Thesis/Bab3

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

Diplomasi Indonesia semenjak hampir 10 bulan ini sudah sangat terlibat dalam "perhitungan" banwa imperialisme Inggris itu bisa dipisahkan (di-isolir) dari pada imperialisme Belanda dan ditumbukkan kepada imperialisme Belanda. Berdasarkan perhitungan ini, maka dianggap amat untunglah si Diplomat kita, yang berikhtiar mengadu-dombakan Inggris dengan Belanda. Dengan demikian diharapkan paling sedikitnya si Inggris akan memusuhi si Belanda dan Indonesia mendapatkan kesempatan buat mempersiapkan diri. Tetapi nyatalah sekarang, bahwa sudah berbulan-bulan berdiplomasi hasil yang sebenarnya dari pada "perhitungan" ini ialah: pada satu pihak Inggris menyerahkan Surabaya, Semarang, Bandung, dll. kepada Belanda yang dikeluarkannya dari kantongnya dan memintakan daerah antara Ci Sedane dan Ci Tarum buat dipakai si Belanda sebagai batu-peloncat buat menjajah Indonesia kembali, permintaan mana katanya dikabulkan oleh para pembesar Indonesia. Pada lain pihak pergerakan revolusioner ditindas keras (Kongres "Persatuan Perjuangan" 17 Maret di Madiun) serta badan pemerintahan dan ketentaraan hendak dipindahkan kepada kaum-jinak (moderat). Pengharapan palsu masuk ke dalam kalbu segolongan bangsa Indonesia. Hal ini berakibat melemahkan semangat Rakyat di samping Belanda mempersiapkan diri. Seandainya si Diplomat kita berpikir dan berlaku jujur, maka di sinilah kita mendapat contoh yang tepat, yang menggambarkan perbedaan antara memahamkan sesuatu teori dengan mengapalkan saja teori itu. Pula mengambarkan perbedaan melaksanakan teori itu dengan mempelajari sungguh-sungguh keadaan di tempat melaksanakannya dengan meniru-niru saja pelaksanaan teori tadi di lain tempat dan di lain tempo: perbedaan pelaksanaan secara dialektis dengan pelaksanaan secara mekanis seperti mesin.

Teori devide-et-empire, mengadu-dombakan bangsa kontra bangsa ataupun golongan melawan golongan memangnya dalam dipahamkan serta jitu dilaksanakan oleh Kerajaan Romawi di jaman kuno dan oleh Inggris dan Belanda lebih dari 300 tahun di belakangan ini. Tetapi janganlah dilupakan "machtsfaktor" (faktor kekuasaan) yang dipakai dengan perhitungan di sampingnya atau di belakangnya pelaksanaan politik mengadu-dombakan itu. Dan apakah faktor kekuasaan yang ada lahir dan batin di Indonesia cukup dikenal, disusun, dan dipakai oleh si Diplomat Indonesia?

Adakah gerakan tentara atau gerakan Murba yang diatur dan dipakai dengan "perhitungan" membantu gerakan "lidah" si diplomat?

Ataukah semua diplomasi dipusatkan kepada gerakan lidahnya si Diplomat itu saja? Hal yang terpenting pula apakah "perhitungan" bahwa imperialisme Inggris itu bisa dipisahkan dan diadu-dombakan dengan imperialisme Belanda? Di atas tadi sudah dikemukakan, bahwa Dutch Indies itu dalam arti ekonomi ialah Anglo-Dutch-Indies. Hasil terpenting buat kemakmuran dan pertahanan Indonesia seperti minyak tanah dan karet, sudah dikendali oleh kongsi minyak kepunyaan Anglo-Dutch dan kebun getah Inggris yang ada di Indonesia ini. Singapura, simpang jalan dunia terletak di tengah-tengah kepulauan Indonesia sudah mengendalikan perdagangan keluar dan masuk Indonesia. Perjanjian Anglo-Dutch tentang penghasilan penjualan getah dan timah yang dibikin tiap-tiap tahun, yang mengenai harga ratusan juta rupiah sudah mengekang jalannya ekonomi Indonesia. Ringkasnya dalam hal ekonomi imperialisme Inggris dengan sempurna dan efektif mengekang imperialisme Belanda. Kalau Sir Hendrik Deterding diberi gelar Sir oleh Inggris, maka ini bukan berarti keulungan si Hendrik ini tentangan lain hal daripada keulungan menjadi kaki-tangannya imperialisme Inggris. Titel itu diberikan oleh Inggris di mana ia mendapatakan kaki-tangannya yang patuh, buat mengekang ekonomi dan politik negara yang mau dijadikan atau sudah dijadikan mangsanya. Di Hongkong diberikan kepada Tionghoa Sir Robert Ho Tung buat mengapusin seluruhnya Tiongkok. Di Hindustan titel itu dihamburkan kepada beberapa biji orang Hindu yang ikhlas menjalankan peran sebagai kaki-tangan imperialisme Inggris lahir ataupun batin, seperti seseorang menghamburkan tulang-tulang kepada anjing yang disukainya. Malaya pun tiada kelupaan. Hartawan Besar Sultan Johor di tempat strategi dunia yang terpenting "beruntung" pula mendapat titel Sir itu. Sepintas lalu hal ini kelihatan perkara kecil saja. Tetapi kalau kepentingan Malaka dan Singapura dalam hal ekonomi dan strategi dipelajari dalam-dalam, maka kalung "Sir" yang dianugerahkan oleh Raja Inggris kepada Ibrahim, Sultan Hartawan Johor itu besar sekali maknanya. Sir Ibrahim sudah memberi kekuasaan besar dalam perekonomian kerajaan Johor kepada kapital Inggris, Sir Ibrahim salah seorang otokrat terkaya di Asia, menaruh simpanan besar di Bank Inggris. Sir Ibrahim akhirnya adalah turunan pula dari pada keluarga Sultan Johor yang hidup di masa Stamford Raffles, lebih dari 100 tahun lampau. Salah seorang putra Sultan Johor tadi berhak mewarisi Singapura, tetapi karena gila ditolak oleh Rakyat Johor sebagai Raja dan sebagai ahli-waris pulau Singapura. Ahli-waris yang gila ini d culik dan diajak berunding oleh Raffles di Singapura. Hasil perundingan ini pada suatu pihak Putra gila yang ditolak oleh Rakyat Johor tadi beruntung diakui oleh Raffles. Pada lain pihak Raffles beruntung dapat membeli Singapura dengan harga $60.000 (enam puluh ribu dollar). Kecerdasan Raffles ialah satu dari pada pujaan dunia imperialisme Inggris – tiadalah terletak pada ketangkasan matanya melihat kepentingan Singapura buat ekonomi dan strategi. 1500 tahun lampau kearajaan Sriwijaya sudah insyaf akan hal ini. 500 tahun lampau kerajaan Majapahit penuh insyaf akan keinsyafan seluruhnya di Sriwijaya tadi. Rafles sebagai ahli sejarah Indonesia tentulah lebih insyaf dari pada siapapun juga, akan hal, bahwa bukanlah dia Raffles yang pertama sekali menampak kepentingannya Singapura dipandang dari sudut perdagangan dan strategi. Tetapi dia cukup cerdas buat menaksir, bahwa kalau ia berhubungan dengan orang Indonesia yang sedikit saja cerdas ia tak akan mendapat Singapura dengan harga $60.000. Ia perlu berunding dengan orang gila, buat membeli Singapura dengan harga gila.

Kemarin bandit, perampok, sekarang sesudah menjadi raja, berlagak dermawan. Hal ini lazim di dunia feodal. Kemarin tukang catut atau tukang smokkel, dan sesudah kaya-raya berlagak menjadi dermawan. Hal ini masih lazim di dunia kapitalisme. Kemarin merampok negara merdeka, sekarang berlagak menjadi pelindung ataupun "Ratu Adil". Inipun lazim di dunia imperialisme. Tangan kanan membacok tangan kiri mengobati supaya si mangsa bisa dipakai sebagai budak. Sesudahnya Inggris mencatut Singapura dan merampok Malaka, maka dia berlagak sebagai pelindung. Demikian para Sultan dilambuk, dikenyangkan dan di-Sir, supaya mereka merampas dan memeras Rakyatnya buat kepentingan karet dan timah kapitalis Inggris di Malaka. Dengan memakai para Sultan di Semenanjung Tanah Malaka umumnya dan "Sir" Ibrahim khususnya di samping Sir Hendry Deterding sebagai kaki-tangannya di Indonesia, maka dalam hakekatnya imperialisme Inggris sudah menguasai seluruhnya Indonesia, termasuk Malaka dan Borneo Utara dalam hal politik dan ekonomi.

Dalam hal strategi kepentingan Singapura lebih nyata lagi. Ambillah jangka dan bikin satu lingkaran dengan radius 150 mil. Dalam lingkaran itu terletak Birma, Siam, Annam, Filipina, seluruhnya Republik Indonesia dan Australia. Inilah yang kita pernah namai Aslia (Asia-Australia). Menurut ahli Barat penduduk di Aslia itu termasuk ke dalam satu bangsa. Sepintas lalu kelihatan bahwa bagian bumi ini dikuasai oleh iklim yang sama dan musim yang sama (monsun). Jadi watak ekonominya pun mempunyai banyak persamaan. Berhubung dengan itu membutuhkan satu koordinasi perekonomian. Tetapi yang kita terutama mau kemukakan di sini ialah kepentingan lingkaran ini dipandang dari penjuru strategi. Dengan Singapura sebagai pusat, maka menurut kekuatannya pesawat terbang Perang Dunia ke II, Aslia terletak dalam "flying radius" (lingkaran terbang). Lingkaran teknik atom yang berada di Australia (?) tiada akan mengecilkan arti Singapura dan Aslia.

Menurut U.P dalam surat kabar Hindustan The Bharat Yuoti, 5 Mei, 1946 ini, maka dalam konferensi commonwealth Inggris pada tanggal 3 Mei di London yang diketuai oleh Perdana Menteri Attlee, maka pemerintah Inggris mengusulkan supaya Australia berunding dengan Belanda buat memperoleh Bandung dan beberapa pelabuhan penting buat melindungi Kerajaan (Empire) Inggris di bagian Selatan dan Barat Daya-nya Pasifik. Australia dengan tegas menolak usulan ini karena tiada menghendaki akibatnya diplomasi imperialis semacam itu. Australia tiada ingin memusuhi Republik Indonesia. Bahkan sebaliknya Australia mengharap adanya Pemerintah Rakyat (popular government) di Indonesia dengan siapa Australia ingin hendak mengadakan Alliance (persekutuan), sekali lagi kelihatan politik mulus jahanamnya Inggris terhadap Indonesia. Walaupun gagal Indonesia mesti selalu berlaku awas selama imperialisme Inggris masih berada di sekitarnya Aslia ini, dan belum dibongkar sampai ke akar-akarnya.

Nyatalah di sini, bahwa Inggris menganggap Aslia dalam hal strategi sebagai satu unit kesatuan. Jepang tentu tidak ketinggalan. Ini hari Singapura direbut Jepang pada tanggal 13 Februari 1942, besoknya Singapura ditukar namanya menjadi Shonanto (Kota Gemilang). Seluruh Aslia dinamainya Selatan. Sriwijaya dan Majapahit sudah cukup mengerti akan persatuan daerah Aslia itu dalam segala-gala.

Gerakan politik, diplomasi dan strategi Sriwijaya dan Majapahit juga dengan segala keinsyafan ditujukan ke arah kesatuan daerah Aslia itu. Oleh orang Tionghoa pun semuanya itu dinamai Huana (bahasa Hokkian). Sekarang kalau kita, Rakyat Indonesia revolusioner, ingin mengadakan rencana yang praktis, yang penting buat kemakmuran dan terutama pula buat keamanan Republik Indonesia sekarang dan di hari depan, maka tiadalah boleh kita ketinggalan oleh paham 500 tahun lampau (Majapahit) apalagi oleh paham yang sudah masak 1500 tahun lampau (Sriwijaya). Berbahaya selalu keadaan Republik Indonesia dalam ekonomi dan strategi kalau kita tidak insyaf akan artinya politik dan strategi Rafles dan Yamasita. Walaupun ada Federasi Perancis dan Filipina Merdeka, tetapi dengan adanya Hongkong (Inggris) maka praktisnya Aslia adalah efektif dikuasai oleh Armada Inggris. Di tangan imperialisme Inggrislah sebenarnya terletak kekuasaan ekonomi dan militer buat mengangkangi seluruh Aslia. Imperialisme Inggris dan Belanda dan Perancis sebagai boneka para Sultan atau Raja dan sebagian intelligensia sebagai kaki tangan maka di masa damai dia mengendalikan politik-ekonomi Aslia. Dengan Singapura sebagai Dasar Armada dan Pesawat, serta Australia Putih dan Ceylon sebagai garis kedua (teknik atom?), maka imperialisme Inggris di waktu perang berniat menguasai seluruhnya Aslia (Asia-Australia). Mau tidak mau, dalam prakteknya Republik Indonesia, Merdeka 100% mesti bertentangan dengan Imperialisme Inggris. Di waktu damai kepentingan ekonomi Indonesia Merdeka 100% mesti bertentangan dengan kepentingan ekonomi penjajahan Inggris. Dalam masa perang Singapura akan mengancam Indonesia Merdeka, yang tiada mau dibonekakan oleh Imperialisme Inggris. Real-politik, politik sebenarnya, (bukan impian) memaksa Indonesia pada satu pihak berhadapan muka dengan imperialisme Inggris. Maka real politiklah pula pada lain pihak yang akan memaksa Indonesia Merdeka mengumpulkan semua tenaga revolusioner dalam lingkaran Aslia, flying-radius, buat ditumbukkan kepada imperialisme Inggris.

Kita percaya bahwa taktik-strategi yang cerdas, organisasi yang elastis (seperti karet) dengan usaha yang penuh kesabaran ketetapan hati, kita sanggup berhadapan muka dengan imperialisme Inggris Singa Ompong itu.

Maka berhubungan dengan semua di atas pula, semua percobaan "diplomat ulung" di Indonesia ini berusaha memisahkan Belanda dan Inggris dan mengadu-dombakan Inggris dengan Belanda adalah seorang "cerdik" yang mencoba memisahkan dan mengadu-dombakan kepala buaya dengan ekornya. Semujur-mujurnya si Diplomat ulung tadi ia cuma bisa menghindarkan dirinya dari pukulan ekor buaya itu. Tetapi semalang-malangnya si Cerdik itu dia pasti akan masuk lebih dalam di rangkungan buaya tadi.

Adalah tiga syarat yang terutama kalau seorang ingin hendak menjalankan diplomasi bersandar kepada Devide et empera itu dalam keadaan revolusioner sekarang. Pertama sekali, kekuatan diri sendiri dan kepercayaan atas diri sendiri mestinya ada cukup. Kedua, diplomasi itu mesti bersifat revolusioner yang ada dalam negeri. Ketiga, diplomasi devide-et-empera yang revolusioner itu mesti ditujukan kepada bangunan-musuh yang mengandung pertentangan sesungguhnya, ialah pertentangan keperluan (ekonomi). Kalau seseorang diplomat Indonesia yang revolusioner mengemukakan pertentangan-tajam dalam hal keperluan penting antara Inggris dan Amerika, bahkan dengan Australia (commonwealth-Inggris), dan pertentangan itu terus akan berlaku selama Indonesia itu masih berada dalam ruangan kemerdekaan nasional, kita tak akan menyangkal (membantah), memangnya diplomasi-bambu-runcing dengan program minimum berlaku dalam suasana pertentangan hebat di antara gabungan Kapitalisme dan Imperialisme Asing, yang berada di Indonesia di jaman Belanda.

Si Pengelamun, Si-Tukang-Berpangku-Tangan, Si-Serba-Tak-Bisa tetapi nasionalis dan percaya saja kepada siapa saja kecuali pada diri sendiri, Si-Pengharap Pertolongan-Luar, dalam waktu damai boleh menertawakan atau mengecilkan artinya Aslia, tetapi sebagai gabungan revolusioner dalam lingkaran-terbang (flying-sphere) dengan Singapura sebagai pusat. Mereka boleh bermimpi-mimpi mengharapkan pertolongan jatuh dari langit, sambil menyeburkan isme ini atau itu ke kiri ke kanan. Mereka boleh terus berpangku tangan sambil bermimpi melayang ke langit sampai .........revolusi atau peperangan akan melemparkan mereka kembali ke dunia nyata, kembali ke tanah yang keras itu. Sesudah hampir sepuluh bulan si Tukang-Maki dan mengejek sering dengan memakai kedok internasionalis tetapi nasionalis yang bisa dipakai Nica, Jepang ataupun Sibar dalam prakteknya mestinya sudah insyaf, bahwa dalam revolusi atau peperangan, maka Rakyat Indonesia dalam suasana dan keadaan internasional seperti sekarang terpaksa berdiri atas kaki sendiri, pada organisasi sendiri, bersandar pada otak, hati dan jantung sendiri, pada kecerdasan, keberanian dan ketabahan hati sendiri. Teristimewa pula mesti berdiri atas alat hidup sendiri dan senjata sendiri, walaupun hanya bambu runcing saja. Di samping kepercayaan dan tindakan berdasarkan kekuatan diri sendiri yang sebenarnya, haruslah kita berusaha meluaskan lapangan perjuangan ke daerah yang memberi kemungkinan memberi hasil (Aslia). Baru bertindak begitu rupa, supaya dapat merebut simpati dan pertolongan tak langsung dari opini publik di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika. Semata-mata menyandarkan paham, organisasi dan aksi atas kekuatan yang tiada bisa dipakai sekarang, karena jauh atau belum bisa keluar, ataupun kalau keluar belum tentu bisa dipakai menurut kehendak atau kepentingan kita, sama juga dengan sikap seseorang yang ingin menamai diri seorang revolusioner, tetapi takut kepada revolusi. Dalam perjuangan yang sebenarnya ini memang nyata, siapa yang revolusioner di waktu revolusi dan siapa yang revolusioner di waktu damai: Si Pembelalang di dalam gelap, Si-penggertak dari sebalik gunung.

Persatuan Perjuangan yang didirikan pada tanggal 5 Januari 1946 tahun ini, cukup memperhatikan kekuatan kawan dan lawan, cukup memperhatikan sifat dan susunannya semua golongan yang ada dalam Indonesia (social-structure), sifat dan tingkatnya revolusi Indonesia, kepentingan dan pertentangan dalam kapitalisme dan imperialisme Asing. Persatuan yang diikat oleh Minimum-Program yang revolusioner terasa perlunya setelah di saat itu nyata kelemahan perjuangan, disebabkan oleh banyaknya partai dan banyaknya laskar. Pada beberapa tempat seperti Surabaya, Tegal, Pekalongan, dan Ciamis sudah timbul sengketa di antara laskar dan laskar, serta partai dan partai. Kalau Persatuan Pejuangan tak tampil ke muka, mungkin sengketa tadi akan lebih mendalam dan berakhir pada perang saudara, yang menguntungkan musuh.

Belum lagi 2 (dua) bulan Persatuan Perjuangan, yang sanggup mengikat 141 organisasi politik, sosial, ekonomi, dan militer, berjalan maka datanglah undangan dari pihak pemerintah Republik buat bersama membentuk Kabinet Baru, sesudahnya kabinet lama, Kabinet Soetan Sjahrir meletakkan jabatannya. Persatuan Perjuangan menolak campur membentuk Kabinet Baru, bukan karena tiada sanggup menerima "tanggung-jawab" seperti dibisikkan oleh satu pihak ke sana sini, melainkan karena ada hakekatnya Presiden menghendaki supaya yang "terpentingnya" dalam Minimum-Program dibatalkan! Sebenarnya susah sekali mengetahui berapa luasnya dan di mana batasnya kekuasaan "Presiden" Republik Indonesia di masa revolusi ini. Undang-undang Dasar yang memusatkan kekuasaan dan tanggung jawab pada Presiden dan praktek memerintah sekarang yang memusatkan kekuasan dan tanggung jawab pada Perdana Menteri cuma membingungkan yang mempelajari saja. Si Pelajar akan lebih bingung lagi kalau diketahui bahwa Presiden berdiam di Yogyakarta sedangkan Perdana Menterinya di kota Nica Jakarta, yang sudah dicelupnya kembali dengan nama "Batavia". Sebenarnya Persatuan Perjuangan sudah siap sedia dengan para calon yang sanggup menerima pangkat menteri dengan atau tiada dengan Tan Malaka. Tetapi setelah ditentukan "disiplin" terhadap mereka yang akan menerima pangkat menteri yang akan membatalkan Minimum-Program, maka tiadalah seorang juga di antara para calon tersebut yang masuk ke dalam kabinet Sjahrir yang ke-2. Sebenarnya patut dipuji sikap para calon yang lebih mementingkan dasar, prinsip daripada pangkat.

Bukankah Rakyat dan Pemuda bertempur mengorbankan jiwanya buat dasar, prinsip yang nyata dan sah? Janganlah disalahkan para calon Persatuan Perjuangan yang memegang teguh dasar, haluan Revolusi Indonesia sekarang!

Semenjak terbentuknya minimum-program ialah 4 atau 5 bulan sampai sekarang, maka belumlah ada kelihatan cacatnya salah satu dari 7 pasal yang dikemukakan. Malah sebaliknya, kalau salah satu daripada 7 pasal itu dilanggar, dilemahkan atau dibelokkan, maka nyata sekali sikap dan tindakan rakyat terhadap tindakan semacam itu. Pelucutan Jepang yang bermula hampir dilakukan yang berlainan dengan tulisan dan lisan pasal 4, mengadakan perlawanan sekeras-kerasnya dari pihak rakyat di daerah Surakarta.

Sebab itulah rupanya tak jadi diadakan Markas Sekutu, seperti di Solo, ialah menurut pengumuman yang bermula diterima rakyat Solo. Tetapi apakah sudah cukup jaminan supaya tentara Jepang dari Pulau Galang kelak betul-betul akan dikirim ke Jepang dan bukan ke salah satu pulau di Indonesia, itu tiadalah bisa dipastikan.

Tulisan dan lisan pasal 4 itu memang bermaksud supaya seperti yang sudah-sudah terjadi di mana-mana tempat tentara Jepang jangan dipakai lagi buat merobohkan Republik Indonesia. Yang amat penting pula tentulah pasal 1 berhubungan dengan "perundingan" Minimum-Program menuntut supaya perundingan itu berdasar atas pengakuan kemerdekaan 100%. Artinya kemerdekaan 100% mesti lebih dahulu diakui. Perundingan yang akan dilakukan ialah buat menetapkan pengakuan itu dan membuat perjanjian yang berdasarkan kemerdekaan 100% itu. Dengan perkataan lain, perundingan itu adalah perundingan dua negara merdeka. Bahwa dalam keadaan perang sekarang kemerdekaan 100% bisa dicapai dengan "goyangan lidah" itu adalah berlawanan dengan pikiran sehat, dengan sejarah manusia dan berlawanan dengan "sifatnya" sesuatu "perundingan". Bukankah berunding itu berarti tawar-menawar, memberi dan menerima, tolak angsur? Dimanakah lagi letaknya "tawar-menawar" kalau satu pihak mau mendapatkan 100% yang sebelum berunding dibantah keras oleh lain pihak? Mungkin mendapatkan 90% ataupun dalam teori 99%, tetapi perundingan yang tiada berdasarkan atas pengakuan kemerdekaan 100% tidak akan mendapatkan yang 100% itu. Seandainya tercapai kemerdekaan 99%, bahkan 100% pun, tetapi kalau pasal 6 dan 7 dibatalkan, dilemahkan atau dibelokkan, maka lambat laun kemerdekaan 99% atau 100% tadi akan turun sampai 50% atau 10%. Kalau kapitalisme asing kembali bermarajalela seperti sebelum Jepang masuk, maka Parlemen Pemerintah Pusat, Daerah, kota dan desa Indonesia akan segera "dikebiri", kalau tidak dibeli sama sekali oleh kapital asing yang kuat dan teguh itu. Jadinya pasal 6 dan 7 yang ingin menyita perindustrian dan perkebunan "musuh" itu adalah satu jaminan. Pertama supaya kemerdekaan di atas tetap 100%. Kedua supaya revolusi anti-imperialisme ini cukup memberi jaminan kekuasan dan kemakmuran kepada proletar mesin dan tanah. Ketiga supaya proletar mesin dan tanah kelak sesudah Indonesia merdeka 100%, dengan menjalankan "Rencana Ekonomi", segera bisa meningkat ke negara berdasarkan sosialisme yang mempunyai cukup alat mempertahankan kemakmuran dan kemerdekaannya, karena sudah mempunyai industri berat berdasarkan bahan dan tenaga yang ada di Indonesia ini. Syukurlah pula pasal menyita dari Minimum Program tu sudah disetujui bahkan dijalankan oleh proletar mesin dan tanah, di mana ada pabrik, tambang dan kebun musuh berada.

Cocok dengan kehendak dan tindakan Inggris mendudukkan kembali Imperialisme Belanda di Indonesia dan bersama dengan kaum "moderate" (jinak) Indonesia memberantas kaum "extremist", maka sesudah Kongres Persatuan Perjuangan di Madiun pada bulan Maret tanggal 17, para pemimpin seperti Abikusno, Mr. Gatot, Sayuti Melik, Mr. Jamin, Chairoel Saleh, Soekarni dan Tan Malaka ditangkap setengah resmi, setengah tidak dengan tak ada tuduhan apa-apa.

Sampai dua setengah bulan (2 Mei 1946) ketika bagian brosur ini ditulis belum juga diperiksa perkaranya. Rupanya radio Hilversum-lah yang pertama tahu akan terjadinya penangkapan dan Belandalah yang amat bergembira lantaran penangkapan ini.

Penangkapan itu dilakukan pada tanggal 17 Maret 1946. Sedangkan radio Belanda di Jakarta dan Hilversum sudah mendengungkan berita yang amat menggembirakan mereka itu ke seluruh dunia pada tanggal 16 Maret 1946. Menurut kabar radio baru ini maka Komisi van Poll memandang penangkapan itu sebagai bukti "kekuatan lebihnya" PM Sjahrir daripada Tan Malaka. Tetapi "kekuatan lebih" itu terbantah pula oleh penyiaran radio Belanda juga tentangan laporan van Poll itu juga, yang mengatakan bahwa penangkapan Tan Malaka amat menyukarkan perundingan Belanda dengan "Nederlandsch-Indie" itu. Sebenarnya "kekuatan lebih" itu baru kelak ternyata apabila rakyat menerima usul si Belanda, yang rupanya sudah percaya benar akan kekuatan Sutan Sjahrir itu. Kalau Rakyat tiada menerima usul Belanda itu, maka penangkapan yang "tiada" berdasar undang-undang yang sudah tercantum dan disahkan itu, melainkan karena perbedaan politik itu saja bisa pula menimbulkan akibat yang tiada disangka-sangka dan dikehendaki. Usul Belanda yang tiada selama lagi akan dimajukan oleh van Mook, terutama dalam mengakui Indonesia seluruhnya dalam status otonomi, walaupun katanya, nama Indonesia dalam statussemacam itu boleh dinamakan Republik. Dengan begitu Belanda sudah menginjak-injak kemerdekaan dan kedaulatan Rakyat Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Terhadap keluar, negeri Indonesia tak bersuara sama sekali. Terhadap ke dalam Belanda merobek-robek daerah (teritori), administrasi dan perekonomian Indonesia. Belanda akan kembali mengatur pegawai Indonesia dan kembali menduduki pabrik, tambang dan kebunnya serta memasukkan kapital asing dengan tak ada batasnya. Disampingnya itu "Hindia Belanda" yang "Autonoom" itu harus mengakui hutang "Hindia-Belanda" sebelum Jepang masuk. Kalau semua usul itu kelak diterima, maka kemerdekaan yang jauh kurang dari 100% dalam politik itu akan diturunkan pula sekian persen oleh hutang Indonesia tadi dan oleh kekuasaan pegawai-cap-Belanda serta oleh bermaharaja-lelanya kapitalisme di pemerintahan pusat dan daerah. Kekuatan lebih yang ditimpakan atas pemimpin-pemimpin Persatuan Perjuangan, yang berdiri atas pengakuan 100% itu akan berupa kekuatan nol % terhadap kapitalisme dan imperialisme asing. Bagaimana juga memutar lidah dan pena, otonomi Indonesia di mana kapitalisme asing merajalela akan membawa Indonesia kembali ke jurang perbudakan, mungkin lebih dari sediakala.

Selama dua setengah bulan Persatuan Perjuangan berdiri, maka persatuan yang berdasarkan perjuangan itu dikenalkan kepada seluruh lapisan Rakyat, dari Sultan-Sunan sampai ke kaum jembel. Front anti imperialis ini mengambil rakyat sebulat-bulatnya, sepenuh-penuhnya buat mempertahankan kemerdekaan Republik 100%. Sebagai langkah pertama siasat ini mesti diambil. Siasat semacam itu dicocokkan dengan keadaan Indonesia dan dengan sejarah revolusi di mana-mana di dunia. Pertarungan yang dua setengah bulan itu sudah memberi ujian kepada semua lapisan tadi. Ternyata sudah setelah penangkapan Madiun terjadi ujian tadi sudah membawa pembelaan kemerdekaan Indonesia ke tingkat kedua. Kaum borjuis tengah, sebelah atas, ialah sebagian kaum saudagar, Pamong Praja, dan intelligensia sudah melempem dan berbalik muka. Mereka tidak tahan menjalankan ujian itu, asyik memikirkan bagaimana menghentikan perjuangan ini dan kembali menduduki kursi di sudut-sudut kantor yang dituan-besari oleh Belanda. Sikap melempem di tengah revolusi itu bukanlah monopolinya kaum tengah Indonesia saja. Memang itu sifatnya kaum tengah, ialah maju-mundur lebih banyak mundur daripada maju dan kalau terlampau berat lekas mundur, dan memilih pihak yang kiranya menang. Borjuis tengah Indonesia, seperti saudagar tengah, Pamong-Praja dan intelligensia memang tak bisa konsekuen baik dalam revolusi nasional ataupun dalam revolusi sosial.

Sifat memilih dan membidik siapa yang kuat dan akan menang dalam pergulatan itu memangnya terbawa oleh susunan ekonomi dan sosial Indonesia. Kaum tengah Indonesia tak mempunyai tempat bersandar maupun dalam ekonomi ataupun dalam politik. Saudagar tengah Indonesia tak kenal sama saudagar importor sendiri, pabrikant (pemilik pabrik) Indonesia sendiri atau pun bankir sendiri. Mereka bersandar pada Importir asing, pabrik-asing dan bankir asing. Demikian pula Pamong Praja dan reservenya, ialah kaum intelligensia bersandar pada imperialisme asing. Tak ada Parlemen atau pemerintah nasional yang bisa dijadikan tujuan dalam usaha mereka mencari pangkat. Imperialisme Belanda dalam penjajahan 350 tahun itu jaya menghasilkan satu golongan pamong-praja dan reservenya, golongan intelligensia yang mempunyai semangat ingin memasuki kantor gubernur di bawah perintah sep Belanda, "semangat inlander". Semangat inlander ini amat tebal dan tak gampang diombang-ambingkan oleh semangat revolusioner. Kalau sep-Belanda hilang seperti pada penyerahan Belanda 8 Maret 1942, maka "para inlander" merasa bahagia mendapatkan "sep-baru" dan mempelajari "jongkok" baru, ialah jongkok ala Nippon. Apabila rakyat memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agusuts 1945, maka "para-inlander" dengan setengah percaya dan setengah tak percaya memasuki kantor Republik, tetapi apabila "sep-lama" datang, maka gelisah lagi. Sekarang dengan memuncaknya perjuangan, maka sudah banyak para inlanders tadi yang mengenal kembali "his masters voice" itu (suara tuannya). Mereka kembali bersedia menerima perintah tuan-lama buat keperluan tuan lama itu, kalau perlu menentang kemauan bangsa sendiri.

Kini mereka para inlanders menunggu saat bilamana mereka dengan aman bisa melompat sambil berteriak-teriak: Tuan-besar sudah kembali! Sifat kaum tengah memang tengah memang sangsi bolak-balik di antara golongan atas dan bawah. Di mana ada kapital nasional dan borjuis nasional yang kukuh kuat, maka dalam masa revolusi kaum tengahnya sangsi bolak-balik di antara borjuis atas dan proletar nasional. Akhirnya di tengah-tengah kesukaran perjuangan mereka membelok kepada yang kiranya akan menang. Di Indonesia kapital dan borjuis yang kuat-kukuh itu terdiri dari bangsa asing. Mungkin pada permulaan perjuangan para inladers memihak kepada rakyat-murba. Tetapi kalau perjuangan itu sedikit lama dan tampaknya sukar, maka mereka akan mengabdi kepada kapital dan borjuis asing manapun juga. Dalam dua setengah bulan Persatuan Perjuangan itu berdiri, aliran "para-inlanders" terasa benar. Makin keras desakan Sekutu-Inggris-Belanda dengan "moderate"nya, makin keras pula semangat para inlanders dalam Persatuan Perjuangan membatalkan "minimum program" yang memang revolusioner itu sama sekali, atau men-sabot, membelokan, melemahkan artinya. Sesudah penangkapan Madiun proses ini berlaku lebih cepat dan lebih nyata lagi. Tetapi dengan melemahkan, membelokkan, bahkan seandainya dengan membatalkan Minimum Program sama sekali ini tiada berarti rakyat Indonesia dengan Pemudanya akan bisa dibelokkan dilemahkan ataupun dipatahkan semangatnya membela kemerdekaan 100% dan menolak kapitalisme asing.

Mungkin nama Persatuan Perjuangan dan Minimum Program akan dijadikan barang "bisikan", bahkan mungkin bisa ditutup sama sekali, tetapi selama rakyat dan pemudanya terus memperjuangkan kemerdekaan 100% dan penolakan kapitalisme asing, maka selama itulah pula Persatuan Perjuangan, yang berarti Persatuan mereka yang berjuang, serta Minimum Programnya, akan berlaku. Nama kumpulan atau program baru mungkin bisa menipu rakyat dan pemudanya, sebagian atau seluruhnya buat sementara waktu, tetapi tidak buat selama-lamanya.

Semenjak penangkapan Madiun dengan radio Hilversumnya, nyatalah sudah bahwa Persatuan Perjuangan dan program minimum sudah meningkat ke periode (musim) kedua dalam perjuangan anti-imperialisme dan revolusi-nasional ini. Dalam periode kedua ini kaum setengah ke sini setengah ke sana, setengah revolusioner dan setengah kompromis itu mesti disingkirkan sama sekali. Karena mereka sudah nyata, dan memegang terus mereka itu berarti melemahkan barisan perjuangan. Persatuan Perjuangan bukanlah berarti kumpulan kaum revolusioner dan kaum kompromis yang lengkap siap dengan 1001 perkataan buat menyelimuti politik kompromisnya. Sesudah penangkapan Madiun maka perjuangan revolusi Indonesia mesti dikembalikan ke tangan mereka yang tegas-tegas mengakui kemerdekaan 100%, menolak perundingan yang tiada berdasarkan perngakuan 100% itu dan tegas terang menolak kapitalisme asing dengan siasat menyita perusahaan musuh. Pembersihan mesti dilakukan.

Dan dalam masa pembersihan itu mesti dilakukan dengan cepat dan kalau perlu dengan deras-tangkas. Kalau tidak maka kaum kompromis akan jaya melembekkan semangat perjuangan, membelokkan atau mematahkan perjuangan itu sama sekali dan mengembalikan Indonesia ke status penjajahan dengan atau tidak-dengan nama "Republik".

Setengah kaum tengah bagian atas yang dipelopori oleh "ahli" politik dan "ahli" diplomasi serta para pamong praja dan intelligensia sudah terjerumus atau sengaja menerjunkan dirinya k etengah-tengah barisan Nica. Kaum pembelok, yang sudah menjalankan rolnya dengan terbuka, setengah tertutup atau sama sekali bersembunyi itu mesti di-isolir, dipisahkan atau sama sekali diberantas dari perjuangan revolusioner. Persatuan Perjuangan revolusioner mesti terdiri dari kaum dan golongan revolusioner saja. Dalam periode kedua ini, sesudah ujian dua setengah bulan ini, maka golongan yang tetap revolusioner ialah: Pertama, golongan proletariat perindusterian, yakni buruh pabrik, bengkel, tambang, pengangkutan, listrik, percetakan, PTT dll.

Kedua, proletariat tani, ialah buruh kebun bersama dengan kaum tani biasa, kaum tani menengah, sampai ke tani sederhana (kerja dan cukup buat keluarga sendiri saja), terus ke setengah tani, setengah buruh tani. Ketiga, kaum Marhaen ialah pedagang kecil, warga-kecil seperti juru tulis, guru, dan intelligensia miskin di kota-kota. Semuanya golongan ketiga ini menghendaki sungguh lenyapnya imperialisme asing dan berdirinya terus Republik Indonesia, dan banyak sekali memberikan pengorbanan harta dan jiwanya dalam semua garis pertempuran. Ketiga golongan yang masih revolusioner dalam periode kedua di masa revolusi nasional ini lebih kurang terikat oleh aliran pula, yakni aliran ke-Islaman, kebangsaan, dan keproletaran (sosialisme, komunisme ataupun anarkis-sindikalisme). Ketiga aliran ini terus menerus mempengaruhi pergerakan anti-imperialisme di Indonesia selama lebih 40 tahun di belakang ini. Dalam periode kedua inipun ketiga aliran itu tiadalah bisa diabaikan.

PARI tiada akan melupakan tiga aliran yang terbuka atau tertutup pada sanubari tiga golongan tersebut di atas. Ketiga aliran itu masing-masingnya lebih kurang mempengaruhi masing-masingnya ketiga golongan tadi. Tetapi boleh jadi sekali dan sepatutnyalah pula ke-Islaman lebih tebal dari pada kaum tani, kebangsaan lebih tebal pada kaum marhaen dan ke-proletaran pada golongan proletariat.

PARI mesti mencocokkan organisasi, prinsip, paham, taktik-strategi dan slogannya dengan kekuatan-revolusioner dalam negeri dan teman penyambutnya di luar negeri serta dengan keadaan dalam dan luar Indonesia buat melakukan program minimum dan maksimumnya. Pencocokan itu mesti senantiasa dilakukan dan diperoleh berhubung dengan perubahan musim (periode) perjuangan dan peralihan pusat kekuatan dari golongan ke golongan yang revolusioner. Buat periode kedua ini cukuplah sudah Minimum Programnya Persatuan Perjuangan, yang kalau dirasa perlu bisa ditambah di sana sini, dengan tiada mengurangi semangatnya yang revolusioner. Setelah kemerdekaan 100% tercapai, maka akan berlakulah program maksimum, yang maksudnya menuju kepada Indonesia berdasarkan sosialisme, bersandarkan kekuatan diri dan mengingat keadaan di sekitar Indonesia. Pertama sekali amat tidak bijaksana mengumumkan program maksimum pada musim revolusi-nasional demokratis ini.