Tegar

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Tegar
oleh Sri Lutfiwati
52633TegarSri Lutfiwati

TEGAR

Sri Luffiwati (Lula Sagita)

SMAN 1 Gunung Talang, Cupak, Solok

Aku terduduk di hamparan rumput ini,

menatap kosong ke langit merah

Soreku hampa tiada berwarna

SORE ini adalah sore kedua aku duduk di atas kursi roda ini, setelah tiga minggu yang lalu aku dirawat di rumah sakit. Jika sebulan yang lalu aku masih bisa berlari-lari bersama teman-temanku atau tertawa senang saat bercanda bersama kedua orang tuaku, itu semua hanyalah tinggal kenangan. Jika kini aku ingin mengulang kembali itu semua, mustahil rasanya melihat kondisi kakiku yang keduanya sudah tak bisa kugerakkan lagi meskipun na semilimeter, ditambah dengan perginya kedua orang tuaku untuk selamanya. Kini, yang ada bukanlah Fara, gadis yang lincah. Namun, yang ada hanya, Fara, gadis lumpuh yatim piatu, yang duduk di kursi roda. Aku sangat menyesali kejadian saat itu. Kecelakaan yang bukan hanya membuatku menjadi seperti ini, tetapi juga merenggut nyawa keduaorang tuaku.

Semua terjadi begitu cepat. Ayah yang terlalu lelah setelah seharian bekerja di kantor merasa pusing sementara bunda yang biasanya menggantikan ayah dalam kondisi seperti itu tertidur lelap di sampingnya. Dan, aku? Ya..., seperti biasa, aku tidak bisa diandalkan untuk menyetir mobil dalam kegelapan karena aku sendiri masih belum mahir mengendarai mobil. Di perempatan jalan, tiba-tiba ada truk yang mmelaju pelan, muncul dari arah kiri jalan yang kami lalui. Ayah tidak sempat mengerem mobil yang kebetulan melaju cukup kencang saat itu dan kecelakaan itu tidak bisa dihindari lagi. Bunda meninggal saat itu juga dan ayah sempat koma selama tiga jam di rumah sakit, sedangkan aku hanya pingsan dan mengalami beberapa luka di kepala dan tangan.

Ayah sempat sadar selama beberapa menit. Saat itu aku sudah tidak bisa apa-apa lagi. Dokter sudah menyatakan bahwa kakiku lumpuh permanen dan luka di kepalaku tidak membuat kerusakan yang begitu berarti. Aku ingat saat itu, ayah menyampaikan pesannya kepadaku untuk yang terakhir kali.

“Fara..., kamu tidak usah menangis... Ayah... Ayah tidak ingin...kamu menangis. Walaupun kakimu lumpuh, kamu tetaplah gadis yang berguna... maafkan, Ayah..., Ayah tidak bisa bertahan... lebih lama Jagi... rawat rumah kita... bersama Mbok Darmi.,. anggap beliau... seperti ibu kamu... doakan Ayah... dan Bunda, ya... Nak.”

Dan setelah itu, ayah meneriakkan kalimat tauhid dengan amat keras. Aku terpana melihat kekuatan ayah yang belum pernah aku lihat selama ini. Sedetik kemudian, ayah mengembuskan napas terakhirnya. Aku hanya bisa menangis, menangis, dan menangis hingga akhirnya aku jatuh pingsan di samping ayah.

“Den Fara, cah ayu, kok melamun terus? Lho? Den ayu kenapa nangis?”

Aku terkejut melihat Mbok Darmi yang sudah berada di sampingku. Aku langsung mengusap air mataku yang sudah membanjiri pipiku.

“Ah..., Mbok, enggak kenapa-kenapa kok, Mbok, Ra hanya ingat ayah dan bunda, Mbok, Ra kangen, Mbok, Rakepingin ketemu ayah dan bunda, Mbok.” ,

Akhirnya, aku tidak kuasa menahan semua yang ada di hatiku. Aku menangis di pelukan Mbok Darmi, pembantu keluargaku, yang telah lama bekerja semenjak ayahku masih kecil.

Dulu, ayah sangat dekat dengan wanita penyayang ini. Oleh karena itulah, ayah mengajak Mbok Darmi ikut dengan ayah, setelah ayah menikah dengan bunda dan tinggal di rumah ini. Ayah pernah berkata kepadaku bahwa aku harus menyayangi dan menghormati Mbok Darmi karena ayah sudah menganggap beliau seperti ibunya. Mbok Darmi sudah menjanda. Menurut ayah, suami Mbok Darmi meninggal! setelah satu tahun mereka menikah. Mbok Darmi memiliki dua orang anak kembar, Mbak Aya dan Mas Heru. Mbak Aya kini bekerja di perusahaan milik ayah, setelah menamatkan sekolahnya di Jepang. Mbak Aya memang gadis yang pintar. Beliau mendapat bea siswa waktu kuliah di sana hingga Strata 2. Sementara Mas Heru bekerja sebagai pemandu wisata, sekaligus penyiar RRI. Aku menyayangi mereka seperti kakakku sendiri. Aku memang terlahir sebagai anak tunggal. Dan, kini aku tinggal bersama mereka bertiga di rumah ini seperti yang dipesankan oleh ayah.

“Sudahlah, den ayu..., sudah takdirnya den Gammasama den Yani kembali ke sisi-Nya. Bapaknya Mbak Aya dan Mas Heru juga sudah kembali ke sana. Nanti suatu saat kita semua pasti juga kembali ke sana. Nanti den ayu bisa ketemu ayah bunda lagi. Sama bapak Mbak Aya juga. Nanti Mbok kenalkan, mau?”

Lagi-lagi Mbok Darmi menyadarkan aku dari lamunanku. Mendengar kata-kata beliau yang terakhir itu, aku tersenyum kecil.

“Mbok Darmi, ada-ada saja. Iya deh... Ra mau, kok, dikenalkan sama bapaknya Mbak Aya dan Mas Heru. Tapi, sekarang Ra kangen sekali sama ayah dan bunda, Mbok... Rakepingin memeluk mereka, Mbok... Ra kepingin ditemani ayah dan bunda di saat seperti ini, Mbok.”

Aku kembali menangis sedih di pelukan Mbok Darmi. Memang sulit bagiku menerima kepergian kedua orang tuaku.

“Sudahlah, den..., kan ada Mbok di sini. Mbak Aya juga. Mas Heru juga,”

“Tapi, Ra mau ayah dan bunda, Mbok.”

Dan langit pun semakin memerah, seakan ikut meratapi nasibku. Aku masih menangis di pelukan Mbok Darmi.

* * *

“Selamat pagi, Adikku yang manis.”

Suara Mbak Aya yang lembut membangunkanku. Aku mengusap mataku dan menatap ke sekeliling, memastikan bahwa mataku masih bisa melihat dengan jelas.

“Ayo bangun, Ra, pasti enggak salat Subuh. Ketiduran, ya?” Mbak Aya lantas membantuku duduk.

“Ra kecapean, Mbak, lagi pula Mbak Aya nggak bangunin Ra, sih,” aku berkilah.

“Kecapean kenapa? Masih 'menangis semalam' lagi?”

Aku tertunduk dan diam. Dalam diam aku menangis. Mbak Aya melihatnya dan langsung memelukku. Aku makin membenamkan kepalaku di pelukannya.

“Ra hanya ingin bertemu dengan ayah dan bunda, Mbak, Ra berpikir mengapa Allah tega memisahkan Ra dengan ayah dan bunda. Ra tidak pernah menyesali kaki Ra yang lumpuh ini. Ra hanya enggak ingin berpisah sama ayah dan bunda, Mbak.”

“Fara, kamu tidak boleh berpikir Allah sejahat itu sama kamu, Dik. Semua ini sudah takdir kamu, jalan hidup kamu. Allah selalu sayang sama kamu. Buktinya, kamu masih diberi kesempatan untuk berbicara dengan ayah walaupun sebentar. Mbak Aya saja tidak pernah berbicara dengan bapak. Begitu juga dengan Mas Heru. Kami hanya bisa mengenal bapak melalui foto. Itu pun tidak begitu jelas. Kamu jauh lebih beruntung, Ra, bisa hidup bahagia bersama kedua orang tuamu hingga kamu beranjak dewasa, 18 tahun, Ra, apa selama itu belum cukup? Kalau Mbak Aya jadi kamu, Mbak enggak akan se-down ini, Ra. Percayalah, di balik ini semua, pasti Allah punya rencana yang indah untuk kamu. Sekarang Ra enggak boleh "menangis semalam' lagi. Sudah berapa minggu coba, Ra, seperti ini terus? Apa Ra enggak capek nangis terus? Sekarang, Fara, senyum, dong.”

Aku mencoba untuk tersenyum walaupun air mataku masih menetes. Mbak Aya mengusap air mataku. Hatiku menjadi damai seketika.

“Mbak, Mbak Aya ke mana aja, sih, belakangan ini? Kok kita enggak pernah ketemu?” tanyaku penasaran.

“Mbak Aya harus menyelesaikan semua urusan di kantor ayah Ra. Banyak banget deh, Ra, apalagi...” Mbak Aya menghela napas panjang dan berkata lirih, “... setelah ayah Ra nggak ada."

Aku termenung dan perlahan, air mataku menetes kembali. Aku baru sadar betapa berartinya ayah di perusahaan itu.

Tiba-tiba Mas Heru muncul dari balik pintu kamarku.

“Pagi-pagi udah sedih. Gimana siangnya? Go, go, go, Cheer up, girls..., semangat, dong! “

“Aduh, Heru! Lu tu, ya, bisanya cuma mengacaukan suasana! Kita kan cuma meresapi perasaan sebagai cewek sejati. Ini urusan cewek, tau, Lu nggak bakal ngerti! Udah, mendingan lu sekarang mandi trus temanin kita berdua ke taman kota!”

Sedetik kemudian dua anak kembar itu tarik-tarikan di kamarku ini. Namun tak lama karena Mas Heru mengalah dan keluar sambil bersungut-sungut kecil.

“Masa maunya ke taman kota enggak pake mandi dulu? Yang ada nantinya kita dijauhi orang gara-gara baunya yang hh...” Mbak Aya kembali duduk di dekatku.

“Emangnya kita mau ke taman kota ngapain, Mbak?”

Mbak Aya menghela napas sebelum menjawab pertanyaanku.

“Fara..., kamu masih belum sadar ya, kepala kamu itu mau diapain? Kamu itu butuh penyegaran biar enggak ada lagi program 'menangis semalam' ala Audy-mu itu. “Ngerti? Mbak Aya kemudian membantuku naik ke kursi roda dan mendorongku ke kamar mandi.

***
Udara pagi menyejukkan hatiku,

begitu pula dengan rangkaian kata dari bibir manismu
Aku terharu, terbelai dalam kesepianku...

Di taman kota, aku duduk sendirian di bangku taman sambil memandangi Mbak Aya yang sedang bercanda ria bersama segerombolan anak kecil di tepi kolam utama. Aku tersenyum, merasakan betapa bahagianya anak-anak kecil itu. Walaupun mereka berpakaian lusuh, wajah yang dinodai oleh debu, badan yang kotor oleh pasir ataupun tanah, mereka tetap riang dan gembira. Andaikan aku mampu seperti itu.

“Ra, kamu kok nangis lagi, sih? What's up, Dik?”

Tiba-tiba Mas Heru sudah berada di belakangku dan membuyarkan lamunanku. Dan, aku pun terkejut karena sedari tadi aku tidak menyadari bahwa pipiku sudah dibanjiri air mata. Aku mengusap air mataku perlahan.

“Ra, Ra cuma merasakan kebahagiaan mereka, Mas..., Ra berpikir, seandainya Ra mampu seperti mereka.”

Aku tak mampu menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya kepada Mas Heru. Sekuat apa pun aku mencoba, semakin mudah kata-kata itu meluncur dari mulutku.

“Ra, coba, deh, Ra perhatikan perempuan kecil yang duduk di tengah itu,” Mas Heru menunjuk ke arah seorang gadis kecil yang duduk di tengah rombongan Mbak Aya yang sedang bermain. Aku menatap lurus ke sana, tanpa berkedip.

“Dia itu lumpuh juga. Kedua orang tuanya juga sudah meninggal sejak dia masih kecil. Dan, dia hidup sebatang kara. Benar-benar sendiri. Dia hidup hanya dengan meminta belas kasihan dari orang-orang di sekitarnya. Sekarang dia tinggal di kolong jembatan,” Mas Heru menarik napas sesaat. “Tapi, dia tidak pernah menyesali hidupnya yang tidak seberuntung anak lain. Dia begitu tegar menghadapi kehidupannya itu. Mas pernah tanya sama dia, kenapa dia bisa begitu tabah. Kamu tahu dia menjawab apa?” Aku menggeleng cepat.

“Apa pun yang terjadi, hadapilah dengan mata terbuka karena bagaimanapun juga, ini adalah hidupmu.”

“Aku tertegun. Bagaimana mungkin seorang gadis kecil — yang kira-kira berusia sepuluh tahun — bisa berkata sedewasa itu. Tidak seperti aku yang...” “Kamu heran, kan?” tanya Mas Heru yang ternyata sudah duduk di hadapanku. Aku hanya mengangguk.

Tiba-tiba saja aku merasa sangat bodoh karena selama ini aku tidak bisa berpikir dan bertindak secara dewasa. Mengapa selama ini yang terpikir hanya derita, padahal aku masih amat beruntung bisa memiliki harta yang berlimpah ruah dan orang-orang yang mengasihiku. Aku ini tidak ada apa-apanya dibanding dengan gadis kecil malang itu. Bagaimana aku bisa sebodoh ini, Tuhan?

“Mas, aku kalah, Mas. Aku kalah jauh dengan gadis kecil itu. Dia bisa begitu tegar, sementara aku tidak. Dia bisa begitu dewasa menghadapi hidupnya yang malang dan aku yang baru begini saja sudah putus asa. Aku terlalu kekanak-kanakan ya, Mas?”

Tanpa kusadari air mataku kembali berlinang. Dan beberapa saat kemudian, ketika aku mengangkat wajahku, aku sudah dikelilingi oleh anak-anak kecil yang tadi bermain bersama Mbak Aya, tanpa ketinggalan gadis kecil malang yang membuat hatiku tersentuh itu. Aku menatap mereka berkeliling dan tatapanku terhenti pada gadis kecil itu. Ia berdiri sambil dipegangi Mbak Aya.

“Perkenalkan, Kak, nama saya Nena, Nama kakak siapa?” ujarnya seraya mengulurkan tangan kepadaku untuk berkenalan. Aku membalas uluran tangannya dan menggenggam tangan kecil itu.

“Nama kakak, Fara,” jawabku lirih. Terpancar keheranan dari mata Nena, masih sambil menggenggam tanganku.

“Kak Fara, kenapa? Kok, sedih? Kakak sakit?”

Aku menggeleng sambil mencoba untuk tersenyum. Senyum yang dipaksakan, mungkin itu yang dilihat dunia.

“Kakak mau kalau Nena nyanyikan lagu ciptaan Nena untuk Kakak?”

Aku tidak percaya gadis kecil ini mampu menciptakan sebuah lagu. Tapi, tak apalah. Kudengar saja dulu, mungkin lagunya memang bagus.

Gadis kecil itu lalu duduk di sebelahku, dan anak-anak kecil lainnya berdiri mengelilingi kami.

“Jangan pernah kau bersedih, kawan,
Marilah kita bernyanyi bersama Hilangkan dukamu, lantunkan senandung ceriamu
Bersama kicau burung
dan sejuknya angin sepoi-sepoi
Tepuk tanganmu, ikuti irama laguku
Bernyanyi... gembira...
bersama...
Kawan tercinta,
Tak ada lagi yang boleh bersedih
Semua harus gembira,
Hore!”

Tanpa terasa, aku mulai bersenandung kecil mengikuti lagu itu. Setiap mulutku menyenandungkannya, sedihku hilang, melayang entah ke mana. Perlahan, tapi pasti, hatiku mulai tenang dan aku menyadari semangat hidup dan ketegaran gadis kecil itu. Aku merasa aku harus belajar darinya. Walaupun ia masih teramat belia, aku tetap harus belajar untuk menerima kenyataan hidup ini darinya. te

***

Sore ini terasa begitu damai. Sedamai cinta Ayah dan sedamai pelukan Bunda. Terharu aku dalam renunganku, namun hanya sebatas itu. Tak seperti yang biasanya. Dalam hati aku telah berjanji, aku tidak akan jatuh lagi, aku takkan hancur lagi karena bagaimanapun inilah hidupku yang harus kujalani. Ya..., Aku harus menjalani semuanya.

Semenjak pertemuanku dengan Nena, aku bisa membuka mataku. Aku menyadari memang inilah takdirku, jalanku. Dan, aku pun mulai merancang masa depanku. Mulai dari sekolah, rumah, hingga perusahaan milik ayah yang hingga kini belum jelas pemimpinnya.

Dan, aku telah mengambil keputusan untuk memberikan kuasa kendali perusahaan itu kepada Mbak Aya, hingga aku selesai kuliah nanti. Saat itu tentu aku bisa berpikir lebih dewasa dan lebih tegar menghadapi kenyataan yang terkadang pahit.