Lompat ke isi

20 Mei Pelopor 17 Agustus

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
20 Mei Pelopor 17 Agustus  (1950) 
20 Mei Pelopor 17 Agustus - Museum Dewantara Kirti Griya (page 1 crop)
20 Mei Pelopor 17 Agustus - Museum Dewantara Kirti Griya (page 1 crop)

Pengantar:

BUKAN KARENA AJAM DJANTAN BERKOKOK
MAKA MATAHARI TERBIT.
TAPI, SEBALIKNJA.

BUKAN karena proklamasi 17 Agustus 1945, maka bangsa Indonesia bangkit. Sebaliknja, Proklamasi 17 Agustus 1945, adalah wudjud jang lebih njata dari pada kebangkitan bangsa Indonesia.

Wudjud jang lebih njata itu kita pertahankan, adalah karena kita tak mau kehilangan tempat berdjedjak. Tak mau kehilangan batu lontjatan menudju rakjat, bangsa, negara dan dunia bahagia.

Akan tetapi, tak benarlah kiranja, kalau setelah berada diatas batu lontjatan ini, kita lupa akan kenjataan bahwa batu itu terletak diatas tanah dasar. Tanah dasar itulah jang kita sebut Kebangkitan bangsa Indonesia. Bergerak menentang pendjadjahan, menjiapkan revolusi nasional. Mendatangkan, mematangkan bahan-bahan negeri merdeka. Dengan istilah lain, bergerak, menjiapkan revolusi nasional. Mendatangkan, mematangkan situasi Revolusioner.

Karena itu maka lepas daripada Tudjuan jang tertentu, hari 20 Mei, hari kebangkitan bangsa Indonesia, adalah suatu tiang djarak, suatu mijlpaal daripada perdjalanan sedjarah.

Dalam risalah ketjil ini hanja terdapat karangan-karangan dari Ki Hadjar Dewantara dan Wurjaningrat sebagai tambahan sumbangsih untuk mengenang hari sedjarah bangsa Indonesia itu.

Kepada jang ikut serta dalam perdjoangan 20 Mei, baik jang masih ada maupun jang sudah berpulang mendahului kita, kita utjapkan berbahagialah! Bahagia, karena benih jang mereka taburkan, telah tumbuh rindang, tempat kita bernaung dibawahnja.

Kepada kita sekarang sebagai suatu bangsa jang beradab dan generasi jang tahu menghargai djasa serta pengorbanan leluhurnja, terletak kewadjiban jang sutji untuk mendjaga agar pohon jang rindang itu seterusnja akan mendjadi tempat bernaung generasi jang bakal datang.


Kementerian Penerangan
Republik Indonesia
20 Mei 1950.

PERINGATAN 42 TAHUN KEBANGUNAN
NASIONAL.

1908 — 20 Mei — 1950.

HARI 20 MEI 1908 adalah hari berdirinja „Budi Utomo”, jaitu suatu Badan Perhimpunan, jang untuk pertama kali didirikan oleh bangsa kita di Djawa dan Madura setjara modern; pun mempunjai maksud jang modern pula (jaitu memperhatikan segala kepentingan hidup dan penghidupan dalam arti jang seluas-luasnja, ialah cultureel dan social); tudjuannja: mempertinggi deradjat kebangsaan kita. Demikian maksud dan tudjuan B.U. menurut Statugennja. Berdirinja B.U. ini sebagai persatuan jang tetap adalah hasil Kongres Nasional jang Pertama, jang diadakan di Jogjakarta.

Sebenarnja, pada hari itu, B.U. sudah lahir di Djakarta, sebagai buah usaha para peladjar di S.t.o.v.i.a., jaitu Akademi Ketabiban pada djaman itu. Jang mendirikan ialah marhum dr. Sutomo, marhum dr. Gunawan Mangunkusumo (waktu itu masih student) serta peladjar-peladjar lainnja. Peladjar-peladjar dari sekolah-sekolah menengah lain (Landbouwschool dan Veeartsenschool di Bogor, semua O.s.v,i.a diseluruh Djawa, djuga Kweekschool-Kweekschool, H.B.S. dll.) menjambut berdirinja B.U. dengan gembira; mereka segera mendirikan tjabang-tjabang.

Berkat kebidjaksanaan dr. Sutomo c.s., jang menghendaki B.U. mendjadi „perhimpunan nasional”, jang umum dan setjara besar-besaran, untuk mana pemuda-pemuda kita di Djakarta itu mentjari hubungan dengan pemimpin-pemimpin tua, dan sanggup menjerahkan pimpinan dan organisasinja kepada golongan tua, maka B.U., jang waktu itu menamakan dirinja dengan sebutan „Badan-sementara” (provisorisch lichaam), tidak bersifat „Jeugdvereeniging’” atau perhimpunan pemuda, tetapi terus tumbuh sebagai badan perhimpunan nasional umum.

Sifat B.U. jang „sementara” itu sungguh-sungguh „nasionalistis” dan „revolusioner” dan ini dapat dimengerti, bila kita mengingati tingkatan ketjerdasan para maha-siswa kita di S.t.o.v.i.a., jang waktu itu merupakan perguruan bagi bangsa kita jang paling tinggi.

Pada djaman itu sebenarnja dipelbagai kalangan diseluruh Djawa dan Madura sudah nampak tanda-tanda kebangunan nasional; teristimewa di Jogjakarta dan Surakarta. Misalnja di Jogja ada suatu gerombolan orang-orang terkemuka, jang sibuk berusaha menjiapkan berdirinja „Studiefonds”; diantaranja jang patut disebut jaitu: marhum Pangeran Notodirodjo, marhum R. Dwi-djosewojo, marhum Mas Budiardjo, R. Sosrosugondo dan lain-lain; pusat dari gerombolan itu bukan lain ialah M. Ng. Sudirohusodo alias Dokter Wahidin. Untuk mempropagandakan berdirinja Studiefonds tadi, pada tahun 1906 dr. Wahidin mengelilingi seluruh Djawa, guna menarik perhatian para bupati dan orang-orang terkemuka. Inilah sebabnja ada hubungan antara beliau dengan Sutomo dan Gunawan Mangunkusumo c.s. Dr. Wahidin sanggup „mengoper” gerakan nasional jang dimulaikan para pemuda tadi, dan begitulah B.U. menjadi perhimpunan besar dan umum, berdasar

Ki Hadjar Dewantara, keluar
dari Pendjara Pekalongan.

nasional dan menudju ke-arah kemuliaan bangsa; ditjiptakan oleh pemuda, dioper oleh kaum-tua, lalu diselenggarakan bersama. Kongres para pemimpin, jang diadakan di Jogjakarta pada bulan-liburan Puasa tahun 1908, jang waktu itu disebut „Eerste Jong-Javanen-congres”, sangat menarik perhatian umum. Bersuanja kaum tua dan kaum muda menimbulkan banjak pertentangan faham, sikap dan laku. Para pemuda dapat bantuan penuh dari beberapa kaum „setengah-tua” (diantaranja: marhum dr. Tjipto Mangunkusumo, Sutopo Wonobojo, Sumarsono alias „Ki Tjokrodirdjo” dll. jang tidak kalah berkobar-kobarnja semangat dengan para pemuda). Hasil dari pada pertentangan antara golongan „revolusioner nasionalis” dengan kaum „conservatif” ialah terbentukhja pengurus besar pertama jang bertjorak „coalisi”, sedangkan Budi-Utomo — buat seterusnja — tetap bersifat „cultureel-nasional” dengan penuh „politieke tendenzen”. Berhubung dengan hebatnja pertentangan antara tua dan muda, maka marhum dr. Wahidin (saat itu beliau menangis) menolak, ketika dipilih mendjadi ketua. „Saja akan bekerdja, tidak sanggup memimpin”, kata beliau. Tetapi kemudian beliau toh menerima kedudukan wakil-ketua; jang mendjadi pemimpin pertama ialah marhum bupati Karanganjar Tirtokusumo. (Baik disini diperingati adanya opposisi jang sangat hebat pada Kongres jang ke-2, tahun 1909, di Jogjakarta djuga, jang menuntut turunnja Pengurus Besar; dari kaum-tua hanja dr.Wahidin jang dipertahankan oleh sajap-muda; sebagai ketua baru, dipilih marhum Pangeran Notodirjo dari Pakualaman, jang sudah lama bersama-sama dengan dr. Wahidin melakukan

........ Air mata kami jang titik sekarang ini perlunya semata-mata supaja bertunas bibit itu, supaja dari padanja berkembanglah nafsu hidup jang baru dan murni kemudian hari.

Air mata, darah akan mengalir banjak2, tetapi tiadalah mengapa; semuanja itu akan membawa kearah kemenangan. Manakah akan lebih terang, bila tiada didahului oleh gelap-gulita. Hari fadjar lahir daripada hari malam. persiapan untuk berdirinja „Studiefonds” dan kemudian berdirinja „Neutrale Schoolvereeniging”. Salah satu sebab jang menimbulkan opposisi jang hebat itu, ialah dapatnja pemerintah kolonial menjelundupi gerakan nasional B. U.).

Mengingati peristiwa-peristiwa tadi sungguh perlu, agar kita dapat mengarti, apa sebabnja makin lama makin banjak kaum „revolusioner” meninggalkan organisasi B.U. untuk menggabungkan diri pada perhimpunan-perhimpunan baru jang kemudian menusul, jaitu „Sarikat Islam” dan „Indische Partij”, atau berdjoang sendirian selaku „wilde politici” (politicus merdeka). Kaum-tua dan setengah-tua, jang berhaluan „kiri” dan masih terus berdjoang dalam kalangan B.U., ada pula: misalnja K.R.M.T.H. Wurjaningrat, R.M. Sutatmo Surjokusumo, R. M. Sutopo Wonobojo, R. Sumarsono Tjokrodirdjo, dan masih banjak lain-lainnja.

Sesudah kita tahu, bahwa Budi-Utomo sebagai organisasi setjara modern jang pertama, sudah bertjorak politik (meskipun sifatnja cultureel), lagi pula mendjadi pangkalan pertama dari pada tjalon-tjalon nasionalis-revolusioner, maka tepatlah saat berdirinja B.U. pada hari 20 Mei 1908 itu kini dianggap „hari nasional”, Malah pada tahun 1918, ulang-tahun B.U. jang ke-10, oleh studenten kita jang ada di Nederland dirajakan sebagai „hari nasional” djuga. Ketua Panitya adalah marhum dr. Tumbelaka, jang waktu itu tinggal dinegeri Belanda untuk menjiapkan diri sebagai „specialist” dalam ilmu penjakit urat-sjaraf.

Meskipun B.U. itu bersifat „Jong-Javanenbond” (perhimpunan Djawa-muda) namun ta’ boleh disebut

Tiga serangkai, Dr. Douwes Dekker, Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat.

„provincialistis”. Djaman itu belum ada bentuk kebangsaan Indonesia wutuh, walaupun rasa-satu benarnja sudah ada. Ini terbukti dengan adanja hubungan jang sangat baik dengan perhimpunan didaerah2 diseluruh kepulauan Indonesia, jang kemudian menusul. Menurut statutennja bahkan boleh B. U. menerima orang-orang sebagai anggauta, jang berasal dari Maluku, Sulawesi, Bali, Borneo, Sumatera dll. (Bukankah hingga kini masih ada perhimpunan-perhimpunan „Pasundan”, Gerakan Rakjat Indonesia Sunda Ketjil, Pemuda Indonesia Maluku, Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi dll. sebagainja?). Bukti jang njata tentang sifat B. U. jang tidak provincialistis itu ialah berfusinja B. U. dengan P.B.I. mendjadi „Parindra”. Sesudah nama „Indonesia” disjahkan oleh rakjat, maka dengan dipelopori oleh pemuda-pemuda kita, jang pada tahun 1928 bersumpah satu Negara, satu Bangsa, satu Bahasa”, dan melebur „Jong-Java”, Jong-Ambon, Jong-Sumatranenbond dll. sebagainja mendjadi „Indonesia Muda”, mulai saat itulah bentuk-bentuk kedaerahan baru dapat ditinggalkan.

Sesudah B.U. lahir, maka rakjat nampak mulai bangun dan sedar. Banjak perkumpulan-perkumpulan didirikan, baik jang bertjorak agama, sosial, ekonomi, kesenian, pendidikan, journalistiek, olah raga, dll. sebagainja. Begitu djuga rakjat mulai memberanikan diri untuk mendirikan perseroan-perseroan dagang, tanggung-djiwa, credietbank, tabungan, pertanian dll. sebagainja.

Tahun 1911 ; inilah tahun jang istimewa. Pada tahun ini timbul gerakan baru jang ingin mewudjudkan tjita-tjita politik. Marhum Umar Said Tjokroaminoto jang berdjiwa nasionalis-islam-revolusioner, sesudah bertemu dengan Hadji Samanhudi (jang waktu itu mempunjai perserikatan dagang, jang bernama _ „Sarikat Dagang Islam”, dan mempunjai tjorak Islam dan revolusioner djuga) dapat membentuk badan baru, jaitu „sarikat Islam”, jang dalam waktu jang pendek sadja dapat mengumpulkan anggauta-anggauta sedjumlah setengah djuta. Pemerintah kolonial sangat gelisah. Disamping penjelundupan atau „infiltrasi” biasa, pemerintah kolonial mengirimkan dr. A. Rinkes-nja (pembantu adviseur voor inlandsche zaken) kedalam lingkungan S.I. (Sarikat Islam). Kelak S.I. hanja dibolehkan berdiri setempat-setempat (lokal), jang tidak boleh saling berhubungan setjara „organisatories”. Tjokroaminoto cs. (pemimpin-pemimpin lainnja misalnja H.A. Salim, Surjopranoto, Abdul Muis, Sangadji marhum, H. Fachrudin marhum, H. Samanhudi, marhum Sosrokardono dan banjak lain-lainnja), tak dapat digertak begitu sadja. Mereka lalu mendirikan perhimpunan baru jaitu C.S.I berarti „Centrale Sarikat Islam”, dan jang menjadi anggauta-anggautanja ialah semua S.I. lokal. Pada waktu itu „Sarikat Islam” belum terus terang berwudjud „partai politik”; sifatnja ialah keagamaan, ke-ekonomian, dan kesosialan, jang bertjorak politik dan revolusioner.

Pada tahun 1911 lahir djuga „Indische Party” (terkenal dengan singkatannja „I.P.”), jang didirikan oleh E.F.E. Douwes Dekker jang kini bernama Dr. Danu Dirjo Setyabudhy. I.P . adalah party politik jang pertama, jang didirikan semata-mata sebagai partai politik. Tjita-tjita I.P. ialah: Indonesia merdeka dan berdaulat, kewarga-negaraan setjara modern (tak mengingati asal-kebangsaan apa, asalkan mengakui Indonesia sebagai negara dan kebangsaannja), democratis.......... pendek kata seperti sifat bentuk negara kesatuan kita Republik Indonesia sekarang. Pada 18 Agustus 1913 tiga orang pemimpin I.P. jaitu Douwes Dekker, Dr. Tjipto dan Suwardi Suryaningrat di-interneer, berturut-turut ke Timor Kupang, Banda Naira dan Bangka. Akan tetapi mereka dibolehkan meninggalkan tanah-airnja, djadi setjara „externeering” manasuka, Disinilah terdjadi peristiwa jang sangat mengharukan. Anggauta-anggauta B. U. dan Sarikat Islam, menganggap korban-korban jang pertama (sedjak 1908) itu, sebagai pengorbanan mereka sendiri. Segera mereka mengumpulkan uang untuk memungkinkan „tiga-serangkai” I.P.” (driemanschap I.P.) itu menghindarkan interneeringnja dan pergi ke-luar-negeri, agar di Nederland dapat meneruskan aksinja kearah kemerdekaan Indonesia. Begitulah DD., Tjip dan Suwardi dengan segenap keluarganja tg. 6 September 1913 dapat berangkat dari, Tandjung Priuk.

Jang mendjadi sebab pemerintah kolonial menggunakan „exorbitant-recht”-nja ialah karena Suwardi Suryaningrat menulis brosurnja „Als ik Nederlander was!” untuk memprotes akan diadakannja perajaan kemerdekaan Nederland 100 tahun (dari penindasan Perantjis dalam djaman Napoleon pada tahun 1813), untuk perajaan mana rakjat sampai didesa-desa, diharuskan mengumpulkan uang. Sambil berprotes Panitya Nasional jang didirikan oleh S. Surjaningrat di Bandung itu, menuntut adanja Parlement. |

„Indische Partij” : kemudian dilarang, lalu semua anggauta masuk kedalam organisasi jang telah mempunjai hak „rechtspersoon”, jaitu „Insulinde”, tetapi hanja untuk sementara, karena „Insulinde” bukan badan politik. Setelah dr. Tjipto dibolehkan pulang kembali pada tahun 1914 (karena sakit), maka dibentuk organisasi baru dengan nama N.I.P. (Nasional Indische Partij), partij mana pada tahun 1922 dilarang lagi oleh pemerintah kolonial. Putjuk pimpinan N.I.P, memutus :
a. tidak mendirikan partij baru; b. mengandjurkan sekalian anggautanja memasuki suatu partij kepunjaan rakjat, jang ada (B.O.P.S.I., P.K.I. dll.) atau pada umumnja ikut usaha atau berdjuang jang bersifat nasional. Tjipto meneruskan penerbitannja harian dalam bahasa Djawa „Panggugah” di Solo; DD mendirikan „Ksatryan-instituut”nja di Bandung dan Suwardi Suryaningrat „Taman-Siswa”nja di Jogjakarta.

Sesudah B.U., S.I. dan I.P., sebagai organisasi2 jang pokok, melakukan pembangunan pertama, menusul lambat laun kesedaran serta keinsjafan jang menjebabkan timbulnja „differensiasi”.

Para pemuda mendirikan organisasi-organisasi umum: „Tri-Koro-Darmo” di Djawa, jang kelak mendjadi „Jong Java”; „Jong-Sumatranenbond”, „Jong-Ambon”, „Jong-Islamietenbond” dll., jang pada tahun 1929 berfusi menjadi „Indonesia Muda”. Djiga kepanduan tumbuh dengan subur. Meskipun ada jang menjeburkan diri dalam N.I.P.V. (Nederlandsch Indische Padvinders Vereeniging), namun kebanjakan ingin mempunjai organisasi kepanduan sendiri jang nasional. Berdirilah I.N.P.O (Indonesisch Nationale Padvindersorganisasie) jang didirikan antaranja oleh sdr. Usman Sastroamidjojo (Mr. Usman jang kini ada di Australia); kemudian timbul K.B.I, (Kepanduan Bangsa Indonesia); S.I.A.P; (S.I. Adeeling Pandu); Kepanduan Katholik dll.

Perhimpunan-perhimpunan sosial senantiasa pesat kemadjuannja. Jang berdasar agama misalnja „Muhammadijah” dengan „Aisjiah”-nja dibawah pimpinan marhum Kjai H. Moh. Dahlan dan marhum Njai Dahlan: „Nachdatul-Ulama”, „Persatuan Ummat Aslam” dan lain-lainnja. Semuanja mempunjai bagian usaha perguruan. Dalam soal usaha pendidikan jang berdasar kebudajaan bangsa jang paling terkenal ialah Taman Siswa dengan systimnja pendidikan dan organisasi jang istimewa, didirikan pada 3 Juli 1922 di Jogjakarta oleh Suwardi Suryaningrat, jang sedjak 8 Mei 1928 bernama Ki Hadjar Dewantoro. Usaha-usaha perguruan lain-lainnja ada pula, diantaranja „Adhi-Darmo”, „Neutrale Schoolvereeniging”, „Islamijah” dan banjak lagi lain-lainnja. Di Sumatera jang sangat terkenal ialah I.N.S. (Indonesisch Nederlandse School) jang didirikan oleh Mohamad Sjafei di Kajutanam, dengan systimnja pendidikan beladjar dan bekerdja (Arbeitschule).

Para wanita ta’ suka ketinggalan; banjak organisasi-organisasi wanita berdiri (diantaranja „Wanito-Utomo” dengan pimpinan-pimpinannja jang terkenal; Njonjah-njonjah Sukanto, Abdulkadir, Gondoatmodjo dll. di Jogjakarta). Perhimpunan-perhimpunan itu kemudian berfederasi dalam organisasi-nja P.P.I.I. (Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia) jang didirikan pada tahun 1927 di Jogjakarta.

Differensia pergerakan rakjat kita jang paling penting ialah tumbuhnja Sarikat-sarikat Buruh, jang pada umumnja dipimpin oleh kaum S.I. (Surjopranoto, Sosrokardono, Samaun, Alimin, Darsono dll.). Pada periode itu djuga mulai tersebarnja benih-benih socialisme dengan aksinja jang hebat dan berpusat di Semarang. I.S.D.V. (Indische Sociaal-democratische Vereeniging) dibawah pimpinan Ir. Baars, H. Sneevliet dll, jang kemudian mendjadi P.K.I. (Partij Komunis Indonesia) dengan S.R. (Sarikat Rakjat) sebagai „ondergrond’’-nja (lapisan bawah).

Berhubung dengan timbulnja perselisihan-perselisihan dan „perpetjahan-perpetjahan” maka sementara kali dilakukan usaha-usaha untuk mempersatukan tenaga, jang dianggap perlu untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan rakjat. „Radicale Concentrasi” dibentuk; P.P.P.K.I. untuk memusatkan aksi partai-partai politik Kemerdekaan Indonesia (di Surabaja).

Di Surabaja marhum dr. Sutomo c.s. mendirikan „Studieclub” jang sebenarnja adalah suatu bibit partij politik. Kemudian Studieclub itu mendjadi P.B.I (Persatuan Bangsa Indonesia), jang kelaknja berfusie dengan B. U. lalu mendjadi „Parindra” (Partij Indonesia Raja). Partij ini mementingkan kebudajaan, ke-ekonomian disamping Politik. Disinilah berkumpulnja pemimpin-pemimpin Wurjaningrat c.s. dari B. U., H.M. Thamrin dari „Kaum Betawi”, Sukardjo Wirjopranoto, dan banjak lain-lainnja.

Mereka jang merasa lebih radikal dari pada kaum „moderate” jang masuk kedalam PArindra, mendirikan partij baru jang semata-mata mementingkan perdjoangan politik. Dibawah pimpinan umum dari Ir. Soekarno berdirilah P.N.I (Partij Nasional Indonesia); pemimpin-pemimpin lainnja ialah drs. Moh. Hatta, mr. Sartono, mr. Sujudi, mr. Moh. Yamin dll. Kemudian P.N.I. petjah mendjadi dua, jaitu „Partindo” (Partij Indonesia) dan jang lain terus memakai singkatan P.N.I., tetapi lengkapnja berbunji „Pendidikan Nasional Indonesia”; biasanja menamakan golongannja dengan nama „Pendidikan”. Ir. Soekarno, mr. Sartono, mr. Sujudi dll. masuk kedalam „Partindo”, sedangkan Hatta dengan kawan-kawannja se-faham memilih „Pendidikan”.

Ada pula gerombolan, djuga dari petjahan P.N.I. lama, jang kemudian mendirikan partij sendiri, jaitu „Gerindo” (Gerakan Rakjat Indonesia), jang dipimpin misalnja oleh mr. Amir Sjarifudin, mr. Moh. Tamin, S. Mangunsarkoro dll.

Dalam waktu itu mudah dimengerti timbulnja beberapa perselisihan-perselihan pula; pun dirasainja perlunja mengadakan pemusatan tenaga. „Gappi” dibentuk (Gabungan Partai-partai Politik Indonesia); gerakan „Indonesia Berparlement” dilakukan dsb.

Perserikatan-perserikatan jang berusaha dalam lapangan Kebudajaan, makin lama makin tambah djumlahnja. Dimana-mana timbul gerakan kesenian, baik maupun jang bersifat umum; ada jang tradisioneeel, ada pula jang revolusioner, misalnja gerombolan „Pujangga Baru” dengan pemimpin-pemimpinnja mr. Sutan Takdir Alihsjahbana, Armijn Pane dll.

Patut disebutkan pula adanja gerakan-gerakan pemuda jang merupakan masjrakat mahasiswa, sesudah di Djakarta tjukup djumlah anggauta-anggautanja. U.S.I (Unitas Studiosorum Indonesiensis) berdiri. sedangkan kemudian mereka jang berfaham nasionalistisch setjara radikal, mendirikan P.P.P.I. (Persatuan Peladjar-peladjar Indonesia).

Dilapangan journalistik terdapat pula kemadjuan jang pesat. Dulu, kira-kira tahun 1895, di Jogjakarta dan Solo sudah ada surat-surat berkala di Jogja „Retnodumilah” jang dipimpin oleh marhum dr. Wahidin Sudirohusodo; di Solo „Djawi Kondo”, „Bramartani” dll. Semuanja masih bertjorak kesusasteraan. Kira-kira pada tahun berdirinja B. U. ada seorang wartawan modern, jang menarik perhatian karena lantjarnja dan tadjamnja pena jang ia pegang. Jaitu marhum R. M. Djokomono, kemudian bernama Tirtoadisurjo, bekas murid S.t.o.v.i.a, jang waktu itu bekerdja sebagai redacteur harian „Bintang Betawi” (jang kemudian bernama „Berita Betawi”), lalu memimpin redaksi „Medan Prijaji” dan „Suluh Pengadilan”. Beliau boleh disebut „pelopor” dalam lapangan journalistik. Selangkah demi selangkah kewartawanan dapat kemadjuan, dan jang achir-achir ini dengan amat pesat, hingga membutuhkan „Kantor Berita” sendiri (Antara), dan dalam saat peralihan, disekitar 17 Agustus 1945, dapat mengusahakan suatu badan-berita setjara besar-besaran, jang berhubungan langsung dengan luar-negeri.

Tjukup sekianlah ichtisar kisah pergerakan rakjat kita, dengan kemadjuannja sedjak berdirinja B. U. tg. 20 Mei 1908, ichtisar mana pasti djauh dari lengkap, karena banjak jang tidak bersandar „dokumentasi” hanja berupa kenang-kenangan dari satu orang sadja. Hendaknja para pemimpin-pemimpin tua lainnja, suka

Menjelang Alam Pancasila (page 1 crop)
Menjelang Alam Pancasila (page 1 crop)

Kongres Taman Siswa di Jogjakarta.

melengkapkan kisah-kisah tadi, teristimewa jang berhubungan dengan lingkungan-lingkungan mereka masing-masing.

Karena pergerakan rakjat kita sedjak 20 Mei 1908 itu menudju kearah kemerdekaan nusa dan bangsa Indonesia, maka sebenarnja pada hari 17 Agustus 1945 sudah selesailah pergerakan itu. Tudjuan yang terachir sudah tertjapai. Ini tidak berarti selesainja „perdjuangan”. Pertama kali haruslah diingati, bahwa untuk membangun negara kita, jang baru berdiri dan dalam segala hal masih dalam keadaan sangat sederhana itu, memerlukan perdjuangan. Kedua kalinja ta’ sekali-kali boleh dilupakan, bahwa pendjadjahan jang tidak kurang dari 3½ abad lamanja itu, tidak mungkin dapat musnah sekali gus, hanja dengan „proklamasi” sadja. Sisa-sisa keadaan dan tenaga-tenaga kolonial, sisa-sisa djiwa dan suasana pendjadjahan barang tentu masih ada; baik karena kekuasaan tradisi, maupun karena dengan sengadja dan mungkin siasat-siasat jang tertentu Nederland tidak akan menjerahkan kedudukannja sebagai „pemilik” Indonesia jang kaja raja itu dengan suka-rela, dengan ichlas dan ridla. Boleh dipastikan, Belanda akan mempertahankan kedudukannja itu dengan mati-matian, mungkin dengan bantuan dari negara-negara Barat lainnja, jang banjak sedikit akan ikut tanggung rugi. Untuk menghadapi itu semua, perlulah pula rakjat kita terus siap sedia, untuk meneruskan perdjuangannja, djuga setjara mati-matian.

Dugaan-dugaan itu dibenarkan oleh kenjataan-kenjataannja, Zaman „Linggardjati” datang dengan tjampur-tangannja Luar Negeri. Terbukalah pintu untuk kembalinja pendjajahan, sekalipun setjara ”semi

20 Mei Pelopor 17 Agustus - Museum Dewantara Kirti Griya (page 21 crop)

„DJALAN TERUS!”
Dr. Soetomo tengah memberi wedjangan.

kolonial”. Sebagai akibat mutlak timbullah „perang-kolonial” jang ke I, Pihak Luar-Negeri merasa perlu pula untuk bertjampur-tangan dan menekan dan memaksa terlaksananja „persetudjuan Renville”. Timbullah „perang-kolonial” jang ke II. Atas putusan „Persatuan Bangsa-bangsa” datanglah zaman K.M.B. dengan persetudjuannja, jang seperti persetudjuan-persetudjuan Linggardjati dan Renville, hanja dapat disahkan sebagai persetudjuan jang berdasar „compromis”. Sjukurlah Tuhan tetap terus melindungi kita, Tentara nasional kita, bersama-sama dengan para pemuda, bahkan dengan seluruh rakjat dapat merupakan „tentara-gerilja”, jang amat ditakuti oleh Belanda dan kawan-kawannja Luar-Negeri. Segala apa jang ditjiptakan oleh pihak Belanda, ja’ni perpetjahan dan perpisahan rakjat, berdirinja daerah-daerah dan negara-negara bagian diseluruh Indonesia, kemudian runtuh semua, Pada saat ini Negara Kesatuan menurut proklamasi 17 Agustus akan pulih kembali. Ini semua adalah buah dari siap sedianja rakjat kita, untuk meneruskan perdjuangannja, setjara mati-matian. Dan inilah buah pemeliharaan serta latihan semangat perdjuangan, sejak 20 Mei 1908, empatpuluh dua tahun jang lampau.

Marilah pada hari ini kita merenungkan, peladjaran apakah kiranja jang dapat kita pungut dari pada sedjarah perdjuangan kita sedjak 20 Mei 1908 itu. Dapatlah kiranja peladjaran itu kita simpulkan demikian:

  1. terbuktilah, bahwa seluruh rakjat, dalam segala lapisannja, menghendaki kemerdekaan nusa dan bangsa, lepas dari pendjajahan dari siapapun;

Kegiatan dan hasrat persatuan djuga njata dilapangan kepanduan

  1. perpetjahan-perpetjahan jang terjadi dikalangan pergerakan kita itu sebenarnja adalah perpisahan-perpisahan differensiasi, untuk memurnikan atau menggiatkan usaha masing-masing;
  2. hasrat untuk bersatu, berhubung dengan adanja pokok-pokok kepentingan bersama jang dirasai benar-benar, selalu timbul dimana ada bahaja mengantjam dari luar;
  3. kekuasaan dan kekuatan dari pihak pendjajah hanja dapat menguasai kita, selama kita berpetjah belah;
  4. dimana ada kesatuan tekad dan laku, disitulah kita dapat mendesak dan mengalahkan musuh kita bersama;
  5. tetap terus adanja sisa-sisa pendjajahan, mengharuskan kita tetap terus awas dan waspada serta siap sedia untuk berdjuang;
  6. tetap Tuhan akan melindungi kita, selama kita melakukan perdjuangan kita dengan dasar Pantja-Sila
Sekali merdeka, tetap merdeka !

Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO
Bapak Pergerakan Kebangsaan Indonesia

DOKTER WAHIDIN SUDIROHUSODO.
Oleh: Ki Hadjar Dewantara.

Anak desa mendjadi pemimpin besar.

DALAM sebuah dusun, teratur indah dikaki gunung Merapi jang tampak kehidjau-hidjauan, tinggallah l.k. satu abad berselang suatu keluarga, jang dalam segala kesederhanaannja tetap menarik perhatian orang. Sebagai salah seorang penduduk jang tertua di Mlati, ~ demikian nama dusun jang tahu memegang namanja, ~ kepala keluarga tersebut sangatlah dihormati serta disajangi oleh orang-orang sekampungnja; dan adjaib djuga, orang-orang lain pada umumnjapun sangat menghargai dia. Njatalah hal sedemikian itu disebabkah karena keunggulan budinja, sifat jang dimiliki djuga oleh seluruh anggauta keluarganja.

Keadaan jang luar biasa pada keluarga tersebut, tiada luput dari perhatian orang-orang kota, jang untuk datang berkundjung ke Mlati, baik untuk keperluan, maupun untuk beristirahat. Lebih-lebih Wahidin jang kala itu masih kanak-kanak, tetapi telah menundjukkan pandangan mata jang memantjar djernih, selalu mendjadi pusat perhatian. Dalam kalangan-kalangan terkemuka, baik kalangan Eropah maupun kalangan Djawa, orang berpendapat bahwa Wahidin harus bersekolah.

Demikianlah maka Wahidin meninggalkan dusun menudju kekota, kemudian kita lihat dia sebagai seorang dari beberapa anak Djawa, jang mula-mula sekali mengundjungi Europese lagere school (sekolah rendah Belanda). Oleh sebab Wahidin djauh melebihi teman-temannja karena fikirannja jang tjerdas tiada terhingga, orangpun mengusahakan agar dapatlah ia melandjutkan peladjarannja, sehingga achirnja tertjatatlah djuga nama Wahidin sebagai murid sekolah Dokter-Djawa di Djakarta (dulu Betawi). Disinipun dalam kalangan guru-guru ia terkenal sebagai seorang murid jang giat bekerdja, tjerdas otaknja serta sehat djiwanja.

Sebagai „dokter-djawa” diwaktu itu iapun boleh dikata luar biasa sehingga dipandang patut serta terpilih untuk mendjadi guru-bantu atau „assistentleeraar” pada sekolahnja. Kelak sesudah itu ia berkedudukan tetap di Jogjakarta, tempat ia mengetjap pendidikan jang pertama dan achirnja mendjadi salah seorang penduduknja jang terkenal dan budiman. Disana Dr. Wahidin tinggal sampai wafatnja, jalah pada hari bulan Mei, tahun 1917.

Siapa kelak membuka kitab-kitab sedjarah kebangsaan kita, iapun pasti akan menghadapi lembaran bersih berhiaskan nama orang, jang sedang kita peringati djasa-djasanja dengan terbitnja risalah ini.

Bertahun-tahun: nama Dr. Wahidin ~ (dikalangan Djawa terkenal dengan sebutan Mas Ngabehi Sudiro-husodo) ~ terikat erat dengan pergerakan nasional, sehingga orang jang meriwajatkan hidupnja ta boleh tidak harus memberi pandangan tentang pergolakan masa diwaktu itu, masa jang sungguh-sungguh merupakan titik perhentian dalam perdjalanan sedjarah bangsa kita.

Orang menamakan Dr. Wahidin Bapa dari „Budi Utomo”, perkumpulan pemuda Djawa, tetapi setelah tiada lagi ia hidup ditengah-tengah kita, lazimlah djuga orang, mengakui dia sebagai Bapa pergerakan kebangsaan Indonesia. Memang antara lain ta’ dapat disangkal, bahwa „Budi Utomo” adalah ibu-perkumpulan jang melahirkan berdjenis-djenis aliran dalam masjarakat Indonesia. Hal ini tidak sadja dinjatakan oleh kaum „Budi Utomo”, melainkan diakui djuga oleh wakil-wakil pelbagai aliran dan golongan. Dan meskipun „Budi Utomo” tidak dapat memadai segala harapan ataupun idam-idaman, tetaplah orang berpendapat, bahwa terlahirnja pergerakan jang mula-mula bersifat revolusioner-nasionalistis itu adalah peristiwa jang maha-raja, karena kala itulah mulai terdengarnja detik kebangunan dari berdjuta-djuta rakjat yang diperbudak. Lain dari pada itu, meskipun Dr. Wahidin sebenarnja bukan pendiri „Budi Utomo” seperti akan kita ketahui nanti, dialah jang memberi isjarat untuk memulaikan kebangunan nasional.

Pendidikan dan Pengajaran pintu

pembangunan.

Terkenanglah kita akan masa jang belum djauh lampau, lk.50 tahun berselang, tatkala orang belum dapat menjaksikan kegiatan hidup seperti kita alami sekarang ini. Tetapi sebagaimana sering kita djumpai, keadaan jang tenang-tenteram di waktu itu disebabkan belum adanja pengertian serta belum tumbuhnja keinsafan.

Barang tentu diwaktu itu sudah mulai tampak usaha-usaha mengedjar kemadjuan, lebih dari pada jang biasa diperoleh disekolah rakjat atau volksschool. Akan tetapi oleh karena tiap kesempatan untuk melandjutkan peladjaran memerlukan biaja banjak, maka sebenarnjalah kemadjuan setjara modern hanja mungkin dikedjar oleh golongan kaum berada sadja.

Kala itulah tumbuh kejakinan pada Dr. Wahidin, bahwa kepada lapisan jang terbesar didalam masjarakat perlu diberikan pengadjaran jang sebaik~baiknja. Perdjoangan hidup tidak terelakkan lagi dan bangsa Djawa harus memilih: berdjoang atau mati. Namun perkataan mati tiada sedjenak djuga mendjelang alam pikiran Dr. Wahidin, sehingga lekas-lekas disiapkanlah bangsanja menghadapi perdjoangan. Dua soal memikat hati-sanubarinja: memperluas pengadjaran jang sempurna dan memperhebat kesadaran nasional. Suatu hal jang ta’ boleh dibiarkan demikian sadja jalah, bahwa anak-anak dari golongan jang tidak berada tetapi luar biasa kepandaiannja, — seperti dia sendiri sebagai tjontoh jang paling njata — masih terlalu banjak jang belum dapat melandjutkan peladjaran. Selain itu ia mempersalahkan djalannja kemadjuan setjara Barat, jang tidak sedikit merugikan sifat murni dari bangsa Djawa. Kedjadian itu ta’ boleh terulang, kata Dr. Wahidin.

Dengan diam-diam lagi bersungguh hati iapun bersiap-siap melaksanakan tjita-tjitanja. Dalam madjallah Djawa „Retno-Dumilah” jang dipimpinnja sendiri tiada djemunja ia berusaha menginsafkan pembatja akan pentingnja pengadjaran. Disamping itu dipergunakannja madjallah tersebut untuk mempropagandakan tjita-tjitanja, jang ternjata tidak sia-sia belaka. Buktinja, banjak nian penduduk Jogjakarta berlomba-lomba membawa anak-anaknja kesekolah. Hasil jang baik ini mendorong Dr. Wahidin untuk melandjutkan gerakannja. Terlebih dahulu akan dimulaikannja mendirikan

Pada peringatan 20 Mei 2 tahun, jll. di Ibu-kota R.I. oleh seluruh partai dilahirkan „Kebulatan Tekad”.

studiefonds” karena ternjata kebanjakan pemuda tidak puas dengan pendidikan sekolah rendah sadja, sedangkan usaha melandjutkan peladjaran sering kandas dirintang oleh biaja. Setelah beberapa orang terkemuka menjanggupi bantuan lahir-batin, maka Dr. Wahidin lalu mengambil keputusan akan melakukan perdjalanan propaganda keseluruh Djawa. Diantara orang-orang jang sangat besar pengaruhnja perlu disebut nama Pangeran Notodirodjo dari keluarga Sri Paku-Alam, seorang bangsawan jang sedjiwa dengan Dr. Wahidin dan jang turut giat membantu usahanja. Persahabatan karib antara kedua orang ini, masing-masing dari lapisan jang paling berdjauhan, seakan-akan membawa bukti, bahwa perbedaan golongan didalam masjarakat sedikitpun tidak berarti bagi djiwa kita. Pada tahun 1906 Dr. Wahidin mulai menolakkan langkahnja. Maksudnja terlebih dahulu akan mengadakan rapat-rapat pada tempat-tempat penting di Djawa Barat. Harapannja tiada lain, hendaknjalah golongan prijaji makin pertjaja akan keharusannja mengadakan suatu gerakan jang meliputi seluruh masjarakat serta bertudjuan mempertinggi deradjat bangsa. Menurut rentjananja pendirian studiefonds nasional harus dikerdjakan lebih dahulu. Dalam beberapa pertemuan jang rapat antara Dr. Wahidin dan golongan prijaji dipelbagai tempat, untuk pertama kalinja bangsa kita menindjau dan menjadari kedudukannja didalam masjarakat. Kelak terbukti pula, bahwa saat itulah mulai tertanamnja benih kesadaran, jang kemudian tumbuh bersemi mengembangkan pergerakan nasional.

Gerakan para muda minta pimpinannja.

Tiba dirumah dari perdjalanan berat, propagandist kita harus menjaksikan pula, bahwa penjokong tidaklah tjukup banjak untuk dapat mendirikan studiefonds. Dalam harian „Java-Bode”, tertanggal 5 Nopember J.E. Jasper menulis tentang perdjalanan-propaganda, jang telah dilakukan oleh Dr. Wahidin seraja menerangkan, bahwa kebanjakan bupati beriri-hati, karena usaha pendirian perkumpulan jang sangat berguna itu tidak pula datang dari fihak mereka sendiri. Padahal, lepas dari bantuan para bupati, sedikit sadja jang boleh diharapkan dari pegawai-pegawai kabupaten jang barang tentu sangat tergantung dari fihak atasan.

Untunglah Mas Ngabehi Sudirohusodo bukan orang jang mudah dipatahkan semangatnja. Tetapi belum lagi dimulaikannja mengadakan gerakan baru, telah tersiar kabar dari beberapa sudut, bahwa usahanja itu akan segera dilandjutkan oleh tenaga-tenaga muda. Dua orang jang kemudian mendjadi tabib, Raden Sutomo dan Mas Gunawan Mangunkusumo, waktu itu masih bersekolah di Djakarta, mengumumkan pendirian „Budi-Utomo” pada tahun 1908. Semua peladjar sekolah kepandaian menengah (middelbare vakscholen) menggabungkan diri dalam perkumpulan tersebut dan kemudian diputuskanlah untuk menjerahkan seluruh pimpinan pergerakan jang segera akan dilangsungkan di Jogjakarta, kepada Dr. Wahidin. Sementara itu propagandist kita tiada berhenti mendjalankan rentjananja. Setelah selesai mengadakan rapat-rapat persediaan dengan pendiri-pendiri di Djakarta, iapun bertolak lagi dari tempat ketempat, sehingga segera djuga persiapan kongres dapat disudahi. Siapa dahulu turut mengundjungi kongres jang pertama itu, pasti ta’ kan dapat melupakan, betapa tjakapnja Dr. Wahidin selaku ketua kongres memikat dan menguasai seluruh rapat dengan pidato pembukaannja. „Bangsa Djawa menghadapi hari gemilang”, demikian udjarnja. Hal itu dibuktikan dengan mengupas perdjalanan sedjarah. Kata-kata Dr. Wahidin itu menjalakan keberanian serta memperteguh kepertjajaan para tjendekiawan kita, jang hadir serta memperteguh kepertjajaan para tjendekiawan kita, jang hadir pada saat itu. Maka ta’ dapat disangkal lagi, dialah sesungguhnja pembawa suara bahagia: hidupnja tjita-tjita kebangsaan. Tatkala kongres bubar, segera dimulaikan orang mengadakan gerakan jang teratur. Demikian maka tumbuhlah pergerakan kebangsaan dengan Dr. Wahidin sebagai Bapanja.

Pabila kini rangkaian kedjadian jang lampau itu kita kenangkan kembali, satu demi satu, maka terbajanglah Dr. Wahidin dalam pikiran kita, djiwa besar jang memisahkan waktu jang silam daripada masa jang akan datang.

Dokter dan dukun, kawan dan pengetua jang ulung.

Adapun kekuatan besar, jang senantiasa memperteguh semangat Dr. Wahidin dalam segala perdjuangannja, jalah tjinta jang dalam terhadap bangsanja. Dan kita jakin tjintanja itu pasti akan meliputi seluruh umat manusia, pabila kebetulan bangsanja bukannja golongan jang tertindas. Maka sesungguhnjalah tjinta, jang memberi kekuatan kepadanja itu, adalah tjinta kepada sesama manusia. Masih perlulah kiranja orang bertanja-tanja, apakah Dr. Wahidin sebagai tabib dapat memenuhi sjarat-sjaratnya?
''18 Agustus 22 Desember 1930 Perkara P.N.I. dimuka hakim di Bandung. 4 terdakwa: Ir. Soekarno, Maskun, Gatot Mangkupradja, Soeprijadinata, dengan para pembelanja: Mr, Sartono, Mr. Soejoedi dan Mr. Sastromoeljono.


Tuduhan hakim-kolonial :
„het deelnemen aan een vereeniging, welke als oogmerk heeft het plegen van misdrijven, alsmede wegens „het zich opzettelijk” uiten in woorden, waarin verstoring der openbare orde en omverwerping van het in Nederlands-Indié gevestigde gezag wordt aangeprezen”.


Ponis hakim-kolonial :
Ir. Soekarno 4 tahun
Gatot Mangkupradja 2 tahun.
Maskun 1 tahun 8 bulan.
Soeprijadinata 1 tahun 3 bulan. Dengan singkat telah kita tuliskan diatas, bahwa ia pernah mendjadi guru-bantu pada sekolah Dokter-Djawa di Djakarta. Kemudian setelah ia berkedudukan di Jogjakarta, seakan-akan seluruh penghargaan dan kepertjajaan penduduk ditumpahkan kepadanja, karena orang menjaksikan sendiri, bahwa Dr. Wahidin menganggap pekerdjaan tabib itu sebagai panggilannja. Terutama terkenal sekali ketjakapannja, dan jang lebih penting lagi dikalangan Djawa, sikapnja tiada bertjela. Djika orang-orang kaja memandang dia sebagai seorang tabib, jang dapat menjembuhkan segala penjakit, maka bagi si miskin ialah seorang jang besar kasih sajangnja serta ta’ pernah menghitung diri. Tidak sedikit djasanja dalam hal memadjukan tjara pengobatan modern dikalangan penduduk jang paling kolot. Kalau dalam mengedjar kesehatan biasanja harus ada paksaan dari atas, maka dengan sangat mudahnja Dr. Wahidin senantiasa berhasil mejakinkan penduduk untuk melakukan hal-hal, jang berhubungan dengan kesehatan.
Sebuah tjontoh daripada daja pengaruhnja kita saksikan dibawah ini. Seorang puteri bangsawan kolot, jang mendapat gangguan penjakit kepala pening dan ta’ berhasil menolaknja dengan obat-obatan buatan sendiri, memanggil Sudirohusodo, tabib jang tersohor itu. Dr. Wahidin pun datang. Resep ditulisnja dan ia berpesan: „Minumlah dari obat itu, tiap hari tiga kali sesendok teh”. Setelah Dr. Wahidin pergi, puteri tersebut memasukkan kertas berisikan tulisan jang ta’ dapat difahamkannja tadi, kedalam mangkuk putih berisikan air. Kemudian air jang pada pendapatnja telah disutjikan itu diminumnja, tiap hari tiga kali

Bersatu dalam front anti pendjajahan.

sesendok teh. Demikian djuga selalu diperbuat dengan kertas berchasiat dari para dukun. Pada hari jang ketiga Dr. Wahidin datang dan mendjumpai „patient”nja dalam keadaan sehat-wal'afiat. Seminggu kemudian patient jang sangat berterima kasih itu, mengirimkan tigaekor ajam besar bewarna hitam kerumah Dr. Wahidin. Itulah semua ajam jang biasanja disadjikan dalam selamatan dan selalu mendjadi hak milik sidukun.

Lebih-lebih dimusim penjakit berdjangkit, Dr. Wahidin djugalah satu-satunja tenaga jang paling dibutuhkan. Sedangkan tabib-tabib bangsa Eropah, ja,bahkan tabib-tabib Djawa lainnja sekalipun sering dipersukar, kalau hendak memasuki kampung jang terserang penjakit, maka kundjungan Dr. Wahidin selalu disambut dengan suka-gembira dan tiap orang melakukan segala petundjuknja.

Terkenal dan sangat digemari orang segala tulisan Dr. Wahidin dalam madjallah „Guru-Desa”; demikian juga halnja dengan pidato-pidato, jang dengan bantuan fihak atas sering diutjapkan pada rapat-rapat jang dikundjungi oleh rakjat. Tempat demi tempat dikundjunginya, semata-mata hanja untuk mengingatkan penduduk, apa jang harus dilakukan dalam keadaan bahaja penjakit. Dalam hal ini Surabaja pun ta' ketinggalan mendatangkan dia.


Tidak sempat beristirahat.

Sekali terpikir oleh Dr. Wahidin. — jang dalam usia landjut masih terlampau banjak pekerdjannja. — akan berangsur-angsur mengundurkan diri dan achirnja hendak menempuh hidup jang lebih tenang dan tenteram. Maka dipanggillah anaknja jang laki-laki jang bernama Mas Suleman, seorang dokter-djawa djuga, untuk diserahi segala pekerdjaan ketabiban. Selandjutnja ia sendiri berhasrat akan terus berhamba kepada keluarga Sri Paku-Alam, karena selain mendjadi tabib-pura, sedjak dahulu ia merangkap mendjadi penasehat umum dan mendjadi sahabat karib dari Pangeran Notodirodjo. Dalam pada itu ia masih sanggup datang kesana-sini, terutama kalau pertolongannja sangat dibutuhkan. Dr. Suleman datang, dan tinggal mendjadi bagiannja, karena tiap kali datang suruhan dengan permintaan, agar „dokter jang tua” suka datang. Bukan sadja penduduk asli, bahkan penduduk Tionghoa sekalipun lebih menjukai dia daripada tabib-tabib lainnja. Dan sekali orang memilih dia sebagai dokter, akan tetaplah ia berobat kepadanja. Ja, bagi kebanjakan orang ia bukan sadja seorang tabib, bahkan terutama seorang teman, jang sangat dipertjajai dan dihormati. Agaknja tiada mengherankan lagi, bahwa ia pernah dipanggil oleh suatu keluarga Tionghoa, karena Tuan dan Njonjah saling bertengkar dengan hebatnja. Dan waktu Dr. Wahidin kehilangan seorang anaknja perempuan, jang kemudian dimakamkan di Mlati, maka berdujun penduduk Tionghoa mengundjungi tempat jang djauh itu, sekedar untuk memberi penghormatan jang terachir. Seorang diantara mereka menjatakan dengan kata-kata jang keluar dari hati sutjinja, betapa besar arti Dr. wahidin bagi seluruh masjarakat Tionghoa di Jogjakarta.

Meskipun orang-orang pada umumnja mengerti, bahwa dokter jang tua itu perlu beristirahat, namun Wahidin tetap mendjadi tabis sampai pada hari-hari achirnja, terutama disana, pabila orang sangat membutuhkan pertolongannja.


Ahli Kebudajaan dan Seniman.

Tinggallah kini pada kita untuk menghormat Dr. Wahidin sebagai seorang ahli kebudajaan Djawa dan sebagai orang jang penuh berbakat seni. Diantara kaum tjendekiawan kita dewasa ini boleh dikata hanja seorang dua sadja jang telah berhasil menjelami djiwa kebudajaan bangsanja seperti pernah diselami oleh Dr. Wahidin. Ahli-ahli bahasa serta ahli-ahli bangsa dari Eropah jang untuk keperluan penjelidikannja datang sendiri mengundjungi pusat tanah Djawa akan dapat menjatakan betapa dalam dan luas pengertian Dr. Wahidin tentang Nusa dan Bangsanja. Sebagai seorang Djawa jang mentjapai kemadjuan setjara Barat; akan tetapi dalam segala hal masih tetap seorang Djawa, Dr. Wahidin adalah satu-satunja jang dapat menuntun kaum tjerdik pandai bangsa Barat mendjelang alam pikiran Djawa jang sukar difahamkan itu.

Sebagai seorang ahli musik Dr. Wahidin tjakap memainkan semua alat gamelan dan hafal olehnja segala tjiptaan gending lama dan baru. Pada sebuah tempat jang tertentu diruangan pendapanja, selalu tersedia alat-alat gamelan, siap-lengkap untuk seketika dimainkan. Djuga sebagai dalang ialah jang terbaik diantara penggemar-penggemar dalam kesenian di Jogjakarta; hanja seorang dalang sadjalah lebih digemari dan lebih terkenal dari dia. Oleh karena itu seringlah benar Dr. Wahidin mendapat kesempatan, untuk mempertundjukkan ketjakapannja jang berdjenis-djenis itu.

Penghormatan dan penghargaan, para tjendekiawan.

Mas Ngabehi Dr. Wahidin Sudirohusodo njata benar seorang jang luar biasa dalam masjarakat Djawa. Kebanjakan kaum tjendekiawan kita mengenal dia dari dekat, karena orang selalu bangga dapat berdjabatan tangan dengan dia. Dalam bulan Puasa, pabila orang-orang pergerakan banjak jang singgah di Jogjakarta untuk mengundjungi rapat-rapat, maka dapat dipastikan rumah Dr. Wahidin mendjadi pusat pertemuan ramah-tamah. Disanalah berulang-ulang telah tertambat tali persaudaraan antara pelbagai kaum nasionalist kita, karena memang selalu diusahakan oleh Dr. Wahidin untuk mempertemukan segala tenaga jang berguna bagi gerakan kebangsaan Indonesia.

Begitupun peladjar-peladjar sekolah menengah jang telah dapat menginsafi tugas kewadjibannja terhadap Nusa dihari depan, semuanja menganggap suatu kehormatan dapat berhadapan sendiri dengan Dr. Wahidin, serta dapat mendengarkan wedjangannja jang bidjaksana. Dihari-hari liburan sering kita lihat Dr. Wahidin sebagai seorang bapa dan teman dikerumuni oleh pemuda-pemuda H.B.S., Artsenschool, Landbouw dan Veeartsenscholen, Kweek - dan Opleidingscholen, d.l.l. Kata-kata diutjapkan oleh Dr. Wahidin senantiasa memberi kesan jang dalam kepada pemuda-pemuda tersebut.

Sesungguhnjalah, Dr. Wahidin adalah pemimpin jang paling disukai dalam pergerakan kebangsaan di waktu itu. Kaum nasionalist kita dengan tjoraknja masing-masing memandang kepadanja sebagai kepada seorang saudara tua jang bidjaksana dan jang selalu dibutuhkan petundjuk-petundjuknja. Bahkan mereka jang melihat keketjewaan „Budi-Utomo” dan achirnja berdjoang dibawah pandji „Indische-Partij” atau „Sarikat India” jang revolusioner itu, tiada sekali-kali djuga memutuskan hubungan dengan Sudirohusodo, pendorong dan pelopor gerakan kebangsaan...........

Semoga segala pikiran jang baik mengantarkan dia dalam perdjalanannja kealam baka. Amin.

Pendorong usaha perekonomian.

Dr. Wahidin Sudirohusodo bukan sadja seorang ahli kebudajaan, penggemar gending, tari dan wajang, seorang perintis persuratkabaran dan pengadjaran, dia sangat mementingkan pula so’al ekonomi pada umumnja. Sudah disebutkan dimuka tentang penerbitan madjallah „Guru Desa” oleh Budi-Utomo, jang dipimpin sendiri oleh Bapak Wahidin. Madjallah tsb. bermaksud mendidik rakjat didesa-desa kearah kesadaran sosial pada umumnja, misalnja dalam segala so'al kesehatan, tetapi tiap-tiap nomor madjallah itu memuat pelbagai nasehat dan pengadjaran tentang perekonomian djuga. Ilmu pertanian, perdagangan, koperasi dll. sebagainja, setjara populer agar mudah dimengerti selalu terdapat didalam madjallah tsb.

Teringat disini pada saja, bahwa sudah lama sebelum ada pergerakan, kira-kira tahun 1895, Dr. Wahidin mendirikan paberik-sabun setjara ketjil-ketjilan. Boleh djadi usaha itu semata-mata untuk mendorong rakjat kearah hidup ekonomi setjara baru, untuk mengadjarkan pada rakjat tjaranjan membikin sabun; boleh djadi hanja sebagai „experiment”. Bagaimanapun djuga perusahaan industri sabun tadi tidak hidup landjut.

H.O.S. TIOKROAMINOTO,
Pengasuh-politik Bung Karno.

Keturunan Dr. Wahidin.

Sudah mendjadi kebiasaan, orang ingin mengetahui asal-usul keturunan seseorang, jang mempunjai sifat-sifat jang luar biasa. Begitulah banjak orang ingin tahu akan hubungan sifat pribadi Dr. Wahidin Sudirohusodo dengan darah jang mengalir dalam tubuh djasmaninja. Siapakah gerangan orang-orang, jang menurunkan dia, Wahidin, seorang anak-desa di kaki gunung Merapi, jang kini menarik perhatian seluruh rakjat Indonesia itu? Pabila kita melihat tubuh dan wadjahnja, jang berbeda dengan tubuh wadjah seseorang dari lapisan rakjat djelata umumnja, tentulah kita mudah dapat sangkaan bahwa pastilah dr. Wahidin bukan seorang jang berdarah Djawa-murni. Mungkin dia berketurunan Hindu-Djawa, sama dengan kebanjakan orang-orang bangsawan di Djawa, Bali, dan lain-lain daerah kepulauan kita Indonesia, jang pernah mendjadi pusat kolonisasi Hindu-didjaman purba.

Sangkaan tentang adanja darah bertjampur dalam baju2 dan djantung sanubari dr. Wahidin, timbul pula berhubung dengan adanja teori dalam ilmu-keturunan, jang antara lain mengadjarkan sering terdapatnja kemadjuan hidup tumbuh rochani dan djasmani, bila dua djenis bangsa bersua dalam perkawinan, jang menurunkan.

Marilah kita menindjau asal-usul Wahidin Sudirohusodo — dan keluarganja — agar sangkaan-sangkaan tadi dapat kita simpulkan mendjadi ketetapan, untuk memuaskan mereka jang ingin mengetahuinja, pun untuk melengkapkan „documentasi” sedjarah bangsa kita sedjak 2 Mei.

Turunan Daéng Kraeng Nobo.

Sangkaan, bahwa dr. Wahidin bukan seorang jang berdarah Djawa murni, sungguh benar. Salah seorang jang menurunkan dia jalah Daéng Kraeng Nobo, seorang bangsawan Mangkasar, golongan pradjurit, jang dalam djaman Mataram ke-II (Mataram-Islam) dengan pasukannja mendarat di Djawa, karena huru-hara dalam negeri di Sulawesi Selatan memaksa dia menghindarkan diri ke Djawa, untuk mentjari bantuan ketentaraan, Di Mataram Daéng Kraeng Nobo dapat menghadap Sri Sultan sendiri, jaitu Sunan Mangkurat Tegal-arum, jang ingin menggunakan tenaga sang Hulubalang Bugis itu, karena Mataram kala itu sangat terdesak oleh pasukan-pasukan pemberontakan sang Trunodjojo. Demikianlah keadaan memaksa Daéng Kraeng Nobo ikut bertempur, sebagai pemimpin Pasukan Bugis di Mataram.

Bersangkutan dengan masuknja Kraeng Nobo dalam tentara Mataram itu ditjeriterakan pula, bahwa saudara~mudanja, djuga seorang pemimpin pradjurit Bugis, bernama Daeng Aru Palaka , dan jang lebih dahulu datang ke Djawa dengan maksud jang sama, setibanja di Mataram, tidak langsung menghadap Sri Sultan, melainkan terus menjerahkan diri kepada Trunodjojo dengan sangkaan, bahwa inilah Sultan Mataram. Karena djasa-djasanja, maka kemudian Aru Palaka mendjadi anak menantu sang Trunodjojo.

Adapun Sultan Mangkurat memberi titah kepada Kraeng Nobo, untuk menarik saudara mudanja, Aru Palaka, kedalam tentara Mataram. Karena usaha itu berhasil, maka Kraeng Nobo kemudian mendapat hadiah sebidang tanah jang luas dikaki Gunung Merapi, serta dapat bernikah dengan seorang puteri bangsawan. Ksatrya Bugis dan puteri Mataram inilah jang kelak menurunkan dr. Wahidin Sudirohusodo. (Tentang Daeng Aru Palaka ditjeriterakan, bahwa kemudian dia dapat dipegang kembali oleh Trunodjojo dan dihukum mati menurut adat-perang).

Hubungan dengan Famili Kahle.

Keterangan tentang asal-usul Dr. Wahidin seperti tertera diatas tadi, ialah jang kami dapat dari Dr.Ra djiman Wedyodiningrat seorang saudara Sepupu Wahidin Sudirohusodo, jang kini masih ada ditengah-tengah kita, hidup sebagai orang-tani di Walikukun anggauta „Dewan Pertimbangan Agung”. Untuk melengkapkan dokumentasi, perlu bagi mereka jang hendak meneruskan penjelidikan tentang Bapak pergerakan nasional itu, maka dibawah ini kami sadjikan sekedar penerangan hal asal-usul Dr. Wahidin, seperti jang kami dapat dalam madjallah „Tanah Air”, No. 3, tahun I bulan Maret 1948, ditulis oleh „Pembantu Istimewa (sdr. Sudarjo Tjokrosisworo?) dan rupa-rupanja sebagai hasil „interview” dengan Dr. Suleman Mangunhusodo, putera sulung Bapak Wahidin, jang kini masih mendjabat tabib dalam Haminte Surakarta.

Menurut interview tersebut, ajah Wahidin adalah seorang „ronggo” didaerah Bagelen, Banjumas. Setamatnja dari Sekolah Djawa di Jogja, Wahidin dipungut oleh tuan Frits Kahle, administrateur-eigenaar onderneming gula di Wonolopo, timur Tasikmadu, daerah Sragen, Surakarta. Frits Kahle tadi adalah ipar ajah Wahidin, karena saudara perempuan Pak Ronggo (djadi bibi Wahidin) menjisihi hidup Frits Kahle sebagai isteri nikah. Wahidin dipungut Frits Kahle itu untuk menemani Hobert, anak Frits Kahle jang sangat bengal dan dungu, Wahidin disekolahkan di „Eropese Lagere School” di Lodji-Wetan, Solo, dan terbuktilah disana, bahwa ia adalah seorang murid jang sangat pintar. Ketika berusia 16 tahun Wahidin sudah tamat sekolah, lalu dimasukkan „Sekolah Dokter Djawa” di Djakarta. Karena Wahidin pandai bahasa Belanda, maka dapatlah ia menambah pengetahuan jang didapatnja dari para dokter-dokter, guru, dengan mempergunakan bahan-bahan ilmu kedokteran dari buku-buku bahasa Belanda. Djaman itu Sekolah Dokter Djawa masih bertingkat rendah dan hanja mempunjai 3 kelas tahunan, sedangkan bahasa pengantar ialah bahasa „Melaju”. Wahidin hanja beladjar 22 bulan, lalu dipandang tjukup pandai untuk mendapat idjazah „Dokter Djawa”. Kemudian Dr. Wahidin pernah mendjabat „Assistentleeraar” pada „almater”nja Sekolah Dokter itu. Dalam madjallah „Tanah Air” tadi dapat kami batja pula, bahwa Dr. Wahidin Sudirohusodo dilahirkan pada tahun 1850 dan meninggal pada tahun 1916.

Selandjutnja menurut interview jang tersebut diatas tadi, Wahidin Sudirohusodo beristerikan seorang wanita Indo, asal Bengkulu dan bernama Feuilletau de Bruyne, Sekianlah tambahan, jang kami kutip dari madjallah „Tanah Air”.

Keluarga Dr. Wahidin.

Mungkin berdasarkan kejakinan „eugenetik”, ilmu kebaikan turunan jang antara lain mengadjarkan guna faedah pertjampuran darah untuk menjehatkan turunan, maka banjak didalam keluarga Wahidin Sudirohusodo itu terdapat perkawinan dengan anggauta-anggauta suku bangsa lain. Setidak-tidaknja adat pernikahan dengan saudara-saudara „misan” atau „mindo” dan sebagainja tidak terdapat. Dr. Wahidin sendiri bernikah dengan seorang puteri „Betawi”. Seorang puteranja, Abdullah Senior, jang terkenal sebagai pelukis jang ulung, bernikah dengan seorang puteri Sunda. Basuki Abdullah Junior, tjutju Wahidin, beristerikan seorang puteri Belanda.

Dr. Wahidin adalah putera seorang tani jang terhormat didesa Mlati dan tjutju Lurah desa tersebut. Salah seorang saudara Bapak Lurah tadi adalah nenek Dr. Radjiman Wedyodiningrat. Disinilah kita lihat, seorang pemimpin jang dalam tahun 1908 ikut mengemudikan „Budi-Utomo”, kemudian terkenal sebagai tabib jang ulung dan tabib-keraton jang berdjasa (hingga dapat kerunia sebutan „Kangdjeng Raden Tumenggung” dari Sri Sunan Paku-Buwono ke-X), djuga terkenal sebagai seorang tjerdik-pandai jang bersemangat filsafat, kini anggauta „Dewan Pertimbangan Agung”, adalah saudara „misan” Wahidin Sudirohusodo, jang sama berketurunan Daeng Kraeng Nobo djuga.

Dr. Wahidin berputera dua orang; jang tertua ialah Dokter Suleiman Mangunhusodo, jang sedjak lama berdjabat „hofarts” di Solo, dan jang kedua ialah marhum Abdullah Sr., seorang pelukis jang terkenal, teristimewa sebagai „aquarellist”.

Banjak orang sudah kenal Basuki Abdullah, seorang pelukis jang ulung pula, teristimewa terkenal sebagai „portretschilder”. Pelukis muda ini adalah putera Abdullah Sr. Jang sangat menarik perhatian pula ialah seorang puteri Abdullah Senior pula, jaitu Nji Tridjoto, isteri Ki Tjokrosuhardjo, dulu berkedudukan di Bandung, kini ada di Jogjakarta. Nji Tridjoto Tjokrosuharto itu sedjak lama terkenal sebagai puteri pemahat-artja jang pertama. Bapak sudah tjiptaan2 Tri Tjokrosuharto jang menarik perhatian para seniman; misalnja artja2 jang menggambarkan Drs. Sosrokartono, jang mewudjudkan seorang puteranja sendiri, borst-beeld Sri Sultan Hamengkubuwono ke VIII, dan lainlainnja. Sebagai diketahui maka monument „Banteng Kurdo” di Madiun, jang memperlambangkan perdjoangan kemerdekaan kita, ddalah tjiptaan serta buah tangan Nji Tridjoto.


PAK WOERJANINGRAT.

Kemerdekaan mungkin dojong,'
jika tak diisi ......

HARI ini — tanggal 20 Mei — adalah hari jang mengandung sedjarah bagi pergerakan kebangsaan Indonesia. Karena setelah mengalami pendjadjahan sadarlah bangsa kita, bahwa djika kita tidak menghimpun kekuatan nasional akan sukarlah bagi bangsa Indonesia dikemudian hari. Kesadaran itu didjelmakan dan pada 20 Mei 1908 lahirlah perhimpunan kita jang pertama-tama jalah Budi Utomo, dipelopori oleh alm. Dr. Wahidin Soedirohoesodo dan digerakkan oleh mahasiswa2 kedokteran dan peladjar-peladjar lainnja.

Memang mula-mula Budi Utomo berdasarkan kebudajaan dan bergerak dalam lapang pengadjaran, karena bangsa kita telah mempunjai kebudajaan jang tidak rendah, sedang kebudajaan adalah ukuran deradjad bangsa, sehingga ta' boleh diabaikan. Adapun hal pengadjaran perlu untuk dapat berlomba-lomba dengan bangsa lain. Maka didirikanlah studie - fonds Darmo Woro.

Walaupun demikian sedjak semula aliran berpolitiek dalam Budi Utomo telah dan senantiasa ada. Karena pada waktu itu dipandang belum saatnja serta belum tjukup bahan-bahannja, pun kaum pendjadjah tentu akan mempersukarnja, maka hal politiek disabarkan dahulu.

Pada permulaan Budi Utomo boleh dikatakan perkumpulan prijaji-prijaji dan peladjar-peladjar serta baru terbatas pada tanah Djawa dan Madura. Akan tetapi makin lama makin meluaskan anggauta-anggautanja. Terdorong oleh keinginan penduduk Bali dan Lombok untuk turut serta dalam Budi Utomo dan dianggap sama kebudajaannja, daerah Budi Utomo diluaskan sampai pada pulau-pulau itu.

Setelah Budi Utomo berdiri lahirlah bermatjam-matjam perkumpulan termasuk perkumpulan kesenian.

Pada tahun 1913 meskipun belum bertjorak politiek, Budi Utomo telah mengadakan National: Congres di Semarang dengan perkumpulan-perkumpulan dan Golongan-golongan terkemuka, untuk menentukan bagaimanakah sikap kita djika negeri Belanda dan negeri kita tersérét dalam kantjah peperangan, jang sungguh meletus pada tahun 1914.

Kesimpulannja karena bangsa kita belum mempunjai kekuatan, maka kita tinggal diam sadja. Pada waktu itu timbul pembitjaraan tentang milisi untuk bangsa kita.

Dalam Congresnja tahun 1915 Budi Utomo membuat resolusi menjetudjui milisi dengan parlemen. Sebab suatu negara ta’ akan kuat djika tidak dibela oleh bangsanja sendiri, dan keadaan negara tidak akan sedjahtera kalau tidak diatur parlemennja sendiri.

Kemudian Budi Utomo turut mengirimkan utusan dalam Panitya Indië Weerbaar kenegeri Belanda untuk menjampaikan resolusi tentang milisi jang harus diadakan dengan putusan parlemen Indonesia. Tetapi belum ada hasil jang memuaskan, selain akan diadakan Volksraad. Maksud Belanda mendirikan Volksraad itu ta’ lain hanja hendak mengumpulkan suara-suara. Djadi bangsa kita belum mempunjai kekuasaan.

Walau maksud milisi tidak tertjapai, namun semangat keperadjuritan sudah berkobar-kobar, sehingga melahirkan gerakan kepanduan dimana-mana. Budi Utomopun mempunjai kepanduan.

Gerakan kepanduan ini disusul oleh adanja bermatjam-matjam perkumpulan keolah-ragaan.

Dengan adanja Volksraad, Budi Utomo lalu masuk politiek, sebab hanja dengan djalan demikianlah Budi Utomo dapat turut memperhatikan kepentingan bangsa dalam segala lapangan serta dapat mentjatat bagaimanakah sebenarnja politiek pendjadjahan itu.

Adapun partai programnja jalah:

  1. pemerintahan demokratis dalam bentuk nasional;
  2. pemilihan umum;
  3. kerdja-sama dengan partai-partai lainnja.

Sampai pada waktu itu sebenarnja Budi Utomo suka menerima self-government, akan tetapi karena tindakan-tindakan Pemerintah masih djauh dari selfgoverment itu, maka dalam Budi Utomo timbul aliran non-coöperatie (tidak suka kerdja-sama dengan Pemerintah).

Sidang P.N.I - 1929

Meskipun Budi Utomo berpolitiek, akan tetapi tidak lupa kebudajaan, malahan memadjukan djalan kebatinan (moreel) sebab moreel jalah sjarat jang terpenting untuk persatuan.

Setelah mengetahui banjak,dan bermatjam-matjam perkumpulan jang dapat memetjahkan persatuan, sedang Budi Utomo insaf, bahwa kekuatan kita jang djitu adalah persatuan, maka Budi Utomo senantiasa berusaha menjatukan perkumpulan-perkumpulan (federasi). Mula-mula mengadakan Nasional Komite jang terdiri dari:

  1. Serekat Islam;
  2. Budi Utomo ;
  3. Perkumpulan Bangsawan Solo dan Jogya;
  4. Perkumpulan Bestuursambtenaren.

Akan tetapi tidak tahan lama.

Kemudian setelah Volksraad berdiri Budi Utomo turut dalan Radicale Concentratie jang terdiri dari:

  1. I.S.D.P.
  2. Serekat Islam ;
  3. Insulinde ;
  4. Budi Utomo.

Dalam tahun 1927 mendjadi anggauta P.P.P.K.I. (Persatuan Partai Politiek Kebangsaan Indonesia) jang terdiri dari:

  1. P.S.I.I.
  2. Indonesische Studieclub ;
  3. P.N.I.
  4. Serekat Sumatera ;
  5. Pasundan ;
  6. Budi Utomo.

Dalam tahun 1928 Budi Utomo meluaskan tudjuannja, jalah mempersatukan bangsa Indonesia, maka daerahnja bertambah luas meliputi seluruh Indonesia.

Dari semula ketika masih berdasarkan kebudajaan sampai pada waktu berpolitiek Budi Utomo tidak lupa memperhatikan keadaan dan kedudukan desa, karena mengetahui bahwa desa adalah sendi masjarakat kita. Ini terbukti dengan dibuatnja pedoman untuk Guru Desa.

Pada tahun 1929 Budi Utomo mengadakan Nationaal Onderwijs Congres jang kemudian mendjadi P.P.I. (Permusjawaratan Pengadjaran Indonesia) jang berusaha menjatukan perkumpulan-perkumpulan jang mempunjai sekolahan.

Oleh karena adanja federasi perkumpulan-perkumpulan tadi belum memuaskan dan banjak perkumpulan jang azas-tudjuannja sama masing-masing berdiri sendiri-sendiri, maka timbullah suatu idee untuk melebur perkumpulan-perkumpulan itu mendjadi satu perkumpulan (fusi). acs Asse—bu)

Dalam tahun 1923 terdjadilah fusi antara perkumpulan-perkumpulan:

  1. P.B.I. (Persatuan Bangsa Indonesia);
  2. Budi Utomo;
  3. Tirtajasa;
  4. Serekat Sumatera;
  5. Partai Serekat Selebes

dengan nama PARTAI INDONESIA RAJA, Budi Utomo, P.B.I., dll. sama ichlas meleburkan diri, tidak ada ketjurigaan, jang dilihat hanja zakelijk, maka berdjalan dengan lantjarnja. Anggauta-anggauta pengurus jang ta'dipilih, tidak merasa suatu apa, sedang jang dipilih sama terus bekerdja dengan giatnja. Dengan lahirnja PARINDRA ini dinjatakan dengan terang-terangan azas-tudjuannja jalah:

  1. Satu bangsa — BANGSA INDONESIA,
  2. Satu tanah air — TANAH AIR INDONESIA,
  3. INDONESIA MERDEKA.

Pun menetapkan bendera Merah Putih mendjadi bendera kebangsaan, lagu INDONESIA RAYA — tjiptaan Saudara W.R. Supratman — sebagai lagu kebangsaan dan memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

PARINDRA mempunjai suatu barisan jalah Surya Wirawan dan hampir seluruh Indonesia ada tjabang dari PARINDRA.

Untuk memadjukan desa disempurnakannja bagiannja Rukun Tani jang sangat berfaedah bagi Rakjat desa umumnja dan jang mempunjai anggauta beribu-ribu djumlahnja. Pun PARINDRA melindungi vakverenigingen, sedang hal politiek — oleh karena berhubungan dengan umum — didjalankan oleh PARINDRA.

Djadi teranglah sudah bagi kita semua, bahwa Budi Utomo menanam bahan-bahan untuk tjita-tjita Indonesia merdeka, dan tjita-tjita Indonesia merdeka ini berwudjud dalam PARINDRA.

Pada tahun 1941 Djepang datang, memerintahkan semua perkumpulan — termasuk PARINDRA — dibubarkan. Meskipun demikian djiwa keberanian untuk merdeka telah berkobar, menjala-njala didalam dada bangsa Indonesia.

Menurut riwajat jang saja uraikan dimuka terang dan ta' dapat dimungkiri lagi, bahwa kemerdekaan jang kita tjapai sekarang ini adalah hasil pergerakan kebangsaan, dimulai sedjak didirikannja perkumpulan kita jang pertama Budi Utomo.

Berdirinja Negara kita sekarang telah sesuai dengan tjita-tjita kebanjakan pergerakan kebangsaan, ja'ni merdeka, negara kesatuan. Hanja tinggal bagaimana mengisinja agar dapat sentausa, makmur, aman dan tenteram. Sebab djika ini tidak tertjapai, kemerdekaan mungkin dojong.

Apa jang saja sebutkan diatas - hemat saja — tergantung pada kesatuan perdjoangan kita sendiri. Telah terbukti dalam riwajat-riwajat banjak negara jang mula-mula kuat mendjadi surut atau djatuh. Sebaliknja negara jang tadinja lemah mendjadi kuat. Riwajat ini patut kita peladjari supaja kita tidak djatuh dalam keadaan jang kurang sejogya.

Menurut pemandangan saja, keadaan jang kurang sejogya itu ta’ hanja kurang memperhatikan kelahiran sadja melainkan djuga kurang memfikirkan kebatinan. Djika pemandangan saja ini benar, tepatlah sudah seperti kehendak Pemerintah, kita dewasa ini mengedjar pembangunan. Dalam pada itu kita djangan sampai melalaikan dasar-dasar kebatinan kebudajaan kita.

Sesungguhnja menurut sedjarah serta bukti-buktipun ada, ta' hanja kita sendiri, bangsa lain djuga ada jang mengatakan bahwa kebatinan bangsa Indonesia adalah baik dan sesuai dengan keadaan alam, sehingga dapat dikatakan Kehendak Tuhan atau telah mendjadi hukum alam.

Sudah barang tentu saja ta' dapat tidak senang dan gembira, bahwa PARINDRA — partai politiek kebangsaan — jang pernah saja pangku bangun kembali. Menurut zaman ini partai kebangsaan perlu ada. Djika tidak bangsa kita akan mumed diombang-ambingkan, tersérét kian kemari oleh gelombang aliran. Selain dari itu PARINDRA adalah pendjelmaan atau pertumbuhan dari Budi Utomo. Djadi walaupun berpolitiek tentu tidak akan mengabaikan kebatinan dalam kebudajaan kita. Ini adalah kekuatan jang djitu. Pun PARINDRA — ja'ni Partai Indonesia Raya — perkataan RAYA ini politis amat luas.

Suatu partai kebangsaan ta’ dapat diperbudak, malahan dapat fanatiek dan mendjadi — isme. Inilah jang perlu kita ingati, sebab sering-sering mendjadi adigang-adigung, kurang humaniteit dan dynamis.

Bagi saja sendiri tidak chawatir djika bangsa kita mendjadi fanatiek, karena kebudajaan kita adalah ke-Tuhanan. Ke-Tuhanan dalam kebudajaan kita sudah terang, semua manusia ada benih satu. Hanja karena perbedaan keadaan tanah air maka manusia berbeda-beda. Pun semua jang tersebut dalam Pantjasila sudah termasuk Ke-Tuhanan dalam kebudajaan kita. Didesa-desa jong, rukun, damai, prasadja (suka berterus terang), gastvrijheid, masih hidup berkobar. Maka bangsa kita disebut bangsa jang tidak rendah dan dapat menjesuaikan diri. Disini bukan tempatnja menguraikannja lebih landjut.

Adapun andjuran saja kepada PARINDRA jang baru bangun ini, oleh karena keadaan sudah berlainan, ja'ni kita telah merdeka, pendjajahan sudah lenjap, sehingga kita berhadapan dengan kita sendiri dan ta' boleh tidak berhubungan dengan internasional, maka hendaknja tudjuan, sikap, dan sepak-terdjang PARINDRA diobah, disesuaikan.

Harapan saja supaja PARINDRA mendjalankan politiek jang waardig. Djauhkanlah segala sesuatu jang dapat mengakibatkan dojongnja kemerdekaan. Ingatlah pada pemimpin-pemimpin jang telah mendahului kita, ja'ni almarhum Dr. Soetomo dan Thamrin.

Pada waktu itu walaupun PARINDRA mendjalankan politiek, akan tetapi tidak lupa realiteit. Sentimentpun dipakai djuga, karena ini adalah kekuatan jang besar, akan tetapi harus dipimpin oleh redelijkheid dan bidjaksana.

Seperti telah saja sebutkan tudjuan PARINDRA Indonesia merdeka, tetapi bukanlah tjita-tjita jang terachir. Tjita-tjita terachir dari PARINDRA ialah „hidup mulja bangsa Indonesia”.

Meskipun PARINDRA dapat berdiri lagi, tetapi djangan lupa mengambil initiatief untuk sedapat mungkin berfusi dengan partai-partai jang azas-tudjuannja sama. Sebab banjaknja kepartaian dapat membingungkan Rakjat dan menimbulkan perpetjahan.

Maafkanlah beribu maaf, sekarang saja ta’ dapat memangku PARINDRA lagi berhubung dengan keadaan badan dan usia saja. Dalam keadaan seperti saja ini, tepatnja hanja sedapat-dapat „heneng”. Tetapi saja siap sedia akan membantunja.

Sebagai penutup uraian saja ini, mengingat negara kita merdeka masih muda, mengingat keadaan dunia masih sama ruwet, mengingat pula bahwa PARINDRA bangun kembali, maka pudji-doa saja simpulkan dalam sembojan perkumpulan kita jang pertama, ja’ni Budi Utomo, jang saja pandang tepat, berbunji :

Santosa waspada anggajuh utomo.

Wage Rudolf Supratman, pentjipta
Lagu Kebangsaan INDONESIA RAJA.

„Kalau tidak ada perdjoangan Rakjat jang 40 tahun itu, kita tidak akan dapat mentjapai atau memproklamirkan kemerdekaan kita pada tgl. 17 Agustus 1945 itu;”

(Drs.Moh. HATTA).

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia karena penciptanya telah meninggal dunia lebih dari 70 tahun yang lalu atau dipublikasikan pertama kali lebih dari 50 tahun yang lalu. Masa berlaku hak cipta atas karya ini telah berakhir. (Bab IX UU No. 28 Tahun 2014)