Lompat ke isi

Wayang Cina-Jawa di Yogyakarta/Bab 1

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

BAB I
LATAR BELAKANG

A. Sejarah

Tidak lama setelah Perjanjian Gianti ditanda-tangani pada tanggal 13 Pebruari 1755, Kanjeng Pangeran Aryo Mangkubumi dinobatkan menjadi raja pertama Kesultanan Mataram dengan gelar lengkap, Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Abdur Rahman Sayidin Panatagama Kalifatulah I. Disingkat, Sultan Hamengku Buwono I. Beliau membangun kraton dan ibukota kerajaan di daerah yang semula adalah hutan Beringin. Ibukota kerajaan diberi nama Ngayogyakarta Adiningrat.[1] Nama Ngayogyakarta sebenarnya berasal dari kata: Ing Ayogyakarta, yang berarti di Ayogyakarta.
Selama tiga puluh tujuh tahun memerintah (1755-1792), Sultan Hamengku Buwono I berusaha keras untuk menyemarakkan kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan di ibukota kerajaan. Kiranya dalam rangka usaha Baginda itulah, Sri Sultan memperkenankan orang-orang Cina bermukim di ibukota kerajaan.
Sebagian dari orang-orang Cina itu, adalah golongan Sin-ke,[2] Sin-gek, sin-kek --- sing-kek. Sebagian lagi, adalah golongan Peranakan.
Kata Sin-ke yang berarti tamu baru,[3] menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang Cina totok yang merantau ke negeri asing. Kebanyakan golongan Sin-ke itu berasal dari daerah Fu Kien yang disebut Hokkian.[4] Namun mereka lebih suka menyebut dirinya sebagai T'ang-ke[5] atau Teng-lang, T'ang-ren. Karena menganggap bahwa dirinya masih keturunan kawula negara kekaisaran dinasti T'ang.[6]
Golongan Peranakan adalah orang-orang Cina berdarah campuran, karena orang tua mereka telah melakukan pembauran ethnis. Umumnya, dari pihak ibu, mereka berdarah pribumi. Umumnya pula, golongan Peranakan itu, dalam adat kehidupan masih mengikuti golongan Sin-ke. Oleh karenanya, tak sedikit golongan Peranakan yang ikut merasa berhak disebut sebagai Teng-lang, atau T'ang-ren.

Orang-orang Cina yang bermukim di ibukota kerajaan, sebagian terbesar adalah kaum pedagang dan pengusaha. Namun ada pula yang memiliki ketrampilan tertentu. Seperti: ahli bangunan, ahli pengobatan tradisional, ahli keagamaan, dan lain-lainnya. Juru masak, tukang kayu, tukang batu, dan lain-lain. Malah ada juga yang seniman.[7]
Karena berbagai usaha mereka di ibukota kerajaan dan sekitarnya dapat berkembang pesat, maka dari tahun ke tahun, jumlah orang-orang Cina yang datang bermukim di Ngayogyakarta Adiningrat, kian bertambah banyak. Dan dalam jangka waktu lebih-kurang tiga puluh tahun, mereka dapat membentuk masyarakat Cina yang teratur di ibukota kerajaan. Namun Kompeni senantiasa melakukan pengawasan terhadap mereka. Selain mengenakan kewajiban membayar berbagai pajak, Kompeni juga mengikat mereka dengan berbagai peraturan yang ketat. Untuk memudahkan pengawasan, Kompeni menetapkan daerah-daerah permukiman masyarakat Cina di ibukota kerajaan. Dan untuk memudahkan pemungutan pajak serta menjamin ketaatan mereka, Kompeni mengangkat pemimpin-pemimpin masyarakat Cina yang diberi pangkat Letnan dan Kapten.
Terhadap masyarakat Cina yang bermukim di ibukota kerajaan, Sri Sultan menunjukkan kemurahan hatinya dengan memenuhi permohonan mereka untuk mendapat sebidang tanah guna mendirikan rumah ibadah. Sri Sultan berkenan menghibahkan sebidang tanah kepada masyarakat Cina di ibukota kerajaan. Maka di atas tanah itulah kemudian didirikan sebuah klenteng sebagai tempat peribadatan mereka.
Rupanya sejak abad ke XIX, sebagian besar orang-orang Cina berdiam di suatu daerah yang terletak di sebelah Selatan Loji Ageng.
Mengenai daerah pemukiman mereka itu, tercatat dalam pustaka tulisan tangan (manuskrip). Babad Mentawis Ngayogyakarta yang ditulis semasa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono V. Dalam pustaka tersebut ada bagian yang menceriterakan peristiwa kunjungan Tuan Jenderal ke kraton, setelah Sultan Hamengku Buwono III dinobatkan pada tahun 1812. Dan di bagian yang menceriterakan peristiwa kunjungan Tuan Jenderal tersebut, ada kalimat sebagai berikut:

".......................................................
sakehing Cina ingkang sami gegriya, sakiduling
Loji Ageng, dhuk rawuhnya Tuwan Jenderal
..........................................................."


Artinya:

"......................................................
semua Cina yang sama berumah di sebelah
Selatan Loji Ageng, tatkala Tuan Jenderal
datang ...................................................."



Masyarakat Cina di ibukota kerajaan, dilibatkan dalam percaturan politik pada tahun-tahun 1811 - 1812. Ketika terjadi suasana yang tegang dalam kraton, dikarenakan pertentangan antara Putera Mahkota dengan Sultan Hamengku Buwono II bersama pengikut masing-masing pihak. Dalam kemelut itu, Putera Mahkota menghubungi pemimpin masyarakat Cina 'di ibukota kerajaan yang bemama Tan Jim Sing, berkedudukan sebagai Kapiten der Chinezen. Dalam Babad Mentawis Ngayogyakarta, tokoh masyarakat Cina itu, disebut Jim Sing. Melalui perantaraan Tan Jim Sing, Putera Mahkota dapat menjalin hubungan baik dengan J. Crawfurd[8] residen lnggeris untuk Kesultanan Mataram di Ngayogyakarta Adiningrat. Setelah Putera Mahkota berhasil menduduki tahta dan suasana kerajaan tenteram kembali, beliau sebagai Sultan Hamengku Buwono III menghibahkan tanah seluas 800 cacah kepada pemimpin masyarakat Cina itu. Bahkan ia dianugerahi oleh Sri Sultan dengan gelar bangsawan dan pangkat punggawa kraton serta nama baru. Dengan anugerah Sri Sultan itu, Tan Jim Sing menjadi Raden Tumenggung Secodiningrat. Dan daerah sekitar tempat tinggalnya, disebut Secodiningratan.

Dalam perkembangan masa-masa berikutnya, terjalin hubungan akrab antara tokoh-tokoh terkemuka masyarakat Cina di ibukota kerajaan dengan kalangan kraton dan kalangan bangsawan di luar kraton. Hubungan akrab itu memungkinkan terjadinya pembauran etnis antara orang-orang Cina dengan para bangsawan. Sebuah contoh dapat dikemukakan pernikahan Lie Toen seorang tokoh pedagang dengan Raden Ayu Sutinah, salah seorang puteri Bendara Pangeran Haryo Suryobrongto.[9] Dari abad ke XIX hingga masa kini, terdapat orang-orang Cina golongan Peranakan yang memiliki Serat Kekancing Kraton. Surat keterangan yarig dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem Karaton Yogyakarta itu, membuktikan bahwa mereka mempunyai hubungan darah dengan salah seorang Sultan.[10]
Pembauran ethnis juga kian sering terjadi di kalangan masyarakat Cina dengan penduduk setempat. Sedangkan putera-puteri golongan Sin-ke kian sering melangsungkan pernikahan dengan putera-puteri golongan Peranakan. Melalui proses pembauran, baik yang terjadi di kalangan terkemuka masyarakat Cina dengan kalangan bangsawan maupun di kalangan warga biasa masyarakat Cina dengan penduduk serta antara golongan Sin-ke dengan golongan Peranakan, maka dalam perjalanan masa, golongan Sin-ke kian menjadi kecil pengaruh dan jumlahnya.
Pengaruh kebudayaan Jawa lambat-laun kian meluas di kalangan masyarakat Cina. Hal itu terlihat jelas dalam segi penggunaan bahasa sehari-hari. Sebagian terbesar golongan Peranakan dari generasi pertengahan abad ke XIX, sudah terbiasa mempergunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan bahasa Cina, lambat-laun kian berkurang. Namun penggunaan bahasa Cina masih tetap dipertahankan secara terbatas untuk idiom-idiom perdagangan, kekerabatan, adat kebiasaan dan keagamaan. Pula nama mereka, tetap mempergunakan nama Cina. Satu segi lain yang nampak jelas
dari pengaruh budaya Jawa, ialah pemakaian kain kebaya oleh kebanyakan para wanita golongan Peranakan. Baik sebagai busana sehari-hari, maupun jika menghadiri sesuatu upacara atau pesta.

Sejak pertengahan abad ke XIX, keadaan Keultanan Yogyakarta sudah sangat aman tenteram dan mencapai tingkat kehidupan yang makmur sejahtera. Dalam keadaan demikian itu, masyarakat Cina di ibukota kerajaan dan sekitarnya, dapat lebih mengenali segi lain dari budaya Jawa yang terdapat di sekitar lingkungan hidupnya. Yaitu segi seni pertunjukan yang mengandung unsur hiburan. Baik pertunjukan dengan pelaku-pelaku wayang atau boneka, maupun dengan pelaku-pelaku manusia. Termasuk pertunjukan yang berupa tarian, khususnya jenis tari gambyong yang ditarikan oleh para tandak atau teledek wanita.
Menurut Aquasi Boachi, dalam pertengahan abad ke XIX orangorang Cina sangat menggemari pertunjukan (majin - bahasa Cina) wayang dan topeng. Jenis pertunjukan itu tersebar secara umum di pulau Jawa. Oleh orang-orang Cina, disebut majin wayang dan majin topeng[11]. Aquasie Boachi memerinci, bahwa majin wayang di pulau Jawa ada tiga jenis[12]. Yaitu:

Wayang gulit:
Yang dimaksudkan adalah wayang kulit, karena disebutkan, bahwa wayang terbuat dari kulit (kerbau).
Wayang golloe:
Yang dimaksudkan adalah wayang golek, karena disebutkan bahwa wayang/boneka terbuat dari kayu.
Wayang wong:
Para pelakunya adalah manusia. Semua pelaku terdiri dari kaum wanita yang juga mernainkan peran pria.

Namun pada masa itu di pulau Jawajuga hidup wayang potehi (putai hsi). Yaitu pertunjukan boneka yang berasal dari daratan Cina.
Selain wayang potehi, di pulau Jawa juga hidup wayang kulit Cina. Baik wayang potehi maupun wayang kulit Cina itu, dalangnya terutama adalah Sin-ke. Menggunakan bahasa dan orkes pengiring Cina dengan lakon-lakon Cina.

Sampai masa kini wayang potehi masih dipertunjukkan di beberapa klenteng di beberapa kota pantai Utara Jawa, khususnya di Semarang. Akan tetapi, pertunjukan wayang potehi pada tahun-tahun terakhir ini, sudah mempergunakan bahasa Indonesia diselang-seling idiom-idiom Cina. Penggunaan bahasa Indonesia dalam pertunjukan wayang potehi itu, membuktikan unsur pembauran kultural.

Wayang kulit Cina, barangkali masih dipertunjukkan di pulau Jawa pada awal abad ke XX. Namun belum diketemukan catatan tertulis yang menyatakan, bahwa dalam dasawarsa kedua dan ketiga abad ini, masih ada pertunjukan wayang kulit Cina di Jawa. Hanya saja bentuk-bentuk dalam beberapa corak dari wayang kulit Cina itu, masih bisa didapati di Jawa. (Contoh bentuk-bentuk wayang kulit Cina itu, dapat dilihat dalam LAMPIRAN pustaka ini).

Sejak awal abad ke XX, ada beberapa orang terkemuka dari golongan Peranakan yang berusaha menyebarluaskan penghayatan kesenian tradisional dalam kalangan masyarakat Cina di Yogyakarta dan sekitarnya. Tokoh yang paling giat usahanya, ialah Lie Jing Kiem, cucu Lie Toen. Secara teratur ia menyelenggarakan konser-konser gamelan dan pergelaran-pergelaran wayang kulit yang terbuka untuk orang-orang Cina dan masyarakat umum. Dengan bantuan para ahli pembuat wayang dan gamelan dari kalangan kraton, ia mengusahakan pembuatan wayang kulit dan alat-alat gamelan yang bermutu tinggi. Usaha Lie Jing Kiem itu terus-menerus dilakukan sampai akhir hayatnya pada tahun 1929.

Dalam tahun dua puluhan, di Yogyakarta muncul bentuk baru jenis wayang (kulit) bercorak Cina yang diciptakan oleh seorang seniman Peranakan, bernama Gan Thwan Sing. Pergelaran wayang (kulit) ciptaan Gan Thwan Sing itu mengambil lakon-lakon yang digubah dari ceritera-ceritera yang telah lama hidup di negeri Cina. Ceritera itu merupakan ceritera-rakyat, legenda Cina. Namun penyajiannya mengikuti pola pertunjukan wayang kulit Jawa. Dengan mempergunakan buku lakon (pakem = bahasa Jawa) yang serupa dengan buku lakon wayang kulit Jawa. Ditulis dalam bahasa dengan aksara Jawa (hanacaraka). Cara dalang menyajikan, sama dengan cara dalang wayang kulit Jawa. Kaidah-kaidah yang wajib dipatuhi oleh dalang jika mempertunjukkan wayang, sama dengan kaidah-kaidah yang berlaku bagi setiap dalang wayang kulit Jawa. Mulai dari sikap duduk, sampai dengan membawakan rangkaian yang dalam istilah-istilah pakeliran Jawa disebut: ada-ada, sulukan, kandha, pacapan, dan lain-lain. Juga alat-alat yang dipergunakan oleh dalang, tidak berbeda dengan yang dipergunakan oleh setiap dalang wayang kulit Jawa, termasuk cara-cara penggunaannya. Yaitu, yang dalam istilah-istilah Jawa disebut: cempala, kepyak. Dekor yang dipergunakan, sama warna, bentuk dan ukurannya dengan dekor wayang kulit Jawa yang disebut kelir. Orkes pengiringnya, juga gamelan slendro-pelog. Dengan komposisi lagu-lagu (gendhing = bahasa Jawa) dan nyanyian-nyanyian (tembang-tembang = bahasa Jawa) Jawa.

Bentuk wayang (kulit) ciptaan Gan Thwan Sing memang bercorak Cina dalah wajah, tata busana dan ragam hiasnya. Tapi ragam hiasnya telah ada yang bercorak Jawa. Dan bentuk alat penguat kerangka wayang serta bentuk alat pemegang tangan (cempurit = bahasa Jawa), serupa dengan yang dibuat untuk wayang kulit Jawa. Bahkan ada wayang (kulit) ciptaan Gan Thwan Sing yang memakai palemahan atau siten-siten seperti wayang kulit Jawa. Yaitu, alas kaki wayang yang menghubungkan tumit kaki depan dengan ujung jari-jari kaki belakang. Dan ada wayang (kulit) ciptaan Gan Thwan Sing yang sikap tangannya, menyerupai sikap tangan penari Jawa gaya Yogyakarta yang disebut ngepel dan ngithing.

Ada satu bentuk wayang khas Jawa yang kehadirannya mutlak diperlukan dalam setiap pertunjukan. Yaitu, yang dalam istilah pakeliran disebut Gunungan atau Kayon. Gan Thwan Sing juga membuat Gunungan yang bentuk dan memiliki susunan ikonografis tak berbeda dengan Gunungan wayang kulit Jawa. Fungsinya dalam setiap pertuitjukan juga sama. Gan Thwan Sing hanya memberi corak dalam ornamen. Gunungan tak terdapat dalam pertunjukan wayang di negeri Cina.

Masih ada lagi bentuk-bentuk wayang kulit Jawa yang ditiru pembuatannya oleh Gan Thwan Sing. Yaitu, bentuk wayang yang dalam sitilah pakeliran disebut Rampogan atau Barisan. Serta dua tokoh abdi wanita (emban) yang terkenal dalam perbendaharaan wayang kulit Jawa, bernama Cangik dan Limbuk.

Jadi sebenarnya, corak wayang Cina ciptaan Gan Thwan Sing terletak dalam perwajahan, tata busana dengan segala perlengkapan dan ragam hiasnya serta tata rambut. Juga bentuk hewan-hewan mitologis. Seperti : Liong, Kilin, dan lain-lainnya. Berbagai bentuk alat senjata, bendera, kereta, kapal, pusaka, rumah, dan lain-lain. Ciri khas Cina yang lain, ialah lakon-lakon yang digubah, bersumberkan folklore Cina kuna.

Namun tata cara pertunjukan, alat-alat perlengkapan pertunjukan, orkes pengiring, kesemuanya sama dengan wayang kulit Jawa. Cara dan kaidah-kaidah mendalang, tak berbeda dengan cara dan kaidah-kaidah mendalang wayang kulit Jawa. Susunan buku lakon, mengikuti pola pakem pedalangan Jawa. Bahasa dan aksara yang dipergunakan, juga bahasa dan aksara Jawa.

Jelaslah bahwa pola pertunjukan wayang ciptaan Gan Thwan Sing bukannya bertumpu dari pola pertunjukan wayang di negeri Cina, melainkan bertolak dari pola pertunjukan wayang (kulit) Jawa. Dengan demikian, wayang ciptaan Gan Thwan Sing dan pertunjukannya, merupakan suatu wujud pembauran kultural dalam bentuk seni pewayangan yang telah memperkaya wama dan corak seni pewayangan di Nusantara.

Bertolak dari kenyataan-kenyataan itulah, untuk wayang ciptaan Gan Thwan Sing itu, di dalam penulisan ini tidak disebut : wayang thithi[13], melainkan wayang Cina – Jawa.

Kenyataan sejarah menunjukkan pula, bahwa wayang Cina – Jawa di Yogyakarta, berhasil menyemarakkan seni pedalangan selama hampir empat dasawarsa. Mulai dari dasawarsa kedua, hingga dasawarsa keenam abad ke XX ini. Telah dipergelarkan berkali-kali, tidak hanya di Yogyakarta dan sekitarnya, tetapi sampai di Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan sampai di Cirebon.

Kehadiran wayang Cina – Jawa pada dasawarsa kedua abad sekarang ini, merupakan salah satu fakta dalam lembaran sejarah budaya, bahwa proses pembauran kultural di bidang kesenian, dapat berlangsung dengan serasi.

Demikian pula hubungan sosial budaya antara masyarakat Cina di Yogyakarta, baik dengan kalangan kraton maupun dengan masyarakat umum, senantiasa berlangsung baik dan serasi dari masa ke masa. Mereka menunjukkan kesungguhan hati untuk berusaha memahami bahasa, adat istiadat setempat. Berusaha untuk dapat ikut menghayati segi-segi kesenian tradisonal. Tidak pula segan-segan belajar dari para budayawan dan para akhli kesenian Jawa. Sejak masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I sampai dengan masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX, mereka senantiasa memperlihatkan rasa hormatnya kepada para Sultan yang bertahta. Pada masa kini, Sikap mereka itu, tercermin dalam sebuah prasasti yang dipersembahkan oleh wakil-wakil masyarakat Cina di Yogyakarta dan sekitarnya, kepada Sultan Hamengku Buwono IX. Prasasti yang bercorak khas Cina itu, menggunakan dua bahasa dalam dua bentuk aksara. Yaitu bahasa dan aksara Cina – Jawa. Sampai saat ini, prasasti yang merupakan salah satu bentuk saksi sejarah itu, masih terdapat di pelataran dalam kraton Yogyakarta.


B. Asal-usul

Gan Than Sing dilahirkan di Jatinom pada tahun 1885. Tidak banyak diketahui tentang orang tuanya. Yang jelas, ayah bundanya adalah orang-orang Peranakan. Ayahnya bernama Gan Ing Kwat.

Sejak masih muda belia, Gan Thwan Sing hidup bersama kakeknya. Dari kakeknya yang masih orang Sin-ke, ia mendapat pengetahuan mengenai bahasa dan aksara Cina serta aneka ceritera rakyat Cina. Berkat asuhan kakeknya, lambat-laun ia mencintai seni bercerita dan menyukai gambar-gambar ilustrasi yang menghias buku-buku ceritera Cina kuna. la dapat menghafal di luar kepala, beberapa ceritera rakyat, legenda Cina yang diperoleh secara lisan dari kakeknya. Dan ia hafal bentuk-bentuk wajah para tokoh yang hidup dalam aneka ceritera legenda itu, sebagai yang berulang kali dilihatnya dalam buku-buku Cina milik kakeknya. Kelak, pengetahuan tentang aneka ceritera rakyat dan legenda Cina kuna itu, akan sangat bermanfaat baginya.

Tatkala masih tinggal bersama kakeknya, Gan Thwan Sing seringkali main dari kampung ke kampung sampai ke pedesaan. Pergaulannya selama bertahun-tahun dengan anak-anak pribumi, baik yang anak priyayi maupun anak kampung biasa, menjadikannya merasa lebih akrab dengan kehidupan masyarakat pribumi. Dan seperti halnya anak-anak pribumi, ia menggemari pertunjukan wayang kulit yang dipergelarkan semalam suntuk. Kegemarannya terhadap pertunjukan wayang itu, menumbuhkan rasa cinta terhadap seni pertunjukan. Kelak, bila ia mulai menginjak dewasa, kecintaannya terhadap seni pertunjukan itu, akan sangat menentukan langkah hidupnya.

Pada awal abad ke XX, Gan Thwan Sing pindah ke Yogyakarta. Berbeda dengan teman-temannya sebaya dari golongan Peranakan yang sama memilih profesi sebagai pedagang, ia ternyata tidak berminat dalam bidang perdagangan. Dari teman-teman pribumi, ia memperoleh banyak keterangan, bahwa di ibukota Kesultanan Yogyakarta terbuka banyak peluang untuk menghayati seni pertunjukan. Itulah sebabnya, maka ia memutuskan untuk mencari pengalaman di Yogyakarta.

Di ibukota Kesultanan Yogyakarta itu, Gan Thwan Sing kian tertarik terhadap seni pedalangan dan seni musik Jawa (karawitan = bahasa Jawa). Sikapnya yang luwes, membantu dirinya untuk dapat berhubungan dengan berbagai golongan masyaraat, baik di kalangan Cina maupun pribumi. Dalam waktu singkat ia berhasil memperoleh pekerjaan sebagai artis sandiwara (tonil) dalam suatu organisasi teater amatir yang diusahakan oleh kalangan Peranakan di Yogyakarta. Karena organisasi teater amatir itu secara berkala menyelenggarakan pementasan dan ada kalanya mengadakan pertunjukan keliling antar kota, maka ia dapat nafkah yang cukup untuk hidup sehari-harinya. Dalam kesibukannya sebagai seorang artis sandiwara, ia tetap meluangkan waktu untuk dengan tekun belajar seni pedalangan gaya Yogyakarta. Bahkan ia tekun pula mempelajari bahasa dan aksara Jawa. Tatkala sudah berhasil memperoleh pengetahuan seni pedalangan yang cukup, lahirlah gagasannya untuk menciptakan suatu bentuk baru wayang (kulit).

Gagasan yang dilahirkannya itu merupakan perpaduan serasi dari dua aspek yang mempunyai latar belakang berbeda. Aspek pertama, adalah alam pakeliran Jawa. Aspek kedua, adalah alam legenda Cina. Kedua aspek yang berbeda warna itu, dipadukannya dengan serasi dalam bentuk pertunjukan wayang kulit. Penyajian pertunjukannya itu mengikuti pola pedalangan gaya Mataraman (gaya Yogyakarta).

Konsepsinya dimatangkan secara kreatif dengan penulisan beberapa buku lakon (pakem = bahasa Jawa) yang mengikuti pola buku lakon wayang kulit Jawa gaya Mataraman dan ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa. Lakon-lakon itu digubah dari khasanah folklore Cina kuna (ceritera rakyat, legenda) yang populer dalam masyarakat Cina perantauan. Ia mampu menggubah lakon-lakon itu, berkat pengetahuannya tentang folklore Cina kuna yang diperoleh dari kakeknya. Sesudah menyelesaikan penulisan beberapa buah buku lakon, ia lalu membuat disain-disain dari tokoh-tokoh setiap lakon untuk kemudian dibuat wayang dalam dua dimensi.

Akan tetapi konsepsinya yang telah utuh dengan penciptaan buku lakon dan disain tokoh-tokoh wayang itu, tak dapat disusul dengan langkah-langkah berikutnya. Yaitu; pembuatan tokoh-tokoh wayang, pengadaan alat-alat pertunjukan dan mengadakan latihan bersama dengan para pemusik (niyaga = bahasa Jawa). Hal itu, dikarenakan ia tidak mempunyai dana untuk pembiayaannya.

Maka Gan Thwan Sing lalu berusaha mencari "sponsor" yang bersedia membiayai segala sesuatunya sampai pelaksanaan pertunjukan perdana. Menjelang awal tahun duapuluhan, Gan Thwan Sing menghubungi Oey See Toan, seorang pedagang besar yang menggemari seni pertunjukan tradisional. Gagasan Gan Thwan Sing yang dikemukakan kepadanya, berhasil memikat hati dan Oey See Toan lalu menyatakan kesediaannya untuk menjadi "sponsor". Maka dengan dana yang disediakan oleh Oey See Toan, perwujudan gagasan Gan Thwan Sing dapat terlaksana. la menyelesaikan pembuatan tokoh-tokoh wayang sejumlah lebih kurang dua ratus buah. Sebagian terbesar, dibuat dari bahan kulit (kerbau). Sebagian kecil lainnya, dibuat dari bahan kertas. Karena cara mempertunjukkan wayang ciptaannya itu secara teknis sama dengan cara mempertunjukkan wayang kulit Jawa, maka dibuat pula alat-alat perlengkapan pertunjukan yang serupa dengan alat-alat perlengkapan pertunjukan wayang kulit Jawa. Seperti : kotak, cempala, kepyak, kelir, blencong.

Pada waktu yang bersamaan, Gan Thwan Sing berhasil menyelesaikan beberapa judul buku lakon yang dalam istilah pedalangan, disebut pakem. Ditulis dalam bahasa Jawa dengan aksara Jawa. Susunan buku lakon, mengikuti pola pakem wayang kulit Jawa.

Kemudian berulang kali dilakukan latihan bersama, dengan para pemusik (niyaga = bahasa Jawa) dan biduan. Bertindak sebagai dalang, adalah Gan Thwan Sing pribadi.

Setelah segala sesuatunya dipersiapkan matang-matang, dilaksanakanlah pertunjukan perdana yang disaksikan oleh masyarakat Cina dan pribumi serta tokoh-tokoh pedalangan, karawitan dari kalangan kraton. Ternyata pertunjukan perdana itu, mendapat sambutan meriah dari kalangan masyarakat Cina dan pribumi serta memperoleh tanggapan positip dari para akhli pedalangan, karawitan.

Memasuki tahun 1925, pertunjukan-pertunjukan wayang Cina – Jawa ciptaan Gan Thwan Sing, kian bertambah populer. Mula-mula masih terbatas hanya dalam kalangan masyarakat Cina di Yogyakarta dan sekitarnya. Namun dalam waktu yang tidak terlalu lama, masyarakat Jawa dari berbagai lingkungan, mulai menunjukkan minatnya terhadap wayang Cina – Jawa. Dan datanglah permintaan-permintaan dari penduduk kepada Gan Thwan Sing, untuk mau menggelarkannya di kampung-kampung. Dengan segala senang hati, Gan Thwan Sing memenuhi permintaan-permintaan itu, meski imbalan yang diterimanya tak seberapa banyak. Maka wayang Cina – Jawa ciptaan Gan Thwan Sing itu, menjadi cepat dikenal, dimengerti dan dihargai oleh masyarakat Jawa. Hal itu mendorong penyebarluasan popularitas wayang Cina – Jawa di seluruh lingkungan serta golongan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya.

Ideliasme, telah mendorong Gan Thwan Sing untuk mengabdikan seluruh hidupnya dalam seni pertunjukan. Menggalakkan daya ciptanya untuk terus berusaha mengembangkan bobot seni karya ciptanya. Maka tidaklah mengherankan, apabila demi pengabdiannya itu, seringkali mengalami kesulitan keuangan, untuk dapat melangsungkan hidup keluarganya secara layak. Kendati demikian, dengan ketabahan yang mengagumkan, ia terus mengabdikan diri dalam bidang seni pertunjukan. Pengabdiannya yang tulus berakhir pada saat ia sudah menjadi pikun, dan meninggal dunia dalam keadaan miskin pada tahun 1966, dalam usia delapanpuluh satu tahun.

Karya ciptanya dan pengabdian hidupnya dalam seni pedalangan, telah membuahkan suatu bentuk karya seni yang secara kutural berhasil mencerminkan wujud pembauran budaya Cina – Jawa untuk sepanjang masa. Gan Thwan Sing secara kreatif telah memberi sumbangan kultural dengan memperkaya corak dan warna baru serta memperluas cakrawala pewayangan Indonesia.

Maka tidaklah berlebihan apabila Dr. Th. C. Th. Pigeaud yang telah meneliti sejumlah buku lakon karya Gan Thwan Sing, pada tahun 1975, menilai tokoh tersebut sebagai:

"................................................................
The author or translator was a man of culture,
.............................................................................."[14]

Artinya:

"................................................................
Pengarang atau penterjemah adalah seorang budayawan
......................................................................................."

Penilaian Dr. Th. C. Th. Pigeaud terhadap Gan Thwan Sing itu, merupakan kesimpulan yang didasarkan atas kemampuannya.

"...........................................................................
he had a large choice of words and he was familiar with the Javanese dalang's idiom. He took pains to reproduce the sounds of the Chinese characters as accurate as possible with the Javanese characters at his disposal
...............................................................................[15]

Artinya:

"...........................................................................
ia memiliki sejumlah besar perbendaharaan kata-kata dan ia sudah benar-benar mengenal idiom pedalangan. Ia bersusah-payah untuk membuat reproduksi bunyi-bunyi huruf-huruf Cina setepat mungkin dengan huruf Jawa yang tersedia padanya
....................................................................."

Selain Dr. Th. C. Th. Pigeaud, masih ada .seorang sarjana Barat lain yang pernah melakukan studi atas karya cipta Gan Thwan Sing. Sarjana Barat tersebut adalah Dr. F. Seltmann.
"Bidang perhatiannya yang utama adalah pertunjukan wayang dan boneka di India Selatan dan Asia Tenggara serta daerah sekitarnya"[16]
Pada tahun 1964 ia melakukan penelitian mengenai wayang karya cipta Gan Thwan Sing, tatkala ia melihat sebagian dari wayang tersebut yang terpajang di salah satu vitrin ruang wayang Museum Sono Budoyo. Ia secara pribadi juga telah berkenalan dengan Gan Thwan Sing dan mewawancarainya. Pada tahun 1968, tatkala Dr. F. Seltmann datang lagi ke Indonesia, wayang karya cipta Gan Thwan Sing sebanyak satu kotak, dibelinya dan dibawa ke Jerman. Khusus mengenai wayang karya cipta Gan Thwan Sing itu, Dr. F. Seltmann pernah menulis sebuah karangan di majalah RIMA dengan judul "Wajang Titi - Chinesisches Schattenspiel in Jogjakarta".

Dalam karangan tersebut, ia menilai Gan Thwan Sing sebagai berikut:

"...............................
Dieser Mann hat alle Eigenschaffen eines ersklassigen Dalang in sich verenigt. Auszer sciner angestammten Sprache (Hokkian) beherrschte er das Javanische in Wort und Schrift. Daher nimt es auch nicht wunder, dasz er mit allen Aspekten des Javanischen Schattenspiels vertraut war
....................................."[17]

Artinya:

".................................
Di dalam diri orang itu telah terpadu sifat-sifat seorang dalang kelas wahid. Di samping bahasa aslinya (bahasa Hokkian) ia menguasa bahasa Jawa dalam kata maupun tulisan. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa ia menguasa benar segala segi permainan wayang Jawa
................................"

Kehadiran wayang Cina - Jawa di Yogyakarta pada masa sebelum Perang Dunia ke II, dicatat oleh Darmosoegondo, seorang wartawan, dalam buku : "Kota Jogjakarta 200 Tahun" yang terbit pada tahun 1956. Dalam catatannya itu, Darmosoegondo menamakan wayang ciptaan Gan Thwan Sing, "Potehi".

Dinyatakan sebagai berikut :

"Selain jang tersebut diatas itu maka pada masa sebelum Perang Dunia II, di Jogjakarta terdapat wajang jang disebut POTEHI (mirip wajang Tionghoa) jang pemah dipertontonkan dalam bahasa daerah dengan iringan gamelan Slendro serta mengikuti tehnik wajang-purwa".

C. Penyebaran

Mula-mula ruang lingkup penyebaran wayang Cina Jawa sebagai suatu bentuk pertunjukan, hanya terbatas dalam lingkungan masyarakat Cina, terutama golongan Peranakan. Rupanya lakon merupakan faktor utama yang menjadikan pertunjukan itu disukai mereka. Sebab semua lakon yang disajikan, merupakan gubahan dari perbendaharaan folklore Cina kuna yang sudah populer di kalangan orang-orang Cina perantauan dan orang-orang keturunan Cina di Nusantara. Penyajian lakon-lakon yang mengingatkan orang-orang Cina dan keturunan Cina kepada "negeri leluhur" itulah, yang membuat mereka merasa akrab dengan pertunjukan wayang Cina - Jawa. Penggunaan bahasa Jawa, cara penyajian dan iringan gamelan serta lagu-lagu Jawa dalam pertunjukan itu, bukanlah sesuatu yang asing bagi mereka yang sejak bayi hingga dewasa tinggal di Jawa, khususnya di Yogyakarta. Bagi mayarakat Cina, khususnya golongan Peranakan, pertunjukan wayang Cina - Jawa itu, komunikatif. Artinya, mudah diikuti, mudah dimengerti dan dinikmati sebagai suatu bentuk hiburan yang benar-benar mengesankan.
Dalam perjalanan masa, ruang lingkup penyebaran wayang Cina - Jawa itu, tidak lagi terbatas hanya di kalangan masyarakat Cina saja, tetapi meluas sampai di kalangan masyarakat umum. Para priyayi dan penduduk kampung biasa, tak sedikit yang minta agar wayang Cina - Jawa itu dipergelarkan di depan rumah mereka. Baik untuk memeriahkan sesuatu pesta keluarga, maupun untuk kaulan. Bahkan pemah pula dipergelarkan untuk upacara ruwatan[18] yang diselenggarakan oleh suatu keluarga Jawa.[19]
Masyarakat Jawa di Yogyakarta, ikut menyukai pergelaran wayang Cina - Jawa itu, karena hampir segala sesuatunya tak berbeda
dengan pergelaran wayang kulit. Sedangkan lakon-lakon gubahan dari folklore Cina yang disajikan, merupakan daya tarik tersendiri. Karena tema-tema aneka lakon Cina itu, pada dasarnya tak berbeda dengan tema-tema aneka lakon Jawa yang bersumber dari Mahabharata dan Ramayana, meski dalam variasi dan warna berlainan. Tapi justru perbedaan dalam variasi dan warna itulah, yang memikat perhatian.
Pada awal tahun-tahun tigapuluhan, daerah persebaran wayang Cina – Jawa mulai meluas sampai di beberapa kota di luar Yogyakarta, yaitu di kota-kota Sentolo, Wates, Purworejo, Muntilan, Magelang, serta kota-kota Klaten, Delanggu, Surakarta.
Sampai menjelang awal tahun 1940, daerah persebaran wayang Cina – Jawa kian meluas sampai di kota-kota pantai Utara Jawa Tengah, seperti : Kudus, Semarang. Bahkan dalam tahun-tahun berikutnya, meluas sampai ke wilayah Propinsi Jawa Timur. Seperti kota-kota : Madiun, Kediri, Pare, Probolinggo, Surabaya dan Malang. Malah konon, pernah pula dipergelarkan di kota-kota Cirebon dan Bandung[20]. Meski pergelaran-pergelaran di kota-kota Cirebon dan Bandung itu, kemungkinan besar sekali adalah atas permintaan orang-orang Peranakan yang berasal dari Yogyakarta atau Jawa Tengah, namun hal itu menunjukkan, bahwa daerah persebaran wayang Cina – Jawa berhasil melewati perbatasan wilayah Jawa – Pasundan.
Gan Thwan Sing tahu bahwa ia tidak akan mungkin dapat mengimbangi perkembangan pesat itu, seorang diri saja sebagai dalang. Dan ia juga tahu, bahwa para konsumen dari kalangan masyarakat Jawa akan merasa lebih akrab dengan pertunjukan wayang Cina – Jawa, jika yang bertindak sebagai dalang adalah orang Jawa. Ia menyadari pula, bahwa ada dan tidak adanya para dalang yang mampu memajukan karya ciptanya, ikut menentukan kelangsungan hidup wayang Cina – Jawa di masa depan. Oleh karenanya, Gan Thwan Sing lalu mendidik beberapa orang yang berminat menjadi dalang, agar dapat mewakili dirinya dalam waktu yang akan datang. Mereka itu adalah Raden Mas Pardon, Megarsemu, Pawuo Buwang dan Kho Thian Sing. Raden Mas Pardon adalah seorang seniman dari kalangan bangsawan. Megarsemu
seorang priyayi punggawa kraton. Pawiro Buwang seorang seniman dari kalangan penduduk biasa. Kho Thian Sing berasal dari kalangan Peranakan.
Pembinaan para calon dalang wayang Cina – Jawa itu, berhasil dengan baik. Malah Kho Thian Sing setelah menjadi dalang, penampilannya sangat disukai oleh para konsumen dari kalangan masyarakat Cina, sehingga ia mendapat julukan Bah Menang. Sedangkan para konsumen di kalangan masyarakat Jawa menyukai penampilan dalang-dalang R.M. Pardon dan Megarsemu.
Para dalang hasil didikan Gan Thwan Sing itulah yang menjadi penunjang utama dalam pengembangan dan kelangsungan hidup wayang Cina – Jawa sampai awal tahun 1960.
Tatkala Gan Thwan Sing telah mencapai usia agak lanjut, ia tidak lagi bertindak sebagai dalang. Ia hanya bertindak sebagai asisten. Kesempatan seluas-luasnya diberikan kepada para dalang asuhannya.
Setelah berkembang dan tersebar luas selama hampir empat puluh tahun, pergelaran wayang cina – Jawa berakhir pada tahun 1960 yang dilaksanakan di pelataran Klenteng Gondomanan Yogyakarta. Waktu itu Gan Thwan Sing dalam usia enampuluh tahun, sudah mulai sakit-sakitan dan seringkali menghadapi kesulitan keuangan dalam mengurus hidup keluarganya, sedang para dalang asuhannya telah mendahuluinya pulang ke rahmatullah. Gan Thwan Sing tak mampu lagi untuk mendidik dalang-dalang baru. Maka tak ada lagi penggantinya yang dapat melanjutkan kelangsungan hidup wayang Cina – Jawa itu. Akibatnya, setelah tahun 1960, berakhirlah sudah kehadiran wayang Cina – Jawa sebagai sebuah bentuk pertunjukan.
Perlu kiranya dikemukakan di sini, bahwa Gan Thwan Sing rupanya masih kurang puas dengan bentuk wayang karya ciptanya sehingga melahirkan gagasan untuk membuat wayng Cina – Jawa gaya baru, yang lebih indah bentuknya, lebih halus tatahannya (perforasi). Dalam beberapa segi, wayang gaya baru tersebut menyerap pengaruh kesenian Jawa. Hal itu terlihat dalam sikap tangan para tokoh wayang yang mengingatkan kepada sikap tangan penari gaya Mataraman yang dalam istilah tari, disebut ngepel, ngithing[21]. Serta terlihat pula dalam pembuatan wayang yang diberi alas penghubung antara tumit kaki depan dengan ujung jari kaki belakang, yang sama dengan wayang kulit Jawa.
Alat penghubung itu, dalam istilah perkeliran, disebut palemahan wayang atau siten-siten.
Dengan susah payah disibukkan kekurangan dana, Gan Thwan Sing berusaha keras untuk mewujudkan gagasannya dengan membuat wayang Cina - Jawa gaya baru. Pembuatannya dilakukan sedikit demi sedikit, tergantung pada dana yang tersedia. Sebagian terbuat dari kulit (kerbau). Sebagian lagi dari karton. Kira-kira pada tahun 1944, pembuatan wayang Cina - Jawa gaya baru itu, berjumlah sekitar duaratus buah. Cukup untuk mempergelarkan beberapa lakon.
  1. Soekanto, Sekitar Jogjakarta 1755-1825, Pen. Mahabarata, Djakarta - Amsterdam, 1952, halaman 27.
  2. Aquuie Boachi, "Mededeelingen over de Cllinezen op het -- Eiland Java", Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vierde Deel, halaman 278-301, tahun 1856, hal. 280.
  3. Ibid.
  4. H.J. De Graaf, "Boekbespreking", DJAWA, 19e, Jaargang, Java - Institutt, Jogkjakarta, 1939, halaman 71.
  5. Aquuie Boachi, op cit, halaman 280.
  6. Magdalena Sukattono, keterangan lisan.
  7. Aquasie Boachi, op cit, halaman 282.
  8. Soekanto, op cit, halaman 91.
  9. Lihat LAMPIRAN di halaman belakang.
  10. Lihat LAMPIRAN di halaman belakang.
  11. Aquasie Boachi, op cit, halaman 299 - 300.
  12. Ibid.
  13. 13 T. Roorda dkk., Javaansch-Nederlandsch Woordenboek, A.C. Vreede – J.G.H. Gunning, Amsterdam – Leiden, 1901, hal 68.
  14. Th.G.Th. Pigeaud, "Javanese and Balneae Manuscripts etc., Descriptive Catalogue", Veneichnir der Orientalischen Handschriften in Deutschland, W. Voigt, Wiesbaden, 1975, halaman 252.
  15. Ibid.
  16. F. Seltmann, "Schattenspiel in Sud-Tamil-Nadu", Bidragen Tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, jilid 135, 4e Aflevering. 's-Grawnhage-Martinus Nijhoff, Leiden, 1979, halaman 454 (dalam catatan kaki).
  17. F. Seltmann, Wajang Titi - Chinesisches Schattenspiel In Jogjakarta", RIMA, Vol. 10: 1, University of Sidney, Australia, 1976, halaman 54.
    Terjemahan dilakukan oleh Paul W. Suleman, S.H.
  18. Lihat Daftar Kata dan Istilah.
  19. Keterangan lisan dari Gani Lukito
  20. Keterangan lisan dari Gani Lukito.
  21. Krida Beksa Wirama, Pitedah pepatokaning Phwoelang Djoged Bedaja-Srimpi, I, Perc. Mataram T. No. 3577 Dk. Ngajogjakarta, hal.9.