Student Hidjo/Bab2
Pukul enam pagi, di rumah direktur bank di Hamelstraat 7, dientstmeid (pembantu perempuan) sudah bekerja sebagaimana biasanya. Seisi rumah juga sudah bangu, kecuali Betje dan Hidjo. Sampai pukul delapan, mereka masih tidur nyenyak. Maka dari itu papa Betje menyuruh kepada pembantu perempuannya, supaya pintu kamar Hidjo diketuk, agar dia bangun.dan Marie disuruh membangunkan Betje.
“Goede morgan,” kata Hidjo kepada tuan rumah dan istrinya, serta Marie yang sudah duduk siap untuk makan pagi. “Saya tidur enak sekali!”
“Tentu saja, sebab kemarin pukul satu, kamu baru pulang,” kata nyonya rumah dengan senang.
“Is dit mijn brief Mevrouw?” Tanya Hidjo kepada Mamanya Betje, sewaktu ia hendak duduk di tempat yang sudah ditentukan untuk makan pagi bersama. Dan di piringnya terdapat surat.
“Ya, tadi pagi datangnya,” jawab nyonya rumah.
“Tentu surat itu dari Indie?” tanya Marie yang duduk dekat Hidjo.
“Ya!” jawab Hidjo.”Ini surat dari Jarak.
” Hidjo tidak lupa, alamat yang ditulis di amplop itu adalah tulisan Wungu. Seketika itu juga, surat dibuka. Dia menjadi amat heran, karena di dalam amplop itu berisi tiga surat, dari Wungu, Biru dan Wardoyo. Sambil minum kopi, Hidjo membaca surat Wungu, setelah selesai lalu membaca surat Biru dan akhirnya suratnya Wardoyo.
“Goede Morgan!” kata Betje yang baru keluar dari kamarnya dan langsung duduk di kursi yang disediakan.
“Kamu terlalu banyak tidur!” kata papanya Betje.
“Ya, sebab saya capek,” jawab Betje sambil minum kopi.
“Tuan mendapat surat dari Hindia?” tanya Betje kepada Hidjo sambil melihat surat yang ada di depannya Hidjo.
“Ya!” jawab Hidjo pendek.
“Bagaimana pertunjukan Lili Green-nyaTuan?” tanya Marie kepada Hidjo.
“Bagus sekali,” jawab Hidjo sambil melihat wajah Betje.
“Ya, sangat bagus!” sahut Betje sambil melihat wajah Hidjo.
Surat-surat yang baru diterima Hidjo itu semakin membikin bingung pikirannya. Karena dia menyesal sekali, telah melakukan perbuatan yang baik, yaitu yang telah dilakukan dengan Betje. Tetapi kebingungan Hidjo itu kerap kali lenyap karena perbuatan Betje.
Sejak waktu itu, pergaulan Hidjo dan Betje semakin intim. Adat dan sikap hormat yang biasanya dilakukan kedua anak muda itu telah hilang. Juga karena mata Betje yang rupa rupanya yang ingin kehilangan wajah Hidjo (barang sesaat pun). Terpaksa, waktunya untuk belajar sering digunakan untuk melayani kehendak Betje.