Lompat ke isi

Amerta: Berkala Arkeologi 1/Bab 2

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Amerta: Berkala Arkeologi 1  (1985) 
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Proyek Penelitian Purbakala Jakarta
Bangunan-Bangunan Kuno, Penggalian dan Pemugaran

BANGUNAN-BANGUNAN KUNO, PENGGALIAN DAN PEMUGARAN

Pekerjaan Seksi Bangunan Dinas Purbakala

V.R. van Romondt


Di pelbagai tempat di pulau Jawa dan di tempat-tempat lain di jarak seluruh Indonesia juga, meskipun tidak begitu banyak, kita dapati bangunan-bangunan berbentuk kuno yang memberi kesan bahwa bangunan-bangunan itu belum lama didirikan orang. Bila ditinjau lebih lanjut ternyatalah bahwa bangunan-bangunan itu memang sungguh-sungguh kuno. Batu-batunya menunjukkan tanda yang jelas bahwa telah berabad-abad lamanya menahan pengaruh iklim. Selama setengah abad yang lampau ini bangunan-bangunan telah diperbaiki, diberi kembali bentuknya yang lama. Dengan demikian kita memperoleh kembali sedikit dari suasana zaman purbakala. Yaitu: baik dari zaman Sailendra atau zaman Majapahit yang termasyur itu; maupun dari zaman wali-wali yang pertama atau dari zaman penjajahan asing.

Bukan saja oleh karenanya banyak keindahan yang dapat diperoleh kembali, keindahan mana pada setiap orang Indonesia yang mempunyai kesadaran nasional menimbulkan rasa bangga sewaktu memperhatikan prestasi-prestasi nenek-moyang kita, pun sejarah juga menjadi lebih berwarna dan hidup sebab kini orang dapat membayangkan pahlawan-pahlawan itu dalam lingkungan masanya sendiri, Misalnya: raja-raja Sailendra di bawah lindungan Borubudur Airlangga sedang mengheningkan cipta pada tempat pemandian suci Jalatunda, di mana abu salah seorang moyangnya dimakamkan, di tengah-tengah hutan rimba.

Tempat-tempat sepanjang perjalanan Hayam Wuruk kita kenali kembali dan kita rasai adanya Wali di pelbagai tempat sepanjang pantai laut utara pulau Jawa ini. Di Sumatera Tengah kita rasai Sriwijaya, dan di Indonesia Timur kita alami kembali perjuangan yang maha hebat untuk merebut perdagangan rempah pun perselisihan yang runcing antara agama Islam dan agama Nasrani.

Keuntungan-keuntungan yang diperoleh kebudayaan kita ini adalah buah-buah pekerjaan badan-badan purbakala yang berturut-turut melakukan pekerjaannya sebagai bagian dari tugas pemerintahan selama setengah abad yang lampau ini. Kini bangunan-bangunan kuno diurus oleh Seksi Bangunan dari Dinas Purbakala, yang sendiri menjadi bagian dari Jawatan Kebudayaan Kementerian P.P. dan K. Di bawah Pimpinan Inspektur Bangunan yang berkedudukan di kantor pusat Dinas Purbakala, maka sebagian besar pekerjaan itu diselenggarakan oleh beberapa ahli teknik menengah dan rendah dengan staf mereka yang terdiri atas juru-juru gambar, juru-juru potret dan pekerja-pekerja, di bawah lindungan Candi Ciwa yang besar itu, di Prambanan. Di halaman candi itu juga di tengah runtuhan-runtuhan, berdirilah kantornya di mana pekerjaan dipersiapkan lebih lanjut.

Sebelum sebuah bangunan dapat dikembalikan lagi kepada kecemerlangannya semula, maka terlebih dahulu dilakukan penyelidikan yang seksama. Tanah di sekelilingnya diselidiki dengan teliti, apakah di dalamnya terdapat
9. Gapura Canggi (Bali) Setelah Dibina Kembali (mercu puncak dan sayap direncanakan baru).

sisa-sisa yang dapat memberi pandangan baru. Rumah-rumah dan bangunan-bangunan irigasi di sekitarnya diselidiki karena batu-batu lama mungkin telah dipakai guna mendirikan bangunan-bangunan itu. Kemudian batu-batu yang diketemukan itu dikumpulkan di lapangan penyelidikan. Selama penggalian itu, penyelidikan harus dilakukan dengan teliti, apakah bahan-bahan yang tidak termasuk soal bangunan, tetapi mempunyai kepentingan lain, dapat diketemukan juga. Sebab sekali pacul mencangkul di tanah berarti bahwa keadaan semula dikacaukan dan tak dapat dikembalikan lagi. Oleh karena itu selama penggalian itu, maka semua barang-barang yang diketemukan, harus dicatat digambarkan dengan disertai keterangan tentang dalamnya tempat penemuan itu. Seringkali penyelidikan tanah yang demikian itu dapat menjelaskan juga sesuatu hal yang tidak mengenai ilmu bangunan semata-mata.

Sesudah dan selama penyelidikan itu, maka batu-batu yang terdapat di bawah tanah atau di atasnya dikumpulkan dan dengan jalan mencocok-cocokkan serta mengambil ukuran-ukurannya, disusun menjadi kelompok-kelompok yang lebih besar. Susunan bagian itu digambarkan dengan teliti dengan demikian bentuk aslinya dapat dibayangkan sedangkan beberapa bentuk yang telah hilang dapat digambarkan pula. Sesudah itu susunan-susunan sementara itu dikumpulkan hingga menjadi susunan-susunan percobaan dalam hubungan yang lebih besar, yang merupakan bangunan seluruhnya dalam bagian-bagiannya yang mendatar. Susunan-susunan mendatar ini dilakukan dalam, karena pengawasan atas susunan sementara itu menjadi sulit jika bangunan itu menjadi terlampau tinggi. Sesudah dibuatkan gambar pembinaan yang memuat semuanya itu, maka bila tak ada kebimbangan lagi tentang sesuatu perincian dapatlah dimulai pembinaannya kembali. Cara membangun sedemikian itu disebut juga dengan kata asing: anastylose.

Penggalian halaman candi itu termasuk pekerjaan yang paling penuh getaran jiwa bagi seorang ahli bangunan purbakala. Terutama bila pada permulaan penggalian itu masih sedikit yang diketahui daripada candinya. Misalnya apabila hanya runtuhan atau bukit dengan beberapa batu candi saja menyebabkan diselenggarakannya penyelidikan. Atau seperti juga halnya jarak dengan Candi Gebang di sebelah utara Maguwo dekat Yogya, di mana sebuah Ganeca yang indah dan beberapa batu candi yang sangar usang menyebabkan dilakukannya penyelidikan itu. Ketika itu kira-kira 2 m di bawah muka tanah (yaitu bagian atas halaman yang dibersihkan dari tumbuh-tumbuhannya) di tengah-tengah timbunan batu-batu ditemukanlah dasar dan beberapa lapisan dari kakinya sebuah candi kecil, yang rupanya ditutupi arus pasir dari kali. Atapnya yang dapat disusun sampai hampir lengkap sama sekali daripada batu-batu itu, sedangkan pun bagian yang terbawah dari candi itu dapat dipugar. Ganeca yang tersebut tadi dapat dipasang pada tempatnya yang asli. tetapi, kesulitan-kesulitan besar timbul pada bagian tengah dari bangunan itu, sehingga mula-mula bagian bawah dan atas seolah-seolah tak mungkin dihubungkan. Untung, akhirnya ditemukan beberapa batu yang meletakkan perhubungan itu. Demikianlah akhirnya suatu pembangunan kembali menjadi mungkin, meskipun pertanggungjawabannya berupa seperti pinggang genting (gb. 7). Kesulitan untuk menemukan kembali bagian tengah itu seringkali terjadi. Hal ini menjadi jelas bila difahamkan, bahwa sesudah candi itu runtuh, lalu batu-batunya dari kepala candi itu menjadi
10. Candi Jawi Dekat Prigen (abad ke-14), Gambar Perencanaan, Hubungan Antara Bagian Atas dan Bawah Tidak Diketahui.
runtuhan di sekeliling kakinya, yang lalu ditutupi pasir. Maka hanya bagian tertinggi dari badan candi itulah bisa muncul di atas runtuhan ini. Rakyat di sekitarnya kemudian mengambil batu-batunya untuk memakainya guna mendirikan rumah-rumah mereka atau untuk maksud lain. Maka dari bagian inilah kebanyakan batu-batu itu hilang. Kadang-kadang demikian banyaknya bahan-bahan dari bagian ini hilang, sehingga hubungan tak dapat diperoleh. Yang demikian itu menyebabkan tak mungkinnya diselenggarakan pembangunan kembali. Suatu contoh dari kejadian demikian adalah Candi Jawi dekat Prigen di Jawa Timur (gb. 10 dan 11).

Cara menemukan kembali sebuah bangunan dari batu-batunya yang lama dapat dibandingkan dengan teka-teki yang berdimensi tiga. Jadi seperti mencari kembali gambar-gambar yang telah dipotong-potong dengan gergaji lukis sehingga terdapat bagian-bagian kecil yang tak keruan bentuknya, hanya dengan perbedaan bahwa pada penemuan kembali candi itu, perhatian harus diarahkan ke atas pula. Bangunan-bangunan yang terbuat dari batu-batu kali tidak terdiri atas potongan-potongan yang sama bentuknya, melainkan dari batu-batu yang dipahat di tempat itu juga menurut keperluan. Demikianlah tak ada sebuah batu jua pun yang sama dengan batu lain, masing-masing mempunyai petunjuk-petunjuk yang khusus untuk tempatnya yang disediakan dalam bangunan itu. Lagipula di permukaan batu-batu itu sering kali terdapat petunjuk-petunjuk akan letak batu-batu di sekelilingnya. Dengan demikian batu demi batu dapat dikumpulkan kembali dengan penuh kesabaran dan dengan kepastian yang hampir mutlak, bentuk yang lama dapat ditemukan kembali. Sangat berlainanlah bangunan-bangunan yang terbuat dari batu bata, karena tersusun dari bata-bata yang boleh dikatakan mempunyai ukuran yang sama, seakan-akan dicetak pakai mesin. Di sini hanya batu-batu yang terhias sajalah yang dapat dikumpulkan, karena perhiasan itu memberi petunjuk-petunjuk yang diperlukan. Bagian-bagian yang rata dari bangunan yang demikian harus dipandang hilang lenyap. Perencanaan kembali hanya dapat dibuat dengan tiada kepastian mutlak. Karena banyaknya kemungkinan-kemungkinan yang semuanya tidak dapat dengan pasti dianggap asli, maka pembinaan kepurbakalaan-kepurbakalaan yang terbuat dari bata adalah pekerjaan yang boleh dikatakan mustahil.

Suatu rekonstruksi itu (perencanaan kembali) yang selalu digambarkan saja disusun menurut bahan-bahan yang ditemukan. Jika bahan-bahan itu tak mencukupi, dapatlah pengetahuan tentang langgam-langgam ilmu bangunan dijadikan pertolongan. Maka kekurangan-kekurangannya dilengkapkan menurut pandangan sebagai dibayangkan oleh ahli bangunan yang bersangkutan, sehingga terdapat bentuk semulanya. Betapa berbahayanya cara yang demikian itu, biarpun didasarkan atas ilmu pengetahuan, terbukti dari kenyataan bahwa setiap kali dilakukan penyelidikan, hasilnya selalu didapatnya jalan-jalan pemecahan soal yang baru lagi dan yang tidak tersangka-sangka. Para ahli bangunan zaman dahulu itu dapat menggunakan kekayaan bentuk-bentuk yang tak terhingga. Pun mereka dapat menciptakan rencana-rencana mereka dalam kebebasan yang luas. Kebebasan itu lebih besar dari yang tersangka semula, berhubung dengan berlakunya aturan-aturan keras yang termuat dalam buku-buku pegangan ialah buku-buku cilpacastra. Buku-buku pegangan itu adalah satu-satunya sumber yang menyebutkan sesuatu tentang seni bangunan. Tetapi buku-buku itu lebih mengutamakan soal-soal sihirnya daripada ilmu bangunannya, dan hanya memberi penjelasan tentang bentuk-bentuk yang harus dipakai, meskipun banyak istilah-istilah teknis disebut juga. Sumber-sumber lain yang dapat memperkaya pengetahuan kita tidak ada. Pun tidak ada gambar-gambar lama atau uraian yang dapat memberi sedikit pegangan kepada kita. Satu-satunya petunjuk yang bisa memberitahu tentang bentuk-bentuk asli ialah batu batanya sendiri.

Biarpun demikian, dengan cara ini diperoleh juga hasil-hasil yang memperanjatkan. Demikianlah dari batu-batu yang beribu-beribu banyaknya yang tertimbun di halaman Candi Lara Jonggrang di Prambanan, kita telah berhasil menemukan kembali bentuk luar dan kebanyakan dari bentuk dalam Candi Ciwa pun dari beberapa candi lainnya dalam pecandian itu. Dengan kepastian yang hampir mutlak, bagian-bagian muka candi yang tingginya kira-kira 35 m yang tadinya telah tidak ada, diketemukan kembali sebagai hasil pekerjaan secara mengukur dan mencocok-cocokkan selama 80 tahun yang lampau ini. Maka dalam satu tahun ini akan dapat dikagumi sebuah bangunan yang tak ada taranya di Indonesia, dalam kemewahannya yang dahulu. Tentang pekerjaan ini ada dimuat karangan tersendiri di belakang.

11. Candi Jawi. Bagian Bawah Dibina Kembali.

Sampai sekarang khususnya dibicarakan kepurbakalaan-kepurbakalaan yang tak dipakai lagi. Di samping itu masih terdapat bangunan-bangunan kuno yang masih memenuhi tugasnya yang lama,atau yang selama masa yang silam dan hingga kini dipakai terus untuk berbagai maksud berganti-ganti . Bangunan itu kebanyakan lebih baru dari pada bangunan-bangunan yang telah dipaparkan di atas dan berasal, dari masa ketika Islam telah memasuki tanah Indonesia ini. Bangunan-bangunan itu ialah terutama: masjid, kuburan-kuburan, dan keraton-keraton. Pun rumah-rumah dan banyak bangunan-bangunan yang asing asalnya. Kepurbakalaan-kepurbakalaan itu yang masih mengambil bagian dalam kebudayaan yang hidup kini, (terhitung juga pura-pura di Bali), harus diperlakukan dengan cara yang lain sekali. Ahli bangunan purbakala tidak dapat bertindak menurut kehendak sendiri, karena terikat pada syarat-syarat yang ada pada bangunan-bangunan itu pada dewasa ini. Tidak hanya terjadi bahwa pemiliknya hanya sedikit atau sama sekali tidak menaruh perhatian kepada nilai kepurbakalaannya dari bangunan-bangunan mereka itu, tetapi seringkali pandangan modern pun memaksakan diadakannya perubahan-perubahan dalam susunannya. Maka bentuk yang lama tak mungkinlah dipertahankan. Lalu harus dicari jalan untuk memecahkan soalnya sedemikian rupa, sehingga baik ahli purbakala maupun orang modern merasa puas. Maka hanya ditimbang-timbang segala kepentingan, sedangkan nilai kepurbakalaan dipertimbangkan. Pada hakekatnya putusan yang diambil itu bersifat subyektif, ditentukan oleh pilihan secara perseorangan diri ahli bangunan purbakala itu, mana yang diberatkan: sejarah atau seni bangunan. Pun di sini kelaziman zaman menjalankan peranan yang penting. Apa yang hari ini dipandang sebagai pemecahan yang terbaik, boleh jadi besok dibuang lagi. Belum begitu lama berselang, adalah lazim bahwa bagian-bagian yang telah hilang lenyap dibuat kembali langgamnya. Yang demikian itu pada dewasa ini tidak hanya dipandang sebagai pemalsuan, bahkan dapat dibuktikan juga bahwa langgam tiruan itu tak berhasil mendekati bentuk lama yang sebenarnya. Tiap-tiap hasil kerja yang mempergunakan pembaharuan langgam ini, dengan tepat menunjukkan waktu pembuatannya. Ternyatalah bahwa tiap kali sesuatu yang lain lagilah yang dianggap sebagai tanda khusus dari suatu langgam seni yang tertentu, sesuatu yang dianggap terpenting juga dalam seni modern yang lazim pada masa itu.

Maka dari itu Dinas Purbakala azasnya berpendapat bahwa bila ada bagian yang hilang,
12. Gapura (candi bentar) Pura Sada di Kapal, Bali, Sebelum Diperbaiki.
maka tak usahlah dicoba memberi gantinya dalam langgamnya yang asli, melainkan harus dicari suatu bentuk yang sesuai dengan bangunan purbakala itu, tetapi yang mempunyai suasana dari zaman waktu membuatnya. Demikianlah untuk sebuah gapura kecil di Bali telah didapatkan bentuk yang sederhana untuk mercu puncaknya dan untuk hubungannya dengan tembok-temboknya (gb. 9). Meskipun cukuplah apabila bagian-bagian itu tidak dipasangkan, karena memang tidak dipakai dan lagi tidak perlu untuk berdirinya lebih lanjut dari gapura itu, tetapi pertimbangan bahwa dari sebuah bangunan yang masih digunakan tidak cukup memperbaiki sebagian saja,
13. Rencana Untuk Tangga-masuk ke Gereja dalam Benteng Jumpandan (Fort Rotterdam). Makasar.

mengakibatkan dilengkapinya juga kekurangan tadi. Karena perbaikan yang demikian itu memberi kesan bahwa bangunan itu terlantar, yang berarti: memburukkan nama pemiliknya.

Jika sebuah bangunan telah acapkali diubah-ubah bangunannya, telah diganti sininya dan diganti sananya, telah ada beberapa lagiannya yang dibongkar atau ditambahkan, maka sukarlah dicarikan bentuknya yang asli, pun untuk mencoba mengembalikannya waktu melakukan pemugaran misalnya. Pula tak ada kemungkinan untuk menentukan sesuatu waktu yang tepat dari riwayat pembangunannya guna dijadikan pokoknya, sedang segala yang ditambahkan kemudian dibongkar saja. Hal ini mungkin dilaksanakan pada sebuah bangunan yang disengajakan untuk peringatan dari sesuatu ketika dari sejarah. Dengan menghentikan jalannya perkembangan secara ini, maka kepurbakalaan itu menjadi bangunan yang kaku mati. Maka berlakulah aturan-aturan mengenai bangunan kuno-kuno dalam bagian pertama karangan ini. Pun disini terbukti lagi bahwa sebuah bangunan yang hidup meminta tambahan-tambahan dan perbaikan dalam langgam masanya sendiri.

Meskipun lebih baiklah bila bentuk-bentuk yang baru ini direncanakan seorang arsitek yang bekerja pada pemilik bangunan itu, tetapi seringkali terjadi juga bahwa Seksi Bangunan memberi nasehat-nasehat yang mendalam dalam hal ini (gb. 13).

Dari ikhtisar pekerjaan seksi bangunan dinas purbakala ini nyatalah bahwa seorang ahli bangunan purbakala dengan pekerjaannya menguasai lapangan ilmu bangunan yang penting. Suatu lapangan yang tidak memberi kesempatan kepada seniman yang ingin tampil ke mula, melainkan suatu lapangan yang lebih-lebih memberi kemungkinan untuk memberi sumbangan kepada pembukaan perbendaharaan kebudayaan Indonesia. Penjelmaan-penjelmaan kebudayaan dari masa yang silam yang tidak hanya menimbulkan peringatan-peringatan kepada peristiwa-peristiwa zaman dahulu, melainkan dapat pula memberikan peringatan kepada peristiwa-peristiwa zaman dahulu, melainkan dapat pula memberi ilham untuk prestasi-prestasi yang baru. Apabila buah kebudayaan itu dikembalikan kepada gemilang yang lama, maka tercapailah keseimbangan yang bagus dengan kecenderungan masa kini untuk hanya mengindahkan segala sesuatunya dari kenyataan kebendaan belaka. Lagi pula dapatlah digelorakan perhatian-perhatian terhadap anasir-anasir hidup yang ada di luar dan di atas segala kejadian sehari-hari, yaitu rohani dan keindahan.

Mereka yang berhasrat mencurahkan jiwanya kepada tugas yang mulia ini harusnya di samping dasar ilmu pengetahuan yang baik, mempunyai minat terhadap seni bangunan, perhatian terhadap sejarah dam rasa terhadap keindahan. Bagi mereka tersedialah suatu tugas yang sama sekali tidak usah dianggap mati atau menjemukan. Pokok-pokok pengetahuan yang sangat berganti-ganti getaran-getaran jiwa selama penyelidikan dan penggalian, kesibukan mencipta waktu mencari pemecahan soal-soal mengenai keindahan, dan akhirnya soal-soal teknis yang bersangkut paut dengan pekerjaan melawan runtuh dan musnah. itulah semua yang memperkaya dan memberi jiwa kepada hidupnya seorang pegawai Seksi Bangunan.

Keluasan tanah Indonesia serta kemegahannya di masa silam memberi kesempatan kepada banyak orang untuk penyelidikan kepurbakalaan dalam hal seni bangunan. Kalangan kecil yang ada dewasa ini berhadapan dengan tugas yang maha besar itu ,sungguh masih bisa diperluas dengan berbagai insinyur bangunan dan orang-orang yang mempunyai didikan sekolah teknik menengah atau rendah, yang bila perlu dapat memperoleh pendidikan lebih lanjut yang patut dalam ikatan dinas.

V.R.v.R.