Amerta: Berkala Arkeologi 1/Bab 3

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Amerta: Berkala Arkeologi 1  (1985) 
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Proyek Penelitian Purbakala Jakarta
Penyelidikan Prehistori

PENYELIDIKAN PREHISTORI

H.R. van Heekeren

Masa kini adalah jumlah hidup dari masa silam seluruhnya. Untuk sekedar mengerti akan makna silam itu, untuk memahami bagaimana tumbuh serta terjadinya segala apa, menjadilah suatu keharusan dan kewajiban untuk mengusut dan mempelajari dokumen-dokumen dan peninggalan-peninggalan yang berasal dari masa silam itu, selama masih mungkin dan sisa-sisanya itu masih ada. Tiada kurangnya mengenai masa lampau yang sejauh-jauhnya, ialah Prehistori, yang meliputi bagian terbesar (kira-kira 99%) dari seluruh jumlah waktu adanya umat manusia.

Dokumen-dokumen tadi tersembunyi dalam lapisan-lapisan bumi yang sangat tua. Untuk menimbulkannya kembali dengan jalan penggalian-penggalian yang sistematis dan kemudian untuk mempelajarinya, adalah tugas yang dipikulkan kepada ahli prehistori dari Dinas Purbakala.

Evolusi manusia, dipandang dari sudut anatomi dan kebudayaan, tidak selalu berarti kemajuan. Ada kalanya berhenti, ada waktunya jatuh dan di suatu tempat musnah. Tetapi dari runtuhan itu kebanyakan timbullah sesuatu yang lebih baik. Jenis-jenis manusia datang dan lenyap kembali dari bumi. Peradaban-peradaban timbul, berkembang dan runtuh atau terlebur dalam kebudayaan lain. Tetapi corak umumnya selalu ialah: kemajuan.

Semakin jauh kita mengikuti manusia ke dalam masa silam, semakin nampak manusia itu menjadi sebagian dari alam dan dari lingkungannya yang menguasainya sepenuhnya. Baru kemudian sekali manusia belajar untuk menaklukkan dan menguasai alam dalam berbagai hal.

Makhluk-makhluk pertama yang bersifat manusia dia Indonesia, seperti Pithecanthropus erectus (manusia kera yang berjalan tegak) dari Trinil, masih banyak mempunyai sifat kebinatangan. Kepalanya seperti kepala kera, tak berdagu, tak tegas lengkungan dahinya, dan di atas kelopak matanya tulangnya menonjol tebal. Otaknya lebih sedikit besarnya daripada separuh otak manusia sekarang. Tetapi anggota badannya telah sama sekali seperti kepunyaan manusia. Bahwa makhluk itu manusia, sekarang tidak lagi disangsikan. Ternyatalah sudah bahwa ia telah dapat membuat alat-alat kasar dari batu, bahkan membuat api. Dan binatang manakah yang dapat meniru? Manusia kera itu hidupnya masih sengsara betul, yang dimakan ialah apa yang ia dapati dari lingkungannya, jadi sebagaimana ia peroleh dari alam dalam keadaan sewajarnya. Tak adalah pikiran padanya bertindak mengatur sendiri untuk sengaja menambah makanan dengan bercocok tanam dan memelihara ternak. Hari esok tak masuklah dalam pikirannya. Apa yang ia tangkap, apa yang ia dapat, segeralah dimakan. Tak pernah ia menyimpan guna persediaan. Hidup berkeluarga pasti telah dikenal, tetapi apakah ia telah dapat berbicara tidak diketahui.

Penyelidikan terhadap bekas-bekas yang tertua dari umat manusia sifatnya masih bercorak ilmu alam sama sekali. Yang menjadi dasar ialah geologi dan paleontologi.
14. Gambar Seekor Babi Hutan pada Dinding Gua. Sulawesi Selatan.

Sisa-sisa rangka yang telah membatu dan alat=alat batu itu ditemukan dalam bekas-bekas lahar dan lapisan tanah pengendapan kali dan laut zaman dahulu, terutama di Jawa, tetapi belum lama berselang untuk pertama kali di Sulawesi Selatan.

Sisa-sisa rangka dan tengkorakPithecanthropus , dari Manusia Solo yang mewakili tingkat sederhana dari Manusia Neanderthal yang hidupnya sebelum jenis-jenis manusia sekarang, kemudian sisa-sisa dari Manusia Wajak yang mengalahkan kita oleh karena otaknya lebih besar daripada otak manusia modern. Selanjutnya, alat-alat batu dari Pacitan, ialah alat-alat pencetak terbuat dari batu-batu kali yang dipecahkan dan dikerjakan pada satu sisi saja secara kasar. Cara demikian itu menjadi sebagian dari lingkungan kebudayaan besar yang terdapat di seluruh Asia Tenggara. Di Tiongkok Utara terdapatnya bersama-sama dengan bagian-bagian rangka manusia Peking yang mirip sekali dengan Pithecanthropus Erectus dari Jawa. Suban-suban dan bilah-bilah batu yang dipangkaskan secara teratur dari batu terasnya yang didapatkan di Sangiran di Jawa dan Cabenge di Sulawesi Selatan. Dan alat-alat penetak yang terbuat dari tanduk-tanduk rusa yang telah habis mati, dari Ngandong di lembah Kali Solo.

Tak di satu tempat pun di dunia telah ditemukan demikian banyaknya bermacam-macam jenis manusia fosil seperti di Jawa, meskipun penyelidikan-penyelidikan bersifat sementara. Pendapatan-pendapatan itu menjadi pusat minat ilmu pengetahuan oleh karena mengenai masa yang mula-mula sekali dari pertumbuhan bentuk serta perkembangan umat manusia. Menjelang pecahnya peperangan ada ditemukan sisa-sisa dari semacam raksasa yang hidup di Jawa setengah juta tahun yang lalu.

Pula kita sekarang ketahui binatang-binatang apa saja yang hidup bersamaan waktunya dengan manusia-manusia tertua itu. Tingkatan rendah dari gajah ,kuda nil, hyena, rusa, badak, jenis kerbau dan harimau raksasa. Binatang-binatang ini telah lama musnah dari bumi. Seandainya tak ditemukan kembali fosil-fosil tulang belulang mereka, tak pernahlah kita akan mengetahui sedikitpun dari adanya mereka.

Dengan istilah geologi kepulauan Indonesia itu umumnya demikian mudanya (kebanyakan baru timbul di atas permukaan laut pada zaman terakhir dari masa Tertiair) sehingga tak mungkinlah bahwa binatang-binatang dan manusia-manusia itu terjadinya di sini. Mereka harus datang kemari dari benua Asia. Berenang tak dapatlah binatang-binatang menyusui itu. Tetapi selama zaman es air laut sangat menjadi kurang dan sebagai akibatnya permukaan laut turun banyak, lebih dari 100 m. Laut yang dangkal seperti laut Jawa menjadi kering dan menjadi tanah. Terjadilah yang disebut titian tanah yang menghubungkan pulau-pulau Sunda Besar dengan daratan Asia melalui Semenanjung Malaka. Melewati titian itu datanglah binatang-binatang menyusui yang besar dan mendiami kepulauan kita. Perhubungan itu terjadi berulang-ulang, tetapi setiap kali terputus lagi jika permukaan laut naik kembali. Selama zaman-zaman es, luasnya tanah Indonesia sangat lebih besar daripada sekarang. Ketika itu Laut Jawa menjadi tanah juga, dilalui sebuah sungai yang besar sekali, lebih besar daripada Sungai Mississippi. Bengawan ini membawa pula air dari kali-kali di Kalimantan Barat dan bagian Timur Sumatera, dan akhirnya bermuara di Laut Tiongkok Selatan.

Semua binatang menyusui dan manusia-manusia tertua itu sudah lama sekali habis mati. Tetapi mereka digantikan oleh manusia-manusia dan binatang-binatang lain.

Orang-orang kemudian hampir bersamaan waktu datang mendiami Indonesia semuanya termasuk jenis Homo sapiens (jenis yang meliputi seluruh umat manusia yang hidup sekarang). Yang masuk ke kepulauan ini dengan melalui Malaka dan Filipina adalah suku-suku bangsa Australo-Melanosoide, Wedda, dan Negrito. Pun orang-orang ini masih rendah tingkat hidupnya sebagai pemburu dan pengumpul bahan makanan, tetapi mula-mula mereka mempunyai corak kebudayaan masing-masing yang berbeda-beda. Pada waktu itu, kira-kira enam ratus ribu tahun yang lalu, sudah ada kecondongan ke arah tinggal menetap untuk waktu yang lama, misalnya di tepi-tepi pantai, yang kaya akan kerang-kerang dan menjamin adanya makanan, terutama untuk waktu yang lama. Maka orang-orang itu hidup sebagai setengah pengembara. Mereka tinggal berkelompok dari 40 sampai lebih dari 100 orang. Pembagian kerja sudah ada terutama didasarkan atas perbedaan kelamin.

Bentuk kebudayaan yang pertama terutama mengenal sebagai alat-alatnya batu-batu kali yang dikerjakan sebelah sisi saja secara kasar dan biasanya berbentuk lonjong. Dengan alat-alat itu dipancunglah kerang-kerang itu dari batu karangnya. Setelah dimakan isinya, kulit kerang itu dilempar-lempar begitu saja, sehingga akhirnya bertimbun sampai bermeter-meter tingginya. Dalam timbunan kerang itu kelak ditanam pula mayat-mayat penduduk situ. Mayat-mayat itu telah dirawat baik-baik. Kadang-kadang di kubur dengan dilipat lututnya, ada kalanya yang mati itu diberi bawaan di kuburannya berupa kulit-kulit kerang yang berlobang. Ada lagi yang rangkanya ditebari sejenis cat merah. Kecuali di pinggir-pinggir pantai, orang-orang waktu itu mendiami pula gua-gua. Kebudayaan ini datang di Indonesia harus melalui Malaka. Sebab bekas-bekasnya yang terutama banyak didapatkan di Sumatra Timur Laut dapat diturut terus sampai di Tonkin. Pendukung kebudayaan ini adalah orang-orang yang berkepala panjang, bergigi besar, dan dengan corak-corak jenis Australo-Melanosoide.

Adapun bentuk kebudayaan yang kedua jauh lebih beragam lagi dan mengenal jauh lebih banyak alat-alat. Alat-alat kecil yang berupa seperti pecahan-pecahan hasil dipukul-pukulinya batu teras menurut cara yang tertentu dan yang selanjutnya dikerjakan lagi dengan teliti menjadi pisau, alat pengeruk, alat penggores, ujung lembing, ujung panah, gurdi, pengait, ada yang dari batu ada yang dari tulang. Sebagian daripadanya bersifat kebudayaan microlithikum. Kebanyakan didapatkannya di dalam gua-gua di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi, tetapi juga di sekeliling danau-danau seperti di dataran tinggi Bandung, dan dekat Kerinci. Jenis batu yang dipergunakan sering- kali sangat indah dan praktis untuk maksudnya. Paling disukai ialah chalcedon dan obsidian. Pendek kata yang menjadi bahan ialah jenis batu yang mudah dibelah tetapi cukup kerasnya. Alat-alat batu kecil itu seringkali menjadi bagian dari alat-alat guna berburu dan menangkap ikan.

Rangka-rangka manusia dari kebudayaan ini tak kita kenal oleh karena mayat-mayatnya tidak di tanam di dalam gua melainkan di atas pohon. Setelah beberapa lama, maka tulang-tulang itu dikumpulkan lagi untuk dibagikan kepada para ahliwarisnya sebagai tanda peringatan. Dibawanya tulang belulang itu ke mana-mana, seringkali bertahun-tahun, agar selalu ingat kepada yang telah mati. Yang ditemukan kembali dari penggalian hanyalah sebagian kecil saja. Terutama
15. Penggalian Suatu Padhusa (kuburan Megalith), Bondowoso.
rahang bawah dan bagian-bagian atas dari tengkorak. Lebih jarang ditemukan ialah bagian-bagian rangka. Sisa-sisa itu semuanya selalu menunjukkan berasal dari jenis manusia yang kecil dan bergigi kecil pula. Kebudayaan ini telah mengenal totemisme clan. Cat merah banyak dipergunakan untuk mengulasi muka dan tubuh pada waktu diadakan upacara. Pula masyarakat itu telah pandai melukisi dinding batukarang dengan gambar-gambar binatang dan cap-cap tangan atas dasar bercat merah. Pada lukisan seekor babi hutan sedang meloncat yang belum lama berselang kami temukan di Sulawesi Selatan, kami lihat di bagian jantungnya sebuah tanda mirip kepada ujung tombak. Dengan memberi tanda demikian itu, orang berpendapat akan bisa menguasai binatang-binatang buruan dan mempunyai kepastian akan berhasilnya nanti jika berburu. Jadi "Wishful Painting". Aneh bahwa penjelmaan yang tertua dari seni yang bersandar sihir itu bukannya coret-coret anak kecil, melainkan sebaliknya menunjukkan kepandaian luar biasa dan perasaan seni yang tinggi. Kebudayaan tersebut masuk di Nusantara melalui Philipina.

Bentuk kebudayaan yang ketiga anak kurang jelas; sebagaimana untuk pertama kalinya dapat nyata dalam Gua Sampung, maka kebudayaan itu rupa-rupanya hanya mengenal alat-alat dari tulang dan tanduk. Rangka-rangka manusia di dalam gua itu menunjukkan suatu bangsa yang mempunyai sifat-sifat Papua-Melanesia dan Weddie. Pekerjaan mengurus mayat sangat banyak mendapat perhatian. Mayat-mayat itu ditanam, ditidurkan miring, dan kakinya dilipat. Kadang-kadang tangannya disedekapkan menutupi mukanya. Yang mati ada juga diberi bawaan berupa kalung yang dibuat dari kulit-kulit kerang dan gigi-gigi binatang buas yang dilubangi.

Sampai kini belum juga kita bicara tentang bangsa Indonesia. Sebab meskipun sangat janggal bangsa Indonesia itu bukan penduduk asli dari Indonesia, sebagaimana dapat diketahui dari uraian di atas. Mereka itu baru kemudian sekali datang di kepulauan ini dan negeri asal mereka ada di benua Asia yang mereka tinggalkan paling lama 4.000 tahun yang lalu. Negeri asal ini sangat mungkin sekali letaknya di daerah Yunnan. Mereka datang kemari dengan perahu-perahu cadik mereka yang tidak pakai layar. Alat-alat mereka masih terbuat dari batu, tetapi kedua belah sisinya telah diupam. Tetapi yang lebih penting lagi ialah: mereka sudah bercocok tanam dan beternak.

Mereka mengusahakan padi dan jawawut. Mereka memelihara kerbau untuk kendaraan dan korban. Pun babi dan ayam. Mereka tinggal
16. Penggalian Sebuah Bukit Kuburan, Kakarangan, Sulawesi Selatan.

bersama-sama dalam rumah-rumah panggung yang besar dan persegi panjang. Selanjutnya mereka telah pandai membakar periuk belanga, tapi belum dengan mempergunakan roda landasan. Pakaian mereka dibuat dari kulit kayu. Rumah-rumah dan perkakas rumah mereka seringkali digambari dengan hiasan-hiasan geometris yang indah. Memang banyaklah bekas yang mereka tinggalkan. Para petani seringkali menemukannya selagi membajak. Maka dianggapnya barang itu mempunyai tenaga gaib dan beliung-beliung batu yang berbentuk persegi dan telah diupam itu dinamakan "gigi guntur".

Zaman ini adalah yang paling penting untuk perkembangan kebudayaan selanjutnya di Indonesia, oleh karena menjadi dasar pembentukan kemasyarakatan pada masa kini. Penyelidikan dengan penggalian masih terlalu sedikit dilakukan. Hanya beberapa saja di Jawa dan Sulawesi. Sebab-sebabnya maka demikian ialah kenyataan bahwa tempat-tempat kediaman itu sukar sekali diusutnya. Di daerah-daerah yang kaya akan bahan-bahan batu seperti di Gunung Sewu terdapat banyak tempat-tempat guna pembikinan alat-alat batu seperti kapak-kapak dan ujung-ujung panah.

Agaknya setelah kebudayaan ini, Indonesia tidak mengenal zaman perunggu yang sesungguhnya. Sebab sangat segera disusul oleh zaman besi. Maka dari itu lebih baik untuk mengatakan zaman Logam Tua yang mengenal alat-alat dari perunggu maupun dari besi. Tetapi hal ini tidak mengurangi kenyataan bahwa pengaruh-pengaruh zaman perunggu dari Indo Cina dan Tiongkok Selatan sangat mendalam sekali dan sampai kini masih seringkali nyata pada seni hias zaman sekarang. Hasil-hasil yang tertua dari zaman perunggu itu tak terdapat di negeri ini. Sekonyong-konyong kita melihat benda-benda perunggu yang indah-indah, kapak sepatu, ujung lembing, nekara, dan monumen-monumen megalithikum. Pun pahatan-pahatan indah dari kayu dan batu. Kita dapat membedakan dengan nyata dua corak dalam kebudayaan ini; yang monumental dan yang ornamental. Keduanya berlainan asalnya.

Sebagaimana dapat nyata dengan jelas maka di Indonesia kebudayaan itu dapat berkembang dengan sesubur-suburnya di tempat-tempat yang mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengadakan hubungan kebudayaan. Sebaliknya di daerah-daerah pedalaman yang agak terpencil atau di pulau-pulau yang terpisah dan sukar dicapai, kebudayaan itu membeku. Untuk melepaskan suku-suku bangsa ini dari kedudukannya yang terpencil itu adalah suatu masalah yang dihadapi pemerintah Indonesia.

17. Kuburan Prehistori Selama Penggalian, Melolo (Sumba).
18. Tempayan Penguburan, Melolo (Sumba).
19. Benda-Benda Prehistori dari Perunggu.

Seorang Prehistoricus hidupnya penuh pengalaman yang bergilir ganti. Sering ia harus bepergian jauh. Sebagian dari waktunya ia pergunakan untuk penggalian-penggalian, seringkali jauh dari segala keenakan hidup. Waktu selebihnya dia di kamar belajar. Seorang Prehistoricus harus mempunyai keberanian dan fantasi untuk dapat menyusun hypothese-hypothesenya. Akan tetapi jika dia mulai mengadakan penggalian maka betapa menyenangkannya juga, pekerjaan itu harus dilakukan dengan exact sekali dengan mempergunakan alat pengukur yang tepat. Ia harus mempunyai rasa tanggungjawab dan harus selalu berusaha untuk memperbaiki dan menyempurnakan cara-caranya bekerja. Ia harus menginsafi, bahwa jika sesuatu penggalian tidak dilakukan menurut aturan yang tepat, maka tempat penemuan itu bagi ilmu pengetahuan hilang lenyap untuk selamanya. Tidak hanya semua barang temuan harus dicatat akan letaknya dengan teliti, tetapi pun keadaan-keadaan di sekelilingnya harus diperhatikan. Warna lain di dalam tanah, bekas-bekas abu, semuanya kelak akan dapat ternyata penting. Selanjutnya peta-peta penggalian dan foto-foto dari pekerjaan yang dilakukan harus sedemikian rupa, sehingga kelak jika dikehendaki segala-galanya dapat direkonstruksikan lagi. Dengan demikian 50 tahun yang kemudian misalnya penggantinya Prehistoricus itu dapat menyelidiki dan mempelajari soal itu lagi sebab ilmu pengetahuan itu tidak berhenti saja. Apa yang hari ini belum diketahui barangkali kelak menjadi hal yang seterang-terangnya. Setelah penggalian itu selesai, maka mulailah pekerjaan di dalam kamar belajar, dan semua barang-barang temuan yang telah diberi nomor, dipilah-pilah dan dipelajari. Sekarang Prehistoricus itu bertindak sebagai seorang redaktur. Prehistori itu meliputi ilmu-ilmu pengetahuan demikian banyaknya sehingga pertolongan dari ahli-ahli khusus tak mungkin diabaikan untuk menjamin hasil yang sebaik-baiknya. Maka bekas-bekas binatang yang telah membatu dikirimkan kepada ahli paleontologi untuk dipelajari lebih lanjut, sisa-sisa neo-fauna kepada ahli zoologi. Sisa-sisa manusia diurus oleh ahli anthropologi dan contoh-contoh tanah diselidiki oleh ahli tanah. Jika pada tulang-tulang yang telah membatu terdapat karat-karat maka haruslah ini diselidiki di laboratorium, secara mineralogi.

Jika dengan demikian segala bahan telah terkumpul, haruslah dibuat suatu laporan dari bahan-bahan yang terkumpul itu. Barangkali Prehistoricus itu menarik kesimpulan-kesimpulan yang tertentu dan dapat sampai kepada penentuan umur yang nisbah atau yang mutlak.

Penyelidikan tanah untuk prehistori di negeri ini masih baru sekali. Di sini masih terbuka lapangan yang luas sekali dengan kemungkinan-kemungkinan yang menggetarkan jiwa.

Di India sudah ada pelbagai ahli prehistori yang berpendidikan baik sekali.

Bilamanakah calon Prehistoricus bangsa Indonesia yang pertama mencatatkan dirinya, untuk dapat melanjutkan pekerjaan kami di kemudian hari?

H.R.v.H.