Sitti Nurbaya/Bab 8

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

VIII. Surat Nurbaya Kepada Samsulbahri[sunting]

Matahari silam bintang pun terbit, bintang luput fajar menyingsing siang hilang berganti malam, malam lenyap siang pun timbul. Hilang hari berganti hari, habis bulan bersambung bulan! Musim bergilir takkan bertukar, akan tetapi waktu itu tiadalah mengindahkan perubahan dan pertukaran ini, melainkan berjalanlah ia terus-menerus dengan tiada berhentihenti dari hari ke hari, dari tahun dan dad abad ke abad. Dari manakah datangnya waktu itu dan ke manakah perginya? Adakah awalnya dan adakah akhimya? Wallahu alam.

Di Sekolah Dokter Jawa di Jakarta, dalam masa yang hampir setahun, tiada banyak perubahan. Pelajaran muridmurid, makin lama makin dilanjutkan, karena tiada berapa lama lagi akan puasa dan sekolah tentulah akan ditutup, supaya dapatlah beristirahat murid-murid yang telah mengusahakan dirinya, belajar bersusah payah dalam setahun itu.

Samsulbahri dan sahabatnya Arifin rupanya adalah maju dalam pelajarannya. Pada tiap-tiap ujian yang telah dilangsungkan tahun itu nyatalah, bahwa mereka tiada tertinggal dalam pelajarannya daripada teman sejawatnya.

Keberatan dan kesusahan yang sangat dideritanya pada mulamula mereka datang ke Jakarta, hilanglah sudah dan biasalah mereka pada kehidupannya yang baru. Hanya ingatan dan rindu hati Samsulbahri kepada Nurbayalah yang tiada hendak berkurang-kurang, bahkan kian hari kian bertambah rasanya, sehingga terkadangkadang hampir tak dapat ditanggungnya denda yang sedemikian itu. Terlebih-lebih dalam beberapa hari ini, hatinya sangat rawan bercampur sedih, dengan tiada diketahuinya apa sebabnya; sebagai adalah sesuatu mara bahaya, yang telah jatuh ke atas diri kekasihnya itu. Oleh sebab itu makinlah ia teringat kepada Nurbaya dan makinlah bertambah ingin hatinya hendak bertemu dengan adiknya ini.

"Heran," katanya dalam hatinya, tatkala ia duduk termenung seorang diri, di atas sebuah batu, dalam pekarangan sekolah, "mimpiku yang dahulu itu datang pula menggoda pikiranku. Senanglah hatiku, tatkala ingatan kepada mimpi celaka itu mulai hilang; akan tetapi apakah sebabnya sekarang ini datang pula sekonyong-konyong menggoda hatiku? Ah, mungkin sebab pikiranku telah dahulu kembali ke Padang, karena tiada lama lagi hari akan puasa dan di sanalah kelak akan dapat bertemu dengan kekasihnya itu."

Sedang ia berpikir-pikir sedemikian, datanglah Arifin membawa sepucuk surat yang dialamatkan kepada Samsu, lalu diberikannya surat ini kepada sahabatnya. Tatkala dilihat Samsu alamat surat itu dan nyata datangnya dari Nurbaya, masuklah ia ke dalam biliknya, akan membaca surat itu seorang diri. Ketika akan dibukanya surat ini, berdebarlah hatinya dan ngerilah rasa badannya, seolah-olah ada sesuatu kabar yang sedih akan didengarnya; istimewa pula karena kelihatan olehnya, pembungkus surat itu, sebagai bekas kena titik air.

"Kena hujankah surat ini atau kena air laut?" tanya Samsu dalam hatinya.

Tatkala akan dikoyaknya pembungkus surat itu, tiba-tiba jatuhlah gambar Nurbaya yang tergantung pada dinding biliknya, sehingga hancur kaca dan bingkainya, sedang potret itu sendiri rusak pula, karena sqbuah daripada pecahan kaca yang runcing, menembus dada kekasihnya ini, tentang jantungnya. Potret itu diangkat oleh Samsu, lalu dicabutnya pecahan kaca yang masuk ke dalam dada Nurbaya perlahanlahan, takut akan bertambah rusak gambar itu. Akan tetapi bagaimana pun ia berhati-hati, kertas potret itu rusak juga tentang dada Nurbaya.

"Ajaib," pikir Samsu dalain hatinya, sambil termenung.

"Apakah artinya alamat ini? Apakah kabar yang akan kudengar?"

Setelah dibersihkannya pecahan kaca-kaca tadi, lalu diambilnyalah pula surat yang baru datang itu, dibukanya dengan tangan yang gemetar dan hati yang berdebar-debar.

Ketika itu kelihatanlah olehnya surat itu penuh dengan bekas titik air, serta tulisannya pun banyak yang kurang terang, sebagai suatu surat yang tertulis oleh orang yang pikirannya sedang kusut. Demikian bunyi surat itu:

Padang, 13 Maret 1897.
Kekasihku Samsulbahri!
Walaupun kuketahui, bahwa surat yang malang ini, yang telah kutulis dengan air mata yang bercucuran dan hati yang sangat sedih lagi pedih, terlebih daripada diiris dengan sembilu dan dibubuh asam, garam; serta pikiran yang kelam kabut akan datang membawa kabar yang sangat dukacita kepadamu, barangkali juga akan memutuskann pengharapanmu, yang kau amalkan siang dan malam dan walaupun rasakan putus rangkai jantung hatiku mengenangkan sedih dan duka nestapa yang akan menimpa engkau karena mendengar kabar yang malang ini, akan tetapi kugagahilah juga diriku menulis surat ini, karena takut kalaukalau engkau bersangka, bahwa sesungguhnyalah hatiku telah berpaling daripadamu.
Barangkali juga kabar ini akan menimbulkan murka dan syak wasangka di dalam hatimu, Sam, dan akan menghilangkan kepercayaanmu kepadaku dan karena itu tiadalah hendak kauindahkan lagi aku ini dan kaubuang aku, sebagai membuang sampah ke pelimbahan, sebab pada sangkamu sesungguhnyalah aku seorang yang tiada memegang janji dan tak boleh dipercayai.
Oleh sebab itu biarlah aku bersumpah lebih dahulu, barangkali engkau percaya kembali kepadaku. Wallah wa nabi, tiadalah hatiku berubah dari sediakala kepadamu dan tiadalah ada ingatanku, akan menyakiti hatimu dan memutuskan pengharapanmu. Tuhan Yang Mahakuasa saksiku, dan apabila tiada benar aku di dalam hal ini, biarlah diazab dan disiksanya aku dari dunia sampai ke akhirat. Sesungguhnya aku beribu kali lebih suka mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai sebagai ini, dan jika tiada takut dan tiada ingat aku akan engkau, pastilah kubunuh diriku, supaya jangan menanggung sengsara lagi.
Sekarang apa hendak kukatakan? Karena demikianlah rupanya nasibku yang telah tertimpa. Walaupun bagaimana juga hendak kutolak atau kuhindarkan diriku daripadanya, niscaya akan sia-sia belaka pekerjaan itu, karena untung dan nasib manusia ditentukan, semenjak di rahim bunda kandung.
Bukankah telah kukatakan dalam pepatah: Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih? Bukankah setahun yang telah lalu, telah engkau ketahui untungku, karena engkau telah mendapat mimpi tentang nasibku itu? Sekarang datanglah waktunya rupanya, aku harus menepati nasibku itu, tak dapat dimungkiri lagi. Aduhai s ia-sialah segala cita-cita dan kenang-kenanganku, lenyap segala harapanku, putus tali tempat bergantung dan ..."

Di situ tak dapatlah Samsu membaca surat ini lagi, karena kertasnya rupa-rupanya penuh kejatuhan air mata, sehingga menjadi kembang dan huruf yang tertulis di atasnya menjadi kurang terang. Oleh sebab itu dilampauilah oleh Samsu tulisan yang kurang terang itu, lalu dibacanya lanjutannya:

"Supaya dapat kauketahui bagaimana anal mulanya kecelakaanku ini, kutulislah juga surat ini. Dengan demikian, dapatlah kautimbang berapa besar kesalahanku dalam perkara ini.
Sebagai telah kuceritakan kepadamu, toko ayahku telah terbakar sekaliannya. Itulah permulaan sengsaraku; dari situlah asalnya azabku. Seperti cerita yang kudengar dari ayahmu pada pemeriksaan yang dijalankan kemudian daripada itu, ada tanda-tanda yang menyatakan pembakaran itu perbuatan orang, karena dekat di sana, ada bekas tempat minyak dan puntung suluh. Sungguhpun demikian, Sam, sampai sekarang belum juga lagi dapat keterangan, siapa yang berbuat kejahatan itu.
Bertambah-tambah syak hati ayahmu, kebakaran itu perbuatan khianat, sebab yang mula-mula terbakar, dari ketiga toko itu, ialah kedua toko yang di sisi. Keduanya hampir serentak dimakan api. Bila toko-toko itu tiada dibakar orang, bagaimana-kah api itu dapat melompat dari toko yang pertama ke toko yang ketiga, dengan melampaui toko yang di tengah-tengah. Jika dapat pun melompat, tentulah toko yang pertama itu terlebih dahulu hams terbakar benar-benar, barulah api dapat melompat ke toko yang ketiga. Tetapi sebagai kukatakan, kedua toko yang di sisi itulah yang mulamula sama-sama terbakar, barulah toko yang di tengah.
Oleh sebab kebakaran itu perbuatan orang dan api makan sangat cepatnya, tiadalah dapat ketolongan sepotong barang pun, karena tatkala diketahui orang api itu, kedua toko itu telah hampir habis terbakar. Dan karena panas apinya, seorang pun tak ada yang berani mendekati toko-toko itu.
Itulah juga sebabnya, maka sehelai benang pun tak ada yang keluar; sekaliannya habis dimusnahkan api. Oleh sebab ketiga toko itu belum dimasukkan asuransi, rugilah ayahku pada malam itu kira-kira lima puluh ribu rupiah.
Suatu lagi yang mengherankan ayahmu, yaitu penjaga toko itu rupanya tidur nyenyak, sehingga mati kebakaran. Hanya penjaga toko yang di tengahlah yang terlepas dari bahaya mati. Akan tetapi jika tiada ditolong, tentulah ia mati pula; karena tatkala api memakan toko yang di tengah, belum juga ia terbangun, sehingga ia dihela oleh serdadu ke luar. Di luar, kelihatan sebagai orang mabuk, tiada insaf akan dirinya.
Sebagai telah kuceritakan kepadamu, ayahku malam itu tiada ada di rumah, pergi ke Padang Panjang, menguruskan perniagaannya pada beberapa toko langganannya di sana, yang rupanya hendak mungkir membayar utangnya dan tak mau mengambil barang-barang lagi kepada ayahku. Itulah yang menjadikan pikiran dalam hatiku. Sesungguhnyakah sekalian itu perbuatan orang? Jika benar, apakah maksudnya dan siapakah musuh yang tersembunyi ini? Setelah pulanglah ayahku pada keesokan harinya, sebab dikirimi surat kawat oleh ayahmu, kuceritakan kecelakaan itu kepadanya dan kukabarkanlah pula syak hatiku kepada orang yang telah kaumimpikan itu. Akan tetapi ayahku tiada hendak mendengar perkataanku ini, karena ia sangat percaya rupanya kepada orang itu.
"Bukannya ia yang berbuat jahat," kata ayahku, "melainkan nasib kitalah yang sedemikian. Sungguhpun begitu, janganlah kaususahkan hal itu!" kata ayahku pula, "karena kebun kelapaku masih ada dan barang-barang hutan yang kuterima bulan ini, adalah pula lima perahu banyaknya; cukup bagiku akan memulai berniaga, sebagai dahulu. Jika dengan tolong Allah, akan kembalilah segala yang telah hilang itu."
Ayahku, karena sabarnya rupanya dengan sepenuh-penuh hatinya menyerahkan untungnya kepada Tuhan Yang Mahakuasa dan memohonkan kurnia-Nya. Itulah pula yang menimbulkan ajaib hatiku, karena kelak akan nyata kepadamu, bahwa Tuhan telah meninggalkan kami dan tiada menolong kami lagi, walaupun tiada kuketahui, apakah dosa dan kesalahan yang telah kami perbuat. Segala kesangsaraan dan kecelakaan datangnya bertimpa-timpa, sebagai adalah kutuk yang telah jatuh ke atas kepala kami; karena dua hari kemudian daripada itu datanglah anak perahu ayahku yang biasa membawa dan mengambil barang perniagaan dari Terusan dan Painan mengabarkan, kelima perahu ayahku telah karam di laut, dilanggar topan yang berembus, tatkala malam kebakaran itu. Suatu pun dari muatannya tak ada yang ketolongan, sedang sekalian anak perahu, niscaya akan mati di laut, jika tiada ditolong oleh perahu lain.
Bagaimana rasa hati ayahku ketika mendengar kabar itu, tak dapatlah kuceritakan di sini, melainkan Allah jugalah yang mengetahuinya. Sungguhpun air mukanya tetap, tiada berubah, dan rupanya menyerah dan tawakal kepada Tuhan, tetapi aku tahu, hatinya di dalam remuk redam sebagai kaca jatuh ke batu. Sejak hari itu kami hidup berhemat-hemat.
Tiada lama kemudian daripada itu, rupanya ayahku meminjam duit kepada Datuk Meringgih, banyaknya sepuluh ribu, dengan janji itu bagi ayahku, tiadalah kuketahui.
Barangkali akan pembayar utang atau akan dijalankan pula membangunkan perniagaannya yang telah jatuh itu. Tetapi rupanya di dalam tiga bulan itu selalu ia rugi, sehingga habislah uang itu. Sekalian orangnya di Terusan dan Painan, lari meninggalkan ayahku dengan membawa uang yang ada padanya, dan segala toko langganan ayahku di Padang Darat itu pun mungkir pula tiada hendak membayar utangnya.
Tinggal satu lagi harapan ayahku, yaitu kebun kelapa di Ujung Karang, tetapi pengharapan ini pun diputuskan pula, karena kami harus jatuh ke lumpur, tak boleh ditolong lagi.
Iblis yang mendatangkan segala mara bahaya itu rupanya belum puas melihat kami telah jadi sedemikian. Bukannya harta kami saja yang akan dilenyapkannya, tetapi jiwa kami pun akan dicabutnya pula dan bila nasib yang malang ini, tiada hendak meninggalkan kami, niscayalah maksud jahanam itu tiada lama lagi akan sampai.
Pohon kelapa yang diharapkan ayahku itu, tiada hendak berbuah lagi, sedang buahnya yang ada pun, tua muda jadi busuk, gugur ke tanah. Batangnya pun mati semuanya.
Bagaimanakah boleh jadi kecelakaan datang bertimpatimpa sedemikian itu, tak habis kupikir-pikirkan. Pecah otakku mengenangkan apakah dosa ayahku maka sampai mendapat hukuman serupa itu? Aku tak percaya, ayahku ada berbuat sesuatu yang tak baik atau kesalahan yang besar, sampai disiksa sedemikian itu.
Akan tetapi apa hendak dikata? Jika nasib akan jatuh, sekaliannya boleh menjadi sebab. Bagiku adalah untung itu sebagai kata pepatah: Disangka panas sampai petang, kiranya hujan tengah hari. Di situlah nyata kebesaran Tuhan, yang boleh menjadi tamsil bagi segala hartawan. Jika dikehendakiNya, harta yang sebagaimana banyaknya pun dapat lenyap dalam sekejap mata."

Baharu hingga itu terbaca oleh Samsu surat Nurbaya ini, bercucuranlah air matanya, yang sejak tadi ditahan-tahannya.

"Larilah rupanya bahaya yang kutakutkan itu," pikirnya dalam hatinya, "Bagaimanakah akhirnya kekasihku ini?" Setelah disapunya air matanya, lalu diteruskannya membaca surat itu.

"Setelah sampailah tiga bulan, datanglah Datuk Meringgih meminta uang kembali, katanya sebab perlu dipakainya, tetapi ayahku tiada beruang lagi. Walaupun berapa ayahku minta janji, tiadalah diperkenan-kannya.
Waktu itulah baru tahu ayahku, bagaimana hati Datuk. Meringgih sebenarnya kepadanya. Waktu itu berulah ia berasa, Datuk Meringgih bukan sahabatnya, melainkan musuhnya; jadi musuh yang sebesar-besarnya. Sekalian sangkaku yang telah kukatakan kepadanya, mulai dipercayainya.
Akan tetapi apa boleh buat, Sam! Gadai telah terlanjur ke Cina, tak dapat diubah lagi. Siapa tahu, barangkali Datuk Meringgih inilah yang mendatangkan sekalian malapetaka itu, sehingga ayahku sampai jatuh sedemikian. Sudah itu dengan sengaja dipinjaminya ayahku uang, supaya ia jatuh pula ke dalam tangannya. Jika demikian, sesungguhnyalah Datuk Meringgih itu penjahat yang sebesar-besarnya, yang mengail dalam belanga, menggunting dalam lipatan.
Setelah dipinta oleh ayahku dengan susah payah, barulah diberinya tangguh sepekan lagi, akan tetapi dengan perjanjian, apabila dalam sepekan itu tiada juga dibayar hutang itu, tentulah akan disitanya rumah dan barang-barang ayahku dan ayahku akan dimasukkannya ke dalam penjara.
Hanya bila aku diberikan kepadanya, raksasa buas ini, bolehlah ayahku membayar utang itu, bila ada uangnya.

Membaca kekejian ini, merah padamlah warna muka Samsu. Matanya sebagai berapi, urat keningnya membengkak dan sekujur badannya gemetar. Tangannya dikepalkannya sebagai hendak menerkam Datuk Meringgih, yang pada penglihatannya barangkali ada di mukanya.

"Jahanam!" demikianlah perkataan yang keluar dari mulutnya, "Anjing tua yang tiada berbudi. Ingat rupa dan umurmu hendak meminta Nurbaya. Dengan hantu, patut engkau kawin!"

Setelah disabarkan Samsu hatinya, lalu dibacanya pula surat itu, karena sangat ingin ia hendak mengetahui, apakah jadinya dengan kekasihnya itu.

"Di dalam sepekan itu," demikianlah sambungan surat Nurbaya," pergilah ayahku ke sana kemari mencari uang, tetapi tiadalah seorang juga yang percaya lagi kepadanya, karena ia telah jatuh sengsara. Sedangkan sahabat karibnya, yang acap kali ditolongnya di dalam kesenangannya, telah meninggalkannya pula. Rupanya begitulah adat dunia ini, patut dikiaskan oleh orang Jakarta dengan sindiran: Ada uang abang sayang, tak ada uang abang melayang. Ya! Kawan gelak yang banyak, tetapi kawan menangis jarang bersua.
Rupanya uang itulah yang dipandang, ditakuti, dihormati, dan dicintai orang; uang itulah sahabat kerabat, ibu-bapa dan sanak saudara. Yang tak beruang akan yatim piatulah, sunyi daripada sekaliannya, hidup sebatang kara.
Jika demikian, alangkah lancungnya dunia ini, alangkah jahatnya manusia itu! Tetapi sesungguhnya tak ada orang yang tiada memandang uang di dalam dunia ini? Hormat karena hormat, takut karena takut, sayang karena sayang, dan cinta karena cinta? Walaupun aku percaya, tentulah ada juga orang yang tiada memandang uang, orang yang sebenarnya orang, di antara penduduk kota Padang ini, tetapi sebab kecelakaan yang bertimba-timpa ini, menjadilah syak hatiku dan kurang kepercayaanku.
Sekarang marilah kuteruskan ceritaku, supaya jangan terlalu panjang surat ini.
Kebun kelapa yang di Ujung Karang itu, harta ayahku yang penghabisan, tak lalai dijual, karena kelapanya sekalian telah mati."

Ketika itu hati Samsu makin bertambah-tambah tak enak, sehingga ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Oleh sebab itu; tatkala akan sampailah janji ayahku itu kepada Datuk Meringgih, pada malamnya, datanglah ia kepadaku, bertanyakan pikiranku tentang hal ini, karena esoknya tentulah akan datang—Datuk ini mendengar keputusan kami.
Aku tiada terkata-kata lagi; sejak terbakar toko ayahku, hatiku tak dapat kusenangkan. Acap kali menangislah aku pada malam hari mengenangkan nasibku yang malang ini.
Mimpimu pun selalu terbayang-bayang di mataku. Setelah Datuk Meringgih menagih piutangnya, tiadalah aku dapat tidur setiap malam, melainkan selalu menangis bersedih hati. Kerap kali aku terkejut, karena sebagai kelihatan olehku Datuk Meringgih datang menguasai aku. Dengan demikian, badanku menjadi kurus kering tinggal kulit pembalut tulang: Jika engkau lihat aku sekarang jni, pastilah tak kenal lagi engkau kepadaku. Demikianlah perubahan badanku, karena sedih, susah, takut dan makan hati."
"Aku tahu, Nur, bahwa engkau tiada suka kepada Datuk Meringgih," kata ayahku pada malam itu kepadaku. "Pertama umurnya telah tua, kedua karena rupanya tak elok, ketiga karena tabiatnya keji. Itulah sebabnya ia bukan jodohmu. Dan aku tahu pula bagaimana hatimu kepada Samsu dan hatinya kepadamu. Aku pun tiada lain. melainkan itulah yang kucitacitakan dan kuharapkan siang dan malam, yakni akan melihat engkau duduk bersama-sama dengan Samsu kelak, karena ialah jodohmu yang sebanding dengan engkau.
Aku percaya pula, bahwa orang tuanya yang waktu ini sangat bersedih hati melihat halku ini dan terlalu ingin hendak menolong aku, tetapi karena tak dapat, hanya berawan hati menjauhkan diri, bahwa Sutan Mahmud pun tiada akan mengalangi cita-cita kita ini, bahkan akan serta mencukupi perjodohan itu. Sungguhpun aku tahu akan sekalian itu, tapi hendak juga kutanyakan pikiranmu, supaya jangan sampai menjadi sesalan kemudian han, karena engkau sendirilah yang dapat memutuskan perkara ini. Jika sudi engkau menjadi istri Datuk Meringgih, selamatlah aku, tak masuk ke dalam penjara dan tentulah tiada akan terjual rumah dan tanah kita ini. Akan tetapi jika tak sudi engkau, niscaya aku dan sekalian kita yang masih ada ini, akan jatuh ke dalam tangannya."
Mendengar perkataan ayahku ini, tiadalah dapat kutahan lagi sedih hatiku, hancur luluh rasa jantungku, lalu menangislah aku tersedu-sedu di dada ayahku, sehingga basahlah baju dan kainnya, karena air mataku yang bercucuran. Tiadalah kujawab perkataannya sepatah pun karena dadaku bagaikan pecah dan leherku bagai terkunci.
Tatkala ayahku melihat halku sedemikian itu, air matanya tak dapat ditahannya, sehingga keluar berlinang-linang jatuh ke pipinya, lalu diciumnya kepalaku sambil berkata, "Nurbaya, sekali-kali aku tiada berniat hendak memaksa engkau. Jika tak sudi engkau, sudahlah; tak mengapa. Biarlah harta yang masih ada ini hilang ataupun aku masuk penjara sekalipun, asal jangan bertambah-tambah pula dukacitamu. Pada pikiranku tiadalah akan sampai dipenjarakannya aku; mungkin masih boleh ia dibujuk. Sesungguhnya aku terlebih suka mati daripada memaksa engkau kawin dengan orang yang tiada kausukai; dan jika aku tiada ingat akan engkau dan tiada takut akan Tuhanku, niscaya telah lama tak ada lagi aku dalam dunia ini. Tetapi engkaulah yang menjadi alanganku.
Bagaimanakah halmu kelak, bila aku tak ada lagi? Siapakah yang akan memeliharamu?"
Ketika itu berlinang-linanglah pula air mata ayahku di pipinya. Sesungguhnya harta benda itu tiada berguna bagiku, jika engkau tiada ada. Apa yang akan kubela? Tanggunganku yang lain tak ada ibumu pun telah lama meninggal dunia.
Pikiran kepadamulah yang membangkitkan hatiku hendak berniaga, mencari keuntungan yang banyak, supaya engkau kelak jangan susah dalam Whidupanmu. Tiada lain yang kuingini dan kuamalkan serta kupohonkan kepada Rabbulalamin, melainkan kesenangan dan kesentosaanmulah kelak, bila aku telah berpulang. Sekarang engkau tak suka pada orang itu, sudahlah! Kewajibarrku telah kujalankan, supaya jangan engkau menyesali aku pula kelak. Sekarang marilah kita nanti segala kehendak Tuhan dengan tawakal dan menyerah!"
Mendengar bujukan ayahku ini, barulah dapat aku mengeluarkan suara lalu bertanya, "Tidakkah cukup untuk pembayar utang itu, kalau sekalian barang hamba jual dengan rumah dan tanah Ayah? Karena hamba lebih suka miskin daripada jadi istri Datuk Me ringgih."
"Tanah tak laku, sebab tak ada orang yang hendak membelinya dan harga barang-barangmu dengan rumah ini tentulah tak lebih dari.enam tujuh ribu rupiah. Di mana dicari yang lain dengan bunga uang utang itu? Tetapi sudahlah, jangan kaupikirkan lagi perkara ini senangkanlah hatimu, dan kita tunggulah apa yang akan datang."
Semalam-malaman itu tak dapat aku memejamkan mataku barang sekejap pun; menangis pun tak dapat pula, sebagai kehabisan air mata. Sungguhpun mataku terbuka, tetapi tak dapat aku berpikir apa-apa; adalah sebagai otakku telah lelah.
Oleh sebab itu berbaringlah lalu semalam-malaman itu dengan mata yang terbuka dan pikiran yang kacau-balau. Halku adalah seperti orang yang tiada khabarkan dirinya, antara bangun dengan tidur, antara hidup dengan mati. Berbagaibagai penglihatan dengan perasaan yang memberi takut dan dahsyat hatiku, datang menggoda. Dikatakan bermimpi, mataku terbuka, dikatakan jaga, pikiranku tiada hendak menurut kemauanku. Inilah agaknya yang disebut orang bermimpi dalam bangun.
Setelah menyingsinglah fajar di sebelah timur dan berkokoklah ayam berbalas-balasan, barulah sadar aku akan diriku dan nyatalah kepada hari telah subuh, lalu keluarlah aku membasahi kepalaku yang masih panas, sebagai besi menyala. Kemudian aku mandi akan menyegarkan tubuhku.
Sesudah mandi, barulah agak dapat aku berfikir dengan benar. Tatkala ingatlah pula aku akan halku, kecutlah kembali hatiku dan berdebar-debarlah jantungku serta gemetar sendi tulangku, karena sebentar lagi akan jatuhlah hukumanku atau hukuman ayahku. Bila aku tiada diterkamnya, niscaya ayahkulah yang akan disiksanya, binatang buas itu.
Tiada berapa lama kemudian daripada itu, sesungguhnya datanglah Datuk Meringgih dengan dua orang Belanda.
Setelah naik ke rumahku dengan tiada duduk lagi, ia bertanya kepada ayahku, "Bagaimana?"
"Tak dapat kubayar utang itu," jawab ayahku, "dan anakku tak dapat pula kuberikan kepadamu."
Tatkala mendengar perkataan ayahku ini, merentaklah ia dengan marahnya, lalu berkata, "Jika demikian, tanggunglah olehmu!" lalu diserahkannya perkara itu kepada pegawai Belanda, yang datang bersama-sama dengan dia. Seorang daripada tuan ini berkata, sambil mendekati ayahku, "Walaupun dengan sedih hati, tetapi terpaksa hamba akan membawa tuan ke dalam penjara, atas kemauan Datuk Meringgih."
"Dan hamba terpaksa pula menyita rumah dan sekalian harta tuan hamba," kata pegawai yang lain.
Ayahku tiada dapat menyahut apa-apa lain daripada, "Lakukan kewajiban tuan-tuan!"
Tatkala kulihat ayahku akan dibawa ke dalam penjara, sebagai seorang penjahat yang bersalah besar, gelaplah mataku dan hilanglah pikiranku dan dengan tiada kuketahui, keluarlah aku, lalu berteriak, "Jangan dipenjarakan ayahku! Biarlah aku jadi istri Datuk Meringgih!"
Mendengar perkataanku itu, tersenyumlah Datuk Meringgih dengan senyum, yang pada penglihatanku, sebagai senyum seekor harimau yang hendak menerkam mangsanya, dan terbayanglah sukacitanya dan berahi serta hawa nafsu hewan kepada matanya, sehingga terpaksa aku menutup mataku.
Ayahku tiada berkata apa-apa melainkan datang memeluk aku, sambil bertanya "Benarkah katamu itu?" Seperti suatu perkakas mengangguklah aku, karena mengeluarkan perkataan tak dapat lagi.
"Oleh sebab hendak menolong ayahku, anakku menyerahkan dirinya kepadamu, untuk memuaskan hawa nafsu dan hatimu, yang sebagai hati binatang itu." kata ayahku kepada Datuk Meringgih." Sekarang barulah kuketahui bahwa kejatuhanku ini semata-mata karena perbuatanmu juga karena busuk hatimu, dengki dan tak dapat engkau melihat orang lain berharta pula seperti engkau. Dengan berbuat pura-pura bersahabat karib dengan aku, kauperdayakan aku, sampai aku jatuh ke dalam tanganmu dan harus menurut sebarang kehendakmu yang keji itu. Tetapi tak apa, Datuk Meringgih! Tuhan itu tiada buta; lambat-laun tentulah engkau akan beroleh juga hukuman atas khianatmu ini," lalu ayahku menuntun aku masuk ke dalam rumah. Sejak waktu itulah Samsu, aku menjadi istri Datuk Meringgih ...

Di sini tulisan surat itu tiada terang pula, sebab kertasnya penuh dengan bekas air mata.

Setelah Samsu membaca kecelakaan ini, lalu ia menundukkan kepalanya ke atas mejanya, menangis amat sangat, karena sedih akan nasib kekasihnya dan untungnya sendiri pun. Segala cita-cita hatinya yang sekian lama diharap-harapkannya, pada saat itu hilang lenyap, sebagai batu jatuh ke lubuk, hujan jatuh ke pasir, tak dapat dicari lagi.

Pengharapan yang telah sekian lama berurat berdaging dalam jantungnya, tiba-tiba diputuskan oleh Datuk Meringgih, dengan putus yang tak dapat disambung lagi.

"Inilah jadinya segala kenang-kenanganku yang sekian lama aku hasratkan! Inilah buah permintaan dan doaku yang kupohonkan siang dan malam kepada Tuhan yang Maha Kuasa! Alangkah malangnya untung nasibku ini!" demikianlah buah tangis Samsulbahri seorang diri di dalam biliknya.

Setelah menangis amat sedih beberapa lamanya, tiba-tiba berdirilah ia dengan menggertakkan giginya dan mengepalkan tangannya. Dengan muka yang pucat dan mata yang bernyala-nyala, karena menahan marahnya, dipegangnyalah potret Nurbaya yang ada dekatnya sambil mengangkat mukanya ke atas lalu bersumpah, "Demi Allah, demi rasul-Nya! Selagi ada napas di dalam dadaku, akan kubalas jua kejahatan ini! Tiada puas hatiku sebelum kutuntut bela atas aniayanya ini.

Ya Allah, ya Tuhanku! Perkenankanlah juga permintaanku ini dan janganlah dicabut nyawaku lebih dahulu, sebelum sampai maksudku ini."

Setelah bersumpah itu, tunduklah Samsu beberapa saat lamanya, sebagai hendak menahan sedih dan amarahnya; kemudian terduduklah pula ia ke atas kursinya, tiada berkatakata barang sepatah pun. Tatkala sadarlah ia kembali akan dirinya, lalu diteruskannya membaca surat Nurbaya dengan mata yang masih merah dan basah.

"Barangkali tak dapat kaupikirkan. Samsu, bagaimana hancur hatiku sekarang ini. Pertama karena telah mungkir janji kepadamu dan memutuskan pengharapanmu; kedua karena terpaksa duduk dengan seorang-orang yang sebagai Datuk Meringgih ini; iblis tua yang sangat kubenci. Tiadalah suatu yang dapat kupandang padanya. Sungguh kaya, rupanya sama dengan hantu pemburu, bangsanya, Allah yang tahu, asalnya penjual ikan kering, tabiatnya lebih daripada tabiat binatang, kelakuannya kasar dan bengis. Lagi pula ialah orang yang menjatuhkan ayahku dari kekayaan dan namanya; ialah musuh kami yang sebesar-besarnya dan ialah pula yang akan menjadi algojoku, untuk mencabut nyawaku. Kepada orang yang sedemikian itu aku harus menyerahkan diriku. Dengan dia aku harus hidup bersama-sama. Cobalah kaupikir; Aduh! Agaknya tak ada orang yang sama sengsaranya dengan aku dalam dunia ini! Sungguhpun telah kupaparkan sekalian hal ihwalku ini, barangkali belumlah juga engkau percaya kepadaku dan masih bersangka, bahwa segala hal itu kuperbuat-buat jua, untuk memperdayakan engkau. Akan tetapi Allah subhanahu wata ala saksiku, Sam, dan Dialah juga yang mengetahui bagaimana rasa hatiku, tatkala aku harus menyerahkan diriku.
Sungguhpun demikian tiadalah boleh juga aku berkecil hati, bila engkau tiada hendak percaya kepadaku, karena walau bagaimana sekalipun aku memang teiah mungkir janji, tiada menurut perkataan dan sumpahku yang telah kukeluarkan.
Dan akulah seorang perempuan yang telah memutuskan pengharapan kekasihnya. Sekalian itu tak dapat kutidakkan.
Akan tetapi adakah jalan lain yang dapat kuturut di dalam kecelakaan ini? Oleh sebab tiada terderita olehku penanggungan yang sebagai ini, timbullah ingatan dalam hatiku hendak membunuh diriku. Itulah hukuman yang berpadanan dengan dosaku.
Seribu kali lebih suka aku mati berkalang tanah, daripada hidup bercermin bangkai, sebagai ini. Akan tetapi tatkala aku hendak memakan racun, datanglah ingatanku, kalau-kalau perbuatan ini salah pula pada hematku.
Oleh sebab itu kutulislah surat ini, supaya kau ketahui halku ini dari awal sampai akhirnya dan tahu pula segala sebabsebab yang telah menjadikan aku sampai mungkir janji.
Bila telah kaubaca surat ini, dapatlah kautimbang hukuman yang akan kaujatuhkan ke atas diriku, dan yang akan kuterima dengan rela dan tulus. Bila dari padamu pun aku tiada akan mendapat ampun, tahulah aku, bahwa di dalam dunia ini tak ada harapanku lagi. Oleh sebab itu kupinta kepadamu dengan sebesar-besar permintaan, kaubalaslah surat ini dengan segera.
Sebagai kaulihat, sebagian daripada mimpimu dahulu itu telah terjadi, tinggal jatuh ke dalam jurang itu saja lagi. Bila telah sampai ke sana, tentulah ajalku pun akan sampailah pula. Jadi kejatuhanku karena Datuk Meringgih ini, tak dapat kutolak lagi, karena demikianlah sudah untung nasibku. Oleh sebab itu, di dalam hal ini, terlebih baik bagiku, lekas-lekas dihabiskan umurku, supaya jangan menanggung terlalu lama.
Suatu yang akan melipur hatiku kelak. apabila aku telah sampai ke sana, kepada penghabisan mimpimu itu, ialah jatuh ke dalam jurang itu adalah bersama-sama dengan engkau.
Barangkali di sanalah kita tiada akan bercerai lagi, walaupun dalam dunia ini masih dapat dipisahkan orang. Di akhiratlah kita akan bersatu selama-lamanya.
Sehingga inilah dahulu, kekasihku. Kelak, jika masih ada hayat di kandung badanku, kusambunglah pula cerita yang malang ini, asal masih sudih engkau melihat bekas tanganku yang akan melukiskan untungku yang celaka ini. Barangkali juga aku tiada boleh lagi memanggil engkau kekasihku, tetapi menjadi abangku, barangkali masih suka engkau dan sambutlah peluk cium daripada adikmu yang sengsara ini.
NURBAYA

Setelah Samsu membaca surat ini, direbahkannyalah dirinya di tempat tidurnya, lalu menelungkup menangis tersedu-sedu semalam-malaman itu.