Sultan Thaha Syaifuddin/Bab 6

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
BAB VI
KEADAAN POLITIK KEAMANAN JAMBI SERTA
PERSIAPAN TINDAKAN MILITER


A. KEADAAN POLITIK DAN KEAMANAN

Serangan fihak Belanda terhadap "Istana Tanah Pilih" pada bulan September 1858 yang telah mengakibatkan Sultan Thaha Syaifuddin memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah Huluan (pedalaman) serta pengangkatan Sultan-sultan baru telah menimbulkan keadaan yang tidak menentu di Jambi menurut penilaian pihak Belanda.

Pengangkatan Sultan baru oleh fihak Belanda telah mengakibatkan timbulnya perpecahan di kalangan keluarga Sultan maupun rakyat Jambi. Daerah kesultanan Jambi terbagi menjadi dua Daerah Jambi Hilir diperintah oleh Sultan-sultan yang diangkat fihak Belanda dan daerah Huluan berada di bawah kekuasaan Sultan Thaha Syaifuddin yang telah diturunkan oleh fihak Belanda.

Keadaan ini mula-mula memang dikehendaki oleh fihak Belanda dan dengan demikian seluruh Jambi dapat mereka kuasai dengan jalan mengadu-domba sesama rakyat Jambi sendiri. Akan tetapi kemudian ternyata bahwa pengaruh Sultan Thaha Syaifuddin tidak hanya terbatas di daerah Huluan melainkan juga di daerah Jambi Hilir, sehingga sebagian besar dari rakyat Jambi termasuk beberapa keluarga Sultan yang diangkat fihak Belanda ikut memperlihatkan sikap permusuhan terhadap Belanda.

Tentang luasnya pengaruh Sultan Thaha Syaifuddin dinyatakan fihak Belanda sebagai berikut: adapun wibawa dan pengaruh Sultan Thaha di daerah huluan besar sekali dan tidak terbatas. Karena kepribadian dan wibawanya begitu kuat, maka juga di seluruh daerah Jambi pengaruhnya sangat dirasakan, sehingga Sultan yang diangkat oleh Gubernemen digelari rakyat "Sultan Baring" (Sultan Tidur). Sedangkan Thaha tetap diakui sebagai Sultan dengan "Redho Allah" (bij de Gratie Gods) dan Pangeran Ratu Marta Ningrat patuh kepada perintah Thaha (16, p.5 dan 6).

Dari tahun 1859 sampai tahun 1875 Pemerintah Hindia Belanda tidak begitu memperhatikan daerah Jambi. Sultan Ahmad Nazaruddin sendiri tidak begitu memikirkan soal pemerintahan. Karena kerja sama antara Sultan Akhmad Nazaruddin dengan Pangeran Ratu tidak dapat berjalan dengan baik, maka urusan Pemerintahan biasanya diserahkan kepada para pembesar dan kepala-kepala daerah setempat.

Keadaan seperti tersebut di atas menyebabkan sering dijalankannya paksaan dan perampasan hak-hak penduduk oleh kepala-kepala daerahnya sendiri, terutama terhadap orang-orang Kubu. Pembunuhan terhadap orang-orang militer juga sering terjadi di Jambi. Dan pelaku-pelakunya sukar ditangkap karena mereka mendapat perlindungan kepala-kepala daerah yang secara sembunyi-sembunyi memusuhi orang-orang Belanda.

Sikap rakyat dan kepala-kepala daerah yang secara terbuka dan kadang-kadang secara terselubung memusuhi orang-orang Belanda itulah yang mengakibatkan ekspedisi ilmiah yang dilakukan di daerah Jambi pada tahun 1878 menjadi kurang berhasil (16, p. 6).

Sikap tahun 1881 Sultan Akhmad Nazaruddin mangkat dan Pangeran Ratu Marta Ningrat diangkat sebagai penggantinya dengan gelar Sultan Mahilluddin. Sebagai Pangeran Ratu diangkat saudara sepupu Sultan Thaha Syaifuddin yang bernama Pangeran Suroro. Akibatnya banyak pengikut Sultan Thaha di Jambi yang ikut serta memegang urusan pemerintahan.

Residen Laging Tobias tidak kecewa dengan ikut sertanya pengikut-pengikut Sultan Thaha Syaifuddin dalam pemerintahan itu. Ia bahkan mengharapkan agar dengan jalan ini lebih banyak dapat mengadakan hubungan dengan mereka. Dari tahun 1881 sampai tahun 1884 Pemerintah Hindia Belanda tetap mengusahakan agar Sultan Thaha Syaifuddin bersedia menyerahkan diri dengan menawarkan syarat-syarat yang mereka anggap baik untuknya, yaitu:

  1. Memberikan tunjangan F. 500,- (lima ragus gulden) tiap-tiap bulan.
  2. Memberikan pengakuan sebagai pembesar pemerintah, dan
  3. Memberikan apanage (16, p. 6).

Tawaran Pemerintah Hindia Belanda itu lama sekali tidak dihiraukan oleh Sultan Thaha yang telah bertekad untuk mengusir orang-orang Belanda dari negerinya.

Sejak Sultan Mahiluddin mangkat pada bulan April 1885 mulailah timbul bermacam-macam tindakan bermusuhan terhadap Belanda. Pada tanggal 23 Mei 1885 terjadi pengamukan di gedung pertemuan Jambi yang menelan korban dua orang opsir Belanda dan seorang jurutulis. Pada bulan Agustus tahun itu juga benteng Belanda di Jambi mendapat serangan dari rakyat yang dipimpin oleh Raden Anom dan Pangeran Kusin. Serangan terhadap pos-pos Belanda yang diperkuat terjadi terus-menerus sampai akhir bulan Desember. Tindakan pemusuhan terhadap Belanda itu terjadi di mana-mana, pos penjagaan Belanda di Sabak dan Simpang dihancurkan oleh rakyat (16, p. 6).

Pada tahun 1886 keadaan daerah Jambi menjadi agak tenang. Pada tahun itu Pangeran Ratu ditetapkan sebagai Sultan dengan gelar Sultan Ratu Akhmad Zainudin dan satu-satunya anak laki-laki Sultan Thaha Syaifuddin kelahiran dari Permaisuri diangkat menjadi Pangeran Ratu. Tetapi karena usia Pangeran Ratu ini baru tiga tahun maka diangkatlah dua orang pembesar untuk bertindak sebagai walinya.

Pada tahun 1888 Sultan Ratu Akhmad Zainuddin terpaksa harus menandatangani kontrak perjanjian baru dengan fihak Belanda yang memuat ketentuan sebagai berikut:

  1. Sultan membolehkan fihak Belanda memperluas daerah sekeliling kedudukan mereka di Jambi dan Muara Sabak.
  2. Pihak Belanda (Gubernemen) pada sembarang waktu diberi hak memperluas tempat-tempat pendudukannya atau membuat yang baru dengan membayar ganti rugi yang pantas.
  3. Sultan berjanji akan bertempat tinggal di Tanjung, Muara Katalo atau tempat lain dan akan selalu menempatkan wakilnya, yaitu Pangeran Ratu atau para pembesar bawahannya di Pacinan yang terletak berhadapan dengan tempat kedudukan Gubernemen yang utama, yaitu Jambi.
  4. Pangeran Ratu atau para pembesar yang ditunjuk untuk mewakili Sultan itu tidak boleh meninggalkan Pecinan tanpa berunding dan persetujuan pembesar yang mewakili Gubernemen di tempat itu.
  1. Sultan berjanji, sekali dalam tiga bulan akan datang ke Pacinan untuk membicarakan kepentingan kerajaan atau kalau ada panggilan yang penting (16, p. 7).

Sultan Thaha Syaifuddin yang tampaknya tidak merasa terancam dengan peraturan-peraturan tersebut di atas pada tahun 1888 itu telah menyerahkan keris "Si Ginjai" yang tidak pernah lepas dari dirinya sejak tahun 1858 kepada Sultan yang baru sebagai pinjaman.

Sementara itu Pangeran Diponegoro yang tidak menerima apapun dari ganti rugi Gubernemen pada tahun 1888 mendirikan kantor bea cukai di Muara Sungai Tembesi yang merugikan fihak Belanda. Kantor ini kemudian ditutup setelah terjadi keributan.

Pada tahun 1890 keadaan Jambi mulai panas kembali. Sultan Akhmad Zainuddin kurang mematuhi kontraknya dengan Gubernemen. Pangeran Ratu pun tidak pernah datang menemui wakil Gubernemen di Jambi. Pada bulan Februari 1890 kedudukan Belanda di Sorolangun Rawas mendapat serangan. Di Muara Tembesi dan Muara Sekamis diadakan pungutan oleh Diponegoro dan Pangeran Kusin yang merugikan fihak Belanda. Pada tahun 1893 ia bersama-sama dengan Pangeran Kusin juga mengadakan pungutan di Sungai Rawas.

Pada tahun 1894 dengan izin Sultan Thaha Syaifuddin diadakanlah pertemuan pertama antara Pangeran Ratu dengan wakil Pemerintah Belanda urusan politik, Roodt Van Oldenbernevelt di kediaman Sultan di Muara Katalo. Sultan Thaha dan Pangeran Diponegoro mengikuti jalannya pertemuan itu dari kamar sebelahnya.

Pertemuan tersebut ternyata tidak dapat menjernihkan suasana. Pada malam tanggal 6 menjelang tanggal 7 April 1895 ada sejumlah senapan yang dicuri dari khasanah prajurit Belanda di Jambi, dan pada malam berikutnya terjadi percobaan pembunuhan terhadap komandan pasukan dan wakil urusan politik pemerintah Belanda yang mengakibatkan kedua pejabat itu menderita luka. Pelaku penyerangan tertembak oleh Belanda, tetapi dalangnya Raden Anom terlepas dari penangkapan fihak Belanda. Gangguan keamanan dan pungutan-pungutan yang merugikan fihak Belanda terus terjadi di kota Jambi dan daerah-daerah lainnya (16, p.7 dan 8).

Situasi politik dan keamanan di daerah Jambi seperti yang telah diuraikan di muka, telah digambarkan oleh komandan militer Belanda di Palembang dalam laporannya sebagai berikut: "Jambi dengan Sultan yang sudah berumur 80 tahun dan sudah lemah dengan Putera Mahkotanya yang masih muda sekali di bawah asuhan dua orang pembesar yang juga lemah, tidak mempunyai keberanian dan mudah dipengaruhi oleh Thaha dan kakaknya, yaitu Diponegoro. Dengan orang-orang semacam itu keadaan bisa diharapkan menjadi baik? Di daerah itu terjadi perpecahan-perpecahan dan pungutan-pungutan liar oleh anak-anak raja, hukuman tidak berlaku sebagaimana mestinya, sehingga tidak mungkin rakyat dapat mencapai kemakmuran dan kemajuan. Keadaan tak menentu ini oleh orang-orang yang berwenang justru digalakkan, hingga Sultan yang telah tua itu dalam bulan Agustus mengajukan permohonan Pensiun, yang oleh pemerintah dikabulkan pada bulan Desember. Kepada Sultan diberikan tunjangan pensiun 4.000 gulden setahun. Kiranya waktunya sudah tiba untuk menghentikan/menghilangkan segala keadaan yang meresahkan dan yang tidak heres dengan bertindak keras untuk menormalkan kembali keadaan. Untuk pengangkatan Pangeran Ratu, pemerintah hendaknya, menetapkan syarat, bahwa Thaha dan Diponegoro harus menyerahkan diri (6, p. 8).

Sementara itu Pangeran Diponegoro menuntut agar anak laki-laki Sultan Thaha Syaifuddin diangkat sebagai Sultan. Tuntutan ini mendapat tanggapan baik dari pembesar-pembesar kerajaan, akan tetapi Sultan Thaha yang mengetahui bahwa pilihan itu tidak tepat, menerangkan bahwa anaknya itu memang tidak mampu untuk diangkat menjadi Sultan, karena itu selanjutnya Sultan Thaha tidak menghendaki lagi jabatan itu untuk anaknya.

Pemilihan Sultan baru menjadi tidak lancar, sehingga keadaan bertambah kacau. Dengan dalih untuk menghilangkan kekacauan demi kepentingan rakyat Jambi pemerintah Belanda terpaksa akan bertindak. Apa dan bagaimana tindakan yang akan dilakukan pemerintah Belanda itu dapat dibaca dalam laporan tertulis Residen pada bulan Desember 1899 sebagai berikut:

"Kita tidak dapat berbuat apa-apa. Semua tuntutan penyerahan atas orang-orang hukuman kerjapaksa yang melarikan diri dari orang-orang yang dicurigai melakukan kejahatan dari Palembang, dan juga anak-anak buah Sultan yang dipersalahkan melakukan kejahatan terhadap Gubernemen ternyata tidak menghasilkan apa-apa, bahkan kepada orang-orang hukuman yang melarikan diri itu diberikan tugas sebagai pengawal kehormatan dan dianugrahi gelar kehormatan. Desakan-desakan yang sungguh-sungguh agar dihentikan pungutan liar yang tidak syah dan penahanan atas barang-barang dagangan untuk hutang orang lain yang disebut ambat stelsel sama sekali tidak dihiraukan.

Selama setengah tahun tidak ada satu pun pangeran yang telah dipanggil berulang-ulang datang menghadap. Selama dua setengah tahun bertugas sebagai residen di daerah ini Pangeran Ratu tidak merasa perlu merendahkan diri menemui saya.

Baik para Regen, Pangeran Ratu, maupun para pembesar pemerintahan lainnya, tidak mempunyai pengaruh sedikitpun; mereka semua takut kepada Thaha.

Kesimpulannya ialah bahwa di daerah ini tidak ada pemerintahan dan akibat buruknya sangat terasa. Afdeling-Afdeling Karesidenan Palembang yang berbatasan dengan Jambi sering mengalami kejadian-kejadian pelanggaran dan kejahatan yang para pelakunya tidak dapat dihukum, karena mereka segera menyeberangi perbatasan dengan keyakinan akan diterima dengan tangan terbuka oleh penguasa Jambi. Di sana penjahat-penjahat pelarian itu diterima menjadi pesuruh raja dan dipergunakan untuk memeras dan menghisap penduduk.

Dari berita yang masuk, diketahui bahwa Thaha ingin menghindarkan penyerahan diri dan bahkan ingin mengorbankan pangkat kesultanan bagi anak laki-lakinya, tetapi ia tetap berusaha mempengaruhi jalannya Pemerintahan di daerah ini.

Di mana-mana terjadi perpecahan di antara para bangsawan, keluarga raja, sehingga tidak mungkin akan tercapai persesuaian pendapat tentang pemilihan Sultan yang baru. Rakyat dan pemimpin-pemimpinnya menunggu dengan tenang apa yang akan terjadi, tetapi masing-masing mengharapkan agar ada pemerintahan yang kuat dan adil.

Saya sendiri yakin, bahwa rakyat sebenarnya sudah jemu dan ingin menggabungkan diri kepada gubernemen, kalaulah kita bertindak tegas dan melindungi mereka.

Kini rakyat sudah salah anggapan, kelemahan kita menghadapi Sultan dianggapnya tidak mungkin kita dapat melindungi mereka. Sejak semula saya telah yakin, bahwa Thaha adalah penyebab utama keadaan itu, sehingga perlu cepat ditentukan, apakah Thaha perlu dipaksa berkerja sama dengan kita pengaruhnya dimanfaatkan untuk usaha kita memajukan daerah Jambi atau membinasakannya. Kalau temyata Thaha menolak tawaran kita maka Gubernemen perlu mengambil tindakan tegas. Untuk ini ada dua cara yang bisa dijalankan:

  1. Mengejar terus Thaha dan seluruh pengikutnya dengan pengiriman expedisi dengan perlengkapan secukupnya.
  2. Membuat kedudukan di daerah huluan dan dengan membantu pemerintahan Sultan yang Syah, diusahakan menghapuskan pengaruh Thaha (16, p.9 dan 10).

Demikianlah antara lain isi laporan tertulis residen Palembang pada tahun 1889 yang telah menggambarkan keadaan daerah Jambi menurut kaca matanya dan mengusulkan kepada pemerintah Hindia Belanda agar secepatnya mengambil tindakan tegas terhadap Sultan Thaha Syaifuddin yang dianggapnya sebagai penyebab timbulnya keadaan yang tidak mereka inginkan itu.

Usul residen untuk cepat bertindak itu pada prinsipnya disetujui oleh Gubemur Jendral Rooseboom dan pimpinan militer dan komandan-komandan militer memutuskan untuk mempelajarinya. Meskipun demikian tetap diusahakan untuk menjernihkan keadaan Jambi tanpa menumpahkan darah. Pemerintah Hindia Belanda akan senang kalau dalam waktu singkat dapat dicari seorang Sultan yang sanggup mengusahakan perbaikan keadaan.

Dalam hubungan ini anak-anak almarhum Sultan Mahilludin yaitu kakak beradik, Pangeran Adipati dan Pangeran Prabu, dianggap dapat memenuhi syarat-syarat yang diharapkan pemerintah Belanda yang pertama dengan kepribadian yang baik, tetapi suka hidup menyendiri dan kurang mempunyai hubungan dengan pemerintah Belanda yang kedua juga merupakan calon yang tepat dan tidak memusuhi pemerintah Belanda. Keduanya populer di kalangan pembesar Jambi.

Sudah barang tentu bahwa Sultan Thaha Syaifuddin lebih menyukai Adipati dari pada Prabu, karena Prabu tidak memusuhi pemerintah Belanda. Pada bulan-bulan permulaan tahun 1900 belun diadakan pemilihan Sultan, karena adanya tantangan dari Sultan yang sudah pensiun yang memberi tahu bahwa ia kurang senang atas dipensiunkan dirinya, karena hal ini dianggap bertentangan dengan adat yang tidak membenarkan pengangkatan orang lain sebagai Sultan, kalau Sultan yang ada masih hidup.

Sementara itu terjadilah pengusiran oleh sebagian besar penduduk Tembesi Ulu terhadap pimpinan mereka, Raden Thaha yaitu kakak Adipati dan Prabu, karena penyelewengan yang dilakukannya. Pemberontakan rakyat terhadap pimpinannya ini dengan diam-diam dibantu oleh Puspo Ali, Kepala daerah Marangin yang mengharap dapat memancing di air keruh untuk keuntungan dirinya.

Semula Sultan Thaha Syaifuddin dan Pangeran Diponegoro mencoba untuk menguasai keadaan, tetapi akhirya mereka cemas juga, kalau-kalau perlawanan rakyat itu meluas. Untuk menghindarkan hal yang tidak diinginkan itu, pemilihan Sultan baru, dianggap jalan yang terbaik. Untuk ini diadakanlah suatu rapat di mana Sultan Thaha Syaifuddin menentukan pilihannya, yaitu Adipati, sehingga Adipati terpilih sebagai Sultan. Berita tentang terpilihnya Adipati itu disampaikan kepada wakil politik pemerintah Belanda oleh suatu perutusan yang terdiri dari Pangeran Kusin, menantu Sultan Thaha yang sangat memusuhi Belanda dan anak-anak laki-laki Sultan yang sudah pensiun (16, p. 10).

Baik terpilihnya pangeran Adipati yang terkenal memiliki kepribadian baik, maupun susunan anggota perutusan tersebut dianggap oleh wakil politik pemerintah Belanda itu sebagai alasan untuk menilai bahwa keadaan pada waktu itu (permulaan Nopember 1900) sangat membesarkan hati dan mengandung harapan bahwa dalam waktu singkat dapat diadakan pertemuan dengan Sultan Thaha Syaifuddin dan Pangeran Diponegoro, sehingga timbullah harapan penyelesaian secara damai yang mempunyai dasar kuat.

Dengan penuh harapan Wakil Politik Pemerintah ditemani oleh Adviseur voor Inlandse Zaken (Penasehat Urusan Pribumi) yang terkanal, yaitu Dr. Snouck Hurgronje datang ke Jambi untuk mempelajari persoalan Jambi dan memberikan penerangan tentang sikap pemerintahan. Dr. Snouck Hurgronje pergi ke daerah uluan Jambi dengan maksud dapat menemui Sultan Thaha Syaifuddin dan Pangeran Diponegoro. Di daerah itu ia mendapat sambutan baik dari pembesar-pembesar setempat, namun maksudnya untuk bertemu dengan Sultan Thaha Syaifuddin dan Pangeran Diponegoro tidak terlaksana. Kekecewaan Dr. Snouch Hurgronje bertambah ketika mendengar berita bahwa Adipati menolak untuk menjadi Sultan. Pada tanggal 29 Nopember 1900 Pangeran Prabu dicalonkan sebagai Sultan dan langsung dipilih dalam suatu rapat pemimpin-pemimpin yang tidak lengkap. Atas pemilihan terhadap dirinya itu, Pangeran Prabu memberitahukan kepada pemerintah, bahwa ia hanya mau menjadi Sultan, kalau semua pembesar memberikan persetujuannya, juga pemerintah Hindia Belanda.

Akhirnya Residen Palembang Van Rijn Van Alkemade mengambil tindakan yang menentukan. Dalam suratnya kepada Susuhunan (Sultan Jambi yang sudah pensiun) ia menerangkan bahwa pemerintah hanya mau mengakui Sultan yang baru, kalau dalam rapat para pembesar yang harus dihadiri juga oleh Sultan Thaha dan Diponegoro dinyatakan bahwa Pangeran Prabulah yang diinginkan menjadi Sultan. Dalam rapat itu juga harus diadakan musyawarah para pembesar untuk menertibkan keadaan Jambi.

Residen menetapkan bahwa rapat pembesar-pembesar Jambi tersebut akan diadakan pada akhir bulan Puasa, tanggal 6 Pebruari 1901: Ia menetapkan pula: bahwa selama Jambi belum mempunyai Sultan, kekuasaan di daerah tersebut berada di tangan residen (10 Desember 1900) dan bahwa sejak itu pemerintahan Jambi akan langsung ditanganinya (16, p. 11).

Selanjutnya Residen Van Rijn Alkemade menyatakan bahwa kalau kehendak pemerintah seperti tersebut di atas tidak dipenuhi, maka tindakan tegas akan segera dijalankan dengan bantuan kekuatan militer.

Demikianlah situasi politik dan keamanan daerah Jambi sejak Belanda menurunkan Sultan Thaha Syaifuddin dan menyerbu "Istana Tanah Pilih" pada tahun 1858 sampai tahun 1900.


B. PERSIAPAN TINDAKAN MILITER

Mengenai bagaimana melaksanakan cara militer kalau keadaan telah memaksa ada beberapa pendapat:

1. Residen Pruys Van der Hoeven

Pada tahun 1879 Residen ini telah mengusulkan penduduk daerah uluan Jambi, antara lain: penempatan ambtenar-ambtenar di Muara Tabir dan Muara Ketalo yang dilindungi Polisi Dinar. Tetapi usul ini tidak mendapat sokongan. Pada waktu itu ada pendapat, apakah penempatan militer di Muara Tabir dapat dipertimbangkan? Penempatan seperti itu pada prinsipnya memang telah diterima Pemerintah, namun tidak dapat dijalankan, karena adanya nasehat bersama komandan-komandan militer dan angkatan laut.

2. Letnan Kolonel C.A.F.F.R.J. Romswinkel

Pada tahun 1880 pemerintah memberikan tugas kepada Let. Kol, Romswinkel, komandan militer di Palembang untuk mengemukakan pandangannya tentang kemungkinan tindakan terhadap Jambi. Dalam laporannya yang panjang lebar, perwira menengah ini memberikan kesimpulan sebagai berikut:

  1. Untuk selamanya Pemerintah Belanda harus menguasai daerah itu dan tidak boleh menyerah kalah terhadap raja yang sudah disingkirkan serta membantu menegakkan pemerintah Sultan dengan keharusan membantunya dengan pengorbanan dan pengeluaran anggaran yang besar
  2. Untuk tujuan itu selain tindakan-tindakan biasa, sebagai langkah pertama kita (pemerintah) harus menutup mengalirnya senjata, garam dan Iain-lain, menempatkan pos-pos militer dengan kekuatan satu kompi yang dipersenjatai dengan dua meriam dan dua moritir.
  1. Di Muara Sungai Tembesi.
  2. Di Muara Sungai Tabir dan
  3. Di Muara Sungai Tebo.
Kecuali itu perlu penempatan ambtenar dan sarana perhubungan untuk menjamin lancarnya komunikasi yang baik antara pos-pos itu dengan pusat pemerintahan di Jambi dengan kapal-kapal sungai.
c. Kalau dalam melaksanakan rencana ini ditemui perlawanan, akan diadakan juga pendudukan di Pemahat di Muara Sungai Maringin dan di Soro Langun Jambi, ditambah dengan penempatan dua kompi yang diperlengkapi dengan satu seksi artileri pegunungan di dusun Tiga. Selain itu akan ditempatkan juga pos-pos militer di Simalidu (Hulu sungai Batang Hari). Pos-pos ini akan bersikap pasip, sebab tugas utamanya adalah menutup keluar masuknya candu, garam dan hasil-hasil lainnya dengan bantuan marine untuk memaksa penduduk menyerah.
d. Untuk pengamanan pendirian pos-pos diperlukan satu batalion infanteri dan empat seksi artileri pegunungan.
e. Kalau langkah-langkah tersebut tidak berhasil, akan dilakukan ofensi :
1). Di sepanjang sungai Tebo dengan dua batalion infanteri dan satu battery artileri pegunungan.
2). Di sepanjang Sungai Maringin dengan satu batalion dan satu artileri pegunungan.

 Dengan keadaan genting, dianggap perlu mengerahkan enam batalion dengan lima seksi artileri pegunungan, satu kompi pasukan zeni, dua belas meriam 9 cm M.Y. dan dua belas mortir (16, p. 12).


3. Letnan Kolonel W.G.A.C. Christan

Pada tahun 1900 kepada Let. Kol. Christan, komandan militer Belanda di Palembang pada waktu itu, juga diminta pendapatnya. Let. Kol. Chritan menentang diadakannya perang penaklukan dan meletakkan daerah Jambi langsung di bawah kekuasaan pemerintah Belanda. Ia berpendapat bahwa hal itu akan menjadi beban material dan finansial yang melampaui kemampuan pemerintah dan hanya mengakibatkan perang Aceh kedua.

Kebalikan dari itu, ia berpendapat bahwa tindakan pemerintah harus tidak lebih dari mengadakan intervensi (campur tangan) yaitu benar-benar membantu pemerintah Sultan dengan perbuatan sehingga Sultan dapat menertibkan dan memakmurkan Jambi dan dapat bertahan terhadap Sultan Thaha Syaifuddin dan pengikut-pengikutnya.

Karena pemerintah tidak dapat membantu Sultan secara efektif dari tempat kedudukannya di Jambi, maka ia menganjurkan untuk menduduki Muara Tembesi. Menurut Let. Kol Christan, Muara Tembesi merupakan kunci daerah huluan, karena merupakan titik tertinggi pada Sungai Batanghari, sehingga merupakan lalu lintas sebagian besar barang yang keluar masuk di daerah ini. Muara Tembesi hanya bisa dicapai melalui Sungai Batanghari dengan kendaraan air.

Karena di sepanjang tepi sungai Batanghari itu tidak terdapat jalan kecuali beberapa jalan kecil di sana-sini, dan apabila terjadi pasang naik digenangi air sampai ribuan meter masuk ke dataran serta kemungkinan dipasangnya rintangan-rintangan oleh fihak musuh seperti kejadian dalam peperangan di Paelmbang pada tahun 1820, maka keamanan lalu lintas di sepanjang sungai itu sangat diragukan. Karena hal-hal tersebut maka pos-pos kecil di pedalaman tidak perlu diadakan. Sebagai gantinya kedudukan pemerintah di Muara Tembesi perlu diperkuat dengan penempatkan secara tetap kompi militer dengan dua batalion infanteri yang mobil, dua seksi dengan meriam pegunungan 7 cm dan dua seksi pasukan Zeni.

Kalau tempat ini sudah diduduki perlu segera dibuat jalan darat dari Jambi ke Muara Tembesi, hingga hubungan melalui sungai dapat dihapuskan. Selanjutnya diadakan pengawasan dan pemanggilan terhadap kepala-kepala kampung dan kepala-kepala daerah, yang diperlukan untuk menangani keadaan selanjutnya. Kalau jalan darat Muara Tembesi Surulangun selesai, maka harus dibuat juga jalan ke Tungkal dan ke Surulangun Rawas melalui Muara Sekamis. Serentak dengan penduduk Muara Tembesi harus ditempatkan satu kompi militer di Surulangun Rawas dan untuk melindungi instalasi minyak di Bayung Lincir diperlukan 50 orang pasukan.

Selanjutnya perlu disiapkan pasukan cadangan di Jawa dengan kekuatan satu batalyon infanteri, satu seksi alteleri pegunungan, satu seksi pasukan zeni dan kapal-kapal hekwi ler "Tamiang" (kapal yang bergerak dengan kekuatan roda besar disamping) dan kapal api milik Pemerintah "S.S. Barito" yang mengawasi transpor sungai dan menjamin terus terbukanya komunikasi melalui sungai, di samping kapal-kapal marine yang menguasai daerah pantai dan daerah hilir sungai Jambi.

Let Kol. Christan menambahkan bahwa sewaktu-waktu rakyat di daerah perbatasan dengan daerah pemerintah di Huluan Tembesi mengadakan pemberontakan melawan kepala-kepala mereka dan ingin menggabungkan diri dengan pemerintah, ia sebagai komandan militer bermaksud akan mengadakan basis operasi di Rawas dan dari sana bergerak maju ke pedalaman. Tetapi pimpinan militer di pusat tidak menyetujuinya, merekahanya menyetujui penambahan satu batalyon yang akan ditempatkan di ibukota Jambi dan pembuatan segera lima buah kapal hekwieler tipe Tamian yang dipersenjatai, guna menjamin hubungan sungai yang lebih teratur (16, p. 13 dan 14).

Setelah mendengar pandangan dari tokoh-tokoh tersebut di atas Gubernur Jendral menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman di Aceh tahun 1896 pemerintah tidak perlu merasa berat mengadakan aksi terhadap Jambi karena:

  1. Adanya perubahan pandangan akan kemampuan perlawanan musuh.
  2. Adanya perbaikan persenjataan pihak pemerintah sejak tahun 1881 dan pengalaman militer yang bertambah.
  3. Adanya perubahan pendapat dari penggunaan penggerakan militer kecil (patroli) yang terus menerus menggempur musuh, di samping berusaha sedapat mungkin bertindak secara perikemanusiaan untuk menarik hati rakyat dengan pengerahan expedisi militer yang besar guna mematahkan perlawanan musuh dalam waktu singkat.

Kemudian Gubernur Jendral mempertimbangkan untuk segera memulai pembuatan jalan ke Muara Tembesi, guna menghindarkan penggunaan lalu lintas sungai yang mengandung banyak bahaya itu.(16, p. 14).

Pada akhirnya semua rencana dan usul-usul dari tokoh-tokoh yang telah diuraikan di muka tidak dilaksanakan oleh Gubernur Jendral. Gubernur Jendral hanya menyetujui usul residen Van Rijn Van Alkemade agar komandan militer dan pimpinan angkatan darat diikut sertakan. Sebagai langkah pertama usul itu menghendaki, pendudukan Muara Tembesi dengan 200 orang pasukan dan mendesak pimpinan angkatan darat untuk memenuhi usul ini. Adapun usul residen kepada pemerintah itu yang terpenting adalah sebagai berikut :

Sesuai dengan apa yang telah dilaporkan kepada pemerintah bahwa pada tanggal 6 Februari 1901 para pembesar akan dipanggil oleh residen ke Jambi untuk mengatur persoalan Jambi secara definitif, seperti yang telah dikemukakan di muka. Reisden menjelaskan bahwa cara yang akan ditempuh dalam menjalankan pemerintahan di Jambi tergantung dari sikap pemimpin-pemimpin Jambi yang ada hubungannya dengan pemerintah. Hubungan itu harus dicari dengan para pembesar yang ditugaskan Sultan mengurus pemerintah daerah yang ada mempunyai sikap bebas terhadap Sultan, terutama dengan keturunan raja-raja yang terdahulu sebagai pewaris apanage yang mengatur daerahnya sendiri. Sebagian besar dari mereka telah mempunyai hubungan baik dengan pemerintah. Kalau pemerintah lebih dapat meyakinkan bahwa hak-hak mereka tidak akan dikurangi, dapat diharapkan bahwa mereka tidak akan menentang ketertiban baru yang akan diadakan.

Pemimpin-pemimpin yang lain, apabila melihat pemerintah dengan konsekwen menjalankan kebijaksanaan yang telah digariskannya diharapkan akan mengubah sikap. Mereka akan menginsafi bahwa kebijaksanaan yang dijalankan pemerintah itu adalah untuk kepentingannya juga, sehingga mereka tidak akan menentangnya. Kepada mereka yang tetap membangkang tidak mau mengadakan kontak dengan pemerintah harus diambil tindakan tegas dan kontak dengan pemerintah harus dipaksakan.

Residen Rijn menganggap kedudukan kontrolur dan Pos Belanda di Jambi tidak tepat, karena letaknya terlalu jauh dari daerah huluan sehingga sukar untuk mengadakan hubungan dengan kepala-kepala dan pemimpin pemerintahan di huluan Tembesi dan Batanghari. Ia menyatakan bahwa Muara Tembesi tepat untuk kedudukan kontrolur dengan basis pasukan yang akan bergerak ke daerah pedalaman.

Pendudukan militer di Muara Tembesi menurut. Residen Rijn tidak akan menghalang-halangi soal-soal Jambi diselesaikan secara damai yang tetap akan diusahakan oleh pemerintah. Penduduk daerah itu kecuali untuk alasan-alasan tersebut di atas juga untuk menunjukkan kekuatan guna mengadakan perundingan yang sungguh-sungguh dan apabila perlu kekuatan tersebut dapat dipergunakan juga.

Berdasarkan keadaan pada waktu itu Residen Rijn memperkirakan 200 pasukan cukup untuk penduduk Muara Tembesi. Kekuatan ini menurut pendapatnya tidak hanya mampu untuk melindungi pos-pos, tetapi sebagian juga dapat dipergunakan untuk melindungi ambtenar-ambtenar yang mengadakan perjalanan ke daerah-daerah yang kepalanya tidak bermusuhan dengan pemerintah atau yang rasa permusuhannya tidak berarti, sehingga mudah untuk dikalahkan.

Kunjungan-kunjungan ke daerah-daerah semacam itu perlu, kecuali untuk memelihara hubungan baik, juga dapat dipergunakan untuk mengumpulkan hal-hal yang diperlukan mengenai daerah-daerah yang tebal permusuhannya terhadap pemerintah. Dengan pengetahuan mengenai daerah-daerah tersebut disertai dengan perhitungan tepat, pemerintah dapat mengambil tindakan kekerasan secara besar-besaran terhadap daerah yang ternyata tidak dapat diselesaikan dengan damai.

Selanjutnya Residen Rijn mengingatkan bahwa untuk menilai cara dan jalan apa yang harus ditempuh agar Jambi dapat diatur seperti apa yang dikehendaki, pemerintah tidak boleh lupa bahwa Jambi bukan daerah yang memberontak atau daerah di mana terjadi perlawanan umum terhadap pemerintah. Hal ini penting untuk menghindarkan dilakukan tindakan militer besar-besaran yang menurut residen ini belum dapat dipertanggungjawabkan. (16, p. 15).

Dalam hubungan ini Residen Rijn menyatakan:
"Saya benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi dan apa untungnya kalau dalam keadaan sekarang ini diadakan tindakan bersenjata besar-besaran itu dalam keadaan sekarang ini tidak tepat dan tidak dapat dibenarkan. Benar, saya tidak menutup mata bahwa Thaha dan Pangeran Diponegoro dan mungkin pembesar-pembesar Jambi lainnya akan menghasut kepala-kepala daerah dan penduduknya, akan tetapi lepas dari berhasil atau tidaknya usaha mereka, maka perlawanan seperti itu dalam waktu singkat tidak akan membuat kita kehilangan akal. Kalau untuk itu toh akan terjadi, kita masih mempunyai kesempatan yang luas untuk memperhitungkan berapa kira-kira perlawanan itu dan mengadakan persiapan yang diperlukan untuk menumpas dan menguasainya. Juga tidak tertutup kemunakinan bahwa di masa mendatang akan diadakan ekspedisi besar ke Jambi kalau perlu, tetapi sekarang saya kira belum waktunya" (16, p. 15 dan 16).

Demikianlah antara lain dan usul-usul Rijn Van Alkemode mengenai penyelesaian masalah Jambi yang telah menarik perhatian Gubernur Jendral Belanda di Jakarta.

Dari pemikiran tokoh-tokoh militer dan sipil mengenai bagaimana cara pemerintah Belanda mengendalikan situasi keamanan dan politik di daerah Jambi yang telah dikemukakan di muka, dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka semua mengakui bahwa Sultan Thaha Syaifuddin merupakan pemimpin yang paling berpengaruh di Jambi dan tokoh yang konsekwen menentang penjajah Belanda di daerahnya.