Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960
Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Tidak ada Hak Cipta atas:
- hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
- peraturan perundang-undangan;
- pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
- putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
- kitab suci atau simbol keagamaan.
Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1960
TENTANG
PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: |
|
Berpendapat: |
|
|
Memperhatikan: | Usul Dewan Pertimbangan Agung Sementara Republik Indonesia No. 1/Kpts/Sd/II/60 tentang Perombakan Hak Tanah dan Penggunaan Tanah; |
Mengingat: |
|
Dengan mencabut: |
|
Menetapkan: | UNDANG-UNDANG tentang PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA. |
BAB I
DASAR-DASAR DAN KETENTUAN-KETENTUAN POKOK
BAB I
DASAR-DASAR DAN KETENTUAN-KETENTUAN POKOK
Pasal 1
|
|
Pasal 2
|
Pasal 3
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hakhak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. |
Pasal 4
|
Pasal 5
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya,segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. |
Pasal 6
Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. |
Pasal 7
Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. |
Pasal 8
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 diatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa. |
Pasal 9
|
Pasal 10
|
Pasal 11
|
Pasal 12
|
Pasal 13
|
Pasal 14
|
BAB II
HAK-HAK ATAS TANAH, AIR DAN RUANG ANGKASA SERTA PENDAFTARAN TANAH
BAB II
HAK-HAK ATAS TANAH, AIR DAN RUANG ANGKASA SERTA PENDAFTARAN TANAH
Bagian Bagian I
Ketentuan-ketentuan umum
Bagian Bagian I
Ketentuan-ketentuan umum
Pasal 16
|
Pasal 17
|
|
Pasal 18
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang. |
Bagian Bagian II
Pendaftaran Tanah
Bagian Bagian II
Pendaftaran Tanah
Pasal 19
|
Bagian Bagian III
Hak Milik
Bagian Bagian III
Hak Milik
Pasal 20
|
Pasal 21
|
|
Pasal 22
|
Pasal 23
|
Pasal 24
Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan peraturan perundangan. |
Pasal 25
Hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. |
Pasal 26
|
karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. |
Pasal 27
Hak milik hapus bila :
|
Bagian Bagian IV
Hak guna-usaha
Bagian Bagian IV
Hak guna-usaha
Pasal 28
|
Pasal 29
|
Pasal 30
|
|
Pasal 31
Hak guna usaha terjadi karena penetapan Pemerintah. |
Pasal 32
|
Pasal 33
Hak guna usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. |
Pasal 34
Hak guna usaha hapus karena :
|
Bagian Bagian V
Hak guna bangunan
Bagian Bagian V
Hak guna bangunan
Pasal 35
|
|
Pasal 36
|
Pasal 37
Hak guna bangunan terjadi :
|
Pasal 38
|
Pasal 39
Hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. |
Pasal 40
Hak guna bangunan hapus karena :
|
|
Bagian Bagian VI
Hak pakai
Bagian Bagian VI
Hak pakai
Pasal 41
|
Pasal 42
Yang dapat mempunyai hak pakai ialah :
|
Pasal 43
|
Bagian VII
Hak sewa untuk bangunan
Bagian VII
Hak sewa untuk bangunan
Pasal 44
|
Pasal 45
Yang dapat menjadi pemegang hak sewa ialah :
|
Bagian VIII
Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan
Bagian VIII
Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan
Pasal 46
|
Bagian IX
Hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan
Bagian IX
Hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan
Pasal 47
|
Bagian Bagian X
Hak guna ruang angkasa
Bagian Bagian X
Hak guna ruang angkasa
Pasal 48
|
Bagian Bagian XI
Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial
Bagian Bagian XI
Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial
Pasal 49
|
Bagian Bagian XII
Ketentuan-ketentuan lain
Bagian Bagian XII
Ketentuan-ketentuan lain
Pasal 50
|
Pasal 51
Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan tersebut dalam pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan Undang-undang. |
BAB III
KETENTUAN PIDANA
BAB III
KETENTUAN PIDANA
Pasal 52
|
BAB IV
KETENTUAN-KETENTUAN PERALIHAN
BAB IV
KETENTUAN-KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 53
|
Pasal 54
Berhubung dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal 21 dan 26, maka jika seseorang yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok telah menyatakan menolak kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok itu yang disahkan menurut peraturan perundangan yang bersangkutan, ia dianggap hanya berkewarganegaraan Indonesia saja menurut pasal 21 ayat (1). |
Pasal 55
|
Pasal 56
Selama Undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. |
Pasal 57
Selama Undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam S.1908-542 sebagai yang telah diubah dengan S. 1937-190. |
Pasal 58
Selama peraturan-peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum terbentuk, maka peraturan-peraturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hak-hak atas tanah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini serta diberi tafsiran sesuai dengan itu. |
Bagian KEDUA
KETENTUAN-KETENTUAN KONVERSI
Bagian KEDUA
KETENTUAN-KETENTUAN KONVERSI
Pasal I
|
Pasal II
|
Pasal III
|
Pasal IV
|
Pasal V
Hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan, yang ada pada mulai berlakunya Undangundang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat (1) yang berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun. |
Pasal VI
Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang |
ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, yaitu : hak vruchtgebruik, gebruik, grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuik,, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hakhak lain dengan nama apapun juga, yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1), yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. |
Pasal VII
|
Pasal VIII
|
Pasal IX
Hal-hal yang perlu untuk menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal di atas diatur lebih lanjut oleh Menteri Agraria. |
Bagian KETIGA
{{{2}}}
Bagian KETIGA
{{{2}}}
Perubahan susunan pemerintahan desa untuk menyelenggarakan perombakan hukum agraria menurut Undang-undang ini akan diatur tersendiri. |
Bagian KEEMPAT
{{{2}}}
Bagian KEEMPAT
{{{2}}}
A. Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini hapus dan beralih kepada Negara. |
B. Hal-hal yang bersangkutan dengan ketentuan-ketentuan dalam huruf A di atas diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. |
KELIMA
|
Disahkan di: Jakarta |
Diundangkan pada tanggal 24 September 1960 |
LEMBARAN NEGARA 1960 – 104
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960/Penjelasan
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1960
TENTANG
PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA
- A. PENJELASAN UMUM
- I.Tujuan Undang-Undang Pokok Agraria.
- Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang kita cita-citakan. Dalam pada itu hukum agraria yang berlaku sekarang ini, yang seharusnya merupakan salah satu alat yang penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur tersebut, ternyata bahkan sebaliknya, dalam banyak hal justru merupakan penghambat daripada tercapainya cita-cita di atas. Hal itu disebabkan terutama:
- a. karena hukum agraria yang berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan, dan sebagian lainnya lagi dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara di dalam melaksanakan pembangunan semesta dalam rangka menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini;
- b. karena sebagai akibat dari politik hukum pemerintah jajahan itu hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat di samping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat, hal mana selain menimbulkan pelbagai masalah antar golongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan Bangsa;
- c. karena bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.
- Berhubung dengan itu maka perlu adanya hukum agraria baru yang Nasional, yang akan mengganti hukum yang berlaku sekarang ini, yang tidak lagi bersifat dualisme, yang sederhana dan yang menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Hukum agraria yang baru itu harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksudkan di atas dan harus sesuai pula dengan kepentingan rakyat dan Negara serta memenuhi keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria. Lain dari itu hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan daripada azas kerohanian Negara dan cita-cita Bangsa yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan pelaksanaan daripada ketentuan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar dan Garis-garis besar daripada Haluan Negara yang tercantum di dalam Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 dan ditegaskan di dalam Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960.
- Berhubung dengan segala sesuatu itu maka hukum yang baru tersebut sendi-sendi dan ketentuanketentuan pokoknya perlu disusun di dalam bentuk Undang-undang, yang akan merupakan dasar bagi penyusunan peraturan lainnya. Sungguhpun Undang-undang itu formil tiada bedanya dengan Undangundang lainnya yaitu suatu peraturan yang dibuat oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi mengingat akan sifatnya sebagai peraturan dasar bagi hukum agraria yang baru, maka yang dimuat di dalamnya hanyalah azas-azas serta soal-soal pokok dalam garis besarnya saja dan oleh karenanya disebut Undang-Undang Pokok Agraria. Adapun pelak-sanaannya akan diatur di dalam berbagai Undang-undang, peraturan-peraturan Pemerintah dan peraturan perundangan lainnya.
- Demikianlah maka pada pokoknya tujuan Undang-Undang Pokok Agraria ialah :
- a. meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria Nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
- b. meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
- c. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
- II. Dasar-dasar dari hukum agraria nasional.
- (1) Pertama-tama dasar kenasionalan itu diletakkan dalam pasal 1 ayat (1), yang menyatakan, bahwa: “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”, dan pasal 1 ayat (2) yang berbunyi bahwa : “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Ini berarti bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya saja. Demikian pula tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Dengan pengertian demikian maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Negara. Adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu adalah hubungan yang bersifat abadi (pasal 1 ayat 3). Ini berarti bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. Dengan demikian maka biarpun sekarang ini daerah Irian Barat, yang merupakan bagian dari bumi, air dan ruang angkasa Indonesia berada di bawah kekuasaan penjajah, atas dasar ketentuan pasal ini bagian tersebut menurut hukum tetap merupakan bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia juga. Adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air serta ruang angkasa tersebut tidak berarti, bahwa hak milik perseorangan atas (sebagian dari) bumi tidak dimungkinkan lagi. Di atas telah dikemukakan, bahwa hubungan itu adalah semacam hubungan hak ulayat, jadi bukan berarti hubungan milik. Dalam rangka hak ulayat dikenal adanya hak milik perseorangan. Kiranya dapat ditegaskan bahwa dalam hukum agraria yang baru dikenal pula hak milik yang dapat dipunyai seseorang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orangorang lain atas bagian dari bumi Indonesia (pasal 4 jo. pasal 20). Dalam pada itu hanya permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah, yang dapat dihaki oleh seseorang.
- Selain hak milik sebagai hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, diadakan pula hak guna-usaha, hak guna- bangunan, hak-pakai, hak sewa dan hak-hak lainnya yang akan ditetapkan dengan undang-undang lain (pasal 4 jo. pasal 16). Bagaimana
- kedudukan hak-hak tersebut dalam hubungannya dengan hak bangsa (dan Negara) itu akan diuraikan dalam nomor 2 di bawah.
- (2) “Azas domein” yang dipergunakan sebagai dasar daripada perundang-undangan agraria yang berasal dari Pemerintah jajahan tidak dikenal dalam hukum agraria yang baru.
- Azas domein adalah bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan azas daripada Negara yang merdeka dan modern. Berhubung dengan ini azas tersebut, yang dipertegas dalam berbagai “pernyataan domein”, yaitu misalnya dalam pasal 1 Agrarisch Besluit (S. 1870-118), S. 1875-119a, S. 1874-94f, S. 1877-55 dan S. 1888-58 ditinggalkan dan pernyataan-pernyataan domein itu dicabut kembali.
- Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan dalam pasal 2 ayat (1) yang menyatakan, bahwa “Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh Negara”. Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut di atas perkataan “dikuasai” dalam pasal ini bukanlah berarti “dimiliki”, akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu, untuk pada tingkatan yang tertinggi :
- a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya;
- b. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu;
- c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
- Segala sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur (pasal 2 ayat 2 dan 3).
- Adapun kekuasaan Negara yang dimaksudkan itu mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan Negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyainya untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan Negara tersebut. Adapun isi hak-hak itu serta pembatasan-pembatasannya dinyatakan dalam pasal 4 dan pasal-pasal berikutnya serta pasal-pasal dalam Bab II.
- Kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan di atas Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing (pasal 2 ayat 4). Dalam pada itu kekuasaan Negara atas tanah-tanah inipun sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, sepanjang menurut kenyataannya hak ulayat itu masih ada, hal mana akan diuraikan lebih lanjut dalam nomor 3 di bawah ini.
- (3) Bertalian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan Negara sebagai yang disebut dalam pasal 1 dan 2 maka di dalam pasal 3 diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, yang dimaksud akan mendudukan hak itu pada tempat yang sewajarnya di dalam alam bernegara dewasa ini. Pasal 3 itu menentukan, bahwa :
- “Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyata-annya masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
- Ketentuan ini pertama-tama berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum agraria yang baru. Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula di dalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi di dalam undang-undang, dengan akibat bahwa di dalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu sering kali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat di dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya di dalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna usaha) masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi “recognitie”, yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat itu.
- Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut di daerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerah-daerah itu sendiri sering kali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat. Inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua daripada ketentuan pasal 3 tersebut di atas. Kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidaklah dapat dibenarkan, jika di dalam alam bernegara dewasa ini sesuatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan-akan ia terlepas daripada hubungannya dengan masyarakat-masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya di dalam lingkungan Negara sebagai kesatuan. Sikap yang demikian terang bertentangan dengan azas pokok yang tercantum dalam pasal 2 dan dalam prakteknya pun akan membawa akibat terhambatnya usaha-usaha besar untuk mencapai kemakmuran rakyat seluruhnya.
- Tetapi sebagaimana telah jelas dari uraian di atas, ini tidak berarti, bahwa kepentingan masyarakat hukum yang bersangkutan tidak akan diperhatikan sama sekali.
- (4) Dasar yang keempat diletakkan dalam pasal 6, yaitu bahwa : “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.
- Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara.
- Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan.
- Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (pasal 2 ayat 3).
- Berhubung dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hal yang sewajarnya bahwa tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu (pasal 15). Dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan kepentingan fihak yang ekonomi lemah.
- (5) Sesuai dengan azas kebangsaan tersebut dalam pasal 1 maka menurut pasal 9 jo pasal 21 ayat 1 hanya warganegara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Hak Milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan pemindahan Hak milik kepada orang asing dilarang (pasal 26 ayat 2). Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas. Demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik (pasal 21 ayat 2). Adapun pertimbangan untuk (pada dasarnya) melarang badan-badan hukum mempunyai hak milik atas tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya, asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi keperluan-keperluannya yang khusus (hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai menurut pasal 28, 35 dan 41). Dengan demikian maka dapat dicegah usaha-usaha yang bermaksud menghindari ketentuanketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang dipunyai dengan hak milik (pasal 17).
- Meskipun pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah, tetapi mengingat akan keperluan masyarakat yang sangat erat hubungannya dengan faham keagamaan, sosial dan hubungan perekonomian, maka diadakanlah suatu “escape-clause” yang memungkinkan badan-badan hukum tertentu mempunyai hak milik. Dengan adanya “escapeclause” ini maka cukuplah nanti bila ada keperluan akan hak milik bagi sesuatu atau sesuatu macam badan hukum diberikan dispensasi oleh Pemerintah, dengan jalan menunjuk badan hukum tersebut sebagai badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah (pasal 21 ayat 2). Badan-badan hukum yang bergerak dalam lapangan sosial dan keagamaan ditunjuk dalam pasal 49 sebagai badan-badan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, tetapi sepanjang tanahnya diperlukan untuk usahanya dalam bidang sosial dan keagamaan itu. Dalam hal-hal yang tidak langsung berhubungan dengan bidang itu mereka dianggap sebagai badan hukum biasa.
- (6) Kemudian dalam hubungannya pula dengan azas kebangsaan tersebut di atas ditentukan dalam pasal 9 ayat (2) bahwa : “Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.”
- Dalam pada itu perlu diadakan perlindungan bagi golongan warganegara yang lemah terhadap sesama warga negara yang kuat kedudukan ekonominya. Maka di dalam pasal 26 ayat 1 ditentukan bahwa : “Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatanperbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
- Ketentuan inilah yang akan merupakan alat untuk melindungi golongan-golongan yang lemah yang dimaksudkan itu.
- Dalam hubungan itu dapat ditunjuk pula pada ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam pasal 11 ayat 1, yang bermaksud mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agraria, hal mana bertentangan dengan azas keadilan sosial yang berperikemanusiaan. Segala usaha bersama dalam lapangan agraria harus didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional (pasal 12 ayat 1) dan Pemerintah berkewa-jiban untuk mencegah adanya organisasi dan usaha-usaha perseorangan dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli swasta (pasal 13 ayat 2). Bukan saja usaha Swasta, tetapi juga usaha-usaha Pemerintah yang bersifat monopoli harus dicegah jangan sampai merugikan rakyat banyak. Oleh karena itu usaha-usaha Pemerintah yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang (pasal 13 ayat 3).
- (7) Dalam pasal 10 ayat (1) dan (2) dirumuskan suatu azas yang pada dewasa ini sedang menjadi dasar dari pada perubahan-perubahan dalam struktur pertanahan hampir di seluruh dunia, yaitu di negara-negara yang telah/sedang menyelenggarakan apa yang disebut “landreform” atau “agrarian reform” yaitu, bahwa “Tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktip oleh pemiliknya sendirinya”.
- Agar supaya semboyan ini dapat diwujudkan perlu diadakan ketentuan-ketentuan lainnya. Misalnya perlu ada ketentuan tentang batas minimum luas tanah yang harus dimiliki oleh orang tani, supaya ia mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri dan keluarganya (pasal 13 jo pasal 17). Pula perlu ada ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang boleh dipunyai dengan hak milik (pasal 17), agar dicegah tertumpuknya tanah di tangan golongan-golongan tertentu saja. Dalam hubungan dengan ini pasal 7 memuat suatu azas yang penting, yaitu bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan, karena hal yang demikian itu adalah merugikan kepentingan umum. Akhirnya ketentuan itu perlu dibarengi pula dengan pemberian kredit, bibit dan bantuan-bantuan lainnya dengan syarat-syarat yang ringan, sehingga pemiliknya tidak akan terpaksa bekerja dalam lapangan lain, dengan menyerahkan penguasaan tanahnya kepada orang lain.
- Dalam pada itu mengingat akan susunan masyarakat pertanian kita sebagai sekarang ini kiranya sementara waktu yang akan datang masih perlu dibuka kemungkinan adanya penggunaan tanah pertanian oleh orang-orang yang bukan pemiliknya, misalnya secara sewa, bagi-hasil, gadai dan lain sebagainya. Tetapi segala sesuatu harus diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya, yaitu untuk mencegah hubungan-hubungan hukum yang bersifat penindasan si lemah oleh si kuat (pasal 24, 41 dan 53). Begitulah misalnya pemakaian tanah atas dasar sewa, perjanjian bagi-hasil, gadai dan sebagainya itu tidak boleh diserahkan pada persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan sendiri atas dasar “freefight”, akan tetapi penguasa akan memberi ketentuan-ketentuan tentang cara dan syarat-syaratnya, agar dapat memenuhi pertimbangan keadilan dan dicegah cara-cara pemerasan (“exploitation de I’homme par I’homme). Sebagai misal dapat dikemukakan ketentuan-ketentuan di dalam Undang-Undang No. 2 tahun 1960 tentang “Perjanjian Bagi Hasil” (LN. 1960-2).
- Ketentuan pasal 10 ayat 1 tersebut adalah suatu azas, yang pelaksanaannya masih memerlukan pengaturan lebih lanjut (ayat 2). Dalam keadaan susunan masyarakat kita sebagai sekarang ini maka peraturan pelaksanaan itu nanti kiranya masih perlu membuka kemungkinan diadakannya dispensasi. Misalnya seorang pegawai negeri yang untuk persediaan hari tuanya mempunyai tanah satu dua hektar dan berhubung dengan pekerjaannya tidak mungkin dapat mengusahakannya sendiri kiranya harus dimungkinkan untuk terus memiliki tanah tersebut. Selama itu tanahnya boleh diserahkan kepada orang lain untuk diusahakan dengan perjanjian sewa, bagi hasil dan lain sebagainya. Tetapi setelah ia tidak bekerja lagi, misalnya setelah pensiun, tanah itu harus diusahakannya sendiri secara aktip (ayat 3).
- (8) Akhirnya untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara tersebut di atas dalam bidang agraria, perlu adanya suatu rencana (“planning”) mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk pelbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara: Rencana Umum (“National planning”) yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus (“regional planning”) dari tiap-tiap daerah (pasal 14). Dengan adanya planning itu maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi Negara dan rakyat.
- III. Dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan hukum.
- Dasar-dasar untuk mencapai tujuan tersebut nampak jelas di dalam ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Bab II.
- (1) Sebagaimana telah diterangkan di atas hukum agraria sekarang ini mempunyai sifat “dualisme” dan mengadakan perbedaan antara hak-hak tanah menurut hukum adat dan hak-hak tanah menurut hukum barat, yang berpokok pada ketentuan-ketentuan dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. Undang-Undang Pokok Agraria bermaksud menghilangkan dualisme itu dan secara sadar hendak mengadakan kesatuan hukum, sesuai dengan keinginan rakyat sebagai bangsa yang satu dan sesuai dengan kepentingan perekonomian.
- Dengan sendirinya hukum agraria baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam Negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional, serta disesuaikan dengan Sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalistis dan masyarakat swapraja yang feodal.
- (2) Di dalam menyelenggarakan kesatuan hukum itu Undang-Undang Pokok Agraria tidak menutup mata terhadap masih adanya perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum dari golongan-golongan rakyat. Berhubung dengan itu ditentukan dalam pasal 11 ayat 2, bahwa : “Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hidup golongan rakyat di mana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional di perhatikan”. Yang dimaksud dengan perbedaan yang didasarkan atas golongan rakyat misalnya perbedaan dalam keperluan hukum rakyat kota dan rakyat pedesaan, pula rakyat yang ekonominya kuat dan rakyat yang lemah ekonominya. Maka ditentukan dalam ayat 2 tersebut selanjutnya, bahwa dijamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomi lemah.
- (3) Dengan hapusnya perbedaan antara hukum adat dan hukum barat dalam bidang hukum agraria, maka maksud untuk mencapai kesederhanaan hukum pada hakekatnya akan terselenggara pula.
- Sebagai yang telah diterangkan di atas, selain hak milik sebagai hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, hukum agraria yang baru pada pokoknya mengenai hak-hak atas tanah menurut hukum adat sebagai yang disebut dalam pasal 16 ayat 1 huruf d sampai dengan g. Adapun untuk memenuhi keperluan yang telah terasa dalam masyarakat kita sekarang diadakan 2 hak baru, yaitu hak guna usaha (guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan) dan hak guna bangunan (guna mendirikan/mempunyai bangunan di atas tanah orang lain) (pasal 16 ayat 1 huruf b dan c).
- Adapun hak-hak yang pada mulai berlakunya Undang-undang ini semuanya akan dikonversi menjadi salah satu hak yang baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria.
- IV. Dasar-dasar untuk mengadakan kepastian hukum.
- Usaha yang menuju ke arah kepastian hak atas tanah ternyata dari ketentuan dari pasal-pasal yang mengatur pendaftaran tanah.
- Pasal 23, 32 dan 38 ditujukan kepada para pemegang hak yang bersangkutan, dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya itu. Sedangkan pasal 19 ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu instruksi, agar di seluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat “rechts-kadaster”, artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum.
- Adapun pendaftaran itu akan diselenggarakan dengan mengingat pada kepentingan serta keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi dan kemungkinan-kemungkinannya dalam bidang personil dan peralatannya. Oleh karena itu maka akan didahulukan penyelenggaraannya di kota-kota untuk lambat laun meningkat pada kadaster yang meliputi seluruh wilayah Negara.
- Sesuai dengan tujuannya yaitu akan memberikan Kepastian hukum maka pendaftaran itu diwajibkan bagi para pemegang hak yang bersangkutan, dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya itu sedangkan pasal 19 ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu instruksi; agar diseluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat “ rechtskadaster” artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum.
- Adapun pendaftaran itu akan diselenggarakan dengan mengingat pada kepentingan serta keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sisial ekonomi dan kemungkinan-kemungkinan dalam bidang personil dan peralatannya. Oleh karena itu lambat laun meningkat pada kadaster yang meliputi seluruh wilayah Negara.
- Sesuai dengan tujuannya yaitu akan memberikan kepastian hukum, maka pendaftaran itu diwajibkan bagi para pemegang hak yang bersangkutan. Jika tidak diwajibkan maka diadakannya pendaftaran tanah, yang terang akan memerlukan banyak tenaga, alat dan biaya itu, tidak akan ada artinya sama sekali.
- B. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
- Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 1). Dalam Undang-Undang Pokok Agraria diadakan perbedaan antara pengertian “bumi” dan “tanah”, sebagai yang dirumuskan dalam pasal 1 ayat 3 dan pasal 4 ayat 1.
- Yang dimaksud dengan “tanah” ialah permukaan bumi.
- Perluasan pengertian “bumi” dan air dengan ruang angkasa adalah bersangkutan dengan kemajuan teknik dewasa ini dan kemungkinan-kemungkinannya dalam waktu-waktu yang akan datang.
Pasal 2
- Sudah diuraikan dalam Penjelasan Umum (II angka 2).
- Ketentuan dalam ayat 4 adalah bersangkutan dengan azas otonomi dan medebewind dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Soal agraria menurut sifatnya dan pada azasnya merupakan tugas Pemerintah Pusat (pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar). Dengan demikian maka pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari Negara atas tanah itu adalah merupakan medebewind. Segala sesuatunya akan diselenggarakan menurut keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Wewenang dalam bidang agraria dapat merupakan sumber keuangan bagi daerah itu.
Pasal 3
- Yang dimaksud dengan “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu” ialah apa yang di dalam perpustakaan adat disebut “beschikkingsrecht”. Selanjutnya lihat Penjelasan Umum (II angka 3).
Pasal 4
- Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 1)
Pasal 5
- Penegasan bahwa hukum adat dijadikan dasar dari hukum agraria yang baru. Selanjutnya lihat Penjelasan Umum (III angka 1).
Pasal 6
- Tidak hanya hak milik tetapi semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hal ini telah diuraikan dalam Penjelasan Umum (II angka 4).
Pasal 7
- Azas yang menegaskan dilarangnya “groot-grondbezit” sebagai yang telah diuraikan dalam Penjelasan Umum (II angka 7). Soal pembatasan itu diatur lebih lanjut dalam pasal 17. Terhadap azas ini tidak ada pengecualiannya.
Pasal 8
- Karena menurut ketentuan dalam pasal 4 ayat 2 hak-hak atas tanah itu hanya memberi hak atas permukaan bumi saja, maka wewenang-wewenang yang bersumber daripadanya tidaklah mengenai kekayaan-kekayaan alam yang terkandung di dalam tubuh bumi, air dan ruang angkasa. Oleh karena itu maka pengambilan kekayaan yang dimaksudkan itu memerlukan pengaturan tersendiri. Ketentuan ini merupakan pangkal bagi perundang-undangan pertambangan dan lain-lainnya.
Pasal 9
- Ayat 1 telah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 5). Ketentuan dalam ayat 2 adalah akibat daripada ketentuan dalam pasal 1 ayat 1 dan 2.
Pasal 10
- Sudah dijelaskan di dalam Penjelasan Umum (II angka 7). Kata-kata “pada asasnya” menunjuk pada kemungkinan diadakannya pengecualian-pengecualian sebagai yang disebutkan sebagai misal di dalam Penjelasan Umum itu. Tetapi pengecualian-pengecualian itu perlu diatur di dalam peraturan perundangan (Bandingkan penjelasan pasal 7). Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya masih dimungkinkan oleh pasal 24, tetapi dibatasi dan akan diatur.
Pasal 11
- Pasal ini memuat prinsip perlindungan kepada golongan yang ekonomis lemah terhadap yang kuat. Golongan yang ekonomis lemah itu bisa warga negara asli maupun keturunan asing. Demikian pula sebaliknya. Lihat Penjelasan Umum (III angka 2).
Pasal 12
- Ketentuan dalam ayat 1 bersangkutan dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal 11 ayat 1. Bentuk usaha bersama yang sesuai dengan ketentuan ini adalah bentuk koperasi dan bentuk-bentuk gotongroyong lainnya. Ketentuan dalam ayat 2 memberi kemungkinan diadakannya suatu “usaha bersama” antara Negara dan Swasta dalam bidang agraria. Yang dimaksud dengan “fihak lain” itu ialah
- Pemerintah Daerah, pengusaha swasta yang bermodal nasional atau swasta dengan “domestic-capital” yang progressip.
Pasal 13
- Ayat 1, 2 dan 3. Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 6).
- Ketentuan dalam ayat 4 adalah pelaksanaan daripada azas keadilan sosial yang berperikemanusiaan dalam bidang agraria.
Pasal 14
- Pasal ini mengatur soal perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang telah dikemukakan dalam Penjelasan Umum (II angka 8). Mengingat akan corak perekonomian Negara di kemudian hari di mana industri dan pertambangan akan mempunyai peranan yang penting, maka di samping perencanaan untuk pertanian perlu diperhatikan, pula keperluan untuk industri dan pertambangan (ayat 1 huruf d dan e). Perencanaan itu tidak saja bermaksud menyediakan tanah untuk pertanian, peternakan, perikanan, industri dan pertambangan, tetapi juga ditujukan untuk memajukannya. Pengesahan peraturan Pemerintah Daerah harus dilakukan dalam rangka rencana umum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan sesuai dengan kebijaksanaan Pusat.
Pasal 15
- Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 4). Tanah wajib dipelihara dengan baik, yaitu dipelihara menurut cara-cara yang lazim dikerjakan di daerah yang bersangkutan, sesuai dengan petunjuk-petunjuk dari Jawatan-jawatan yang bersangkutan.
Pasal 16
- Pasal ini adalah pelaksanaan daripada ketentuan dalam pasal 4. Sesuai dengan azas yang diletakkan dalam pasal 5, bahwa hukum pertanahan yang Nasional didasarkan atas hukum adat maka penentuan hak-hak atas tanah dan air dalam pasal ini didasarkan pula atas sistematik dari hukum adat. Dalam pada itu hak guna usaha dan hak guna bangunan diadakan untuk memenuhi keperluan masyarakat modern dewasa ini . Perlu kiranya ditegaskan bahwa hak guna usaha bukan hak erfpacht dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hak guna bangunan bukan hak opstal. Lembaga erfpacht dan opstal ditiadakan dengan dicabutnya ketentuan-ketentuan dalam Buku ke II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
- Dalam pada itu hak-hak adat yang sifatnya bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Undangundang ini (pasal 7 dan 10) tetapi berhubung dengan keadaan masyarakat sekarang ini belum dapat dihapuskan, diberi sifat sementara dan akan diatur (ayat 1 huruf h jo pasal 53).
Pasal 17
- Ketentuan pasal ini merupakan pelaksanaan daripada yang ditentukan dalam pasal 7. Penetapan batas luas maksimum akan dilakukan di dalam waktu yang singkat dengan peraturan perundangan. Tanahtanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum itu tidak akan disita, tetapi akan diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian. Tanah-tanah tersebut selanjutnya akan dibagi-bagikan kepada rakyat yang membutuhkannya. Ganti kerugiann kepada bekas pemilik tersebut di atas pada azasnya harus dibayar oleh mereka yang memperoleh bagian tanah itu. Tetapi oleh karena mereka itu umumnya tidak mampu untuk membayar harga tanahnya di dalam waktu yang singkat, maka oleh Pemerintah akan disediakan kredit dan usaha-usaha lain supaya para bekas pemilik tidak terlalu lama menunggu uang ganti kerugian yang dimaksudkan itu.
- Ditetapkannya batas minimum tidaklah berarti bahwa orang-orang yang mempunyai tanah kurang dari itu akan dipaksa untuk melepaskan tanahnya. Penetapan batas minimum itu pertama-tama
- dimaksudkan untuk mencegah pemecah belahan (“versplintering”) tanah lebih lanjut. Di samping itu akan diadakan usaha-usaha misalnya : transmigrasi, pembukaan tanah besar-besaran di luar Jawa dan industrialisasi, supaya batas minimum tersebut dapat dicapai secara berangsur-angsur.
- Yang dimaksud dengan “keluarga” ialah suami, isteri serta anak-anaknya yang belum kawin dan menjadi tanggungannya dan yang jumlahnya berkisar sekitar 7 orang. Baik laki-laki maupun wanita dapat menjadi kepala keluarga.
Pasal 18
- Pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti kerugian yang layak.
Pasal 19
- Pendaftaran tanah ini akan diselenggarakan dengan cara yang sederhana dan mudah dimengerti serta dijalankan oleh rakyat yang bersangkutan (Lihat Penjelasan Umum IV).
Pasal 20
- Dalam pasal ini disebutkan sifat-sifat daripada hak milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya. Hak milik adalah hak yang “terkuat dan terpenuh” yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti, bahwa hak itu merupakan hak yang “mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat” sebagai hak eigendom menurut pengertiannya yang asli dulu. Sifat yang demikian akan terang bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. Katakata “terkuat dan terpenuh” itu bermaksud untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lain-lainnya, yaitu untuk menunjukkan, bahwa di antara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang hak miliklah yang “ter” (artinya : paling) kuat dan terpenuh.
Pasal 21
- Ayat 1 dan 2 sudah diuraikan dalam Penjelasan Umum (II angka 5). Dalam ayat 3 hanya disebut 2 cara memperoleh hak milik karena lain-lain cara dilarang oleh pasal 26 ayat 2. Adapun cara-cara yang disebut dalam ayat ini adalah cara-cara memperoleh hak tanpa melakukan sesuatu tindakan positip yang sengaja ditujukan pada terjadinya peralihan hak itu. Sudah selayaknya kiranya bahwa selama orang-orang warganegara membiarkan diri di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan Negara lain, dalam hal pemilikan tanah dia dibedakan dari warganegara Indonesia lainnya.
Pasal 22
- Sebagai misal dari cara terjadinya hak milik menurut hukum adat ialah pembukaan tanah. Cara-cara itu akan diatur supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan Negara.
Pasal 23
- Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (angka IV).
Pasal 24
- Sebagai pengecualian dari azas yang dimuat dalam pasal 10. Bentuk-bentuk hubungan antara pemilik dan penggarap/pemakai itu ialah misalnya : sewa, bagi hasil, atau hak guna bangunan.
Pasal 25
- Tanah milik yang dibebani hak tanggungan ini tetap di tangan pemiliknya, Pemilik tanah yang memerlukan uang dapat pula (untuk sementara) menggadaikan tanahnya menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal 53. Di dalam hal ini maka tanahnya beralih pada pemegang gadai.
Pasal 26
- Ketentuan dalam ayat 1 sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 6) dengan tujuan untuk melindungi fihak yang ekonomis lemah. Dalam Undang-Undang Pokok ini perbedaannya tidak lagi diadakan antara warga negara asli dan tidak asli, tetapi antara yang ekonomis kuat dan lemah. Fihak yang kuat itu bisa warganegara yang asli maupun tidak asli. Sedang apa yang disebut dalam ayat 2 adalah akibat daripada ketentuan dalam pasal 21 mengenai siapa yang tidak dapat memiliki tanah.
Pasal 27
- Tanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya.
Pasal 28
- Hak ini adalah hak yang khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan. Bedanya dengan hak pakai ialah bahwa hak guna usaha ini hanya dapat diberikan untuk keperluan di atas dan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar. Berlainan dengan hak pakai maka hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepada fihak lain dan dapat dibebani dengan hak tanggungan. Hak guna usaha pun tidak dapat diberikan kepada orang-orang asing, sedang kepada badan-badan hukum yang bermodal asing hanya mungkin dengan pembatasan yang disebut dalam pasal 55.
- Untuk mendorong supaya pemakaian dan pengusahaan tanahnya dilakukan efficient, maka ditentukan bahwa mengenai tanah yang luasnya 25 hektar atau lebih harus ada investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik. Ini tidak berarti bahwa tanah-tanah yang luasnya kurang dari 25 hektar itu pengusahaannya boleh dilakukan secara yang tidak baik, karena di dalam hal yang demikian hak guna usahanya dapat dicabut (pasal 34).
Pasal 29
- Menurut sifat dan tujuannya hak guna usaha adalah hak yang waktu berlakunya terbatas. Jangka waktu 25 atau 35 tahun dengan kemungkinan memperpanjang dengan 25 tahun dipandang sudah cukup lama untuk keperluan pengusahaan tanaman-tanaman yang berumur panjang. Penetapan jangka waktu 35 tahun misalnya mengingat pada tanaman kelapa sawit.
Pasal 30
- Hak guna usaha tidak dapat dipunyai oleh orang asing.
- Badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak itu hanyalah badan-badan hukum yang bermodal nasional yang progresip, baik asli maupun tidak asli. Bagi badan-badan hukum yang bermodal asing hak guna usaha hanya dibuka kemungkinannya untuk diberikan jika hal itu diperlukan oleh Undangundang yang mengatur pembangunan nasional semesta berencana (pasal 55).
Pasal 31 s/d 34
- Tidak memerlukan penjelasan. Mengenai ketentuan dalam pasal 32 sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (angka IV).
Pasal 35
- Berlainan dengan hak guna usaha maka hak guna bangunan tidak mengenai tanah pertanian. Oleh karena itu selain atas tanah yang dikuasai oleh Negara dapat pula diberikan atas tanah milik seseorang.
Pasal 36
- Penjelasannya sama dengan pasal 30.
Pasal 37 s/d 40
- Tidak memerlukan penjelasan. Mengenai apa yang ditentukan dalam pasal 38 sudah dijelaskan di dalam Penjelasan Umum (angka IV).
Pasal 41 dan 42
- Hak pakai adalah suatu “kumpulan pengertian” daripada hak-hak yang dikenal dalam hukum pertanahan dengan berbagai nama, yang semuanya dengan sedikit perbedaan berhubung dengan keadaan daerah sedaerah, pada pokoknya memberi wewenang kepada yang mempunyainya sebagai yang disebutkan dalam pasal ini. Dalam rangka usaha penyederhanaan sebagai yang dikemukakan dalam Penjelasan Umum, maka hak-hak tersebut dalam hukum agraria yang baru disebut dengan satu nama saja.
- Untuk gedung-gedung kedutaan Negara-negara Asing dapat diberikan pula hak pakai, oleh karena hak ini dapat berlaku selama tanahnya dipergunakan untuk itu. Orang-orang dan badan-badan hukum asing dapat diberi hak pakai, karena hak ini hanya memberi wewenang yang terbatas.
Pasal 43
- Tidak memerlukan penjelasan.
Pasal 44 dan 45
- Oleh karena hak sewa merupakan hak pakai yang mempunyai sifat-sifat khusus maka disebut tersendiri. Hak sewa hanya disediakan untuk bangunan-bangunan berhubung dengan ketentuan pasal 10 ayat 1. Hak sewa tanah pertanian hanya mempuyai sifat sementara (pasal 16 jo 53). Negara tidak dapat menyewakan tanah, karena Negara bukan pemilik tanah.
Pasal 46
- Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan adalah hak-hak dalam hukum adat yang menyangkut tanah. Hak-hak ini perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah demi kepentingan umum yang lebih luas daripada kepentingan orang atau masyarakat hukum yang bersangkutan.
Pasal 47
- Hak guna air dan hak pemeliharaan dan penangkapan ikan adalah mengenai air yang tidak berada di atas tanah miliknya sendiri. Jika mengenai air yang berada di atas tanah miliknya maka hal-hal ini sudah termasuk dalam isi dari-pada hak milik atas tanah.
- Hak guna air ialah hak akan memperoleh air dari sungai, saluran atau mata air yang berada di luar tanah miliknya, misalnya untuk keperluan mengairi tanahnya, rumah tangga dan lain sebagainya. Untuk itu maka seringkali air yang diperlukan itu perlu dialirkan (didatangkan) melalui tanah orang lain dan air yang tidak diperlukan seringkali perlu dialirkan pula (dibuang) melalui tanah orang yang lain lagi. Orang-orang tersebut tidak boleh menghalang-halangi pemilik tanah itu untuk mendatangkan dan membuang air tadi melalui tanahnya masing-masing.
Pasal 48
- Hak guna ruang angkasa diadakan mengingat kemajuan teknik dewasa ini dan kemungkinankemungkinannya di kemudian hari.
Pasal 49
- Untuk menghilangkan keragu-raguan dan kesangsian maka pasal ini memberi ketegasan, bahwa soalsoal yang bersangkutan dengan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, dalam hukum agraria yang baru akan mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Hubungkan pula dengan ketentuan dalam pasal 5 dan pasal 14 ayat 1 huruf b.
Pasal 50 dan 51
- Sebagai konsekuensi, bahwa dalam Undang-undang ini hanya dimuat pokok-pokoknya saja dari hukum agraria yang baru.
Pasal 52
- Untuk menjamin pelaksanaan yang sebaik-baiknya daripada peraturan-per-aturan serta tindakantindakan yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Pokok Agraria maka diperlukan adanya sanksi pidana sebagai yang ditentukan dalam pasal ini.
Pasal 53
- Sudah dijelaskan dalam penjelasan pasal 16.
Pasal 54
- Pasal ini diadakan berhubung dengan ketentuan dalam pasal 21 dan 26. Seseorang yang telah menyatakan menolak kewarganegaraan RRC tetapi pada tanggal mulai berlakunya Undang-undang ini belum mendapat pengesahan akan terkena oleh Ketentuan Konversi pasal I ayat 3, pasal II ayat 2 dan pasal VIII. Tetapi setelah pengesahan penolakan itu diperolehnya maka baginya terbuka kemungkinan untuk memperoleh hak atas tanah sebagai seorang yang berkewarganegaraan Indonesia tunggal. Hal itu berlaku juga bagi orang-orang yang disebutkan di dalam pasal 12 Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1959, yaitu sebelumnya diperoleh penegasan dari instansi yang berwenang.
Pasal 55
- Sudah dijelaskan dalam penjelasan pasal 30.
- Ayat 1. mengenai modal asing yang sekarang sudah ada, sedang ayat 2 menunjuk pada modal asing baru. Sebagaimana telah ditegaskan dalam penjelasan pasal 30 pemberian hak baru menurut ayat 2 ini hanya dimungkinkan kalau hal itu diperlukan oleh Undang-undang pembangunan nasional semesta berencana.
- Kedua : hak-hak yang ada sekarang ini menurut Ketentuan Konvensi ini semuanya menjadi hak-hak baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria.
- Hak guna usaha dan hak guna bangunan yang disebut dalam pasal I, II, III, IV dan V berlangsung dengan syarat-syarat umum yang ditetapkan dalam Peraturan yang dimaksud dalam pasal 50 ayat 2 dan syarat-syarat khusus yang bersangkutan dengan keadaan tanahnya dan sebagai yang disebutkan dalam akte haknya yang dikonversi itu, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturannya yang baru.
- Ketiga : Perubahan susunan pemerintahan desa perlu diadakan untuk menjamin pelaksanaan yang sebaik-baiknya daripada perombakan hukum agraria menurut Undang-undang ini. Pemerintah desa akan merupakan pelaksana yang mempunyai peranan yang sangat penting.
- Keempat : Ketentuan ini bermaksud menghapuskan hak-hak yang masih bersifat feodal dan tidak sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR 2043