Sitti Nurbaya/Bab 6

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

VI. Datuk Meringgih[sunting]

Di kampung Ranah, di kota Padang adalah sebuah rumah kayu, beratapan seng. Letaknya jauh dari jalan besar, dalam kebun yang luas, tersembunyi di bawah pohon-pohon kayu yang rindang. Jika ditilik pada alat perkakas rumah ini dan susunannya, nyatalah rumah ini suatu rumah yang tiada dipelihara benarbenar, karena sekalian yang ada dalamnya telah tua kotor dan tempatnya tiada teratur dengan baik.

Di serambi muka hanya ada sebuah lampu gantung macam lama, yang telah berkarat besi-besinya. Apabila tak ada orang datang, lampu itu tiada dipasang. Dan oleh sebab yang empunya rumah rupanya jarang menerima jamu pada malam hari di sana, minyak tanah yang ada dalam lampu itu, terkadang-kadang berpekan-pekan belum habis.

Di bawah lampu ini, ada meja bundar, yang rupanya telah sangat tua, dikelilingi oleh empat kursi goyang dari kayu, yang warnanya hampir tak kelihatan lagi, karena catnya telah hilang. Di ruang tengah, hanya ada sebuah lemari makan, yang umurnya kira-kira setengah abad.

Sebuah meja marmar kecil, yang batunya telah kuning serta berlubang-lubang, terletak dekat dinding, diapit oleh dua buah kursi kayu yang tempat duduknya dari kulit kambing, sedang di lantai terhampar tikar rotan yang telah tua. Ruang tengah ini pada malam hari diterangi oleh sebuah lampu dinding, yang dipasang dari setengah tujuh sampai pukul sepuluh malam. Di serambi belakang, hanya ada suatu perhiasan saja, yaitu kursi malas kain, yang tak kelihatan lagi coraknya.

Itulah rumah Datuk Meringgih, saudagar yang termasyhur kaya di Padang. Ia bergelar Datuk bukanlah karena ia Penghulu adat, melainkan panggilan saja baginya. Walaupun rumahnya ini katanya sekadar tempat bendi, kereta dan kuda dengan kusirnya, tetapi memang itulah rumahnya yang sesungguh-sungguhnya; karena di sanalah ia tetap tinggal, sedang sebuah daripada tokonya, yang dikatakannya rumahnya yang sebenar-benarnya, dipakainya hanya untuk menyambut kedatangan sahabat kenalan saja. Malukah Datuk Meringgih mengaku rumahnya di Ranah itu tempat kediamannya yang sejati? Barangkali jawab pertanyaan ini akan bertemu juga nanti. Tatkala cerita ini terjadi, Datuk Meringgih kelihatan duduk di serambi belakang rumahnya yang di Ranah itu, di atas kursi malas tadi.

Sebelum diceritakan kekayaannya, baiklah digambarkan dahulu bentuk dan bangun badannya dan diterangkan pula tabiat dan kelakuannya, supaya kenal benar kita akan dia dan tiada lupa lagi, apabila ia kelak berulang-ulang bertemu dalam hikayat ini.

Badannya kurus tinggi, punggungnya bungkuk udang, dadanya cekung, serta kakinya pengkar, kepalanya besar, tetapi tipis di muka, serta sulah pula. Rambutnya yang tinggal sedikit sekeliling kepalanya itu, telah putih sebagai kapas dibusur. Misai dan janggutnya panjang, tetapi hanya beberapa helai saja, tergantung pada dagu dan ujung bibirnya, melengkung ke bawah. Umurnya lebih dari setengah abad.

Matanya kecil, tetapi tajam, hidungnya bungkuk, mulutnya besar, giginya hitam dan kotor, yang di muka keluar sebagai gigi tupai. Telinganya besar, seperti telinga gajah, kulit mukanya berkarut marut dan penuh dengan bekas penyakit cacar.

Menurut gambar yang terlukis di atas, nyatalah Datuk Meringgih ini bukan seorang yang masih muda remaja dan bersikap tampan, melainkan seorang tua renta yang buruk.

Sekarang marilah kita ceritakan adat dan tabiatnya, kalaukalau berpadanan dengan rupanya.

Saudagar ini adalah seorang yang bakhil, loba dan tamak, tiada pengasih dan penyayang, serta bengis kasar budi pekertinya. Asal ia akan beroleh uang, asal akan sampai maksudnya, tiadalah diindahkannya barang sesuatu, tiadalah ditakutinya barang apa pun dan tiadalah ia pandangmemandang.

Terbujur lalu, terbelintang patah, katanya.

Apabila ia hendak mengeluarkan uangnya, walau sesen sekali pun, dibalik-balik dan ditungkuptelentangkannya duit itu beberapa kali; karena sangat sayang ia akan bercerai dengan mata uangnya itu.

Ditimbangnya benar-benar, sungguhkah perlu uang itu dibelanjakan atau tidak dan tak adakah jalan lain yang akan dapat menyampaikan maksudnya, dengan tiada mengeluarkan uang atau dengan mengeluarkan belanja yang sedikit.

Dicekiknya lehernya, diikatnya perutnya, ditahannya nafsunya, asal jangan keluar uangnya. Jika ia makan nasi, hanya dengan sambal lada atau ikan kering saja yang disimpannya sampai beberapa hari. Lauk-pauk ini padalah baginya, karena sangkanya dapur yang berasap setiap hari, tiada berguna dan banyak mengeluarkan biaya. Makanan dimakan, sedapnya sehingga leher sudah itu jadi kotoran.

Rumahnya sebagai kandang kambing dan pakaiannya yang seperti pakaian kuli itu, tiada mengapa baginya, asal jangan keluar duitnya, untuk sekaliannya itu. "Di luar dibersih-bersihkan, sedang di dalam perut sendiri tiada terhingga kotornya," demikianlah katanya.

Ditulikannya telinganya atas segala maki, nista, dan cacat orang kepadanya, dibutakannya matanya kepada sekalian penglihatan yang menyedapkan pemandangan asal uangnya jangan keluar. Tiada lain kesukaan yang diketahuinya, melainkan memandang peti hartanya, menghitung mata uang dan meraba uang kertasnya.

Diguncangnya peti uangnya, akan mendengar bunyi uang yang ada dalamnya dan ditimang-timangnya tabungnya untuk mengetahui beratnya. Berjam-jam lamanya ia dapat bermainmain dengan hartanya itu dan berhari-hari lamanya ia dapat bermain-main dengan hartanya itu dan berhari-hari lamanya ia dapat menghitung uangnya itu, dan di dalam hal yang sedemikian, lupalah ia akan dunia ini dan akan dirinya sendiri.

Berapi matanya, kembang hidupnya, kuncup telinganya, ternganga mulutnya, gemetar tangannya dan busung badannya, bila dilihatnya cahaya uang mas dan uang perak yang berkilat-kilatan atau didengarnya bunyi logam ini mendering. Diambilnya mata uang itu sebiji-sebiji, lalu diperhatikan dan diamat-amatinya capnya gerigi pinggirnya, gambarnya dan tulisannya. Gambar pada uang itu rupanya baginya terlebih indah daripada lukisan buah tangan pelukis yang masyhur-masyhur. Bunyi uang itu terlebih merdu didengarnya daripada lagu yang indah-indah yang dimainkan oleh ahli musik. Oleh sebab itu kerap kali dipermainmainkannya hartanya itu dan dibawanya tidur bersama-sama untuk mendapat mimpi yang menyenangkan hatinya.

Harapan, ingatan, dan niatnya, siang malam, petang dan pagi, tiada lain, melainkan akan menambah harta bendanya yang telah banyak itu, tiada berkeputusan dan tiada berhingga. Sekalian kekayaan dunia ini hendaknya janganlah jatuh pada orang lain, melainkan pada dirinya sendiri sebelumnya. Itu pun agaknya belum juga puas hatinya.

Makmurlah kehidupannya, bila tubuhnya tertutup dalam timbungan mata benda itu. Takut ia sakit dan mati, karena tiada dapat bercerai dengan harta dania ini.

Padanya tak ada lagi kesenangan yang lain daripada uang; sekaliannya uang, uang dan sekali lagi uang. Ibu-bapa, anakistri, sanak saudara, sahabat kenalanan, handai tolan, dan pelipur laranya, tiadalah lain daripada uang. Uang itulah kekasilmya, uang itulah Tuhannya. "Hidup dengan uang, mati dengan uang," katanya. Tiada ia hendak bercerai barang sekejap pun dengan uangnya. Uang baginya bukan alat untuk memperoleh kesenangan, tetapi uang itulah kesenangan.

Untuk memperoleh harta benda itu, tiada ia ngeri akan perbuatan yang kejam dan jahat, tiada ia malu akan kelakuan yang keji dan hina. Tiada ia pandang-memandang, tilikmenilik, segan-menyegani; tiada ibu-bapa, tiada adik tiada kakak, tiada sahabat tiada kenalan, tiada tinggi tiada rendah dan tiada hina tiada mulia baginya, untuk mencapai keinginannya yang rendah ini. Tiada ia menaruh takut, tiada menaruh ngeri, tiada menaruh kasihan, tiada menaruh sedih.

Yang mulia dihinakannya, yang kaya dimiskinkannya, yang berpangkat dijatuhkannya. Hamba itu diletakkannya di atas singgasana dan anjing itu diangkatnya ke puncak Gunung Merapi. Terbujur lalu, terbelintang patah, lamun uang harus diperolehnya.

Demikianlah Datuk Meringgih, saudagar yang termasyhur kaya di Padang itu. Ia kaya dan beringin hendak bertambah kaya itulah, artinya karena hendak mempunyai harta. Bukan kekayaan itu yang dimintanya hanya itulah yang dikehendakinya.

Hai Datuk Meringgih! Apakah paedahnya kekayaan yang sedemikian bagimu dan bagi sesamarnu? Engkau dilahirkan dari perut ibumu dengan tiada membawa suatu apa, dan apabila engkau kelak meninggalkan dunia yang fana ini, karena maut itu tak dapat kauhindarkan, walaupun hartamu sebanyak harta raja Karun sekalipun tiadalah lain yang akan engkau bawa ke tempat kediamanmu yang baka itu, melainkan selembar kain putih yang cukup untuk menutup badanmu jua.

Semasa engkau masih hidup, berlelah-lelah engkau mengumpulkan harta benda dengan tiada jemu jemunya.

Berapa kesusahan dan kesakitan yang kaurasai, berapa azab dan sengsara yang kauderita, berapa umpat dan sumpah yang kautanggung, berapa maki dan nista yang kaudengar, akan tetapi, bila engkau kelak berpulang ke rahmatullah, akan tinggallah dan berbagi-bagilah kembali hartamu itu kepada yang masih hidup. Harta dunia dan harta akhirat itulah yang dapat kau bawa pulang ke negeri yang baka dan menolong engkau dalam perjalananmu ke sana dan kehidupanmu yang kekal di sana kelak.

Semasa hidupmu, engkau rebut harta itu dari tangan orang lain, bila engkau telah mati niscaya jatuhlah kembali harta itu ke tangan orang lain itu. lnilah yang dikatakan pepatah; adat dunia balas-berbalas. Segala sesuatu tiada kekal, melainkan bertukartukar dan berpindah-pindah juga. Bulan berputar mengedari matahari, dan matahari berputar pula mengedari alam. Apakah yang tetap? Tak ada, melainkan Tuhan Yang Esa juga.

Kekayaanmu yang dikurniakan Tuhan kepadamu itu tiada memberi paedah bagi dirimu sendiri, bagi sesamamu manusia dan bagi isi dunia ini; melainkan mendatangkan kesenangan dan kedukaan juga kepada mereka sekalian dan kepada dirimu sendiri pun.

Sungguhpun telah adat manusia bersifat loba dan tamak, walaupun tiada sama pada tiap-tiap orang, karena jika telah ada yang sejari hendak yang sejengkal, bila telah ada yang sejengkal hendak sedepa, dan bila ada yang sedepa pun hendak lebih juga tiada berkeputusan, selagi hayat di kandung badan, dan walaupun sifat yang demikianlah yang membawa manusia itu ke padang kemajuan, tetapi hendaklah berhatihati, sebab jalan yang ditempuh bercabang dua; sebuah jalan kebaikan dan sebuah lagi jalan kejahatan. Apabila jalan yang baik itu kauturut, berhasillah pekerjaanmu, karena memberi paedah kepada dirimu sendiri dan sesamamu manusia. Akan tetapi apabila jalan yang jahat itu yang kautempu,. takkan tiada pekerjaanmu itu akan mendatangkan bahaya dan bencana juga kepada sesamamu manusia dan kepada dirimu sendiri pun.

Apabila hartamu itu kaupergunakan untuk pembela dirimu, supaya mendapat kehidupan yang senang, makan minum yang cukup, rumah tangga dan pakaian yang baik, ataupun akan engkau habiskan, untuk memuaskan hawa nafsumu yang baik, sudahlah; karena seharusnyalah tiap-tiap manusia itu berikhtiar mencari kesenangan dan kemajuan segala hal, asal jangan melewati batas kebaikan.

Sungguhpun demikian, akan lebih berpaedah juga pekerjaanmu, bila hartamu itu kaupergunakan untuk berbuat baik kepada sesamamu manusia dan berbuat bakti kepada Tuhanmu supaya dapat engkau memperbaiki yang rusak, menyelesaikan yang kusut, menolong yang kesusahan, melipur yang miskin, jadi mengurangi azab sengsara dunia ini.

Karena ketahuilah olehmu, bahwa dunia ini terlebih banyak mengandung yang susah daripada yang senang, yang hina daripada yang mulia, yang, kurang daripada yang cukup, yang miskin daripada yang kaya, yang daif daripada yang kuat, yang malang daripada yang mujur. Apabila tiada daripada engkau dan orang-orang kaya-kaya lain, yang sebagai engkau, daripada siapakah mereka akan mendapat pertolongan? Ingatlah! Kekayaan dan kemiskinan, kemuliaan dan kehinaan, kesusahan dan kesenangan, ya sekaliannya, datangnya daripada Tuhan Yang Esa juga. Jika dikehendakinya, dengan sekejap mata, bertukarlah kekayaan itu menjadi kemiskinan, kemuliaan menjadi kehinaan, kesukaan menjadi kedukaan dan tinggilah yang rendah, kayalah yang miskin, mulialah yang hina, dan tertawalah yang menangis.

Oleh sebab itu, janganlah sombong dan angkuh, karena beroleh kekayaan, kemuliaan, kesenangan, dan kesukaan melainkan insyaflah, bahwa sekalian itu selydar pinjaman, yang setiap waktu boleh diambil kembali oleh yang empunya.

Dan engkau pun yang berasa miskin dan hina, yang selalu mendapat bahaya, kesengsaraan, dan kesedihan, janganlah putus asa, melainkan sabar dan tawakallah juga kepada Tuhanmu serta pohonkan pertolongan dan kurnia-Nya.

Sesudah hujan, niscaya panas.

Yang beruntung janganlah menghinakan yang malang, dan yang malang janganlah dengki kepada yang beruntung melainkan berkasih-kasihanlah selama-lamanya, serta tolongmenolong dalam segala hal, karena yang ber¬untung perlu kepada yang malang, dan yang malang perlu pula kepada yang mujur. Jika tak ada yang malang, niscaya tak ada pula yang inujur, dan jika tak ada yang beruntung, yang malang pun tak ada pula.

Apabila engkau pergunakan hartamu itu hai Datuk Meringgih, untuk kebaikan, takkan tiada kebaikan pulalah yang akan datang kepadamu, yang terlebih daripada kesukaan dan kesenangan, yang engkau peroleh daripada bunyi dan cahaya mata bendamu itu: karena suatu perbuatan atau pil.iran pun, buruk dan baik, tiada hilang, sebagai hujan jatuh ke pasir, melainkan hidup selama-lamanya dan timbul kembali pada dirimu atau diri sesamamu.

Apabila kelak datang waktunya engkau akah meninggalkan dunia ini dan engkau menoleh ke belakang, kepada jalan yang telah kautempuh, niscaya perasaan yang sejahteralah yang akan mengikutmu, karena aku ketahui, bahwa hidupmu tiada kosong, sebagai padi hampa, melainkan banyak mendatangkan jasa kepada sesamamu manusia.

Sungguhpun Datuk Meringgih tiada disukai orang, karena tabiat dan kelakuannya yang buruk dan loba tamaknya itu, tetapi ia ditakuti dan disegani orang juga, sebab hartanya yang tiada ternilai banyaknya itu: lebih-lebih oleh mereka yang acap kali kesusahan uang. Karena ialah tempat walaupun dengan bunganya yang terkadang-kadang sampai separuh dari pinjaman.

Bila telah sampai kepada waktu perjanjian, hutang itu belum dibayar oleh yang meminjam, niscaya tiada diberi maaf lagi Datuk Meringgih, melainkan didakwanyalah mereka dan dirampasnya panjar gadaian itu.

Di manakah diperoleh Datuk Meringgih harta yang sekian banyaknya itu? Inilah suatu rahasia yang selalu menjadi permainan mulut dan buah pikiran isi kota Padang. Acap kali diperbincangkan, kerapkali diterka-terka, tetapi tiadalah seorang jua pun yang mengetahui hal itu. Demikian pula tiada seorang juga yang tahu, siapakah Datuk Meringgih ini sebenarnya dan dari mana asalnya.

Kira-kira dua puluh tahun yang telah lalu, Datuk ini dikenal orang di Padang sebagai penjual ikan kering, di pasar di Kampung Jawa. Tiba-tiba, pada suatu waktu, dibelinya sebuah kota dan sejak waktu itu sangatlah lekas bertambah-tambah kekayaannya, sehingga tatkala umurnya telah lebih daripada empat puluh tahun, ia telah mempunyai beberapa toko-toko yang besar dan gudang-gudang yang penuh berisi barangbarang dagangan. Rumah sewaannya berpuluh-puluh, hampir sekalian tanah di kota Padang ada dalam tangannya. Kebun kelapanya berbahu-bahu dan sawahnya beratus-ratus piring.

Di Muara, hampir sekalian perahu yang membawa dan mengambil dagangan, kepunyaannya. Seisi kota Padang heran melihat kekayaan yang sebanyak itu dan yang bertambahtambah secepat itu, dengan tiada diketahui orang bagaimanakah Datuk Meringgih memperolehnya, karena yang didengar dan dilihat orang, hanyalah bakhil dan lobanya saja.

Oleh sebab itu, berbagai-bagailah cerita yang kedengaran tentang asal kekayaan Datuk Meringgih ini. Ada yang berkata ia mendapat lotere seratus ribu dan ada pula yang berkata ia mendapat harta yang tersembunyi di dalam tanah. Orang yang keras beragama menyangka ia telah bertemu dengan Nabi Khaidir pada malam dua puluh tujuh bulan Ramadhan.

Orang yang percaya kepada takhyul, mengira bersahabat dengan jin. Dan orang yang benci kepada Datuk ini mengatakan ia memasukkan candu gelap. Akan tetapi yang sebenarnya, hanyalah Datuk Meringgih seorang yang mengetahui.

Sekarang marilah kita dekati Datuk Meringgih, yang sedang duduk di atas kursi malas di serambi belakang rumahnya itu, untuk mengetahui apakah kerjanya, duduk seorang diri.

Tiada lama datuk meringgih duduk sedemikian itu, hari pun malamlah dan gelaplah segala yang di darat dan di udara pun telah masuk ke dalam kandang atau sarangnya. Hanya kelelawarlah yang ke luar terbang ke sana-sini, mencari mangsanya. Keluang terbang tinggi beriring-iringan arah selatan, mencari buah-buahan yang masak. Burung hantu mulai berbunyi dalam lubang-lubang kayu musang pun bangunlah daripada tidurnya, lalu mengintip ke sana kemari, akan mengetahui, tiadakah ada bahaya di luar sarangnya. Ular menjalar di celahcelah batu mengintip katak dan binatang yang kecil-kecil.

Si sebelah barat, langit tertutup oleh awan hitam yang mengandung hujan, yang mengembang dari laut ke darat.

Cuaca yang terang, menjadi gelap-gulita, sehingga tiada kelihatan barang sesuatu pun. Bintang-bintang di langit lenyap, sebagai ditutup tabir hitam. Hari tenang, angin tak ada, tanda topan akan datang. Di jalan, raya sunyi senyap, sebagai negeri dialahkan garuda. Terkadang-kadang melintas orang seorang-seorang yang berjalan cepat-cepat, sebagai takut akan kehujanan. Pada tiaptiap rumah tiada kelihatan lampu, sebab jendela-jendela telah ditutup. Walaupun gelap sedemikian, tetapi Datuk Meringgih tiada menyuruh menerangi serambi belakang rumahnya. Sebab bakhilnya pulakah atau sebab yang lain? Segera akan kita ketahui.

Sekonyong-konyong kelihatanlah sekejap mata, kilat yang menerangi seluruh alam yang gelap gulita itu dan tatkala itu juga kedengaran halilintar berbunyi bagai membelah bumi, disertai oleh hujan yang amat lebat, seperti air dicurahkan dari langit.T iada lama kemudian daripada itu bertiuplah angin topan yang sangat hebat, menumbangkan beberapa pohon kayu yang besar-besar.

Walaupun hari rupanya seakan-akan kiamat, tetapi Datuk Meringgih tiadalah masuk ke dalam rumahnya, adalah sebagai sekalian kekacauan alam itu tiada diindahkannya, bahkan diingininya, karena ia masih duduk termenung di atas kursinya memikirkan sesuatu hal yang penting.

Tiba-tiba kedengaran di tempat yang gelap, suara orang batuk tiga kali. Tatkala itu barulah ingat Datuk Meringgih akan dirinya, lalu melihat ke kanan dan ke kiri, kalau-kalau ada orang dekat di sana. Kemudian batuk pula ia dua kali. Seketika itu juga kelihatan, seperti suatu bayang-bayang, bergerak di tempat yang gelap, kemudian kelihatan seorang-orang yang memakai serba hitam, datang menghampiri Datuk Meringgih, lalu masuk keduanya ke dalam sebuah bilik, di serambi belakang. Pintu bilik ini segera ditutup rapat-rapat oleh Datuk Meringgih.

Di dalam kamar ini, yang hanya diterangi oleh sebuah pelita minyak kelapa, ada sebuah tilam dan sebuah peti. Di lantai ada terbentang sehelai tikar pandan dan di atas tikar inilah duduk kedua mereka itu.

Di sana nyata kelihatan, orang yang baru datang itu memakai destar hitam yang lembut yang ujungnya dibalikkannya ke mukanya sehingga dahinya tertutup. Bajunya baju Cina hitam yang besar lengannya, dan celananya seluar Aceh, yang warnanya hitam pula. Sarung yang disandangnya di bahunya, yaitu sarung Bugis hitam.

"Tiada basah engkau, Pendekar Lima?" tanya Datuk Meringgih perlahan-lahan kepada jamunya ini.

"Tidak, Engku, sebab hamba telah hampir ada di sini, tatkala hari akan hujan," jawab Pendekar Lima.

"Apa kabar pekerjaan kita yang di Hulu Limau Manis?"

"Tidak baik jadinya."

"Tidak baik? Apa sebabnya?" tanya Datuk Meringgih sambil mengangkat mukanya, menentang Pendekar Lima. Di situ kelihatan bengis muka Datuk Meringgih.

"Murid-murid kita tiada menurut aturan yang telah diberikan kepadanya."

"Siapa yang menjadi guru waktu itu?"

"Si Patah."

"Apakah sebabnya, maka tiada engkau sendiri yang mengajar di sana? Bukankah telah kuperintahkan kepadamu?"

"Sebab hamba pada waktu itu harus mengajar di Bukit Putus; karena di sana pun ada ilmu baru yang datang dari Tanah Jawa, yang sangat besar harganya."

"Si Patah belum cukup kepandaiannya untuk mengajar murid-murid pada sasaran yang besar-besar dan ia kurang sabar. Itulah sebabnya, maka salah ajarannya. Sekarang di mana dia?"

"Dalam rumah batu."

"Rumah batu?" tanya Datuk Meringgih dengan mengangkat kepalanya pula. "Rumah batu di mana?"

"Rumah batu di Lubuk Bagalung, bersama-sama dua orang murid."

"Itulah upah yang patut, bagi orang yang sedemikian.

Tetapi sudahlah diperiksa perkaranya?"

"Sudah," jawab pendekar Lima, "dan rupanya ia teguh memegang sumpahnya, karena tiada disebut-sebutnya nama hamba."

"Cobalah kauceritakan dari mulanya, apa sebabnya maka sampai jadi sedemikian itu?" , "Tatkala hamba ketahui, bahwa hamba tak dapat pergi ke Hulu Limau Manis," kata Pendekar Lima, "hamba suruhlah seorang murid tua ke sana, yaitu si Patah, serta hamba katakan kepadanya aturan yang telah Engku Datuk berikan itu. Mulamula rupanya ada diturutnya aturan itu, karena sekalian barangbarang, jatuh ke dalam tangannya. Tetapi pendapatan ini tiada disimpannya pada tempat yang telah ditetapkan, melainkan hari itu juga dikirimkannya kemari; dimasukkannya ke dalam beberapa karung, lalu ditumpangkannya pada tukang pedati, yang berangkat malam itu juga ke sini. Rupanya pedati itu lama berhenti di Lubuk Bagalung dan di sanalah kedapatan oleh yang kuning leher[1].

Oleh sebab tukang pedati itu mengatakan ia menerima barang-barang itu dari si Patah, hari itu juga ia ditangkap dengan kedua muridnya."

"Baiklah, tetapi carilah akal, sebelum hukumannya dijatuhkan, supaya mereka lepas dari rumah batu itu dan bila telah lepas, suruhlah si Patah pergi ke Terusan atau ke Painan, untuk sementara bekerja mengambil rotan, supaya jangan kelihatan oleh orang. Dan kedua muridnya, suruh ke bukit Tambun Tulang, belajar di sana dengan sungguhsungguh," kata Datuk Meringgih.

"Baiklah, Engku."

"Tentang perkara ilmu yang kaupelajari di Bukit Putus itu, bagaimana pula? Aku tiada tahu hal itu."

"Sesungguhnya perkara ini belum hamba kabarkan kepada Engku, sebab sejak waktu itu belum sempat hamba datang kemari."

"Akan tetapi apakah sebabnya, maka engkau tiada bermupakat lebih dahulu dengan daku?" tanya Datuk Meringgih pula.

"Sebab tak sempat. Sebenarnya malam itu hamba akan pergi ke Hulu Limau Manis, menolong si Patah, sebagai telah Engku katakan. Tetapi tatkala sampai ke Bukit Putus, dapat kabar dari seorang murid di sana, ada ilmu baru, datang dari Jawa, dengan kapal yang masuk hari itu. Ilmu itu banyak harganya.

Karena tak sempat balik kemari, memberi tahu Engku, khawatir kalau ilmu itu segera dibawa ke tempat lain, hamba tuntut sendiri ilmu itu, sebab rupanya tak berapa susah."

"Dan dapatkah ilmu itu?"

"Dapat, sekarang ditanam dalam tanah, dekat Tanah Merah."

"Kira-kira berapa harganya?"

"Kira-kira enam atau tujuh ratus, semuanya emas dan intan. Itulah yang hendak hamba mupakatkan, karena dua orang murid yang bersama-sama pergi dengan hamba, minta bagiannya."

"Nanti kuberi seorang lima puluh."

"Jika boleh, ia minta seratus seorang."

"Masakan seratus, karena harga ilmu itu belum tentu sekian banyaknya dan gajinya tiap-tiap bulan, tiadakah diingatnya? Sudahlah, aku beri tiap-tiap orang tujuh puluh lima dan engkau seratus lima puluh, jika benar ilmu enam atau tujuh ratus harganya. Janganlah banyak cakap lagi! Bawalah ilmu itu kemari dahulu! Jika telah kutaksir, tentu segera engkau mendapat bagianmu masing-masing. Dan bawalah pula tukang mas kita sekali, supaya lekas dapat dihancurkannya masnya yang diperbuatnya barang-barang lain; kemudian berikan kepada tukang penjaja mas in'tan kita, suruh jual ke negeri lain."

"Baiklah, Engku," jawab Pendekar Lima dengan riangnya, sedang matanya yang sebagai mata burung hantu itu bercayacaya, karena mengenangkan upah yang akan diperolehnya. Dari uang yang tiga rarus rupiah itu, tentulah sekurang-kurangnya dua ratus dapat olehnya, sehingga dapatlah pula ia beberapa hari minum candu dan berjudi, sesuka hatinya.

"Suatu lagi yang hendak hamba kabarkan kepada Engku.

Tukang cetak kita, malam kemarin mati," kata Pendekar Lima.

"Mati?" jawab Datuk Meringgih dengan terperanjat. "apa sebabnya?"

"Sakit perut."

"Siapa gantinya."

"Itulah yang hendak hamba tanyakan, siapakah yang akan menggantikannya?"

"Temannya si Baso, belumkah dapat bekerja sendiri?"

"Sudah," jawab Pendekar Lima. "Pada pikiran hamba, dialah yang baik pengganti yang mati itu. Tetapi siapakah yang akan menjadi ganti si Baso pula?"

"Carilah seorang yang boleh dipercaya di antara orangorang kita!"

"Baiklah!"

"Hanya sekarang, janganlah terlalu banyak mencetak uang perak, melainkan uang mas itulah yang harus dilebihkan, sebab uang perak, lekas dikenal orang."

"Baiklah! Lagi pula tiadakah baik tempat itu dipindahkan? Sebab hamba baru mendapat sebuah gua batu dalam gunung yang dekat di sana yang baik rupanya, tersembunyi di pinggir laut."

"Baiklah, nanti kita periksa bersama-sama."

"Perkara toko Bombai itu, bagaimana?" tanya Pendekar Lima, yang rupanya sangat rajin hendak bekerja, karena mengenangkan uang dua ratus rupiah tadi. .

"Perkara itu. nantilah; aku hendak mencari muslihat yang baik dahulu. Sekarang ini ada perkara lain, yang hendak kukatakan kepadamu."

"Perkara apa, Engku?" jawab Pendekar lima.

"Aku sesungguhnya tiada senang melihat perniagaan Baginda Sulaiman, makin hari makin bertambah maju, sehingga berani ia bersaing dengan aku. Oleh sebab itu hendaklah ia dijatuhkan."

"Akan tetapi bagaimanakah akal kita? Karena barangbarangnya bukan sedikit, tak dapat diangkat dalam sehari dua. Dan diambil separuhnya pun, tiadalah dirasainya," kata Pendekar Lima.

"Bukan aku suruh engkau mencuri barang-barangnya, karena berapakah yang akan terbawa olehmu? Aku bukan bodoh. Aku tahu akal yang lebih baik, yaitu gudang-gudang dan tokotokonya harus dibakar, perahu yang membawa barang-barangnya dari Painan harus ditenggelamkan dan orang-orang yang ada di sana dibujuk, supaya jangan mau bekerja dengan dia lagi; sekalian pohon kelapanya di Ujung Karang, haruslah diobati, biar busuk dan tak berbuah," kata Datuk Meringgih dengan suara keras, serta memukul¬mukul telapak tangan kirinya dengan tangan kanannya, yang dikepalkannya, karena geramnya.

"Esok hari juga engkau mulai bekerja di Ujung Karang! Beritahukan kepada sekalian murid yang ada di sana! Sekalian pohon kelapanya hendaklah dibubuh obat, supaya inati.

Kemudian pergilah engkau ke Terusan dan Painan. Bujuklah sekalian orangnya di sana supaya meninggalkan pekerjaannya dan masuk kaum kita. Dan bujuklah pula tukang perahunya, supaya perahu-perahunya, dengan isi-isinya sekali, dikaramkan di laut. Sudah itu pergilah engkau ke Padang Darat dan ke manamana, menghasut sekalian toko yang berlangganan dengan dia, supaya jangan membeli apa-apa lagi padanya.

Dengan demikian dapat kubeli barang-barangnya itu dengan harga murah. Biar aku rugi. sedikit, asal Baginda Sulaiman jatuh. Setelah selesai pekerjaan itu, barulah engkau mulai membakar toko dan gudangnya."

Pendekar Lima termenung seketika mendengar perintah ini, karena belum pernah ia mengerjakan yang sedemikian. Pada pikirannya bukan sedikit belanja dan susahnya pekerjaan itu.

Melihat Pendekar Lima berdiam diri, berkata pula Datuk Meringgih, "Aku tahu, pekerjaan ini memang tak mudah dan harus berhati-hati benar melakukannya supaya jangan sampai diketahui orang. Tetapi ia akan memberi keuntungan berpuluh ribu kepada kita. Dan pada pikiranku engkau cakap menjalankannya. Oleh sebab itu aku tiada akan memandang berapa biaya yang berguna; biar aku rugi beribu sekalipun, asal sampai maksudku ini. Aku tiada senang, kalau di Padang ini masih ada saudagar yang berani bersaingan dengan daku.

Sebelum jatuh ia, belumlah puas hatiku. Kau boleh memakai duit seberapa sukamu dan boleh pula menyuruh orangorangku, kalau perlu."

Mendengar perkataan Datuk Meringgih ini yaitu ia boleh memakai duit seberapa sukanya, hilanglah takut dan ngeri Pendekar Lima lalu menjawab dengan gembira, "Baiklah, Engku Datuk. Jangankan sekian, disuruh membunuh orang senegeri pun, hamba mau, asal Engku Datuk yang menyuruh."

Dengan berkata demikian, pikirannya melayang kepada uang beribu-ribu yang akan diterimanya.

"Tetapi ingat!" kata Datuk Meringgih pula. "Kalau tak sampai maksudku ini, tak perlu engkau datang-datang lagi kemari."

Mendengar perkataan ini berdebarlah hati Pendekar Lima, karena artinya tentulah ia akan dilepaskan oleh Datuk Meringgih, apabila maksudnya ini tak sampai. Dan akan dapatkah ia mencari tuan yang sebagai Datuk Meringgih ini? Betul ia sangat bakhil, tetapi tiada memandang apa pun, bila ada sesuatu hajatnya. Oleh sebab itu berjanjilah ia dalam hatinya akan menjalankan perintah yang berat ini dengan sesungguhsungguh hati, walaupun apa pun juga yang akan terjadi atas dirinya.

Sementara itu masuklah Datuk Meringgih ke dalam rumahnya dan seketika lagi keluarlah pula ia lalu berkata, "lni uang seratus untuk belanjamu sementara. Bila habis, uang ini, boleh kauminta pula kepadaku atau kepada sekalian orangku yang memegang uang. Nanti kukirimkan surat kepadanya sekalian."

"Terima kasih, Engku!" jawab Pendekar Lima. "Akan tetapi pekerjaan hamba di sini bagaimana?"

"Serahkan kepada Pendekar Empat dan suruhlah ia kemari, supaya kukatakan kepadanya, apa yang harus diperbuatnya."

Tiada berapa lama kemudian daripada itu kelihatanlah Pendekar Lima keluar dari dalam bilik tadi, lalu hilang di dalam gelap.

  1. Opas polisi, pada masa dahulunya opas-opas memakai setrip kuning ada leher bajunya dan pada celananya.