Halaman:Babad Jaka Tingkir, Babad Pajang.pdf/83

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

apalagi rusaknya sarak Rasul. Segera diperentahkan menjemput Pangeran Sitijenar, utusan kembali beserta Seh Sitijenar.

Segera Sunan Derajad memerintahkan kepada Sunan Kudus untuk menanyai Seh Sitijenar, "Yang terhormat (maha pinundhi) Seh Sitijenar, akan halnya perbuatan anda yang selalu berlawanan dengan sarak agama Rasul, maupun dalil, kadis, ijemak dan kiyas itu sungguh sangat disayangkan. Namun kalau anda berhenti bertingkah dan berbuat semaunya sendiri, maaf bagi anda. Namun kalau nyata-nyata anda masih bersikeras dalam maksud anda untuk melanggar ketentuan-ketentuan agama, kukumulah yang akan anda terima."

Seh Jatimurti atau Pangeran Sitijenar menjawab disertai senyum kegirangan, "Sungguh suatu kebahagiaan yang terlimpah padaku, suatu anugerah yang tiada bandingannya. Sesuatu yang di dunia ini jauh lebih berharga, lebih indah di alam sair-kabir. Akan kehendak dan maksud Jeng Sunan Derajad berkenan memaafkannya atas ulah dan tingkahku yang dianggap melanggar dan bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum agama saya mengucapkan terimakasih. Bahwa sesungguhnya beliau Jeng Susunan Derajad adalah Wali-agung junjungan saya, lagipula terucap rasa terimakasihku beliau sudah berkenan "mengeman" (menyelamatkan) kehidupanku ini dari hukuman yang akan dijatuhkan pada diriku.

Namun apapun alasannya tuduhan-tuduhan yang dilimpahkan kepadaku, tetaplah aku mempertahankan akan pendirianku. Sebab bagiku amat hina mengingkari kata-kata yang telah terucapkan dari mulutku. Bahwa sesungguhnya diriku ini tak lebih dari seorang "kawula" (umat Tuhan), bertingkah sekedar hanya atas "kehendak Gusti" (Tuhan Yang Mahaesa). Apa yang dipikirkan manusia, apa yang didengarnya, apa yang dilihatnya, bertingkah, berulah, berkata-kata, bertindak benar dan luput kesemuanya itu juga atas kehendak Tuhan Yang Mahaesa.

Tak ubahnya apa yang terjadi pada diriku, bahwasanya luluhlah sudah diriku bersatu dengan sang pencipta. Tak ada lagi aku, yang ada hanyalah beliau si pencipta kehidupan ini. Kawula sudah tidak ada, yang adapun hanya Gustinya. Sebab kehidupanku bukan milikku, Gustilah yang menjadi pemiliknya.

81