Lompat ke isi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 (UU/2006/17)  (2006) 

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006

TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan; b. bahwa beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sudah tidak sesuai dengan penyelenggaraan kepabeanan sehingga perlu dilakukan perubahan; c. bahwa dalam upaya untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan, transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik, untuk mendukung upaya peningkatan dan pengembangan perekonomian nasional yang berkaitan dengan perdagangan global, untuk mendukung kelancaran arus barang dan meningkatkan efektivitas pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean Indonesia dan lalu lintas barang tertentu dalam daerah pabean Indonesia, serta untuk mengoptimalkan pencegahan dan penindakan penyelundupan, perlu pengaturan yang lebih jelas dalam pelaksanaan kepabeanan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564); 3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995, Nomor 3612);

Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 3612) diubah sebagai bertikut:

1. Ketentuan Pasal 1 angka 1 dan angka 17 diubah dan ditambah 4 (empat) angka, yaitu angka 15a, angka 19, angka 20, dan angka 21 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan : 1. Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar. 2. Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang ini. 3. Kawasan pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 4. Kantor pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. 5. Pos pengawasan pabean adalah tempat yang digunakan oleh pejabat bea dan cukai untuk melakukan pengawasan terhadap lalu lintas barang impor dan ekspor. 6. Kewajiban pabean adalah semua kegiatan di bidang kepabeanan yang wajib dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini. 7. Pemberitahuan pabean adalah pernyataan yang dibuat oleh orang dalam rangka melaksanakan kewajiban pabean dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan dalam Undang- Undang ini. 8. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. 9. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai. 10. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah unsur pelaksana tugas pokok dan fungsi Departemen Keuangan di bidang kepabeanan dan cukai. 11. Pejabat bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang ini. 12. Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. 13. Impor adalah kegiatan memasukan barang ke dalam daerah pabean. 14. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean. 15. Bea Masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini yang dikenakan terhadap barang yang di impor. 15a. Bea keluar adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini yang dikenakan terhadap barang ekspor. 16. Tempat penimbunan sementara adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu di kawasan pabean untuk menimbun barang, sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya. 17. Tempat penimbunan berikat adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk. 18. Tempat penimbunan pabean adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu, yang disediakan oleh pemerintah di kantor pabean, yang berada di bawah pengelolaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk menyimpan barang yang dinyatakan tidak dikuasai, barang yang dikuasai negara, dan barang yang menjadi milik negara berdasarkan Undang-Undang ini. 19. Barang tertentu adalah barang yang ditetapkan oleh instansi teknis terkait sebagai barang yang pengangkutannya di dalam daerah pabean diawasi. 20. Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/ atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. 21. Tarif adalah klasifikasi barang dan pembebanan bea masuk atau bea keluar.

2. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) diubah sehingga pasal 2 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 2

(1) Barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean diperlakukan sebagai barang impor dan terutang bea masuk. (2) Barang yang dimuat di sarana pengangkut untuk dikeluarkan dari daerah pabean dianggap telah diekspor dan diperlakukan sebagai barang ekspor. (3) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan barang ekspor dalam hal dapat dibuktikan bahwa barang tersebut ditujukan untuk dibongkar di suatu tempat dalam daerah pabean.

3. Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 Pasal yaitu Pasal 2A yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 2A

(1) Terhadap barang ekspor dapat dikenakan bea keluar. (2) Bea Keluar dikenakan terhadap barang ekspor dengan tujuan untuk : a. menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri; b. melindungi kelestarian sember daya alam; c. mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dan komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional; atau d. menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri; (3) Ketentuan mengenai pengenaan bea keluar terhadap barang ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

4. Ketentuan Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 3

(1) Terhadap barang impor dilakukan pemeriksaan pabean. (2) Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang. (3) Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara selektif. (4) Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

5. Pasal 4 tetap dengan perubahan penjelasan Pasal 4 sehingga penjelasan Pasal 4 menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-undang ini.

6. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 4A yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 4A

(1) Terhadap barang tertentu dilakukan pengawasan pengangkutannya dalam daerah panean. (2) Instansi teknis terkait, melalui menteri yang membidangi perdagangan, memberitahukan jenis barang yang ditetapkan sebagai barang tertentu kepada Menteri. (3) Ketentuan mengenai pengawasan pengangkutan barang tertentu mengenai pengangkutan barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.

7. Ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 5 berbunyi sebagaiberikut :

Pasal 5

(1) Pemenuhan kewajiban pabean dilakukan di kantor pabean atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean dengan menggunakan pemberitahuan pabean. (2) Pemberitahuan pabean disampaikan kepada pejabat bea dan cukai di kantor pabean atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean. (3) untuk pelaksanaan dan pengawasan pemenuhan kewajiban pabean, ditetapkan kawasan pabean, dan pos pengawasan pabean. (4) Penetapan kawasan pebean, kantor kantor pabean, dan pos pengawasan pebean dilakukan oleh Menteri.

8. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) Pasal, yaitu Pasal 5A yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 5A

(1) Pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dapat disampaikan dalam bentuk tulisan di atas formulir atau dalam bentuk data elektronik. (2) Penetapan kantor pabean tempat penyampaian pemberitahuan pabean dalam bentuk data elektronik dilakukan oleh Menteri. (3) Data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat bukti yang sah menurut Undang-Undang ini. (4) Ketentuan mengenai tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

9. Ketentuan Pasal 6 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6

(1) Terhadap barang yang diimpor atau diekspor berlaku segala ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. (2) Dalam hal pengawasan pengangkutan barang tertentu tidak diatur oleh instansi teknis terkait, pengaturannya didasarkan pada ketentuan Undang-Undang ini.

10. Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 6A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6A

(1) Orang yang akan melakukan pemenuhan kewajiban pabean wajib melakukan registrasi ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mendapat nomor identitas dalam rangka akses kepabeanan. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) orang yang melakukan pemenuhan kewajiban pabean tertentu (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

11. Judul BAB II diubah sehingga BAB II berbunyi sebagai berikut :

BAB II PENGANGKUTAN BARANG, IMPOR, DAN EKSPOR

12. Judul BAB II Bagian Pertama diubah sehingga BAB II Bagian Pertama berbunyi sebagai berikut :

Bagian Pertama Pengangkutan Barang

13. Judul BAB II Bagian Pertama Paragraf 1 diubah sehingga BAB II Bagian Pertama Paragraf 1 berbunyi sebagai berikut :

Paragraf 1 Kedatangan Sarana Pengangkut

14. Pasal 7 dihapus.

15. Di antara Pasal 7 dan BAB II Bagian Pertama Paragraf 2 disisipkan 1 (satu) pasal 7A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7A

(1) Pengangkut yang sarana pengangkutnya akan datang dari: a. luar daerah pabean; atau b. dalam daerah pabean yang mengangkut barang impor, barang ekspor, dan/atau barang asal daerah pabean yang diangkut ke tempat lain dalam daerah pabean melalui luar daerah pabean, wajib memberitahukan rencana kedatangan sarana pengangkut ke kantor pabean tujuan sebelum kedatangan sarana pengangkut, kecuali sarana pengangkut darat. (2) Pengangkut yang sarana pengangkutnya memasuki daerah pabean wajib mencantumkan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam manifesnya. (3) Pengangkut yang sarana pengangkutannya datang dari luar daerah pabean atau datang dari dalam daerah pabean dengan mengangkut barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyerahkan pemberitahuan pabean mengenai barang yang diangkutnya sebelum melakukan pembongkaran. (4) Dalam hal tidak segera dilakukan pembongkaran, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan: a. paling lambat 24 (dua puluh empat) jam sejak kedatangan sarana pengangkut, untuk sarana pengangkut yang melalui laut; b. paling lambat 8 (delapan) jam sejak kedatangan sarana pengangkut, untuk sarana pengangkut yang melalui udara; atau c. pada saat kedatangan sarana pengangkut, untuk sarana pengangkut yang melalui darat. (5) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dikecualikan bagi pengangkut yang berlabuh paling lama 24 (dua puluh empat) jam dan tidak melakukan pembongkaran barang. (6) Dalam hal sarana pengangkut dalam keadaan darurat, pengangkut dapat membongkar barang impor terlebih dahulu wajib: a. melaporkan keadaan darurat tersebut ke kantor pabean terdekat pada kesempatan pertama; dan b. menyerahkan pemberitahuan pabean paling lambat 72 (tujuh puluh dua) jam sesudah pembongkaran. (7) Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (8) Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), atau ayat (6) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (9) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

16. Judul BAB II Bagian Pertama Paragraf 2 diubah sehingga BAB II Bagian Pertama Paragraf 2 berbunyi sebagai berikut :

Paragraf 2 Pengangkutan Barang

17. Pasal 8 dihapus.

18. Di antara Pasal 8 BAB II Bagian Pertama Paragraf 3 disisipkan 3 (tiga) pasal yaitu Pasal 8A, Pasal 8B, dan Pasal 8C yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8A

(1) Pengangkutan barang impor dari tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan berikat dengan tujuan tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan berikat lainnya wajib diberitahukan ke kantor pabean. (2) Pengusaha atau importir yang telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlah barang impor yang dibongkar kurang dari yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, wajib membayar bea masuk atas barang impor yang kurang dibongkar dan dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). (3) Pengusaha atau importir yang telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlah barang impor yang dibongkar lebih dari yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi dil luar kemampuannya, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). (4) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

Pasal 8B

(1) Pengangkutan tenaga listrik, barang cair, atau gas untuk impor atau ekspor dapat dilakukan melalui transmisi atau saluran pipa yang jumlah dan jenis barangnya didasarkan pada hasil pengukuran di tempat pengukuran terakhir dalam daerah pabean. (2) Pengiriman peranti lunak dan/atau data elektronik untuk impor atau ekspor dapat dilakukan melalui transmisi eletronik. (3) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengiriman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

Pasal 8C

(1) Barang tertentu wajib diberitahukan oleh pengangkut baik pada waktu keberangkatan maupun kedatangan di kantor pabean yang ditetapkan. (2) Barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilindungi dokumen yang sah dalam pengangkutannya. (3) Pengangkut yang telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlahnya kurang atau lebih dari yang diberitahukan dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (4) Pengangkut yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

19. Judul BAB II Bagian Pertama Paragraf 3 diubah sehingga BAB II Bagian Pertama Paragraf 3 berbunyi sebagai berikut:

Paragraf 3 Keberangakatan Sarana Pengangkut

20. Pasal 9 dihapus.

21. Di antara Pasal 9 dan BAB II Bagian Kedua disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 9A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9A

(1) Pengangkut yang sarana pengangkutnya akan berangkat menuju : a. ke luar daerah pabean; b. ke dalam daerah pabean yang mengangkut barang impor, barang ekspor, dan/atau barang asal daerah pabean yang diangkut ke tempat lain di dalam daerah pabean melalui luar daerah pabean, wajib menyerahkan pemberitahuan pabean atas barang yang diangkutnya sebelum keberangkatan sarana pengangkut. (2) Pengangkut yang sarana pengangkutnya menuju ke luar daerah pabean wajib mencantumkan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam manifesnya. (3) Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

22. Judul BAB II Bagian Kedua diubah sehingga BAB II Bagian Kedua berbunyi sebagai berikut :

Bagian Kedua Impor

23. Pasal 10 dihapus.

24. BAB II Bagian Kedua ditambah 3 (tiga) paragraf, yaitu Paragraf 1, Paragraf 2, dan Paragraf 3 yang berbunyi sebagai berikut :

Paragraf 1 Pembongkaran, Penimbunan, dan Pengeluaran

Pasal 10A

(1) Barang impor yang diangkut sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (1) wajib dibongkar di kawasan pabean atau dapat dibongkar di tempat lain setelah mendapat izin kepala kantor pabean. (2) Barang impor yang diangkut sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (1) dapat dibongkar ke sarana pengangkut lainnya di laut dan barang tersebut wajib dibawa ke kantor pabean melalui jalur yang ditetapkan. (3) Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana pada ayat (1), tetapi jumlah barang impor yang dibongkar kurang dari yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, wajib membayar bea masuk atas barang impor yang kurang dibongkar dan dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). (4) Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlah barang impor yang dibongkar lebih banyak dari yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (5) Barang impor, sementara menunggu pengeluarannya dari kawasan pabean, dapat ditimbun di tempat penimbunan sementara. (6) Dalam hal tertentu, barang impor dapat ditimbun di tempat lain yang diperlukan sama dengan tempat penimbunan sementara. (7) Barang impor dapat dikeluarkan dari kawasan pabean atau tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (6) setelah dipenuhinya kewajiban pabean untuk: a. diimpor untuk dipakai; b. diimpor sementara; c. ditimbun di tempat penimbunan berikat; d. diangkut ke tempat penimbunan sementara di kawasan pabean lainnya; e. diangkut terus atau diangkut lanjut;atau f. diekspor kembali. (8) Orang yang mengeluarkan barang impor dari kawasan pabean atau tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (6), setelah memenuhi semua ketentuan tetapi belum mendapat persetujuan pengeluaran dari pejabat bea dan cukai, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). (9) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (5), ayat (6), ayat (7) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

Paragraf 2 Impor Untuk Dipakai

Pasal 10B

(1) Impor untuk dipakai adalah : a. memasukkan barang ke dalam daerah pabean dengan tujuan untuk dipakai; atau b. memasukkan barang ke dalam daerah pabean untuk dimiliki atau dikuasai oleh orang yang berdomisili di Indonesia. (2) Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor untuk dipakai setelah : a. diserahkan pemberitahuan pabean dan dilunasi bea masuknya; b. diserahkan pemberitahuan pabean dan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42; atau c. diserahkan dokumen pelengkap pabean dan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42. (3) Barang impor yang dibawa oleh penumpang, awak sarana pengangkut, atau pelintas batas ke dalam daerah pabean pada saat kedatangannnya wajib diberitahukan kepada pejabat bea dan cukai. (4) Barang impor yang dikirim melalui pos atau jasa titipan hanya dapat dikeluarkan atas persetujuan pejabat bea dan cukai. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. (6) Orang yang tidak melunasi bea masuk atas barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b atau huruf c dalam jangka waktu yang ditetapkan menurut Undang-Undang ini wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 10 % (sepuluh persen) dari bea masuk yang wajib dilunasi.

Pasal 100

(1) Importir dapat mengajukan permohonan perubahan atas kesalahan data pemberitahuan pabean yang telah diserahkan sepanjang kesalahan tersebut terjadi karena kekhilafan yang nyata. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak apabila : a. barang telah dikeluarkan dari kawasan pabean; b. kesalahan tersebut merupakan temuan pejabat bea dan cukai; atau c. telah mendapatkan penetapan pejabat bea dan cukai. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

Paragraf 3 Impor Sementara

Pasal 10B

(1) Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor sementara jika pada waktu importasinya benar-benar dimaksudkan untuk diekspor kembali paling lama 3 (tiga) tahun. (2) Barang impor sementara sampai saat diekspor kembali berada dalam pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. (3) Barang impor sementara dapat diberikan pembebasan atau keringanan bea masuk. (4) Barang impor sementara yang diberikan keringanan bea masuk, setiap bulan dikenai bea masuk paling tinggi sebesar 5 % (lima persen) dan bea masuk yang seharusnya dibayar; (5) Orang yang terlambat mengekspor kembali barang impor sementara dalam jangka waktu yang diizinkan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100 % (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar. (6) Orang yang tidak mengekspor kembali barang impor sementara dalam jangka waktu yang diizinkan wajib membayar bea masuk dan dikenai sanksi administrasi berupa denda 100 % (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar. (7) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

25. Judul BAB II Bagian Ketiga diubah sehingga BAB II Bagian Ketiga berbunyi sebagai berikut:

Bagian Ketiga Ekspor

26. Pasal 11 dihapus.

27. Di antara Pasal 11 dan BAB III disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 11A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11A

(1) Barang yang akan diekspor wajib diberitahukan dengan pemberitahuan pabean. (2) Pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan terhadap barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai dengan batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu. (3) Pemuatan barang ekspor dilakukan di kawasan pabean atau dalam hal tertentu dapat dimuat di tempat lain dengan izin kepala kantor pabean. (4) Barang yang telah diberitahukan untuk diekspor, sementara menunggu pemuatannya, dapat ditimbun ditempat penimbunan sementara atau tempat lain dengan izin kepala kantor pabean. (5) Barang yang telah diberitahukan untuk diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika ekspornya dibatalkan wajib dilaporkan kepada pejabat bea dan cukai. (6) Eksportir yang tidak melaporkan pembatalan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). (7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

28. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13

(1) Bea masuk dapat dikenakan berdasarkan tarif yang besarnya berbeda dengan yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) terhadap: a. barang impor yang dikenakan tarif bea masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional; atau b. barang impor bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, atau barang kiriman melalui pos atau jasa titipan. (2) Tata cara pengenaan dan besarnya tarif bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

29. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 14

(1) Untuk penetapan tarif bea masuk dan bea keluar, barang dikelompokkan berdasarkan sistem klasifikasi barang. (2) Ketentuan tentang klasifikasi barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

30. Ketentuan Pasal 15 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) diubah, dan di antara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (3a) sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 15

(1) Nilai pabean untuk penghitungan bea masuk adalah nilai transaksi dari barang yang bersangkutan. (2) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan nilai transaksi barang dan barang identik. (3) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan nilai transaksi dari barang serupa. (3a) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan ketentuan pada ayat (4) dan ayat (5) secara berurutan, kecuali atas permintaan importir, urutan penentuan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat digunakan mendahului ayat (4). (4) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan metode deduksi. (5) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan metode deduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan metode komputasi. (6) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), metode deduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau metode komputasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan dengan menggunakan tata cara yang wajar dan konsisten dengan prinsip dan ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) atau ayat (5) berdasarkan data yang tersedia di daerah pabean dengan pembatasan tertentu. (7) Ketentuan mengenai nilai pabean untuk penghitungan bea masuk diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

31. Ketentuan Pasal 16 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (6) diubah sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 16

(1) Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan tarif terhadap barang impor sebelum penyerahan pemberitahuan pabean atau dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan pabean. (2) Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan nilai pabean barang impor untuk penghitungan bea masuk sebelum penyerahan pemberitahuan pabean atau dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan pabean. (3) Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk kecuali importir mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1), importir wajib melunasi bea masuk yang kurang dibayar sesuai dengan pabean. (4) Importir yang salah memberitahukan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar. (5) Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) mengakibatkan kelebihan pembayaran bea masuk, pengembalian bea masuk dibayar sebesar kelebihan. (6) Ketentuan mengenai penetapan sebagaimana dimaksud paa ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

32. Ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf b diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (4) sehingga pasal 17 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 17

(1) Direktur Jenderal dapat menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean. (2) Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud padaa ayat (1) berbeda dengan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Direktur Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada importir untuk : a. melunasi bea masuk yang kurang dibayar; atau b. mendapatkan pengembalian bea masuk yang lebih dibayar. (3) Bea masuk yang kurang dibayar atau pengembalian bea masuk yang lebih dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibayar sesuai dengan penetapan kembali. (4) Penetapan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila diakibatkan oleh adanya kesalahan nilai transaksi yang diberitahukan sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar.

33. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 17A yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 17A

Berdasarkan permohonan, Direktur Jenderal dapat menetapkan klasifikasi barang dan nilai pabean atas barang impor sebagai dasar penghitungan bea masuk sebelum diajukan pemberitahuan pabean.

34. Judul BAB IV diubah sehingga BAB IV berbunyi sebagai berikut :

BAB IV BEA MASUK ANTI DUMPING, BEA MASUK IMBALAN, BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN, DAN BEA MASUK PEMBALASAN

35. Pasal 20 dihapus.

36. Pasal 23 dihapus.

37. BAB IV ditambahkan 3 (tiga) bagian, yaitu Bagian Ketiga, Bagian Keempat, dan Bagian Kelima yang berbunyi sebagai berikut :

Bagian Ketiga Bea Masuk Tindakan Pengamanan

Pasal 23A

Bea masuk tindakan pengamanan dapat dikenakan terhadap barang impor dalam hal terdapat lonjakan barang impor baik secara absolut maupun relatif terhadap barang produksi dalam negeri yang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing, dan lonjakan barang impor tersebut : a. menyebabkan kerugian serius terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut dan/atau barang yang secara langsung bersaing; atau b. mengancam terjadinya kerugian serius terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dan/atau barang yang secara langsung bersaing.

Pasal 23B

(1) Bea masuk tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23A paling tinggi sebesar jumlah yang dibutuhkan untuk mengatasi kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian serius terhaap industri dalam negeri. (2) Bea masuk tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan dari bea masuk yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1).

Bagian Keempat Bea Masuk Pembalasan

Pasal 23C

(1) Bea masuk pembalasan dikenakan terhadap barang impor yang berasal dari negara yang memperlakukan barang ekspor Indonesia secara diskriminatif. (2) Bea masuk pembalasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan bea masuk yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1).

Bagian Kelima Pengaturan dan Penetapan

Pasal 23D

(1) Ketentuan mengenai persyaratan dan tat cara pengenaan bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. (2) Besar tarif masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

38. Ketentuan Pasal 25 ayat (2) dihapus dan ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 25

(1) Pembebasan bea masuk diberikan atas impor : a. barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asal timbal balik; b. barang untuk keperluan badan Internasional beserta pejabat yang bertugas di Indonesia; c. buku ilmu pengetahuan; d. barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah untuk umum, amal, sosial, kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana alam; e. barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat semacam itu yang terbuka untuk umum serta barang untuk konservasi alam; f. barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; g. barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya; h. persenjataan, amunisi, perlengkapan militer dan kepolisian, termasuk suku cadang yang diperuntukan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara; i. barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara; j. barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan; k. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah; l. barang pindahan; m. barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu; n. obat-obatan yang diimpor dengan menggunakan anggaran pemerintah yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat; o. barang yang teloah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan, dan pengujian; p. barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama dengan kualitas pada saat diekspor; q. bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan penjenisan jaringan. (2) Dihapus (3) Ketentuan tentang pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. (4) Orang yang tidak memenuhi ketentuan tentang pembebasan bea masuk yang ditetapkan menurut Undang-undang ini wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling banya 500% (lima ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.

39. Ketentuan Pasal 26 ayat (2) dihapus dari ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 26

(1) Pembebasan atau keringanan bea masuk dapat diberikan atas impor : a. barang dan bahan untuk pembangunan dan pengembangan industri dalam rangka penanaman modal; b. mesin untuk pembangunan dan pengembangan industri; c. barang dan bahan dalam rangka pembangunan dan pengembangan industri untuk jangka waktu tertentu; d. peralatan dan bahan yang digunakan untuk mencegah pencemaran lingkungan; e. bibit dan benih untuk pembangunan dan pengembangan industri pertanian, peternakan, atau perikanan; f. hasil laut yang ditangkap dengan sarana penangkap yang telah mendapat izin; g. barang yang mengalami kerusakan, penurunan mutu, kemusnahan, atau penyusutan volume atau berat karena alamiah antara saat diangkut ke dalam daerah pabean dan saat diberikan persetujuan impor untuk dipakai; h. barang oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditunjukan untuk kepentingan umum; i. barang untuk keperluan olahraga yang diimpor oleh induk organisasi olahraga nasional; j. barang untuk keperluan proyek pemerintah yang dibiayai dengan pinjaman dan/atau hibah dari luar negeri; k. barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor. (2) Dihapus. (3) Ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. (4) Orang yang tidak memenuhi ketentuan pembebasan atau keringanan bea masuk yang ditetapkan menurut Undang-Undang ini Wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling banyak 500% (lima ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.

40. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga Pasal 27 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 27

(1) Pengembalian dapat diberikan terhadap seluruh atau sebagian bea masuk yang telah dibayar atas : a. Kelebihan pembayaran bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5), Pasal 17 ayat (3), atau karena kesalahan tata usaha; b. impor barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26; c. impor barang yang oleh sebab tertentu harus diekspor kembali atau dimusnahkan di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai; d. impor barang yang sebelum diberikan persetujuan impor untuk dipakai keapatan jumlah yang sebenarnyal ebih kecil daripada yang telah dibayar bea masuknya, cacat, bukan barang yang dipesan, atau berkualitas lebih rendah; atau e. kelebihan pembayaran bea masuk akibat putusan Pengadilan Pajak. (2) Ketentuan tentang pengembalian bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

41. Ketentuan Pasal 30 diubah dengan menambah 2 (dua) ayat, yaitu ayat (3) dan ayat (4), sehingga Pasal 30 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 30

(1) Importir bertanggung jawab atas bea masuk yang terutang sejak tanggal pemberitahuan pabean atas impor. (2) Bea masuk yang harus dibayar sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan tarif yang berlaku pada tanggal pemberitahuan pabean atas impor dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. (3) Bea masuk harus dibayar dalam mata uang rupiah. (4) Ketentuan mengenai nilai tukar mata uang yang digunakan untuk penghitungan dan pembayaran bea masuk diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

42. Ketentuan Pasal 32 ayat (3) diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (4) sehingga Pasal 32 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 32

(1) Pengusaha tempat penimbunan sementara bertanggung jawab atas bea masuk yang terutang atas barang yang ditimbun di tempat penimbunan sementara. (2) Pengusaha tempat penimbunan sementara dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal barang yang ditimbun di tempat penimbunan sementaranya : a. musnah tanpa sengaja; b. telah diekspor kembali, diimpor untuk dipakai, atau diimpor sementara; atau c. telah dipindahkan ketempat penimbunan sementara lain, tempat penimbunan berikat atau tempat penimbunan pabean. (3) Perhitungan bea masuk yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang tidak dapat didasarkan pada tarif dan nilai pabean barang yang bersangkutan, didasarkan pada tarif tertinggi untuk golonggan barang yang tertera dalam pemberitahuan pabean pada saat barang tersebut ditimbun di tempat penimbunan sementara dan nilai pabean ditetapkan oleh pejabat bea dan cukai. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) termasuk tata cara penagihan diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

43. Judul BAB VII diubah sehingga BAB VII berbunyi sebagai berikut :

BAB VII PEMBAYARAN, PENAGIHAN UTANG DAN JAMINAN

44. Judul BAB VII Bagian Pertama diubah sehingga BAB VII Bagian Pertama berbunyi sebagai berikut :

Bagian Pertama Pembayaran

45. Ketentuan Pasal 36 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 36 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 36

(1) Bea masuk, denda administrasi, dan bunga yang terutang kepada negara menurut Undang- Undang ini, dibayar di kas negara atau di tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri. (2) Bea masuk, denda administrasi, dan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibulatkan jumlahnya dalam ribuan rupiah. (3) Ketentuan mengenai tata cara pembayaran, penerimaan, penyetoran bea masuk, denda administrasi, dan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta pembulatan jumlahnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

46. Ketentuan Pasal 37 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (2a) sehingga Pasal 37 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 37

(1) Bea masuk yang terutang wajib dibayar paling lambat pada tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean. (2) Kewajiban membayar bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan penundaan dalam hal pembayarannya ditetapkan secara berkala atau menunggu keputusan pembebasan atau keringanan. (2a) Penundaan kewajiban membayar bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) : a. tidak dikenai bunga sepanjang pembayarannya ditetapkan secara berkala; b. dikenai bunga sepanjang permohonan pembebasan atau keringanan ditolak. (3) Ketentuan mengenai penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

47. Diantara Pasal 37 dan Bagian Kedua BAB VII disispkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 37A yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 37A

(1) Kekurangan pembayaran bea masuk dan/atau denda administrasi yang terutang wajib dibayar paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan. (2) Atas permintaan orang yang berutang, Direktur Jenderal dapat memberikan persetujuan penundaan atau pengangsuran kewajiban membayar bea masuk dan/atau denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 12 (dua belas) bulan. (3) Penundaan kewajiban membayar bea masuk dan/atau denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan bunga 2% (dua persen) setiap bulan dan bagian bulan dihitung 1 (satu) bulan. (4) Ketentuan mengenai penundaaan pembayaran utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

48. Ketentuan Pasal 38 diubah dengan menambah 1 (satu), yaitu ayat (3) sehingga Pasal 38 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 38

(1) Utang atau tagihan kepada negara berdasarkan Undang-Undang ini yang tidak atau kurang dibayar dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal jatuh tempo sampai hari pembayarannya, dan bagian bulan dihitung 1 (satu) bulan. (2) Penghitungan utang atau tagihan kepada negara menurut Undang-Undang ini dibulatkan jumlahnya dalam rupiah. (3) Jatuh tempo sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagai berikut : a. dalam hal tagihan negara kepada pihak yang terutang yaitu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan sebagaimana diatur dalam Pasal 37A ayat (1); b. dalam hal tagihan pihak yang berpiutang kepada negara yaitu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat keputusan pengambilan oleh Menteri.

49. Pasal 41 tetap dengan perubahan penjelasan Pasal 41 sehingga penjelasan Pasal 41 menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal dalam Undang-Undang ini.

50. Ketentuan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) diubah dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disispkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (1a) sehingga Pasal 44 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 44

(1) Dengan persyaratan tertentu, suatu kawasan, tempat, atau bangunan dapat ditetapkan sebagai tempat penimbunan berikat dengan mendapatkan penanggguhan bea masuk untuk : a. menimbun barang impor guna diimpor untuk dipakai, dikeluarkan ke tempat penimbunan berikat lainnya atau diekspor; b. menimbun barang guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai; c. menimbun barang impor, dengan atau tanpa barang dan dalam daerah pabean, guna dipamerkan; d. menimbun, menyediakan untuk dijual dan menjual barang impor kepada orang dan/ atau orang tertentu; e. menimbun barang impor guna dilelang sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai; f. menimbun barang asal daerah pabean guna dilelang sebelum diekspor atau dimasukkan kembali ke dalam daerah pabean; atau g. menimbun barang impor guna didaur ulang sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai. (1a) Menteri dapat menetapkan suatu kawasan, tempat, atau bangunan untuk dilakukannya suatu kegiatan tertentu selain kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai tempat penimbunan berikat. (2) Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pendirian penyelenggaraan, pengusahaan, dan perubahan bentuk tempat penimbunan berikat diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.

51. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga Pasal 45 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 45

(1) Barang dapat dikeluarkan dari tempat penimbunan berikat atas persetujuan pejabat bea dan cukai untuk : a. diimpor untuk dipakai; b. diolah; c. diekspor sebelum atau sesudah diolah; d. diangkut ke tempat penimbunan berikat lain atau tempat penimbunan sementara; e. dikerjakan dalam daerah pabean dan kemudian dimasukan kembali ke tempat penimbunan berikat dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri; atau f. dimasukan kembali ke dalam daerah pabean. (2) Barang dari tempat penimbunan berikat yang diimpor untuk dipakai berupa : a. barang yang telah diolah atau digabungkan; b. barang yang tidak diolah; dan/atau c. barang lainnya, dipungut bea masuk berdasarakan tarif dan nilai pabean yang ditetapkan dengan peraturan menteri. (3) Orang yang mengeluarkan barang dari tempat penimbunan berikat sebelum diberikan persetujuan oleh pejabat bea dan cukai tanpa bermaksud mengelakan kewajiban pabean, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah). (4) Pengusaha tempat penimbunan berikat yang tidak dapat mempertanggungjawabkan barang yang seharusnya berada di tempat tersebut wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.

52. Ketentuan Pasa 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 49

Importir, eksportir, pengusaha tempat penimbunan sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat, pengusaha pengurusan jasa kepabeanan, atau pengusaha pengangkutan wajib menyelenggarakan pembukuan.

53. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga Pasal 50 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 50

(1) Atas permintaan pejabat bea dan cukai, orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 wajib menyerahkan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan dengan kegiatan di bidang kepabeanan untuk kepentingan audit kepabeanan. (2) Dalam hal orang sebagaimana ddimaksud pada ayat (1) tidak berada di tempat, kewajiban untuk menyerahkan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan beralih kepada yang mewakili.

54. Ketentuan Pasal diubah dan ditambah 3 (tiga) ayat yaitu ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) sehingga Pasal 51 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 51

(1) Pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 wajib diselenggarakan dengan baik agar menggambarkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya, dan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal, pendapatan, dan biaya. (2) Pembukuan wajib diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, mata uang rupiah, dan bahasa Indonesia, atau dengan mata uang asing dan bahasa asing yang diizinkan oleh menteri. (3) Laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun pada tempat usahanya di Indonesia. (4) Ketentuan mengenai pedoman penyelenggaraan pembukuan diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

55. Ketentuan Pasal 52 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat sehingga Pasal 52 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 52

(1) Orang yang tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dikenai saksi administrasi berupa denda sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) (2) Orang yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), ayat (2), atau ayat (3) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah)

56. Judul BAB X diubah sehingga BAB X berbunyi sebagai berikut :

BAB X LARANGAN DAN PEMBATASAN IMPOR ATAU EKSPOR, PENANGGUHAN IMPOR ATAU EKSPOR BARANG HASIL PELANGGARAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL, DAN PENINDAKAN ATAS BARANG YANG TERKAIT DENGAN TERORISME DAN/ATAU KEJAHATAN LINTAS NEGARA

57. Ketentuan Pasal 53 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 53 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 53

(1) Untuk kepentingan pengawasan terhadap pelaksanaaan ketentuan larangan dan pembatasan, instansi teknis yang menetapkan peraturan larangan dan/atau pembatasan atas impor atau ekspor wajib memberitahukan kepada menteri. (2) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengawasan peraturan larangan dan/atau pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. (3) Semua barang yang dilarang atau dibatasi yang tidak memenuhi syarat untuk diimpor atau diekspor, jika telah diberitahukan dengan pemberitahuan pabean, atas permintaan importir atau eksportir : a. dibatalkan ekspornya; b. diekspor kembali; atau c. dimusnahkan di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Barang yang dilarang atau dibatasi untuk diimpor atau diekspor yang tidak diberitahukan atau diberitahukan secara tidak benar dinyatakan sebagai barang yang dikuasai negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

58. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 54

Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atas merek atau hak cipta, ketua pengadilan niaga dapat mengeluarkan perintah tertulis kepada pejabat bea dan cukai untuk menangguhkan sementara waktu pengeluaran barang impor atau ekspor dari kawaasan pabean yang berdasarkan bukti yang cukup, diduga merupakan hasil pelanggaran merek dan hak cipta yang dilindungi di Indonesia.

59. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga Pasal 56 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 56

Berdasarkan perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, pejabat bea dan cukai : a. memberitahukan secara tertulis kepada importir, eksportir, atau pemilik barang mengenai adanya perintah penangguhan pengeluaran barang impor dan ekspor; b. melaksanakan penagguhan pengeluaran barang impor atau ekspor yang bersangkutan dari kawasan pabean terhitung sejak tanggal diterimanya perintah tertulis ketua pengadilan niaga.

60. Ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) diubah sehingga Pasal 57 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 57

(1) Penangguhan pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf b dilaksanakan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan alasan dan dengan syarat tertentu, dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama 10 (sepuluh) hari kerja dengan perintah tertulis ketua pengadilan niaga. (3) Perpanjangan penangguhan terhadap pengeluaran barang impor atau ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan perpanjangan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d.

61. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga Pasal 58 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 58

(1) Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atas merek atau cipta yang meminta perintah penangguhan, ketua pengadilan niaga dapat memberi izin kepada pemilik atau pemegang hak tersebut guna memeriksa barang impor atau ekspor yang diminta penagguhan pengeluarannya. (2) Pemberian izin pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh ketua pengadilan niaga setelah mendengarkan dan mempertimbangkan penjelasan serta memperhatikan kepentingan pemilik barang impor atau ekspor yang dimintakan penangguhan pengeluarannya.

62. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga Pasal 59 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 59

(1) Apabila dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), pejabat bea dan cukai tidak menerima pemberitahuan dari pihak yang meminta penangguhan pengeluaran bahwa tindakan hukum yang diperlukan untuk mempertahankan haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku telah dilakukan dan ketua pengadilan niaga tidak memperpanjang secara tertulis perintah penangguhan, pejabat bea dan cukai wajib mengakhiri tindakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor yang bersangkutan dan menyelesaikannya sesuai dengan ketentuan kepabeanan berdasarkan Undang-Undang ini. (2) Dalam hal tindakan hukum untuk mempertahankan hak telah mulai dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pihak yang meminta penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor wajib secepatnya melaporkannya kepada pejabat bea dan cukai yang menerima perintah dan melaksanakan penangguhan barang impor dan ekspor. (3) Dalam hal tindakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah diberitahukan dan ketua pengadilan niaga tidak memperpanjang secara tertulis perintah penangguhan sebagaimana dimaksud daalam Pasal 57 ayat (2), pejabat bea dan cukai mengakhiri tindakan penangguhan pengeluaran barang impor dan ekspor yang bersangkutan dan menyelesaikannya sesuai dengan ketentuan kepabeanan berdasarkan Undang-Undang ini.

63. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 60

Dalam keadaan tertentu, importir, eksportir, atau pemilik barang impor atau ekspor dapat mengajukan permintaan kepada ketua penagadilan niaga untuk memerintahkan secara tertulis kepada pejabat bea dan cukai agar mengakhiri penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dengan menyerahkan jaminan yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d.

64. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga Pasal 61 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 61

(1) Apabila dari hasil pemeriksaan perkara terbukti bahwa barang impor atau ekspor tersebut tidak merupakan atau tidak berasal dari hasil pelanggaran mereka atau hak cipta, pemilik barang impor atau ekspor berhak untuk memperoleh ganti rugi dari pemilik atau pemegang hak yang meminta penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor tersebut. (2) Pengadilan niaga yang memeriksa dan memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat memerintahkan agar jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d digunakan sebagai pembayaranatau bagian pembayaran ganti rugi yang harus dibayarkan.

65. Diantara Pasal 64 dan BAB XI disisipkan 1 (satu) bagian, yaitu Bagian Ketiga yang berbunyi sebagai berikut :

Bagian Ketiga Penindakan Atas Barang yang Terkait dengan Terorisme dan/atau Kejahatan Lintas Negara

Pasal 64A

(1) Barang yang berdasarkan bukti permulaan diduga terkait dengan tindakan terorisme dan/atau kejahatan lintas negara dapat dilakukan penindakan oleh pejabat bea dan cukai. (2) Ketentuan mengenai tata cara penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

66. Ketentuan Pasal 75 ayat (1) diubah sehingga Pasal 75 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 75

(1) Pejabat bea dan cukai dalam melaksanakan pengawasan terhadap sarana pengangkut di laut di sungai menggunakan kapal patroli atau sarana lainnya. (2) Kapal patroli atau sarana lain yang dimaksud pada ayat (1) dapat dilengkapi dengan senjata api yang jumlah dan jenisnya ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

67. Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 78

Pejabat bea dan cukai berwenang untuk mencuci, menyegel, dan/atau melekatkan tanda pengaman yang diperlukan terhadap barang impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya dan barang ekspor atau barang lain yang harus diawasi menurut Undang-Undang ini yang berada di sarana pengangkut, tempat penimbun atau tempat lain.

69. Ketentuan Pasal 82 ayat (4) dihapus dan ayat (1), ayat (3), ayat (5), dan ayat (6) diubah sehingga Pasal 82 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 82

(1) Pejabat bea dan cukai berwenang melakukan pemeriksaan pabean atas barang impor atau barang ekspor setelah pemberitahuan pabean diserahkan. (2) Pejabat bea dan cukai berwenang meminta importir, eksportir, pengangkut, pengusaha tempat penimbunan sementara, pengusaha tempat penimbunan sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat, atau yang mewakilinya menyerahkan barang untuk diperiksa, membuka sarana pengakuan atau bagiannya, dan membuka setiap bungkusan atau pengemas yang diperiksa. (3) Jika permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipenuhi : a. pejabat bea dan cukai berwenang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas risiko dan biaya yang bersangkutan; dan b. yang bersangkutan dikenai sanksi adaministrasi berupa denda sebesar Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). (4) Dihapus. (5) Setiap orang yang salah memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang dalam pemberitahuan pabean atas impor yang mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1.000% (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar. (6) Setiap orang yang salah memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang dalam pemberitahuan pabean atas ekspor yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pengutan negara di bidang ekspor dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari pungutan negara di bidang ekspor yang kurang dibayar dan paling banyak 1.000% (seribu persen) dari pungutan negara di bidang ekspor yang kurang dibayar.

70. Diantara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan satu pasal, yaitu Pasal 82A yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 82

(1) Untuk kepentingan pengawasan, pejabat bea dan cukai berwenang melakukan pemeriksaan karena jabatan atas fisik barang impor atau barang ekspor sebelum atau sesudah pemberitahuan pabean disampaikan. (2) Ketentuan mengenai tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

71. Ketentuan Pasal 85 ayat (1) diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (3) sehingga Pasal 85 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 85

(1) Pejabat bea dan cukai memberikan persetujuan impor atau ekspor setelah pemberitahuan pabean yang telah memenuhi persyaratan diterima dan hasil pemeriksaan barang tersebut sesuai dengan pemberitahuan pabean. (2) Pejabat bea dan cukai berwenang menunda pemberian persetujuan impor atau ekspor dalam hal pemberitahuan pabean tidak memenuhi persyaratan. (3) Pejabat bea dan cukai berwenang menolak memberikan pelayanan kepabeanan dalam hal orang yang bersangkutan belum memenuhi kewajiban kepabeanan berdasarkan Undang- undang ini.

72. Diantara Pasal 85 dan BAB XII Paragraf 2 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 85A yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 85A

(1) Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pejabat bea dan cukai dapat melakukan pemeriksaan pabean terhadap barang tertentu yang diangkut dalam daerah pabean. (2) Pemeriksaan pabean terhadap barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan pada saat pemuatan, pengangkutan, dan/atau pembongkaran di tempat tujuan. (3) Ketentuan mengenai pemeriksaan pabean terhadap barang tertentu sebagaimana dimasud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

73. Ketentuan Pasal 86 ayat (1) dan ayat (2) diubah dan diantara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (1a), serta ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (3) sehingga Pasl 86 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 85

(1) Pejabat bea dan cukai berwenang melakukan audit kepabeanan terhadap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49. (1a) Dalam melaksanakan audit kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat bea dan cukai berwenang : a. meminta laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan; b. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari orang dan pihak lain yang terkait; c. memasuki bangunan kegiatan usaha, ruangan tempat untuk menyimpan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan surat-surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk sarana/media penyimpan data elektronik, dan barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan kegiatan usaha yang berkaitan dengan kegiatan kepabeanan; dan d. melakukan tindakan pengamanan yang dipandang perlu terhadap tempat atau ruangan penyimpanan dokumen yang berkaitan dengan kegiatan kepabeanan. (2) Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 yang menyebabkan pejabat bea dan cukai tidak dapat menjalankan kewenangan audit kepabeanan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah). (3) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan audit kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

74. Di antara Pasal 86 dan Paragraf 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 86A yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 86A

Apabila dalam pelaksanaan audit kepabeanan ditemukan adanya kekurangan pembayaran bea masuk yang disebabkan oleh kesalahan pemberitahuan jumlah dan/atau jenis barang, orang wajib membayar bea masuk yang kurang dibayar dan dikenai sankisi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (5).

75. Ketentuan Pasal 88 ayat (2) diubah sehingga Pasal 88 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 88

(1) Untuk memenuhi kewajiban pabean berdasarkan Undang-Undang ini, pejabat bea dan cukai berwenang memasuki dan memeriksa bangunan atau tempat yang bukan rumah tinggal selain yang dimaksud dalam Pasal 87 dan dapat memeriksa setiap barang yang ditemukan. (2) Selama pemeriksaan atas bangunan atau tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan atas permintaan pejabat bea dan cukai, pemilik atau yang menguasai bangunan atau tempat tersebut wajib menyerahkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan barang yang berada di tempat tersebut.

76. Ketentuan Pasal 90 ayat (3) dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 90 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 90

(1) Untuk pemenuhan kewajiban pabean berdasarkan Undang-Undang ini pejabat bea dan cukai berwenang untuk menghentikan dan memeriksa sarana pengangkutan serta barang diatasnya. (2) Sarana pengangkut yang disegel oleh penegak hukum lain atau dinas pos dikecualikan dari pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pejabat bea dan cukai berdasarkan pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (3) berwenang untuk menghentikan pembongkaran barang dari sarana pengangkutan apabila ternyata barang yang dibongkar tersebut bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. (4) Orang yang tidak melaksanakan perintah penghentian pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

77. Di antara Pasal 92 dan BAB XIII disisipkan 1 (satu) bagian, yaitu Bagian Keempat yang berbunyi sebagai berikut :

Bagian Keempat Kewenangan Khusus Direktur Jenderal

Pasal 92A

(1) Direktur Jenderal karena jabatan atau atas permohonan dari orang yang bersangkutan dapat : a. membetulkan surat penetapan tagihan kekurangan pembayaran bea masuk yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan Undang-Undang ini, atau b. mengurangi atau menghapus sanksi adaministrasi berupa denda dalam hal sanksi tersebut dikenakan pada orang yang dikenai sanksi karena kekhilafan atau bukan karena kesalahannya. (2) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan permohonan, pembetulan, pengurangan, atau penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

78. Judul BAB XIII diubah sehingga BAB XIII berbunyi sebagai berikut :

BAB XIII KEBERATAN DAN BANDING

79. Ketentuan Pasal 93 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, dan diantara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (1a), serta ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (6) sehingga Pasal 93 berbunyi sebagai berilkut :

Pasal 93

(1) Orang yang berkeberatan terhadap penetapan pejabata bea dan cukai mengenai tarif dan/ atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur Jenderal dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan dengan menyerahkan jaminan sebesar tagihan yang harus dibayar. (1a) Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib diserahkan dalam hal barang impor belum dikeluarkan dari kawasan pabean. (2) Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya pengajuan pengajuan keberatan. (3) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan dicairkan untuk membayar bea masuk dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan, dan apabila keberatan dikabulkan jaminan dikembalikan. (4) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Direktur Jenderal tidak memberikan keputusan, keberatan yang bersangkutan dianggap dikabulkan dan jaminan dikembalikan. (5) Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa uang tunai dan pengembalian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak keberatan dikabulkan, pemerintah memberikan bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulannya paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. (6) Ketentuan mengenai tatacara pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

80. Diantara Pasal 93 dan Pasal 94 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 93A yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 93A

(1) Orang yang berkeberatan terhadap penetapan pejabat bea dan cukai selain tarif dan/atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur Jenderal dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan. (2) Sepanjang keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyangkut kekurangan pembayaran bea masuk, jaminan wajib diserahkan sebesar tagihan yang harus dibayar. (3) Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak wajib diserahkan dalam hal barang impor belum di keluarkan dari kawasan pabean. (4) Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya pengajuan keberatan. (5) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan dicairkan untuk membayar bea masuk dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan, dan apabila keberatan dikabulkan jaminan dikembalikan. (6) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Direktur Jenderal tidak memberikan keputusan, keberatan yang bersangkutan dianggap dikabulkan dan jaminan dikembalikan. (7) Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa uang tunai dan pengembalian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak keberatan diterima, pemerintah memberikan bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulannya paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. (8) Ketentuan mengenai pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditaur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

81. Ketentuan Pasal 94 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (6) sehingga Pasal 94 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 94

(1) Orang yang dikenai sanksi administrasi berupa denda dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu 60 (enam puluh hari) sejak tanggal penetapan dengan menyerahkan jaminan sebesar sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan. (2) Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya pengajuan keberatan. (3) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan dicairkan untuk membayar sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan, dan apabila keberatan dikabulkan, jaminan dikembalikan. (4) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Direktur Jenderal tidak memberikan keputusan, keberatan yang bersangkutan dianggap dikabulkan dan jaminan dikembalikan. (5) Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa uang tunai dan pengembalian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak keberatan dikabulkan, pemerintah memberikan bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulannya paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. (6) Ketentuan mengenai tatacara pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

82. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 95

Orang yang berkeberatan terhadap penetapan Direktur Jenderal atas tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2), Pasal 93A ayat (4), atau Pasal 94 ayat (2) dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan atau tanggal keputusan, setelah pungutan yang terutang dilunasi.

83. Pasal 96 dihapus.

84. Pasal 97 dihapus.

85. Pasal 98 dihapus.

86. Pasal 99 dihapus.

87. Pasal 100 dihapus.

88. Pasal 101 dihapus.

89. Ketentuan BAB XIII Bagian Kedua dihapus.

90. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga Pasal 102 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 102

Setiap orang yang : a. mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (2); b. membongkar barang impor diluar kawasan pabean atau tempat lain tanpa izin kepala kantor pabean; c. membongkar barang impor yang tidak tercantum dalam pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (3); d. membongkar atau menimbun barang impor yang masih dalam pengawasan pabean di tempat selain tempat tujuan yang ditentukan dan/atau diizinkan; e. menyembunyikan barang impor secara melawan hukum; f. mengeluarkan barang impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya dari kawasan pabean atau dari tempat penimbunan berikat atau dari tempat lain di bawah pengawasan pabean tanpa persetujuan pejabat bea dan cukai yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini; g. mengangkut barang impor dari tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan berikat yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya; atau h. dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang impor dalam pemberitahuan pabean secara salah, dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang impor dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

91. Diantara Pasal 102 dan Pasal 103 disisipkan 4 (empat) pasal, yaitu Pasal 102A, Pasal 102B, Pasal 102C, dan Pasal 102D yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 102A

Setiap orang yang: a. mengekspor barang tanpa menyerahkan pemberitahuan pabean; b. dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang ekspor dalam pemberitahuan pabean secara salah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara di bidang ekspor; c. memuat barang ekspor di luar kawasan pabean tanpa izin kepala kantor pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (3); d. membongkar barang ekspor di dalam daerah pabean tanpa izin kepala kantor pabean; atau e. mengangkut barang ekspor tanpa dilindungi dengan dokumen yang sah sesuai dengan pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9A ayat (1) dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang ekspor dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 102B

Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dan Pasal 102A yang mengakibatkan terganggunya sendi-sensi perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Pasal 102C

Dalam hal perbuatan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 102, Pasal 102A, Pasal 102B dilakukan oleh pejabat dan aparat penegak hukum, pidana yang dijatuhkan dengan pidana sebagaimana ancaman pidana dalam Undang-Undang ini ditambah 1/3 (satu pertiga).

Pasal 102D

Setiap orang yang mengangkut barang tertentu yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 10.000.000.00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah).

92. Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 103

Setiap orang yang : a. menyerahkan pemberitahuan pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean yang palsu atau dokumen pelengkap pabean yang palsu atau dipalsukan; b. membuat, menyetujui, atau turut serta dalam pemalsuan data ke dalam buku atau catatan; c. memberikan keterangan lisan atau tertulis yang tidak benar, yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban pabean; atau d. menimbun, menyimpan, memiliki, membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang impor yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

93. Di antara Pasal 103 dan Pasal 104 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 103A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 103A

(1) Setiap orang yang secara tidak sah mengakses sistem elektronik yang berkaitan dengan pelayanan dan/atau pengawasan di bidang kepabeanan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

94. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 104

Setiap orang yang : a. mengangkut barang yang berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, Pasal 102A, atau Pasal 1023; b. memusnahkan, memotong, menyembunyikan, atau membuang buku atau catatan yang menurut Undang-Undang ini harus disimpan; c. menghilangkan, menyetujui, atau turut serta dalam penghilangan keterangan dari pemberitahuan pabean, dokumen pelengkap pabean, atau catatan; atau d. menyimpan dan/atau menyediakan blanko faktur dagang dari perusahaan yang berdomisili di luar negeri yang diketahui dapat digunakan sebagai kelengkapan pemberitahuan pabean menurut Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun, dan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

95. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

` Pasal 105

Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak membuka, melepas, atau merusak kunci, segel atau tanda pengaman yang telah dipasang oleh pejabat bea dan cukai dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara pling lama 3 (tiga) tahun dan/ atau pidana denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

96. Pasal 106 dihapus.

97. Pasal 107 tetap dengan perubahan penjelasan pasal 107 sehingga penjelasan Pasal 107 menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-Undang ini.

98. Ketentuan Pasal 108 ayat (3) dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 108 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 108

(1) Dalam hal suatu tindak pidana yang dapat dipidana menurut Undang-Undang ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, tuntutan pidana dijatuhkan kepada: a. badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi tersebut; dan/atau b. mereka yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pimpinan atau yang melalaikan pencegahannya. (2) Tindak pidana menurut Undang-Undang ini dilakukan juga oleh atau atas nama badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang baik berdasarkan hubungan lain bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroaan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi tersebut tanpa memperhatikan apakah orang tersebut masing-masing telah melakukan tindakan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama. (3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, pada waktu penuntutan diwakili oleh pengurus yang secara hukum dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai bentuk badan hukum yang bersangkutan. (4) Terhadap badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi yang dipidana dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, pidana pokok yang diijatuhkan senantiasa berupa pidana denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) jika atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara, dengan tidak menghapuskan pidana denda apabila atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara dan pidana denda.

99. Ketentuan Pasal 109 ayat (1) dan ayat (2) diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (2a) sehingga Pasal 109 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 109

(1) Barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, Pasal 103 huruf d, atau Pasal 104 huruf a, barang ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102A, atau barang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102D yang berasal dari tindak pidana, dirampas untuk negara. (2) Sarana pengangkut yang semata-mata digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dan Pasal 102A, dirampas untuk negara. (2a) Sarana pengangkut yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102D, dapat dirampas untuk negara. (3) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 73.

100. Di antara BAB XV dan BAB XVI disisipkan 1 (satu) bab, yaitu BAB XV A sehingga berbunyi sebagai berikut :

BAB XV A PEMBINAAN PEGAWAI

Pasal 113A

(1) Sikap dan perilaku pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terikat pada kode etik yang menjadi pedoman pelaksanaan tugas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. (2) Pelanggaran terhadap kode etik oleh pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diselesaikan oleh Komisi Kode Etik. (3) Ketentuan mengenai kode etik diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri (4) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Komisi Kode Etik diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

Pasal 113B

Apabila pejabat bea dan cukai dalam menghitung atau menetapkan bea masuk atau bea keluar tidak sesuai dengan Undang-Undang ini sehingga mengakibatkan belum terpenuhinya pungutan negara, pejabat bea dan cukai dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 113C

(1) Dalam hal terdapat indikasi kepabeanan yang menyangkut pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Menteri dapat menugasi unit pemeriksa internal di lingkungan Departemen Keuangan untuk melakukan pemeriksaan pegawai guna menemukan bukti permulaan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

Pasal 113D

(1) Orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau unit kerja yang berjasa dalam menangani pelanggaran kepabeanan berhak memperoleh premi. (2) Jumlah premi diberikan paling banyak sebesar 50% (lima puluh persen) dari sanksi administrasi berupa denda dan/atau hasil lelang barang yang berasal dari tindak pidana kepabeanan. (3) Dalam hal hasil tangkapan merupakan barang yang dilarang dan/atau dibatasi yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh dilelang, besar nilai barang sebagai dasar perhitungan premi ditetapkan oleh Menteri. (4) Ketentuan mengenai pemberian premi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

101. Diantara Pasal 115 dan BAB XVII disisipkan 3 (tiga) pasal yaitu Pasal 115A, Pasal 115B, dan Pasal 115C yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 115A

(1) Barang yang dimasukkan atau dikeluarkan ke dan dari serta berada di kawasan yang telah ditunjuk sebagai daerah perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas dapat diawasi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.

Pasal 115B

(1) Berdasarkan permintaan masyarakat, Direktur Jenderal memberikan informasi yang dikelolanya, kecuali informasi yang sifatnya tertentu. (2) Ketentuan mengenai pemberian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

Pasal 115C

(1) Setiap pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dilarang memberitahukan segala sesuatu yang diketahuinya atau diberitahukan kepadanya oleh orang dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan Undang-Undang ini kepada pihak lain yang tidak berhak. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal untuk membantu pelaksanaan ketentuan Undang-Undang ini. (3) Menteri secara tertulis berwenang memerintahkan pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti dari orang kepada pejabat pemeriksa untuk keperluan pemeriksaan keuangan negara. (4) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana, atas permintaan hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Menteri dapat memberi izin tertulis kepada pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk memberikan bukti dan keterangan yang ada padanya kepada hakim.

Pasal II Ketentuan Peralihan

1. Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. peraturan pelaksanaan yang telah ada di bidang kepabeanan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini; b. urusan kepabeanan yang pada saat berlakunya Undang-Undang ini belum dapat diselesaikan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan yang meringankan setiap orang. 2. Peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. 3. Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 15 Nopember 2006 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Dr. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Nopember 2006 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

HAMID AWALUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 93

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006

TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN

I. UMUM

Pesatnya perkembangan industri dan perdagangan menimbulkan tuntutan masyarakat agar pemerintah dapat memberikan kepastian hukum dalam usaha. Pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang berfungsi sebagai fasilitas perdagangan harus dapat membuat suatu hukum kepabeanan yang dapat mengantisipasi perkembangan dalam masyarakat dalam rangka memberikan pelayanan dan pengawasan lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah.

Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, masyarakat menganggap bahwa rumusan tindak pidana penyelundupan yang diatur dalam Pasal 102 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang menyatakan bahwa "Barangsiapa yang mengimpor atau mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan Undang-undang ini dipidana karena melakukan penyelundupan", kurang tegas karena dalam penjelasan dinyatakan bahwa pengertian "tanpa mengindahkan" adalah sama sekali tidak memenuhi ketentuan atau prosedur. Hal ini berarti jika memenuhi salah satu kewajiban seperti menyerahkan pemberitahuan pabean tanpa melihat benar atau salah, tidak dapat dikatagorikan sebagai penyelundupan sehingga tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, oleh karenanya dipandang perlu untuk merumuskan kembali tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penyelundupan.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan secara eksplisit menyebutkan bahwa kewenangan DJBC adalah melakukan pengawasan atas lalulintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean, namun mengingat letak goegrafis Indonesia sebagai negara kepulauan yang lautnya berbatasan langsung dengan negara tetangga, maka perlu dilakukan pengawasan terhadap pengangkutan barang yang diangkut melalui laut di dalam daerah pabean untuk menghindari penyelundupan dengan modus pengangkutan antar pulau, khususnya untuk barang tertentu. Secara implisit dapat dikatakan bahwa pengawasan pengangkutan barang tertentu dalam daerah pabean merupakan perpanjangan kewenangan atau bagian yang tidak terpisahkan dari kewenangan pabean sebagai salah satu instansi pengawasan perbatasan.

sehubungan dengan hal tersebut mesyarakat memandang perlu untuk memberikan kewenangan kepada DJBC untuk mengawasi pengangkutan barang tertentu yang diusulkan oleh instansi teknis terkait.

Tempat Penimbunan Berikat (TPB) sebagai bentuk insentif di bidang kepabeanan yang selama ini diberikan, tidak dapat menampung tuntutan investor luar negeri untuk dapat melakukan pelelangan, daur ulang, dan kegiatan lain karena adanya pembatasan tujuan TPB hanya untuk menimbun barang impor untuk diolah, dipamerkan, dan/atau disediakan untuk dijual. Untuk menghindari beralihnya investasi ke negara-negara tetangga serta sebagai daya tarik bagi investor asing perlu diberikan suatu insentif, kepastian hukum, dan kepastian berusaha dengan perluasan fungsi TPB.

Dalam kaitannya dengan perdagangan internasional, Undang-undang kepabeanan idealnya dapat mengikuti konvensi internasional dan praktek kepabeanan internasional sehingga perlu melakukan penyesuaian Undang-undang Kepabeanan Indonesia dengan menambahkan atau mengubah ketentuan sebagai dengan konvensi tersebut.

Pasal 96 sampai dengan Pasal 101 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, mengatur lembaga banding. Namun ternyata lembaga tersebut belum dibentuk dengan pertimbangan telah dibentuk badan penyelesaian sengketa pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang kemudian diganti dengan Pengadilan Pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Kompetensi Pengadilan Pajak mencakup banding di bidang kepabeanan sehingga Pasal 96 sampai dengan Pasal 101 Undang- undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang kepabenan tidak diperlukan lagi dan dihapus.

Sesuai dengan Agreement on Implementation of Article VI of General Agreement on Trade and Tarif (GATT) 1994, Article 22 menyebutkan bahwa perundang-undangan nasioanal harus memuat ketentuan penetapan nilai pabean sesuai World Trade Organization (WTO) Valuation Agreement. Dalam Article 4 Konvensi tersebut diatur bahwa metode komputasi dapat digunakan mendahului metode deduksi atas permintaan importir. Indonesia telah menggunakan kesempatan untuk menunda pelaksanaan Article 4 Konvensi tersebut selama 5 (lima) tahun yang berakhir pada tahun 2000, sehingga ketentuan penetapan nilai pabean sesuai Article 4 Konvensi tersebut harus dimasukkan dalam perubahan Undang-undang Kepabeanan ini.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup Jelas

Pasal 2

Ayat (1)

Ayat ini memberikan penegasan pengertian impor secara yuridis, yaitu pada saat berang memasuki daerah pebean dan menetapkan saat barang tersebut terutang bea masuk serta merupakan dasar yuridis bagi pejabat bea dan cukai untuk melakukan pengawasan.

Ayat (2)

Ayat ini memberikan penegasan tentang pengertian ekspor. Secara nyata ekspor terjadi pada saat barang melintasi daerah pabean, namun mengingat dari segi pelayanan dan pengamanan tidak mungkin menempatkan pejabat bea dan cukai di sepanjang garis perbatasan untuk memberikan pelayanan dan melakukan pengawasan barang ekspor, maka secara yuridis ekspor dianggap telah terjadi pada saat barang tersebut telah dimuat di sarana pengangkut yang akan berangkat ke luar daerah pabean.

Yang dimaksud dengan sarana pengangkut, yaitu setiap kendaraan, pesawat udara, kapal laut, atau sarana lain yang digunakan untuk mengangkut barang atau orang.

Yang dimaksud dimuat yaitu dimasukannya barang ke dalam sarana pengangkut dan telah diajukan pemberitahuan pebean termasuk dipenuhinya pembayaran bea keluar.

Ayat (3)

Ayat ini memberikan penegasan bahwa walaupun barang tersebut telah dimuat di sarana pengangkut yang akan berangkat ke luar daerah pabean, jika dapat dibuktikan barang tersebut akan dibongkar di dalam daerah pabean dengan menyerahkan suatu pemberitahuan pabean, barang tersebut tidak dianggap sebagai barang ekspor.

Pasal 2A

Pengenaan bea keluar dalam pasal ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan nasional, bukan untuk membebani daya saing komoditi ekspor di pasar internasional.

Pasal 3

Ayat (1)

Untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai pemberitahuan pabean yang diajukan terhadap barang impor dilakukan pemeriksaan pebean dalam bentuk penelitian terhadap dokumen dan pemeriksaan atas fisik barang.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Pada dasarnya pemeriksaan pabean dilakukan dalam daerah pabean oleh pejabat bea dan cukai secara selektif dengan mempertimbangkan risiko yang melekat pada barang dan importir. Namun, dengan mempertimbangkan kelancaran arus barang dan/atau pengamanan penerimaan negara, Menteri dapat menetapkan pelaksanaan pemeriksaan pabean di luar daerah pabean oleh pejabat bea dan cukai atau pihak lain yang bertindak untuk dan atas nama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Pasal 4

Pada dasarnya pemeriksaan pabean dilakukan di dalam daerah pabean oleh pejabat bea dan cukai.

Dalam rangka mendorong ekspor, terutama dalam kaitannya dengan upaya untuk meningkatkan daya saing barang ekspor Indonesia di pasar dunia, diperlukan suatu kecepatan dan kepastian bagi ekportir. Dengan demikian, pemeriksaan pabean dalam bentuk pemeriksaan fisik atas barang ekspor harus diupayakan seminimal mungkin sehingga terhadap barang ekspor pada dasarnya hanya dilakukan penelitian terhadap dokumennya. Untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai pemberitahuan pabean yang diajukan, pasal ini memberikan kewenangan kepada menteri untuk dalam hal-hal tertentu dapat mengatur tata cara pemeriksaan fisik atas barang ekspor.

Pasal 4A

Ayat (1)

Pengawasan pengangkutan barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat ini hanya dilakukan terhadap pengangkutan barang tersebut dari satu tempat ke tempat lain dalam daerah pabean yang dilakukan melalui laut.

Pengawasan pengangkutan barang tertentu ini bertujuan untuk mencegah penyelundupan ekspor dengan modus pengangkutan antar pulau barang-barang strategis seperti hasil hutan, hasil tambang, atau barang yang mendapat subsidi. Ayat (2)

Yang dimaksud dengan intansi teknis terkait yaitu kementerian atau lembaga pemerintah nondepartemen yang berwenang.

Ayat (3)

Cukup Jelas

Pasal 5

Ayat (1)

Dilihat dari keadaan geografis Negara Republik Indonesia yang demikian luas dan merupakan negara kepulauan, maka tidak mungkin menempatkan pejabat bea dan cukai di sepanjang pantai untuk menjaga agar semua barang yang dimasukan ke atau yang dikeluarkan dari daerah pabean memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, ditetapkan bahwa pemenuhan kewajiban pabean hanya dapat dilakukan di kantor pabean. Penegasan bahwa pemenuhan kewajiban pabean dilakukan di kantor pabean maksudnya yaitu jika kedapatan barang dibongkar atau dimuat di suatu tempat yang tidak ditunjuk sebagai kantor pabean berarti terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang ini. Dengan demikian, pengawasan lebih mudah dilakukan, sebab tempat untuk memenuhi kewajiban pabean seperti penyerahan pemberitahuan pabean atau pelunasan bea masuk telah dibatasasi dengan penunjukan kantor pabean yang disesuaikan dengan kebutuhan perdagangan dan perekonomian, atau apabila dengan cara tersebut kewajiban pabean di tempat selain di kantor pabean tersebut bersifat sementara.

Ayat (2)

Cukup Jelas

Ayat (3) Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, Undang-Undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean. Penunjukan pos pengawasan pabean dimaksudkan untuk tempat pejabat bea dan cukai melakukan pengawasan. Pos tersebut merupakan bagian dari kantor pabean dan di tempat tersebut tidak dapat dipenuhi kewajiban pabean.

Ayat (4) Cukup Jelas.

Pasal 5A

Ayat (1)

Data elektronik (softcopy) yaitu informasi atau rangkaian informasi yang disusun dan/ atau dihimpun untuk kegunaan khusus yang diterima, direkam, dikirim, disimpan, diproses, diambil kembali, atau diproduksi secara elektronik dengan menggunakan komputer atau perangkat pengolah data elektronik, optikal, atau cara lain yang sejenis.

Ayat (2) s/d Ayat (4)

Cukup Jelas.

Pasal 6

Ayat (1)

Ayat ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelesaian kewajiban pabean atas barang impor atau ekspor harus didasarkan pada ketentuan dalam Undang-Undang ini yang pelaksanaan penegakannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Pasal 6A

Ayat (1)

Dengan semakin berkembangnya penggunaan teknologi informasi dalam kegiatan kepabeanan, diperlukan adanya sarana untuk mengenali pengguna jasa kepebeanan melalui nomor identitas pribadi yang diberikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Dengan nomor identitas pribadi itu dimaksudkan bahwa hanya orang yang memiliki nomor identitas tersebut yang dapat mengakses atau berhubungan dengan sistem teknologi informasi kepabeanan.

Pemerolehan nomor identitas tersebut dapat dilakukan dengan cara registrasi, misalnya registrasi importir, eksportir, dan pengusaha pengurusan jasa kepabeanan.

Ayat (2)

Pengecualian yang dimaksud pada ayat ini diberikan kepada orang yang menyelesaiakan kewajiban pabean tertentu antara lain atas barang penumpang, barang diplomatik, atau barang kiriman melalui pos atau perusahaan jasa titipan.

Ayat (3) Cukup Jelas.

Pasal 7A Ayat (1)

Ketentuan ini mengatur kewajiban bagi pengangkut untuk memberitahukan rencana kedatangan sarana pengangkutnya sebelum sarana pengangkut tiba di kawasan pabean, baik terhadap sarana pengangkut yang melakukan kegiatannya secara reguler

(liner maupun sarana pengangkut yang tidak secara teratur berada di kawasan pabean (tramper), Hal ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan pengawasan pabean atas barang impor dan/atau barang ekspor.

Yang dimaksud dengan saat kedatangan sarana pengangkut yaitu: a. saat lego jangkar di perairan pelabuhan untuk sarana pengangkut melalui laut; b. saat mendarat di landasan bandar udara untuk sarana pengangkut melalui udara.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan manifes yaitu daftar barang niaga yang dimuat dalam sarana pengangkut.

Ayat (3)

Pemberitahuan pabean pada ayat ini berisi informasi tentang semua barang niaga yang diangkut dengan sarana pengangkut, baik barang impor, barang ekspor, maupun barang asal daerah pabean yang diangkut yang diangkut ke tempat lain dalam daerah pabean melalui luar daerah pabean.

Ayat (4)

Cukup Jelas

Ayat (5)

Ketentuan mengenai berlabuh pada ayat ini dihitung sejak kedatangan sarana pengangkut sebagaimana dimaksud pada penjelasan ayat (1).

Ayat (6)

Pada dasarnya barang impor hanya dapat dibongkar setelah diajukan pemberitahuan pabean tentang kedatangan sarana pengangkut. Akan tetapi, jika sarana pengangkut mengalami keadaan darurat seperti mengalami kebakaran, kerusakan mesin yang tidak dapat diperbaiki, terjebak dalam cuaca buruk, atau hal lain yang terjadi di luar kemampuan manusia dapat diadakan pengecualian dengan melakukan pembongkaran tanpa memberitahukan terlebih dahulu tentang kedatangan sarana pengangkut.

huruf a

Yang dimaksud dengan kantor pabean terdekat yaitu kantor pabean yang paling mudah dicapai. melaporkan keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini dapat dilakukan dengan menggunakan radio panggil, telepon, atau faksimile.

huruf b

Cukup Jelas.

Ayat (7) s/d Ayat (9)

Cukup Jelas.

Pasal 8A

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pengangkutan pada ayat ini yaitu pengangkutan barang impor yang tidak melalui laut (inland transportation).

Ayat (2)

Yang dimnaksud dengan pengusaha pada ayat ini yaitu pengusaha tempat penimbunan sementara atau pengusaha tempat penimbunan berikat.

Yang dimaksud dengan importir yaitu orang yang mengimpor.

Ayat (3) dan ayat (4)

Cukup Jelas

Pasal 8B

Ayat (1)

Mengingat tenaga listrik, barang cair, atau gas bersifat khusus, pengangkutan terhadap barang tersebut dilakukan dengan cara khusus antara lain melalui transmisi atau saluran pipa.

Pemberitahuan paeban atas impor atau ekspor barang tersebut harus didasarkan pada jumlah dan jenis barang pada saat pengukuran di tempat pengukuran terakhir dalam daerah pabean.

Ayat (2)

Peranti lunak (software) dapat berupa serangkaian program dalam sistem komputer yang memerintahkan komputer apa yang harus dilakukan.

Peranti lunak dan data elektronik (softcopy) merupakan barang yang menjadi objek dan Undang-Undang ini dan pengangkutan atau pengirimannya dapat dilakukan melalui transmisi eletronik misalnya melalui media internet.

Ayat (3)

Cukup Jelas

Pasal 8C

Ayat (1)

Cukup Jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan dokumen yang sah yaitu dokumen yang dipersyaratkan dalam pengangkutan barang tertentu.

Ayat (3)

Sanksi administrasi berupa denda dikenakan terhadap kelebihan atau kekurangan barang tertentu pada saat pengangkutan atau pembongkaran.

Ayat (4) dan Ayat (5)

Cukup Jelas. Pasal 9A

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan barang impor yaitu barang impor baik yang diangkut lanjut maupun yang diangkut terus.

Ayat (2) s/d Ayat (4)

Cukup Jelas.

Pasal 10A

Ayat (1)

Pembongkaran di tempat lain dilakukan dengan memperhatikan teknis pembongkaran atau sebab lain atas pertimbangan kepala kantor pabean, misalnya sarana pengangkut tidak dapat sandar di dermaga atau alat bongkar tidak tersedia.

Ayat (2)

Yang dimaksud pembongkaran pada ayat ini yaitu pembongkaran barang dari sarana pengangkut yang satu ke sarana pengangkut lainnya, dilakukan di pelabuhan yang belum dapat disandari langsung sehingga pembongkaran dilakukan di luar pelabuhan (reede).

Yang dimaksud dengan jalur yang ditetapkan yaitu jalur yang harus dilalui oleh sarana pengangkut yang meneruskan pengangkutan reede ke kantor pabean.

Ayat (3)

Kewajiban pada ayat ini yang harus dilakukan oleh pengangkut atau kuasanya yaitu memberitahukan kedatangan sarana pengangkut dengan pemberitahuan pabean kepada pejabat bea dan cukai dan dokumen tersebut harus memuat atau berisi semua barang impor yang diangkut di dalam sarana pengangkut tersebut, baik berupa barang dagangan maupun bekal kapal. Apabila jumlah barang yang dibongkar kurang dari jumlah yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean, pengangkutan berdasarkan ketentuan pada ayat ini dianggap telah memasukkan barang impor tersebut ke peredaran bebas sehingga selain wajib membayar bea masuk atas barang yang kurang dibongkar tersebut, juga dikenai sanksi administrasi berupa denda, jika yang bersangkutan tidak dapat membuktikan bahwa kekurangan barang yang dibongkar tersebut bukan karena kesalahannya.

Dalam hal barang yang diangkut dalam kemasan, yang dimaksud dengan jumlah barang yaitu jumlah kemasan.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Ayat (5)

Ketentuan ini dimaksudkan bahwa penimbunan barang di tempat penimbunan sementara bukan merupakan keharusan karena penimbunan tersebut hanya dilakukan dalam hal barang tidak dapat dikeluarkan dengan segera.

Ayat (6)

Yang dimaksud dalam hal tertentu yaitu apabila penimbunan di tempat penimbunan sementara tidak dapat dilakukan seperti kongesti, kendala teknis penimbunan, sifat barang, atau sebab lain sehingga tidak memungkinkan barang impor ditimbun. Termasuk dalam pengertian ini yaitu pemberian fasilitas penimbunan selain di tempat penimbunan sementara dengan tujuan untuk menghindari beban biaya penumpukan yang mungkin atau yang telah timbul selama dalam proses pemenuhan kewajiban pabean.

Ketentuan yang berlaku pada tempat penimbunan sementara berlaku di tempat lain yang dimaksud pada ayat ini.

Ayat (7)

Huruf a s/d Huruf d

Cukup Jelas.

Huruf e

Yang dimaksud dengang barang diangkut terus yaitu barang yang diangkut dengan sarana pengangkut melalui kantor pabean tanpa dilakukan pembongkaran terlebih dahulu.

Yang dimaksud dengan barang diangkut lanjut yaitu barang yang diangkut dengan sarana pengangkut melalui kantor pabean dengan dilakukan pembongkaran terlebih dulu.

Huruf f

Yang dimaksud dengan diekspor kembali antara lain : 1) pengiriman kembali barang impor keluar daerah pabean karena ternyata tidak sesuai dengan yang dipesan; 2) oleh karena suatu ketentuan baru dari pemerintah tidak boleh diimpor ke dalam daerah pabean.

Ayat (8)

Pengeluaran barang pada ayat ini dilakukan tanpa bermaksud untuk mengelakkan pembayaran bea masuk, karena telah diajukan pemberitahuan pabean dan bea masuknya telah dilunasi, akan tetapi karena pengeluarannya tanpa persetujuan pejabat bea dan cukai, atas pelanggaran tersebut dikenai sanksi administrasi berupa denda.

Ayat (9)

Cukup Jelas.

Pasal 10B

Ayat (1)

Huruf a dan Huruf b

Cukup Jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup Jelas.

Huruf b

Ketentuan ini memungkinkan importir yang memenuhi persyaratan, untuk mengeluarkan barang impor untuk dipakai sebelum melunasi bea masuk yang terutang dengan menyerahkan jaminan. Namun, importir wajib menyelesaikan kewajibannya dalam jangka waktu yang ditetapkan menurut Undang-Undang ini. Kemudahan ini diberikan dengan tujuan untuk memperlancar arus barang.

Huruf c

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan penumpang yaitu setiap orang yang melintas perbatasan wilayah negara dengan menggunakan sarana pengangkut, tetapi bukan awak sarana pengangkut dan bukan pelintas atas.

Yang dimaksud dengan awak sarana pengangkut yaitu setiap orang yang karena sifat pekerjaannya harus berada dalam sarana pengangkut dan datang bersama sarana pengangkut.

Yang dimaksud dengan pelintas batas yaitu penduduk yang berdiam atau bertempat tinggal dalam wilayah perbatasan negara serta memiliki kartu identitas yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dan yang melakukan perjalanan lintas batas di daerah perbatasan melalui pos pengawas lintas batas.

Yang dimaksud dengan diberitahukan yaitu menyampaikan pemberitahuan secara lisan atau tertulis.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan persetujuan pejabat bea dan cukai yaitu penetapan pejabat bea dan cukai yang menyatakan bahwa barang tersebut telah tepenuhi kewajiban pabean berdasarkan Undang-Undang ini.

Ayat (5)

Cukup Jelas.

Ayat (6)

Ketentuan pada ayat ini mengatur tentang pengenaan sanksi administrasi berupa denda kepada importir yang memperoleh kemudahan berdasarkan ketentuan pada ayat (2) huruf b atau huruf c, yaitu mengimpor barang untuk dipakai sebelum melunasi bea masuk dengan penyerahan jaminan, tetapi tidak menyelesaikan kewajiban untuk membayar bea masuk menurut jangka waktu yang ditetapkan berdasarkan Undang- Undang ini.

Pasal 10C

Ayat (1)

Kekhilafan yang nyata adalah kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi dalam suatu pemberitahuan pabean yang sering terjadi dalam bentuk kesalahan tulis, kesalahan hitung dan/atau kesalahan penerapan peraturan yang seharusnya tidak perlu terjadi, dan tidak mengandung persengketaan antara pejabat bea dan cukai dengan penguna jasa kepabeanan, misalnya : - Kesalahan tulis berupa kesalahan penulisan nama atau alamat; - kesalahan hitung berupa kesalahan perhitungan bea masuk atau pajak; - kesalahan penerapan aturan berupa ketidaktahuan adanya perubahan peraturan, sering terjadi pada awal berlakunya peraturan baru.

Ayat (2)

Huruf a dan Huruf b

Cukup Jelas.

Huruf c

Penetapan pejabat bea dan cukai dapat juga merupakan penetapan dengan menggunakan sistem komputer pelayanan.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Pasal 10D

Ayat (1)

Tujuan pengaturan impor sementara yaitu memberikan kemudahan atas pemasukan barang dengan tujuan tertentu, misalnya barang perlombaan; kendaraan yang dibawa oleh wisatawan; peralatan penelitian; peralatan yang digunakan oleh teknisi, wartawan, dan tenaga ahli; kemasaan yang dipakai berulang-ulang; dan barang keperluan proyek yang digunakan sementara waktu yang pada saat pengimpornya telah jelas bahwa barang tersebut akan diekspor kembali.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Mengingat pemasukannya hanya untuk sementara, barang-barang tersebut diberikan pembebasan atau keringanan bea masuk.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan terlambat yaitu barang tersebut telah selesai dipergunakan sesuai dengan jangka waktu yang diizinkan, tetapi yang bersangkutan tidak mengurus administrasi kepabeanannya sampai dengan tanggal jatuh tempo.

Perhitungan bea masuk pada ayat ini dihitung berdasarkan tarif dan nilai pabean pada saat pengajuan pemberitahuan pabean atas impor sementara tersebut.

Ayat (6) dan Ayat (7)

Cukup Jelas.

Pasal 11A

Ayat (1)

Pemberitahuan pada ayat ini dimaksudkan sebagai sarana untuk melakukan pengawasan terhadap barang yang akan dikeluarkan dari pabean.

Ayat (2) s/d Ayat (4)

Cukup Jelas.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan dibatalkan yaitu dibatalkan seluruh atau sebagian.

Ayat (6) dan Ayat (7)

Cukup Jelas.

Pasal 13

Ayat (1)

Ayat ini memberikan kewenangan kepada menteri untuk menetapkan tarif bea masuk yang besarnya berbeda dengan tarif yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).

Huruf a

Tarif bea masuk dikenakan berdasarkan perjanjian atau kesepakatan yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara lain atau beberapa negara lain, misalnya bea masuk berdasarkan Common Effective Preferential Tariff for Asean Free Trade Area (CEPT for AFTA).

Huruf b

Dalam rangka mempermudah dan mempercepat penyelesaian impor barang bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman melalui pos atau jasa titipan, dapat dikenakan be masuk berdasarkan tarif yang berbeda dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), misalnya dengan pengenaan tarif rata-rata. Ketentuan ini perlu, mengingat barang-barang yang dibawa oleh para penumpang, awak sarana pengangkut, dan pelintas batas pada umumnya terdiri dari beberapa jenis.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Pasal 14

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan sistem klasifikasi barang dalam pasal ini yaitu suatu daftar penggolongan barang yang dibuat secara sistematis dengan tujuan untuk mempermudah penarifan, transaksi perdagangan, pengangkutan, dan statistik.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Pasal 15

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan nilai transaksi yaitu harga yang sebenarnya dibayar atau seharusnya dibayar oleh pembeli kepada penjual atas barang yang dijual untuk diekspor ke daerah pabean ditambah dengan : a. biaya yang dibayar oleh pembeli yang belum tercantum dalam harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar berupa : 1. komisi dan jasa, kecuali komisi pembelian; 2. biaya pengemas, yang untuk kepentingan pabean, pengemas tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan barang yang bersangkutan; 3. biaya pengepakan meliputi biaya material dan upah tenaga kerja pengepakan; b. nilai dari barang dan jasa berupa : 1. material, komponen, bagian, dan barang-barang sejenis yang terkandung dalam barang impor; 2. peralatan, cetakan, dan barang-barang yang sejenis yang digunakan untuk pembuatan barang impor; 3. materi yang digunakan dalam pembuatan barang impor; 4. teknik pengembangan, karya seni, desain, perencanaan, dan sketsa yang dilakukan dimana saja di luar daerah pabean dan diperlukan untuk pembuatan barang impor, yang dipasok secara langsung atau tidak langsung oleh pembeli, dengan syarat barang dan jasa tersebut : a) dipasok dengan cuma-cuma atau dengan harga diturunkan; b) untuk kepentingan produksi dan penjualan untuk ekspor barang impor yang dibelinya; c) harganya belum termasuk dalam harga yang sebenarnya atau yang seharusnya dibayar dari barang impor yang bersangkutan. c. royalti dan biaya lisensi yang harus dibayaar oleh pembeli secara langsung atau tidak langsung sebagai persyaratan jual beli barang impor yang dinilai, sepanjang royalti dan biaya lisensi tersebut belum termasuk dalam harga yang sebenarnya dibayar dari barang impor yang bersangkutan; d. nilai setiap bagian dari hasil/pendapatan yang diperoleh pembeli untuk disampaikan secara langsung atau tidak langsung kepada penjual, atas penjualan, pemanfaatan, atau pemakaian barang impor yang bersangkutan; e. biaya transportasi barang impor yang dijual untuk diekpor ke pelabuhan atau tempat impor di daerah pabean; f. biaya pemuatan, pembongkaran, dan penanganan yang berkaitan dengan pengangkutan barang impor ke pelabuhan atau tempat impor di daerah pabean; g. biaya asuransi.

Ayat (2)

Dua barang dianggap identik apabila keduanya sama dalam segala hal, setidak- tidaknya karakter fisik, kualitas, dan reputasinya sama, serta : a. diproduksi oleh produsen yang sama di negara yang sama; atau b. diproduksi oleh produsen lain di negara yang sama.

Ayat (3)

Dua barang dianggap serupa apabila keduanya memiliki karakter fisik dan komponen material yang sama sehingga dapat menjalankan fungsi yang sama dan secara komersial dapat dipertukarkan serta : a. diproduksi oleh produsen yang sama di negara yang sama; atau b. diproduksi oleh produsen lain di negara yang sama.

Ayat (3a)

Cukup Jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud metode deduksi yaitu metode untuk menghitung nilai barang pabean barang impor berdasarkan harga jual dari barang impor yang bersangkutan, barang impor yang identik atau barang yang serupa di pasar dalam daerah pabean dikurangi biaya atau pengeluaran, atara lain komisi atau keuntungan, transportasi, asuransi, bea masuk, dan pajak.

Ayat (5)

yang dimaksud dengan metode komputasi yaitu metode untuk menghitung nilai pabean barang impor berdasarkan penjumlahan harga bahan baku, biaya proses pembuatan, dan biaya/pengeluaran lainnya sampai barang tersebut tiba di pelabuhan atau tempat impor di daerah pabean.

Ayat (6)

Yang dimaksud dengan pembatasan tertentu yaitu bahwa dalam penghitungan nilai pabean barang impor berdasarkan ayat ini tidak diizinkan ditetapkan berdasarkan : a. harga jual barang produksi dalam negeri; b. suatu sistem yang menentukan nilai yang lebih tinggi apabila ada dua alternatif nilai pembanding; c. harga barang di pasaran dalam negeri negara pengekspor; d. biaya produksi, selain nilai yang dihitung berdasarkan metode komputasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang telah ditentukan untuk barang identik atau serupa; e. harga barang yang diekspor ke suatu negara selain ke daerah pabean; f. harga patokan; g. nilai yang ditetapkan dengan sewenang-wenang atau tiktif.

Ayat (7)

Cukup Jelas.

Pasal 16

Penetapan tarif dan nilai pabean atas pemberitahuan pabean secara self assesment hanya dilakukan dalam hal tarif dan nilai pabean yang diberitahukan berbeda dengan tarif yang ada dan/atau nilai pabean barang yang sebenarnya sehingga : a. bea masuk kurang dibayar dalam hal tarif dan/atau nilai pabean yang ditetapkan lebih tinggi; b. bea masuk lebih dibayar dalam hal tarif dan/atau nilai pabean yang ditetapkan lebih rendah.

Dalam hal tertentu atas barang impor dilakukan penetapan tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk setelah pemeriksaan fisik, tetapi sebelum diserahkan pemberitahuan pabean.

Dalam rangka memberikan kepastian pelayanan kepada masyarakat, jika pemberitahuan pabean sudah didaftarkan, penetapan harus sudah diberikan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran. Batas waktu 30 (tiga puluh) hari dianggap cukup bagi pejabat bea dan cukai untuk mengumpulkan informasi sebagai dasar pertimbangan dalam melakukan penetapan.

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan penetapan tarif sebelum penyerahan pemberitahuan pabean yaitu penetapan tarif yang dilakukan terhadap impor tertentu secara official assesment.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan penetapan nilai pabean sebelum penyerahan pemberitahuan pabean yaitu penetapan nilai pabean yang dilakukan terhadap importasi tertentu seperti impor sementara, barang penumpang, atau barang kiriman secara official assesment.

Ayat (3) s/d Ayat (6)

Cukup Jelas.

Pasal 17

Ayat (1)

Pada dasarnya penetapan pejabat bea dan cukai sudah mengikat dan dapat dilaksanakan. Akan tetapi, jika hasil penelitian ulang atas pemberitahuan pabean atau dalam hal pelaksanaan audit kepabeanan ditemukan adanya kekurangan dan/atau kelebihan pembayaran bea masuk yang disebabkan oleh kesalahan pemberitahuan tarif dan/atau nilai pabean, Direktur Jenderal membuat penetapan kembali.

Ayat (2) dan Ayat (3)

Cukup Jelas.

Ayat (4)

Ketentuan ini dimaksud bahwa pada dasarnya yang mengetahui besarnya suatu transaksi yang dilakukan hanyalah pihak penjual dan pembeli sehingga kebenaran pemberitahuan nilai transaksi semata-mata tergantung pada kejujuran pihak yang yang bertransaksi. Oleh karena itu, kesalahan akibat ketidak jujuran yang ditemukan dalam penelitian kembali atau dalam pelaksanaan audit kepabeanan dikenai sanksi administrasi berupa denda.

Pasal 17A

Penetapan Direktur Jenderal sebelum diajukan pemberitahuan pabean dalam pasal ini yaitu dalam rangka memberikan pelayanan kepada pengguna jasa dan menyesuaikan dengan praktik kepabeanan internasional yang lazim dikenal sebagai Pre-Entry Clas-sification dan Valuation Ruling. Yang dimaksud dengan Pre-Entry Classification yaitu penetapan klasifikasi barang oleh Direktur Jenderal terhadap importasi barang sebelum sebelum diajukan pemberitahuan pabean atas permohonan importir.

Yang dimaksud dengan Valuation Ruling yaitu penetapan nilai pabean oleh Direktur Jenderal yang dibuat berdasarkan hasil audit kepabeanan terhadap importasi barang yang telah dan akan dilakukan oleh importir dalam jangka waktu tertentu.

Pasal 23A

Yang dimaksud dengan bea massuk tindakan pengamanan (safeguard) yaitu bea masuk yang dipungut sebagai akibat tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius dan/atau mencegah ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor baranhg sejenis atau barang yang secara langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius dan/atau ancaman kerugian serius tersebut dapat melakukan penyesuaian struktur.

Dalam hal tindak pengamanan telah ditetapkan dalam bentuk kuota (pembatasan impor), maka bea masuk tindakan pengamanan tidak harus dikenakan.

Yang dimaksud dengan kerugian serius adalah kerugian nyata yang diderita oleh industri dalam negeri. Kerugian tersebut harus didasarkan pada (shall be based on) fakta-fakta bukan didasarkan pada tuduhan, dugaan, atau perkiraan.

Pasal 23B

Ayat (1)

Dalam hal barang ekspor Indonesia diperlakukan secara tidak wajar oleh suatu negara misalnya dengan pembatasan, larangan, atau pengenaan tambahan bea masuk, barang-barang dari negara yang bersangkutan dapat dikenakan tarif yang besarnya berbeda dengan tarif yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Pasal 23C dan Pasal 23D

Cukup Jelas.

Pasal 25

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pembebasan bea masuk yaitu peniadaan pembayaran bea masuk yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

Huruf a

Yang dimaksud dengan barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yaitu barang milik atau untuk keperluan perwakilan negara asing tersebut, termasuk pejabat pemegang paspor diplomatik dan keluarganya di Indonesia. Pembebasan ini tidak diberikan kepada pejabat badan internasional yang memegang paspor Indonesia.

Huruf b

Yang dimaksud dengan barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yaitu milik atau untuk keperluan badan international yang diakui dan terdaftar pada Pemerintah Indonesia, termasuk para pejabatnya yang ditugaskan di Indonesia. Pembebasan ini tidak diberikan kepada pejabat badan international yang memegang paspor Indonesia.

Huruf c

Pembebasan bea masuk diberikan berdasarkan rekomendasi dari kementerian terkait terhadap buku-buku yang bertujuan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Huruf d

Yang dimaksud keperluan ibadah untuk umum yaitu barang-barang yang semata-mata digunakan untuk keperluan ibadah dari setiap agama yang diakui di Indonesia.

Yang dimaksud dengan barang keperluan amal dan sosial yaitu barang yang semata-mata ditujukan untuk keperluan amal dan sosial dan tidak mengandung unsur komersial, seperti bantuan untuk bencana alam atau pemberantasan wabah penyakit.

Yang dimaksud dengan barang untuk keperluan kebudayaan yaitu barang yang ditunjuk untuk meningkatkan hubungan kebudayaan antarnegara. Pembebasan bea masuk diberikan berdasarkan rekomendasi dari kementerian terkait.

Huruf e

Cukup Jelas.

Huruf f

Yang dimaksud dengan barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yaitu barang atau peralatan yang digunakan untuk memerlukan penelitian/riset atau percobaan guna peningkatan atau pengembangan suatu penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembebasan bea masuk diberikan berdasarkan rekomendasi dari kementerian terkait.

Huruf g s/d Huruf i

Cukup Jelas.

Huruf j

Yang dimaksud dengan barang contoh yaitu barang yang diimpor khusus sebagai contoh, antara lain untuk keperluan produksi (prototipe) dan pameran dalam jumlah dan jenis yang terbatas, baik tipe maupun merek.

Huruf k

Cukup Jelas.

Huruf l

Yang dimaksud dengan barang pindahan yaitu barang-barang keperluan rumah tangga milik orang yang semula berdomisili di luar negeri, kemudian dibawa pindah ke dalam negeri.

Huruf m

Yang dimaksud dengan barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, dan pelintas batas yaitu barang-barang yang dibawah oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 10B ayat (3), sedangkan barang kiriman yaitu barang yang dikirim oleh pengirim tertentu di luar negeri kepada penerima tertentu di dalam negeri.

Huruf n

Cukup Jelas.

Huruf o

Yang dimaksud dengan perbaikan yaitu penanganan barang yang rusak, usang, atau tua dengan mengembalikannya pada keadaan semula tanpa mengubah sifat hakikinya.

Yang dimaksud dengan pengerjaan yaitu penanganan barang, selain perbaikan tersebut di atas, juga mengakibatkan peningkatan harga barang dari segi ekonomis tanpa mengubah sifat hakikinya.

Pengujian meliputi pemeriksaan barang dari segi teknis dan menyangkut mutu serta kapasitasnya sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Pembebasan atau keringanan dalamkhal ini hanya dapat diberikan terhadap barang dalam keadaan seperti pada waktu diekspor, sedangkan atas bagian yang diganti atau ditambah dan biaya perbaikan tetap dikenakan bea masuk.

Huruf p

Pembebasan bea masuk dapat diberikan terhadap barang setelah diekspor, diimpor kembali tanpa mengalami proses pengerjaan atau penyempurnaan apapun, seperti barang yang dibawa oleh penumpang ke luar negeri, barang keperluan pameran, pertunjukan, atau perlombaan.

Terhadap barang yang diekspor untuk kemudian karena suatu hal diimpor kembali dalam keadaan yang sama dengan ketentuan segala fasilitas yang pernah diterimanya dikembalikan.

Huruf q

Bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan penjenisan jaringan yaitu : 1) bahan terapi yang berasal dari manusia, yaitu darah manusia serta turunannya (derivatif) seperti darah seluruhnya, plasma kering albumin, gamaglobulin. fibrinogen serta tubuh. 2) bahan pengelompokan darah yang berasal dari manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, atau sumber lain. 3) bahan penjenisan jaringan yang berasal dari manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, atau sumber lain.

Ayat (3)

Ayat ini memberikan wewenang kepada Menteri untuk mengatur lebih lanjut persyaratan dan tata cara yang harus dipenuhi guna memperoleh pembebasan berdasarkan pasal ini.

Ayat (4)

yang dimaksud dengan tidak memenuhi ketentuan antara lain digunakan tidak sesuai dengan tujuan dan persyaratan yang ditetapkan, seperti fasilitas pembebasan bea masuk atas impor barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan, tetapi pada kenyataannya diperdagangkan.

Pelangggaran atas ketentuan tentang pembebasan ini ditemukan pada pengawasan, penelitian kembali, dan/atau pelaksanaan audit kepabeanan.

Pasal 26

Pembebasan bea masuk yang diberikan dalam pasal ini yaitu pembebasan yang relatif, dalam arti bahwa pembebasan yang diberikan didasarkan pada beberapa persyaratan dan tujuan tertentu, sehingga terhadap barang impor dapat diberikan pembebasan atau hanya keringanan bea masuk.

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan keringanan bea masuk yaitu pengurangan sebagian pembayaran bea masuk yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang ini.

Huruf a

Yang dimaksud dengan penanaman modal pada huruf ini yaitu penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Huruf b

Yang dimaksud dengan mesin untuk pembangunan dan pengembangan industri yaitu mesin, permesinan, alat perlengkapan instansi pabrik, peralatan, atau perkakas yang digunakan untuk pembangunan dan pengembangan industri.

Pengertian pembangunan dan pengembangan industri meliputi pendirian perusahaan atau pabrik baru serta perluasan (divesifikasi) hasil produksi, modernisasi, rehabilitasi untuk tujuan peningkatan kapasitas produksi dari perusahaan atau pabrik yang telah ada.

Huruf c

Yang dimaksud dengan barang dan bahan yaitu semua barang atau bahan, tidak melihat jenis dan komposisinya, yang digunakan sebagai bahan atau komponen untuk menghasilkan barang jadi, sedangkan batas waktu akan diatur dalam keputusan pelaksanaannya.

Huruf d

Cukup Jelas.

Huruf e

Yang dimaksud dengan bibit dan benih yaitu segala jenis tumbuh-tumbuhan atau hewan yang diimpor dengan tujuan benar-benar untuk dikembangbiakan lebih lanjut dalam rangka pengembangan bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, atau perikanan.

Huruf f

Yang dimaksud dengan hasil laut yaitu semua jenis tumbuhan laut, ikan atau hewan laut yang layak untuk dimakan seperti ikan, udang, kerang, dan kepiting yang belum atau yang sudah diolah dalam sarana penangkap yang bersangkutan.

Yang dimaksud dengan sarana penangkap yaitu satu atau sekelompok kapal yang mempunyai peralatan untuk menangkap atau mengambil hasil laut, termasuk juga yang mempunyai peralatan pengolahan.

Yang dimaksud dengan sarana penangkap yang telah mendapat izin yaitu sarana penangkap yang berbendera Indonesia atau berbendera asing yang telah memperoleh izin dari Pemerintah Indonesia untuk melakukan penangkapan atau pengambilan hasil laut.

Huruf g

Dalam transaksi perdagangan kemungkinan adanya perubahan kondisi barang sebelum barang diterima oleh pembeli dapat saja terjadi. Sedangkan perinsip pemungutan bea masuk dalam Undang-Undang ini diterapkan atas semua barang yang diimpor untuk dipakai sehingga, apabila terjadi perubahan kondisi (kerusakan, penurunan mutu, kemusnahan, atau penyusutan volume atau berat karena sebab alamiah), barang tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai atau memberikan manfaat sebagaimana diharapkan, wajar apabila yang mengalami perubahan kondisi sebagaimana diuraikan diatas tidak sepenuhnya dipungut bea masuk. Oleh karena itu pembatasan pada saat kapan terjadinya perubahan kondisi barang tersebut, yaitu antara waktu pengangkutan dan diberikannya persetujuan impor untuk dipakai.

Huruf h

Yang dimaksud dengan kepentingan umum yaitu kepentingan masyarakat yang tidak mengutamakan kepentingan di bidang keuangan, misalnya proyek pemasangan lampu jalan umum.

Huruf i s/d Huruf k

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan tidak memenuhi ketentuan antara lain digunakan tidak sesuai dengan tujuan dan persyaratan yang ditetapkan, seperti fasilitas keringanan bea masuk atas impor barang untuk keperluan olahraga tetapi kenyataannya diperjualbelikan.

Pasal 27

Ayat (1)

Huruf a

Kesalahan tata usaha yang dimaksud antara lain kesalahan tulis, kesalahan hitung, atau kesalahan pencantuman tarif.

Huruf b

Cukup Jelas.

Huruf c

Yang dimaksud dengan sebab tertentu yaitu bahwa hal tersebut bukan merupakan kehendak importir, melainkan disebabkan oleh adanya kebijaksanaan pemerintah yang mengakibatkan barang yang telah diimpor tidak dapat dimasukan ke dalam daerah pabean sehingga harus diekspor kembali atau dimusnahkan dibawah pengawasan pejabat bea dan cukai dalam kondisi yang sama.

Huruf d dan Huruf e

Cukup Jelas.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Pasal 30

Cukup Jelas.

Pasal 32

Ayat (1)

Pada prinsipnya importir bertanggung jawab atas bea masuk barang yang diimpornya. Namun berdasarkan ketentuan dalam Pasal 30 ayat (1) undang-Undang ini, importir baru dinyatakan bertanggung jawab atas bea masuk sejak didaftarkannya pemberitahuan pabean. Dengan demikian, sebelum didaftarkannya pemberitahuan pabean, tanggung jawab atas bea masuk berada pada pengusaha tempat penimbunan sementara, yaitu tempat penimbunan barang impor yang bersangkutan.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Apabila barang impor yang harus dilunasi bea masuknya terdiri dari beberapa jenis dengan satu nama umum (golongan barang), sedangkan jenis barang yang sebenarnya tidak dapat diketahui, sebagai dasar penghitungan bea masuk, diambil tarif tertinggi yang berlaku atas golongan barang tersebut dan nilai pabean ditetapkan oleh pejabat bea dan cukai.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Pasal 36

Ayat (1)

Cukup Jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan dibulatkan jumlahnya dalam ribuan rupiah yaitu dibulatkan ke atas sehingga bagian dari ribuan menjadi ribuan.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Pasal 37

Ayat (1)

Kewajiban membayar bea masuk yang timbul sebagaimana dimasud dalam Pasal 2 harus dilunasi paling lambat pada tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean atas impor.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan penundaan yaitu penundaan bea masuk dalam rangka fasilitas pembayaran berkala dan penundaaan pembayaran bea masuk karena menunggu keputusan pembebasan atau keringanan.

Ayat (2a) dan Ayat (3)

Cukup Jelas.

Pasal 37A

Ayat (1)

Cukup Jelas.

Ayat (2)

Direktur Jenderal dapat memberikan penundaan atau pengangsuran pembayaran setelah mempertimbangkan kemampuan orang dalam membayar utangnya dengan memperhatikan laporan keuangan dan kredibilitas orang tersebut.

Ayat (3) dan Ayat (4)

Cukup Jelas.

Pasal 38

Cukup Jelas.

Pasal 41

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, penagihan bea masuk dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Pasal 44

Ayat (1)

Tujuan pengadaan tempat penimbunan berikat dalam Undang-Undang ini yaitu memberikan fasilitas kepada pengusaha berupa penangguhan pembayaran bea masuk.

Yang dimaksud dengan Penangguhan yaitu peniadaan sementara kewajiban pembayaran bea masuk sampai timbul kewajiban untuk membayar bea masuk berdasarkan Undang-Undang ini.

Dalam tempat penimbunan berikat dilakukan kegiatan menyimpan, menimbun, melakukan pengetesan (Quality Control), memperbaiki/merekondisi, menggabungkan (kitting), memamerkan, menjual, mengemas, mengemas kembali, mengolah, mendaur ulang, melelang barang, merakit (assembling), mengurai (disassembling), dan/atau membudidayakan flora dan fauna yang berasal dari luar daerah pabean tanpa lebih dahulu dipungut bea masuk.

Pengadaan tempat penimbunan berikat ini diharapkan dapat memperlancar arus barang impor atau ekspor serta meningkatkan produksi dalam negeri.

Huruf a

Cukup Jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan mengolah yaitu kegiatan memproses bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi.

Huruf c

Barang impor setelah dipamerkan dapat direekspor atau dijual setelah dilunasi bea masuk yang terutang.

Barang yang berasal dari dalam daerah pabean dapat diekspor setelah memenuhi persyaratan ekspor sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Huruf d

Yang dimaksud dengan orang tertentu yaitu warga negara asing yang bertugas di Indonesia atau orang yang berangkat ke luar negeri.

Huruf e dan Huruf f

Cukup Jelas.

Huruf g

Yang dimaksud dengan daur ulang yaitu suatu kegiatan pengolahan limbah dan barang lainnya menjadi produk yang mempunyai nilai tambah dan nilai ekonomi yang lebih tinggi.

Ayat (1a)

Penetapan oleh menteri ini guna mengantisipasi perkembangan industri dan perdagangan internasional.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan pengusahaan tempat penimbunan berikat yaitu kegiatan usaha menyimpan, menimbun, melakukan pengetesan, memperbaiki/merekondisi, menggabungkan (kitting), memamerkan, menjual, mengemas, mengemas kembali, mengolah, mendaur ulang, melelang barang, merakit (assembling), mengurai (disassembling), dan/atau membudidayakan flora dan fauna di tempat penimbunan berikat.

Pasl 45

Ayat (1)

Cukup Jelas.

Ayat (2)

Huruf a dan Huruf b

Cukup Jelas.

Huruf c

yang dimaksud dengan barang lainnya antara lain waste, scrap, sisa/ potongan, bahan baku yang rusak, dan/atau barang yang rusak.

Ayat (3)

Pengeluaran barang pada ayat ini dilakukan tanpa bermaksud mengelakkan pembayaran bea masuk karena telah diajukan pemberitahuan pabean dan bea masuk telah dilunasi, tetapi pengeluaran barang tersebut dilakukan tanpa persetujuan pejabat bea dan cukai sehingga pelanggaran dikenai sanksi administrasi berupa denda.

Ayat (4)

yang dimaksud dengan pengusaha tempat penimbunan berikat yaitu orang yang benar-benar melakukan kegiatan usaha menyimpan, menimbun, melakukan pengetesan, memperbaiki/merekondisi, menggabungkan (kitting), memamerkan, menjual, mengemas, mengemas kembali, mengolah, mendaur ulang, melelang barang, merakit (assembling), mengurai (disassembling), dan/atau membudidayakan flora dan fauna di tempat penimbunan.

Ketentuan pada ayat ini menegaskan bahwa terhadap barang impor yang wajib bea masuk, yang hilang dari tempat penimbunan berikat, kepada pengusaha tempat penimbunan berikat, wajib membayar bea masuk yang terutang dan sanksi administrasi berupa denda.

Pasal 49

Yang dimaksud dengan pembukuan yaitu suatu proses pencatatan yang dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi yang meliputi dan mempengaruhi keadaan harta, utang, modal, pendapatan, dan biaya yang secara khusus menggambarkan jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang kemudian diikhtisarkan dalam laporan keuangan.

Kewajiban menyelenggarakan pembukuan diperlukan untuk pelaksanaan audit kepabeanan setelah barang dikeluarkan dari kawasan pabean.

Yang dimaksud dengan pengusaha pengangkutan yaitu orang yang menyediakan jasa angkutan barang impor atau ekspor dengan sarana pengangkutan di darat, laut, dan udara.

Pasal 50

Ayat (1)

Cukup Jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berada di tempat bagi orang berupa badan hukum yaitu pimpinan badan hukum tersebut tidak berada ditempat. Yang dimaksud dengan yang mewakili yaitu karyawan atau bawahan atau pihak lain yang ditunjuk oleh orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.

Pasal 51

Ayat (1)

Pengaturan pada ayat ini dimaksudkan agar dapat dihitung besarnya nilai transaksi impor atau ekspor. Untuk menjamin tercapainya maksud tersebut, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia misalnya berdasarkan standar akuntansi keuangan.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Laporan keuangan, buku catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengtan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan dibidang kepabeanan wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia dengan maksud agar apabila Direktur Jenderal akan melakukan audit kepabeanan, bukti dasar pembukuan dan surat yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera disediakan.

Dalam data tersebut berupa data elektronik, orang wajib menjaga keandalan sistem pengolahan data yang digunakan agar data elektronik yang disimpan dapat dibuka, dibaca, atau diambil kembali setiap waktu.

Ayat (4)

Cukup Jelas

Pasal 52

Cukup Jelas

Pasal 53

Ayat (1)

Sesuai dengan praktik kepabeanan Internasional, pengawasan lalulintas barang yang masuk atau keluar dari daerah pabean dilakukan oleh instansi pabean. Dengan demikian, agar pelaksanaan pengawasan peraturan larangan dan pembatasan menjadi efektif dan terkoordinasi, instansi teknis yang bersangkutan wajib menyampaikan peraturan dimaksud kepada Menteri untuk ditetapkan dan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Ayat (2)

Cukup Jelas

Ayat (3)

Barang yang dilarang atau dibatasi impor atau ekspornya yang tidak memenuhi syarat yaitu barang impor atau ekspor yang telah diberitahukan dengan pemberitahuan pabean, tetapi tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan larangan atau pembatasan atas barang yang bersangkutan.

Permintaan importir atau eksportir untuk membatalkan ekspornya, mereekspor, atau memusnahkan tidak dapat disetujui jika peraturan perundang-undangan yang berlaku menetapkan lain.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan telah mengatur secara khusus penyelesaian barang impor yang dibatasi atau dilarang, misalnya impor limbah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun.

Penerapan sanksi administrasi pada ayat ini tidak mengurangi ketentuan pidana.

Pasal 54

Perintah tertulis tersebut dikeluarkan oleh ketua pengadilan niaga yang daerah hukumnya meliputi kawasan pabean, yaitu tempat kegiatan impor atau ekspor tersebut berlangsung.

Dalam hal impor barang tersebut ditujukan ke beberapa kawasan pabean dalam daerah pabean Indonesia permintaan perintah tersebut ditujukan kepada dan dikeluarkan oleh ketua pengadilan niaga yang daerah hukumnya meliputi kawasan pabean pertama, yaitu tempat impor barang yang bersangkutan ditujukan atau dibongkar. Dalam hal ekspor dilakukan dari beberapa kawasan pabean, permintaan tersebut ditujukan kepada dan dikeluarkan oleh pengadilan niaga yang daerah hukumnya meliputi kawasan pabean pertama yaitu tempat ekpor berlangsung.

Yang dimaksud dengan pengadilan niaga yaitu pengadilan niaga yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 56

Cukup Jelas

Pasal 57

Ayat (1)

Jangka waktu (sepuluh) hari kerja tersebut merupakan jangka waktu maksimum bagi penangguhan. Jangka waktu tersebut disediakan untuk memberi kesempatan kepada pihak yang meminta penangguhan agar segera mengambil langkah-langkah untuk mempertahankan haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ayat (2)

Perpanjangan jangka waktu penangguhan tersebut hanya dapat dilakukan dengan syarat yang ketat untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan hak untuk meminta penangguhan.

Ayat (3)

Cukup Jelas

Pasal 58

Ayat (1)

Pemeriksaan tersebut dilakukan dalam rangka identifikasi atau pencacahan untuk kepentingan pengambilan tindakan hukum atau langkah-langkah untuk mempertahankan hak yang diduga telah dilanggar. Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan sepengetahuan pejabat bea dan cukai.

Ayat (2)

Karena permintaan penangguhan tersebut masih berdasarkan dugaan, kepentingan pemilik barang juga perlu diperhatikan secara wajar. Kepentingan tersebut, antara lain kepentingan untuk menjaga rahasia dagang atau informasi teknologi yang dirahasiakan, yang digunakan untuk memproduksi barang impor atau ekspor tersebut. Dalam hal demikian, pemeriksaan hanya diizinkan secara fisik, sekedar untuk mengidentifikasi atau mencacah barang-barang yang dimintakan penangguhan.

Pasal 59

Cukup Jelas

Pasal 60

Yang dimaksud dengan keadaan tertentu tersebut, misalnya kondisi atau sifat barang yang cepat rusak.

Pasal 61

Cukup Jelas

Pasal 64A

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan penindakan yaitu di bidang kepabeanan yang perlu dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap barang yang diduga terkait dengan kegiatan terorisme dan/atau kejahatan lintas negara.

Ayat (2)

Cukup Jelas

Pasal 75

Ayat (1)

Ketentuan ini dimaksudkan bahwa dalam melaksanakan tugas pengawasan agar sarana pengangkut melalui jalur yang ditetapkan dan untuk memeriksa sarana pengangkut berupa kapal, pejabat bea dan cukai perlu dilengkapi sarana operasional berupa kapal patroli atau sarana pengawasan lainnya seperti radio telekomunikasi atau radar.

Yang dimaksud dengan kapal patroli yaitu kapal laut dan/atau kapal udara milik Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang dipimpin oleh pejabat bea dan cukai sebagai komandan patroli, yang mempunyai kewenangan penegakan hukum di daerah pabean sesuai dengan Undang-Undang ini.

Ayat (2)

Kelengkapan kapal patroli atau sarana lain dengan senjata api pada ayat ini dimaksudkan untuk menghadapi bahaya yang mengancam jiwa atau keselamatan pejabat bea dan cukai dan kapal patroli dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku.

Pasal 76

Semua instansi pemerintah, baik sipil maupun militer bila diminta, berkewajiban memberi bantuan dan perlindungan atau memerintahkan untuk melindungi pejabat bea dan cukai dalam segala hal yang berkaitan dengan pekerjaaannya. Ketentuan dalam pasal ini menegaskan bahwa bantuan sebagaimana dimaksud di atas yaitu sehubungan dengan segala kegiatan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 78

Wewenang pejabat bea dan cukai yang diatur dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin pengawasan yang lebih baik dalam rangka pengamanan keuangan negara.

Pasal 82

Ayat (1)

Ayat ini memberikan wewenang kepada pejabat bea dan cukai untuk melakukan pemeriksaan barang guna memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai pemberitahuan atau dokumen yang diajukan.

Dalam melaksanakan pemeriksaan ini pemilik barang atau kuasanya wajib menghadiri pemeriksaan.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan menyerahkan barang untuk diperiksa pada ayat ini yaitu menyiapkan barang di tempat pemeriksaan barang dan menyiapkan peralatan pemeriksaan sehingga pejabat bea dan cukai dapat melakukan pemeriksaan fisik barang.

Ayat (3) s/d Ayat (5)

Cukup Jelas

Ayat (6)

Yang dimaksud salah pada ayat ini yaitu kesalahan karena kelalaian. Yang dimaksud pungutan negara di bidang ekspor pada ayat ini meliputi bea keluar.

Pasal 82A Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pemeriksaan karena jabatan yaitu pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai karena kewenangan yang dimilikinya berdasarkan Undang-Undang ini dalam rangka pengawasan.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Pasal 85

Ayat (1) dan Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Ketentuan ini dimaksudkan bahwa dalam hal orang yang bersangkutan telah memenuhi kewajibannya, pejabat bea dan cukai segera memberikan pelayanan kepabeanan.

Pasal 85A

Pasal ini memberikan wewenang kepada pejabat bea dan cukai untuk melakukan pemeriksaan pabean terhadap barang tertentu di atas alat angkut, ditempat pemuatan, dan di tempat pembongkaran di dalam daerah pabean.

Pasal 86

Ayat (1)

Audit kepabeanan dilakukan dalam rangka pengawasan sebagai konsekuensi diberlakukannya;

a. sistem self assesment; b. ketentuan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi; c. pemberian fasilitas tidak dipungut, pembebasan, keringanan, pengembalian, atau penangguhan bea masuk yang hanya dapat diawasai dan dievaluasi setelah barang impor keluar dari kawasan pabean.

Ayat (1a)

Huruf a

Audit kepabeanan bukan merupakan audit untuk menilai atau memberikan opini tentang laporan keuangan, tetapi untuk menguji tingkat kepatuhan orang terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

Laporan keuangan diminta dalam kegiatan audit kepabeanan dengan tujuan hanya untuk memastikan bahwa pembukuan yang diberikan oleh orang kepada pejabat bea dan cukai adalah pembukuan yang sebenarnya yang digunakan untuk mencatat kegiatan usahanya yang pada akhir periode diikhtisarkan dalam laporan keuangan.

Selain itu, dengan laporan keuangan, pejabat bea dan cukai dapat memperoleh informasi mengenai kegiatan orang yang berkaitan dengan kepabeanan.

Pejabat bea dan cukai yang melaksanakan audit dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak terhadap segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh orang berkaitan dengan audit yang dilaksanakannya.

Huruf b

Yang dimaksud dengan pihak lain yang terkait, yaitu pihak-pihak yang mempunyai hubungan dengan orang yang terkait dengan transaksi yang dilakukan oleh orang tersebut, misalnya pembeli di dalam negeri atas barang impor, pembeli di luar negeri atas barang ekspor, pemasok di luar negeri atas barang impor, bank, dan pihak lain yang dilakukan oleh orang, seperti Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan.

Huruf c dan Huruf d.

Cukup Jelas

Ayat (2)

Ketentuan ini dimaksudkan bahwa perbuatan yang menyebabkan pejabat bea dan cukai tidak dapat menjalankan wewenangnya mencakup perbuatan tidak menyerahkan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50.

Ayat (3)

Cukup Jelas

Pasal 86A

Cukup Jelas

Pasal 88

Ayat (1)

Bangunan dan tempat lain yang bukan rumah tinggal yang dimaksud dalam ayat ini misalnya bangunan yang didirikan khusus untuk menyimpan barang apa pun dan pendirinya bukan dimaksudkan sebagai tempat usaha berdasarkan Undang-Undang ini.

Apabila berdasarkan petunjuk yang ada bahwa di tempat tersebut terdapat barang yang tersangkut pelanggaran, baik sebagai barang yang wajib bea masuk maupun yang dikenai peraturan larangan dan pembatasan. Direktur Jenderal dapat memerintahkan pejabat bea dan cukai untuk melakukan pemeriksaaan terhadap tempat tersebut.

Ayat (2)

Cukup Jelas

Pasal 90

Ayat (1)

Penghentian dan pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai terhadap sarana pengangkut bertujuan untuk pengawasan dan dipatuhinya peraturan perundang- undangan yang pelaksanaannya dibebankan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Dengan demikian penghentian dan pemeriksaan sarana serta barang di atasnya hanya dilakukan secara selektif.

Ayat (2)

Cukup Jelas

Ayat (3)

Ketentuan ini dimaksudkan bahwa dalam melaksanakan pengawasan atas sarana pengangkut yang melakukan pembongkaran barang impor, pejabat bea dan cukai berwenang untuk menghentikan pekerjaan tersebut jika ternyata barang yang dibongkar berdasarkan peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh diimpor ke dalam daerah pabean.

Ayat (4)

Cukup Jelas

Pasal 92A

Ayat (1)

Huruf a

Pembetulan surat tagihan kekurangan pembayaran bea masuk menurut ketentuan ini dilaksanakan untuk menjalankan pemerintah yang baik sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan manusiawi dalam suatu penetapan perlu dibetulkan sebagaimana mestinya.

Pengertian membetulkan dapat berarti menambah, mengurangi, atau menghapus, sesuai dengan sifat kesalahan dan kekeliruannya.

Direktur Jenderal karena jabatannya dapat membetulkan atau membatalkan surat tagihan kekurangan pembayaran bea masuk yang tidak benar, misalnya tidak memenuhi persyaratan formal meskipun persyaratan materialnya telah terpenuhi.

Huruf b

Direktur Jenderal dapat mengurangi atau menghapus sanksi administrasi berupa denda apabila orang yang dikenai sanksi ternyata hanya melakukan kekhilafan bukan kesalahan yang disengaja atau kesalahan dimaksud terjadi akibat perbuatan orang lain yang tidak mempunyai hubungan usaha dengannya serta tanpa sepengetahuan dan persetujuannya.

Ayat (2)

Cukup Jelas

Pasal 93

Ayat (1)

Ketentuan pada ayat ini ditujukan untuk menjamin adanya kepastian hukum dan sebagai manifestasi dari asas keadilan yang memberikan hak kepada pengguna jasa kepabeanan untuk mengajukan keberatan atas keputusan pejabat bea dan cukai.

Waktu 60 (enam puluh) hari yang diberikan kepada pengguna jasa kepabeanan ini dianggap cukup bagi yang bersangkutan untuk mengumpulkan data yang diperlukan guna pengajuan keberatan kepada Direktur Jenderal.

Dalam batas 60 (enam puluh) hari tersebut dilewati, hak yang bersangkutan menjadi gugur dan penetapan dianggap disetujui.

Yang dimaksud dengan sebesar tagihan yaitu kekurangan bea masuk, kekurangan pajak dalam rangka impor, dan sanksi administrasi berupa denda.

Dalam hal tagihan telah dilunasi, keberatan tetap dapat diajukan tanpa kewajibvan menyerahkan jaminan.

Ayat (1a)

Yang dimaksud dengan barang belum dikeluarkan pada ayat ini yaitu barang impor masih berada dalam kawasan pabean.

Pihak yang mengajukan keberatan bertanggung jawab terhadap impor yang bersangkutan dan segala biaya yang mungkin timbul.

Ayat (2)

Penetapan jangka waktu 60 (enam puluh) hari kepada Direktur Jenderal untuk memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan oleh pengguna jasa kepabeanan ini merupakan jangka waktu yang wajar mengingat Direktur Jenderal juga perlu melakukan pengumpulan data dan informasi dalam memutuskan suatu keberatan yang diajukan.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan ditolak oleh Direktur Jenderal yaitu penolakan oleh Direktur Jenderal yaitu penolakan oleh Direktur Jenderal atas keberatan yang diajukan sehingga penetapan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai menjadi tetap.

Penolakan oleh Direktur Jenderal ini dapat pula berupa penolakan sebagian atas keberatan yang diajukan, atau Direktur Jenderal menetapkan lain dari penetapan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai, dan penetapan ini dapat lebih besar atau lebih kecil pada penetapan pejabat bea dan cukai tersebut.

Ayat (4) s/d Ayat (6)

Cukup Jelas.

Pasal 93A

Ayat (1)

Keberatan yang dapat diajukan yaitu keberatan terhadap penetapan pejabat selain mengenai tarif dan/atau nilai pabean, misalnya penetapan pencabutan berupa fasilitas atau penetapan sebagai akibat penafsiran peraturan.

Ayat (2) dan Ayat (3)

Cukup Jelas.

Ayat (4)

Penetapan jangka waktu 60 (enam puluh) hari kepada Direktur Jenderal untuk memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan oleh pengguna jasa kepabeanan ini merupakan jangka waktu yang wajar mengingat Direktur Jenderal juga perlu melakukan pengumpulan data dan informasi dalam memutuskan keberatan yang diajukan.

Ayat (5) s/d Ayat (8)

Cukup Jelas.

Pasal 94 dan Pasal 95

Cukup Jelas.

Pasal 102

Huruf a s/d Huruf c

Cukup Jelas

Huruf d

Yang dimaksud dengan barang impor yang masih dalam pengawasan pabean yaitu barang impor yang kewajiban pabeannya belum diselesaikan.

Contoh membongkar atau menimbun ditempat selain tempat tujuan yang ditentukan atau diizinkan yaitu barang dengan tujuan tempat penimbunan berikat A dibongkar atau ditimbun di luar tempat penimbunan berikat A.

Huruf e

Yang dimaksud dengan menyembunyikan barang impor secara melawan hukum yaitu menyimpan barang di tempat yang tidak wajar dan/atau dengan sengaja menutupi keberadaan barang tersebut.

Yang dimaksud tempat yang tidak wajar antara lain di dalam dinding kontainer, di dalam dinding koper, didalam tubuh, didalam dinding kapal pada ruang mesin kapal, atau tempat-tempat lain.

Huruf f dan Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Perbedaan pelanggaran yang dimaksud dalam huruf ini dengan pelanggaran dalam Pasal 82 ayat (5) yaitu bahwa pelanggaran ini didasarkan atas perbuatan yang disengaja dan melawan hukum.

Pasal 102A

Huruf a

Cukup Jelas

Huruf b

Yang dimaksud dengan pungutan negara di bidang ekspor yaitu bea keluar.

Huruf c

Yang dimaksud dengan memuat yaitu memuat barang ekspor ke dalam sarana pengangkut yang akan berangkat ke luar daerah pabean.

Huruf d

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah pembongkaran kembali barang ekspor yang telah dimuat di atas sarana pengangkut dengan tujuan utama untuk mencegah ekspor fiktif, misalnya barang ekspor dimuat di semarang untuk tujuan Singapura tetapi barang ekspor tersebut dibongkar di Jakarta.

Huruf e

Cukup Jelas

Pasal 102B/s/d Pasal 102D

Cukup Jelas.

Pasal 103

Huruf a

Pengertian dokumen palsu atau dipalsukan antara lain dapat berupa: a. dokumen yang dibuat oleh orang yang tidak berhak; b. dokumen yang dibuat oleh orang yang berhak tetapi memuat data tidak benar.

Huruf b

Cukup Jelas

Huruf c

Memberi ketarangan lisan sebagaimana dimaksud pada huruf ini terutama untuk penumpang dan pelintas batas.

Huruf d

Ketentuan pidana ini berhubungan dengan keadaan tempat ditemukannya orang menimbun, memiliki, menyimpan, membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang impor yang berasal dari tindak pidana penyelundupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102.

Orang yang ditemukan menimbun, memiliki, menyimpan, membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang tanpa diketahui siapa pelaku kejahatan dapat dikenai pidana sesuai dengan pasal ini. Akan tetapi, jika yang bersangkutan memperoleh barang tersebut dengan itikad baik, yang bersangkutan tidak dituntut. Kemungkinan bisa terjadi, pelaku kejahatan dapat diketahui, sehingga kedua- duanya dapat dituntut.

Pasal 103A

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan mengakses yaitu tindakan atau upaya yang dilakukan untuk login ke sistem kepabenan.

Yang dimaksud dengan login yaitu memasuki atau terhubung dengan suatu sistem elektronik sehingga dengan masuk atau dengan keterhubungan itu pelaku dapat mengirim dan/atau informasi. melalui atau yang ada pada sistem eletronik.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Pasal 104

Huruf a s/d Huruf c.

Cukup Jelas.

Huruf d

Ayat ini dimaksudkan untuk mencegah dilakukannya pemalsuan atau pemanipulasian data pada dokumen pelengkap pabean, misalnya invoice.

Pasal 105

Yang dimaksud dengan merusak yaitu merusak secara fisik atau melakukan perbuatan yang mengubah fungsi kunci, segel atau tanda pengaman.

Pasal 107

Pasal ini menegaskan, jika pengusaha jasa kepabeanan melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini dalam melaksanakan pekerjaan yang dikuasakan oleh importir atau eksportir, yang bersangkutan diancam dengan pidana yang sama dengan ancaman pidana terhadap importir atau eksportir, misalnya, jika pengusaha pengurusan jasa kepabenan memalsukan invoice yang diterima dari importir sehingga pemberitahuan pabean yang diajukan atas nama importir tersebut lebih rendah nilai pabeannya, pengusaha pengurusan jasa kepabeanan dikenai ancaman pidana.

Pasal 108

Pasal ini memberikan kemungkinan dapat dipidananya suatu badan hukum, perseroan atau perusahaan, termasuk badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, bentuk usaha tetap atau bentuk usaha lainnya, perkumpulan, termasuk persekutuan, firma atau kongsi, yayasan atau organisasi sejenis, atau koperasi dalam kenyataan kadang- kadang orang melakukan tindakan dengan bersembunyi di belakang atau atas nama badan- badan tersebut diatas.

Oleh karena itu, selain badan tersebut, harus dipidana juga mereka yang telah memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana atau yang sesungguhnya melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian orang yang bertindak tidak untuk diri sendiri, tetapi wakil dan badan tersebut, harus juga mengindahkan peraturan dan larangan yang diancam dengan pidana, seolah-olah mereka sendirilah yang melakukan tindak pidana tersebut.

Atas dasar hasil penyidikan, dapat ditetapkan tuntutan pidana yang akan dikenakan kepada badan-badan yang bersangkutan dan/atau pimpinannya. Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada badan tersebut senantiasa berupa pidana denda.

Pasal 109

Ayat (1)

Cukup Jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan semata-mata digunakan untuk melakukan tindak pidana yaitu sarana pengangkut yang pada saat tertangkap benar-benar ditujukan untuk melakukan tindak pidana penyelundupan.

Ayat (2a)

Yang dimaksud dengan dapat dirampas yaitu memberikan kewenangan kepada hakim untuk mempertimbangkan putusan dengan memperhatikan kasus per kasus, misalnya kapal yang hanya mengangkut barang tertentu dalam jumlah sedikit sedangkan kapal tersebut diperlukan sebagai alat angkut untuk menopang perdagangan ekonomi daerah tentunya diputuskan untuk tidak dirampas.

Ayat (3)

Secara umum, pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh penuntut umum. Namun, barang impor atau ekspor yang berdasarkan putusan pengadilan dinyatakan dirampas untuk negara, berdasarkan Undang-Undang ini menjadi milik negara yang pemanfaatannya ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 113A

Ayat (1)

Ayat ini mengamanatkan setiap pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus mengutamakan fungsi pelayanan maupun pengawasan dalam menghimpun dana melalui pemungutan bea masuk, melindungi kepentingan masyarakat, kelancaran arus barang, orang, dokumen dan dapat menciptakan iklim usaha yang dapat lebih mendorong laju pembangunan nasional.

Ayat (2)

Mengingat dalam pelaksanaan tugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berkaitan erat dengan pengawasan dan pelayanan, pegawai bea dan cukai yang melaksanakan tugas dan wewenangnya harus mempertanggung jawabkan perbuatannya di hadapan Komisi Kode Etik apabila melanggar kode etik.

Ayat (3) dan Ayat (4)

Cukup Jelas

Pasal 113B dan Pasal 113C

Cukup Jelas

Pasal 113D

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pelanggaran kepabeanan yaitu pelanggaran administrasi dan tindak pidana kepabeanan. Yang dimaksud dengan berjasa dalam menangani: a. pelanggaran administrasi meliputi memberikan informasi, menemukan baik secara administrasi maupun secara fisik, sampai dengan menyelesaikan penagihan; atau b. pelanggaran pidana kepabeanan meliputi memberikan informasi, melakukan penangkapan, penyidikan, dan penuntutan.

Ayat (2) s/d Ayat (4)

Cukup Jelas.

Pasal 115A

Ayat (1)

Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk menghindari penyalahgunaan daerah perdagangan bebas (free trade zone)/ atau pelabuhan batas terhadap pemasukan dan/atau pengeluaran barang-barang larangan dan pembatasan seperti narkoba, senjata api, bahan peledak.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Pasal 115B

Yang dimaksud informasi yang sifatnya tertentu yaitu informasi yang menyangkut kerahasiaan negara atau yang berdasarkan aturan perundang-undangan harus dirahasiakan.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Pasal 115C

Ayat (1) dan Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Ketentuan pada ayat ini sebagai upaya pengamanan keuangan negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau pejabat pemeriksa fungsional lain berdasarkan Undang-Undang.

Ayat (4)

Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat ini, harus menyebutkan nama tersangka, keterangan yang diminta serta kaitan antara perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta tersebut.

Pasal II

Cukup Jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4661