Halaman:Babad Jaka Tingkir, Babad Pajang.pdf/118

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

nemui adiknya Kyai Ageng Pengging.

Bertemulah sudah Kyai Ageng Tingkir dan adiknya ialah Kyai Ageng Kebokenanga, dan setelah dipersilakan duduk Kyai Ageng Tingkir segera memulai pertanyaannya, "Adinda Kyai ageng Pengging, bukankah yayi (dinda) dipanggil untuk menghadap Sultan Bintara di Demak? Mengapa pula adinda tak mau seba, apakah sebabnya?" Kyai Ageng Pengging dengan lemah lembut menjawab pertanyaan kakaknya Kyai Ageng Tingkir, "Kakanda Kyai Ageng Tingkir, apa gunanya dinda ini orang desa. Mengapa pula Sultan Bintara memanggilku, apa pula gunanya aku ini bagi seorang Sultan? "Kyai Ageng Tingkir menyapanya, "Adinda Kyai Ageng Kebokenanga, mengapa pula dinda enggan untuk memenuhi dawuh timbalan Sultan Bintara itu? Bagaimana pula nanti jadinya, tidakkah dinda mengakui bahwa Pengging dan Tingkir itu termasuk di bawah kekuasaan Demak? Setidak-tidaknya tanah-tanah Pengging yang kau diami ini bukankah pula termasuk kekuasaan Demak? Bahkan Ratu Demak itu menguasai seluruh Tanah Jawa, bukankah demikian kenyataannya?"

Kyai Ageng Pengging menanggapinya dengan kata-kata yang lembut dan sareh, "Kanda Kyai Ageng Tingkir, segala bumi ini tak ada lain yang memiliki dan menguasai kecuali Allah. Maksudnya apa memanggil orang dusun seperti dinda ini", selanjutnya masih juga Kyai Ageng Tingkir mengejar dengan pertanyaan-pertanyaannya. "Dinda Kyai Ageng Pengging, janganlah kau hanya bersikeras saja. Coba bayangkan akan segala kemungkinan yang akan terjadi padamu, waspadalah akan bahaya yang akan mengancam akan keselamatan dinda.

Dinda, sesungguhnya bagaikan kelenting tempat masin (sejenis asinan ikan) dinda itu, bagaimana pula masih juga terasa (tercium) akan baunya, tidak akan hilang. Dinda Kyai Ageng Kebokenanga adalah cucu dari Raja Agung Majapahit Prabu Brawijaya, lagipula dinda putra seorang prajurit perkasa, perwira, tangguh apalagi sakti. Tidak mustahil ayahanda diambii menantu oleh Prabu Brawijaya. Dirimu itu, bagaikan bau yang belum juga hilang, andaikan bunga belum juga layu.

116