Tenun Tradisional Minangkabau/Bab 2
BAB II
TENUN TRADISIONAL MINANGKABAU
Pengertian tenun tradisional ialah pengerjaan atau pembuatan tenun yang dilakukan dengan mempergunakan alat-alat, bahan-bahan dan sistem pengerjaan yang sangat sederhana sekali. Bahan-bahan untuk menenun dipersiapkan sendiri, mulai dari mencari bahan untuk pembuatan mesin tenun sampai kepada pemasangan alat tenun itu sendiri. Semua bahan-bahan ini dapat diambil dari lingkungan sendiri, artinya tidak didatangkan dari daerah lain, kecuali benang yang sudah dihani. Malah pada waktu dahulu, untuk pemberian warna kepada benang-benang tertentu diambilkan dari pelbagai zat tumbuh-tumbuhan seperti gambir, belerang dan sebagainya. Kesederhanaan dari alat tenun tradisional ini juga akan mempengaruhi kepada hasil tenun itu sendiri. Dari penelitian yang dilakukan secara sederhana kita dapat membuat perbedaan antara tenun tradisional dengan tenun yang dikerjakan secara modern. Perbedaan-perbedaan ini dapat dilihat dari beberapa segi, antara lain ialah :
bambu yang keras.
2. Sistem pengerjaan : Orang yang mengerjakan pembuatan tenun tradisional ini tidak terikat kepada umurnya, artinya bertenun dapat dilakukan oleh para gadis remaja, orang dewasa ataupun orang tua. Dan yang jelas, pada umumnya si penenun adalah terdiri dari kaum wanita, jarang sekali orang laki-laki yang kerjanya menenun. Begitu pula untuk menenun tersebut, tidak tergantung kepada waktu-waktu tertentu. Artinya menenun dapat dilakukan pada waktu pagi hari, siang, sore dan bahkan orang dapat menenun pada malam hari.
3. Tidak memerlukan tempat yang khusus : Untuk bertenun tidak disediakan tempat yang khusus dan tertentu. Bertenun secara tradisional dapat dilakukan di berbagai tempat, di alas rumah, di serambi, di kandang rumah dan tempat lainnya. Tetapi pada umumnya di Koto nan Gadang ( Payakumbuh ) tempat orang bertenun yaitu di bawah ( kandang ) sebuah rumah gadang. Sedangkan di Tanjung-Sungayang ( Batu Sangkar ) yang hanya terdapat satu buah tempat bertenun, tempatnya diletakkan di serambi rumah. Lain halnya dengan tenun modern, ia sudah mempunyai tempat yang khusus dan tertentu, seperti yang terdapat di Silungkang, Pandai Sikek dan Kubang. Di tempat ini telah dibuat bangunan tersendiri untuk mengerjakan tenun tersebut.
Begitu juga tidak semua wanita memakai pakaian adat yang sama dalam menghadiri sesuatu upacara. Anak gadis akan berbeda pakaiannya dengan wanita yang baru kawin, berbeda pula dengan orang yang sudah mempunyai anak, berbeda dengan orang yang sudah mempunyai menantu dan berbeda pula dengan orang yang mempunyai cucu dan sebagainya. Perbedaan ini juga akan terlihat pada hubungan seseorng dalam masyarakatnya. Untuk keperluan-keperluan seperti inilah pakaian adat itu dipergunakan. Kalau pemakaian ini tidak diindahkan ( menurut semestinya ia harus memakai pakaian tertentu, tetapi tidak dipakainya ) maka yang bersangkutan akan digunjing dalam masyarakat. Begitu pula jarang sekali produksi tenun tradisional ini yang dipergunakan ( di pakai ) .untuk pakaian harian oleh penduduk setempat.
5. Waktu pengerjaannya : Untuk menenun, si penenun tidak terikat pada waktu tertentu. Ia dapat menenun kapan ia mau, pagi, siang ataupun pada malam hari. Si penenun tidak terikat kepada seseorang majikan. Hal ini disebabkan karena perusahaan tenun itu dimiliki oleh sesuatu keluarga. Jadi kapan ada waktu senggang, pekerjaan menenun dapat dilakukan. Biasanya dulu, menenun ini dilakukan kebanyakan pada waktu sehabis musim kesawah, sambil menunggu musim selanjutnya, para wanita menghabiskan waktunya menenun di bawah rumah. Si penenun dapat bekerja menurut kemauannya sendiri, umpamanya bekerja 1 jam atau 2 jam sehari atau sepanjang hari dan malam. Jadi ia bekerja bukan berdasarkan kepada perjanjian kerja menurut waktu tertentu.
tenun tradisional ini, baik di Koto nan Gadang maupun di Tanjung-Sungayang, pada umumnya tidak dijumpai sistem perburuhan atau orang yang digaji untuk mengerjakan pekerjaan menenun tersebut. Tenun tradisional dikerjakan secara kekeluargaan antara anak dan orang tua atau antara keluarga dekat mereka. Kalau ada orang lain yang ingin hendak belajar menenun, maka biasanya tidak dipungut ongkos belajar, mereka diajar secara sukarela saja. Dan bagi si murid yang belajar ini selagi mereka belum bisa berdiri sendiri, maka segala hasil tenun yang telah dikerjakannya akan diserahkan kepada orang tempat ia belajar.
7. Pemasaran : Pasaran dari hasil tenun tradisional ini terdapat di sekitar daerah penghasil tenun itu sendiri. Artinya orang yang mempergunakan tenun tradisional itu hanya disekitar daerah tersebut. Jarang sekali orang daerah lain yang mempergunakan hasil tenun tradisional. Tenun yang dibuat di Tanjung-Sungayang, hanya dipakai oleh masyarakat sekitar Tanjung-Sungayang saja. Begitu pula tenun yang dibuat di Koto Nan Gadang, hanya dipakai oleh masyarakat sekitar Koto nan Gadang ( Payakumbuh ) saja. Paling-paling hanya dipakai oleh perantau-perantau dari daerah penghasil tenun ini yang pergi merantau ke tempat lain.
8. Kegunaannya : Hasil tenun tradisional ini hanya dipergunakan atau dipakai untuk bahan pakaian pada upacara-upacara adat saja. Ada tenun yang dipergunakan untuk menghadiri upacara perkawinan, upacara batagak penghulu, upacara kematian dan sebagainya. Kain tenun tradisional ini tidak ada yang dipergunakan untuk atau sebagai pakaian harian seseorang. Dari ciri-ciri yang telah dikemukakan diatas itulah, kita dapat membuat kategori dan kesimpulan, mana tenun yang dapat dimasukkan tradisional dan mana tenun yang bersifat modern. Dan berdasarkan itu, kami berpendapat bahwa tenun yang terdapat di Tanjung-Sungayang ( Kabupaten Tanah Datar) dan tenun yang terdapat di Koto nan Gadang ( Kotamadya Payakumbuh ) merupakan tenun tradisional yang masih terdapat di Minangkabau.
Peralatan tenun tradisional.
Sesuai dengan namanya, tenun tradisional, maka peralatan yang dipergunakan untuk membuat atau menghasilkan tenun itu adalah sangat sederhana sekali. Secara keseluruhan alat ini dinamakan “mesin tenun”, ada juga yang menamakannya “Ponte” atau ada juga yang menyebutnya dengan istilah “Tenun Gedogan”. Peralatan tenun tradisional ini dibuat dari bahan kayu yang sangat sederhana sekali yang diambilkan, diperoleh dari daerah hutan sekitarnya. Pada umumnya tidak mempergunakan bahan dari besi seperti paku dan sebagainya. Sampai sekarangpun, terutama di daerah Tanjung-Sungayang dan Koto nan Gadang, peralatan tenun tersebut amal sederhana sekali, hanya dengan mempergunakan beberapa polong kayu dan alat-alat lainnya, orang sudah dapat bertenun.
Untuk jelasnya peralatan tenun tradisional itu terdiri dari :
- Tonggak ponte.
Tonggak ponte, yang merupakan tiang ulama dari mesin tenun terdiri dari 6 potong kayu. Dua buah yang di tengah agak besar bila dibandingkan dengan dua buah yang terletak di muka dan dua buah di belakang. Fungsi dari tonggak ponte ini adalah untuk pengikat ( penguat ) perlengkapan tenun itu sendiri. Pemasangannya dapat dilakukan dengan mempergunakan pasak dari bambu atau kayu biasa.
- Atua ponte.
Untuk menghubungkan antara tonggak ponte yang dimuka, tengah dan belakang dipergunakan sepotong kayu yang menembus pada tonggak yang terletak di tengah. Kayu penghubung ini dinamakan atua ponte, yang terletak kira-kira 30 cm dari bawah, dan terdiri dari dua bagian, bagian kiri dan bagian kanan. Supaya peralatan tenun itu menjadi kuat, maka atua ponte ini dipasakkan pada tonggak ponte.
- Paran.
Kalau atua ponte menghubungkan antara tonggak ponte bagian belakang dengan bagian muka pada bagian sebelah bawahnya, maka pada bagian atas ( yang menghubungkan antara tonggak muka, tengah dan belakang ) dinamakan “paran”. Paran ini dibuat dari sepotong kayu yang ukurannya lebih kecil dari atua ponte.
- P a s o .
Paso adalah sebuah kayu agak bundar yang diletakkan ( menghubungkan ) antara dua tonggak besar yang terletak di tengah. Dipergunakan sebagai alat untuk menggulung hasil tenunan yang baru selesai dikerjakan. Selain itu juga berfungsi untuk menahan ujung benang lusi yang akan ditenun. Pada bagian ujung dari paso ini dibuatkan sejenis alat yang dapat menggerakkan paso tersebut. Kalau sekiranya hasil tenun ini sudah cukup untuk dijadikan sepotong kain, maka kain yang digulung tersebut sudah dapat dipotong dan dikeluarkan dari gulungan paso itu.
- Suri ( sisir ).
Suri ini karena menyerupai sisir, dinamakan juga sisir. Dibuat dari bahan yang diambilkan dari sejenis pohon aren. Dipergunakan untuk mengatur benang lusi, juga dipergunakan sebagai alat untuk merapatkan benang sesudah proses masuknya benang lusi ke pakan. Suri yang berbentuk sisir ini dipasang menurut lebarnya kain yang akan ditenun, lebarnya kira-kira 1 meter dan tinggi kira-kira 20 cm. Kedalam rongga sisir inilah dimasukkan benang pakan. Setiap helai benang pakan akan masuk kedalam setiap ruangan dari sisir tersebut. Hingga dengan demikian seluruh bagian dari sisir itu akan dilalui oleh benang pakan.
- K a r o k .
Dipergunakan untuk mengatur benang yang terletak diatas dan dibawah. Karok ini digerakkan oleh injak-injak yang terdapat pada bagian bawah. Karok ini ada dua buah, satu untuk mengatur benang lusi yang terletak diatas dan yang satu lagi untuk mengatur benang lusi yang terletak dibawah.
- Lenggayan.
Dibuat dari sebilah bambu atau kayu dalam ukuran kecil,
dipergunakan untuk menggantungkan karok. Antara karok dengan lenggayan tersebut dihubungkan dengan tali atau benang yang agak kasar. Maksudnya karok ini digantungkan ialah supaya karok tersebut jangan rebah, ia harus dalam keadaan posisi berdiri dan supaya mudah untuk di gerak-gerakkan
- B a l e r o .
Balero adalah sejenis kayu tipis ataupun juga bambu yang dibuat tipis yang dipergunakan untuk mengatur motif hiasan. Dengan mempergunakan balero ini, kiga dapat menentukan benang mana saja yang akan diungkit untuk tempat masuknya benang hiasan atau benang untuk membuat motif dari kain tenun tersebut.
- L i d i .
Dibuat dari lidi pohon kelapa atau lidi pohon enau. Dipergunakan untuk mengatur hiasan. Sebelum kita mulai menenun, lidi-lidi ini sudah dipasang pada benang pakan.
- Tempat duduk.
Sehelai papan yang agak kuat dijadikan untuk tempat duduk bagi si penenun. Papan ini diletakkan antara tonggak ponte yang di tengah dengan tonggak ponte bagian belakang. Disinilah si penenun duduk sambil menjuntaikan kakinya untuk menyelesaikan kerjanya ( menenun ), yang terbentang di hadapannya.
- Ontokan.
Dibuat dari sepotong kayu yang agak kuat, dipergunakan untuk menegangkan benang yang akan ditenun. Kayu ini diikatkan lagi pada sebuah tonggak atau yang dinamakan juga kudo-kudo. Dengan adanya Ontokan ini, benang tenun akan tetap tegang yang akan memudahkan proses menenun.
- Kudo-kudo.
Dipergunakan sebagai tempat mengikatkan Ontokan ( kayu penegang benang tenun ). Supaya kuat, kudo-kudo ini dibuat dari kayu yang agak berat supaya tidak mudah bergerak dari tempatnya. Kadangkala untuk pemberatkannya diberi atau diletakkan batu yang agak besar. Dengan demikian kudo-kudo ini akan tetap berada pada tempatnya.
- Tali kudo-kudo.
Dipergunakan untuk mengikat Ontokan pada kudo-kudo. Dapat dipergunakan segala macam tali, yang penting dapat berfungsi sebagai pengikat yang kuat.
- Lilotan.
Terbuat dari sepotong bilah dari bambu atau sepotong kayu biasa. Dipergunakan untuk membentangkan benang tenun.
Selain dari peralatan tenun tersebut diatas, dapat kita tambahkan alat-alat pelengkap lainnya, seperti :
- Turak.
Alat yang dipergunakan untuk membawa benang lusi dari kiri ke kanan atau dari kanan ke kiri pada waktu menenun. Turak ini dibuat dari sepotong bambu yang kecil dan pendek.
- Kincie ( Kincir ).
Sejenis alat yang dipergunakan untuk memindahkan benang ke dari alat pemintal ke palet atau buluh. Terbuat dari sebuah lingkaran dari rotan yang dianyam, berbentuk sebuah roda yang mempunyai jari-jari dari bilah bambu. Diletakkan pada sebuah penampang yang terbuat dari sepotong kayu yang agak berat. Roda ini digerakkan oleh sebuah alat pemutar yang terdapat pada jari-jari tersebut.
- Nandie.
Alat tenun yang terbuat dari dua potong bilah ( bambu yang sudah di potong-potong dan ditipiskan ), yang bagian tengahnya dimasukkan pada sebuah sumbu dari kayu, sehingga membentuk segiempat. Pada ujung-ujung bilah ini dipasangkan kayu yang agak melengkung yang dipergunakan untuk menahan benang. Sumbu yang pakai bilah ini diletakkan pada sebuah penampang dari kayu yang berat yang dibuat sedemikian rupa sehingga sumbu tadi dapat digerak-gerakan dan berputar. Nandie ini dipergunakan untuk pengumpal benang.
- Gundang.
Terbuat dari sebuah tabung bambu, dipergunakan untuk pengumpal benang yang berasal dari nandie.
Bahan lain yang dipergunakan untuk bertenun ini, seperti benang yang sudah siap untuk ditenun, biasanya dibeli dari daerah lain yaitu dari Silungkang ( umumnya Silungkang memproduksi benang hanian ini untuk daerah Pandai Sikek, Koto nan Gadang, Tanjung-Sungayang dan Kubang ) Benang yang dipakai untuk membuat songket atau kain balapak, seperti benang emas, benang perak atau benang pewarna lainnya dapat diperoleh dengan cara membelinya di pasaran dan toko-toko tertentu. Ada jenis-jenis benang ini, seperti benang emas ( yang sering juga dinamakan dengan sebutan benang makau ) berasal dari luar negeri, Jepang, Taiwan, India, Cina dan sebagainya.
Dengan mempergunakan peralatan dan baban yang sangat sederhana ini, orang sudah dapat mernbuat kain tenun tradisional. Di Koto nan Gadang ( Kotamadya Payakumbuh ) kerajinan tenun tradisional ini masih tetap ada, walaupun sekarang jumlahnya sudah mulai berkurang. Tetap terpeliharanya tenun tradisional di daerah ini karena sampai sekarang masyarakatnya masih mempergunakan atau memakai hasil tenun ini sebagai bahan pakaian untuk menghadiri upacara-upacara adat, seperti helat perkawinan, upacara penobatan penghulu, pergi melayat dan sebagainya. Adat yang seperti ini masih terpakai di daerah Payakumbuh. Sedangkan hasil tenun dari Tanjung-Sungayang, masih tetap dipergunakan sebagai kelengkapan pakaian adat di daerah sana, terutama oleh para sumandan dan para penghulu.
Ragam hias kain tenun.
Untuk mengenal ragam bias dari kain tenun erat bubungannya dengan cara menenunnya. Ada para ahli yang mengatakan bahwa ragam hias yang pertama diterapkan pada kain tenun adalah ragam hias yang dibuat dengan cara teknik ikat, yaitu ragam hias yang dibuat sebelum proses menenun di mulai. Benang tenun diikat dengan mempergunakan bahan pengikat yang lain, kemudian dicelupkan kedalam zat pewarna yang sudah disediakan. Bagian-bagian yang diikat tadi tidak terkena warna celupan. Proses ini diulang-ulang menurut bentuk ragam hias yang kita inginkan. Ragam hias pada kain tenun dapat dibedakan atas 2 macam yaitu :
- Ragam hias yang bersifat “dekoratif”.
- Ragam hias yang bersifat “fungsional”.
Maksud daripada ragam hias dekoratif ialah bahwa ragam hias yang terdapat pada kain tenun tersebut hanya berfungsi untuk hiasan saja, dengan maksud supaya kain tersebut hanya berfungsi untuk hiasan saja, dengan maksud supaya kain tersebut lebih bersemarak dan hidup. Sedangkan ragam hias yang bersifat fungsional, maksudnya ialah setiap ragam hias yang ada pada kain itu mengandung makna dan arti-arti tertentu. Ia melambangkan sesuatu makna umpamanya motif orang yang kedua kaki dan tangannya terbentang, melambangkan nenek-moyang, segitiga tumpal melambangkan pohon hayat dan sebagainya. Di daerah Minangkabau pada umumnya hiasan yang ada bersifat dekoratif, walaupun kadang-kadang ada juga yang bersifat fungsional. Dan untuk dekoratif ini, motifnya diambilkan dari bentuk flora dan fauna atau seperti yang dikatakan oleh papatah Minangkabau, “alam takambang jadikan guru”. Apa yang ada di alam ini dapat dijadikan motif hiasan, seperti kaluak paku, gambar bunga, bentuk pucuak daun, sulur daun, bada mudiak, kuciang tidua, kalalawa tagantuang dan sebagainya. Ada pendapat para ahli yang mengatakan bahwa motif burung, orang, pohon hayat dan tumpal yang terdapat pada ragam hias kain tenun, merupakan ciri-ciri motif yang terdapat di seluruh daerah Indonesia ini. Bentuk dan motif ragam hias pada kain tenun ini banyak dipengaruhi oleh unsur keagamaan dari sesuatu masyarakat. Bahkan, kalau kita teliti lebih lanjut, pengaruh kepercayaan banyak yang tertuang dalam berbagai motif yang ada. Sebagai contoh, pengaruh kepercayaan agama Hindu, yaitu bentuk segi tiga yang disebut “tumpal”. Ada yang mengatakan bahwa bentuk tumpal ini melambangkan dewi sri, sebagai dewi padi dan dewi kesuburan. Segitiga adalah juga salah satu bentuk dari ragam hias geometris yang sudah terdapat dalam kebudayaan Dongson dari zaman pra sejarah Indonesia. Pendapat lain mengatakan bahwa bentuk tumpal ini melambangkan deretan gunung-gunung di Indonesia. Dan nampaknya bentuk tumpal ini hampir dikenal di seluruh daerah Indonesia dengan nama yang berbeda-beda.
Di Minangkabau bentuk tumpal ini dinamakan juga dengan motif “Pucuak rebung atau rabuang mambacuik” yang melambangkan sesuatu kekuatan yang keluar atau tumbuh dari dalam. Juga motif ini dikiaskan pada sifat yang randai menyesuaikan diri dan dapat mengerjakan sesuatu yang berguna sepanjang masa. Pada kain tenun tradisional sering kita lihat komposisi antara songket benang emas, benang perak maupun benang berwarna biasa. Tampak juga motif tumpal yang dikombinasikan dengan sulur daun yang menyerupai pohon hayat. Motif yang serupa ini terdapat dalam satu atau dua baris di dalam suatu jalur besar di bahagian tengah kain sarung atau bahagian kepala kain (perhatikan kain tenun tradisional dan kain songket Minangkabau)
Motif yang paling dominan pada kain songket, umumnya adalah adalah motif tumbuh-tumbuhan, termasuk unsur bunga-bunga disamping unsur geometris. Sebabnya banyak menerapkan unsur tumbuh-tumbuhan, karena tumbuh-tumbuhan adalah lambang dari kehidupan dan manusia hidup dari tumbuh-tumbuhan tersebut. Unsur tumbuh-tumbuhan yang sering diterapkan ialah pucuk rebung, sulut daun, khususnya sulur daun pakis, pohon pinang, sirih dan sebagainya. Unsur bunga yang sering ditampilkan antara lain ialah bunga tanjung, bunga bersudut delapan yang menyerupai binatang, bunga mawar, bunga melati, bunga pala dan lain-lain. Bagian kain tenun tradisional yang diberi ragam hias umumnya terdapat pada bagian tengah atau bagian badan. Sedangkan ragam hias songket umumnya terdapat pada bagian hiasan pinggir atau bagian kepala dari kain.