Lompat ke isi

Sultan Thaha Syaifuddin/Bab 1

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
BAB I
KERAJAAN ISLAM JAMBI

A. TERTANAMNYA AGAMA ISLAM DI JAMBI

Jambi sejak abad ke-4 sampai dengan abad ke-12 dikenal sebagai pusat Kerajaan Melayu Kuno (Hindu). Kerajaan Melayu ini sejak abad ke-13, tahun 1275 berada di bawah pengaruh kerajaan Singasari dan kemudian kerajaan Majapahit. Raja Melayu yang besar jasanya terhadap Majapahit dan kemudian memindahkan pusat kerajaan Melayu dari Darmasraya (Jambi) ke Pagaruyung (Sumatera Barat) ialah Adityawarman. Pemerintahan daerah Jambi diserahkan Adityawarman kepada anak perempuannya yang bernama Puteri Selaras Pinang Masak.

Surutnya kekuasaan Majapahit pada abad ke-14 dan pindahnya pusat kekuasaan Melayu dari daerah lalu lintas perdagangan ke daerah pedalaman Pagaruyung, menyebabkan pengawasan terhadap Selat Malaka menjadi berkurang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Malaka untuk membangun diri, memajukan perdagangannya. Lalu lintas perdagangan di Selat Malaka menjadi ramai. Puteri Selaras Pinang Masak yang bijaksana memindahkan pusat kerajaan Jambi dari Darmasraya ke daerah Muara Jambi yang bernama Ujung Jabung (13, p. 1 dan 2).

Perkembangan perdagangan di Selat Malaka maju dengan pesat. Selat Malaka tidak hanya dikunjungi oleh saudagar-saudagar Eropa, melainkan juga saudagar-saudagar Arab. Orang-orang Arab ini di samping melakukan perdagangan juga menyebarkan agama Islam. Salah seorang penyebar agama Islam tersebut ada yang kemudian kawin dengan Puteri Selaras Pinang Masak (13, p.2).

Ceritera yang populer di kalangan rakyat Jambi menyebutkan bahwa pada suatu hari datang sebuah kapal dagang Turki yang berlabuh di pulau Berbala, setelah lebih dahulu singgah di Pasai, Aceh dan Malaka. Nakhoda kapal tersebut seorang bangsawan Turki, penyiar agama Islam yang bernama Ahmad Salim. Karena pembawaan Ahmad Salim yang sangat menarik, maka terjadilah perkawinan antara Puteri Selaras Pinang Masak dengan Ahmad Salim yang kemudian bergelar "Datuk Paduko Berhalo". Pengaruh Ahmad Salim yang besar telah menyebabkan pejabat-pejabat tinggi kerajaan Jambi memeluk agama Islam yang dimulai dari Puteri Selaras Pinang Masak sendiri (2, p. 17 dan 18).

Dengan demikian agama Islam masuk di kalangan istana, sehingga sejak itu kerajaan Jambi dikenal dengan nama Kerajaan Melayu Islam, atau Kerajaan Islam Jambi. Perkawinan Puteri Selaras Pinang Masak dengan Datuk Paduko Berhalo dianugerahi tiga orang putera dan seorang puteri. Mereka itu ialah:

  1. Orang Kayo Pingai yang memerintah antara tahun 1480 sampai tahun 1490.
  2. Orang Kayo Pedataran yang memerintah antara tahun 1490 sampai tahun 1500.
  3. Orang Kayo Gemuk (Puteri) tidak memerintah.
  4. Orang Kayo Hitam memerintah antara tahun 1500 sampai tahun 1515.

Di antara keempat keturunan Puteri Selaras Pinang Masak tersebut di atas Orang Kayo Hitamlah yang sangat populer di kalangan rakyat Jambi. Sebelum menjadi raja ia telah terkenal kesaktiannya, tidak hanya di tanah Jambi, tetapi juga sampai ke tanah Jawa (2, p. 18).

Orang Kayo Hitam tidak senang melihat negerinya berada di bawah kekuasaan Majapahit dan harus membayar upeti tahunan. Ia melarang keluarganya membayar upeti tahunan tersebut dan terhadap larangan ini tidak seorangpun di antara keluarganya yang berani membantahnya (2, p.18).

Tindakan Orang Kayo Hitam ini diketahui oleh pihak Majapahit, sehingga timbullah rencana untuk melakukan tindakan balasan terhadapnya. Tetapi menurut cerita Orang Kayo Hitam sangat sakti hingga tidak dapat dibunuh dengan senjata biasa, melainkan hanya dengan keris yang terbuat dari sembilan besi yang berasal dari sembilan desa. Cerita lain menyebutkan bahwa keris tersebut harus ditempa dalam empat puluh Jum'at, dibuat dari tujuh besi berawal suku kata "Pa" berasal dari sembilan desa dan disepuh dengan air dari dua belas muara. Karena itu Raja Majapahit terlebih dahulu mengusahakan senjata yang memenuhi syarat-syarat tersebut di atas (2, p.19).

Rencana Raja Majapahit itu diketahui Orang Kayo Hitam yang segera melawat ke pulau Jawa mencari pandai besi yang diserahi membuat keris yang dimaksud. Setelah ditemuinya Orang Kayo Hitam berhasil mendapatkan keris tersebut sesudah terlebih dahulu membunuh pandai besi itu. Mendengar kejadian tersebut Raja Majapahit menjadi marah, tetapi baginda menyadari pula bahwa Orang Kayo Hitam itu bukan sembarang lawan, sehingga akhirnya diusahakan mengadakan persahabatan dengan Orang Kayo Hitam. Untuk maksud ini raja Majapahit mengawinkan seorang putrinya yang bernama Putri Ratu dengan Orang Kayo Hitam. Sesudah itu Orang Kayo Hitam bersama permaisurinya pulang ke Jambi dengan membawa kerisnya yang terbuat dari besi sembilan desa tersebut di atas. Keris tersebut diberinya nama "Siginjal" dan dijadikan benda pusaka, tanda pangkat kerajaan Jambi. Sejak itu siapa yang memegang keris Siginjal diakui rakyat Jambi sebagai Rajanya yang syah (2, p.19).

Orang Kayo Hitam memerintah kerajaan Jambi pada tahun 1500 – 1515. Tindakannya yang pertama setelah dinobatkan secara resmi sebagai raja ialah memberikan penghargaan kepada pembesar-pembesar kerajaan yang hadir dalam upacara penobatannya, sebagai orang-orang kerajaan yang masing-masing diberi tugas khusus dengan hak turun-temurun (18, p.9). Orang Kayo Hitam membagi wilayah kerajaan Jambi menjadi dua belas daerah yang kemudian disebut Kalbu (bangsa). Ke dua belas daerah yang masing-masing mendapat tugas khusus dari kerajaan Jambi tersebut ialah:


1. Daerah VII Kota dan IX Kota

Kedua daerah yang terletak di perbatasan Jambi dengan Sumatera Barat ini diserahi tugas untuk menjaga keamanan dan pertahanan perbatasan terhadap serangan musuh dari luar. Daerah ini dipimpin oleh Tumenggung Paku Negoro yang berkedudukan di dusun Sungai Abang.

Daerah VII Kota meliputi dusun Tanjung, Kuamang, Teluk Kayu Putih, Sungai Abang, Niro dan teluk Cina, Dusun Baru, Tabun, Pulau Musang dan Teluk Cempaka. Sedangkan Daerah IX Kota meliputi dusun: Teluk Kuali, Kebung, Pulau Puro, Pulau Temiang, Sialang Kecil, Muara Danau, Pemuatan Tanjung Aur, Rantan Langkap, Rambahan, Jambu, Pagar Puding dan Sungai Rambi. Sesuai dengan tugasnya penduduk kedua daerah itu kemudian dinamakan "Bangsa Sardadu".


2. Daerah Petajan

Daerah Petajan meliputi dusun: Penijauwan, Dusun Tuo, Teluk Rendah, Betung Bedarah, Penapalan, Sungai Aro dan Tabun Arang. Daerah ini dipimpin Orang Kayo Kedataran yang berkedudukan di Betung Bedari dan diberi tugas untuk mengurus hal-hal yang berhubungan dengan pengangkutan dan pertukangan.


3. Daerah Mara Soho

Daerah ini terdiri dari dusun-dusun: Muro Kempeh, Sebungbung, Kubu Kandang, Pelajang, Rambutan Masem, Songkati Kecil, Sungai Paun, Sungai Rengas, Bulu Raap, Kembang Serie, Teluk Leban, Rengas Sembilan, Sungai Bengkal, Remaji, Rantau Api dan Mengupeh. Pimpinan daerah Mara Soho ini diserahkan kepada dua orang Kedemangan yang masing-masing berkedudukan di Sungai Bengkal dan Kembang Seri, Tugas kedua Kedemangan itu ialah memelihara keamanan dan ketentraman dalam negeri.


4. Daerah Jebus Rajasari

Daerah ini meliputi dusun-dusun : Tanjung Alai, Jebus, Teluk Duren, Petanang dan Culum. Pimpinan daerah ini dipegang oleh Orang Kayo Pingai yang dibantu oleh seorang tumenggung dan seorang Lurah yang masing-masing berkedudukan di Jambi dan di Jebus dan bertugas menyelenggarakan upacara-upacara kerajaan.


5. Daerah Suku Air Hitam

Yang termasuk daerah ini ialah dusun : Air Hitam, Batu Kucing, Lubuk Kepayang, Lubuk Jering, Pematang, Semurah, Dusun Baru, Kudup Mampir, Pintasan, Bangkopintas, Macang Gedung, Batu Ampar, Tebing Tinggi, Olak Kemang, Rantau Sego, Padang Kelapo dan Durian Ijan. Daerah ini dikepalai oleh Orang Kayo Gemuk yang dibantu oleh Pasirah Dusun Tebing Tinggi yang bertugas menyelenggarakan seluruh perjamuan yang dilangsungkan di Istana.


6. Daerah Awin

Daerah Awin terdiri dari Pulau Aro dan Dusun Tengah. Daerah ini dikepalai oleh seorang Ngebi yang bergelar Ngebi Rekso Dono yang berkedudukan di dusun Pulau Kayu Aro. Tugas suku ini ialah mengawal raja dengan membawa tombak terhunus apabila melakukan perjalanan.


7. Daerah Penengah atau Penagan

Penagan adalah penduduk dusun Kuap yang dikepalai oleh seorang Ngebi yang mempunyai kewajiban sama dengan penduduk Awin, hanya dengan perbedaan mata tombaknya diacungkan ke atas (tidak ke tanah) seperti orang Awin.


8. Miji atau Maji

Suku ini terdiri dari atas penduduk Dusun Sekemayang dikepalai oleh seorang Temenggung, bertugas mengawasi kamar tempat tidur (peraduan) raja.


9. Daerah Kebalan yang terdiri atas dusun Rengas Condong, Turai, Kedaton dan Terusan. Daerah ini dipimpin oleh seorang Ngebi yang berkedudukan di dusun Kedaton dan seorang Jagapatih yang berkedudukan di dusun Terusan. Mereka ini merupakan penjaga istana yang berkewajiban memelihara dan memperbaiki bagian-bagian istana yang mengalami kerusakan.


10. Daerah Meston yang terdiri dari dusun Sarang Burung, Sungai Terap, Tarikan dan Lupak Alai. Daerah ini dikepalai oleh seorang Ngebi yang berasal dari dusun Sungai Tarap. Di waktu Raja duduk atau berbaring harus terus mereka jaga.


11. Daerah Pinokawan Tengah yang meliputi dusun Aur, Pulau Betung, Sungai Duren, Teluk Alai dan Ture. Mereka ini adalah pengiring-pengiring raja yang bebas ke luar masuk istana dan dikepalai oleh seorang Ngebi.


12. Daerah Pemajung yang terdiri dari dusun Pulau Mentaro, Pulau Tigo, Sukoberajo, Pulau Raman, Pudok dan Kampung Gedang. Daerah ini dikepalai oleh seorang Tumenggung yang bergelar Puspo Yudo atau Puspowiyono dibantu oleh dua orang Kedemangan yang berkedudukan di Ramping Gedong dan dusun Teluk. Mereka ini bertugas memegang payung kehormatan raja (18, p.10-22).

Semua "orang kerajaan" yang memimpin 12 daerah yang kemudian menjadi suku bangsa itu disebut "Bangsa dua Belas" dan tiap bangsa mempunyai kampung induk yang disebut Kelabu. Luas tanah dan perbatasan masing-masing suku bangsa itu ditetapkan di dalam piagam (18, p. 22).

Bangsa duabelas ini merupakan badan penting dalam pemerintahan Kerajaan Jambi pada waktu itu. Sumber lain menyebutkan bahwa Orang Kayo Hitam menyusun dan membagi daerah kerajaan Jambi atas sembilan Kalbu yang merupakan inti kerajaan. Kesembilan Kalbu yang dimaksud ialah:

  1. Kalbu VII dan IX Koto
  2. Kalbu Muara Sebo
  3. Kalbu Jebus Rajasan
  4. Kalbu Patajin
  5. Kalbu Air Hitam.
  6. Kalbu Awin
  7. Kalbu Panegin
  8. Kalbu Mijid dan
  9. Kalbu Pinikawan (19, p. 32).
Dari kedua sumber tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Orang Kayo Hitam yang menyusun suku-suku bangsa di daerah Jambi. Raja Orang Kayo Hitam yang mengumumkan bahwa kerajaan Jambi menjadi kerajaan Islam. Dalam pengumumannya itu juga dinyatakan bahwa Jambi adalah serambi Aceh dan Aceh serambi Mekah. Sejak adanya pernyataan Raja itu rakyat Jambi di suruh mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjalankan syariat Islam (2, p.19).

Setelah Orang Kayo Hitam selesai mengatur kerajaan dengan baik menurut undang-undang yang ditetapkan ia membebankan penyebaran agama Islam di Jambi kepada puteranya yang bergelar Pangeran Tumenggung. Pangeran Tumenggung dengan bantuan teman-temannya menjalankan tugas itu dengan baik, sehingga agama Islam mengalami perkembangan yang pesat di Jambi (2, p. 22).

Karena besarnya jasa Orang Kayo Hitam dan Pangeran Tumenggung terhadap perkembangan dan kemajuan agama Islam di Jambi, dan juga karena takwanya kepada Allah kedua orang itu oleh rakyat Jambi dikenal sebagai orang keramat. Maka kedua orang ini disebut maha Keramat. Makam Orang Kayo Hitam terletak di Simpang Jambi, sedangkan makam Pangeran Tumenggung terletak di Talang Jawo (Talang Jauh) yang terkenal dengan sebutan Keramat Talang Jauh (2, p.22).


B. LAHIRNYA KESULTANAN JAMBI SAMPAI DENGAN SULTAN THAHA

Meskipun sejak pemerintahan Raja Puteri Selaras Pinang Masak dengan suaminya Datuk Paduko Berhalo, kerajaan Jambi telah menganut agama Islam, bahkan menurut cerita dalam masa pemerintahan Orang Kayo Hitam telah dinyatakan sebagai kerajaan Islam Jambi, namun raja Jambi pada waktu itu belum bergelar Sultan. Gelar ini baru dipakai secara resmi pada tahun 1615 setelah Pangeran Kedah (Gedah) menggantikan ayahnya. Pangeran Kedah dinobatkan sebagai raja Jam bi pada tahun 1615 dengan gelar Sultan Abdul Kahar (2, P. 23). Dengan demikian Pangeran Kedah adalah Raja Jambi pertama yang mempergunakan gelar Sultan, sehingga tahun 1615 boleh dikatakan sebagai saat lahirnya kesultanan Jambi, walaupun sesudah itu masih sering kita dengar sebutan raja Jambi.

Sultan Abdul Khahar memerintah dari tahun 1615 sampai tahun 1643. Selama masa pemerintahannya telah terjadi beberapa peristiwa penting, yaitu kedatangan Belanda (VOC).

  1. Untuk pertama kali di Jambi pada tahun 1615 Sultan Abdul Khahar memberi izin kepada orang-orang Belanda untuk mendirikan kantor dagangnya di Muara Kumpeh. (tahun 1616).
  1. Adanya permintaan raja Johor (Malaka) kepada Sultan Abdul Khahar untuk menyerahkan negeri Tungkal pada tahun 1630. Permintaan ini tidak diindahkan oleh Sultan Abdul Khahar.
  2. Adanya tindakan pihak Belanda pada tahun 1642 yang menyatakan bahwa Jambi mengadakan hubungan dengan Sultan Agung dari Mataram yang melawan Belanda (2, p. 23 dan 24). Pada tahun 1643 Sultan Abdul Khahar wafat. Putranya yang bernama Pangeran Depati Anom menggantikan dengan gelar Sultan Agung Abdul Jalil (1943 – 1665).

Peristiwa penting yang terjadi dalam masa pemerintahan Sultan Agung Abdul Jalil ini ialah ditandatanganinya untuk pertama kali perjanjian antara Sultan Jambi dengan VOC (Belanda) pada tahun 1643 (2, p. 24). Dengan adanya perjanjian ini Belanda mulai mencampuri urusan politik, ekonomi dan pemerintahan Kesultanan Jambi. Belanda mulai melaksanakan pemerasan terhadap rakyat Jambi.

Pada 1665 Sultan Jambi Abdul Jalil wafat. Ia digantikan oleh Raden Penulis yang bergelar Sultan Sri Ingalogo (1665 – 1690). Pada masa pemerintahan Sultan ini Jambi diserang oleh Raja Johor yang dibantu oleh Palembang, akan tetapi serangan Johor ini dapat ditangkis Jambi dengan bantuan VOC. Karena dituduh terlibat peristiwa pembunuhan terhadap Kepala Kantor Kompeni di Muara Kampeh, Sybrant Swart Sultan Seri Ingalogo pada tahun 1690 ditangkap Belanda, kemudian diasingkan ke pulau Banda (2, p. 24 dan 25).

Puteranya yang pro Belanda, Pangeran Cakranegara diangkat Belanda sebagai Sultan dengan gelar Sultan Kyai Gede (1690 – 1696). Sultan yang berse1isih pendirian dengan orang tuanya dan pro Belanda itu tidak diakui oleh saudara-saudaranya yang lain yaitu Pangeran Raden Julut dan Kyai Singopati. Pangeran Raden Julut mendirikan pemerintahan tandingan yang berkedudukan di Mangunjayo dekat Muara Tebo dengan gelar Seri Maharaja Batu. Akhirnya Seri Maharaja Batu diakui juga sebagai Sultan Jambi, akan tetapi tidak lama kemudian ia ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Batavia (2, p. 25).

Pada tahun 1696 Sultan Kyai Gede wafat lalu digantikan oleh puteranya yang bergelar Sultan Muhamad Syah (1696 – 1740). Pada awal pemerintahan Sultan ini hubungan antara Kumpeni dengan Sultan agak genting. Kantor Kumpeni di Muara Kumpeh ditutup, akan tetapi pada tahun 1707 Sultan mengadakan hubungan lagi dengan Kumpeni.

Pada tahun 1740 Sultan Mahmud Syah wafat, ia digantikan oleh Puteranya Raden Julut (Sri Maharaja Batu) dengan gelar Sultan Istra lngalogo (1740 – 1770).

Sultan ini teringat perlakuan Belanda terhadap nenek dan ayahnya, karena itu ia berusaha mengusir Kompeni dari Jambi. Pada tahun 1742 kantor dan benteng Kumpeni di Muara Kampeh ditutup, Belanda meninggalkan tempat itu (2, p. 26).

Pada tahun 1770 Sultan Istra Ingalogo wafat dan digantikan Sultan Anom Seri Ingalogo (1770 – 1790). Masa pemerintahan Sultan Anom Ingalogo yang juga disebut Sultan, Achmad Zainuddin tidak hanyak diketahui. Sultan ini wafat pada tahun 1790 dan digantikan oleh puteranya, Mas'ud Badaruddin yang bergelar Sultan Ratu Seri Ingalogo (1790 – 1812).

Peristiwa penting yang terjadi pada pemerintahan Sultan ini ialah dibubarkannya VOC pada tahun 1799 dan penyerahan segala tanggung jawab VOC kepada pemerintah Hindia Belanda. Pada waktu terjadi serah terima tanggungjawab itu, Jambi tidak diduduki Belanda.

Pada tahun 1812 Sultan ini wafat dan digantikan oleh saudara mudanya, Raden Danting Sultan Muhamad Mahidin yang bergelar Sultan Agung Sri Ingalogo (1812 – 1833). Pada masa pemerintahan Sultan ini tahun 1819 Sultan Palembang melakukan perlawanan terhadap Belanda dan Jambi mengirimkan tentara ke Palembang untuk membantu fihak Sultan (2, p. 26).

Pada tahun 1833 Sultan ini wafat, ia digantikan oleh puteranya Raden Muhamad yang bergelar Sultan Muhamad Fakhruddin (1833 – 1841). Sultan Muhamad Fakhruddin juga dikenal dengan sebutan Sultan Keramat, karena ia seorang yang saleh dan banyak usahanya dalam memajukan agama Islam di Jambi. Dalam masa pemerintahannya (akhir tahun 1833), Muara Kumpeh kembali diduduki Belanda, demikian juga di muara Sabak diadakan penjagaan yang kuat.

Setelah wafat pada tahun 1841 Sultan ini digantikan oleh saudara mudanya yang bergelar Sultan Abdurahman Nasruddin (1841 – 1855).

Dalam pemerintahan Sultan ini Raden Thaha Ningrat menjabat Pangeran Ratu dengan sebutan Pangeran Ratu Jayaningrat. Pada tahun 1851 Pangeran Ratu Jayaningrat (PM) mengadakan hubungan dengan misi dagang Amerika Serikat yang datang di Jambi dengan kapal Flirt di bawah pimpinan Walter Gibson untuk bersama-sama mengusir Belanda dari Jambi.

Pada tahun 1852 Jambi banyak membantu bangsawan-bangsawan Palembang yang melawan Belanda, baik dengan pengiriman mesiu maupun dengan memberikan tempat persembunyian bagi mereka (2, p. 27). Setelah Sultan Abdurahman Nasuddin wafat pada tahun 1855, Pangeran Ratu dinobatkan sebagai penggantinya dengan gelar Sultan Thaha Syaifuddin (1855 – 1904).

Sultan Thaha Syaifuddin merupakan Sultan Jambi terakhir. Beliau adalah pejuang Islam yang sepanjang hidupnya mengadakan perlawanan terhadap imperialisme Belanda yang ingin menanamkan kekuasaan di negerinya. Pada waktu dinobatkan sebagai Sultan Jambi dengan terang-terangan Sultan Thaha Syaifuddin mengumumkan bahwa beliau tidak mau mengakui kekuasaan Belanda dan tidak mau mengadakan perundingan apapun dengan mereka. Sikap Sultan yang sama sekali tidak mengenal kompromi dengan fihak penjajah ini mengakibatkan Belanda mengangkat Sultan baru. Selama pemerintahan Sultan Thaha Syaifuddin ada tiga Sultan yang diangkat oleh Belanda, yaitu Sultan Nazaruddin (1855 – 1881), Sultan Muhamad Muhyiddin (1881 – 1885), dan Sultan Akhmad Zainuddin (1886 – 1899).

Ketiga Sultan tersebut di atas tidak diakui oleh rakyat Jambi. Mereka hanya mengakui satu Sultan yaitu Sultan Thaha Syaifuddin sebagai Sultan Kesultanan Jambi terakhir (10, p. 9).