Tulin
TULIN
Media Adioska
Fak. Sastra, Unand
MATAHARI memuncak. Kilauan sinarnya pecah dalam keramaian pasar, mengiringi kesemrawutan yang semakin hari semakin menjadi. Seperti biasa, layaknya pasar keseluruhan, ia selalu menawarkan berbagai macam pola kehidupan dan memajang takdir-takdir yang makin memperkaya keragaman pasar. Wajah-wajah lelah, rambut-rambut kusut, dan tetesan keringat menyatu dalam kasak-kusuk perniagaan.
Suara-suara pedagang simpang siur. Ramai mewarnai bari, ribut membelah siang, Tapi, begitulah kenyataannya. Lalu pada akhirnya timbullah transaksi.
“Jambret... jambret..”
Suara itu mulanya lemah. Berasal dari seorang ibu Setengah baya.
25
Semakin ramai. Semua mata kemudian tertuju pada satu titik, lebih tepatnya satu orang. Lalu tanpa ada perintah, satu, dua, tiga orang berlari mengejar seseorang. Yang lain pun tidak mau ketinggalan, turut menyatu dalam kejar-kejaran. Akhirnya, jadilah sekelompok besar pengunjung pasar mengejar seorang pemuda gondrong.
Wajah pemuda itu kasar dan teramat sangar. Sinar matanya tajam dan kelam serta melambangkan keteguhan yang luar biasa. Yang ia pikirkan sekarang hanyalah lari dan lari. Rambut gondrong tak menghalangi penglihatannya. Ia terus saja menerobos manusia yang ada di tempat itu, saat itu. Tak ada yang dapat menghalanginya. Mungkin karena kepanikannyalah ia bisa lari sebegitu cepat. Atau, mungkin itulah satu-satunya keahlian yang ia miliki. Ia terus berlari hingga mencapai satu persimpangan jalan dan tepat di persimpangan itu pula terdapat sebuah toko. Lalu tanpa pernah diduga seorang bocah berlari keluar dari area parkir toko tersebut dalam keadaan basah kuyup. Bocah tersebut berlari beberapa langkah di depan si penjambret. Beberapa jenak kemudian, si bocah dan pemuda itu tampak berlari sejajar. Tanpa pikir panjang pemuda penjambret itu mengambil tangan kurus kumuh si bocah dan meletakkan tas yang tadi ia jambret di genggaman si bocah. Kasar. Entah apa yang dipikirkan si pemuda, namun yang pasti tas hasil jambretan telah berpindah tangan. Barangkali juga, itu adalah semacam usaha penyelamatan diri dari kejaran massa. Entahlah, masih berlari.
Kejadian itu terjadi sekejap mata, mungkin kurang. Layaknya seorang pesulap profesional yang mengecoh penontonnya dengan sedikit selipan jari. Selanjutnya, ia tetap berlari meninggalkan si bocah dalam naungan rasa bingung dan heran yang tiada terkira. Bocah itu teramat tidak mengerti ketika menerima tas kulit berwarna hitam yang ia tak tahu milik siapa. Lari si bocah melambat.
“Ini rezeki...,” pikir si bocah.
Lama. Bocah itu memperhatikan tas yang baru saja ada di tangannya sembari terus mencoba merangkai langkah cepat menjauh dari pemilik toko yang tadi membuatnya basah
26
Bocah itu baru saja akan tersenyum saat mendengar keributan dari kejauhan. Ramai meneriakkan kata jambret. Sesaat ia memutar tubuh, mencoba mengetahui gerangan apa yang terjadi, Tiba-tiba saja segerombolan orang sudah berada di hadapannya. Mereka langsung merebut tas hitam yang tetap ia pegang erat. Untuk selanjutnya kemarahan memuncak. Mereka memukul si bocah bertubi-tubi. Terus, tiada ampun.
Si bocah, sekecil itu, menerima hantaman demi hantaman, Tak ada yang dapat diperbuatnya. Ia hanya diam memagut diri menahan perih untuk tubuhnya dan untuk kehidupannya. Ia tidak menangis.
***
Scorang bocah tampak berlari kecil menyusuri jalan setapak berbatu. Raut mukanya menyiratkan sedikit ketergesaan. Ia terus saja melangkah walaupun terkadang derap kakinya melambat karena saat itu pastilah kaki kecilnya menginjak bongkahan batu yang tajam, paling tidak bisa menimbulkan suatu perih yang tiba-tiba.
Kedua tangan bocah itu memegang saku celananya, kiri dan kanan, karena di sana tersimpan beberapa puluh kelereng yang baru saja ia menangkan. Baginya, setiap butir kelereng adalah wujud Tain kebahagiaan. Entah mengapa, setiap bunyi yang dihasilkan oleh masing-masing kelereng itu dirasanya sebagai suatu kebebasan, yang juga berarti tertawa. Ia dapat Merasakan kepuasan saat kelereng-kelereng itu ia mainkan dengan jemari tangannya yang kumuh, melemparkan, dan akhirnya memenangkannya. Hanya pada saat itulah, ia merasa sebagai seorang bocah yang dunianya penuh dengan suka, ceria, dan tawa. Maka dari itu, ja harus bisa menikmati semuanya, sebelum matahari beranjak, pertanda bumi
27
Lalu, untuk penggalan waktu berikutnya ia pun harus bisa menyesuaikan diri lagi terhadap dunia nyatanya, kembali kepada keluarganya. Mau tidak mau dia harus melakukannya. Ia harus kembali ke rumahnya dengan segala ketiadaan dan kenistaan yang dilemparkan orang-orang kepadanya dan keluarganya. Memang tak bisa dipungkiri, layaknya orang-orang terdahulu yang memberi nilai kepada orang Iain hanya berdasarkan pada satu kata “ekonomi.” Jika seseorang mempunyai ekonomi yang baik, atau bisa dikatakan “ber-uang”, secara alami kedudukannya berada pada “cabang atas”. Sementara itu, mereka yang tidak “ber-uang”, harus rela berlapang dada menerima semua hujatan dan cercaan yang datang, bagaikan tetes hujan yang jatuh ke bumi. Begitu juga halnya dengan bocah tersebut, yang baru berumur semuda itu harus bisa menelan pahit getirnya cercaan terhadap keluarganya. Dan, ia pun tidak memungkiri, bahkan kalau boleh ia bercerita, ia akan mengatakan keluarganya jauh lebih parah daripada yang diperbincangkan orang dari mulut ke mulut.
Nama bocah yang berlari itu adalah Tulin. Entah dari mana datangnya nama itu, yang pasti panggilan itu aneh dan terlalu singkat. Tidak ada embel-embel di depan ataupun di belakangnya. Ia tidak tahu mengapa kedua orang tuanya memberi nama itu. Barangkali saja mereka memiliki alasan khusus. Pernah juga ia berpikiran, mungkin saja dahulu—hingga kini—harga sebuah nama berbanding lurus dengan panjang nama itu sendiri, hingga semakin panjang sebuah nama semakin mahal jualah biaya yang harus dikeluarkan untuk upacara pemberian nama itu, pun, sebaliknya. Ia tahu keadaan keluarganya. Bahkan, sekarang ia pun mulai bimbang, apakah dahulu ada sedikit jamuan untuk upacara pemberian namanya atau tidak. Besar kemungkinannya tidak.
Tulin terus berlari tanpa sedikit pun merasa risih terhadap batu-batu yang membentang sepanjang jalan. Yang ditujunya adalah sebuah rumah sangat sederhana yang ada di ujung jalan, rumahnya.
Dinding rumah tersebut terbuat dari anyaman bambu yang Sudah teramat tua. Sebagiannya telah tampak menghitam, menandakan kelanjutan usianya. Demikian juga halnya dengan tonggak ramah tersebut, juga telah tua. Di Pebarapa bagian tonggak itu tampak dihiasi oleh lobang-lobang kecil buatan kumbang. Mereka seakan tidak mengerti—dan memang tidak mengerti—dengan kondisi rumah tersebut. Jangankan untuk mengganti sebuah tonggak, untuk sesuap nasi pun terkadang mereka tidak bisa mendapatkannya, hingga tidak jarang dalam sehari perut mereka hanya dialas air.
Bukan hanya masalah dinding dan tonggak, kedudukan ramah itu juga memprihatinkan. Rumah itu telah condong sehingga terpaksa harus ditopang oleh beberapa ruas pohon bambu yang ditancapkan ke tanah.
“Krang..., krang..." ,
Bunyi itu menggema sesaat setelah Tulin masuk ke rumahnya. Ia baru saja memasukkan “hartanya” ke dalam kaleng tua berkarat yang ia dapat dari jalanan berbatu yang tiap hari ia lalui. Satu, dua, lima, sepuluh buah kelereng bergantian masuk, bahkan lebih.
“Tulin..., kemarilah sebentar Nak,” sebuah suara yang Suctah teramat ia kenal memanggilnya dari dapur, Itu adalah suara emaknya.
“Tulin..., tolong Amak, belikan sebungkus kopi ke warung.”
Suara Hu sangat jelas ia dengar karena memang saat tu ia telah berdiri di hadapan emaknya. Namun, ia masih saja berdiri mematung di tempat itu, dapur. Jika memang harus membeli, mengapa emaknya tidak memberi uang? Namun, untuk meminta langsung pun ia tidak berani, tepatnya tidak tega, karena in tahu emaknya sudah tiga hari tidak bekerja sebagai buruh tani di sawah mereka yang “beruang”. Atau, mungkin untuk ke sekian kali ia harus. . .
"Utang dulu...” sambung emaknya sembari terus Wencoha menghidupkan api di tungku. Sesaat setelah itu, Tulin haru melangkah, tetapi baru beberapa langkah ia borhalik.
“Mak..., Tulin mar membantu...,” suaranya lembut dan lagu. Jauh berbeda dengan raut mukanya yang kelihatan keras.
29
Tulin melangkah lagi, kembali menapaki jalan berbatu. Ia tahu kopi itu untuk bapaknya. Oleh karena itu, ia harus sesegera mungkin. Ia harus segera pulang sebelum bapaknya kembali, entah dari mana. Namun, biasanya bapaknya baru pulang setelah malam teramat jauh. Ia sendiri tidak tahu apakah ia bahagia dengan kepulangan bapaknya atau malah sebaliknya. Sebab, setiap kepulangannya selalu saja diiringi oleh keributan yang tak berawal tak berakhir, Tidak jarang pula sasaran kemarahan itu adalah Tulin, dirinya sendiri.
Tulin terus melangkah di bawah sinar matahari senja yang mulai meredup sebab sebagiannya telah hilang, tenggelam di balik gunung yang menjulang tinggi. Yang tinggal kini hanyalah sebagian cahaya yang masih memberikan sedikit sinar walaupun sayangnya hanya menyentuh pucuk-pucuk pohon. Seiring dengan itu, sepoi angin juga menyapa seakan menyambut kehadiran tirai malam yang melambangkan damai, tenang, dan lelap sebab saat itu semua telah kembali. Alam kembali ke bentuknya, sunyi. Anak-anak burung kembali hangat oleh induknya. Lelah akan kembali hilang seiring kelam.
Untuk beberapa saat, jalan itu sepi, sesepi-sepinya. Tak ada seorang manusia pun yang berjalan di ujung senja di kala detik-detik pergantian siang dan malam. Semuanya seakan hilang teriring lenyapnya mentari. Namun, sejenak kesunyian itu tercabik oleh bayang mungil seorang bocah. Ialah Tulin, yang kembali pulang dengan sebungkus kopi tergenggam di tangannya. Ia—seperti semula—melangkah secepat mungkin. Jika saja ia seperti anak Jain, barangkali ia telah merengek atau, bahkan menangis karena lelah. Namun, apa daya inilah hidupnya.
30
Biasanya melihat kejadian itu, emak hanya bisa menjerit histeris tanpa bisa mencegah dengan perbuatan karena kalau itu beliau lakukan, bisa-bisa yang menjadi sasaran kemarahan berikutnya adalah beliau sendiri dan ia, Tulin, tidak tega menyaksikan itu semua.
Tulin hampir tiba kembali di rumahnya. Tinggal hitungan langkah saja. Namun, matanya menangkap pintu rumah—yang biasanya tertutup—kini sedikit terbuka. Cahaya lampu minyak pun menerobos keluar, Tidak biasanya pada waktu seperti itu pintu rumahnya terbuka. Ia terus melangkah semakin mendekat. Namun, seiring dengan itu ia mendengar sedikit keributan. Mulanya suara itu tidak terlalu ribut, tetapi semakin lama semakin ricuh. Lalu beberapa saat kemudian Suara barang-barang vang dilempar ikut mengiringi. Gelas-gelas pecah, loyang melayang.
Dari sela-sela keributan itu, telinga Tulin dapat Menangkap suara tangis seorang wanita, emaknya. Suara itu melengking tinggi seiring tangis yang semakin berderai. Tangisan itu juga diselingi oleh bentakan yang kuat dari seorang laki-laki.
Kejadian itu memberikan suatu kepastian pada Tulin bahwa bapaknya tetap pulang. Entah angin apa yang membawa bapaknya pulang secepat itu, paling tidak, lebih cepat dari hari biasa, yaitu larut malam. Tulin semakin mendekat. Sejenak ia mencoba menempelkan tubuhnya ke dinding yang tua. Keributan semakin jelas ia dengar. Suara-suara itu sangat memilukan, terutama erangan dan isak tangis emaknya yang tiada terputus. Tulin sepenuhnya yakin dan sadar bahwa keributan kali ini disebabkan oleh segelas kopi yang tak kunjung tiba di meja, tempat bapaknya selalu duduk saat pulang ke rumah. Saat ini kopi yang ditunggu bapaknya masih ada di tangannya, tergenggam erat seiring rasa geram, takut, iba, sedih, dan segala perasaan yang ia tak tahu namanya. Untuk kejadian kali ini, TulFn tetap tidak menangis.
Telah hitungan menit ia di sana, berdiri mematung merapatkan tubuh ke dinding tua. Namun, keributan dan luapan emosi yang sedang terjadi belum jua mereda. Lalu, rasa ingin tahunya mendorong Tulin untuk mengintip kejadian yang sebenarnya sedang terjadi dalam naungan ketuaan rumah itu. Dan ia melakukannya.
Ketika ia melongokkan kepala ke pintu yang sedikit terbuka, ia menyaksikan emaknya sedang terhuyung-huyung. Sementara itu, tangisan tetap mengiringi. Lalu pada detik berikutnya, huyungan emak terhenti tepat ketika kepalanya membentur tonggak tua. Selanjutnya darah.
Tulin masih diam di balik dinding luar rumah. Tatapan matanya menjadi kosong menyaksikan kejadian buruk yang selalu saja menjadi santapan keluarganya.
“Mak..., ini kopinya...”
Suaranya lembut, lirih. Tak ada yang dapat mendengar suaranya kala itu.
Bahkan, desiran angin pun telah melumatnya dan membawa terbang ke kesunyian, seiring luka yang semakin mendalam di hati seorang bocah, Tulin.
Sebungkus kopi jatuh ke tanah. “Tulin pergi, Mak...”
Tanpa menoleh, Tulin melangkah lagi di jalan berbatu, mungkin untuk terakhir kalinya. Saat itu matahari telah benar-benar hilang dari semesta dan menarik tirai siangnya dari alam, untuk esok kembali lagi dengan sinar dan persaksian hidup yang baru. Yang tinggal kini hanya berupa bayang samar yang selalu tersaji ketika malam tiada berbulan. Pun, bayang Tulin yang bergerak lembut mengikuti lajur jalan yang ujungnya entah di mana. Namun, satu kepastian saat itu adalah ia tidak menangis.
Hitungan detik telah ia lalui, sejumlah jam sudah ia tempuhi, puluhan hari habis ia jalani, Tulin tetap melangkah dalam ketiadaan arah. Rumahnya kini paling luas, yakni berlantai bumi beratap langit. Di mana pun berada, ia tidak lagi takut. Dan kini jalan hidup telah membawanya di sini, di sebuah emperan toko di suatu kawasan pasar, tepat berada di depan persimpangan. Ia baru saja mendudukkan tubuh mungilnya sembari melepaskan sedikit lelah setelah melakukan pengembaraan tak berujung. Saat itu kenangan keluarganya (emak dan bapak) kembali terlintas di benaknya.
Mengenai emak dan bapaknya, menurut kabar terakhir yang sempat ia dengar saat hari pertengkaran itu emak akhirnya lari, membawa sesobek luka di kepalanya, dan tak ayal lagi, darah berserakan sepanjang jalan yang emaknya lalui. Seterusnya, tak ada lagi yang tahu di mana rimba emaknya.
Sementara itu, ayahnya ditemukan oleh penduduk kampung di batang aia yang ada di belakang rumahnya tanpa nyawa. Ja tewas saat dikeroyok oleh rekan sepermainan dalam sebuah perjudian beberapa hari setelah emaknya pergi.
Tulin masih tetap tidak menangis.
“Hey... gembel, pergi kau. Ini toko, bukan kolong jembatan. Kau merusak suasana, kutukan. Lihat! tak ada lagi pembeli...”
Tiba-tiba seorang lelaki sudah berdiri di belakang Tulin, pemilik toko. Badannya tegap berotot, mukanya kelihatan Karang (lengan sedikit kumis menghiasi bibirnya. Selanjutnya seember air ia siramkan ke tubuh kurus Tulin. Tulin lari. Kencang. Menjauh dari toko tersebut.
Tanpa ia duga seorang pemuda memegang tangan kurus kumuh Tulin dan meletakkan sebuah tas ke dalam genggaman Tulin sembari terus berlari. Kasar. Entah apa yang dipikirkan si pemuda, Tulin juga masih berlari.
Kejadian itu berlangsung sekejap mata, mungkin kurang. Kemuda itu tetap berlari meninggalkan Tulin dalam naungan rasa bingung dan heran yang tiada terkira. Tulin teramat tidak mengerti ketika menerima tas kulit berwarna hitam yang ia tak tahu milik siapa. Lari Tulin melambat.
“Ini rezeki...,” pikir Tulin.
Lama. Tulin memperhatikan tas yang baru saja ada di tangannya sembari terus mencoba merangkai langkah cepat menjauh dari pemilik toko yang tadi membuatnya basah kuyup. Warna tas itu hitam berkilat. Tebal. Tampaknya, ia kepunyaan kaum kalangan atas. Hati Tulin tergerak. Perlahan tangan mungil kumuhnya memegang resleting tas tersebut. Jantungnya yang berdebar kencang, menjadi semakin kencang. Tas terbuka dan ujung-ujung kertas berharga tersembul dari dalamnya. Uang. Tulin tidak lagi berlari.
Tulin baru saja akan tersenyum saat mendengar keributan dari kejauhan. Sesaat ia memutar tubuh, mencoba mengetahui gerangan apa yang terjadi. Tiba-tiba segerombolan orang sudah berada di hadapannya. Mereka langsung merebut tas hitam yang tetap ia pegang erat. Untuk selanjutnya, kemarahan memuncak. Mereka memukul Tulin bertubi-tubi, terus tiada ampun.
Tulin, sekecil itu, menerima hantaman demi hantaman. Tak ada yang dapat diperbuatnya. Ia hanya diam memagut diri menahan perih untuk tubuhnya dan untuk kehidupannya. Ia tidak menangis.
Tulin, bocah itu, terbujur dengan luka. Napasnya masih ada. Sedikit. Tiada yang peduli.
Tulin, umurnya baru sebelas tahun.
* batang aia: sungai