Tubuh yang Kehilangan

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Tubuh yang Kehilangan
oleh Deddy Arsya
52630Tubuh yang KehilanganDeddy Arsya

TUBUH YANG KEHILANGAN


Deddy Arsya

IAIN Imam Bonjol Padang


 AKU tak hendak mau diketahui mereka. Kuusir burung hantu di dahan-dahan kayu di halaman, kupu-kupu di jendela, kulik elang yang belum juga pulang ke sarangnya, bunyi jangkrik yang berubah asing oleh kedatanganku, dendang katak yang juga ganjil, ngiang kumbang... hah, entah apa lagi yang mungkin akan memberi pertanda. Mata orang tua begitu cekatan membaca sedikit saja pertanda, bukan?

 Tubuh yang kutinggalkan koyak-puyak, lebam, ah, entah apa lagi. Aku sudah tak peduli pada tubuhku. Aku bawa mataku pergi jauh meninggalkan kota laknat itu. Kini tubuhku tak lagi punya mata.

 Orang-orang selalu memandang mata Si Mati dengan mata tertutup, persis Si Mati yang tiada lagi punya mata. "Orang-orang mengatupkan mata Si Mati cepat-cepat agar Si Mati membawa matanya pergi jauh-jauh dari mereka," Nenek memulai cerita, aku duduk di dekatnya.

"Orang-orang ngeri bertatapan dengan mata Si Mati. Mata Si Mati nanti berdansa dengan mimpinya."

"Jangan berkeliaran ketika senja," Nenek memotong. "Pulanglah tanpa lecutan! Sebab, senja itu keramat. Teramat sakti. Ada banyak mata Si Mati di langitnya," Nenek melanjutkan, dan Si Mati masuk ke dalam matanya. Aku tak berani lagi menatap mata itu. Tiba-tiba matanya seperti seribu tanda seru yang membawa langkahku pulang. Seribu tanda seru yang melingkar-lingkar di ingatan menjadi semacam rotan terpanjang dan tipis. "Azan magrib sama keramatnya. Suara Tuhan membawa malaikat bercambuk masuk ke mata Si Mati. Nanti engkau dibawanya ke langit, ke rimba-rimba, ke pulau yang jauh, jauh sekali. Ke lembah-lembah diam, gelap, dan asing. Engkau akan ditenggerkannya di pohon-pohon besar di puncak bukit. Kau sendirian dan ketakutan. Engkau mencoba berteriak memanggil ibu-bapakmu dengan sekuat tenaga, tapi engkau tak bisa sepatah pun bersuara. Ayah-ibu dan orang-orang mencarimu dengan nyala petromaks yang perlahan kian redup karena tak menemukanmu Lagi. Jadilah kau anak hutan yg kesepian. Rambut dan kukumu panjang menjela-jela ke tanah. Orang-orang akan ketakutan setiap kali bertemu denganmu. Tubuhmu busuk, bertaring, dan berbulu. Engkau berubah ganas. Temanmu babi, kijang, rusa, beruang, siamang, kuau. Kau mengaum serupa harimau. Mukamu perlahan-lahan berubah, hidungmu membesar dan rahangmu bertambah lebar. Kan akan menyerupai monyet, menjelma babi, menjadi harimau. Kau bertanduk, tubuhmu berbulu."

"Mata anak-anak sepertimu mirip mata Si Mati," Nenek duduk lebih dekat. "Mereka menyukai mata seperti itu dan ingin sekali membawa matamu ke tempatnya, ke alamaya yang jauh. Jauh."

"Mata Si Mati selalu bergairah pada mata anak-anak. Bawa matamu ke pangkuanku! Selamatkan matamu dari si pemburu mata!"

"Nenek punya seribu mata?" kataku.

"Tentu saja! Pungutlah satu atau beberapa untukmu. Sebab, tubuh tanpa mata sama dengan Si Mati, seribu mata telah lenyap dari tubuhnya. Jangan dekat-dekat sama Si Mati. Kau harus membersihkan tubuhmu setelah melihat tubuhnya. Jangan pernah melihat kalau tak terpaksa. Kau bisa terserang demam tinggi. Sebab tubuhmu dibawa dendam Si Mati jauh ke muasalnya. Dendam itu terik, Cucuku!"

"Tubuh tak pernah ingin berlama-lama jadi tubuh sebab tubuh tersiksa. Ia ingin pergi seperti matanya...." Sebelum nenek selesai melanjutkan kata-katanya, aku sudah memotong, "Tapi mengapa tubuh Si Mati dingin? Karena matahari Saat itu jauh?"

"Tidak, Cucuku, karena dendam Si Mati kau bawa ke dalam tidurmu. Dalam tidur, orang selalu ingin lepas dari kekang tubuhnya, mencuri matanya, dan mengembara bersama matanya, mencari surga atau mungkin dunia yang belum pernah ada," Nenek menjelaskan. Matanya bertambah menakutkan.

***

Aku kembali, lalu menggantung di langit-langit serupa nyamuk, tiada leluasa bergerak. Rumah ini terlalu banyak jaring laba-laba. Sebentar-sebentar aku berubah, kadang jadi cecak menangkap diriku sendiri, kadang menjelma neon. Semua kenangan bergiliran masuk dalam ingatanku yang semakin terasa sempit.

Angin mengibas-ngibaskan jendela, membuatnya berdentang keras mengenai kusen. Adakalanya hanya berderit kecil, perlahan-lahan terkatup, sebelum angin beberapa saat kemudian menyepaknya lagi.

Nenek berdiri mengatupkannya. Helaan napasnya terdengar seperti gemuruh hujan. Sejenak ia menatap ke luar. Aku mengikuti matanya. Pandanganku tersangkut di pucuk-pucuk lalang yang begitu perkasa menahan butiran hujan.

"Walau akhirnya mungkin akan tertunduk dan rebah, hujan tak pecah, seperti embun yang bisa berakrab dengan runcing dan tajamnya. Tapi, semuanya hanya umpama, yang akan tetap menjadi umpama selama alam ada dan bergerak. selama manusia berkawin dan berpinak, melahirkan makhluk-makhluk pembaca umpama," pituah-pituah itu terngiang lagi.

Nenek lalu duduk kembali. Membawa keyakinan yang sama, yang dulu pernah ia katakan kepadaku bahwa alam telah memberikan banyak umpama yang tak tereja oleh sembarang manusia. Umpama yang akan tetap menjadi umpama, sedangkan banyak manusia berjalan sendiri dengan perhitungan akainya yang congkak.

Mataku sejenak menstap matanya. Bertahun-tahun kami berbagi mata, mataku bermain di matanya, meloncat-loncat, berkejaran berlarian dengan hujan air mata masing- masing. Kadang dengan matanya, Nenek menidurkanku. Nyanyian mata yang aneh, mantera macam apakah?

"Si Mati membawa pergi matanya, meninggalkan tubuh yang kesepian dan buta. Si Mati tiada peduli lagi pada kegelisahan tubuhnya. Ia terus berziarah, mendatangi tempat-tempat, masa dan suasana, dan orang-orang yang pernah akrab dengan hidupnya terdahulu. Membawa serta mata yang dicurinya," Nenek memulai ceritanya kembali. Cerita yang semuanya kini berada dalam kenangan itu, yang kini menjadi serba terbatas dalam ingatanku.

"Tubuh tak pernah rela menjadi tubuh. Mata tidak untuk tubuh yang mati!" Aku tak mengerti, tapi Nenek terus melanjutkan. "Tubuh yang mati tak boleh punya mata. Ia akan menjadi mayat hidup, Cucuku!"

"Mayat hidup?" aku benar-benar tak mengerti. Benar-benar.

***

Kakek sedang menonton televisi yang dibeli dari tujuh kali uang pensiunnya. Kedua kakinya terlipat di atas tikar pandan yang koyak keempat sisinya. Punggungnya lekat ke pelupuh. Sebelah tangannya menyuap nasi di piring melamin warna jingga. Di atasnya seekor bandeng tergeletak tak berdaya. Beberapa buah cabai merah di tepi, belum digiling. Mentimun, beras pirang, hama wereng, dan ekor tikus.

Pernah menjalani kerja paksa di hutan Sumatra memperbaiki rel kereta api dari pelabuhan ke tambang batu bara. Kena disentri. Ketika itu, ia masih sangat muda. Kurus kering Belanda pergi, Jepang yang ganti. Jepang kena bom, mereka tiada tahu. Masuk ketentaraan ketika agresi hingga kena malaria. Nenek menemukannya, begitulah Nenek bercerita.

Nenek kini juga ikut menonton televisi yang dibeli dari tujuh kali uang pensiun suaminya. Tangannya yang kasar dan jari-jemari yang terkelupas menandakan diri petani, kuat mencakar teki-teki liar di sela-sela rumpun padi. Di tangannya sepiring nasi beras pirang --hama merajalela-- ada gurami, kepala ikan gabus, sekerat mentimun, sesayat getir kehi- dupan, luka yang dibiarkan kering dengan sendiri, air mata yang mengikuti alirnya.

Pernah menjadi anggota Palang Merah. Ikut melarikan diri ke hutan waktu pergolakan. Menyaksikan koto dibakar tentara dari seberang, bangsa sendiri (teringat orang-orang Jepang yang berburu babi dan memanggangnya di koto, ketika itu mereka masih pendek-pendek, bahkan lebih pendek dari orang kita sendiri, tak seperti orang-orang Jepang sekarang yang dilihatnya di televisi). Pernah pula sekolah di Thawalib, hanya tak selesai. Diangkat jadi guru madrasah. Sekali ia bercerita tentang suaminya yang pernah menjadi pemberontak, "Gembiralah menjadi cucu pemberontak!" katanya. Ia menepuk punggungku. "Bertahun-tahun wajib lapor, sebelum akhirnya diberi tunjangan pensiun sebagai prajurit rendahan. Kebanyakan teman-teman kakekmu yang ikut bergolak bernasib begitu," ia melanjutkan. "Suara Kakek masih lantang, hanya tak cukup baik mendengar. Pernah diangkut ke pulau seberang hingga orang-orang merah dikejar-kejar tentara di mana-mana, kakekmu dibebaskan," kata Nenek pelan. Aku ingin tahu banyak hal tentang perang. seperti film-film kesatria berkuda, pahlawan berbedil di hari kemerdekaan. "Jangan bercita-cita jadi perang." Nenek menepuk pundakku, mengusap punggungku.

Entah mengapa Ayah juga ikut menonton televisi bersama Kakek dan Nenek. Padahal, Ayah tidak terlalu suka dan jarang sekali menonton. Paling-paling ia hanya akan menonton, jika ada Dunia Dalam Berita. Ayah adalah seorang guru sekolah dasar. Bersepeda pagi buta ke hilir. Capek! Batuk-batuk kecil. Belum juga mandi. Pernah bercerita kepadaku, tentang kerbau besar yang bersarang kawanan lebah di telinganya, bersama kuda raksasa mengawal rajaraja berperang melawan penjahat-penjabat aneh dengan kesaktian yang aneh-aneh pula. Sekali tanpa diminta, ia juga bercerita tentang ayahnya yang tertembak mati waktu pergolakan. Tiga peluru bersarang di tubuh ayahnya itu, kakekku, yang terkapar di pematang. "Nenekmu tewas ditabrak truk tentara waktu ABRI masuk desa. Tak ada tugu untuknya, seperti tugu-tugu keberhasilan membangun desa," Ayah menceracau tak tentu, selalu begitu, ia senang menyalahkan apa saja.

"Waktu itu perang telah berakhir?" Nenek ikut menyela. "Seharusnya tentara-tentara itu tak ada lagi di desa kita. Mereka hanya akan membuat orang-orang takut," Ayah menggodaku lagi.

***

Ibuku sibuk sekali malam ini, meniup-niup bara sampai menyala. Asapnya memenuhi ruangan. Ia akan memasak air di atas tungku batu. Kalah. Matanya merah. Kayu basah. Suara televisi beradu suara hujan.

Rambut ibu panjang sepinggang, hitam, berkilauan terkena cahaya lampu. Cantik! "Waktu muda lebih cantik!" Ayah dulu pernah bilang.

"Apa yang membuat Ayah berpikir seperti itu?" kataku membalasnya.

"Ah, kau belum akan tahu letak kecantikan perempuan sebelum engkau merasakan bagaimana benar jatuh cinta itu," Ayah tampak mengenang, "Nanti tentu kau akan bisa paham mengapa Ayah berkata seperti itu."

Rambut ibu harum. Ia keramas dua kali seminggu dengan buah kemiri. Ibu bisa baca-tulis arab melayu. Tak sempat sekolah, "Cita-cita ketika itu begitu keramat, Anakku, seperti lengkung pelangi yang tak boleh ditunjuk, jari-jemarimu akan bengkok."

Air apakah di sudut mata selain tangisan yang menyemburat sendiri, menciptakan garis alirnya sendiri, mungkin mengikuti garis-garis yang dengan sendirinya telah diciptakan oleh waktu?

Ibuku petani yang terampil. Menanam apa saja yang bisa tumbuh dan menjualnya sendiri ke pekan. Tangannya yang kasar dan jari-jemarinya yang terkelupas menandakan diri pertani; biasa menyiangi kesedihan para lelaki, kesedihannya diusap sendiri.
 Tubuh-tubuh yang retak. Dan, televisi sebentar lagi akan pecah. Di gelap televisi kini ibu menyaksikan tubuh-tubuh yang retak. Berita ibu kota, dengan perempuan cantik berkemeja lengan sepertiga, sebagai penyiarnya. Kemudian muncul seorang lainnya, seorang reporter stasiun televisi swasta itu. Suara televisi dikalahkan hujan. Sisa botol mineral berserakan, spanduk-spanduk entah bertuliskan apa, blokade yang tercecer, segalanya menjadi sampah. Sesekali masih teredengar letusan. Api nampak menyala-nyala di layar kaca.
 "Perang ternyata belum usai!" seperti digerakkan oleh entah apa, Kakek berdiri membuka jendela. Ia menatap kejauhan masa, yang entah berapa jaraknya. Berharap televisi benar-benar pecah dalam bayangannya.
 "Jangan jadi perang, jangan pernah!" begitu sering kata-kata itu kemudian berhamburan, layaknya jutaan burung merpati yang dilepaskan ke angkasa; salam perdamaian yang aneh, sungguh aneh.
Nenek memulai cerita lain tentang naga-naga yang menjaga goa di puncak rimba. Orang-orang percaya bahwa moyang mereka pernah merampas emas Belanda dan menguburkannya di sana. Ketika malam-malam tertentu, lubang goa memancarkan cahaya berkilauan, "Tapi, Cucuku, engkau tahu, hanya ada tawas yang diangkut penyadap getah ke lereng untuk mengeraskan getahnya." Ada juga cerita tentang seorang pertani yang berhasil mempersunting putri dari kayangan; tentang manusia yang bersahabat dengan harimau dan menjaga ladangnya dari hama.
 "Jadilah petani kawan harimau, jadilah petani yang pandai membaca rasi; gubuk penceng, kapal peri-peri tempat menanak mimpi-mimpi manusia."
Ayahku kini sedang menatap gelap tubuhku di televisi. Ia lantas berdiri, lalu masuk ke kamarnya. Langkahnya terlihat seperti tengah menghela tungkai yang berton-ton beratnya. Ia seperti hendak melupakan riwayat, menghapus silsilah tentang seorang lelaku yang pernah belajar berdiri di rumah ini. Di pangkuannya. Langkah bocah lelaki itu berlari, yang membuat lantai rumah ini berderit, masih saja

100 terdengar, sayup, dan bergetar.

"Cita-cita bagi kita adalah keramat, Anakku, seperti air mata yang tak boleh ada," Ayah berkata, begitu pelan.

Kudengar selanjutnya sayup-sayup Ayah berkata tentang bukit-bukit bernisan, pohon-pohon besar yang merindangi orang-orang yang mati, lantas menceracau tak tentu, selalu begitu. Suaranya terdengar serak, seperti sedang menahan tangisan, lalu hilang sama sekali.

Aku menjelma neon di kamarnya, masuk ke dalam tubuh laba-laba, merasuki cecak, dan entah apalagi yang telah aku jelmai. Aku perhatikan bibir ayah yang terus bergerak, bibir ibu, kakek-nekek, kutafsirkan perlahan. Banyak yang tak bisa lagi kutangkap. Kata-kata tiba-tiba terasa berbeda, semua jadi asing dalam kamus diriku.

***

Kedua mataku kini telah menjelma neon di ruang tamu. Air mata terus menyesak, dan terus mendesak, seperti mencari pintu meledak. Seperti Ayah, Ibu, Kakek, Nenek dan kakek-nenekku lainnya yang telah lebih dulu tertidur tanpa mata. Mata mereka telah pula menjelma neon-neon mata nyamuk, atau mata apa saja yang ingin menatap dunia. Berpasang-pasang mata itu seperti tak hendak masuk kembali ke dalam tubuhnya masing-masing. Berpasang-pasang mata itu kini menemani kedua mataku yang kesepian. Berpasang-pasang mata itu kini berlarian, berkejaran, kadang bermain bola, seperti tengah mengulang masa-masa yang dilenyapkan waktu, kadang juga menari-nari dengan girang di tengah hujan air mata yang semakin menderas, semakin menderas. Membiarkan neon-neon menyala dengan cahayanya yang berkilauan, membiaskan gerai-gerai hujan. Sebelum matahari mengalahkannya, dan tubuh-tubuh menemukan matanya masing-masing.

Selamat malam!

Selamat nyenyak tubuh-tubuh yang kehilangan.

Enyahlah semua kata-kata sebab mata Si Kalah telah melebihi ucapan paling menyerah, pada tanah yang dibasahi Kerimis asing bulan Mei.

Berpasang-pasang mata bernyanyi!