Halaman:Babad Jaka Tingkir, Babad Pajang.pdf/84

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Diriku adalah Gustiku, beliau yang disembah-sembah dan beliau pula yang dipuji-puji. Akan halnya kenyataan-kenyataan itu, wajiblah kita waspada dan berhati-hati dalam mendalami dan menghayati arti kesempurnaan hidupnya. Hidup yang dikatakan "waluya-jati," tak berbeda dengan "jatining agesang" (Yang dinamakan kehidupan yang sesungguhnya, adalah mereka yang hidup menerima, menghayati akan kemulyaan yang sejati dalam hidupnya).

Dia tak akan kena pati, dia tak akan mati.Pada dirinya, selembar bulunya pun tak ubahnya dijadikan sarana pangkal-tolak menyembah dan memuji. Itulah yang dinamakan sembah-puji, jika demikian keadaan manusia itu baginya tidak berbusana pun tak akan susah, kalaupun tak makan hatinya tetap senang, kalau dihina dirinya bukan kepalang sukacita hatinya. Kalau ancaman dan bahaya mendatangi diri, mati akan merenggut nyawanya dia akan tetap tersenyum menghadapinya. Pada dirinya tak ada sama sekali rasa was-was apalagi takut, hanya kesentosaan jiwa lahir maupun batinnya yang ada pada diri manusia seperti itu. Namun kalaupun mendapatkan rahmat dari Tuhan Yang Mahakuasa, dia pun tak akan merasa bersukacita yang berlebih-lebihan. Apapula kalaupun dirinya disanjung-sanjung, sama sekali dia tidak akan merasakannya sanjungan itu. Bahwa sesungguhnya manusia itu tak wenang akan menolak, akan datangnya bahagia, celaka, sakit maupun mulya. Jika manusia tersandang salah satu dari yang saya sebutkan tadi, wenangnya hanya "menerima." Sebab kesemuanya itu merupakan "ganjaran" (pemberian) dari Gusti (Tuhan Yang Mahakuasa).

Hanya Gusti yang langgeng hidupnya, hidup yang sesungguhnya tak dapat pula disamakan dengan "berbudi." Manakala manusia itu sudah menghayati akan "pupusing-rasa" (sari-sarinya, rasanya dari rasa), dialah yang boleh dikatakan sudah memegang rasa

yang sejati. Sebab akan halnya "rasa yang sejati" jangan keliru, bukan pula diartikan rasa enam jenis rasa dan juga bukan rasa yang dirasakan dengan lidah. Tidak pula diartikan rasa yang terasakan oleh hati, rasa dari pikiran yang bekerja, rasa dari badan yang merasakannya, bukan rasa hati dari hasil orang memperbincangkan dirinya, bukan pula rasa yang diderita manakala sakit, dan rasa

82