
Jeng Sunan Maj agung,
kalangkung sih mulenira,
marang reden putra ing Pengging kekalih,
lir sutane priyangga.

14. Myang Jeng Sunan ing Murya padening,
puniku pan prenah putranira,
mring rajaputra kalihe,
miwah Susunan Kudus,
inggih sami kaprenah siwi,
sami dahat sih tresna,
mring sang rajasunu,
apa dene Jeng susunan,
Kalijaga punika prenah kang rayi,
maring sang rajaputra.

15. Tuwin Kangjeng Sunan Gunungjati,
milya dahat sih memulenira,
miwah pamanira kabeh,
myang para bibinipun,
paratmaja ing Majapahit,

sami angela-eia,
mring sang rajasunu,
myang sagunging pra sentana,
sadaya pan sami enget mring waweling
ira Sri Brawijaya.

16. Nguni kinen amomonga sami,
aja na kang darbe tyas nalimpang,
mring rajaputra kalihe,
pinoma-poma tuhu,
pepacuhan denira titip,
Sang Prabu Brawijaya,
mring kang kari pungkur,
kuneng ing alama-lama,
kang cinatur prameswari Dwarawati,
wus sanget sepuhira.

17. lami-lami ratu Dwarawati,
nandhang gerah prapteng sedanira,
tan kawarneng reroncene,
layon sinare sampun,
nenggih wonten Karangkemuning,
sagunging putra wayah,
ingkang sami kantun,
samya memule tilawat,
Kur'an tuwin maca tasbeh lawan takmid,
tahlil miwah istipa,

18. Wus mangkana ing alami-lami,
kawuwusa nagari ing Demak,
kalangkung gemah harjane,
satanah Jawa suyud,
para nata para dipati,
kang tebih-tebih samya,
amoncapraja gung,
sami sumuyud sadaya,
marang Kangjeng Panembahan Bintareki,

Kalipah Rasullolah.

19. Mangka badaling kukumah nenggih,
myang wilayah kurusing risalah,
ing agama sarengate,
Jeng Nabi kang rinasul,
duk semana ing Tanah Jawi,
pan wus Islam sadaya,
tan wonten barenjul,
sagunging kang para ajar,
myang wewasi gegitntung manguyu cantri,
wus kathah nandhang iman.

20. Myang sogata sewa resi-resi,
wus liniron kang para pukaha,
pra pandhita gedhe-gedhe,
pra ngulama linuhung,
para jaid para mungaid,
mupti lawan sulaka,
kukuma gung-agung,
nadyan para ratu sabrang,
ingkang samya kabawah ing Majapahit, (Tanah Jawi)
sampun kathah kang Islam.

21. Kuneng semana laminireki,
kawuwusa nagari Bintara,
anuju ing dina Isnen,
para wali angumpul,
pra pandhita ngulama mupti,
kukuma pra pukaha,
sulaka gung-agung,
pangarsaning waliyulah,
Jeng Sinuhun Benang Kutuburabani,
anenggih Gosulngalam.

22. Nulya Kangjeng Sinuhun ing Giri,
walikutub rabani aotad,

nulya malih sosorane,
ing Cirebon puniku,
Jeng Suhunan ing Gunungjati,
pan walikutub ngukba,
nulya Jeng Siniihun,
Majagung pan kutub nukba,
nulya Kanjeng Suhunan Darajat nenggih,
kutub rabani nujba.

23. Nulya malih sosoranireki,
nenggih Jeng Suhunan Kalijaga,
Seh Malaya bisikane,
kutub abdal puniku,
nulya malih sosoraneki,
anenggih Jeng Susunan,
ing Muryapadeku,
kutuburabani abwar,
nulya malih Jeng Susunan Kudus nenggih,
kang gumantung ramanya.

24. Jeng Susunan ing Ngudung ing nguni,
kang kasambut samadyaning rana,
ing nalika aprang gedhe,
mungsuh dipati Terung,
senopati ing Majapahit,
yata Kangjeng Susunan,
ing Kudus puniku,
kutub rabaniyah akyar,
jangkep wolu martabating para wali,
wonten malih satunggal.

25. Wali umran ingkang anusuli,
anjangkepi uniting wilangan,
martabat wali sangane,
kalebet gelengipun,
para wali wolung prakawis,
yeku Jeng Panembahan,

senopati Jimbun,
naradipati Pulembang,
duk samana sampun pakumpulan sami,
miwah para dipatya,

26. Para pangageng kang tebih-tebih,
Sang Adipati ing Balambangan,
ing Lumajang dipatine,
myang Sang Dipati Terung,
Panataran lawan dipati,
Basuki Tunggarana,
Japan Surengkewuh,
sang Adipati Madura,
Lembupeteng lawan Sang Arya Baribin,
myang Sumenep dipatya.

27. Anenggih Risang Jaranpanolih,
myang Bathara Katong Pranaraga,
lan ing Daha dipatine,
adipati Madiun,
Jagaraga ing Sokawati,
ing Rawa ing Balitar,
ing Tambakbayeku,
adipati Taruwangsa,
ing Lowanu ing Gowong sang adipati,
Binarong ing Banyumas.

28. Adipati ing Banten pratuwin,
sang adipati ing Pajajaran,
Ciyancang Sokapurane,
ing Sumedhang wong agung,
ing Barebes lan Wiratheki,
dipati Pakalongan,
ing Tegal wong agung,
myang dipati Pandhanarang,
Arya Damar ing Palembang sampun prapti,
Pepekan danasmara.

XIV

1. Mangkana kang para wali,
angrembag badhe akarya,
pusaka masjid kang gedhe,
pan kinarya pakumpulan,
pasalatan Jumungah,
yen nalikane akumpul,
kang para Wali Kasanga.

2. Miwah kang para dipati,
ing Jawa tuwin ing Sabrang,
yen nuju praptane kabeh,
ing karsa ampun kuciwa,
lawan amet prayoga,
sawetarane kang patut,
dadya pusakeng narendra.

3. karsaning kang para Wali,
wewolu kang karya tilas,
sakedhik kang radi gedhe,
kang ngyasani masjid anyar,
bituwah nagri Demak,
pusakaning para ratu,
nenggih ing satanah Jawa.

4. Dene masjid geng kang lami,
ing nguni ingkang ayasa,
pan Kangjeng Susunan Ngampel,
duk kertaning Majalengka,
sakadar wong bebakal,
kang den yasaken puniku,
sang adipati Bintara.

5. Duk maksih bebakal nguni,
mentas adhedhukuh anyar,
sangking Ngampel pamergile,

pituduhing gurunira,
Jeng Sunan Ngampeldhenta,
Raden Patah adhedhukuh,
babat wana bumi Demak.

6. Gelagah gandane wangi,
lami-lami dadi praja,
sampun akathah santrine,
memuri agama Islam,
sami kuwat ngibadah,
nulya ing jaman puniku,
Jeng Susunan Ngampeldhenta.

7. Rawuh angyasaken masjid,
kinarya salat Jumungah,
mung sawetara gedhene,
aja na kang salah tampa,
sagunge kang amaca,
masjid ing Demak puniku,
pan kekalih caritanya.

8. Kang satunggil masjid lami,
kang satunggil masjid anyar,
sampun kalintu surupe,
den atiti den pratela,
tinitik ing sengkala,
den enget petangan tahun,
kono wruh tibaning cetha.

9. Sengkalane masjid lami,
Guna Trus Uningeng Jagad,
wuwusen malih gancare,
ingkang sami pirembagan,
badhe karya pusaka,
pasalatan ingkang agung,
sampun mupakat ing rembag.

10. Sami etang andum kardi,

bubuh-bubuhaning karya,
dhewe-dhewe panggarape,
ingukur sampun mutamad,
ageng lawan alitnya,
miwah andhap luhuripun,
panjang celaking abahan.

11. Sagung abahaning masjid,
pepageran ingukurnya,
myang janji pasemayane,
kumpuling punang abahan,
badhe pangrancangira,
linanji lelanjenipun,
kang panuwun sirah gada.

12. Yata Kanjeng para Wali,
wong wolu amet bebahan,
jangkepe Wali Sangane,
panembahan ing Bintara,
sakaguru sekawan,
punika bageyanipun,
kang para Wali sesanga,

13. Dene sesaka pangendhit,
tegese saka penengah,
pan kalihwelas cacahe,
sajabaning guru papat,
sajroning sakarawa,
puniku bubuhanipun,
para Wali kang sosoran.

14. Jeng Pangeran Atasangin,
lan Pangeran Sitijenar,
lan Pangeran ing Gerage,
kalawan raja pandhita,
ing Garesik negara,
Pangeran Baweyaniku,
miwah susunan Candhana.

15. Myang Susunan Geseng nenggih,
lawan Pangeran Cahyana,
kang sumare gunung Lawet,
pangeran ing Jambukarang,
lan Pangeran Karawang,
myang Seh Wali Lanang iku,
tuwin Seh Waliyul Islam.

16. Tuwin ta Seh ing Mahribi,
myang Seh Suta Maharaja,
Seh Para klawan Seh Banthong,
ing Galuh raja pandhita,
lawan pandhita raja,
ing Pamalang dhepokipun,
lan pandhita Karangbaya.

17. Miwah Jeng Susunan Katib,
lan Susunan ing Pantaran,
tuwin ta Sunan Tembalo,
pandhita Usmanuraga,
Usmanaji pandhita,
punang kabubuhanipun,
saka panengah sadaya,

18. Dene sakarawa nenggih,
cacahe pan kalihdasa,
kang binubuhan agawe,
para Wali pra pandhi
kang sami amardika,
para ngulama gung-agung,
para mupti pra kukama.

19. Para jaid para ngabid,
pra mungaid ahlul imán,
mukmin kaslan para saleh,
sadaya pan sakarawa,
dene sunduk kilinya,

pamidhangan lan delurung,
panitih lan takir lambang.
20. Balandar pangeret nenggih,
ingkang adarbe bebahan,
kang para dipati kabeh,
dene tetakir pananggap,
miwah dudur sadaya,
palisir lan wuwung agung,
ing ngandhap nginggil sadaya.
21. Puniku bubuhaneki,
sagung kang para satriya,
sentana geng-alit kabeh,
dene kang usuk sedaya,
lawan badhe pagernya,
kang darbe bubuhan iku,
para mantri ulubalang,
22. Punggawa prameya mantri,
dene punang sirap-sirap,
sadaya badhe payone,
sami urunan kewala,
saman a wus bubaran,
ingubayan dinanipun,
pangumpule kang ababan.
23. Sasowang-sowangan sami,
panggarape kang abahan,
kuneng tan winama ing reh,
lam in ing panggarapira,
tuwin pangrancangira,
punang dhedhuwuran sampun,
lelanjene pan wus dadya.
24. Ingadon-adon respati,
muwah ta punang sosoran,
sagunging saka-sakane,


  sunduk kili myang balandar,
  wus linanji sadaya,
  mung kantun kang sakaguru,
  sakawan duk winiwitan.

25. Arsa den adon-adoni,
  sesaka kirang satunggal,
  amung tetiga cacahe,
  yata Jeng Sinuhun Benang,
  andangu Seh Melaya,
  dene tan ana kadulu,
  bubuhane durung ana.

26. Sakaguru kang sawiji,
  bubuhane Seh Malaya,
  tan wonten mantra-mantrane,
  pijer pitekur angiwa,
  teka ayem kewala,
  semana sampun kasusu,
  panglanjine punang saka,

27. Kasusu bandhenireki,
  enjinge lajeng ngadega,
  kang pusaka masjid gedhe,
  Jeng Sinuhun Kalijaga,
  kagyat marek ing ngarsa,
  dinukan mring Jeng Sinuhun,
  Benang Anyakrakusuma.

28. Seh Malaya awot sari,
  tumungkul tadhah deduka,
  sangking ing ngarsa lumengser,
  maring gon wong nambut karya,
  wauta Seh Malaya,
  ngalapi tatal kinumpul, pan pirang-pirang bopongan,
  

29. Punang tatal den taleni,

  tinata dipun tap-etap,
  pindha wong agawe eber,
  gilig gegulingan panjang,
  taline kerangkungan,
  agung apanjang gumulung,
  Seh Malaya gambuh ing tyas.

XV



1. Madhep ing keblat gupuh,
  Seh Malaya semedi manekung,
  tyas mawardi sumungku ring,x)
  syuh luluh ing tingal jumbuh,
  saciptane sinung dados.

2. Tatal cinipta wutuh,
  salin warna ilang tatalipun,
  lir den ukur ageng myang panjangireki,
  lan sakaguru kang telu,
  kang sami ingadon, x)

3. Luwar samadinipun,
  Seh Malaya karamete kabul,
  kagawokan sagung kang sami ningali,
  lenger-lenger jetung ngungun,
  gagetun sami andongong,

4. Saka tatal wus katur,
  mring sang ratu wadat nulya gupuh,
  den ukuri ingadon-adon kinardi,
  samana pan sampun rampung,
  kantun adegnya kemawon.

5. Ing wanci sampun dalu,
  sami salat bar Jumungahipun,

x)   kirang 4 wanda

x)   kirang 2 wanda

salat Mahrib anulya Isanireki,
kuneng wanci tabuh telu,
wus tangi sakathahing wong.

6. Dyan sami salat subuh,
sabakdaning salat sami gupuh,
angrarakit abahan adeging masjid,
kang para Wali gung-agung,
iyek ing karya asagoh.

7. Para mukmin gung-agung,
miwah para dipati sadarum,
pra satriya sentana bupati mantri,
ulubalang lalang-laut,
sadaya sampun mirantos.

8. Pan linekasan gupuh,
wanci enjing punang sakaguru,
kang sekawan den adegaken tumuli,
kang para Wah wewolu,
tumandang sami ambopong.

9. Myang senopati Jimbun,
milya ambopong kang saka catur,
sampun ngadeg dan sirah gada nusuli,
purna luluhuranipun,
nulya pananggap panosor.

10. Saka panengahipun,
kalihwelas ingadegken gupuh,
para Wali sosoran tumandang sami,
ambopong saka kasaut,
angadeg sareng kimawon,

11. Lambang pinasang sampun,
dudur tatakir balandar usuk,
purna punang pananggap pan cinengah nenggih, x)

x)langkung sawanda

nulya sakarawanipun,
sami den adegken gupoh.

12. Punang saka rongpuluh,
kang adarbe ing hubuhanipun,
para Wali ingkang amardika sami,
para pandhita gung-agung,
para ngulama kinaot.

13. Pra kukama gung-agung,
para mupti mungaid sadarum,
pra sulaka para tapa para ngabid,
mukmin kaslan ahli ngilmu,
sengkut tandange asagoh.

14. Sareng pangadegipun,
sakarawa nulya punang dudur,
myan panerus balandar miwah kang takir,
usuk wus minggah sadarum,
purna kang pananggap ngisor.

15. Lajeng panyirapipun,
kuneng wusing paripurnanipun,
lajeng para Wali wewolu nulya glis,
anata ing keblatipun,
aja kongsi mencang-mincong.

16. Kang bener adhepipun,
maring Kakbah ing Mekah puniku,
lamun ora bener keblate kang masjid,
nora asah salatipun,
kang padha salat ing kono.

17. Mangkana wau sagung,
Kangjeng para Walisanganipun,
pamawase ing keblat sami pradongdi,
wonten kang mestani sampun,
kenceng adhepe mangulon.

18. Wonten mastani luput,
kirang condhong ngaler adhepipun,
dan ingoyog mangaler adheping masjid,
winawas malih pan langkung,
kasangetan condhong ngalor.

19. Nulya den oyog ngidul,
punang masjid keblate kelangkung,
kapengidul dinuwa mangaler malih,
meksa kirang condhongipun,
jinawil sampun mangalor.

20. Winawas malih luput,
kasangeten ing pangaleripun,
den tinulak wus bali mangidul malih,
kirang kedhik kencengipun,
mangilen ragi mangalor.

21. Yata sadangunipun,
tansah pradondi ing kencengipun,
pamawase dereng wonten kang patitis,
kang masjid yayah den iyun,
mayak-mayuk ngidul ngalor.

22. Ing wanci pan meh dalu,
meksa tan wonten ingkang tertamtu,
wus mangkana Jeng Sinuhun Benang nuli,
pirembag lawan sinuhun,
ing Giri mupakat dados.

23. Kinendelan rumuhun,
ing latri sami rembag manekung,
anerangken maring Hyang Kang Mahasuci,
kang supaya beneripun,
ing keblat aja melencong.

24. Kuneng praptaning dalu,
kawuwusa pra Wali gung-agung,

samya lenggah tapakur aneru dhiri,
maledi semadi nekung,
anenedha ing Hyang manon.

25. Para Wali wewolu,
sami ambos ing paningal terus,
tarawangan andulu ing jagad kabir,
tan ana ling-alingipun,
mangetan terus mangulon.

26. Ing Mekah pan kadulu,
Kakbahtulah katon cetha munggul,
kang Masjidil Karam tetela kaeksi,
dan Sang para Waliwolu,
angumpul dados saenggon.

27. Myang senopati Jimbun,
tunggil enggen lan pra Wali wolu,
duk semana winawas keblating masjid,
pinet kenceng adhepipun,
lan Kakbatulah kang katon.

28. Nanging pra Wali wolu,
maksih pradongdi pamawasipun,
punang masjid jinawilan nganan-ngering,
menga-mengo ngalor-ngidul,
sadangune dereng manggon.

29. Saksana Jeng Sinuhun,
Benang kalawan Sang Ratu Tunggul,
megeng napas anyipta ringkesing bumi,
sami sakedhap wus kabul,
karamating Walikatong.

30. Ringkes buwana ciut,
ing Mekah pan wus celak kadulu,
Kakbahtulah pareg katingal ing ngarsi,
winatawis tebihipun,

amung tigangemel tinon.

31. Prabu Wakdat anuduh,
mring Seh Malaya waspadeng semu,
dyan jumeneng wau Jeng Susunan Kali,
sangking 1er majeng mangidul,
jumangkah suku sawiyos.

32. Suku kekalih mulur,
panjang aluhur begagahipun,
suku kanan prapteng Mekah sampun ngancik,
sajawining pageripun,
Kakbatulahi ing kono.

33. Suku keringnya kantun,
napak ing ler-kilen masjid wau,
asta kanan anyandhak Kakbatulahi,
asta kering nandhak sampun,
sirah gada masjid kono.

34. Tinarik kalihipun,
sami mulur gya ingaben gathuk,
Payok Kakbat lawan sirah gada masjid,
den nyatakaken sawujud,
ceples kenceng datan menggok,

35. Para Wali gung-agung,
sami andulu kalintang sukur,
Jeng Sinuhun ing Benang ngandika ans,
yayi Seh Malaya uwus,
abener tan walangatos.

36.Seh Malaya wotsantun,
nulya anguculken astanipun,
Kakbatulah lan masjid pan sampun bali,
Seh Malaya nulya lungguh,
ngarsaning raka wotsinom.

XVI

1. Kuneng lamining pakaryan,
semana pan sampun dadi,
masjid geng nagari Demak,
sampat paripurneng kardi,
semana den babadi,
kari roro kartinipun,
ing jalma sengkalanya,
mangkana sami winilis,
kaotipun masjid lami lan enggal.

2. Kaot pitulikur warsa,
wauta kang masjid lami,
pinindhah mring Suranatan,
kinarya masjid jro nenggih,
pasalataning aji,
nenggih bar Jumungahipun,
kuneng alama-lama,
gantya kang winurcitani,
wonten trahing gusti niyakaning jagad.

3. Sangking ing Ngatasmaruta,
kalana mring Tanah Jawi,
ing nguni duk jamanira,
Jeng Susunan Ampel Gadhing,
pinernah dadya mupti,
nagari ing Kaliwungu,
katalah namanira,
Pangeran ing Atasangin,
tunggil bangsa lan nateng Deli Benggala.

4. Ing Deli Tanah Benggala,
Jeng Sultan Sarip Asnawi,
pangagenging para nata,
ing Banggala sadayeki,
pangeran Atasangin,

puniku den ambii mantu,
maring Jeng Sarip Sultan,
patutan jalu kekalih,
kang satunggil awisma aneng Benggala.

5. Kang satunggil aneng Jawa,
ing Kaliwungu nagari,
kaipe mring bupatinya,
sampun apeputra nenggih,
sakawan kathahneki,
kang tetiga sami kakung,
kang estri pan kagarwa,
mring kang gumantya dipati,
Kaliwungu dene kang priya tetiga.

6. Pindhah maring Pandhanarang,
pan punika ing Samawis,
basa rikat ing Samarang,
kang sepuh dadi dipati,
ing Pandhanarang nenggih,
langkung kasugihanipun,
berbudi wicaksana,
sarwa-sarwi sigih sugih,
ingkang rayi aremen dadya sudagar.

7. Wisma ing wukir Pragota,
kalawan karem agami,
kang rayi wuragil ika,
karem amratapa nenggih,
mendhita sarwa wasis,
limpat ing reh pasang semu,
wisma ing Pandhanarang,
kuneng semana winarni,
duk mentase adhege masjid Demak.

8. Adipati Pandhanarang,
mogok tan arsa sumiwi,

marang ing nagari Demak,
ing purwane sang dipati,
dahat merang tan sipi,
duk karya masjid ing dangu,
saguning Waliyulah,
myang para pandhita mupti,
pra ngulama para kukama pukaha.

9. Para salih para tapa,
mukmin kas para mungaid,
samya neng nginggil lenggahnya,
satata lan sribupati,
dene kang pra dipati,
para punggawa gung-agung,
miwah para satriya,
bupati prameya mantri,
lenggahipun samya neng ngandhap sedaya.

10. Sang Dipati Pandhanarang,
wirang ing tyas angranuhi,
dadya angkep kewala,
aneng Nagari Samawis,
tan milu anganyari,
masjid ing Demak puniku,
kalamun tinimbalan,
tansah angecani krami,
nulya Kangjeng Susuhunan ing Kalijaga.

11. Rawuh Nagri Pandhanarang,
kang rayi den pituturi,
pan rayi ipe punika,
anggung tinanya rininding,
Pangeran Pandhanawis,
umatur purwaning dangu,
prapteng wasananira,
ya ta Jeng Susunan Kali,
welas mulat mring Pangeran Pandhanarang.

12. Sampun winulang sadaya,
ing elmu kawalen nenggih,
pambontosing kasuciyan,
kasampurnaning ngaurip,
urip kang purna-jati,
jatimurti wastanipun,
waluyeng sangkan-paran,
terang terus lair batin,
ing batine wus cecalon Waliyulah.

13. Arine sang adipatya,
kang wuragil sarwa wasis,
ingkang karem kasutapan,
wruh ing cipta anututi,
ngesrahken pati urip,
ing pada nungkemi lebu,
mring Kangjeng Seh Malaya,
pan sampun winejang ngelmi,
kawaleyan kadi kang raka dipatya.

14. Pangeran ing Pandhanarang,
lawan kang rayi wuragil,
kalihe sampun cinawang,
badhe cacalon utami,
kuneng semana nuli,
katilar kamuktenipun,
dipati Pandhanarang,
lawan kang rayi wuragil,
tan atolih kadangwarga brana dunya.

15. Amung lawan garwanira,
kalihe sami sarimbit,
putrane sang adipatya,
jalu pan kinen angaji,
kataki-taki ngelmi,
maring Jeng Sunan Majagung,
kaprenah wayahira,

mring Sunan Majagung nenggih,
yata wau Sang Dipati Pandhanarang.

16. Wus linggar atilar praja,
duk ing wanci sirep jalmi,
tan ana wong kang uninga,
amung kalawan kang rayi,
kuneng datan winarni,
reroncening laminipun,
miwah ing lampah-lampah,
saking denya inglampahi,
pituduhnya Jeng Susunan Kalijaga.

17. Ngidul-ngetan lampahira,
wus prapteng Tembayat wukir,
lajeng wisma ing Tembayat,
ambentur sutapaneki,
dene ta ingkang rayi,
kinen misah wismanipun,
dhadhekah ing Kajoran,
ambentur sutapaneki,
kalihipun manjing dadya Waliyulah.

18. Pangeran ing Pandhanarang,
sampun sesilih wewangi,
Jeng Suhunan ing Tembayat,
kang rayi silih wewangi,
Jeng Panembahan nenggih,
ing Kajoran namanipun,
kuneng kang wus minulya,
manjing martabating Wali,
kawuwusa semana negari Demak.

19. Panembahan ing Bintara,
wus lami antaraneki,
semana anandhang gerah,
tan lami nulya ngemasi,
riningkes ing pakarti,

sapala kertining lampus,
punang layon semana,
sinare salering masjid,
sinengkalan sedanira panembahan.

20. Sima Guna Kartaning Rat,
Panembahan Bintareki,
meningi sadasa warsa,
denira ayasa masjid,
mangkana ta winarni,
putranira sang aprabu,
sakawan kathahira,
ingkang asepuh pribadi,
jalu pekik Pangran Sabranglor namanya.

21. Penenggak apan wanudya,
tinarimakaken nenggih,
maring Pangeran Widagda,
ing Cirebon kang nagari,
dene arine malih,
priya nenggih namanipun,
pan Rahaden Trenggana,
dene arinipun malih,
pan wuragil nenggih jalu namanira.

22. Pangeran Sabrangkidulan,
nanging katelah ing nguni,
Pangran ing Kali wa nya,
dene seda aneng kali,
yata malih winarni,
ingkang anggentya prabu,
putra ingkang anama
Pangeran Sabrangler nenggih,
kang angangkat jumenenge naranata.

23. Kangjeng Sinuhun ing Benang,
lawan Jeng Sinuhun Giri,

ingestren para Oliya,
satanah Jawa nekseni,
dene wewangineki,
Jeng Sultan Demak puniku,
nanging tan pati lama,
pinasthi karsane Widi,
Sultan Demak semana pan sampun seda.

24.Denira jumeneng nata,
lamine mung kalih warsi,
wau Kangjeng Sultan Demak,
kang layon sinare nuli,
aneng salering masjid,
ing dagane ramanipun,
kang putra tan gumantya,
jumeneng narapati,
ari nata sampun ingangkat sarkara.

XVII


1. Raden Trenggana jumeneng aji,
anggentyani karatoning raka,
Sultan Demak bisikane,
pangulu Sunan Kudus,
pepatihe pan mulu salin,
apatih Wanasalan,
nenggih namanipun,
kuneng gantya winursita,
Jeng Suhunan ing Giri kedhaton nenggih,
gerah pan lajeng seda.

2. Pan riningkes ing sapala karti,
punang layun sinare semana,
aneng ing Giri purane,
sengkalane ingetung,
Siking Guna Karyaning Bumi,
ingkang putra gumantya,

nama Jeng Sinuhun,
ing Giri parapneki,
Ratu Tunggul Walikutuburabani,
Aotad martabatnya.

3. Apan kadi kang rama ing nguni,
ing kawignyan miwah kawaspadan,
tuwin ing kasutapane,
kuneng gantya winuwus,
Sri Anyakrakusumeng bumi,
Jeng Sinuhun ing Benang,
prapteng janjenipun,
wafat atilar ing dunya,
kondur maring karaton kang baka nenggih,
roncene tan winarna.

4. Punang layon sinare tumuli,
aneng asrama sunya ing Benang,
winurciteng sengkalane,
sedanya Jeng Sinuhun,
Wisik Sukci Adining Bumi,
kang gumantya semana,
ing martabatipun,
Kangjeng Sinuhun Darajat,
ambawani kadi kang raka suwargi,
Wali Gos Kutubrahman.

5. Kawuwusa sasedanireki,
Prabu Wahdat Anyakrakusuma,
tan lami ing antarane,
amung satengah tahun,
sang dipati Mandura lalis,
Lembupeteng layonnya,
sinarekken sampun,
aneng ing Karangkajenar,
ing dagane ingkang ibu prameswari,
putranira gumantya.

6. Lembuwara bisikanireki,
nenggih sang dipati ing Madura,
kuneng kawinarna ing reh,
nenggih sang raja sunu,
Pajang Pengging wong agung kalih,
Dyan Kebokanigara,
Kebokenangeku,
sasedane Prabu Wakdat,
myang sedane ingkang paman adipati,
Lembupeteng Mandura.

7. Wong agung kalih kewran ing galih,
datan purun sumiweng ing Demak,
kalangkung sanget mirange,
ing batine wong agung,
kaletheke sajroning ati,
cawengah ing pangundang,
kudanganing dangu,
kinudang dene kang eyang,
ya milane milalu amiwal kapti,
sumakseng pamiwaha.

8. Miwaha ring tyas wong agung kalih,
aneng Pengging nagrine priyangga,
ka gagas-gagas karsane,
duk semana wong agung,
kalihipun samya pradongdi,
ing karsa tan atunggal,
pamesuning laku,
ingkang raka karsanira,
amretapa sukuning wukir Merapi,
ambuwang kasatriyan.

9. Mindha ajar ing tapanireki,
anrus subrangta memati raga,
amendhem kula jatine,
marma tinindheng laku,

supayane sampun katawis,
kang garwa mangka endhang,
dene putranipun,
dadya manguyu jejanggan,
kuneng ingkang tetapa wukir Merapi,
pindha ajar sunyata.

10. Supe marang kasatriyaneki,
tan angetang kabupatenira,
yata warnanen arine,
Kebokenanga kantun,
aneng kutha ing Pajang Pengging,
tan ayun siwaka,
acara wong agung,
sagunging mantri sentana,
sinatriya kalamun arsa sumiwi,
cara santri kewala.

11. Den ilangken caraning priyayi,
sasolahe saguna satata,
tindak tataning pasan tren,
panggenan ahli ngelmu,
mung karana Allah sayekti,
Raden Kebokenanga,
sengkut ahli ngilmu,
nemen salat bar Jumungah,
lawan sagung para sakabatireki,
wadya sentananira.

12. Ageng-alit wadya Pajang Pengging,
jroning kitha myang sajawi kitha,
winitawis ing kathahe,
wonten wong tigangewu,
sami sengkut salatireki,
sakabat jro kathahnya,
amung pitungatus,
Rahaden Kebokenanga,

pan wus datan pisan-pisan angrasani,
mring kabupatenira.

13. Silih nama Kyai Geng ing Pengging,
namanira raden pan binuwang,
amung kiyai den angge,
lilah pambeganipun,
mung karana Allah lirneki,
yen wus ngabekti ing Hyang,
karyane nenandur,
gaga sawah nandur kenthang,
tetegalan leren mangsane ngabekti,
mangkana salaminya.

14. Duk semana Kiyai Geng Pengging,
kadhatenganW aliyulah dibya,
sekti kuncara ngilmune,
kalana ahli laku,
kesit datan kena pinethit,
ladak nora cak-encak,
pambontosing ngilmu,
kang ngilmu rahsa-surasa,
sarasaning sarkara rupa lan manis,
tan kena pisahena.

15. Wus leksana salengkering bumi,
sang pandhita tyasira angambar,
jati kasturi gandane,
panunggalingsawujud,
datan pisah kawula gusti,
tuhu tunggal pinangka,
tan samar ing kawruh,
wruh wekasing ana - ora,
sang pandhita wus nyata tanpa ling-aling,
waspadeng sangkan paran.

16. Paripurnaning angga muryani,

wuryaning kang tan kenaning pejah,
lenyep ing kawekasane,
pan tan kena winuwus,
kauwusanira winuni,
tan ana japa mantra,
kabeh wus kawengku,
wekas-wekasing kamuksan,
anglimputi ing jagad sakalir-kalir,
tuhu suksma-sinuksma.

17. Sotya-sinotya manik-minanik,
wus tumeka ing makam minulya,
maha mulya kamulyane,
sang pandhita jejuluk,
Ki Seh Walilanang Sajati,
ya Sang jatiminulya,
dene wastanipun,
Jeng Pangeran Sitijenar,
apeparab Seh Sunyata Jatimurti,
Susunan ing Lemahbang.

18. Sang Pandihita lami aneng Pengging,
Kiayi Geng sru sesuguhira,
sih urmat marang tamune,
duk semana winuwus,
Kyai geng wus manjing murid,
mring Pangran Sitijenar,
anggeguru ngilmu,
kasampurnaning sarira,
surasaning rerasan kang aib-aib,
reh pamuketing rahsa.

19. Wus tinumpek pamejangireki,
salekering ngilmu kalepasan,
pan sampun katampan kabeh,
kuneng ing lamenipun,
sang pandhita semana mulih,

maring ing Sitijenar,
kyaigeng dumulur,
ing guru mring Sitijenar,
kacarita wau Kyai Geng Pengging,
pan wonten sarenganya.

20. Manjing sabat ageguru ngilmi,
maring Jeng Pangeran Sitijenar,
wong kawandasa kathahe,
Ki Gedhe Banyubiru,
lan Ki Gedhe ing Getasaji,
Kyai Gedhe ing Balak,
Ki Gedhe ing Butuh,
lawan Ki Gedhe ing Ngerang,
myang Ki Gedhe ing Jati Ki Gedhe Tingkir,
Ki Gedhe Patalunan.

21. Lan Ki Gedhe ing Pringapus tuwin,
Kyai Gedhe Nganggas Wanalapa,
ing Paladadi Ki Gedhe,
ing Ngambat Karangwaru,
ing Babadan Wanantareki,
Kyai Geng ing Majasta,
ing Tambakbayeku,
ing Bakilan ing Tembalang,
Karanggayam Ngargaloka Kayupuring,
Pandhawa Selandaka,

22. Kiyai Geng ing Purwasa de ki,
Kebokangan Kyageng Kebonelas,
Ki Gedhe ing Waturante,
Kyai Gedhe Taruntum,
Pataruman ing Banyuwangi,
ing Purna Wanasaba,
ing Kare Gegulu,
ing Candhiwukir Pragota,
Ngadibaya Karurungan Jatingalih,

Wanadadi Tambangan.

23. Kiyai Geng ing Ngampuhan tuwin,
Kyai Geng ing Bangsri Panengah,
pan puniku sarengane,
denya sami geguru,
mring Pangeran ing Sitiabrit,
sami manjing kekadang,
kadang tunggil guru,
langkung sami sih-sinihan,
yayah kadi sadulurira pribadi,
atut aruntut samya.

24. Kawuwusa Jeng Kyai geng Pengging,
lami denya anen Sitijenar,
anuju pepakan kabeh,
kadange tunggil guru,
aneng Sitijenar pra sami,
agena-guna rasa,
mupakating ngilmu,
tasawup kang ngelmu rahsa,
sami raseh kusus ingkang insankamil,
pamuketing kamuksan.

25. Wusnya mangkana pra samya pamit,
maring guru Pangran Sitijenar,
linilan wus bubar kabeh,
sowang-sowangan mantuk,
mring wismanya sasiki-siki,
yata kang kawuwusa,
Kyageng Pengging wau,
lampahipun sasarengan,
wong pitulas mangidul lampahnya sami,
Kyageng Tingkir kang tuwa.

26. Kyageng Pengging Kyageng Banyuwilis,
Kyageng Getasaji Kyageng Balak,

Kyageng Majasta malike,
Kyageng Tambakbayeku,
ing Tembelang Ki Gedhe Baki,
Ki Gedhe ing Babadan,
ing Wanatareku,
Ki Gedhe ing Karanggayam,
Ngargaloka ing Pringapus Kayupuring,
ing Nganggas wanalapa.

27. Wong pitulas sami prapteng Tingkir,
ing wismane Kyageng Adipurwa,
samya kinen sipeng kabeh,
ingandheg kalih dalu,
sinugata boga menuhi,
langkung sesugunira,
Kyageng Tingkir wau,
maring tamunya nembelas,
wus mangkana nulya sami pamit mulih,
mangkat asesarengan,

28. Kang sakawan misah aneng margi,
ngidul milah angulon lampahnya,
Kyageng Ngargalokane,
Kyai Gedhe Pringapus,
lan Ki Gedhe ing Kayupuiing,
Ki Gedhe Purwasada,
yata kang kawuwus,
rowelas kang ngidul-ngetan,
Kyai Geng ing Pengging sarowangneki,
datan kawarneng marga.

29. Lampahira Kiyai Geng Pangging,
sampun prapta aneng puranira,
lawan sawelas kancane,
samya mampir ing ngriku,
sru susugun Kyai Geng Pengging,
mring tamunya sawelas,

sipeng kalih dalu,
binoja sinungga-sungga,
wus mangkana nulya sami pamit mulih,
mangkat ungkur-ungkuran.

XVIII


1. Kuneng kang wus mantuk samya,
gantya ingkang winurcitaa malih,
ing Bintara sang aprabu,
ingkang jumeneng aijyar,
kinasihan ing para wali gung-agung,
sujud kang para satriya,
sentana punggawa mantri.

2. Samya jrih asih sedaya,
datan wonten kang sumelang ing kapti,
duk samana sang aprabu,
sampun miyarsa warta,
yen kang raka ing Pengging kekalihipun,
asalin lagu pratingkah,
ing reh anganyar-anyarin.

3. Ambuwang kasatriyanya,
cara santri ing tindak cara pakir,
lawan malih datan ayun,
prapta nagari Demak,
salamine jumenengira sang prabu,
dereng sumiwi ing Demak,
angedhem wong agung kalih,

4. Aneng nagrine priyangga,
srinarendra tan sakeca ing galih,
langkung sandeya ing kalbu,
Kangjeng Sultan ing Demak,
walangati menawa kang raka iku,
angrubedi panjenengan,

karaton ing tanah Jawi.

5. Jeng Sultan Demak semana,
anglampahken caraka catur mantri,
kinen nimbalana gupuh,
mring kang raka kalihnya,
rajaputra ing Pengging kang duta sampun.
mesat tan kawarneng marga,
caraka wus prapteng Pengging.

6. Panggih lan sang rajaputra,
dhinawuhken timbalaning nerpati,
kalamun sang rajasunu,
kekalih tinimbalan,
mring Jeng Sultan ing Demak sarenga rawuh,
lawan lakuning caraka,
wauta Kyai Geng Pengging.

7. Wangsulanira mring duta,
lah matura marang srinarapati,
yen ing mengko kakangingsun,
Maosakanigara,
lunga nglangut tan karuhan paranipun,
nuruti karsaning driya,
tan ana wadya kang ngiring.

8. Amung lawan garwa putra,
sun ulati lami datan pinanggih,
dene ta mungguh wakingsun,
tinimbalan ing nata,
nuwun maklum kewala ing sang aprabu,
nganti praptane kakangmas,
samangsane besuk prapti.

9. Yekti aseba wakingwang,
maring Kangjeng Sultan ing Demak benjing,
wong roro lan kakangingsun,
lah wis duta muliha,

mantri catur mituhu sawelingipun,
pamit leser sangking ngarsa,
mijil sangking nagri Pengging.

10. Duta sekawan lampahnya,
tan kawarna solah lamining margi,
prapta ing Demak wus laju,
marek ing srinarendra,
atur sembah matur solahnya ingutus,
ing purwa wadya wasana,
wus katur ing sribupati,

11. Duk miyarsa Kangjeng Sultan,
ngungun ing tyas anging renteng tan sipi,
sangking sandeya sang prabu,
cinipta bokmenawa,
angrubeti marang ing karatonipun,
nanging sakedhik sang nata,
ana kacathet ing galih.

12. Dene ta kadange tua,
kalihipun wong agung pajang Pengging,
nak sanakira sang prabu,
atamajane kang tuwa,
mokal lamun darbea pamrih kang dudu,
pan dereng tumindak pira,
wong agung lan sribupati.

13. Kuneng semana laminya,
Sultan Demak gantiya kang winarni,
Kangjeng Susunan Majagung,
wus sanget sepuhira,
nandhang gerah pan lajeng ing sedanipun,
kang layon sampun pinetak,
aneng pamelenganeki.

14. Putranira kang gumantya,
Panembahan Majagung kang wewangi,

akathah sadherekipun,
amergil sowang-sowang,
sami nama pangeran sadayanipun,
ana wismeng nagri Demak,
ana wisma Ngampelgadhing.

15. Ana kang wisma Darajad,
myang ing Benang ana wisma ing Giri,
liyan kang aneng Majagung,
yata kang kawuwusa,
nagri Demak anuju ing mangsanipun,
ing wulan Rabingulawal,
pepekan kang para Wali.

16. Myang para mupti sulaka,
prangulama kukama para ngabib,
para pandhita gung-agung,
miwaii kang para tapa,
sampun pepak aneng ing Demak sadarum,
tuwin kang para dipatya,
satriya punggawa mantri,

17. Para dipati amanca,
apepekan aneng Demak nagari,
kadi saben-sabenipun,
saben rabingulawal,
sami prapta samana ing lamenipun,
ing tanggal ping kalihwelas,
amaca Maulud nabi.

18.Aneng masjid geng ing Demak.
sami rahap lelagon maca singir,
rawi-rawi ing swararum,
Jeng Gusti Sultan Demak,
imbal lawan kang para Wali gung-agung,
yen wus palesta tahlilan,
nulya bujana menuhi.

19. Enjinge lajeng kekirab,
garebegan angirabaken baris,
balabar wadya lit-agung,
pacak baris anggabag,
kaebekan salebeting alun-alun,
amber mring reratan jaba,
tepung sauruting margi.

20. Yayah wana tumaruna,
genging baris wadya satanah Jami
gameng andhengdheng ngendhanu,
sesek atitip atap,
susun-susun matimbun jejel supenuh,
pindha mendhung ing gegana,
sumaput dhedhet ing langit.

21. Jeng Sultan denya sineba,
lenggah aneng witana ing sitinggil,
neng amparan manik wungu,
lan pra Wali pangarsa,
sami lenggah ing singangsana sadarum,
satata lawan sang nata,
neng kanan kering narpati.

22. Majeng mangaler sadaya,
dene ingkang para Wali pawingking,
samya neng masjid sadarum,
lawan para pandhita,
pra ngulama para kukuma gung-agung,
ngabid sulaka pukaha,
supenuh munggeng surambi.

23. Amber munggeng palataran,
dene ingkang munggeng ngarsa narpati,
para satriya gung-agung,
bupati pra sentana,
andher munggeng ing ngarsanira sang prabu,

teratag ngandhap witana,
satriya kang sepuh sami.

24. Kang kaprenah uwa paman,
sami lenggah ing kursi kanan kering,
ing ngarsanira sang prabu,
Kya Patih Wanasalam,
neng paglaran lawan para punggawa gung,
para dipati amanea,
nayaka prameya mantri.

25. Sawusnya gunungan medal,
maring masjid ajating narapati,
nulya dinonganan gupuh,
binagi winaratan,
ri sampunnya Jeng Sultan anulya kondur,
maring purantaranira,
dhadharan lan para Wali.

26. Saluwaring dhedhaharan,
nulya mijil sagunging para Wali,
marang ing pakuwonipun,
bubaran kang sewaka,
miwah sagunging bans bubar sadarum,
kuneng ta ing antaranya,
tigang dina tigang ratri.

27. Sagung para Waliyulah,
sami ngumpul aneng sajroning puri,
myang pra pandhita gung-agung,
mupti para kukama,
mung kewala ingkang sami sepuh-sepuh,
ingkang rinembag ing karsa,
mamrih kencenging agami.

28. Pikuwate kang sarengat,
amemuri parentahe Jeng Nabi,
Muhkamad ingkang rinasul,

angugerana sarak,
tetungguling agama ingkang pinunjul,
sapa kang mukir ing kana,
yekti mukir ing Hyang Widi.

29. Sapa kang mukir maring Hyang,
yekti manggih tatrapaning agami,
tinatrapan lawan kukum,
nora kena suminggah,
Jeng Susunan ing Kudus aris umatur,
maring Jeng Sunan Darajad,
ngaturken solahireki,

30. Pangeran Seh Sitijenar,
denya hanggung kongas mingis sru kengis,
memikis reh kang winungkus,
kawekasaning wekas,
pangangkusing ngilmu pamungkasing tuwuh,
angas kalantur ing tingkah,
tingkahe andhedheweki.

31. Wani anerak larangan,
ing agama sarengat Kanjeng Nabi,
parentah asring siningkur,
mungkir ing tata sarak,
datan kena pinrih ajuning tumuwuh,
tan ayun rukuning Islam.
atilar salat ing masjid.

32. Datan ayun bar Jumungah,
datan ayun amuji lawan dikir,
anrang sipat siku-siku,
ladak tan kena ngendhak,
tinuturan malah amales pitutur,
ilang walangatinira,
datan anduwe wawedi.

33. Yen pinengkok wani katrap,

tan angeman marang patinireki,
mempeng tan kena rinapu,
ngedheng tanpa warana,
memudani ing sarak agama Rasul,
asring ambuka kekeran,
sura tan sedya ngunduri.

XIX



1. Angandika wau Jeng Sunan Darajad,
yen mengkono ta kaki,
iya wus mupakat,
enggoningsun miyarsa,
lan wus menangi pribadi,
pan datan siwah,
saaturira kaki.

2. Yen tingkahe iya Ki Seh Sitijenar,
anglingkabaken bans,
makewuhi lampah,
tan kena ingalingan,
kena tatrapan sayekti,
ing kukumulah,
yen nora kena man.

3. Jeng Susunan Darajad atari marang,
pra pituwaning wali,
myang para kukama,
pukaha pra pandhita,
myang sagunging para mupti,
sampun muktamad,
yen Pangran Sitiabrit.

4. Keneng kukum, katrapan ing pangadilan,
yen nora kena man,
wus manjing kinisas,
ajwa wet kadedawan,"

angrerusuhi nagari,
angrusak sarak,
saksana den timbali.

5. Jeng Pangeran Sitijenar neng kuwunya,
kerit ing duta prapti,
salebeting pura,
sampun lenggah satata,
anunggil kang para Wali,
nulya Susunan,
ing Kudus kang dhawuhi.

6. Heh andika atarnpinya kang timbalan,
risang mahapinundhi,
yen andika datan,
memareni pratingkah,
ingkang anganyar-anyari,
angrusak sarak,
kongas tanpa ling-aling.

7. Sayektine andika kena tatrapan,
kang trus ing dalil kadis,
ijmak lawan kiyas,
datan kenging sumigah,
kukumulah andhatengi,
maring andika,
dene yan kena mari.

8. Sayektine andika angsal apura,
kalawan den wuwuhi,
sagung kapenedan,
ya ta gumujeng suka,
Seh Sunan Jatimurti,
ngentrok wentisnya,
mulat cahyanireki.

9. Muwus alon patitis ladak tembungnya,

babo dene amencit,
begja yen mengkana,
bakal antuk ganjaran,
ing dunya kang luwih adi,
kang pinurwendah,
ing alam sairkabir.

10. Dene mungguh timbalane Jeng Susunan,
Darajad kang pinundhi,
denya sru angeman,
maring badan manira,
palimarma ing ngaurip,
sampun katedha,
sih tresna sang pinundhi.

11. Nanging mangke manira pan datan arsa,
madayeng wuwus mami,
kang sampun kawedal,
kadi saben mangkana,
ananing kawula iki,
pan darmi molah,
kapurba dening Gusti.

12. Saosike kawula tan darbe karsa,
paningal pamiyarsi,
solah muni-muna,
tingkah tanpa iriban,
wasana kang tanpa siring,
sinten kawasa,
pan kahananing Gusti.

13. Amimbuhi mring kahananing kawula,
jumbuh tarik-tinarik,
tetep-tinetepan,
brahi-binaraenan,
anane silih-sinilih,
polah-pinolah,

ing kana apulangsih.

14. Apulangsih sajroning kahananira,
kalimputaning Gusti,
ilang kawulanya,
suh lulud sirna gepang,
kagenten ananing Gusti,
kauripanya,
apan uriping Gusti.

15. Lair-batin pan wua kahananing suksma,
ingkang sinembah Gusti,
Gusti kang anembah,
dhewe sembah-sinembah,
puji-pinuji pribadi,
awewangsulan,
marmane ing ngaurip.

16. Den waspada kasampurnaning uripnya,
urip waluya jati,
jatining agesang,
datan keneng palastra,
saobahing wuluneki,
ingkang salembar,
pan dadya sembah puji.

17. Puniku pan sembah puji sanityasa,
yen wus makaten ugi,
ananing manungsa,
bungah datanpa nyandhang,
tan susah dene tan bukti,
lamun cinendha,
sukanira angenting.

18. Yen anuju kadhatengan pancabaya,
myang panyoba bilai,
gumuyu kewala,
jer tanpa wancak driya,

Ian nora darbe wawedi,
amung santosa,
ing lair trusing batin.

19. Boten bungah nalika katekan rahmat,
nikmat ingkang menuhi,
myang pangalembana,
tan ayun ambebungah,
bilai lara lan mukti,
pan padha uga,
tan kena nampi milih.

20. Kabeh-kabeh puniku sami ganjaran,
nugraha kang nampani,
amung panarima,
ingkang langgeng nityasa,
datanpa ingan ing urip,
uripnya datan,
kena cinakreng budi.

21. Ujer sampun anyepeng pupusing rasa,
rasa ingkang sajati,
sajatining rasa,
apan dudu rerasan,
dede rasa nem prakawis,
lan dede rasa,
ingkang karaseng lathi,

22. Dede rasa ingkang kerasa ing driya,
dede rasa kinardi,
lawan dede rasa,
ingkang karaseng badan,
dede rasa den rasani,
lan dede rasa,
mukti myang suker sakit.

23. Sajatining rasa kang amengku rasa,
rasajati mumpuni,

ing rahsa surasa,
rasa pusering rasa,
ratuning rahsa sakalir,
rasa minulya,
waluya jatimurti.

24. Jeng Susunan ing Kudus runtik sebdanya,
heh yen makaten ugi,
para kekandhangan,
wong angaku Pangeran,
mendhak alingan kaeksi,
kajabariyah,
medheng-medheng ngengkoki.

25. Pekenira kajarah tur siya-siya,
kena ngarahan eblis,
tan wun pekenira,
nempuh bilai dunya,
kena sikuning nagari,
nerak larangan,
ngrerusuhi nagari,

26. Memudani sawake jeng rasullulah,
yekti den ukum pati,
ing benjing Jumungah,
datan kenging suminggah,
sabakdaning salat sami,
para kakisas,
ing Pedhang ingkang mandi.

27. Pangeran Seh Sitijenar sangkin sura,
tan ngangge walangati,
sudira tan taha,
ing netya wuwuh bingar,
sumaringah cahya lungid,
manis wiraga,
mesem sumaur titih.

28.Lah ta babo kabeh-kabeh kancaning wang,
sagunging para Wali,
myang para pandhita,
munduran kaya bocah,
dadak amindho-gaweni,
teka anguntap,
angas denira mamrih.

29.Kalorehan teka kakehan pengalap,
nganggo amemedeni,
maring bocah jabang,
manawa keneng sawan,
saputen gumeter nangis,
apundirangan,
gularapan ngririntih.

30. Eman-eman babo manira wediya,
ing mangke nadyan benjing,
mangsa ta uncata,
lamun wong Sitijenar,
eman-eman awak mami,
asilih aran,
Sunyata Jatimurti.

31. Yen manira kajarah tur siya-siya,
kena ngarahan iblis,
ngur baya matiya,
nguni duk maksih jabang,
tanggung-tanggung kudu urip,
manut ing setan,
ginawa maring sisip.

32. Dene mangke manira keneng tatrapan,
pan sampun ngong andhemi,
mangsa gumingsira,
kinisas ing abahan,
yen oncata wuwus mami,

mangsa nyataa,
nyata trus lair-batin.

33. Jer wus nyata esok nyata sore nyata,
nyata raina-wengi,
datan nganggo mangsa,
nyata inggih sanyata,
nguni mangke miwah enjing,
dhasar sanyata,
sakarsane mastani.

34. Yata wau Kangjeng Susunan Darajad,
ngungun denya miyarsi,
dening antepira,
Pangeran Sitijenar,
tuwin sagung kang miyarsi,
sapasamowan,
jetung ngungun tan sipi.

35. Jeng Susunan Darajad nulya parentah,
binubaraken sami,
anganti Jumungah,
nulya sami bubaran,
maring pakuwonireki,
kuneng laminya,
samana prapteng janji.

36. Ing Jumungah sami pepekan sadaya,
sagunging para Wali,
myang srinaranata,
tuwin para pandhita,
para ulama geng-alit,
para satriya,
punggawa pra dipati.

37. Aneng masjid sawusnya manjing wektunya,
salad Jumungah sami,

yata wusing bakda,
denya salad Jumungah,
anulya mijil ing jawi,
Sunan Darajad,
lawan srinarapati.

38. Lenggah munggeng tetarup anyar kinarya,
sawetan kori masjid,
kori kang ing jaba,
sawetan palataran,
akepung kang para Wali,
para pandhita,
miwah sagunging mukmin.

39. Atepung lan pra dipati pra satriya,
andher punggawa mantri,
jejel titip atap,
ngalun-alun kebekan,
Seh Sunyata Jatimurti,
sampun anglela,
lenggah kapareng ngarsi.

40. Sunan Kudus andhawuhaken timbalanya,
risang mahapinundhi,
mring Seh Sitijenar,
yen badhe keleksanan,
kukumulah kisasneki,
sumaur ganggas,
Pangeran Sitiabrit.

41. Sarwi mesem sumaringah cahyanira,
lah enggih ta suwawi,
nunten lekasana,
sampun kadangon tingkah,
yata Sunan Kudus aglis,
angunus pedhang,
landhep kaliwat luwih.

42.Dyan pinedhang wau Susunan Lemahbang,
pedhot jangganireki,
murdanira tiba,
ing babut kang ginelar,
linapisan genis putih,
aguladrahan,
ludiranya dres mili.

XX


1. Rudira bang merbabang kaeksi,
yata kang samya non,
ngucap-ucap mangkana wuwuse,
dene iku nora indah luwih,
ingsun nyana sakti,
dibya teguh timbul.

2. Teka empuk pinedhang babarji,
nora nganggo mindho,
dene iku ta mengkono bae,
kumarecek angaku sayekti,
sru kalengki-lengki,
pangakene luhung.

3. Lawan iku ludirane abrit,
lumrah getihing wong,
ingsun sidhep aneha rupane,
yata wau Pangeran Kismabrit,
gagembungnya mijil,
cemeng getihipun.

4. Menges-menges lir cemenging mangsi,
yata kang samya non,
ngucap-ucap teka lumrah bae,
saben jalma duwe getih wilis,
yata mijil kuning,
rudiraning gembung.

5.Yayah toyaning atal ingiling,
yata kang samya non,
ngucap-ucap maksih lumrah bae,
saben jalma padha anduweni,
ludira kang kuning,
wauta sang gembung.

6. Nulya mijil kang ludira putih,
putihe mencorong,
sarya arum angambar gandane,
kang samya non ngucap-ucap malih,
maksih lumrah ugi,
saben manuseku.

7. Padha duwe getih catur warni,
jer titahing manon,
sangking patang wama anasire,
abang ireng kuning lawan putih,
wus asale nguni,
patang prakareku.

8.Yata wau kang rah catur warni,
bisa cecelathon,
sami muji sukuring kadaden,
pira-pira nikmating ngaurip,
manpangating pati,
nikmating tinemu.

9. Jroning pati-pati kang patitis,
liwat sangking elok,
manuseki sajati-jatine,
ingkang sampun ambontos ing elmi,
apan ora mati,
urip sajegipun.

10.Sink lamun ingaranan mati,
jer tan keneng layon,
mung kewala ngalih panggonane,

tur amboyong kedhatonireki,
kamuktening pati,
tan kena den etung.

11. Yata wau kang samya ningali,
sakedhap andongong,
kagawokan wicaraning geteh,
nulya sami ngucap-ucap malih,
baya iku singkir,
sulap tegesipun.

12. Ngendi ana getih bisa angling,
rerasan mengkono,
baya parewangan ing elmune,
apa iku pepethinganeki,
kang pinundhi-pundhi,
anyanak lelembut.

13. Sasar-susur sangkin tibeng sisip,
karya walangatos,
ngreregoni sajroning patine,
mundur kaya ngelmune wong ceplik,
yata sang alalis,
utamangganipun.

14. Sru gumujeng sarwi angling aris,
kabeh getih ingong,
padha sira baliya den age,
manawa ta sira mengko kari,
dadi nora manjing,
ing swarganireku.

15. Punang getih nulya sami bali,
kabeh lir sinerot,
sirna datan ana lelabete,
nulya utamangga angubengi,
mring gegembungneki,
mider kaping telu.

16. Sarwi muwus kabeh kanca mami,
tan angandel mring ngong,
banget temen ing pamaidone,
ingkang ora-orane den siri,
panunggaling gusti,
pamoring sawujud.

17. Nulya murda teplok wangsul malih,
ceples sampun manggon,
kanin pulih tan ana labete,
cahyanira mancur anelahi,
uluk salam ririh,
swara manis aruin.

18. Sinauran wau salamneki,
mring saananing wong,
pan gumuruh arame swarane,
kagawokan sagung kang umeksi,
jetung tan kenangling,
gegetun angungun.

19. Dhedhep lerep yayah den sirepi,
anjomblong andongong,
den sidhep tan mangkana dadine,
tuhu lamun tan kenaning pati,
mati jroning urip,
urip jroning lampus.

20. Urip bae sajege tan mati,
kawaluyaning don,
badan suksma langgeng salamine,
Jeng Pangeran Sitijenar nuli,
mareg mring ngarsaning,
sang amahawiku.

21. Sesalaman lawan sang pinundhi,
tuwin sang akatong,

miwah ingkang para wali kabeh,
sahananing pasamuwan ngenting,
sesalaman sami,
mring sang wus linuhung.

22. Sawusira sesalaman sami,
sagunging punang wong,
sang linuhung alon ing wuwuse,
maring jeng susunan kang pinundhi,
ing mangke sarehning,
wus palesteng kukum.

23. Ulun pamit ayun amindahi,
jaman kang kinaot,
lah kantuna basuki ing tembe,
tuwin andika srinarapati,
den sami basuki,
kang kantun ing pungkur.

24. Miwah kanca-kanca para wali,
pra pandhita kaot,
pra ulama para mukmin kabeh,
dipun sami basuki ing wuri,
tuwin ta sagunging,
sen tana gung-agung.

25. Para nayaka bupati mantri,
punggawa sang katong,
manira mit mring dheweke kabeh,
mugya sami kantuna basuki,
den apened sami,
rahayuweng pungkur.

26. Gumer sami kang sumaur inggih,
mugi-mugi ing don,
sami manggiha karahayone,
ingkang pindhah lawan ingkang kari,

yata kang arsa nis,
lair cahyanipun.

27. Murub mancur mancurat nelahi,
ngenguwung mencorong,
angkara-kara tumeja ngene,
surem sunaring pratanggapati,
balerengen sami,
kang samya andulu.

28. Nulya Seh Sunyata Jatimurti,
wuwusira alon,
isun iki selak kari gawe,
nulya anglandeng cahya manginggil,
tan antara gaib,
sang sampun linuhung.

29. Sarwi atilar kongas ganda mrik,
angambar kinaot,
pan ulekan kasturi gandane,
cengeng ingkang sami aningali,
saananireki,
sami amiduwung.

30. Wonten ingkang sami alok hi hi,
he he babo-babo,
isun sengguh tan kaya mengkene,
sestu nyata-nyata wong linuwih,
luwih angluwihi,
ing sesamenipun.

31. Kuneng wau ingkang sampun aib,
yata winiraos,
Jeng Susunan Darajad dhawuhe,
sagung panggonan tilasaneki,
Sang Seh Jatimurti,
denyanggung nanekung.

32. Tuwin tilas pamulanganeki,
sadaya pan kinon,
anengeri kijing maejane,
kadi kubur panyekarireki,
aja milalati,
mring wong mudha punggung.

33. Yata bubaran kang para wali,
sami mring pakuwon,
srinarendra kondur mring purane,
pasamuwan wus bubaran sami,
sapraptaning panti,
tansah brangta wuyung.

{{C|XXI}
1. Wauta Rekyana Patih,
Wanasalam wus utusan,
sakawan mantri kang kinon,
anengeri kang tilasan,
panggenanya Pangeran,
Sitijenar yen manekung,
panepen patapanira.

2. Tuwin pamulanganeki,
binaktan waragad kathah,
tan alami panggarape,
sadaya wus sami dadya,
kuneng gantya winarna,
sagung anak muridipun,
Jeng Pangeran Sitijenar.

3. Samya sungkawa tan sipi,
kagagas-gagas ing driya,
sami ngranuhi susahe,
tinilar ing gurunira,
karantan ing wardaya,

kesthi tresnanya mring siswa.

4. Mila sru kingkinya sami,
kuneng kang samya sungkawa,
gatya ingkang winiraos,
sagung para waliyullah,
kang aneng nagri Demak,
semana wus sami kondur,
mring wismanya sowang-sowang.

5. Tuwin sagung para mukmin,
miwah kang para dipatya,
ingkang amancaprajane,
wus sami mantuk sadaya,
yata kang cinarita,
Jeng Sultan Demak puniku,
enget kagagas ing driya.

6. Mring raka Kyai Geng Pengging,
ing nguni ubayanira,
nganti kang raka panggihe,
Raden Kebokanigara,
kang angikis lunganya,
lan sagarwa-putranipun,
punika sengadenira.

7. Samangsanipun kepanggih,
sareng sebanya mring Demak,
nanging ing mangkya wus lungse,
lamine sampun sawarsa,
mandayeng patembayan,
saking kagagas sang prabu,
cinipta nora pesaja,

8. Nulya utusan sang aji,
mantri wewolu binaktan,
suratira sang akatong,

wus budhal sangking ing Demak,
kuneng lamining marga,
lampahing duta wewolu,
wus prapteng Pengging nagara.

9. Panggih lan Kyai Geng Pengging,
duta wewolu seksana,
andhawuhken timbalane,
ing Demak srinaranata,
amaringken nawala,
nulya tinampanan sampun,
maring kyai Geng Kenanga.

10. Binuka sinukmeng galih,
kang srat mangkana tembungnya,
penget ingkang srat sang katong,
kang tulus iklas wijilnya,
sangking sucining manah,
sangking arinta sang prabu,
ing Demak kang mangka badal.

11. Mring Kangjeng Nabi dutadi,
Muhkamad nayakaning rat,
kang sampun rinilan angreh,
amengku ing Tanah Jawa,
miwah ing sabawahnya,
ing sabrang kang para ratu,
ingkang kabawah ing Jawa,

12. Dhatenga ing dika mangkin,
kakangmas Kebokenanga,
ing Pengging adipatine,
kang lagya mangun sungkawa,
kecalan kadang tuwa,
lunga nis tambuh dinunung,
kangmas Kebokanigara.

13. Kang karihin salam mami,

dhatenga maring andika,
sampuning salam wiyose,
kakangmas Kebokenanga,
dahat kularsa- arsa,
ing mangke sampun sataun,
nguni duk kula utusan.

14. Ing wadya sakawan mantri,
animbali mring andika,
kakang anedha sumene,
ngantos panggihe rakanta,
pun kakang Kanigara,
witning lamun tan kapangguh,
pira sung priksa mring kula.

15. Lan dika panggih lan mami,
kula jeng-ajeng kalintang,
ing mangke ta ngantos lungse,
kula tan wrin ing pawarta,
sanadyan awak kula,
puniki sayekti tumut,
kecalan kadi andika.

16. Pinten ta tebihe ugi,
lagya kadang naking sanak,
dereng tumindak wastane,
ing mangke panedha kula,
kakang dhateng andika,
mugi keringa ing kalbu,
kula timbali mring Demak.

17. Sampun andika ngentosi,
ing panggihe rakandika,
benjing pinanggih gampile,
yen andika sampun panggya,
lawan kula priyangga,
sayektine kula tumut,

tetulung milya ngupaya.

18. Nanging kakang sapuniki,
poma panggiha ing kula,
pan wonten parlu damele,
kula ayun pirembagan,
kakang lawan andika,
sinten kula tantun-tantun,
kajawine kadang tuwa.

19. Sabarang rehing nagari,
sayugya kula tantuna,
lawan kadang tuwa dhewe,
para wayah Majalengka,
sadaya pan taruna,
amung andika kang sepuh,
wayah pambajenge nata.

20. Atmajane ratu sakti,
ing Pengging Handayaningrat,
run-tumurun sami katong,
sayektine kawajiban,
kula jak pirembagan,
samudayaning pirembug,
tindak lakuning nagara.

21. Pema kakang dipun kerid,
ing lampahing duta kula,
punapa ing saesthine,
ing wardaya kula kakang,
kawrat ing dalem serat,
telas kang srat ungelipun,
kadhadha satembungira.

22. Kyai Geng angandika ris,
heh duta apa ta ana,
srinaranata welinge,
kang kajaba sangking layang,

punang caraka turnya,
pan inggih wonten pukulun,
welinge ari paduka.

23. Yen panduka sampun sesthi,
badhe karsa maring Demak,
sakanca kawula kinen,
andherekna jeng panduka,
nadyan enggal lamiya,
amba ngantosi pukulun,
ingkang dados karsa tuwan.

24. Jeng Kyai Geng ngandika ris,
lah duta sira ngantiya,
rong dina ana ing kene,
caraka matur sandika,
nulya sinung pondhokan,
sajawining banonipun,
sinugata dalu-siyang.

25. Binoja-boja menuhi,
sarya sinungan busana,
paselin kinen angangge,
caraka wewolu samya,
anyana antuk karya,
Kyai Geng Pengging puniku,
den sidhep karsa mring Demak.

26. Kuneng wusnya kalih latri,
Jeng Kyai Geng sampun dadya,
denya karya sul-angsule,
serat mring Jeng Sultan Demak,
enjing Kyai Geng lenggah,
munggeng paringgitanipun,
animbali duteng Demak.

27. Mantri wewolu wus prapti,
atarap lenggah ing ngarsa,

Kyai Geng alon wuwuse,
lah duta iki aturnya,
sratingsun wewangsulan,
katur maring sang prabu,
tur sembah duta pangarsa.

28. Sarwi anampeni tulis,
Kyai Geng malih wuwusnya,
lan matura mring sang katong,
iya samangsanane ya,
pinaringken dening Hyang,
sayekti sariraningsun,
aseba ing srinarendra.

29. Lan matura mring sang aji,
yen ingsun misih sungkawa,
malah awuwuh wirangrong,
tinilar ing guruningwang,
duta samya tur sembah,
lengser sangking ngarsanipun,
Kyai Gedhe Kenanga.

30. Mesat sapraptening jawi,
caraka laju kewala,
sangking ing Pengging lampahe,
datan kawarna semana,
lamine aneng marga,
lampahing duta wewolu,
wus prapta negari Demak.

31. Lajeng manjing dalem puri,
ing ngabyantara narendra,
dinangu marang sang katong,
kaya paran lakunira,
duta matur tur sembah,
solahing dinuta katur,
sarwi ngaturaken serat.

32.Wewangsulan sangking Pengging,
tinampan maring jeng sultan,
lan sampun katur ature,
mangkana serat binuka,
maring srinaranata,
sinukmeng wardaya prabu,
tembunge angraras driya.

XXII


1. Punika kang serat tulus mijil,
sangking katartanton,
ing tyas ingkang terus ing kasucen,
pinaesan kalawan pepuji,
saha kurmat taklim,
ingkang tanpa putus.

2. Sangking pun kakang Ki Gedhe Pengging,
ingkang dahat bodho,
ingkang ina sewu kainane,
santri pekir langip dama miskin,
papa tanpa budi,
kabudayan pugut.

3. Ing mangke kang saweg den sinungi,
tyas nandhang wirangrong,
duka-cipta tan wrin wratmakane,
kaatura ing srinarapati,
ingkang angrenggani,
ing Demak praja gung.

4. Ingkang dadya Kalipahing Nabi
dutaning Hyang Manon,
ingkang angreh Tanah Jawa kabeh,
amengku reh samoaning dasih,
kang sampun antuk sih,
ing Yang Mahaluhur.

5. Kang mengku rat karaton ing Jawi,
siniweng pra katong,
ingkang putus wignya sujanangreh,
animpuneng jaya wijayadi,
gunawan ing budi,
mamot sabar maklum.

6. Ri sampuning makaten sang aji,
ing mangke kawiyos,
kula sampun tampi peparinge,
serat ingkang dhawuh animbali,
mring pun kakang Pengging,
ngandikan lumebu.

7. Maring Demak ing ngarsa nerpati,
perlu kang ginatos,
ayun rerembagan sabarang reh,
menggah ingkang punika sang aji,
insak-allah ugi,
ing samangsanipun.

8. Bilih pinarengaken ing Widi,
lejaring wirangrong,
tyas kang datan kantenan raose,
sinung luwar memala malatsih,
kula nunten ugi,
sowan ing sang prabu.

9. Dene ing mangke kula pan taksih,
kuwur ing tyas keron,
karaketan ing raga wirage,
sapunika kawula sang aji,
mung tetadhah runtik,
nuwun maklum prabu.

10.Mugi sampun kirang pangaksami,
sang nata den amot,

sampun ing driya salah de, x)
map an sampun darbene nerpati,
palimarmeng cili,
sabar tur amengku.

11. Sampun telas saungeling tulis,
anulya sang katong,
andangu mring duta wewekase,
ingkang raka Ki Ageng ing Pengging,
duta mawotsari,
makaten pukulun.

12. Wewelingnya raka panduka ji,
matura sang katong,
ingsun iki maksih susah gedhe,
durung suda nuli wuwuh malih,
yayah gering kapit,
tininggal ing guru.

13. Mung punika gusti kang weweling,
ling malih sang katong,
kaya paran ing kana rakite,
aneng wisma si kakang ing Pengging,
rame apa sepi,
duta nembah matur.

14. Rakitipun rakanta ing Pengging,
asimpen wewados,
ing pratingkah asepi arame,
liring sepi dene datan apti,
acara bupati,
myang cara wong agung.

15. Mung pasajan cara santri pekir,
sawontene kang wong,

x)kirang 2 wanda.

pra sentana ing Pajang Pengginge,
ageng-alit lelagone sami,
tan cara priyayi,
amung lagu dhusun.

16. Angilangken kasatriyaneki,
tan ayun katongton,
singlar sangking wibawa kamukten,
boten ayun reh kang mawi singgih,
tan ayun siniwi,
acara wong agung.

17. Kiyai Geng aremen semedi,
puja tan tumawong,
nging tan ayun kawingkis lampahe,
amandhita remen mangun teki,
asring anenepi,
ing papan kang samun.

18. Liring rame remen mring agama,
sarengat kinaot,
sawadyane anemen salate,
bar Jumungah rame siyang latri,
sasentananeki,
tanggap sami sengkud.

19. Masjidipun ageng langkung asri,
amugul katonton,
mentas genya ayasa labete,
taksih enggal dereng patos lami,
Kyai Geng ing Pengging,
mantep ahli ngelmu.

20. Lamun sampun genipun ngabekti,
gya mring sabin gupoh,
tetegilan aremen tetanen,
yen sampuna taksih wonten kedhik,

panengeraneki,
lir tuhu wong dhusun.

21. Tengranipun taksih angenggeni,
ing Pengging kadhaton,
ingkang rama nguni pusakane,
rakit pura karaton ing Pengging,
yata duk miyarsi,
sang nata angungun.

22. Sakin wewah rerenggining galih,
sumelanging batos,
manawa tan pasaja ing tembe,
kawistareng wewangsulaneki,
mung ngecani krami,
ing jro simpen semu.

23. mungkedhike tembung jroning tulis,
tembung andhap asor,
manis arum ing uparenggane,
ela-ela karya ngresing galih,
dadya sribupati,
kacangkol ing kalbu.

24. Duta sampun mundur sangking puri,
kuneng ta sang katong,
gantya ingkang kawuwusa ing reh,
padhekahan ing Ngudung paminggir,
wonten jalma luwih,
bentur tapanipun.

25. Sinung wahyu dinulur sakapti,
denira Hyang Manon,
Ki Seh Malangsumirang wastane,
pan kaprenah nak-sanakireki,
lan kang swargi nguni,
Jeng Susunan Ngudung.

26. Ki Seh Malangsumirang winarni,
apan meksih anom,
lagya tridasa umure, x)
duk sedhenge kaberaganeki,
kendel sarwa bangkit,
asekti kalangkung.

27. Wus pinunjul ing sesamineki,
ing papak amoncol,
datan kena pinethit kesite,
ladak datan wonten kang kinering,
wanter wutah ati,
atine anuntung.

28. Tedhas ing elmu sangkaning alit,
denira maguron,
mring Susunan ing Giri Parapen,
duk winejang ing ilmu sajati,
wayah umur lagi,
pituwelas taun.

29. Wusnya telas sarahsaning ilmi,
anulya linakon,
manjing raga amangun tapane,
anderpati manjing wana werti,
jurang-jurang sungil,
pringganing aterjung.

30. Guwa-guwa rago den leboni,
lemba-lemba lorog,
pucak-pucaking wukir pinenek,
lana subrata pucaking wukir,
tepining jaladri,
teluk tanjung-tanjung.

x)kirang 2 wanda.

31. Wusnya antuk ing sadasa warsi,
nulya saling lagon,
tarek makjun rabani wastane,
ing tegese laku ngedan nenggih,
edan kang ngedani,
ing pangeranipun.

32. Linglang-linglung lenglenging panglingling,
cengeng sapatemon,
kandhem kerem sangking sru nikmate,
jiwa raga wus datan katolih,
kendel aneng panti,
lalu lengur-lengur.

33. Sampun mengo sagunging pakarti,
tan ana linakon,
lan sumingkir sangking agamane,
tata sarak parentahin'g Nabi,
dutaning Hyang Widi,
datan ana ketung.

34. Tilar salat Ki Seh datan apti,
ngabektiyeng Manon,
cegah pakoning dalil hadise,
kabeh-kabeh tan ana tinolih,
amemurang titi,
amegat kekunjung.

35. Remen angingu srenggala alit,
ginulang cecubon,
wus anjilma tutut kena rineh,
pan sumurup sabasaning jalmi,
bisa anampani,
kalamun tinuduh.

36. Yayah rare panakawaneki,
lumaku sapakon,
tuwin lamun nuju Kiyai Seh,

alelungan saparanineki,
kang sona kakinthil,
sang anom ing ngayun.

XXIII



1. Yata Sang Malangsumirang,
lelampah ngider mideri,
saidering pirang praja,
anjajah manca-nagari,
tan ana kang kinapti,
mung kewala andon laku,
lakuning suleksana,
sesananing jalma luwih,
leksanane mangka keliring buwana.

2. Sring andulu wong kang samya,
bar Jumungah aneng masjid,
nanging tan ayun sembahyang,
sonane tumut mring masjid,
temah angerusuhi,
kinon asalat tan ayun,
pinaksa kinuwatan,
Ki Seh datan anauri,
rinuntikan gumujeng ayem kewala.

3. Mangkana gumyahing warta,
pirang-pirang praja sami,
lamun Seh Malangsumirang,
tetela genya ngrusuhi,
ing lakuning agami,
memulang saraking rasul,
nadyan mring nagri Demak,
Ki Seh wus tanpa pakering,
winedeken malah ngangseg mingkin sura.

4. Tan angangge wacak driya,
wus ilang ingkang wawedi,

laminya wus tigang warsa,
denyanggung angrerusuhi,
Ki Seh dadya wus manjing,
ngumur telungpuluh taun,
mangkana nagri Demak,
pakumpulan para Wali,
para mukti sulaka para pandhita.

5. Angrembug ing kukumulah,
mupakat samya methuki,
lamun Seh Malangsumirang,
kena kukuming negari,
kinisas ing agami,
katrapan nerak sesiku,
laranganing sarengat,
angaku badan rokani,
kabanjure angaken kahananing hyang.

6. Mila tan kenging suminggah,
ing kukume den pateni,
sarehne wus datan kena,
ingeman den pituturi,
rinirih den rerinding,
marang kaponakanipun,
Sunan Kudus punika,
prenah kaponakaneki,
langkung trisna kang paman sring tinangisan,

7. Nanging Seh Malangsumirang,
meksa kongas mingis-mingis,
tanpa tetebeng ing tingkah,
angedheng pangakeneki,
kuneng ing rembug dadi,
yata dhinawuhan sampun,
Ki Seh Malangsumirang,
yen badhe kaukum pati,
pan ingobong aneng alun-alun Demak.

8. Malangsumirang miyarsi,
kalangkung sukanireki,
sengkut tanpa walangdriya,
mangkana rekyana patih,
Wanasalam akardi,
pancaka panggenanipun,
badhe pangobongira,
kuneng semana wus dadi,
sampun pepak sapirantining pancaka.

9. Praptane ing dina Soma,
wus pepak ing para wali,
tuwin kang para pandhita,
miwah ta srinarapati,
miyos sangking jro puri,
siniwakeng alun-alun,
kiduling wringin kembar,
tinaruban sadayeki,
srinarendra alenggah ingsingasana.

10. Jajar lawan Jeng Susunan,
Darajad ingkang pinusthi,
niyang sagung wali pangarsa,
ajajar lan sribupati,
wali sosoran sami,
mugeng kanan kering ngayun,
banjeng para pandhita,
kukama ngulama mupti,
para jamhur anunggil sabangsanira.

11. Kyana Patih Wanasalam,
lawan kang para dipati,
punggawa para satriya,
aglar ing ngarsa nerpati,
ingkang prameya mantri,
tanpa linggaran supenuh,
alun-alun balabar,

Malangsumirang wus prapti,
milya lenggah anggene wali sosoran.

12. Sonane alit binekta,
ngadhep ing ngayunireki,
Malangsumirang cahyanya,
sumaringah ayem nenggih,
ing solah tan katawis,
lamun wong arsa den ukum,
ing reh sairib lawan,
nguni Pangran Sitiabrit,
ri sedhenge arsa kinisas in pedhang.

13. Teteg teka yem kewala,
malah sukane angenting,
yata wau Jeng Susunan,
Darajad parentah aglis,
mring Sunan Kudus nuli,
kinen andhawuhna gupuh,
tibane kang tatrapan,
ing kukumulah kang pasthi,
marang Ki Seh Malangsumirang kisasnya.

14. Datan kena suminggaha,
Jeng Sunan Kudus nulya glis,
dhawuhaken maring kang paman,
paman andika tampeni,
dhawuhe san pinundhi,
mupakat marang sang prabu,
myang sagung waliyulah,
pra kukama Tanah Jawi,
pra dipati punggawa para satriya.

15. Andika kenging tatrapan,
ing kukumulah sayekti,
sangking parentahing sarak,
trus trang ing dalil kadis,

ijmak kiyas kang pasthi,
tan kenging miser sarambut,
sadaya namung darma,
sangking andika pribadi,
Ki Seh Malangsumirang matur sandika.

16. Sarya mangkana delingnya,
lah anaking Kudus mangkin,
pancaka gya den suleda,
mengko yen geni wus dadi,
manira nulimanjing,
maring pancakà tumurun,
lan maninge manira,
minta kertas lawan mangsi,
ingsun karya nenulis wasiyatingwang.

17. Manawa prapta ing lina,
Jeng Sunan Kudus nulya glis,
angsung mangsi lawan kertas,
kalih koras watawis,
sarya dhawuh mring patih,
Wanasalam kinen gupuh,
anyuled kang pancaka,
sandika rekyana patih,
gya sinuled pancaka dahana muba.

18.Lenga duk kekayu pasah,
kumantar kantar ngajrihi,
latu mulad mring akasa,
anggereng swaraning akasa,
anggereng swaraning agni,
kang ningali munduring,
Seh Malangsumirang gupuh,
pamit sarya sung salam,
saksana minggah tumuli,
mring pancaka salering wringin sengkeran.

19. Tan kari lawan kang sona,
kekinthil aneng ing wuri,
praptaning luhur pancaka,
nulya mudhun maring agni,
prapta madyaning api,
Ki Seh lenggah tumpang pupu,
sona ngadhep ing ngarsa,
tan tumama dening geni,
nulya Ki Seh parentali maring sonanya.

20. Kinen bah angambila,
kartas kalam lawan mangsi,
kang tinilar genya lenggah,
arsa kinarya nenulis,
sona tangginas bali,
prapta ing enggenya wau,
nulya angambil kartas,
kang kari myang kalam mangsi,
punang sona wangsul malili mring pancaka.

21. Tumurun ambekta kertas,
miwah kalam lawan mangsi,
wus katur ing gustenira,
Malangsumirang nulya glis,
miwiti anenulis,
neng sajroning geni murub,
Ki Seh Malangsumirang,
wus nyata ing lair batin,
kinawasa sanyata Wali minulya.

22. Minulya jati wisesa,
winenang aliru dhiri,
lawan Sang Maha Wisesa,
karamate amumpuni,
ing cipta tanpa siring,
dadi barang karsanipun,
pambontose kakekat,

rahsa pamungkase ilmi,
ing kamuksan wruh wekasing ana ora.

23. Tan samar ing sangkan-paran,
bisa mati jroning urip,
urip sajroning pralina,
wuryaning tan kenging pati,
pilih ingkang udani,
ing ujar ingkang puniku,
anaa lagi nora,
pan angel wong ulah elmi,
liwat ewuh liwat rungsit liwat gawat.

24. Bebaya kabina-bina,
katreceta bilaeni,
pae lan kang wus waskitha,
ing lair tumekeng batin,
waler-sangker sayekti,
kang sampun weruh ing ngriku,
sampurna kene-kana,
bisa moring ganal-alit,
sampun minggah ing jaman kasalametan.

25. Dhasar ngelmune wus nyata,
anulya dipun rangkepi,
mateng kasutapanira,
kono yekti tanpa tandhing,
sayekti datan kenging,
pinidak wayanganipun,
tebih ing pancabaya,
kacagak bekaning urip,
sirnaning kang memala bilai dunya.

26. Lamun ilmu tanpa tapa,
cemplang-cemplang kurang ragi,
mamanipun ing agesang,
wajib ageguru sami,

denya ngudi ing pamrih,
manguswa tuduhing guru,
supayane luntura,
elmune ingkang sayekti,
rahsaning kang ginedhongan kinuncenan.

27. Kang sotya embanan sotya,
manik embanane manik,
kang sampurna babar pisan,
kang patitis tutul-petis,
nora mindhogaweni,
pamungkas wekasing tuwuh,
den seseg pandheseknya,
mring guru satengah mati,
lamun nora mengkono mangsa antuka.

28. Pamejange guronira,
ing elmune kang sajati,
yen kurang panangisira,
dhestun sira mung den wehi,
ing elmu ruba-ricik,
yeku elmu ukur-ukur,
ukur urip kewala,
dudu elmu kang permati,
yen kang bodho pangrasane elmu nyata.

29. Pan mangkana salokanya,
ana jugul sangking wukir,
marang wismaning kemasan,
arsa tuku kencana di,
mring kemasan den wehi,
lancung kuning kang sinamun,
prandene suka bungah,
sijugul denya nampani,
lancung kuning inganggep kencana mulya.

30. Yata Seh Malangsumirang,

kang aneng sajroning geni,
eca denira nenurat,
den adhep sonanira lit,
dahana liwat luwih,
mubal urubira dangu,
teka ayem kewala,
aub yayah mandakini,
kang andulu yayah sinamberan dhandhang.

XXIV


1. Malangsumirang esthanireki,
pindha-pindha duk ing jaman kuna,
caritaning tanah Gedhe,
ing Babil nagara gung,
duk ingobong Jengira Nabi,
Ibrahim kalillulah,
dene Sang aprabu,
Namrut Sri Bathara Jabar,
pangobonge ngangge pabusalen inggil,
urube ingububan.

2. Wusnya dadi urube kang agni,
Kangjeng Nabi sininggot saksana,
denira anyemplungake,
ing pawirungan agung,
Kangjeng Nabi rinekseng Widdi,
sariranya tan pasah,
ing dahana murub,
punang pawirungan dadya,
maligendah ngangge rarenggan mawarni,
kinubeng patamanan.

3. Tetaneman asri warni-warni,
lan sinungan amparan mutyara,
Jeng Nabi palenggahane,
lawan sinung piturun,

baju sangking sawarga luwih,
gandanira angambar,
kongas marbuk arum,
yen ing dunya ora ana,
ganda kadi bajune Nabi Ibrahim,
piturun sangking swarga.

4. Kuneng ingkang kawuwusa malih,
Ki Seh Malangsumirang semana,
sampurna ing panulise,
pangrumpakaning suluk,
semburatan elmu kang yekti,
penggalanging sarira,
semune anuju,
rarase sinemu prana,
pranitine ing titi amilangeni,
langene dhadhanggula.

5. Wus mangkana Ki Seh nulya mijil,
sangking ing pancaka pan basmaran,
den iring dening sonane,
angampil suratipun,
miwah kalam kalawan mangsi,
Ki Seh Malangsumirang,
wangsul mring genipun,
lenggahan neng pasamowan,
punang sona lenggah sarwi ngampil-ampil,
seratan mangsi kalam.

6. Yata wau sagung para Wali,
miwah Kangjeng Sultan ing Bintara,
tuwin para mupti kabeh,
pra pandhita gung-agung,
pra satriya para dipati,
sagung mantri punggawa,
ing saananipun,
sami dahat kagawokan,

jetung ngungun lenger-lenger tan kena ngling,
gedheg goyang kepala.

7. Ngalembana sami puji-puji,
santi-santi mring Malangsumirang,
wadya kang andulu kabeh,
jejel sukup supenuh,
sum engeren samya lok hi hi,
he he he he lah nyata,
nyata-nyata tuhu,
tuhu-tuhu ngejawantah,
katuwone wanine amiwahani,
wahananing sunyata.

8. Yata Ki Seh sesalaman aglis,
lawan Kangjeng Susunan Darajad,
myang pra Wali pangarsane,
tuwin sang nata sampun,
para Wali pandhita mupti,
sadaya sesalaman,
kumoyok ing pungkur,
sawontening pasamowan,
sami mamrih sapangating sang sinakti,
Ki seh Malangsumirang.

9. Nulya wau Ki Seh atur tulis,
kang tinulis aneng jro dahana,
penggalanging sarirane,
tinapan ing sang prabu,
mangka tilas ing wuri-wuri,
tersandha kang ginagat,
gita dadya suluk,
suluk Malangsumirang,
wastanipun mangka pancadaning elmi,
rasa kang mengku rasa.

10.Nulya kinen amaca kang tulis,

marang wadya kang juru pamaca,
kinen sora pamacane,
supayane karungu,
sawontene ing pancaniti,
neng tengah pasamowan,
gya winaca sampun,
tembung madu pinasthika,
pan mangkana ing unine punang tulis,
wiwite kang ing ngarsa.

11. Malangsumirang amurang niti,
tan wrin baya denira mong gita,
rarywa nom tan wrin dudune,
anggelar ujar luput,
tuna liwat tan wruh ing westhi,
angucap tan wruh ing trap,
amegat kekunthung,
pangucape lalaluya,
kumprung pengung paksa angaku linuwih,
tan kena winikalpa.

12. Andaluya kadedawan angling,
kedalurung andarung solahnya,
cumenthaka peksa ngene,
anyung kirang ing laku,
sasar-susur tanduking gusthi,
anasar ambelasar,
tan kena den rapu,
atikah sawenang-wenang,
tan pakering kumlungkung kalengki-lengki,
tan ana sinantaa.

13. Adoh-adoh anggoningsun ngapti,
yen aparek reke kaparekan,
ing ngaurip akeh lire,
ing reh tan kena korup,
reraketan kang den raketi,

pamuketaning rahsa,
sarahsaning elmu,
maklum ing alam panikar,
panukartaning karti arta-artati,
kerut ing karahatan.

14. Nahanta reh wuryaning arempit,
sipta-ripta rikang pepingitan,
pamengeting sang manginte,
ing nalar tan sunulur,
nalirah ing elmu sakalir,
sun punggel tan sun gelar,
gelaring raras rum,
mung isun amburu kandha,
wusnya telas pamacane ponang tulis,
suluk Malangsumirang.

15. Samya eram sagung kang miyarsi,
amung ingkang sami ngalembana,
nayu-hayu ing wuwuse,
asuwe yen winuwus,
wus mangkana risang pinundhi,
Jeng Susunan darajad,
asung sipta sampun,
mring Sunan Kudus seksana,
Sunan Kudus dhawuhken parentali aglis,
mring Seh Malangsumirang.

16. Dhuh jeng paman andika tampani,
parentahe Kangjeng Panembahan,
menggah jeng paman ing mangke,
pan sampun tuhu-tuhu,
tuhu lamun datanpa siring,
ing rat datan paingan,
sainganing tuwuh,
tumuwuh alebda jiwa,
jiwangga trus neratas tatas patitis,

putus nyata-sunyata.

17. Nanging paman andika ing mangkin,
rumeksaa suhuning agama,
angagema sesakide,
kukudaning kang dudu,
sakadare sarengat Nabi,
rasul nayakaning rat,
ing rat supayanut,
anut ing agama sarak,
kareksane sarasane dalil kadis,
ijmak kalawan kiyas.

18. Ing praniti aniti nagari,
uger-ugering agama Islam,
jumeneng pan sarengate,
yekti kalawan kukum,
kikmah ingkang amanca warni,
saniskareng pakaryan,
awon saenipun,
kang leres lawan kang lepat,
ala hayu gumelaring dalil kadis,
kukumah myang wilayah.

19. Milanipun jeng paman ing mangkin,
amanguna kahenenganing tyas,
sampun ta kasalah tampen,
paman dipun amuhung,
meheng tebih sangking nagari,
sampun ngantos akarya,
keron wowor-sambu,
angendhoni bebundhelan,
ngarangaken pager ngalikabken baris,
dhoyongaken bandera.

20. Pundi paman kang dipun karsani,
padhepokan kang pantes kanggenan,

marar dadosa pepundhen,
kawajiban prajagung,
kang memantes abusanani,
busananing asrama,
kasamaptani pun,
minangka jimating praja,
amartani saananing bumi-bumi,
sadaya kasamadan,

21. Ki Seh Malangsumirang nauri,
heh ta anak ngong matuj" sandika,
tyas ingsun lintang sukane,
ngriki wonten wana gung,
Kalampisan papan awerit,
sepi tebih manungsa,
ingsun aneng riku,
cukup gubug rerompokan,
datan ayun manira nganggo kang apik,
mung sakadar kewala.

22. Jeng Susunan Darajad miyarsi,
dahat karenan miwah sang nata,
tuwin para Wali kabeh,
apepuji sadarum,
wus mangkana bubaran sami,
maring dununganira,
sowang-sowang sampun,
lamine datan winarna,
Ki Seh Malangsumirang sampun amergil,
neng wana Kalampisan.

23. Data-tita ing Demak nagari,
gantya malih ingkang kawuwusa,
Jeng Kyai Geng Pengging mangke,
sedheng neng puranipun,
nanging lagya sanget wiyadi,
atajin dhahar nendra,

kalamun ing dalu,
datan kauban wangunan,
akekadhar hanggung manekung semadi,
ening aneges karsa.

24. Ingkang mangka sungkawaning galih,
denya datan adarbe atmaja,
ingkang apanjang yuswane,
sakawan putranipun,
wonten jalu wonten pawestri,
nanging sami pralina,
maksih sami timur,
mila Kyai geng kalintang,
amaledi kapengin darbeya siwi,
kakung panjang yuswanya.

25. Kang apekik ingkang sarwa wasis,
lan kang yogya dadya paugeran,
ing kulawangsa sakehe,
ingkang pantes ing besuk,
anutukna lelakoneki,
denya kapati brata,
semana anuju,
wengine dina Jumungah,
jeng kyai geng duk ing wanci pukul katri,
kalangkung aripira.

26. Ngantuk lagya erem-erem pitik,
munggeng nataring kang pamelengan,
tan adangu antarane,
nulya na nguwuh-uwuh,
saking aib swara dumeling,
heh heh Kebokenanga,
mengko pan tinurut,
panedhanira mring suksma,
sira bakal andawe atmaja urip,
priya ngumure dawa.

27. Ing warnane kalintang apekik,
cahya mancur nuksmeng andakara,
sedhenge mangsa katrine,
lawan sekti pinunjul,
sarwa wasis limpading budi,
teguh sangkaning bocah,
prawira dibyanung,
kaonang-onang digdaya,
mandraguna kanuraganira ngenting,
kendele tanpa timbang,

28. Anrang westhi jaya-wijayanti,
iku besuk pinasthi ing Suksma,
dadya paugeraning wong akeh,
tegese dadi ratu,
Tanah Jawa kang anduweni,
pan iya sutanira,
jumeneng ratwagung,
angadhaton bumi Pajang,
nanging dudu prajanira Pajang Pengging,
kuthane sutanira.

29. Besuk babad alas wetan iki,
sakulone dhukuh ing Lawiyan,
pan ing kono kadhatone,
panjenengane tulus,
nanging sira nora menangi,
baleging sutanira,
wus janjine besuk,
sira mulih mring kamuksan,
awit sangking ing kayunira pribadi,
lumuh tumon ing dunya.

30.Kasukeren andulu suker jis,
kudu mulih mring karaton baka,
sengsem nujwana margane,
ing ulihira besuk,

mring kamuksan ing alam suci,
Iah wis Kebokenanga,
nora cidra besuk,
apan wus janjining suksma,
Kiyai Geng kagyat tetela miyarsi,
wungu andanaswara.

XXV.


1. Wauta Kyai Geng Pengging,
kagagas-gagas ing tyasnya,
enget ing swara ujare,
ngungun pepunguning driya,
tapakur denya lenggah,
kendel ing cipta sinamu,
dahat sukuring Hyang Suksma,

2. Sapraptaning bangun enjing,
Kiyai geng nulya salat,
subuh saparipurnane,
kyai geng anulya lenggah,
neng sanggar pamelengan,
kang tansah ketang ing kalbu,
nenggih ujaring kang swara.

3. Nahanta lamenireki,
kiyai geng garwanira,
kacatur sampun ambobot,
kuneng ing Pengging semana,
gantya kang kacarita,
nagari ing Bintareku,
semana tulus rahaija.

4. Mangsuli carita malih,
kala Jeng Sultan ing Demak,
nimbali Ki Ageng mangke,
ing Pengging kang madayeng tyas,

gawe rentenging praja,
mila sang nata kalangkung,
denya mrih seba mring Demak.

}} {{ol|start=5|

Panjenenganira aji,
Jeng Sultan Demak sapisan,
denya mrih sebaa mangke,
Ki Ageng Pengging ambangkang,
tan purun asebaa,
malah dumugi ing lampus,
angantepi tekadira.

|

Panjenengan sribupati,
tulus keraton minulya,
tan ana kara-karane,
wong cilik enak atinya,
tulus barang taneman,
cinarita sang aprabu,
lagya miyos siniwaka.

|

Pinarak bangsal pengrawit,
nimbali rekyana patya,
miwah para alim kabeh,
Ki Ageng ing Wanalapa,
kang munggeng ngarsa nata,
miwah Pangeran ing Kudus,
lan Ki Ageng Sidikiman.

|

Ngandika srinarapati,
mring Patih Kartanagara,
heh patih apa wartane,
Ki bayi ing Pengging mangkya,
patih matur wotsekar,
ing warta sampun misuwur,
Kiyageng agung santrinya.

|

Pamireng kawula gusti,
menggah raka srinarendra,

Ki Ageng Pengging karyane,
awrat seba ing panduka,
ing watawis kawula,
pan lami ubanggenipun,
tinimbalan datan seba.

10. Pangeran Kudus wotsari,
menggah ta atur kawula,
pukulun ing priyogane,
panduka utusana,
dhateng Pengging pun kakang,
katingal won panedipun,
menggah ta atur kawula.

11. Ki Wanalapa turnya ris,
aleres putra panduka,
Pangeran Kudus ature,
prayogiya utusan,
nimbali ing rakanta,
angandika sang aprabu,
heh patih sira dutaa.

12. Mantri loro kang abecik,
kang wicaksana weweka,
wruh lelungiding pasemon,
kang bisa anamur lampah,
patih matur sandika,
wus kondur wau sang prabu,
ki patih anata duta.

13. Gya nuding mantri kekalih,
kang wicaksana weweka,
limpad pasang-grahitane,
wruh lukita ing sanyata,
tuhu punjul samanya,
wus mangkat dutasang prabu,
wong roro alelancaran.

14. Datan kawarna ing margi,
wus prapta Pengging lampahe,
caraka tur uning age,
mring pawong lurah parekan,
yogya dipun aturna,
Ki Ageng Pengging den gupuh,
ulun dutaning narendra.

15. Parekan gya matur aris,
mring Ki Ageng tur uninga,
awiyos gusti nah angger,
panduka pan katamuwan,
caraka sangking Demak,
kiyageng ngandika arum,
tamoningsun aturana.

16. Parekan gya mintar aglis,
wus panggih punang caraka,
panduka ngaturana ge,
lumebet ing madyasana,
caraka gya umangkat,
kepanggih kiyageng sampun,
aneng panti madyasana.

17. Duta dhawuhaken aglis,
kiyageng sabda nata,
panduka ngandikan age,
ing ari mring nagri Demak,
sarengan lampah kula,
Kiyageng alon umatur,
sandika duta linggiha.

18. Caraka kalih gya linggih,
wus sami anjawab tangan,
sugata mucang amiyos,
lan dhaharan saabenya,
dyan sami ta dhahar,

sampuning adhahar tutug,
Kiyageng lon delingnya.

19. Kawula dipun timbali,
marang kanjeng srinarendra,
ing mangke nuwun dukane,
kawula boya lumampah,
gandhek alon delingnya,
punapata sababipun,
Kiyageng alon delingnya.

20. Tan wonten sababe malih,
matura mring srinarendra,
yen mengkono aturing ngong,
gandhek alón aturira,
heh Kiyageng panduka,
punapa mantep pukulun,
ing karsa ingkang mangkana.

21. Kiyageng alón nauri,
kaya bocah ta ki duta,
nora weruh ing semune,
gandhek alon aturira,
datan sedyamamriha,
ing karsa sampun jumurung,
yen estu mantep ing tekad.

22. Caraka pamit tumuli,
arsa mantuk marang Demak,
Kiyageng alon delingnya,
lah ta sira umatura,
ing kangjeng srinarendra,
yen mengkono aturingsun,
gandhek mundur sangking ngarsa.

23. Datan kawarna ing margi,
lampahe duta wus prapta,

ing Demak katur ature,
Ki Ageng Kebokenanga,
langkung ngungun sang nata,
kagagas raosing kalbu,
rumangsa budi nonoman.

XXVI.



1. Wus mundur caraka Demak,
sing ngabyantara nerpati,
yata ingkang winursita,
nenggih Ki Ageng ing Tingkir,
sampun miyarsa warti,
yen kang rayi Pengging nengguh,
tinimbalan mring Demak,
Ki Ageng Tingkir mring Pengging,
sampun panggih lawan Ki Gedhe Kenanga.

2. Wus tata sami alenggah,
ngandika Ki Ageng Tingkir,
yayi para tinimbalan,
mring kangjeng Sultan ngawati,
apa wadine yayi,
pagene nora lumaku,
ingkang rayi turira,
punapa damele ugi,
wong dhedhukuh tinimbalan ing narendra.

3. Heh yayi kaya punapa,
tinimbalan datan prapti,
marang ing negara Demak,
paran ta dadine yayi,
apa ta sira yayi,
nora kabawah ing ratu,
lemah kang sira ambah,
saisine Tanah Jawi,
pan sadaya duweke kang dadi nata.

4. Kang rayi alon turira,
Allah kang adarbe bumi,
kadar anedya punapa,
wong dhedhukuh den timbali,
angling Ki Ageng Tingkir,
aja wangkot areningsun,
aja tampani lomba,
lan aja gegampang pikir,
pakewuhe yayi para ulatana.

5. Yayi mungguh kaya sira,
kalenthing pan wadhah masin,
ambune pan durung ilang,
sira wayahing nerpati,
narendra Majapahit,
pan tilase durung alum,
apa dene ramanta,
prakoswa prawira sakti,
pramilane pinet mantu Brawijaya.

6. Lah yayi pagene sira,
teka ambuwang naluri,
tinimbalan ing sang nata,
menawa silih udani,
yen pamanira yekti,
arining ibu satuhu,
manawa palimarma,
sarehning dadya nerpati,
duwe sanak ana desa ing adesa.

7. Becik sira lumakuwa,
isun yayi atut wuri,
mangsa tegaa mring sira,
pakewuhe sun calangi,
kang rayi matur aris,
kadya boten sapuniku,
kakang bara-tan bara,

mendah wong dadya nerpati,
emut dhateng sanak kang lambung kasimpar.

8. Ki Ageng Tingkir lingira,
paran yayi karsaneki,
Ki Ageng Pengging turira,
pan inggih wonten punapi,
nadyan nimbali malih,
ameksa wong boten purun,
kang raka sru ngandika,
iya yayi wong aurip,
yen amopo tinimbalan ing narendra.

9. Mapan iya wong duraka,
wasisan ngadegna baris,
aja tanggung ing pratingkah,
aja sira mungal-mungil,
manawa ana jail,
temah katail pakewuh,
wong jawal ambebegal,
yen kena den paekani,
ingkang amrih pakandele wong ngawula.

10. Kang rayi gumujeng suka,
kakang tuwan pindho kardi,
andika merangi tatal,
bilai lara lan pati,
sinten ingkang darbeni,
pan kagunganing Hyang Agung,
derenge wonten badan,
papesthen ginawe dhingin,
awon pened ing lukilmakpul tulisnya.

11. Kang raka aris lingira,
iya yayi apa malih,
yen wis pesthi tekadira,
pun kakang teka ngamini,

sadina mituturi,
semana pan sampun dalu,
samya salat ing langgar,
sampune asalat nuli,
ingkang raka kelangkung sinuba-suba.

}} {{ol|start=12|

Ing dalu ari ringgitan,
sira Ki Ageng ing Pengging,
anyugata mring kang raka,
pan ringgit beber sawengi,
semana ambarengi,
garwanira wawrat sepuh,
lair ingkang wawratan,
ing sasi Jumadilakir,
tanggalipun ping wolu nuju tahun Dal.

|Sareng mangsane kalima, ing dinane Rebo legi, ing wayah bangun raina, miyos jalu warna pekik, mapan Ki Ageng Tingkir, medalken bing-embingipun, Kyageng Kebokenanga, langkung sukanireng galih, wong nenonton wayang beber kagegeran.</poem>

|

Ana kekuwung geng prapta,
tetiga anyerot kali,
garimis bareng sakala,
ngandika Ki Ageng Tingkir,
yayi putranireki,
ingsun paringi jejuluk,
Mas Karebet namanya,
dene teka amarengi,
ing laire wayang beber ingsun tanggap.

|

Kang ir.yi alon turira,

anuwun langkung prayogi,
angsala sawab panduka,
mugi kalisa ing sakit,
kawula inggih darmi,
panduka ingkang sesunu,
mugi pinanjangena,
yuswane kang jabang bayi,
mugi-mugi tulusa nugrahaning Hyang.

}}
  1. Cinarita tigang dina,
    Ki Ageng Tingkir neng Pengging,
    kuneng ganti winurcita,
    ing Demak srinarapati,
    tandya wau nimbali,
    mring ulama agung-agung,
    tuwin rekyana patya,
    miwah sakeh para wajir,
    lan Pangeran Kudus kang munggeng ing ngarsa.

  2. Lan Ki Ageng Wanapala,
    sigra denira nimbali,
    wus munggeng ngarsa narendra,
    ngandika srinarapati,
    heh sagung para wajir,
    myang ulama agung-agung,
    padha angawruhana,
    ing mengko ki raka Pengging,
    mapan nedya madayeng keratoningwang.

  3. Heh ta kakang Wanalapa,
    sira ingkang ingsun tuding,
    andhawuhna bantahingwang,
    sira dadi wakil marni,
    marang ki raka Pengging,
    rong prakara bantah isun,
    heh kakang tuduhana,
    endi ingkang dipun pilih,

salah siji ing jaba lan jeronira.

19. Ki Wanalapa turira,
sandika karsaning aji,
kawula darmi lumampah,
ngemban timbalan nerpati,
ngandika sribupati,
lah nuli mangkata gupuh,
mundur Ki Wanalapa,
sing ngabyantara narpati,
sigra mangkat cara santri lampahira.

20. Datan kawarna ing marga,
tigang dina prapteng Pengging,
pan lajeng atur uninga,
yen wonten tetamu prapti,
marang Ki Ageng Pengging,
utusane sang prabu,
Jeng Sultan ing Bintara,
Kiyageng alon nauri,
aturana jujug sanggar palanggatan.

XXVII.


1. Tandya ingaturan nuli,
Ki Ageng ing Wanalapa,
wus manjing langgar lampahe,
kepanggih Kiyageng sigra,
dan sira uluk salam,
sinauran salamipun,
pra samya atata lenggah.

2. Semana Kiyageng kalih,
pra samya anjawab tangan,
Ki Ageng Pengging ature,
panduka sami katuran,
yayi sarawuhira,
Ki Gedhe ature nuwun,

sih palikrama panduka.

3. Ki Gedhe Pengging ngling-arisyayi ingutus punapa,
panduka maring sang katong,
Ki Wanalapa turira,
kinen matedhakena,
bantahipun sang aprabu,
jawaben dipun pratela.

4. Iya sira pilih endi,
ana luwih sangking ana,
kang suwung liwat suwunge,
lawan aturu sapisan,
melek salawasira,
lawan turu saben dalu,
lawan melek saben dina.

5. Mangan sepisan maregi,
sajege denya tumitah,
lawan mangan saben sore,
pangelihe saben dina,
payo sira piliha,
timbalane sang aprabu,
yen sira pilih kang ana.

6. Lan amangan saben ari,
alapen negara Demak,
mupung ta masih sang katong,
Ki Ageng Pengging turira,
punapa sang nata,
salah karya ing tumuwuh,
ing ngriki wonten punapa.

7. Kaget kawula tan sipi,
timbalane srinarendra,
ngangge karya walangatos,
kyai panyana kawula,

ratu kalipahing Hyang,
yekti budi luwih luhur,
wekas-wekasing utama,

8. Kawula boten amilih,
sadayane mapan arsa,
yen miliha awak ingong,
sawiji pan siya-siya,
adhi atur kawula,
mugi katura sang prabu,
kawula den darbe karsa.

9. Ki Wanalapa nauri,
puniku atur panduka,
tan ana wewekasane,
sekuthu atur panduka,
dhateng srinaranata,
tanpa gawe lampah isun,
den utus nateng ing Demak.

10. Panduka tan darbe milih,
bantahipun srinarendra,
lah kadi pundi dadose
nedha kira kantuna,
anulya sesalaman,
Ki Ageng Pengging lingnya rum,
adhi waweling manira.

11. Matura ing sribupati,
kawula tan darbe karsa,
borong punapa sang katong,
sadayane kula arsa,
sirik yen amiliha,
tanpa wekasing tumuwuh,
yen milih tuwin ngungkurna.

XXVIII.

1. Tan cinatur lampahira,
pan Ki Gedhe ing Wanalapa prapti,
ing Demak telatahipun,
wauta kang kocapa,
nagri Demak semana miyos sang prabu,
pepak kang para niyaka,
miwah ingkang para Wali,

2. Sang prabu lenggah dhedhampar,
alelemek babut baludru sari,
banyak-dhalang aneng pungkur,
miwah ardawalika,
kekacu mas sawunggaling aneng pungkur,
pra pandhita munggeng kanan,
para Wali munggeng ngarsi.

3. Ingkang aneng ngarsa pisan,
Jeng Pangeran ing Kudus kang wewangi,
sang nata ngandika arum,
heh sanak-sanak ingwang,
kaya paran lakune carakaningsun,
Ki Gedhe ing Wanalapa,
ingsun duta maring Pengging,

4. Pangeran Kudus tur sembah,
ulun dugi pun kakang angsal kardi,
tan antara nulya rawuh,
Ki Gedhe Wanalapa,
dumerojog ing ngarsanira sang prabu,
sigra wau atur sembah,
dhumateng srinarapati.

5. Sang nata alon ngandika,
lah bageya ki raka sira prapti,
Ke Gedhe ature nuwun,

lampah amba kaduta,
andhawuhken timbalan dalem sang prabu,
pun kakang Kebokenanga,
ing Pengging tan angsal kardi.

6. Tan wonten kang den piliha,
sedayane pan sami den karsani,
tan nedya punapa wau,
ciptaning jro wardaya,
mung dhedhukuh kewala panedyanipun,
kula sumangga sang nata,
aturipun Kyai Pengging.

7. Sanget atadhah deduka,
pan lengganangandika sribupati,
ing netya sapan sinamun,
batos angemu rasa,
tan prasaja alebet pengangkahipun,
kawala dugi tan cidra,
borong punapa karsa ji.

8. Sang nata alon ngandika,
mring Jeng Pangran ing Kudus ingkang tinuding,
yayilumakuwa gupuh,
mring Pengging tuwanana,
yen sakira sayekti aduwe kayun,
lah mangsa bodhoa sira,
tatrapna ing dalil kadis.

9. Jeng Pangran Kudus sandika,
atur sembah wus lengser ing ngarsa ji,
gya ngedhaton sang aprabu,
sagung Wali pandhita,
myang niyaka prameya bubar sedarum,
mring wismane sowang-sowang,
nehen gatya kang winarnni,

10. Ingkang lagya perdandanan,
Kangjeng Pangran ing Kudus wus angrakit,
sahkabatira pepitu,
pra sami nglugas-raga,
cara santri jeng pangran busananipun,
wasiyatira binekta,
bendhe Ki Macan kang nami.

11. Bektanipun ingkang garwa,
saking sang dipati ing Terung nguni,
ginendhong sahkabatipun,
tandya wau lumampah,
ngidul-ngulon ingiring tiyang papitu,
tan cinatur lampahira,
semana pan sampun prapti.

12. Talatah Pengging nagara,
tepis wiring dhusun radi kapering,
pan ana wit mandira gung,
satengah pategilan,
Kangjeng Pangran ing Kudus kendel neng ngriku,
ingadhep sakabatira,
papitu tarap alinggih.

13. Tan antara wonten prapta,
bekel desa Ki Soma kang wewangi,
menengkreng saduwa timpuh,
umatur mring jeng pangran,
heh ki sanak bageya sarawuhipun,
lan ing pundi wismanira,
sinten sinambating wangi.

14. Jeng Pangran Kudus delingnya,
santri Kudus wasta kula kiyai,
Amad Sapanyana wau,
dene panedyaningwang,
marang Pengging ngupaya kadangsun sepuh,

lan paman sapa ranira,
Ki Soma umatur aris.

15. Wasta kawula pan Soma,
yen kepareng anak kula aturi,
kampira mring wismaningsun,
kularsa anyunggata,
sawontene sekadare tiyang dhusun,
toya-toya lan dawegan,
kalamun panduka sudi.

16. Kekaruh tetiyang desa,
tanpa krama sigug tur kawlasasih,
neng riki won tingalipun,
jeng pangran ris ngandika,
sun tarima paman ing pasihananmu,
nanging ta panedhaningwang,
namung rewang ingsun iki.

17. Sedaya sami kasatan,
sinungana dawegan dipun aglis,
Ki Soma gya miniar gupuh,
mring desa angupaya,
pawong batur amenek dawegan sampun,
sawusira pinarasan,
gya wangsul mring tegil malih.

16.Wus katur mring jeng pangeran,
angandika banget tarima marni,
toya dawegan inginum,
jeng pangran langkung nikmat,
pinaringken marang ing sakabatipun,
wus sami nginum sedaya,
Pangran Kudus ngandika ris.

19.Heh paman isun atanya,
marganira kang anjog marang Pengging,

Ki Soma alon umatur,
kidul-kulon punika,
tan pantara wong desa pra sami rawuh,
ageng-alit estri-priya,
anonton kang sami linggih.

20. Atarap ing kering-kanan,
ngarsa-wuri angadeg jengkeng linggih,
atanya kancanipun,
heh bocah iku apa,
kang ginendhong mancono teka ngrenggunuk,
kancane sumaur sugai,
sun wewara panjang piring.

21. Cowek lemper cuwo layah,
kang sawiji ambatang trebang iki,
kancane mangsuli dudu,
rame diya-diniya,
ting dalejeg rare-ngon arubung-rubung,
pak Soma langkung bremantya,
lare arsa den gitiki,

22. Jeng Sunan Kudus ngandika,
enengena mapan pan bocah cilik,
sakarepe ywa ingaruh,
mangsa nedya punapa,
desa iki paman sun paring jejuluk,
pan iya Samakatingal,
dene sun akeh ningali.

23. Sujalma estri lan priya,
anenonton pri tuwin lare alit,
jeng pangran anulya lajuk
ki Soma atut wuntat,
ngateraken tindaknya Jeng Pangran Kudus,
awetara saunjutan,
pak Soma pan kinen bali.

24. Wus laju kangjeng pangeran,
ngidul-ngilen sabat pepitu ngirinp
pan nganti panggendhongipun,
bendhe Jeng Kyai Macan,
lampahira jeng pangran kasaput dalu,
lereb samana alenggah,
bebulak sapinggir kali.

25. Cemara sak ngandhap wreksa,
pan kapundhung sakabat tarap ngarsi,
bendhe binuka lisipun,
inggih sengkelat abang,
cinenthelken neng nginggil kajeng kapundhung,
ing wektu mahrib semana,
prasamya turun mring kali.

26. Wusnya wulu jeng pangeran,
sabat pitu prasamya atut wuri,
wusnya pragad samya wangsul,
mring panggenane lama,
Pangran Kudus angimani munggeng ngayun,
mahrib dumugi ing isa,
arahap denya memuji.

27. Sawusnya amaos donga,
ing nalika jam sanga ingkang wanci,
panuju padhang sitengsu,
jeng pangran angandika,
kinen nabuh bendhe Ki Macan puniku,
semana tandya tinembang,
swaranya muluk wiyati.

28. Pan kadya sima barungan,
kekes kabeh dhusun ing kanan kering,
mancapat mancalimeku,
pan samya kagegeran,
dipun nyana satuhu macan puniku,

 gendhong samya pakumpulan,
 angiter sima kang muni.

  1. Nalasak kang ara-ara,

    pinggir jurang garumbul den obori,
    nanging sima tan ketemu,
    kang ngombang suwaranya,
    pan wong kathah tan anduga samya gumun,
    tan antara lampahira,
    tumurun mring pinggir kali.


  2. Ting barekuh giyak-giyak,
    minggah jurang semana aningali,
    sasore kayu kapundhung,
    ana sujalma lenggah,
    pan wewolu nulya pinaranan gupuh,
    tinakonan mring wong kathah,
    Jeng Pangran Kudus nauri.

  3. Pan santri Kudus manira,
    sedyaningsun pan arsa marang Pengging,
    nanging kawengen delanggung,
    marma tan laju ingwang,
    balik isun atanya apa sedyamu,
    jalma keh kang padha prapta,
    pan agita sun tingali.

  4. Sedaya saur kukila,
    sedyanira angiter sima mangkin,
    angombang suwaranipun,
    ing mangke datan ana,
    Pangran Kudus aris pangandikanipun,
    yen mangkono sun weh aran,
    ing desa Sima puniki.

  5. Dene kalaningsun liwat,
    tan na macan suwaranira kapyarsi,

  1. sadaya umatur nuwun,
    katelah sapunika,
    banjar panjang dhusun ing Sima ranipun,
    duk semana wancenira,

    pan andukap bangun enjing.


  1. Salat subuh jeng pangeran,

    sabat pitu salat makmuman sami,
    samana wus bakda subuh,
    jam pitu gya umangkat,
    wirandhungan anyamun ing lampahipun,
    nehen gantya winurcita,

    ing Pengging srengkareng galih.

XXIX.

  1. Kyai Ageng ing driya sru kikin,

    ciptaning tyas mangesthi kamukswan,
    tanpa dhahar lawan sare,
    lenggah kobong pitekur,
    amaladi semedi hening,
    aneges karsaning Swang,
    amurweng pandulu,
    jumbuh ing tingal wus pana,
    tanpa karkat lumuyut ing alam kabir,
    suh sirna pancabaya.


  2. Driyanira manrawang awening,
    nugrahaning ing gaib kabuka,
    tan asamar panunggale,
    nehen gantya winuwus,
    Pangran Kudus lampahnya prapti,
    ing Pengging jawi kitha,
    wanci wektu luhur,
    jeng pangran kendel semana,
    wusnya salat laju mring pemahan nuli,
    sawetan pager bata.
  1. Wismanira ni bok randha Wujil,

    wusnya lenggah ni randha atanya,
    anak katuran pambage,
    pundi wisma pukulun,
    lawan ingkang sinedyeng kapti,
    pun bibi katambetan,
    jeng pangran lon wuwus,
    santri ing Kudus manira,
    Amad Sapanyana bibi aran mami,
    arsa sowan manira.


  2. Kyai Ageng ing Pengging samangkin,
    apa ana pinarak ing wisma,
    ni randha alon saure,
    inggih wonten pukulun,
    apan lagya sukaweng galih,
    tan dhahar datan nendra,
    neng kobong pitekur,
    masuwur wertining kathah,
    saukure dutane srinarapati,
    pan ngantya sapunika.

  3. Datan pegat manekung semedi,
    kulawarga tan kalilan seba,
    sedaya susah atine,
    jeng pangran ngandika rum,
    mring sakabat pepitu sami,
    kabeh padha kariya,
    sun dhewe lumebu,
    nanging ta wekas manira,
    yen jro pura rame ana tangis,
    poma dipun prayitna.

  4. Sabat pitu sandika tur bekti,
    Pangran Kudus malih angandika,
    mring ni bok randha ing mangke,

  1. sun titip ing sireku,

    rowang ingsun wong pitu iki,
    sun arsa lumebuwa,
    ni randha jumurung,
    wus lajeng lumebeng pura,
    sapraptane paregolan tandya aris,

    mring kang ajaga lawang.


  1. Heh ki sanak Ki Ageng ing Pengging,

    napa wonten pinarak ing wisma,
    kang tinanya lon ature,
    inggih wonten pukulun,
    apan lagya gerah samangkin,
    lami tan dhahar nendra,
    neng kobong pitekur,
    tan arsa siniweng wadya,
    Pangran Kudus semana ngandika malih,
    lah dika amatura.


  2. Làmun wonten dutaning Ywang Widi,
    Jabarail dhawuhken timbalan,
    lah ta umatura age,
    kang liningan agupuh,
    gurawalan lumebang puri,
    weling atur parekan,
    semana wus katur,
    Ki Ageng Pengging gaijit,
    yen mengkono aturana dipun aglis,
    kang ngaku dutaning Ywang.

  3. Konen laju lumebeng jro puri,
    cethi kalih medal sigra-sigra,
    wus prapta paregolane,
    kapanggih Pangran Kudus,
    gya ngaturan laju mring puri,
    wus kerid lampahira,
    malbeng dalam agung,

  1. jeng pangran gya uluk salam,

    kyai ageng ngalekumsalafn nauti,

    amingkis gubahira.


  1. Pangran Kudus wus minggah ing kathil,

    sesalaman wus tata alenggah,
    kalambu tinangkepake,
    Kiyageng lon amuwus,
    lah katuran panduka yayi,
    sarawuh jengandika,
    ing Pengging reningsun,
    Jeng Pangran aris aturnya,
    insakallah kiraka sami basuki,
    Kiyageng malih nebda.


  2. Mring rubiyah kinen asesaji,
    anyugata tetamu kang prapta,
    tandya lumengser mring pawon,
    Kiyageng kang kawuwus,
    alenggahan priyagung kalih,
    Jeng Pangran Kudus nabda,
    kiraka keng dhawuh,
    arinta Jeng Sultan Demak,
    pan panduka ing mangke dipun timbali,
    sarenga lampah amba.

  3. Kyai Ageng ing Pengging nauri,
    tinimbalan pan wonten punapa,
    ing riki tiyang dhedhekah,
    tinimbalan ing ratu,
    pan rumuhun d e l a s a n ,
    manira tan ngawula,
    tan kabawah ratu,
    iya gusti ya kawula,
    kahanane kawula pan sangking Gusti,
    gusti sangking kawula.


  1. Pangran Kudus sugai anauri,

    pan kiraka sira kekandhangan,
    yen tan mantep panggilute,
    Kiyageng lon sumaur,
    pindho gawe sira ki bayi,
    lamun dikecapena,
    pesthi dipun ulu,
    den lepeha siya-siya,
    lawas luwas kawruhe kurang patitis,
    yen sira semamara.


  2. Pangran Kudus angandika malih,
    lah Kiyageng panduka piliha,
    ing jaba lawan jerone,
    ngisor miwah ing luhur,
    pan ing kanan kalawan kering,
    ing pungkur myang ing ngarsa,
    ana ora iku,
    kang sepi luwih ramenya,
    ingkang rame kiraka aluwih sepi,
    Kiyageng Ion angucap,

  3. Yen miliha jero mapan sisip,
    yen miliha ing jaba pan sasar,
    semang-semang pangidhepe,
    yen miliha ing luhur,
    pan kemandhang dipun ulati,
    lamun miliha ngarsa,
    yekti sasar-susur,
    sasare pitung medahab,
    ngisor dhuwur kiwa tengan duwek mami,
    orane duwekingwang.

  4. Pangran Kudus delingira manis,
    heh kiraka ing Pengging panduka,
    bisa mati jro uripe,
    pan ulun arsa weruh,

  1. pan Kiyageng aris nauri,

    sayekti isun bisa,
    aja na sireku,
    nora agegampang iman,
    lamun sira arsa wruh peksi kang adi,

    pasthi wruh sangkan paran.
  1. Pangran Kudus sugal anauri,

    lah ta endi pati-uripira,
    Kiyageng alon wuwuse,
    beleken sikutingsun,
    ing sasekingira pribadi,
    binelek duk semana,
    niba nuli lampus,
    tandya wau uluk salam,
    Jeng Pangeran Kudus alon anauri,
    pan alaikumsalam.


  2. Wusnya seda Ki Ageng ing Pengging,
    garwanira dahat tan uninga,
    pan lagya nata suguhe,
    Pangran Kudus pan sampun,
    mudhun sangkin kobong anuli,
    kintar mring panggenanya,
    sakabat ing dangu,
    wus prapta wisma ni randha,
    sabat pitu kepanggih sadhiyeng westhi,
    tan nedya mundur yuda.

XXX.

  1. Jeng Pangeran ing Kudus alon ngandika,

    mring sabat pitu sami,
    lah payo umintar,
    nanging wewekas ingwang,
    kelamun dipun tututi,

    ing kulawarga,


  1. nira Ki Ageng Pengging.


  1. Poma padha aja na nglawan ing yuda,

    den teteg ywa gumingsir,
    eca lumakuwa,
    sabat matur sandika,
    semana sampun lumaris,
    gantya kocapa,
    kang kantun aneng Pengging.


  2. Rubiyahnya Kiyageng nata segah,
    pan wus sumekta sami,
    genya olah-olah,
    arsa atur uninga,
    ing raka lumebeng puri,
    sapraptanira,
    ing jrambah-kobong nuli.

  3. Nganti-anti pangandikane kang raka,
    dangu tan walang sisik,
    tinutup gubahnya,
    Rubiyah grahiteng tyas,
    seksana gubah winingkis,
    tamu tan ana,
    kang raka pan gumuling.

  4. Ni Rubiyah gupuh manambuting raka,
    semana wus ngemasi,
    anjrit tebah jaja,
    karuna ngaruhara,
    geger kulawangsa Pengging,
    estri lan priya,
    alok kalebon sandi.

  5. Wusnya kumpul sakathahe kulawarga,
    pra samya andum kardi,
    nyaeni kang seda,

  1. layon wus siniraman,

    ngulesan sinare nuli,
    uloning wisma,

    padaleman ing Pengging.


  1. Tan cinatur rerenggane kang wus mukswa,

    gantya winarna malih,
    sagung kulawarga,
    mangrenggut sadhiyeng prang,
    gegaman susun agathik,
    tungguling yuda,
    daludag gandera sri.


  2. Ingkang dadya pangiride kulawarga,
    tetuwane wong Pengging,
    kaprenah sentana,
    Radyan Lembuhandaka,
    lawan Lembusingat katri,
    Lembumakilat,
    kapat sang Lembuthathit,

  3. Sigra mangkat nututi kang lampah cidra,
    ngaler-ngetan lumaris,
    pan sarya karuna,
    nguwuh ambelakena,
    gustine kang sampun lalis,
    datan pantara,
    lampahnya wus kaeksi.

  4. Lamat-lamat wong wolu awirandhungan,
    tandya inguwuh aglis,
    lah ta antenana,
    santri kang laku cidra,
    wasisakna isun iki,
    padha prawira,
    payo tandhing ajurit.

  5. Kembulana ya iki Lembuhandaka,

  1. lan Lembusingat iki,

    tuwin Lembukitat,
    Lembuthathit kapatnya,
    dhangkele wong Pajang Pengging,
    payo mandeka,

    Ngran Kudus miyarsi.


  1. Sinumbaran kinepung dening gegaman,

    ing kanan kering wuri,
    sinurak ing kathah,
    binendrong ing senjata,
    jeng pangran eca lumaris,
    tumengeng wiyat,
    manadhah asta kalih.


  2. Panuwunya semana sampun katrima,
    ing Hyang kang Mahasuci,
    sakabat karuna,
    kedah manglawan yuda,
    Pangran Kudus datan apti,
    padha menenga,
    pasraha ing Hyang Widi.

  3. Begja lara pati pan nora bebakal,
    Jeng Pangran ngasta aglis,
    tekenira jungkat,
    ingaweken mring kanan,
    wong Pengging samya nututi,
    pengrasanira,
    mungsuh ewon kaeksi.

  4. Wadya Pengging sedaya samya gambira,
    tan ana nedya urip,
    ketang tresnanira,
    gustine kang pralena,
    kapang-kapang anututi,
    ing tawang-towang,
    jeng pangran wlas ningali.

  1. jeng pangran wlas ningali.


  1. Wadya Pengging balulungan tandangira,

    ngidul ngulon manangis,
    Pangran Kudus sigra,
    mangawe ecisira,
    mangalor dipun tututi,
    kangjeng pangeran,
    mangetan lampahneki,


  2. Salisiban wong Pengging pangusirira,
    den sengguh musuhneki,
    nora suwe ilang,
    wau kang tinututan,
    apan ta padha abali,
    cuwa tyasira,
    grahita tan andugi.

  3. Apan ana wong tuwa iku satunggal,
    peling mring kancaneki,
    yen kena paekan,
    baris Pengging punika,
    angajak mundur tumuli,
    wus tinetegan,
    sedaya sami mulih.

  4. Apan gantya wau ingkang winurcita,
    Pangran Kudus lumaris,
    lan sakabatira,
    pepitu lereb marga,
    nalika ing wektu mahrib,
    salat seksana,
    sakabat makmum sami.

  5. Bakda mahrib memuji dumugi isa,
    sawusnya donga mangkin,
    tandya ebam ngisa,
    salat sunat semana,

  1. kamat perlu isa aglis,

    sawusnya bakda,

    sadalu tan aguling.


  1. Maos donga nenuwun raharjeng lampah,

    Jeng Pangran Kudus mangkin,
    pranyata minulya,
    prawira gagal lembat,
    ekas tekabul ing ngelmi,
    putus weweka,

    kasmaran kang ningali.

XXXI.

  1. Ing bakda subuh lumaris,

    jeng pangran lan sarowangnya,
    angalor-ngetan lampahe,
    yata ganti cinarita,
    wadya Pengging semana,
    saundurira angelut,
    tetamu kang mawa cidra.


  2. Lampahnya tan angsal kardi,
    kluhuran ing kawibawan,
    pra sami susah manahe,
    sentana Pengging sedaya,
    jalu estri karuna,
    ni Rubiyah tyas matrenyuh,
    kaetang kang sampun seda.

  3. Tilar putra meksih alit,
    kalangkung ing kawlasarsa,
    Mas Karebet jejuluke,
    semana apakumpulan,
    sagung kawula-warga,
    ngaos pitung dintenipun,
    ambengan anulya medal.

  1. Weradin binagi-bagi,

    sentana myang kulawarga,
    ketip modin marebote,
    tan ana kangkaliwatan,
    ambengan pirang-pirang,
    salawat hanggung lumintu,

    santri lit bungah kalintang.
  1. Akembul pra samya bukti,

    wus bibar andum barekat,
    tan cinatur reruncene,
    yata wau cinarita,
    kang lagya asungkawa,
    nyai Geng Tingkir ing dangu,
    sasedane lakenira.


  2. Kiyageng dereng alami,
    katetah midhanget warta,
    kang rayi Pengging sedane,
    garwane lajeng agerah,
    Ni Ageng Tingkir sigra,
    tetuwi mring Pengging gupuh,
    tan cinatur lampahira.

  3. Ing Pengging pan sampun prapti,
    laju lumebeng ing pura,
    panggih nyi ageng kalihe,
    angrangkul samya karuna,
    kagagas ing werdaya,
    dhuh lae ta kadangingsun,
    katuwone kang atilar.

  4. Wus tata lenggahan sami,
    kathil sakalihanira,
    Ni Ageng Pengging ature,
    kang embok sami katuran,
    sarawuh jengandika,

  1. Ni Ageng Tingkir lingnya rum,
    iya yayi sun tarima.


  1. Ing sih palimannaneki,

    marmane yayi sun prapta,
    atetinjo mring dheweke,
    sasedane lakenira,
    kabubuh sita lara,
    abanget trenyuh tyas isun,
    nyai geng aris turira


  2. Kakang bok sasedaneki,
    arinta dalasan mangkya,
    ulun tan dhahar lan sare,
    kaetang putra panduka,
    pun Karebet punika,
    dene lare misih timur,
    tinilar sudarmanira.

  3. Sinten kang ulun ngengeri,
    tan saged kang bok kantuna,
    leheng tumekenga layon,
    Nyai Geng Tingkir lingira,
    yayi aja mangkana,
    den narima ing tumuwuh,
    ing lohilmakpul sinurat.

  4. Begja lara lawan pati,
    pepesthen pan datan kena,
    temahe salah kepaten,
    kang rayi nuwun aturnya,
    ni ageng malih nebda,
    yayi yen pareng karsamu,
    putranira isun gawa.

  5. Ni Ageng Pengging turnya riss,
    kakang bok sumangga karsa,
    nanging ta panuwun ingong,

  1. ing mangke atadhah duka,

    yen wus ulun waluya,
    putranta pun Krebet katur,

    Ni Ageng Tingkir ngandika.
  1. Sun turut karsamu yayi,

    poma ta wawekasingwang,
    den agedhe panrimane,
    den awas godha rencana,
    ing reh kang tan raharja,
    yeku tan pantes tiniru,
    esthinen ingkang sanyata.


  2. Lah wis kariya ta yayi,
    pun kakang mulih mring wisma,
    ing Tingkir sapungkur ingong,
    den bisa amomong putra,
    tuwin kawulawarga,
    sira yayi kang katempuh,
    sasedane lakenira.

  3. Ni Ageng Pengging ngabekti,
    kang raka angrangkul jangga,
    tansah kumembeng waspane,
    wus luwaran kalihira,
    nyi ageng kondur sigra,
    kang tinilar kari mangu,
    ketang sawelinging raka.

  4. Gerahe saya ngranuhi,
    yata genti cinarita,
    Jeng Pangran Kudus lampahe,
    ing Demak pan dereng prapta,
    tansah awirandhungan,
    amesu sariranipun,
    kaetang kang wus pralina.

  5. Jeng Pangran waskitheng gaib,

  1. tan samar ing sangkan-paran,

    nanging sinamun netrane,
    sakabat pitu tan duga,
    dene lawas neng marga,
    sun wentara gusteningsun,

    angiras karsa lelana,
  1. Pan ngantya sedasa latri,

    ing Demak pan dereng prapta,
    kalangkung remben lampahe,
    semana ing wancinira,
    wektu luhur duk prapta,
    kendel satepining ranu,
    lajeng prasamyaa salat,


  2. Roning pepe kang kinardi,
    lelemek denira salat,
    wus bakda gya donga mangke,
    sakabat amin sedaya,
    sawusnya denya salat,
    jeng pangran ngandika arum,
    kali ngendi aranira.

  3. Sakabat matur ngabekti,
    pukulun dereng uninga,
    lepen punika wastane,
    jeng pangran alon ngandika,
    isun paringi aran,
    ing kali Pepe puniku,
    dene marengi sun lenggah.

  4. Lalemek ron pepe mami,
    sakabat jumurung karsa,
    katelah mangke wastane,
    ing kali Pepe punika,
    tandya laju lampahnya,
    tan cinatur lamenipun,

  1. wus prapta talatah Demak.
  1. Ing wektu asar kang wanci,

    sawusnya abakda salat,
    akondur marang daleme,
    angasoken sariranya,
    sanget sayah neng marga,
    enjing kewala lumebu,

    sasowan srinaranata.

XXXII.

  1. Angantya ing dina Sorna,

    sowanya lumebeng puri,
    pepakan para pandhita,
    niyaka punggawa mantri,
    putra sentana aji,
    ngatingalken karyanipun,
    kadya Sang Kramadaya,
    dinuta Sri Rama aji,
    mring Alengka anukma garma Dyah Sinta.


  2. Rawuhe ing Pancawatya,
    pepak rewanda geng-alit,
    pranyata duta utama,
    putus prawira tur sekti,
    sembada angsal kardi,
    jeng pangran ing pamrihipun,
    supaya tiniruwa,
    sakeh dutaning narpati,
    angiriba pakarya ingkang utama.

  3. Jeng Pangran Kudus pranyata,
    sembada warnanya pekik,
    limpad angentasi karya,
    putus ing elmu tur wegig,
    dhasar teteh atitih,

  1. akeras ibadahipun,

    wasis ing pamicara,
    dhasar grahitane lungit,

    byar raina pangeran pan arsa seba.
  1. Enjinge ing dina Soma,

    sang nata miyos tinangkil,
    wau aneng pagelaran,
    supenuh wadya kang nangkil,
    upacara merapit,
    pra Wali ing kanan prabu,
    tuwin para ulama,
    pukaha lan para tabid,
    pra pandhita atarab sowan neng ngarsa.


  2. Kyana Patih Wanasalam,
    sumiweng ngarsa narpati,
    andher niyaka bupatya,
    kaliwon panewu mantri,
    prajurit jro merapit,
    tan pantara dhatengipun,
    Jeng Pangran Kudus sigra,
    sumiweng lenggah neng kursi,
    atur sembah sang nata aris ngandika.

  3. Heh yayi para bageya,
    serawuhira sun tuding,
    apa sira antuk karya,
    jeng pangran matur wotsari,
    berkah dalem kapundhi,
    raharjeng ing lampah ulun,
    ngemban sabda narendra,
    kawula dhawuhken aglis,
    mring pun kakang Ki Gedhe Kebokenanga.

  4. Ananging sanget lenggana,
    sumiweng ngarsa nerpati,

tan rumaos yen kabawah,
akiyas kedah ngengkoki,
tan arsa nampik milih,
sedayane pan winengku,

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia karena penciptanya telah meninggal dunia lebih dari 70 tahun yang lalu atau dipublikasikan pertama kali lebih dari 50 tahun yang lalu. Masa berlaku hak cipta atas karya ini telah berakhir. (Bab IX UU No. 28 Tahun 2014)