Lompat ke isi

Surat untuk Bu Andhini

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Surat untuk Bu Andhini
oleh Penggy Yunizal

Surat untuk Bu Andhini

Penggy Yunizal

SMPN 7 Payakumbuh


Sudah dua hari ini aku menyibukkan diri dengan menulis surat. Ya, surat! Surat tanpa perangko. Memang sih, aku mau mengirim surat bukan melalui pos. Rencananya, sih, sepulang sekolah menerima rapor kemarin. Tapi, belum dapat ide. Yah, terpaksa sesudah azan Isya tadi kumulai. Dan, mau finish, sih, sekarang ini. Habis, sudah banyak air mata yang kuteteskan. Mumpung belum ada ibu, lebih baik kucari amplop dulu supaya nggak ketahuan kalau aku nulis surat.

Tiba-tiba pintu kamarku terkuak. Eh, ibu, lho, yang muncul. Nggak jadi, deh, nyari amplopnya. Melihat ibu datang, aku hanya diam saja. Terus menyurukkan muka yang tadi hampir saja merah karena air asin. "Belum tidur, Put?" suara ibu menyapa lembut malam itu. Tangannya menyentuh pundakku. "Sudah pukul 11, Nak..., tidurlah, nanti kamu sakit...” Dari tadi aku hanya menyibukkan diri dengan menulis surat, mencari amplop, dan menunggu seseorang yang akan membawa suratku. Aku hanya menggeleng. "Nanti saja, Bu. Dia belum datang," lemah sekali suaraku terdengar. Serak dan tertekan amat berat. Sebenarnya, badanku sudah menggigil sejak tadi akibat menangis. Karena itu membuat diriku lemah dan lunglai, seperti ibu-ibu yang kematian suami. Mulai sejak salat Isya sampai pukul 11, kata ibu, aku hanya menyibukkan diri menulis surat. Dan, setiap kata-kata yang kutulis selalu mengeluarkan air mata. Asin! Memang, terlalu lama aku menangis. Lagian, sekarang bukanlah saatnya bagiku untuk menangis karena sekarang kan anak sekolah libur dan baru saja kemarin penerimaan rapornya. Oh, ya! Kemarin aku dapat peringkat dua. Tapi bagiku lain, hal itu tidak menggembirakan. "Dia? Siapa maksudmu, Put?" tanya Ibu sembari mengambil surat yang kutulis sejak tadi. "Ibu Andhini, Bu," jawabku tanpa mengedipkan mata sedikit pun padanya. "Ibu Andhini? Bukankah...." "Iya, ia memang sudah meninggal dua hari yang lalu," jawabku sambil menyerobot. "Karena itulah, aku menunggunya," ulangku. Ibuku terkejut mendengar kata-kataku. Air-air garam yang tersisa kini perlahan muncul. Jatuh satu per satu. Tangannya menutup mulut dan dadanya. "Mengapa kau begini, Put? Kenapa kau jadi sampai begini, Nak?" tanya ibuku prihatin. Tentu saja aku tidak gila. Malah, tambah waras. Buktinya, tadi aku bisa menulis surat. Itu tandanya aku waras, kan? Kalau orang gila, kan tidak bisa menulis surat. He..he...he.. itu kan menurutku. Memang, sih, yang aku nantikan itu adalah orang yang sudah meninggal. Karena aku memang harus menunggunya. Dulu, saking dekatnya aku sama Bu Andhini, sampai-sampai dia bilang, "Nanti, kalau Ibu sudah menghadap-Nya, Ibu akan menengok Putri dan Putri harus membuat unek-unek tentang Ibu."

Aku hanya diam mendengar penuturannya. Bagiku, kata- kata menghadap-Nya adalah tanda-tanda orang akan meninggal. Dan ternyata benar. Tiga hari setelah itu, ia menghadap-Nya. Wah, ada nggak, nih, yang mau menjuluki aku Mbah Dukun. He..he..he.. Makanya sekarang aku sibuk- sibuk membuat surat kepadanya supaya dia nanti tidak marah kepadaku.

"Putri, apakah kau sadar dengan apa yang kauucapkan barusan?" ulangnya.

"Putri sadar dan Putri juga tidak gila, Bu. Putri yakin, sebentar lagi Bu Andhini pasti datang. Oh ya, salam teman- teman dan orang-orang yang mencintainya, termasuk ibu, sudah Putri tulis, kok, Bu. Pasti Bu Andhini senang nanti. Ibu nggak usah takut. Percaya, deh, sama Putri, Bu Andhini pasti datang."

Muka ibu yang sedari tadi masam, merah, dan tepatnya dikatakan gado-gado, kini berubah menjadi pucat pasi. Entah takut, entah khawatir dengan keadaanku. Dan wajar saja kalau ibu khawatir terhadap keadaanku. Ini bukannya masalah apa- apa, sih. Soalnya, kemarin ibu diejek oleh tetangga, bahwa ibu punya anak yang tidak waras. Langsung saja aku keluar dan langsung saja kutampar tetanggaku. Akan tetapi, benar- benar yakinlah tetanggaku kalau aku ini gila. Bukannya membalas.

Sebenarnya tetanggaku itu masih ada hubungan darah dengan ibu Andhini. Dia itu adiknya Bu Andhini, lho. Dia itu mirip sekali dengan Bu Andhini. Cuma bedanya adalah Bu Andhini pakai jilbab, sedangkan dia itu tidak. Kata orang, Bu Andhini dengan adiknya itu berbeda ayah. Ayah adiknya itu Cina, lho. Mungkin karena itulah ia tak pakai jilbab. Kemarin, maksudnya dua hari yang lalu, tepatnya sejak kematian Bu Andhini, dia bertengkar hebat, lho dengan Bu Andhini. Aku saja, yang baru pulang sehabis menerima rapor dan mau ke rumah Bu Andhini, melengking dibuatnya. Sebenarnya tujuanku ke sana adalah mau memprotes masalah nilai. Habis, nilai bahasa Indonesiaku dapat angka 6. Padahal, pada penerimaan rapor sebelumnya aku tetap nilai di atas. Sembilan. Hebat, kan? Akan tetapi, karena mendengar Bu Andhini bertengkar dengan adiknya, kuurungkan saja niat tadi. Terus ngumpet di depan pagar Bu Andhini. Mungkin karena itulah, ia tak ke sekolah. Agaknya, dia habis bertengkar dengan adiknya. Kebetulan tidak ada siapa-siapa di sana, hanya mereka berdua. Bu Andhini rebah. Aku, sih, terkejut juga mendengarnya. Ingin rasanya kususul ke dalam rumahnya. Akan tetapi, setelah mendengar pertengkaran mereka, kuurungkan lagi niatku. Kulihat secara berangsur- angsur orang-orang juga berlarian ke sana. Tanpa pikir panjang aku pun lari ke sana.

Bukan main terkejut jantungku melihat Bu Andhini waktu itu. Bu Andhini meninggal. Histeris, kan? Apalagi protesanku belum kesampaian. kutulis

"Kresek, kresek," terdengar suara amplop yang tadi dibuka ibu. Aku hanya diam. Bagiku, kalaupun sean- dainya dibaca ibu, itu tidak masalah. Asalkan Bu Andhini belum datang. Ternyata dugaanku benar. Ibu membacanya keras-keras. Mungkin karena sejak tadi aku hanya diam. Akan tetapi, kali ini ibu, kok, tidak nangis lagi. Kepingin bersifat tegar, kali!

"Maaf, Bu Andhini. Ini bukan laporan, karangan atau tulisan lainnya. Ini cuma tagihan janji yang pernah kita buat dulu. Maaf, kalau akhirnya aku harus mengeluarkan unek- unek yang ibu minta.”

Menemui, anggota korban keganasan Adik Kandung. Bu Andhini favorit... Sesuai dengan kriteria surat yang ibu ajarkan, awal surat

harus memakai salam. Alhamdulillah, sekarang masih diterapkan, kok, Bu.

Assalammualaikum, Apa kabar, Bu? Apakah masih ceria seperti yang dulu? Masih ngajar? Tentu, dong, iya kan, Bu? Oh ya, apakah ibu masih ingat dengan tulisan ini? Kalau ingat siapa, dong? Eh, nanya mulu dari tadi. Bongkar saja ya, pertanyaannya. Ini Putri, Bu. Ibu ingat, kan? Sampai Putri menulis surat ini, Putri baik-baik saja, Bu! Dan, Putri juga yakin melalui doa yang Putri panjatkan setiap habis salat. Ibu, Putri masih cantik seperti yang dulu. Atau mungkin tambah cantik? Mungkin juga manis. Manis gula kali, ya. Bu (he..he..) harum, enak, gurih, dan nikmat. Oh, ya bahagian surat yang penting, isi kan, Bu? Jangan khawatir. Putri tulis, kok, Bu. Begini, sebenarnya Putri pengen banget ketemu dengan ibu sesudah menerima rapor dua hari yang lalu. Tapi, sayang ibunya nggak ada. Yah, terpaksa Putri pergi ke rumah Ibu. Tapi, sayang juga, Ibu malah ada urusan dengan adik ibu. Bu, waktu Putri hendak pergi ke pekarangan Ibu, Putri mendengar suara Ibu meleeengkiiiiing sekali...

Kayaknya Ibu habis bertengkar, tuh, dengan adik ibu. Ada apa sih, Bu? Maaf, kalau Putri mencampuri urusan Ibu. Tapi, sekarang yang bermasalah bagi Putri bukan itu. Tapi, kok, Ibu tidak datang waktu penerimaan rapor Putri. Kan Ibu juga wali kelas Putri. Berhubung Ibu tidak datang, tugas bagiin rapornya digantiin Pak Kusno, nggak pa-pa, kan, Bu?

Kemarin, Bu, Putri harus menampar adik ibu. Siapa, tuh, namanya? Maaf, kalau ini harus Putri lakukan. Tapi, Putri juga kan membalaskan dendam ibu. Walaupun sedikit, sudah lumayan, kan? He..he..he..

Habis, adik ibu itu mengejek ibu Putri. Dia bilang kalau ibu Putri punya anak kurang waras. Yah, Putri tampar aja, Bu. Waktu itu, sih, adik ibu itu malah ketawa dan tambah yakin kalau Putri ini gila. Akan tetapi, Putri berkesimpulan lain. Bahwa menurut Putri, yang gila itu adalah adik ibu. Iya, kan? Masak ditampar orang malah ketawa? Nah, adik ibu yang gila, kan? Oh, ya! Satu lagi bukti Putri yang membuat ibu pergi dari Putri harus nulis surat ini kan, Bu? Tapi, waktu kejadian itu berlangsung, ibu Putri malah menangis, Bu. Bukannya bantuin Putri, tapi malah menangis, cengeng sekali, ya, Bu! Putri aja yang baru kelas III SMU tidak nangis, malah ngelawan. Tapi, ibu Putri yang hampir punya cucu, masih nangis.

Informasi yang perlu juga Putri berikan, yaitu tentang adik ibu. Mungkin sekarang dia sudah berada di balik jeruji besi. Tenang aja...setelah selesai pertempuran dengan Ibu, Putri langsung menelepon polisi. Oh ya! Putri menelepon dengan HP yang Ibu berikan, lho. Sesudah salat Isya tadi, Putri mendengar suara mobil polisi. Terus dilihat dari jendela, ternyata dia ke rumah Ibu. Apa yang terjadi..., ternyata dia membawa adik ibu. Adik ibu kejang-kejang juga, sih! Makanya, Putri yakin kalau dia sekarang ada di balik jeruji besi. Ibu bangga, kan? Sebenarnya, Bu..., yang ingin sekali Putri sampaikan melalui bahagian isi ini adalah tentang pelajaran Putri selama ini dengan Ibu. Bu...Sejak dari kelas satu sampai kelas tertinggi saat ini, Putri belajar bahasanya dengan Ibu. Iya, kan? Sepanjang jalan tersebut tentu ada kesalahan yang Putri buat, baik disengaja maupun tidak disengaja. Ciee..kayak mau perpisahan aja, nih! Memang iya, kan, Bu? Tapi, Ibu harus yakin bahwa jika ada kesalahan yang pernah Putri buat, itu adalah kesalahan yang tidak disengaja.

Kalau tidak salah, sepanjang penerimaan rapor di SMU Tut Wuri, nilai bahasa Putri sembilan terus. Makanya, Putri bangga memiliki guru yang selain hebat mengajar, juga tidak pelit memberi nilai. Nah, yang sangat Putri pertanyakan di sini adalah tentang bahasa Indonesia Putri. Apakah, ini benar-benar penilaian yang sesungguhnya, Bu. Tapi, seandainya Ibu menjawab itu sebenarnya adalah angka 9, Putri maklum, kok, Bu. Mungkin Ibu terganggu oleh pertengkaran Ibu dengan adik ibu sehingga mau menulis angka 9, eh..., berubah menjadi angka 6. Iya, nggak, nih...Ibu salah tulis. Walaupun begitu, Putri yakin, kok... Ibu salah tulis. Buktinya, dari sekian banyak siswa Ibu, Putrilah yang paling banyak mengikuti perlombaan. Itu tandanya Putri berprestasi kan, Bu...Kalau Ibu nggak ingat lagi, nih Putri diktekan. Waktu lomba baca puisi di MAN I, lomba mengarang di Diknas, lomba menyanyi di SMU I, lomba pidato di SMU kita (SMU TUT WURI Solok). Yah, walaupun tak satu pun yang Putri menangkan, Ibu harus bangga, dong......dengan Putri. Kan Putri berbakat juga mengikuti lomba. Nggak seperti teman yang lain...demam panggung, sih...He...he..he..

Oh, ya... tentang unek-unek yang ibu minta, mungkin hanya ini yang dapat Putri tulis. Dan terakhir sebagai paragrafisi yang terakhir, salam ibunda Putri dan orang-orang yang mencintai Ibu, semoga Ibu bahagia di sana.

Nah, sesuai dengan pesan Ibu sewaktu mengajar, paragraf isi lebih dari satu diperbolehkan. Putri sudah terapkan, kan...Bu?

Waduh, masih ada yang ketinggalan, nih, Bu...

"Selamat atas lulusnya Ibu Andhini sebagai Kepala Sekolah SMU TUT WURI Solok."

Nah, gimana, nih, Bu..relain saja, ya, Bu!

Sekian dulu, ya, Bu...


Nanti surat ini nggak dibalas karena banyak banget yang harus dibalas. WasSalaamu alaikum wr. wb.

Putri

Murid setia Bu Audhini

Ibu baru saja melipat surat itu.

"Putri, Ibu mengerti dan mendukung sekali tentang suratmu pada Bu Andhini. Terus...mengapa tidak kautulis juga tentang program beasiswa. Kan, sebenarnya kamu bisa ngedapetin-nya. Putri..., dua lho sebenarnya yang harus kamu gaet tahun ini. Tapi, itu kendalanya kan cuma nilai bahasa. Nilai bahasamu kan cuma enam," kata Ibu seakan-akan berada di pihakku.

"Nggak, ah, Bu... nanti Bu Andhini tersinggung," kataku tanpa mengedipkan mata sedikit pun.

"Oh, ya, Putri apakah kau yakin, surat ini akan dibaca Bu Andhini?" suara Ibu mantap sekali bertanya kali ini. Mungkin dia ingin bertemu juga dengan Bu Andhini.

"Tentu, Bu..." suaraku memastikan Ibu.

"Kalau begitu..., Ibu ingin wudu dulu, nih! Nanti, kalau Bu Andhini datang...Panggilin Ibu, ya!" kata Ibu sambil berlalu menuju pintu.

Lho, tumben Ibu salat Isya kali ini. Biasanya kan sudah Putri suruh berkali-kali..., tetap aja nggak mau. Mungkin..... Ibu ingin siapkan mental yang cukup... He...he...he.. Memangnya, bisa dengan salat, kalau siapkan mental..., bisa dong!? He...he..he..ucapku dalam hati.

Tiba-tiba....

Tang...ting...suara gelas jatuh dari arah dapur. Aku terkejut...mungkin ini pertanda bahwa Bu Andhini sudah datang. Aku bergegas mengambil surat dan langsung menuju ke pintu terus ke suara bunyi tadi. Eh, amplopku ketinggalan, nih. Amplopnya warna krem, lho, sesuai dengan warna kesukaan Bu Andhini.

“Bu Andhini..." aku berlari mengejar Bu Andhini. Melihatku datang....orang yang kusebut Bu Andhini menoleh.

"Ini surat untuk Ibu. Baca sendiri deh, oleh Ibu," kataku dengan senyum paling manis hari ini. Orang itu mengambil suratku. Lalu bergeser ke arah meja kesayanganku. Kebetulan, di sana ada peralatan elektronik kesayanganku juga. Dan mengambil satu buah tv, satu buah magic jar, dan satu buah tape recorder. Setelah itu, ia berlari menuju jendela.

"Bu...Bu Andhini...Bu Andhini... Peralatan elektronik Putri kok dibawa..." Bu Andhini tak menoleh sedikit pun. Tapi, mungkin Bu Andhini butuh itu. Kan, di kampungnya tidak ada. Gelap (he-he-he). Eh, Bu Andhini tadi pakaiannya hitam, lho. Sampai ke ubun-ubunnya hitam semua. Tentunya dari empu kaki, dong! Tapi, kalau tidak salah... waktu mau memberangkatkan Bu Andhini ke peristirahatan terakhirnya, dia pakai baju putih! Tapi, kok, sekarang hitam, ya! Ah, Putri salah lihat kali.

Ibu baru saja keluar dari sumur habis wudu tadi. Terus menghadap padaku, pada jendela, pada elektronik, dan bertanya kepadaku siapa yang datang. Dengan bangga kujawab pertanyaan ibu.

“Bu Andhini, Bu..." kataku spontan. “Maaf, kalau Putri lupa beri tahu Ibu. Habis, Bu Andhini cepat sekali, sih!" kataku masih dengan gaya tadi. Bangga. Ibu hanya cengengesan mendengar penuturanku.

"Kresek, kresek, kresek...," suara bunga di luar membuat Ibu melihatnya.

"Maling...Tolong...Maling...Putri, ini maling.…..Tolong.…...” suara Ibu memecah sunyi.

"Bu, itu Bu Andhini, Bu..." kataku sambil memegang tangan Ibu karena ingin mengejar.

"Hei...magic jar dan lainnya itu, kok, dibawa..."kata ibu sambil menangis.

"Tolong........."

"Bu, mungkin Bu Andhini butuh magic karena di sana tidak ada magic dan dia bawa tv, karena ia ingin menonton... Dia bawa tape recorder...karena butuh hiburan..." Akhirnya, aku pun menjelaskan.

"Ibu meraung sejadi-jadinya melihat Bu Andhini lari...lari...dan lari... sekencang-kencangnya hilang di kegelapan malam.

Ya, Tuhan... sadarkanlah jiwa anakku....

Aku memeluk Ibu. Di dalam kalbunya dia mengucapkan: Semoga Bu Andhini ditangkap polisi dan anakku ternyata memang wkw (wanita kurang waras).

Lho, kok gitu, ya! Tapi... aku tetap bahagia. Surat pertama untuk Bu Andhini telah terkirim. Yess. Dan akan kuusahakan untuk menyusulkan surat berikutnya... berikutnya... dan berikutnya. Ha...ha...ha.…...........