Sultan Hasanudin Menentang VOC/Bab 1
Untuk memperoleh gambaran dan pengetahuan yang lebih luas, tidak ada buruknya, bahkan mungkin sangat besar faedahnya jikalau kita mengetahui beberapa hal tentang Sulawesi Selatan pada umumnya dan kerajaan Gowa khususnya. Seperti diketahui, Sultan Hasanudin adalah Raja Gowa yang ke XVI.
Jikalau kita melihat peta tanah-air kita, maka di antara pulau-pulau Sunda Besar tampak sebuah pulau yang sangat aneh bentuknya. Pulau yang aneh bentuknya ini hampir menyerupai bentuk sebuah huruf K dan mempunyai empat buah jazirah. Pulau yang aneh bentuknya ini ialah pulau Sulawesi. Pulau ini mempunyai empat buah jazirah, yakni: Jazirah Utara, Jazirah Timur Laut, Jazirah Tenggara dan Jazirah Barat Daya.
Jazirah Barat Daya dan Jazirah Tenggara serta pulau-pulau di sekitarnya dahulu termasuk Propinsi atau Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dan Tenggara. Kemudian wilayah ini dipisah lagi menjadi dua bagian atau dua propinsi, yakni:
- Propinsi Sulawesi-Selatan dengan ibukotanya Makasar atau Ujung Pandang.
- Propinsi Sulawesi-Tenggara dengan ibukotanya Kendari.
Kemudian di Selat Makasar timbul kerajaan Gowa. Kerajaan ini terletak di tengah-tengah lalu-lintas pelayaran dan perdagangan yang ramai antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur. Kerajaan Gowa menjadi pusat perhubungan antara pulau Jawa, pulau Kalimantan, bahkan pulau Sumatera dan Semenanjung Malaka di sebelah barat dengan kepulauan Maluku dan kepulauan Nusa Tenggara di sebelah timur. Seperti diketahui, pada abad ketujuhbelas kepulauan Maluku merupakan tujuan utama dari pada kedatangan pedagang-pedagang asing, terutama orang-orang Belanda (V.O.C.) yang dihinggapi demam rempah-rempah. Di kepulauan Maluku rempah-rempah melimpah-ruah.
Seperti diketahui rakyat Sulawesi-Selatan seperti orang-orang Bugis, orang-orang Makasar dan orang-orang Mandar pada umumnya berjiwa pelaut. Mereka terkenal sebagai pelaut-pelaut yang ulung dan gagah -berani. Dengan perahu-perahu layarnya yang lincah dan laju mereka mengarungi lautan. Mereka berlayar menghubungkan negeri yang satu dengan negeri yang lain di daerah Sulawesi-Selatan sendiri. Mereka lazimnya membawa hasil bumi, terutama beras dan barang-barang dagangan lainnya. Mereka juga menjelajah lautan Nusantara dan mengunjungi negeri-negeri yang jauh seperti: pulau-pulau Maluku dan Nusa Tenggara di sebelah timur, bahkan sampai ke pulau Timor dan Australia bagian utara. Menurut penelitian para ahli, bahkan sudah sejak zaman prasejarah telah ada hubungan antara Sulawesi-Selatan dan Australia bagian utara. Pelaut-pelaut penangkap teripang dari Sulawesi-Selatan sudah sejak zaman purba telah sampai ke pantai utara Benua Australia.
Di sebelah barat pulau Kalimantan, pulau Jawa dan pulau Sumatera dicapai pula oleh pelaut-pelaut yang ulung dan gagah-berani ini. Perahu-perahu layar mereka yang besar disebut ”pinisi”, yang lebih kecil lagi disebut ”lambo” dan ada lagi berbagai jenis lainnya. Dengan perahu-perahu layarnya yang lincah dan laju itulah mereka mengarungi lautan dan samudera yang luas membawa barang-barang dagangan seperti beras, kayu, rempah-rempah yang sangat diperlukan dan lain-lainnya.
Bahkan pelaut-pelaut Sulawesi-Selatan yang ulung dan gagah-berani itu tidak gentar mengarungi lautan-lautan yang jauh menghadapi ombak dan badai yang dahsyat serta perompak-perompak dan bajak-laut-bajak-laut yang kejam. Dengan perahu-perahu layarnya yang lincah dan laju pelaut-pelaut Sulawesi-Selatan ini bahkan sampai ke negeri-negeri Sulu, Mindanao, Siam, Hongkong, Makao, Malaka, Kalikut di India, dan juga bukan tidak mungkin sampai ke pulau Madagaskar dan pantai timur benua Afrika.
Tradisi yang terbawa oleh keadaan alam tanah-airnya dan bahaya-bahaya yang sering mengancam di lautan menempa jiwa rakyat Sulawesi-Selatan menjadi pelaut-pelaut yang ulung dan gagah-berani. Mereka menjadi pelaut dan pedagang yang ulet serta tekun. Mereka selalu percaya kepada kemampuan yang ada pada dirinya sendiri.
Jikalau Indonesia terkenal sebagai negara ribuan pulau yang berserakan dengan kebudayaannya yang beraneka ragam, maka keaneka-ragaman itu tampak dengan jelas di Sulawesi. Di Jazirah Barat Daya saja tinggal bermacam-macam suku bangsa. Tiap-tiap suku bangsa itu mempunyai bahasa daerahnya, adat-istiadat dan keseniannya sendiri-sendiri. Di Jazirah Barat Daya saja tinggal antara lain yang terkenal: suku Bugis, suku Makasar, suku Mandar dan suku Toraja.
Di Jawa kita mengenal beberapa kerajaan, misalnya:
- Kerajaan Solo atau Surakarta yang diperintah oleh Sunan Solo atau Susuhunan Surakarta.
- Kerajaan Yogyakarta yang diperintah oleh Sultan Yogyakarta.
- Kerajaan Mangkunegaran yang diperintah oleh Mangkunegara.
- Kerajaan Paku Alaman yang diperintah oleh Paku Alam.
Di Sulawesi-Selatan terdapat amat banyak kerajaan, besar dan kecil. Kerajaan-kerajaan yang terbesar dan terpenting ialah:
- Kerajaan Gowa. Rajanya disebut SOMBAYA artinya (Raja) yang disembah.
- Kerajaan Luwu. Rajanya disebut MAPPAJUNGE atau PAJUNGE artinya (Raja) yang berpayung.
- Kerajaan Bone. Rajanya disebut MANGKAU'E artinya (Raja) yang bertakhta atau memerintah.
Demikianlah di Sulawesi-Selatan kita mengenal tiga orang Raja yang terbesar dan terpenting, yakni SOMBAYA RI GOWA (artinya yang disembah di Gowa), PAJUNGE RI LUWU' (artinya yang berpayung di Luwu) dan MANGKAU'E RI BONE (artinya yang bertakhta atau yang memerintah di Bone). Selain dari pada ketiga kerajaan yang tersebut di atas, di Sulawesi-Selatan masih ada lagi amat banyak kerajaan yang merupakan swapraja-swapraja atau daerah-daerah yang berpemerintahan sendiri. Di dalam bahasa
3
biasanya memerintah dengan bebas di daerahnya masing-masing. Jadi mereka tidak takluk atau menggantungkan diri pada ketiga atau salah satu dari ketiga kerajaan yang kami sebutkan tadi (Gowa, Luwu atau Bone). Di antara kerajaan-kerajaan itu terdapat antara lain: kerajaan Soppeng, kerajaan Wajo, kerajaan Tanete, kerajaan Barru dan lain-lainnya. Selain dari pada itu terdapat pula federasi-federasi atau gabungan-gabungan beberapa kerajaan seperti misalnya: Ajatapparang atau lengkapnya Lima Ajatapparang yang berarti lima (kerajaan) di sebelah barat danau (tapparang = danau). Federasi atau gabungan kerajaan ini terdiri dari: kerajaan Sawitto, kerajaan Sidenreng, kerajaan Suppa, kerajaan Mallusetasi' dan kerajaan Rappang.
Massenrempulu' yang berarti kerajaan-kerajaan di sekitar atau yang mengitari gunung. Federasi atau gabungan kerajaan ini terdiri dari kerajaan Enrekang, kerajaan Maiwa, kerajaan Malluwa, kerajaan Alla' dan kerajaan Bontobatu.
Jikalau kerajaan Gowa dan kerajaan Tallo merupakan kerajaan orang-orang suku Makasar, maka kerajaan Luwu, kerajaan Bone, kerajaan Soppeng, kerajaan Wajo, kerajaan Tanete, kerajaan Sawitto dan lain-lainnya merupakan kerajaan orang-orang suku Bugis. Demikian pula terdapat kerajaan-kerajaan orang-orang suku Mandar seperti : kerajaan Balanipa, kerajaan Binuang, kerajaan Campalagiang, kerajaan Pambauang, kerajaan Cenrana, kerajaan Tapalang, kerajaan Mamuju. Raja-Raja orans Mandar disebut Maraddia. Jadi ada Maraddia Balanipa, Maraddia Campalagiang, Maraddia Mamuju dan lain-lainnya. Raja-Raja orang Suku Bugis disebut Aru atau Arung, sedang raja-raja orang suku Makasar disebut karaeng. Di samping kerajaan-kerajaan orang-orang suku Bugis, suku Makasar dan suku Mandar terdapat pula kerajaan-kerajaan orang-orang suku Toraja, misalnya: kerajaan Makale, kerajaan Sangalla dan kerajaan Mengkedek. Tegasnya, di Sulawesi-Selatan terdapat amat banyak kerajaan.
SUSUNAN PEMERINTAHAN KERAJAAN GOWA
Tiap-tiap kerajaan yang telah kami sebutkan tadi, seperti misalnya kerajaan Luwu, kerajaan Bone, kerajaan Wajo dan kerajaan Gowa mempunyai susunan pemerintahan sendiri-sendiri. Susunan pemerintahan kerajaan-kerajaan itu berbeda-beda dan tidak sama keadaannya. Agar mempunyai gambaran sedikit jelas dan sedikit banyak ada sangkut-pautnya dengan Sultan Hasanudin nanti, ada baiknya kita uraikan secara singkat susunan pemerintahan kerajaan Gowa.
Kerajaan Gowa diperintah oleh seorang Raja yang disebut Sombaya. Selain dari Raja Gowa yang pertama, takhta kerajaan Gowa tidak pernah diduduki oleh seorang wanita. Raja Gowa yang pertama disebut Tumanurung, artinya orang yang turun dari langit atau kayangan. Menurut ceritera yang tersebut dalam buku sejarah Gowa, Tumanurung turun dari langit. Karena baginda turun di daerah Tammalate di Gowa, maka baginda sering pula disebut Tumanurunga ri Tammalate, artinya orang yang turun di Tammalate. Jadi sungguhpun Raja Gowa yang pertama adalah seorang wanita, namun setelah baginda wafat, tidak pernah lagi takhta kerajaan Gowa diduduki oleh seorang wanita. Rupanya sejak itu seorang wanita tidak dapat menduduki takhta kerajaan Gowa.
Lain halnya di kerajaan Luwu atau di kerajaan Bone. Seorang wanita dapat dan berhak menduduki takhta kerajaan. Demikianlah misalnya kerajaan Bone mengenal beberapa orang Ratu atau Raja perempuan yang terkenal di dalam sejarah. Kita sebutkan antara lain: We Banrigau Daeng Marowa Arung Majang (Raja perempuan Bone yang keempat), We Tenrituppu Matinrowe ri Sidenreng (Ratu atau Raja perempuan Bone yang kesepuluh), Batari Toja Arung Timurung, I Maning Aru Data Matinrowe ri Kassi (Raja Bone yang ke 25) dan Basse Kajuara Pelaengngi Passempe.
Seorang Raja Gowa yang paling dikehendaki dan yang paling memenuhi syarat, ialah yang disebut Karaeng-ti′no (Karaeng = raja; ti′no = masak atau matang). Karaeng-ti'no di Gowa ialah seorang yang baik bapaknya maupun ibunya berdarah bangsawan yang tertinggi dan harus seorang keturunan langsung dari Tumanurunga ri Tammalate (Ratu atau Raja gowa yang pertama).
Raja Gowa mempunyai kekuasaan yang mutlak (absoluut). Betapa mutlaknya kekuasaan Raja Gowa dapatlah kita gambarkan pada kata-kata bahasa Makasar: ”MAKKANAMA′ NUMAMMIO” artinya ”Aku berkata dan engkau mengiakan”. Maksudnya : Aku bertitah dan engkau hanya mengiakan saja. Jadi segala titah atau perintah Raja Gowa harus ditaati dan dipatuhi. Segala kata Raja Gowa harus di”ia” kan dan dituruti, tidak boleh dibantah sedikitpun. Begitu mutlak kekuasaan Raja Gowa.
Seperti dikatakan tadi, calon Raja Gowa yang paling disenangi clan yang paling memenuhi syarat, ialah apa yang disebut seorang dari golongan atau tingkatan ”karaeng ti′no”, artinya baik ayah maupun ibu orang itu berdarah bangsawan yang tertinggi dan seorang keturunan langsung dari Tumanurunga ri Tammalate, yakni Raja Gowa yang pertama. Calon atau Putera Raja yang demikian itu disebut ”Anak Pattola” artinya ”Anak Pengganti Raja” (mattola = mengganti, menggantikan; pattola =pengganti).
Ada dua macam atau dua cara pelantikan Raja Gowa, yang pertama disebut ”nilanti′” (dilantik) dan yang kedua disebut ”nitogasa” (= ditugaskan?). Jikalau calon Raja itu seorang Karaeng Ti'no, jadi Anak Pattola sejati, maka beliau ”nilanti′”. Akan tetapi jikalau calon Raja itu bukan seorang Karaeng Ti′no, jadi sebenarnya bukan Anak Pattola, maka beliau hanya ”nitogasa”. Upacara penobatan Raja Gowa yang disebut ”nilanti′” dilakukan di Tammalate, Upacara ini dilakukan di atas sebuah batu yang menurut ceriteranya tempat Tumanurunga turun dari langit. Upacara pelantikan yang disebut ”nitogasa” dilakukan di depan istana saja. Tentu saja upacara "nilanti'" lazimnya lebih meriah, lebih megah dan lebih besar sifatnya dari pada upacara ”nitogasa”
Dalam menjalankan pemerintahan Raja Gowa dibantu oleh beberapa orang pembesar atau pejabat kerajaan, antara lain:
1.Pabbicara Butta. Arti sebenarnya, ialah juru bicara tanah atau juru bicara negeri.
2.Tumailalang-Towa (towa = tua; tu = orang; ilalang = dalam).
3.Tumailalang-Lolo (lolo = muda).
Di samping itu Raja Gowa dibantu oleh sebuah lembaga ”perwakilan rakyat” yang disebut ”Bate Salapanga” (bate = panji, bendera; salapang = sembilan). Jadi Bate Salapanga berarti pemegang bendera atau pembawa panji yang sembilan orang.Mula-mula lembaga ini disebut ”Kasuwiang Salapanga” (kasuwiang = mengabdi; salapang = sembilan). Jadi Kasuwiang Salapanga berarti Pengabdi yang sembilan orang. Lembaga ”Kasuwiang Salapanga” yang kemudian menjadi ”Bate Salapanga” ini memang terdiri dari sembilan orang anggota.
1. Pabbicara Butta adalah orang kedua sesudah Raja Gowa. Jadi jabatan Pabbicara Butta dapat disamakan dengan Perdana Menteri, Mahapatih atau Mangkubumi kerajaan Gowa.
Seperti kita ketahui di dalam sejarah Gowa, pada masa pemerintahan Raja Gowa yang ke IX yang bernama Tumapa′risi Kallonna kerajaan Gowa dan kerajaan Tallo disatupadukan kembali. Penyatupaduan kedua kerajaan itu dikuatkan oleh ucapan sumpah Raja-Raja dan para pembesar kedua kerajaan itu. Sumpah itu di dalam bahasa Makasarnya, berbunyi: IA-IANNAMONACALLA TAU AMPASSI-EWAI GOWA-TALLO IAMO REWATA”. Artinya: ”Siapa-siapa saja yang mengadu-domba kerajaan Gowa dan kerajaan Tallo, maka orang itu akan dikutuk oleh Dewata". Sejak itulah kerajaan Gowa dan kerajaan Tallo, terutama dalam hubungan keluar, merupakan satu kerajaan yang bersatu. Betapa kokohnya perpaduan antara kedua kerajaan bersaudara itu dapat kita lihat dalam ungkapan bahasa Makasarnya: ”RUA KARAENG SE′RE ATA”. Artinya: Dua Raja namun satu hamba. Maksudnya, dua Raja memerintah atas rakyat yang tetap satu. Sejak itu pulalah Raja Tallo dan keturunan pengganti baginda pada lazimnya diangkat menjadi Pabbicara Butta atau Mangkubumi kerajaan Gowa. Pabbicara Butta atau Mangkubumi kerajaan Gowa yang merangkap menjadi Raja Tallo dan terkenal di dalam sejarah, antara lain ialah:
a. Karaeng Matoaya yang juga terkenal dengan nama dan gelar beliau Sultan Abdullah Awalul Islam Tumenanga ri Agama. Beliau inilah Raja yang mula-mula sekali di Sulawesi Selatan yang memeluk agama Islam. Yang meng-Islamkan beliau ialah Khatib Tunggal Abdul Makmur yang juga lebih dikenal oleh orang-orang di Sulawesi-Selatan dengan gelarnya Dato′ ri Bandang.
Khatib Tunggal alias Dato ri’ Bandang ini adalah seorang ulama yang berasal dari Kota Tengah di Minangkabau (Sumatera Barat). Oleh karena itu maka beliau diberi gelar Dato’. Gelar ini berasal dari gelar orang-orang Minangkabau "Datuk" seperti misalnya Datuk Temenggung, Datuk Penghulu dan sebagainya.
Karaeng Matoaya masuk atau memeluk agama Islam pada tanggal 9 Jumadilawal tahun 1014 Hijrah atau tanggal 22 September 1605. Oleh karena baginda adalah Raja yang mula-mula sekali memeluk agama Islam di Sulawesi Selatan, maka baginda mendapat gelar Sultan Abdullah Awalul Islam. Beliau terkenal sangat taat pada agamanya (agama Islam). Oleh karena itu, maka setelah beliau wafat pada tanggal 10 Oktober 1636 di Tallo, maka beliau mendapat gelar anumerta Tumenanga ri Agamana, artinya Raja atau orang yang wafat dalam agamanya. Ada juga yang menyebut beliau Tumenanga ri Tappa′na, artinya Raja atau orang yang wafat dalam kepercayaannya. Beliau inilah yang berjasa mengajak kemanakan beliau, yakni Sultan Alaudin Raja Gowa yang ke XIV, masuk agama Islam. Tidak lama kemudian agama Islam telah menjadi agama kerajaan di Gowa. Sembahyang Jum'at yang pertama di Tallo diadakan pada tanggal 9 Nopember 1607 atau tanggal 19 bulan Rajab, tahun l016 Hijrah. Setelah kerajaan Gowa dan kerajaan Tallo menjadi kerajaan Islam dan Raja-Rajanya telah memperoleh gelar Sultan, maka kedua kerajaan itu menjadi pusat penyebaran agama Islam di seluruh daerah Sulawesi-Selatan. Di dalam hal ini Karaeng Matoaya alias Sultan Abdullah Awalul Islam, Raja Tallo yang ke VI yang merangkap sebagai Tumabbicara Butta kerajaan Gowa, sangat besar sekali jasanya.
b. Karaeng Pattingaloang, Raja Tallo yang ke VIII yang menjabat pula sebagai Pabbicara Butta kerajaan Gowa pada jaman pemerintahan Raja Gowa yang ke XV yang bernama Sultan Muhammad Said Tumenanga ri Papambatunna.
Karaeng Pattingaloang terkenal sebagai seorang yang cendekia dan menguasai serta mahir berbahasa beberapa bahasa asing. Karaeng Pattingaloang terkenal pula dengan nama dan gelar bagina Sultan Mahmud Tumenanga ri Bontobiraeng.
Pabbicara Butta biasa pula menjadi wali dan pemangku Raja jikalau Putera Mahkota atau Raja masih belum mencapai usia untuk memegang sendiri tampuk pemerintahan. Pabbicara Butta mempunyai pengaruh dan kekuasaan yang besar sekali. Jikalau Raja belum mencapai usia dewasa, maka Pabbicara Buttalah yang memerintah atas nama Raja Gowa. Pada mulanya jabatan Pabbicara Butta diadakan karena Putera Mahkota atau Raja Gowa masih belum dewasa. Kemudian jabatan Pabbicara Butta tetap ada meskipun Raja sudah dewasa dan memegang sendiri pemerintahan. Tugas Pabbicara Butta di dalam bahasa Makasar sering pula disebut ”mabbaligau” artinya membantu (Raja Gowa) memerintah atau pasangan dalam memerintah. Demikianlah sejak dari Batara Gowa menjadi Raja Gowa yang ke VII dan Karaeng LoE ri Sero menjadi Raja Tallo yang pertama, Raja-Raja Tallo selalu menjadi Baligau (Patih) Raja Gowa.
2. Tumailalang Towa. Beliau adalah seorang pejabat atau pembesar kerajaan yang menyampaikan dan meneruskan segala perintah Raja Gowa kepada Bate Salapanga, kepada para kepala distrik atau kepala wilayah, kepada para bate anak-karaeng dan lain-lainnya. Beliau menjaga pula agar supaya segala perintah Raja Gowa dilaksanakan sungguh-sungguh. Beliau sering pula memimpin sidang-sidang yang diadakan untuk membicarakan soal-soal yang sangat penting sifatnya. Tumailalang Towalah yang menyampaikan kepada sidang tersebut segala kehendak dan titah Raja Gowa. Segala keputusan, saran-saran atau pesan-pesan Raja Gowa disampaikan oleh Tumailalang Towa.
3. Tumailalang Lolo. Pejabat atau pembesar kerajaan ini selalu berada di dekat Raja Gowa. Beliau inilah yang menerima usul-usul dan permohonan untuk disampaikan kepada Raja Gowa. Beliau meneruskan segala perintah Raja Gowa mengenai soal-soal Rumah Tangga istana. Di dalam masa perang beliau sering bekerja bersama dengan panglima pasukan-pasukan kerajaan Gowa yang disebut "Anrong-guru-lompona-tumakajannangnganga". Mereka sering membicarakan dan merencanakan segala soal yang bersangkut-paut dengan soal peperangan.
Dahulu kedua fungsi itu dipegang oleh Paccallaya, lalu oleh Tumailalang (=orang yang di dalam). Jadi mula-mula Tumailalang yang menggantikan kedudukan Paccallaya hanya ada SATU orang saja. Kemudian dijadikan dua orang, yakni Tumailalang Towa dan Tumailalang Lolo. Fungsinya pun dipecah menjadi dua, yakni: Hubungan DARI Raja Gowa KE Batesalapanga dipegang oleh Tumailalang Towa sedang hubungan DARI Batesalapanga KE Raja Gowa harus melalui Tumailalang Lolo. Jadi dengan demikian Batesalapanga dapat disamakan dengan Parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat.
4. Bate Salapanga. Seperti yang sudah dikatakan tadi, lembaga ini terdiri dari sembilan orang anggota. Tiap anggota Bate Salapanga adalah kepala pemerintahan di wilayah yang merupakan federasi Gowa. Dahulu Gowa merupakan suatu federasi yang terdiri dari sembilan buah negeri atau daerah, Tiap-tiap negeri atau daerah itu dikepalai oleh seorang penguasa yang merupakan raja kecil. Sembilan orang penguasa itulah yang mula-mula menjadi anggota Hadat Gowa yang disebut Bate Salapanga. Ketua dari Bate Salapanga disebut Paccalla atau Paccallaya.
- Tombolo′
- Lakiung
- Saumata
- Parang-Parang
- Data′
- Agang Je′ne′
- Bisei
- Kalli′ atau Kalling
- Sero′
Kemudian kesembilan penguasa atau raja-raja kecil itu membentuk sebuah gabungan atau federasi. Gabungin ini diketuai oleh seorang pejabat yang disebut Paccallaya. Beliau inilah yang bertindak sebagai ketua pemerintahan gabungan atau federasi Gowa. Paccallaya ini merupakan Ketua Dewan yang terdiri dari penguasa-penguasa yang bergabung itu. Paccallaya juga sering bertindak sebagai hakim tertinggi, apabila terjadi sengketa atau pertentangan di antara penguasa-penguasa yang bergabung daJam federasi Gowa itu. Penguasa-penguasa itu berdiri sendiri dan bebas mengatur pemerintahan di dalam daerahnya masing-masing.
Entah berapa lamanya pemerintahan gabungan itu berjalan. Pada suatu waktu Paccallaya dan penguasa-penguasa atau rajaraja kecil itu masygul. Mereka tidak mempunyai seorang Raja. Tetapi mereka juga tidak mau memilih salah saorang di antara mereka untuk menjadi Raja Gowa.
Tidak lama kemudian terdengarlah berita bahwa di sebuah tempat di Gowa ada seorang Puteri yang turun dari kayangan. Maka Paccallaya bersama kesembilan orang penguasa atau raja-raja kecil itu pun berangkat menuju ke tempat tersebut. Berita itu ternyata benar. Paccallaya dan kesembilan orang penguasa itu menemukan seorang wanita yang cantik. Wanita itu memakai sebuah kalung emas yang sangat indah buatannya. Siapa nama. dan dari mana asal wanita cantik itu tidak diketahui. Hanya dikatakan bahwa wanita itu turun dari kayangan. Kemudian wanita itu dinamakan Tumanurunga, artinya orang yang turun dari langit.
Syahdan maka diangkatlah Tumanurunga menjadi Raja Gowa yang pertama. Dengan diangkatnya Tumanurunga menjadi Raja Gowa, maka kedudukan kesembilan orang penguasa itu mengalami perobahan. Kekuasaan mereka beralih dan jatuh ke tangan Tumanurunga selaku Raja atas seluruh daerah Gowa. Kemudian mereka hanya merupakan ”Kasuwiang Salapanga” artinya Pengabdi yang sembilan orang. Jadi mereka merupakan sembilan orang kepala negeri yang wajib berbakti atau mengabdi kepada Raja Gowa. Kemudian lembaga Kasuwiang Salapanga ini berobah menjadi ”Bate Salapanga”, artinya sembilan orang pemegang bendera atau pembawa panji. Kesembilan orang inilah yang kemudian menjadi anggota Hadat Sembilan kerajaan Gowa.
Adapun lembaga Bate Salapanga ini sudah kerap kali mengalami perobahan. Susunannya tidak lagi sama dengan yang kita sebutkan di atas tadi. Demikianlah misalnya di sekitar tahun 1900 Bate Salapanga terdiri dari:
1. Gallarang Mangngasa
2. Gallarang Tombolo
3. Gallarang Saumata
5. Gallarang Paccellekang
6. Karaeng Pattallassang
7. Karaeng Bontomanai
8. Karaeng Manuju
9. Karaeng Borisallo
Bentuk pemerintahan kerajaan Gowa di bawah pimpinan Tumanurung, yakni Raja Gowa yang pertama, mengandung unsur-unsur demokrasi yang terbatas. Antara Raja Gowa yang pertama (Tumanurung) di satu pihak dan Paccallaya bersama Kasuwiang Salapanga di lain pihak ada dibuat sebuah ikrar atau perjanjian. Dalam perjanjian itu disebutkan tentang pembagian tugas dan batas-batas wewenang antara Raja yang memerintah di satu pihak dan rakyat yang diperintah yang diwakili oleh Kasuwiang Salapanga di lain pihak. Dalam ikrar atau perjanjian yang dibuat antara Raja Gowa yang pertama dan Kasuwiang Salapanga itu dapat dilihat dengan jelas bahwa pada mulanya pemerintahan kerajaan Gowa mengandung unsur-unsur demokrasi yang terbatas. Akan tetapi lambat-laun unsur-unsur demokrasinya menjadi kabur dan unsur-unsur kerajaan mutlak (absolute monarchie) makin lama, kami menonjol. Raja seolah-olah menguasai seluruh hidup dan matinya rakyat. Kehendak Raja Gowa adalah undang-undang dan tidak boleh dibantah. Kehendak Raja harus ditaati dan dipatuhi. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dalam kata-kata bahasa Makasar sebagai berikut: ”Akkanama′ numammio”. Artinya: Aku berkata atau bersabda dan kalian hanya mengiakan. Maksudnya: Aku bersabda dan rakyat harus mentaati sabdaku. Jadi kata-kata Raja itu sangat menentukan segalanya. Bandingkanlah dengan kata-kata Raja Perancis Louis XIV yang terkenal: "L’ etat c’est moi" yang berarti: Negara adalah Aku.
Memang benar ada lembaga perwakilan rakyat yang disebut Kasuwiang Salapanga atau Bate Salapanga. Akan tetapi lembaga ini tidak mempunyai arti yang lebih dari pada apa yang di dalam bahasa Belanda disebut ”Raad van negen kiesheren”. Artinya: Dewan atau Majelis sembilan orang untuk memilih Raja. Para anggota Bate Salapanga itu tidak mempunyai wewenang untuk membuat undang-undang atau peraturan-peraturan. Mereka tidak mempunyai wewenang untuk menjalankan pemerintahan di seluruh kerajaan. Mereka harus taat dan menjalankan segala perintah Raja. Bahkan kemudian mereka pun tidak lagi merupakan badan penasehat. Raja memerintah secara mutlak. Sabda baginda merupakan undang-undang yang harus ditaati dan dilaksanakan.
Selain dari pada jabatan-jabatan yang telah kami sebutkan di depan tadi, ada lagi beberapa jabatan penting dalam susunan pemerintahan kerajaan Gowa yang perlu juga kami sebutkan di sini, antara lain:
Anrong-guru-lompona Tumakajannangnganga. Beliau inilah yang menjadi panglima pasukan-pasukan kerajaan Gowa pada masa ada perang. Pada masa damai beliau ditugaskan menjaga agar orang-orang mentaati dan melaksanakan segala perintah Raja Gowa. Jikalau ada orang yang membangkang dan dianggap perlu mempergunakan tindakan kekerasan, maka itu adalah tugas Karaeng Tumakajannangngang. Beliau bertugas menumpas pemberontakan dan memberantas pengacau-pengacau yang mengganggu keamanan dalam negeri kerajaan Gowa. Beliau juga bertugas menjaga keamanan pribadi Raja Gowa dan keluarga baginda.
Di bawah Anrong-guru-lompona Tumakajannangnganga ada lagi jabatan yang disebut Lomo Tumakajannangnganga. Sebagai wakil atau pengganti Panglima Perang beliau meneruskan segala perintah Karaeng Tumakajannangnganga kepada para bawahannya yang disebut Anrong-gurunna Tumakajannangnganga.
Di bawah Karaeng Bontoala atau Anrong-guru-lompona Tu Bontoalaka ada lagi pemimpin-pemimpin orang-orang Bontoala yang disebut Anrong-gurunna Tu Bontoalaka.
Ada lagi jabatan atau pangkat yang disebut ”Bate-anak-karaeng”. Mula-mula ”Bate anak karaeng” merupakan daerah-daerah yang bebas dan berdiri sendiri. Kemudian daerah-daerah ini dikalahkan dan menjadi daerah takluk kerajaan Gowa. Lalu daerah-daerah itu dihadiahkan oleh Raja Gowa kepada salah seorang ”anak karaeng” atau anak Raja/anak bangsawan yang mungkin dianggap berjasa. ”Anak karaeng” inilah yang menjadi raja kecil atau penguasa di daerah ”bate-anak-karaeng” itu. Semua orang di daerah itu harus tunduk dan melaksanakan segala perintah ”anak karaeng” yang mendapat hadiah dari Raja Gowa itu. Lazimnya mereka yang memperoleh daerah ”bate-anak-karaeng” itu masih berkeluarga dekat juga dengan Raja yang berkuasa. Oleh karena itu maka tidak terlalu mengherankan jikalau di dalam upacara-upacara adat yang resmi para ”bate-anak-karaeng” ini didudukkan di tempat yang terhormat. Bahkan sering di tempat yang lebih tinggi tingkatnya dari pada para angota Bate Salapanga.
Sabannara atau syahbandar merupakan pula jabatan yang cukup penting di dalam kerajaan Gowa yang merupakan kerajaan maritim. Sabannara membantu Raja mengurus soal keluar-masuknya perahu-perahu di pelabuhan kerajaan. Sabannara ini mengurus soal pemasukan uang bea-cukai. Selain dari pada itu Sabannara sering ditugaskan mengurus soal pemasukan uang untuk harta kekayaan Raja sendiri. Dahulu kerajaan Gowa mempunyai dua orang Sabannara, yakni Sabannara Towa dan Sabannara Lolo. Pangkat Sabannara biasanya dijabat oleh seorang bangsawan, keturunan atau keluarga Raja. Bahkan semua jabatan penting yang sudah kami sebutkan tadi, sedapat mungkin dijabat oleh orang-orang bangsawan keluarga Raja.
Soal-soal agama, perkawinan dan lain-lainnya diurus oleh syara′ yang dikepalai oleh seorang Qadhi. Beliau ini dibantu oleh pegawai-pegawai atau petugas-petugas syara′ seperti: Imam, Khatib, Bilal, Doja dan lain-lainnya.
Selain dari pada jabatan-jabatan yang sudah kami sebutkan tadi, masih ada lagi beberapa pangkat atau jabatan yang patut kami sebutkan pula di sini antara lain: Karaeng, Gallarang, anrong-guru, jannang, pabbicara, matowa dan lain-lainnya. Mereka ini biasanya mengepalai pemerintahan sebuah wilayah atau daerah.
Demikianlah sekedarnya dan secara singkat tentang susunan dan pemerintahan kerajaan Gowa. Perlu kiranya kami singgung di sini, bahwa kerajaan-kerajaan Bone, Luwu' dan Wajo mempunyai susunan pemerintahan tersendiri yang tidak sama bahkan berbeda dengan susunan pemerintahan kerajaan Gowa. Namun bukanlah pada tempatnya untuk diuraikan di sini.
PEMILIHAN DAN PENGANGKATAN SEORANG RAJA
Soal pemilihan dan pengangkatan Raja banyak menimbulkan peristiwa-peristiwa dan masalah-masalah yang pelik serta rumit. Hal ini sedikit atau banyak memberikan pengaruh kepada perkembangan Sejarah Indonesia, terutama Sejarah Indonesia pada masa yang lampau. Oleh karena itu, maka soal pemilihan dan pengangkatan Raja perlu juga kami singgung di sini. Hal ini erat pula hubungannya dengan sejarah Sultan Hasanudin, karena soal pemilihan dan pengangkatan Sultan Hasanudin menjadi Raja Gowa yang ke XVI sering diperbincangkan orang. Sering dikatakan bahwa sungguhpun bukan ”Anak Pattola” atau tidak ”maddara takku” yakni Putera Mahkota yang paling memenuhi syarat menurut adat di Gowa, namun Sultan Hasanudin dapat juga menaiki takhta kerajaan Gowa yang sedang berada di atas puncak kejayaannya.
Di dalam sejarah sering kita dapat melihat dengan jelas, bahwa sistim feodalisme dalam perkawinan (polygami) mengandung unsur perpecahan. Hal ini timbul setelah Raja yang memerintah wafat dan muncul persoalan siapa gerangan yang berhak menjadi Raja. Pergantian Raja sering menimbulkan perpecahan, bahkan peperangan di antara golongan-golongan keturunan Raja yang merasa dirinya berhak meniadi Raja. Maka terjadilah peperangan memperebutkan mahkota, tentang siapa yang akan menjadi Raja. Peperangan-peperangan seperti ini terkenal dengan nama ”Perang Mahkota” atau ”Perang Suksesi”. Di dalam sejarah Indonesia banyak contoh yang dapat kita kemukakan bahwa Perang Mahkota sering mengundang dan memberi peluang kepad kaum penjajah untuk mengadakan intervensi dan mencampuri urusan dalam negeri kita. Misalnya di Jawa: Perebutan mahkota antara Sunan Amangkurat III alias Sunan Mas dan Pangeran Puger yang kemudian bergelar Sunan Paku Buwono I. Demikianlah pula Perang Mahkota antara Paku Buwono II/Paku Buwono III dan Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Perang Mahkota ini menyebabkan kerajaan Mataram yang sudah mengecil itu pecah lagi menjadi dua kerajaan yakni: Kerajaan Sala atau Surakarta dan kerajaan Yogyakarta.
Di Banten pun terjadi Perang Saudara antara Sultan Agung Tirtayasa dan putera baginda yang terkenal dengan nama Sultan Haji. Pada tiap Perang Saudara atau Perang Mahkota itu Belanda (V.O.C.) selalu mendapat peluang dan selalu pula mempergunakannya untuk mengadakan apa yang sekarang terkenal dengan nama intervensi. Dan setiap intervensi atau campur tangan Belanda (V.O.C.) itu pasti merugikan kerajaan yang dicampurinya. A1asan kaum penjajah selalu muluk-muluk dan berusaha membela serta membenarkan usaha kolonialnya: Untuk membantu menegakkan keadilan, demi keamanan dan ketertiban, sesuai dengan pasal-pasal yang tercantum dalam perjanjian yang sudah ditaati sejak dahulu kala dan sebagainya.
Untuk menggantikan Raja yang wafat atau turun dari takhta kerajaan, biasanya dipilih calon yang memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh adat. Biasanya yang dipilih ialah anak sulung Raja. Karena Raja biasanya mempunyai isteri lebih dari satu orang, maka timbul berbagai persoalan. Namun yang paling memenuhi syarat ialah anak Raja yang ibunya paling tinggi tingkat kebangsawanannya. Jadi yang terpilih biasanya putera sulung dari permaisuri atau dari ibu yang derajat kebangsawanannya setingkat dengan Raja sendiri. Di dalam bahasa daerah anak yang demikian disebut ”maddara takku” atau ”Anak Pattola”.
Tetapi sering pula terjadi, Raja itu kawin dengan seorang puteri Raja yang setingkat taraf kebangsawanannya dengan baginda sebelum baginda menjadi Raja. Kemudian baginda menjadi Raja dan isteri baginda itu sering dengan sendirinya pula terangkat menjadi permaisuri. Anak-anak baginda dari isteri atau permaisuri itu ada yang lahir sebelum baginda menjadi Raja dan ada pula yang lahir sesudah baginda menaiki takhta kerajaan. Menurut adat, lazimnya yang dianggap lebih memenuhi syarat ialah anak Raja yang tertua sesudah ayahnya dinobatkan menjadi Raja. Ada yang mengatakan bahwa anak Raja yang lahir sebelum ayahnya dinobatkan menjadi Raja, sebenarnya bukan Putera Mahkota, bukan Anak Pattola dalam arti yang murni, karena pada waktu lahir ayahnya masih berstatus Pangeran. Hal-hal seperti inilah yang sering menimbulkan keruwetan di antara anak-anak Raja yang berambisi dan merasa dirinya berhak menjadi Raja. Maka timbul percekcokan dan pertikaian, bahkan peperangan antara mereka yang berambisi dan merasa dirinya berhak menjadi Raja.
Jikalau Raja wafat dan baginda tidak mempunyai seorang anak atau seorang keturunan pun, maka sering pula dipilih dan diangkat salah seorang saudara Raja itu atau salah seorang keluarga terdekat baginda. Yang terpilih menurut adat biasanya saudara atau keluarga terdekat Raja yang paling tinggi derajat kebangsawanannya. Bahkan sering pula terjadi orang yang terpilih itu sudah diangkat menjadi Raja di daerah lain. Namun calon Raja itu haruslah masih ada hubungan kekeluargaannya yang erat dengan Raja yang wafat itu atau dengan Raja yang pernah memerintah di kerajaan itu. Untuk kerajaan Gowa, Raja itu haruslah seorang keturunan dari Tumanurunga ri Tammalate. Mengapa saudara atau keluarga terdekat Raja yang wafat itu dapat menjadi Raja di daerah lain? Mungkin karena perkawinannya dengan puteri Raja di daerah itu. Mungkin pula karena dari pihak ibu beliau seorang keturunan dari Raja di suatu daerah yang kemudian memilihnya menjadi Raja. Dengan ini jelas pulalah bahwa juga di Sulawesi-Selatan, seorang Raja dapat memperluas kekuasaan, kerajaan atau pengaruhnya dengan mengawinkan anak atau anak-anaknya dengan anak atau anak-anak Raja di kerajaan lain. Pada umumnya seorang Raja pada masa dahulu kala dapat memperluas kekuasaan dan pengaruhnya melalui peperangan. Dengan mengalahkan dan menaklukkan daerah-daerah lain seorang Raja memperluas kerajaannya serta memperbesar kekuasaannya.
Menurut adat kelaziman dan di kerajaan-kerajaan di Sulawesi-Selatan khususnya, syarat utama untuk menjadi Raja, antara lain ialah orang itu sedapat mungkin harus seorang yang ”maddara takku” atau ”Anak Pattola”. Tegasnya, orang itu haruslah seorang yang berdarah bangsawan ”kelas wahid”. Hal ini dapat kita baca di dalam buku ”Verwantschap, stand en sexe in Zuid Celebes" keluaran J.B. Wolters-Groningen, Djakarta 1950 yang dikarang atau disusun oleh Dr. H. Th. Chabot. Pada halaman 121 buku tersebut jikalau diterjemahkan dengan bebas dapat kita baca antara lain sebagai berikut: ”Raja dipandang mempunyai darah bangsawan yang semurni-murninya dan mempunyai sifat-sifat pribadi dalam potensi yang setinggi-tingginva. Kedua hal atau syarat itulah yang diharapkan oleh orang-orang Makasar dari seorang pemimpin. Jikalau seorang Raja memenuhi kedua syarat itu (darah bangsawan yang semurni-murninya dan sifat pribadi yang menonjol; penulis), maka akan ternyata bahwa baginda dapat memperluas daerahnya dan menambah jumlah rakyatnya. Jikalau seorang Raja tidak memenuhi kedua syarat itu, kerapkali terjadi perpecahan di dalam kerajaan itu. Perpecahan itu sering dimulai di dalam keluarga Raja sendiri. Sering sekali terjadi bahwa pada suatu pergantian Raja sudah dapat dilihat dengan jelas pertentangan antara: Anak Raja yang mempunyai hak secara formil, karena ia anak laki-laki yang tertua atau karena ia dipandang mempunyai darah bangsawan yang semurni-murninya dan anak Raja yang memiliki sifat-sifat pribadi yang sebaik-baiknya. Perpecahan yang seperti itu bagi Raja merupakan suatu ancaman. Kekuatan untuk mengembangkan kerajaannya menjadi kecil. Usaha Raja itu hanya tinggal diarahkan untuk mempertahankan kedudukannya di dalam kerajaan. Sebuah contoh yang klasik dari peristiwa semacam ini ialah Perang Saudara di kerajaan Sidenreng dalam tahun 1831 dan tahun-tahun berikutnya”.
Perlu kiranya kami singgung dan lanjutkan di sini, bahwa yang dimaksud di atas itu ialah sewaktu di Sidenreng terjadi perpecahan. Bahkan perpecahan ini kemudian meningkat menjadi Perang Saudara untuk menentukan siapa yang akan menjadi Addatuang atau Raja Sidenreng. Ada dua golongan yang saling berhadapan dan bertentangan, yakni:
- Golongan La Pangurisang yang disokong dan dibantu oleh Raja-Raja atau kerajaan-kerajaan Sawitto, Rappang dan kemudian juga oleh Barru.
- Golongan Datu Lampula yang disokong dan dibantu oleh Datu (Raja) Marioriawa (Soppeng), segolongan dari wajo dan Bone.
Dalam peperangan ini Belanda memperoleh peluang untuk mengadakan intervensi. Belanda mendukung dan memberikan
bantuannya kepada pihak La Pangurisang berupa alat-alat senjata dan mesiu.
Dengan ini jelaslah bahwa sistim feodalisme dalam perkawinan (polygami) mengandung unsur-unsur perpecahan yang sering mengundang intervensi dari luar. Perpecahan yang sering meningkat menjadi Perang Saudara ini sering pula memberi peluang kepada pihak kaum penjajah (Belanda) untuk mencampuri urusan dalam negeri kerajaan-kerajaan itu. Dengan dalil memberi bantuan ”yang adil” kepada sahabat atau sekutu yang dipilihnya Belanda mendapat kesempatan untuk mengadakan intervensi. Bantuan yang diberikan oleh Belanda itu bukanlah bantuan yang diberikan dengan cuma-cuma. Belanda selalu minta ”upah” dan batuan itu selalu ada ikatannya. Contoh yang jelas dapat kita lihat di dalam sejarah kerajaan Mataram. Setiap ada perpecahan atau Perang Saudara di Mataram Belanda selalu memberikan bantuan kepada pihak yang dipilihnya.
Raja yang kemudian memerintah karena mendapat bantuan Belanda itu harus melepaskan sebagian hak dan kekuasaannya untuk diberikan kepada Belanda. Dengan demikian maka sedikit demi sedikit kerajaan Mataram jatuh ke tangan kaum penjajah (Belanda).
Pelantikan atau penobatan Raja Gowa.
Masyarakat Bugis-Makasar terkenal sebagai masyarakat yang bertingkat-tingkat. Orang-orang Bugis-Makasar sangat memperhatikan soal tingkatan di dalam masyarakat. Tadi telah kami katakan bahwa bagi orang-orang Bugis-Makasar syarat yang utama untuk menduduki takhta kerajaan, ialah calon Raja itu harus seorang yang ”maddara takku” atau ”Anak Pattola”. Calon Raja harus berdarah bangsawan ”kelas wahid”. Calon Raja harus mempunyai ”darah bangsawan yang semurni-murninya”. Menurut adat kerajaan dan menurut selera kaum feodal, syarat yang paling diidam-idamkan untuk menjadi Raja ialah orang atau calon Raja itu haruslah seorang ”Anak Pattola”.
1. Nilanti’ (= dilantik)
2. Nitogasa (= ditugaskan?)
Kalau calon Raja Gowa itu seorang Anak Pattola maka beliau
”nilanti′”. Upacaranya dilakukan di Tammalate, yakni sebuah tempat yang letaknya kira-kira 10 km di sebelah selatan Kota Makasar atau Ujung Pandang sekarang. Upacara penobatan ini dilakukan di atas sebuah batu keramat. Menurut ceritera, di
batu keramat itulah Tumanurung (Raja Gowa yang pertama)
berpijak pada waktu turun dari langit.
Kalau calon Raja Gowa itu bukan Anak Pattola, maka beliau ”nitogasa”. Upacara pelantikan ini lebih sederhana sifatnya. Karena bukan "Anak Pattola", maka Sultan Hasanudin pun mengalami upacara penobatan yang disebut ”nitogasa”. Jadi Sultan Hasanudin tidak ”nilanti′”, tetapi beliau ”nitogasa” sebagai Raja Gowa yang ke XVI.
TINGKATAN MASYARAKAT BUGIS-MAKASAR
Setelah menguraikan serba singkat tentang pemilihan dan pengangkatan Raja, maka tidaklah lengkap rasanya, jikalau kita tidak menyinggung soal tingkatan-tingkatan di dalam masyarakat Bugis-Makasar. Perlu kiranya kami nyatakan di sini bahwa soal tingkatan-tingkatan di dalam masyarakat merupakan suatu hal yang sangat penting dan perlu diketahui di dalam kehidupan orang-orang Bugis-Makasar. Oleh karena itu hal ini perlu pula kami uraikan di sini, meskipun hanya secara singkat pula.
Di dalam pukunya yang berjudul "Verwantschap, stand en sexe in Zuid-Celebes" pada halaman 78 Dr. H. Th. Chabot antara lain menegaskan bahwa masyarakat Bugis-Makasar terkenal sebagai masyarakat yang bertingkat-tingkat. Jikalau di sini kami menguraikan tentang tingkatan-tingkatan di dalam masyarakat, sekali-kali bukanlah maksud kami untuk mengembalikan jaman kejayaan feodalisme. Memang feodalisme harus kita tentang, karena feodalisme membuat garis pemisah yang tegas dan keras antara kaum bangsawan dan bukan bangsawan, bahkan menghina golongan budak. Di dalam Negara Republik Indonesia yang demokratis dan berlandaskan Pancasila tidak ada budak, tidak boleh ada darah bangsawan yang di agung-agungkan hanya karena orang itu keturunan ningrat. Harga atau nilai seseorang tidak boleh lagi ditentukan oleh darah, keturunan atau kelahirannya. Harga atau nilai seseorang ditentukan oleh diri pribadi dan jasa-jasa perbuatannya terhadap nusa dan bangsa, oleh sikap dan tingkah-lakunya di dalam kehidupan sehari-hari. Namun karena pembagian masyarakat dan tingkatan-tingkatannya pernah dan mungkin masih merupakan suatu faktor yang amat penting di dalam masyarakat Bugis-Makasar, maka tidak ada jeleknya jikalau kami uraikan juga secara singkat di sini. Paling sedikit hal ini memperluas dan menambah pengetahuan kita tentang masyarakat Bugis-Makasar, terutama pada zaman yang lampau. Apalagi karena hal ini erat sangkut-pautnya dengan sejarah Sultan Hasanudin yang dalam tulisan ini hendak kami uraikan dari pelbagai segi pendekatannya.
Buku ”La Towa” yakni buku yang merupakan kumpulan sabda-sabda dan petuah-petuah atau nasehat-nasehat para Raja dan orang-orang cerdik pandai pada zaman dahulu kala, sering dijadikan pedoman hidup oleh orang-orang Bugis-Makasar. Di dalam buku ini antara lain ditegaskan bahwa kemakmuran dan kekayaan suatu masyarakat atau sebuah negeri ditentukan oleh empat hal atau perkara, yakni:
- Undang-undang
- Bicara (peradilan) .
- Wari′ (yakni pembagian tingkatan di dalam masyarakat) dankemudian setelah agama Islam masuk serta berkembang di Sulawesi-Selatan ditambah dengan satu hal lagi, yakni
- Syara′ (undang-undang Islam)
Agar supaya kita tidak terlalu jauh menyimpang dari uraian kami, baiklah kita memperhatikan saja apa yang disebut ”Wari′”. Seperti telah disebutkan di atas, wari′ ialah pembagian tingkat=tingkat di dalam masyarakat Bugis-Makasar. Di Gowa masyarakat dapat dibagi dalam tiga tingkatan, yakni:
a. ANAK KARAENG, artinya Anak Raja-Raja
- ATA, artinya budak atau hamba-sahaya.
Ketiga tingkatan atau golongan ini dapat lagi dibagi-bagi sebagai berikut:
- ANAK KARAENG: Golongan Anak Karaeng atau Anak Raja-Raja ini dapat lagi dibagi dalam beberapa tingkat atau golongan, yakni:
1) Anak Ti′no, arti sebenarnya: anak masak atau anak matang, yakni anak Raja yang murni atau ”matang” darahnya. Anak Ti′no, ialah anak Raja atau anak-anak Raja yang baik ayah maupun ibunya dari golongan ”Anak Ti′no (anak bangsawan yang tertinggi derajatnya), baik yang berasal dari kerajaan Gowa sendiri, maupun yang berasal dari kerajaan-kerajaan lain yang dianggap setaraf atau setingkat derajatnya dengan kerajaan Gowa, misalnya Anak Ti′no (bahasa Bugis: ”Anak Matasě”) dari kerajaan Luwu, kerajaan Bone, kerajaan Soppeng, kerajaan Wajo, kerajaan Sidenreng dan kerajaan Sawitto. Golongan Anak Ti'no ini dapat dibagi lagi dalam dua tingkat atau golongan, yakni:
a) Anak Pattola, arti sebenarnya: anak pengganti. Anak Pattola ialah Anak Raja yang berhak penuh menggantikan Raja. Beliau inilah Putera Mahkota sejati yang menurut adat kelaziman paling berhak dan paling memenuhi syarat untuk menggantikan Raja. Coba bandingkan dengan apa yang disebut ”Pangeran Adipati Anom” dalam kerajaan Mataram (baik Yogyakarta maupun Surakarta).
b) Anak Manrapi′, arti yang sebenamya ialah anak mencapai. Anap Manrapi' dapat diangkat menjadi Raja apabila tidak ada Anak Pattola atau karena Anak Pattola dianggap tidak cakap sama sekali atau tidak patut menaiki takhta kerajaan. Misalnya karena Anak Pattola yang ada, dungu (embisil) atau gila dan sebagainya
2) Anak Sipuwe, arti yang sebenarnya ialah: anak separuh. Golongan Anak Sipuwe ini dapat pula dibagi dalam dua tingkatan atau golongan, yakni:
a) Anak Sipuwe-manrapi′, arti yang sebenarnya ialah anak-separuh-mencapai. Anak Karaeng atau Anak Raja ini biasanya ayahnya dari golongan Anak Ti′no (Anak Pattola atau Anak Manrapi′), sedang ibunya dari golongan Anak Karaeng Yang tingkatnya di bawah Anak Ti′no Anak Sipuwe-manrapi′ ini dapat diangkat menjadi Raja Gowa apabila tidak ada Anak Pattola dan tidak ada Anak Manrapi′. Atau karena Anak Pattola dan/atau Anak Manrapi′ yang ada, dianggap tidak cakap dan tidak patut untUk menduduki takhta kerajaan Gowa (karena embisil atau menderita penyakit gila).
b) Anak Sipuwe arti yang sebenarnya ialah anak separuh dalam arti yang sempit. Anak Sipuwe ialah Anak Raja yang ayahnya dari golongan Anak Ti′no (Anak Pattola atau Anak ManraPi′)sedang ibunya dari golongan Tumaradeka (yakni orang merdeka atau rakyat biasa, bukan golongan budak atau hamba-sahaya.
3) Anak Cera, arti yang sebenarnya ialah Anak-Darah (Cera = darah). Anak Cera ialah Anak Raja yang ayahnya dari golongan Anak Ti′no (Anak Pattola atau Anak Manrapi′) atau Anak Sipuwe (AnakSipuwe-manrapi′ atau Anak Sipuwe) tetapi ibunya dari golongan Ata (budak atau hambasahaya).
4) Anak Karaeng-Sala, arti yang sebenarnya ialah Anak Raja Salah (sala = salah atau tidak benar). Anak Karaeng-Sala ini ialah anak-anak Raja yang ayahnya dari golongan Anak Sipuwe (golongan 2 b) atau Anak Cera sedang ibunya dari golongan Ata (budak atau hamba-sahaya).
Pada umumnya dari golongan ”ANAK KARAENG” yang telah kami uraikan di atas, golongan Anak Cera dan golongan Anak Karaeng-Sala inilah yang terbanyak dan terbesar jumlahnya. Hal ini terutama pada umumnya disebabkan karena hampir semua Raja atau anak Raja, di samping satu atau dua orang permaisurinya (isteri yang sederajad) mempunyai pula banyak selir (isteri-isteri yang tidak sederajad). Bahkan sering pula Raja atau anak Raja tidak mempunyai atau belum mempunyai permaisuri, tetapi sudah lebih dahulu mempunyai selir-selir yang bahkan tidak sedikit jumlahnya. Antara selir-selir itu sering terjadi persaingan, iri-mengiri dan sebagainya untuk tetap menjadi wanita kesayangan. Di dalam hal ini sering ditempuh segala macam jalan dan cara untuk mencapai tujuannya. Bahkan jikalau perlu dengan menyingkirkan saingannya. Maka tidak heran jikalau di dalam istana sering terjadi ”intriges” atau helat-menghelat antara isteri-isteri Raja dan keluarga ataukelompok serta pengikut-pengikutnya. Hal inilah yang sering
menimbulkan keruwetan dan kerumitan di dalam soal pergantian Raja. Maka pada waktu Raja yang memerintah wafat atau turun takhta sering terjadi perpecahan dan pertikaian. Bahkan perpecahan dan pertikaian ini sering meningkat menjadi ·
Perang Saudara antara anak-anak Raja yang berambisi atau merasa dirinya lebih berhak untuk menduduki takhta kerajaan. Belum lagi keruwetan dan kerumitan yang ditimbulkan oleh pembagian warisan harta-pusaka. Di dalam keadaan yang demikian
inilah kaum penjajah yang memang licik sangat mudah memecah-belah bangsa kita dengan senjatanya yang ampuh dan terkenal dengan nama "divide et impera" (pecah dan jajahlah).
b. TUMARADEKA, arti yang sebenarnya ialah orang merdeka (tu, to atau tau = orang; maradeka = merdeka, bebas, bukan budak atau hamba-sahaya). Golongan Tumaradeka ini dapat dibagi dalam dua tingkatan atau golongan, yakni:
Perlu kami singgung di sini, bahwa yang dimaksud dengan ”Anak Karaeng” di atas itu, ialah Anak-Karaeng ri Gowa, artinya anak-anak Raja di Gowa. Di samping Anak-Karaeng ri Gowa ada pula Anak Karaeng 'Lili'. Golongan ini ialah anakanak Raja-Raja yang negerinya ditaklukkan dan dijadikan daerah jajahan (lili') kerajaan Gowa.
Jadi Anak Karaeng Lili′ dianggap lebih rendah tingkatannya dari pada Anak Karaeng ri Gowa. Seperti yang karni katakan tadi, puteri-puteri dari Raja-Raja yang dianggap setingkat dengan Raja Gowa seperti Puteri (Anak Arung Matase) Raja Bone, Raja Luwu′, Raja Soppeng, Raja Wajo, Raja Sidenreng dan Raja Sawitto dapat dijadikan pennaisuri (isteri yang setingkat deraiat kebangsawanannya) Raja Gowa. Anak Raja Gowa yang lahir dari ibu yang seperti itulah yang disebut Anak Pattola. Anak Raja Gowa yang lahir dari ibu yang berasal dari Karaeng Lili' (jadi tidak sederajat dengan Raja Gowa) dianggap bukan Anak Pattola. Hal ini kita akan lihat nanti pada diri Sultan Hasanudin. Beliau bukan Anak Pattola karena ibu beliau bukan seorang puteri Raja yang dianggap setingkat dengan Raja Gowa.
Sebelum mengakhiri uraian tentang tingkatan-tingkatan di dalam masyarakat di Gowa ini, perlu kami singgung di sini bahwa masih ada lagi golongan di dalam masyarakat di Gowa. Golongan ini ialah yang disebut "Tumanginrang" (manginrang = berhutang) atau Tumangempoang (empo = duduk). Karena masih berhutang orang-orang ini harus bekerja pada orang tempat mereka berhutang. Mereka harus bekerja sampai hutang mereka lunas semuanya.
Sungguhpun di sini kami hanya menguraikan tentang golongan atau tingkatan-tingkatan masyarakat di Gowa, namun dalam garis besarnya dan pada umumnya hal itu sama saja dengan golongan atau tingkatan masyarakat di tanah Bugis (Bone atau Luwu'). Hanya tentu ada perbedaan kecil dan mungkin dalam penggunaan istilah saja. Misalnya: Jikalau di Gowa dipergunakan istilah bahasa Makasar Anak Karaeng
maka di tanah Bugis (Bone) dipergunakan istilah bahasa Bugis Anak Arung. Kedua-duanya berarti anak Raja. Kalau di Gowa dipergunakan istilah bahasa Makasar: Anak Karaeng Ti′no maka di tanah Bugis (Bone) dipergunakan istilah bahasa Bugis:
Anak Arung Matasě. Ti′no (bahasa Makasar) dan Matase (bahasa Bugis) kedua-duanya berarti masak atau matang.
BENDA-BENDA PUSAKA DAN PENINGGALAN KERAJAAN GOWA
Untuk melengkapi uraian kami ini, maka perlu kiranya kami singgung sedikit tentang benda-benda pusaka kerajaan Gowa. Benda-benda pusaka kerajaan Gowa biasa juga disebut KALOMPOANG (Lompo = besar, agung). Jadi "Kalompoang" berarti benda-benda kebesaran kerajaan Gowa. Benda-benda pusaka atau "Kalompoang" ini sangat dimuliakan, bahkan dikeramatkan oleh rakyat Gowa dan orang-orang suku MaKasar pada umumnya. Yang terpenting dan yang terutama di antara benda-benda "Kalompoang" kerajaan Gowa itu ialah sebilah senjata, sejenis pedang atau kelewang yang disebut ”SUDANG”. Menurut adat dan menurut kepercayaan orang-orang Gowa serta orang-orang suku Makasar, barang siapa yang memiliki pedang yang disebut "Sudang" maka dialah yang berhak menjadi Raja Gowa. Orang yang memakai atau menyelipkan senjata "Sudang" di pinggangnya diaku sebagai Raja Gowa yang syah. Senjata "Sudang" ini dianggap sebagai senjata yang sangat keramat oleh rakyat Gowa, Menurut adat, pada upacara pelantikan Raja Gowa, oleh Gallarang Mangngasa biasanya diucapkanlah kata-kata sebagai berikut: "Inai-nai anjunjungi SALOKOA, ampassappiki SUDANGA, ambarai CINDEA, ia karaeng ri Gowa, Sombai karaengnu tu Gowa!" Artinya: Barang siapa yang menjunjung (meletakkan di kepalanya) mahkota yang disebut ”Salokoa”, menyisipkan di pinggangnya senjata yang disebut ”Sudang” dan melilitkan (memakai sebagai sarung) kain yang disebut ”Cindea” maka dialah Raja di Gowa. Sembahlah Rajamu wahai orang-orang atau rakyat Gowa!"
Setelah itu barulah dengan suara yang gemuruh rakyat Gowa yang banyak berkumpul di tempat pelantikan menyambut kata-kata Gallarang Mangngasa itu dengan sorak tiga kali sebagai berikut: ”Sombangku Karaeng! Sombangku karaeng! Sombangku karaeng!” Artinya kurang lebih: ”Tuanlah Raja yang kusembah! Tuanlah Raja yang kusembah! Tuanlah Raja yang kusembah!"
Sesudah itu maka sahlah orang yang dinobatkan menjadi Raja Gowa. Dari kata-kata yang diucapkan oleh Gallarang Mangngasa itu dapat kita ketahui bahwa ada tiga benda pusaka kerajaan Gowa yang sangat penting artinya, yakni: Salokoa, atau mahkota, senjata yang disebut ”Sudanga” dan kain yang disebut ”Cindea”. Ketiga benda pusaka ini harus ada dan dipakai pada pelantikan seorang Raja Gowa. Jikalau kita memperhatikan betul-betul kata-kata Gallarang Mangngasa itu, nyatalah bahwa seorang Raja Gowa barulah diakui sah oleh rakyat Gowa jikalau baginda memakai ketiga benda pusaka itu pada waktu dilantik atau dinobatkan. Tanpa memakai ketiga pusaka itu penobatan Raja Gowa dianggap tidak sah, terutama bagi mereka yang berpegang teguh pada adat kelaziman ini.
Menurut lontara atau Sejarah Gowa, Raja perempuan Gowa yang pertama, yakni ”Tumanurung” kawin dengan Karaeng Bayo. Dari perkawinan ini lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Tumasalangga Barayang. Anak ini kemudian menjadi Raja Gowa yang ke II. Karaeng Bayo mempunyai saudara laki-laki yang bernama Lakipadada. Dari Lakipadada inilah Tumasalangga Barayang memperoleh senjata yang disebut Sudang, yang kemudian rnenjadi salah satu benda pusaka ke rajaan Gowa yang penting dan sangat dikeramatkan oleh rakyat Gowa. Dari ayahnya yakni dari Karaeng Bayo, Raja Gowa II memperoleh pula sebuah pusaka yang disebut ”Tanruballanga”. Benda inipun kemudian menjadi benda pusaka kerajaan Gowa yang sangat dimuliakan oleh rakyat Gowa.
Ada lagi sebuah benda pusaka kerajaan Gowa yang juga dianggap penting dan dikeramatkan, yakni rantai yang disebut Daeng Tanisamang atau disingkat saja Tanisamang. Benda pusaka ini berupa sebuah rantai dari pada emas. Menurut lontara atau Sejarah Gowa, Tanisamang ini merupakan pusaka turun dari langit bersama Tumanurunga ri Tammalate. Setelah anak laki-laki Tumanurunga yang bernama Tumasalangga Barayang agak besar, maka Tumanurunga memotong kalungnya menjadi dua bagian. Sebagian dibawanya serta dan sebagian lagi diserahkannya kepada anaknya yang kemudian menjadi Raja Gowa yang ke II. Setelah menyerahkan sebagian kalungnya kepada anaknya, lalu beliau masuk ke dalam biliknya dan menghilang. Bagian rantai yang diberikan oleh Tumanurunga kepada anaknya itulah yang disebut Tanisamang, artinya tidak ada samanya. Dahulu, pada tiap Hari Raya Haji (ldil Adha) Tanisamang ini ditimbang beratnya. Menurut kepercayaan orang-orang Gowa dan orang-orang suku Makasar pada umumnya, berat Tanisamang ini tiap tahun tidaklah selalu sama. Beratnya adakalanya berkurang dan adakalanya bertambah. Jikalau berat Tanisamang berkurang, maka hal itu adalah suatu pertanda atau alamat yang tidak baik. Kerajaan Gowa akan dilanda bencana dan rakyat Gowa akan ditimpa malapetaka. Kalau berat Tanisamang berkurang, maka kerajaan Gowa akan dilanda penyakit menular atau epidemi dan sebagainya. Akan tetapi sebaliknya, jikalau Tanisamang bertambah beratnya, maka hal itu merupakan pertanda atau alamat yang baik. Kerajaan Gowa akan mengalami masa yang baik dan cemerlang. Panen akan berhasildan rakyat Gowa akan mengalami hari-hari yang bahagia.
Benda-benda kerajaan atau ”kolompoang” seperti Sudanga, Tanruballanga dan Tanisamang merupakan benda-benda pusaka kerajaan Gowa yang tertua. Benda-benda itu sudah ada sejak Raja Gowa yang ke I atau Tumanurunga dan Raja Gowa yang ke II
yang bernama Tumasalangga Barayang. Ketiga kalompoang ini merupakan pusaka kerajaan Gowa yang tertua dan sangat dihormati serta dikeramatkan oleh rakyat Gowa. Di samping Tanisamang ada lagi beberapa jenis perhiasan rantai emas yang juga menjadi pusaka kerajaan Gowa seperti rantai-rantai emas yang disebut: ”Leenyo”, ”Rantai Manila”, ”Rantai koloro” dan ”Rantai Bulo-Bulo”. Kemudian ada lagi beberapa benda-benda pusaka kerajaan Gowa, antara lain Panji kerajaan Gowa yang disebut "Sulengkaya", payung pusaka yang disebut ”La′ lang Sipuwe” artinya payung-separuh. Payung ini memang merupakan payung pusaka yang tidak sempurna bundarnya (jadi hanya separuh bundar, setengah lingkaran). Ada lagi: tiga buah alat sumpit, beberapa buah tombak, sebuah keris bersarung emas yang disebut ”Daeng ri Tamacina”, sebuah keris tanpa sarung emas yang disebut ”La Tenriduni” dan sebuah keris lagi yang hulu dan sarungnya dibuat dari pada emas. Keris ini disebut ”Lateakasi”. Selanjutnya banyak lagi benda-benda kuna seperti piring-piring dan mangkuk-mangkuk porselin, subang atau giwang yang disebut ”Bangkara Ta'rowe” yang terbuat dari pada emas, ”kutu-kutu” (bahasa Jawa: cunduk mentul) dari pada emas, sulepe atau ikat pinggang dari pada emas, ”potto naga” (= gelang naga) dari pada emas, tempat ludah, tempat sirih dan lain-lain sebagainya yang semuanya terbuat dari pada emas.
Selain dari pada benda-benda pusaka kerajaan Gowa, ada pula beberapa peninggalan kerajaan Gowa yang perlu kami singgung di sini, yakni antara lain:
”Bungung Barania” artinya Sumur Berani. Sumur ini oleh rakyat Gowa pada zaman dahulu dianggap sebagai sumur sumber keberanian, sumur yang memberi khasiat berupa keberanian. Bungung Barania. ini merupakan sebuah sumur keramat. Letak sumur ini kurang lebih 10 km di sebelah selatan kota Makasar atau Ujung Pandang, tidak jauh dari makam Sultan Hasanudin. Menurut ceritera, pahlawan-pahlawan Gowa yang akan berangkat ke medan pertempuran, biasanya mandi dahulu di Bungung Barania ini. Para pahlawan yang sudah mandi atau dimandikan di sumur keramat ini merasa memiliki keberanian yang luar biasa. Mereka merasa memiliki suatu kekuatan yang luar biasa untuk mengalahkan dan menghancurkan musuh-musuhnya. Menurut ceritera, pada waktu Sultan Hasanudin dan kerajaan Gowa akan kalah perang, air Bungung Barania ini mendidih. Kemudian air sumur itu membatu dan sumur itu menjadi kering, sehingga sumur keramat itu tidak dapat lagi dilihat dengan jelas. Sumur keramat itu sudah tertutup sama sekali. Di situ hanya ada sebuah batu. Menurut ceritera, batu itulah yang berasal dari didihan air Bungung Barania. Hilangnya sumur keramat kerajaan Gowa itu adalah pertanda atau alamat runtuhnya kerajaan Gowa. Bungung Barania terletak di daerah Tammalate, tidak jauh dari makam Sultan Hasanudin. Daerah itu termasuk daerah Gowa aseli.
Bungung Barania sama nama dan sama artinya dengan Sendang Siwani, yakni sebuah sumur di daerah Selogiri, di sebelah selatan kota Solo atau Surakarta. (sendang = sumur; Siwani = Si berani). Air Sendang Siwani sering dipergunakan oleh perajurit-perajurit Mangku Negoro I alias Mas Said alias Sambernyawa pada abad ke XVIII. Para perajurit Mangku Negoro I alias Sambernyawa selalu pergi dahulu mandi di Sendang Siwani ini sebelum mereka berangkat ke medan perang. Setelah mandi di sumur keramat itu para perajurit Mangku Negoro I itu merasa dirinya berani dan yakin dapat mengalahkan musuh mereka. Sampai sekarang pun Sendang Siwani ini masih ada. Melihat persamaan nama, arti dan khasiat kedua sumur keramat itu, yakni Bungung Barania di Sulawesi-Selatan dan Sendang Siwani di Jawa Tengah, sungguh menarik perhatian. Di sini dapat kita lihat, bahwa orang-orang Indonesia pada zaman dahulu sudah mengenal apa yang sekarang sering disebut ilmu jiwa perang. Mental prajurit perlu ditingkatkan dan dipelihara dengan baik. Tanpa mental yang baik prajurit tidak dapat bertempur dengan gagah-berani. Kedua sumur itu dapat kita lihat dipergunakan sebagai media atau alat untuk meningkatkan dan memelihara mental prajurit prajurit Gowa dan prajurit-prajurit Mangku Negoro I.
Bungung Bissua artinya ”Sumur Biksu”.Kalau belum rusak, sampai sekarang pun sumur ini ada. Dahulu para ”bissu” (biksu, dukun upacara atau pemangku adat) mempergunakan air sumur ini sebelum mereka mengadakan upacara adat.
Ketiga sumur peninggalan sejarah kerajaan Gowa ini, yakni Bungung Barania, Bungung Lompoa dan Bungung Bissua terletak di daerah Gowa aseli, yakni di daerah Tammalate, tempat Tumanurunga atau Raja Gowa yang I turun dari langit.
PEMBERIAN NAMA DAN GELAR PADA ORANG-ORANG MAKASAR
Untuk melengkapi bab "Serba-serbi Sulawesi-Selatan" ini ada baiknya pula kami uraikan secara singkat tentang adat atau kebiasaan orang-orang suku Makasar memberikan nama dan gelar. Dalam buku ini dan jikalau kita ingin meneliti sejarah Sulawesi-Selatan kita akan sering menjumpai nama-nama yang bagi orang-orang di luar Sulawesi-Selatan mungkin agak aneh atau janggal. Misalnya saja tokoh atau Pahlawan Nasional Indonesia yang ingin kita uraikan sejarah perjoangannya di dalam buku ini, yakni Sultan Hasanudin. Nama lengkap beliau ialah: Muhammad Bakir I. Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Sultan Hasanudin Tumenanga ri Balla′ Panakana. Cukup panjang dan aneh bukan? Oleh karena itu maka tidaklah ada buruknya jikalau adat atau kebiasaan orang-orang Makasar memberikan nama dan gelar kita singgung pula secara singkat di sini.
Orang-orang suku Makasar memberikan nama dan gelar kepada seseorang atau kepada anaknya, biasanya melalui beberapa tingkat dan masa. Orang-orang Makasar mempunyai beberapa macam atau jenis nama, yakni:
1. Areng Dondo-Dondo, arti sebenarnya nama-topeng (areng = nama; dondo-dondo = topeng). Pada waktu seorang anak masih kecil dan sebelum anak itu diberi nama-diri biasanya anak itu diberi nama yang di dalam bahasa Makasar disebut "Areng Dondo-Dondo, artinya nama-topeng. Maksudnya mungkin nama yang lucu seperti topeng atau nama untuk menipu dan menakut-nakuti seperti topeng. Tentu timbul pertanyaan: "Untuk menipu atau menakut-nakuti siapa?" Tentunya tidak lain untuk menipu dan menakut-nakuti pihak yang mau mencelakakan anak kecil itu. Seperti kita ketahui, topeng mudah dicabut karena hanya melekat dan dipakai untuk sementara saja. Jadi tidak akan dipakai untuk seterusnya. Demikian pula ”Areng Dondo-Dondo” ini sifatnya sering lucu dan dipakai untuk sementara saja. Kemudian akan diganti dengan nama diri anak itu yang sebenarnya. Misalnya: Anak itu diberi nama I. Cina atau I. Japang. (Keterangan: Orang-orang Makasar lazimnya menambahkan I. di depan nama seseorang. Artinya sama dengan Si. Orang-orang Bugis lazimnya menambahkan La di depan nama orang laki-laki dan I. atau We di depan nama orang-orang perempuan. Contoh nama-nama Bugis: La Baso, La Mappa, La Tinulu′, La Tuwo dan sebagainya untuk orang laki-laki. I. Becce, I. Halimah, We Tenriamparang, We Patimang untuk orang-orang perempuan).
Sekarang kita kembali kepada "Areng Dondo-Dondo" anak tadi, yakni I. Cina atau I. Japang. Nama ini diberikan sebagai nama sebut-sebutan atau "Areng Dondo-Dondo". Anak itu dinamakan I. Cina atau I. Japang, biasanya karena anak itu mempunyai mata yang sipit atau mempunyai ciri-ciri jasmaniah yang mirip orang Cina atau orang Jepang. Jadi karena mempunyai kemiripan dengan orang Cina atau orang Jepang, maka anak itu oleh keluarganya diberi nama I. Cina atau I. Japang.
Kalau seorang anak lahir, misalnya pada waktu ayahnya atau neneknya pergi ke ”Tanah Suci”, maka biasanya anak itu diberi nama I. Makka atau I. Madina. Demikianlah kebiasaan orang-orang suku Makasar memberikan nama sebut-sebutan atau ”Areng Dondo-Dondo” kepada anak atau cucunya.
Biasa pula dan sering terjadi "Areng Dondo-Dondo" itu tidak diganti dan tetap dipakai sampai anak itu besar. Hal ini biasanya terjadi jikalau misalnya selama memakai nama itu anak itu selalu sehat dan selamat. Biasa pula karena selama memakai nama itu orang tua anak itu selalu sejahtera dan bahagia hidupnya. Maka nama itu dianggap cocok untuk anak itu. Nama itu dianggap membawa berkah dan kebaikan bagi anak itu serta keluarganya. Maka ”Areng Dondo-Dondo” itu tidak dicabut dan tidak diganti. Namun pada umumnya ”Areng Dondo-Dondo” itu bersifat sementara saja dan kemudian diganti.
2. Areng ri kale. (Areng = nama; ri pada atau di; kale = diri). Jadi "Areng ri kale" berarti nama-diri atau nama diri sendiri. Setelah anak itu besar sedikit, biasanya pada usia kira-kira tiga tahun, maka ”Areng Dondo-Dondo” (kalau ada) dicabut seperti halnya mencabut topeng lalu diganti dengan ”Areng rikale”. Pergantian nama atau pemberian ”Areng ri kale” ini biasanya dilakukan dengan mengadakan suatu upacara adat. Dalam memberikan nama-diri atau ”Areng ri kale” ini bagi orang-orang Makasar ada dua pilihan, yakni:
a.Nama Makasar aseli. Untuk anak laki-laki misalnya: I Mannaungi, I. Manggasangi, I. Mappasomba, I. Mappaosong, I. Mappatunru′ dan sebagainya. Semua nama-nama Makasar ini mempunyai arti atau mengandung harapan yang baik. Misalnya: I. Mannaungi = yang menaungi yang memberi perlindungan; I. Mappatunru′ = yang menundukkan, yang menaklukkan. Untuk nama anak-anak perempuan, misalnya: I. Rosi, I. Malati (nama-nama bunga), I. Jamarro, I. Baiduri (nama-nama perhiasan), I. Sabbe (= sutera), I. Tammalate (= tak kan layu) dan sebagainya. Dalam memberikan nama itu kepada anaknya, orang tua tentunya mengandung harapan semoga anaknya itu memiliki sifat-sifat utama dari pada bunga, perhiasan, sutera atau sebagainya yang dipakai anak itu sebagai namanya.
b.Nama "Arab". Setelah agama Islam masuk dan orang-orang Makasar menjadi penganut agama Islam yang taat, maka nama-diri atau "Areng ri kale" orang-orang Makasar, sering juga diambilkan dari nama-nama Arab atau nama-nama yang tersebut dalam kitab suci Al Qur’an. Untuk anak laki-laki, misalnya, Muhammad, Abdurrahim, Abdullah, Abdul Kadir, Ibrahim, Musa dan sebagainya. Di sini pun orang tua mempunyai harapan yang baik dalam memberikan nama kepada anak-anaknya.
Misalnya nama Muhammad. Orang tua memberikan nama Muhammad kepada anaknya dengan harapan supaya anak itu memiliki sifat-sifat yang mulia dan utama Nabi Muhammad s.a.w. Demikian juga dengan nama-nama yang lainnya. Orang tua mengandung harapan semoga anaknya itu memiliki sifat-sifat utama tokoh-tokoh yang dipakai namanya itu. Sering pula nama-nama ”Arab” itu disebut atau diucapkan dan ditulis menurut lidah daerah atau lidah orang-orang Makasar. Misalnya: Badolla (dari Abdullah), Bedduramang (dari Abdurrakhman), Borahima (dari Ibrahim) dan sebagainya.
Untuk anak-anak perempuan misalnya: Fatimah, Siti Maryam, Zaenab dan sebagainya. Di sini pun orang tua memberikan nama kepada anaknya dengan harapan semoga anak perempuannya memiliki sifat-sifat utama tokoh-tokoh wanita yang dipakai namanya itu. Nama untuk anak perempuan ini pun sering diucapkan dan ditulis menurut lidah daerah. Misalnya I. Mariama atau I. Mariang (dari Maryam), I. Sinabong (dari Zaenab) dan sebagainya.
Nama-diri atau nama pribadi yang di dalam bahasa Makasar disebut ”Areng ri kale” atau ”Areng kalenna” tidak boleh disebut sembarangan. Kalau orang itu sudah mendapat gelar Daeng di belakang namanya, maka nama dirinya atau ”Areng kalenna” tidak boleh lagi disebut-sebut. Nama diri atau ”Areng ri kale" Raja-Raja atau orang-orang yang sangat dimuliakan dan dihormati sangat pantang disebut secara sembarangan oleh orang-orang Makasar yang tahu adat. Mereka segan sekali bahkan takut menyebut nama diri Raja-Raja atau orang-orang yang sangat dimuliakan. Kalau pun nama diri misalnya Raja yang dihormati terpaksa juga harus disebut, maka biasanya didahului oleh ucapan: ”langku mabassung” artinya semoga saya tidak kualat atau mudah-mudahan saya tidak terkutuk. Hal ini sering kita jumpai di dalam lontara atau buku Sejarah Gowa yang disebut : ”PATTURIOLOWANGA RI TU GOWAYA” (Patturiolowang berasal dari kata "tu-riolo" artinya orang atau orang-orang dahulu kala. Dengan awalan pa dan akhiran ang berarti uraian tentang hal-hal orang dahulu kala. Jadi ”PATTURIOLOWANGA RI TU GOWAYA” berarti uraian tentang orang-orang Gowa dahulu kala atau singkatnya tambo atau Sejarah Gowa. Dalam buku itu tampak dengan jelas betapa segannya bahkan betapa takutnya orang Gowa menyebut ”Areng ri kale” Raja-Rajanya. Misalnya: . . . . "areng kalenna iangku mabassung nikana I. Mangngarangi areang pamanaina I. Daeng
Manra′bia, areng Ara′na nikana Solotang Alauddin artinya: "nama dirinya semoga saya tidak terkutuk disebut I. Mangngarangi, nama gelarnya atau nama Daengnya I. Daeng Manra′bia, nama Arabnya disebut Sultan Alaudin. 3. Areng Paddaengang, artinya nama gelar memakai Daeng. Seorang anak yang dianggap sudah dewasa, biasanya diberi "nama tua" atau nama gelar yang di dalam bahasa Makasar disebut "Areng Paddaengang". Terlebih-lebih bagi orang-orang Makasar yang berasal dari golongan bangsawan atau yang berasal dari keluarga baik-baik, nama daeng atau "Areng Paddaengang" ini merupakan suatu keharusan adat. Oleh karena itu pula maka orang-orang suku Makasar dari keluarga baik-baik selalu memakai gelar Daeng di belakang nama-diri atau "Areng kalenna". Jadi nama orang ini ada dua, yakni: nama-diri atau "Areng kalenna" dan "nama Paddaengangnya". Oleh karena itu maka orang baik-baik atau Tu-baji di dalam bahasa Makasar sering pula disebut "Tau rua arenna" artinya orang yang dua namanya.
Jadi orang-orang suku Makasar, terlebih-lebih orang-orang bangsawan atau orang-orang dari keluarga baik-baik setelah dianggap sudah dewasa tentu memperoleh "nama Paddaengangnya". Setelah ia memperoleh "Areng Paddaengangnya", maka ia tidak boleh dan tidak pernah lagi dipanggil dengan "Areng ri kalenya". Sejak itulah semua orang, pun keluarga dan sahabat karibnya, bahkan ibu-bapaknya tidak lagi akan menyebut atau memanggilnya dengan nama-diri atau "Areng ri kale" orang itu. Sebagai penghormatan dan sebagai penghargaan terhadap orang itu, maka menurut tata-cara adat-sopan-santun orang-orang suku Makasar, semua orang, kenalan atau handai-taulan atau teman-teman, bahkan keluarga dan orang tuanya sendiri TIDAK AKAN memanggil anak yang sudah dianggap dewasa itu dengan nama-diri atau "Areng ri kalenya". Menurut adat sopan-santun orang-orang suku Makasar, semua orang baik teman karib maupun keluarga orang itu, bahkan ibu-bapaknya, harus memanggil orang itu dengan "nama Paddaengangnya". Misalnya pada waktu kecilnya seorang bernama atau diberi nama Ibrahim. Jadi Ibrahim adalah nama-diri atau "Areng ri kale" orang itu. Kemudian setelah dianggap sudah dewasa, maka Ibrahim yang tergolong orang baik-baik itu diberi gelar atau "Areng Paddaengang". Misalnya orang itu diberi "nama Paddaengang" Daeng Mappuji. Jadi lengkapnya nama Ibrahim ialah Ibrahim Daeng Mappuji. Maka sejak itulah, menurut adat sopan-santun orang-orang suku Makasar, semua orang harus memanggil dia "Daeng Mappuji". Tidaklah sopan, bahkan sering dianggap kurang ajar atau menghina jikalau ada orang yang masih menyebut atau memanggil orang itu : "Ibrahim"!
Jadi menurut tata-cara atau adat sopan santun orang Makasar, semua orang, kenalan, teman karib atau pun keluarga, bahkan ibu-bapak Ibrahim sendiri harus memanggil si Ibrahim dengan "Areng Paddaengangnya" yakni Daeng Mappuji. Nama atau panggilan Ibrahim seolah-olah dihilangkan dan tidak akan disebut-sebut lagi. Namun nama lengkap orang itu pada papan namanya akan tetap terbaca: Ibrahim Daeng Mappuji! Hal ini perlu diperhatikan orang-orang bukan suku Makasar yang mempunyai kenalan atau kawan-kawan karib orang-orang suku Makasar.
Jadi tidaklah sopan dan tidak sesuai dengan adat sopan santun orang-orang suku Makasar, jikalau seorang teman karib Ibrahim Daeng Mappuji, misalnya pada waktu bertemu beliau di jalan berteriak: "Hai Ibrahim! Mau ke mana!"
Menurut tata-cara atau adat sopan-santun orang-orang suku Makasar maka seyogyanya dan sebaiknya orang itu menyapa: "Hai Daeng Mappuji! Mau ke mana?"
Memang: Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Namun demikianlah tata-cara dan adat sopan-santun orang-orang suku Makasar.
Adapun nama-nama "Areng Paddaengang" itu sering mengandung arti, makna atau harapan yang baik. Untuk orang laki-laki biasanya dipergunakan misalnya: Daeng Mappuji (artinya yang terpuji), Daeng Mangemba (artinya yang menghalau), Daeng Ngerang (artinya yang membawa. Maksudnya tentunya yang membawa kebaikan dan kebajikan), Daeng Matutu (artinya orang yang berhati-hati) dan sebagainya.
Untuk orang-orang perempuan biasanya dipergunakan nama-nama Areng Paddaengang" seperti: Daeng Bau' (Bau' artinya harum), Daeng Baji' (Baji' = baik), Daeng Tajammeng (tajammeng = tidak mati), Daeng Caramming (Caramming = cermin) dan sebagainya. "Areng Paddaengang" biasa juga disebut "Areng Pamana"' artinya kira-kira nama tambahan.
4. Areng Pakkaraengang (Areng = nama; karaeng = Raja). Nama atau gelar ini diberikan setelah seseorang diberi gelar Karaeng yang artinya Raja di suatu daerah atau kerajaan kecil di dalam wilayah kerajaan Gowa, Nama atau gelar ini hanya diberikan kepada Raja-Raja. Jadi "Areng Pakkaraengang" atau "nama karaeng" ini hanya diberikan kepada anak Raja-Raja atau golongan yang disebut di depan tadi golongan "Anak karaeng". Golongan Tumaradeka (Tubaji' maupun Tusamara' tidak boleh memakai nama Pakkaraengang ini). Gelar atau "Areng Pakkaraengang" ini biasanya diambilkan dari nama tempat atau daerah di mana anak Raja itu tinggal atau berkuasa. Misalnya Karaeng Lakiung artinya Raja atau negeri di daerah Lakiung. Demikian pula Karaeng Galesong artinya Raja di negeri atau di daerah Galesong, Karaeng Bontomangape artinya Raja di negeri atau di daerah Bontomangape. Karaeng Ujung Tanah artinya Raja di negeri atau di daerah Ujung Tanah dan sebagainya.
Khusus bagi anak-anak Raja Gowa atau calon-calon Raja Gowa, menurut kebiasaan yang memang sudah diadatkan, sebelum mereka menaiki takhta kerajaan Gowa, mereka diangkat dahulu menjadi karaeng atau Raja di salah sebuah negeri yang termasuk wilayah kekuasaan kerajaan Gowa. Setelah anak Raja itu memperoleh "Areng Pakkaraengangnya" maka "Areng rikale" dan Areng Paddaengangnya" tidak lagi dipanggilkan atau disebutkan bagi anak Raja itu. Maka anak Raja itu selalu dipanggil atau disebut dengan nama Pakkaraengangnya. Misalnya Karaeng Galesong, Karaeng Bontomarannu, Karaeng Lakiung dan sebagainya. Jadi setelah seorang anak Raja memperoleh "Areng Pakkaraengangnya", maka "Areng ri kale" dan "Areng Paddaengangnya" seolah-olah tidak dipakai lagi.
Menurut tata-cara atau adat sopan-santun orang-orang suku Makasar orang-orang harus menyebut atau memanggil anak Raja itu dengan nama atau Areng Pakkaraengangnya. Jikalau tidak demikian maka orang itu paling sedikit dapat dianggap tidak menurut adat sopan-santun yang dilazimkan. Bahkan mungkin orang itu dapat dianggap kurang ajar atau tidak tahu adat.
5. Gelar Sultan. Setelah anak Raja itu menaiki takhta kerajaan Gowa maka ia mendapat gelar Sultan, sesuai dengan martabatnya sebagai Raja Gowa, Raja yang besar kekuasaannya di Sulawesi-Selatan. Gelar Sultan ini diberikan terutama setelah agama Islam masuk dan tersebar di seluruh wilayah Sulawesi-Selatan seperti: di Gowa, Bone, Luwu' dan lain-lainnya. Nama-nama Sultan itu biasanya diambilkan dari nama-nama Arab. Misalnya: Raja Gowa yang mula-mula masuk Islam, yakni Sultan Alauddin (Raja Gowa yang ke XIV), Sultan Muhammad Said (Raja Gowa yang ke XV) dan kemudian Sultan Hasanudin (Raja Gowa yang ke XVI) serta Raja-Raja Gowa sesudah Sultan Hasanudin.
6. Nama Anumerta. Menurut adat orang-orang suku Makasar dan juga adat yang dilazimkan oleh orang-orang suku Bugis, kepada Raja-Raja besar yang dihormati, misalnya Raja Gowa, Raja Luwu', Raja Bone, Raja Soppeng, Raja Wajo dan lain-lainnya sesudah baginda wafat baginda menapat lagi "nama anumerta". Lazimnya nama anumerta itu diambilkan dari tempat, keadaan atau sifat Raja itu wafat. Misalnya:
1) Tumenanga ri Gaukanna artinya yang wafat atau istirahat dalam perbuatan (baik)nya atau dalam masa pemerintahannya untuk Sultan Alauddin, Raja Gowa yang ke XIV.
2) Tumenanga ri Papambatunna artinya yang wafat pada batu-tulisnya untuk Sultan Muhammad Said atau Malikussaid, Raja Gowa yang ke XV. Nama anumerta itu diberikan kepada baginda, karena baginda terkenal mempunyai tulisan tangan yang bagus sekali.
3) Tumenanga ri Balla' Pangkana artinya Raja atau orang yang wafat di istananya yang indah untuk Sultan Hasanudin, Raja Gowa yang ke XVI.
Pun Raja-Raja Tallo yang lazimnya merangkap pula menjadi Mangkubumi atau Perdana Menteri atau Pabbicara Butta kerajaan Gowa, mendapat nama atau gelar anumerta. Yang terkenal antara lain, ialah:
1) Raja Tallo yang bergelar Sultan Abdullah Awalul Islam yang juga terkenal dengan nama beliau Karaeng Matoaya. Beliau ini masih seorang paman atau mamak Sultan Alaudin. Raja Tallo yang merangkap menjadi Mangkubumi kerajaan Gowa ini, setelah beliau wafat mendapat "nama Anumerta" yakni Tumenanga Agamanna artinya Raja atau orang yang wafat dalam agamanya, karena beliau terkenal sebagai seorang Raja yang sangat taat kepada agamanya. Ada juga yang menamakan beliau Tumenanga ri Tappa'na artinya Raja atau orang yang wafat dalam kepercayaannya, karena beliau memang terkenal sebagai seorang Raja yang saleh.
2) Putera Karaeng Matoaya yang tersebut di atas, yang menggantikan beliau menjadi Raja Tallo dan merangkap sebagai Mangkubumi kerajaan Gowa, ialah Sultan Mahmud. Beliau ini lebih terkenal dengan nama Pakkaraengangnya, yakni Karaeng Pattingaloang. Beliau terkenal sebagai seorang Mangkubumi yang cendekia dan menguasai serta dapat berbahasa beberapa bahasa asing. Setelah wafat beliau diberi nama anumerta Tumenanga ri Bontobiraeng, artinya Raja atau orang yang wafat di Bontobiraeng, yakni sebuah tempat atau daerah di wilayah kerajaan Gowa.
Tadi kami sudah mengatakan bahwa juga orang-orang suku Bugis mempunyai adat kebiasaan memberikan nama anumerta kepada seorang Raja. Misalnya Aru Palaka Raja Bone yang ke XIV yang bekerja sama dengan V.O.C. melawan Sultan Hasanudin. Setelah wafat Aru Palaka diberi nama atau gelar anumerta "Matinrowe ri Bontoala" artinya Yang tidur di Bontoala (Matinrowe = tidur; ri = di; Bontoala sebuah kampung di bagian timur kota Makasar atau Ujung Pandang).
Raja Bone yang ke XI yang bemama La Tenriruwa Sultan Adam ayah dari ibu Aru Palaka. Jadi Aru Palaka adalah cucu Sultan Adam, Raja Bone yang ke XI. Setelah wafat Sultan Adam diberi nama atau gelar Matinrowe ri Bantaeng, artinya yang tidur di Bantaeng (Bantaeng adalah sebuah tempat di Sulawesi-Selatan).
Raja Bone yang ke XV, kemanakan Aru Palaka yang bernama La Patau yang juga terkenal dengan nama baginda Sultan Alimuddin. Setelah wafat La Patau Sultan Alimuddin lebih dikenal dengan nama anumerta beliau Matinrowe ri Nagauleng, artinya yang tidur di Nagauleng.
Raja atau Arung Matowa Wajo yang bemama La Tenrilai Tosengngeng tewas pada waktu baginda membakar sumbu meriamnya. Beliau diberi gelar atau nama anumerta Matinrowe ri Salekona artinya Yang tidur (= wafat) di kubu meriamnya.
Suku Jawa pun mengenal adat memberi gelar atau nama anumerta kepada seorang Raja yang sudah wafat. Misalnya: Putera Panembahan Senopati yang bernama Mas Jolang yang memerintah Mataram dari tahun 1601 sampai tahun 1613. Pada waktu pulang dari peperangan menundukkan daerah-daerah yang membangkang terhadap Mataram, baginda wafat pada tahun 1613 di desa Krapyak. Mas Jolang kemudian terkenal dengan nama atau gelar anumertanya Panembahan Seda ing Krapyak, artinya Panembahan atau Raja yang wafat di Krapyak.
Sultan Jarot atau Sultan Hamengku BuwanaIV sekonyong-konyong wafat pada tanggal 6 Desember 1822 di dalam suatu "pesiar" atau tamasya. Baginda terkenal pula dengan nama atau gelar anumerta baginda "Seda ing pesiar" artinya wafat dalam tamasya.
Dengan ini jelaslah bahwa pemberian nama atau gelar anumerta kepada seorang Raja yang telah wafat, bukanlah adat kebiasaan suku Bugis dan suku Makasar saja. Adat kebiasaan ini dilazimkan pula oleh orang-orang Indonesia di luar suku Bugis-Makasar. Misalnya orang-orang suku Jawa.
Menurut adat kebiasaan orang-orang suku Makasar dan juga orang-orang suku Bugis, maka Raja yang telah wafat biasanya hanya disebut atau sering hanya dikenal dengan nama atau gelar anumertanya. Seperti sudah diuraikan tadi "Areng ri kale" atau nama diri seolah-olah tidak dipakai lagi sesudah orang itu memperoleh "Areng Paddaengang" atau gelar Daengnya. Kemudian "Areng Paddaengang ini seolah-olah tidak dipergunakan lagi setelah orang itu memperoleh "Areng Pakkaraengang" atau gelar karaengnya. Demikian pula nama-nama yang terdahulu itu seolah-olah tidak dipergunakan lagi setelah Raja itu memperoleh nama atau gelar anumerta. Jadi sering nama-nama Raja itu semasa hidupnya seperti "Areng ri kalenya", Areng Paddaengangnya, Areng Pakkaraengangnya, bahkan pun gelar Sultannya seolah-olah hilang dan dilupakan orang. Menurut adat mereka itu tidak boleh dan tidak berani lagi menyebut nama-nama atau gelar-gelar Raja itu semasa hidupnya. Yang boleh dan yang lazim dipakai biasanya hanya nama atau gelar anumertanya. Hal ini penting dan perlu sekali diperhatikan oleh para peneliti sejarah, khususnya jikalau mereka hendak mempelajari dan meneliti sejarah serta perkembangan kerajaan-kerajaan di Sulawesi-Selatan. Mungkin dalam penelitian itu kita harus berhadapan dengan orang-orang tua yang berpegang teguh pada adat kebiasaan yang telah kami uraikan di depan tadi. Mereka tidak berani dan takut terkutuk karena lancang menyebut nama-nama atau gelar-gelar Raja itu semasa baginda masih hidup. Mungkin mereka lebih mengenal, bahkan mungkin sekali mereka HANYA mengenal nama atau gelar anumerta Raja-Raja itu saja.
Sekarang marilah sebagai penutup uraian kami dalam bab ini kita melihat nama Pahlawan Nasional yang dalam buku ini hendak kita kenangkan jasa-jasanya. Nama lengkap beliau ialah Muhammad Bakir I. Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Sultan Hasanudin Tumenanga ri Balla' Pangkana.
- Areng ri kale atau nama-diri beliau ada dua, satu nama Arab yakni Muhammad Bakir dan satu nama Makasar yakni I. Malombassi.
- Areng Paddaengang atau gelar Daeng beliau ialah Daeng Mattawang.
- Areng Pakkaraengang atau gelar karaeng beliau sebelum menaiki takhta kerajaan Gowa ialah Karaeng Bontomangape.
- Gelar Sultan beliau setelah dinobatkan menjadi Raja Gowa yang ke XVI, ialah SULTAN HASANUDIN.
- Gelar anumerta beliau setelah wafat pada hari Kamis tanggal 23 Muharam tahun 1081 (Hijrah) atau pada tanggal 12 Juni 1670 ialah Tumenanga ri Balla' Pangkana.
Setelah mengetahui beberapa hal atau tentang serba-serbi Sulawesi-Selatan, marilah kita melangkah pada bab berikutnya.