Sitti Nurbaya/Bab 4
IV. Putri Rubiah Dengan Saudaranya Sutan Hamzah
[sunting]Pada petang hari Ahad, tatkala Samsu dengan sahabatnya pergi berjalan-jalan ke Gunung Padang, kelihatan putri Rubiah duduk di serambi belakang rumahnya, di atas sebuah tikar rumput, sedang menjahit. Dekat putri itu duduk saudaranya yang bungsu, Sutan Hamzah, sedang menggulung-gulung rokok daun nipah.
"Bagaimana pikiranmu tentang kakakmu Mahmud, Hamzah?" tanya putri Rubiah dengan tiada menoleh dari penjahitannya.
"Pada pikiran hamba, kelakuannya sangat berubah, " jawab Sutan Hamzah, sambil menoleh kepada saudaranya.
"Pikiranku pun demikian pula. Makin lama makin jarang ia datang kemari kian hari kian kurang diindahkannya aku dan Rubiah, serta kaum keluarganya yang lain-lain sebagai takut ia datang kemari. Katanya karena banyak kerja, dan ia takut kalaukalau pekerjaannya kurang maju. Benarkah itu?" tanya putri Rubiah.
"Ah, bohong! Bukannya ia sendiri yang menjadi Penghulu di Padang ini dan berpangkat tinggi. Apakah sebabnya Penghulu di lain-lain tiada sebagai dia?" jawab Sutan Hamzah.
"Pikiran yang sedemikian, acap kali timbul pula dalam hatiku. Memang pangkat itu aku sukai dan harus dijaga benarbenar, supaya jangan bercacat nama. Tetapi janganlah hendaknya karena itu, berubah kelakuan adat dan pikiran.
Coba kaupikir! Aku dan Rukiah saudaranya dan kemanakannya yang perempuan, jadi tanggungannya. Tetapi tiada dijaga, tiada dikunjung-kunjunginya dan tiada dilihat-lihatnya, apalagi dibelanjainya; pendeknya tidak diindahkannya. Hanya anak dan istrinya sahaja yang dijaga dipelihara dan dihiraukannya.
Kalau terjadi apa-apa pada malam atau siang hari atau kami ditimpa bahaya—sekali disebut seribu kali dijauhkan Allah hendaknya, bagaimana kami? Akan mati seoranglah agaknya," kata Putri Rabiah dengan sedih.
"Anaknya itu kabarnya akan dikirimkannya pula ke Jakarta, Sekolah Jawa. Yang bukan tanggungannya ditanggungnya, yang tanggungannya sendiri, disia-siakan. Kalau anaknya itu tak ada mamaknya yang akan memikul beban ini, sudahlah; tolonglah anak itu sebab kasihan Akan tetapi kewajiban, jangan dilupakan; bahkan itulah yang patut diingat lebih dahulu."
"Si Samsu ke Jakarta?" tanya Sutan Hamzah dengan takjub "Ya tiga bulan lagi. Dan dari sana, entah ke mana pula, barangkali ke negeri Belanda. Hendak dijadikannya apa anaknya itu, tiada kuketahui," jawab putri Rubiah.
"Akan dijadikannya jenderal, agaknya," sahut Sutan Hamzah dengan tersenyum.
"Bukankah sekalian itu memakan uang saja? Itulah sebabnya agaknya, maka tiap-tiap aku minta duit kepadanya, jarang dapat; biasanya tak ada duit, katanya. Ke manakah gajinya yang sebanyak itu? Tentulah habis untuk anak dan istrinya saja. Apakah perlunya anak itu dimajukan sejauh itu? Sekolah Belanda ini saja telah lebih daripada cukup. Berapa orang yang tiada tahu bahasa Belanda, tetapi dapat juga mencapai pangkat yang tinggi. Ayah kita, apa kepandaiannya? Menulis pun hampir tak dapat. Tetapi mengapakah dapat juga ia menjabat pangkat Tuanku Bendahara[1]. Siapakah di antara Penghulu-Penghulu yang ada di Padang ini, yang pandai bahasa Belanda? Tak ada seorang pun. Bukankah sekaliannya itu bergantung kepada untung nasib satusatunya orang? Jika baik untungnya, tak pandai pun, ten¬tu akan mendapat pangkat juga. Tetapi apabila tak baik nasib, walaupun melangit kepandaiannya, jatuhnya ke pelimbahan juga."
"Pada pikiran hamba, anak itu tak baik untungnya. Segala usaha Kakanda Mahmud ini, niscayaakan sia-sia belaka.
Cobalah lihat! Arang habis, besi binasa," jawab Sutan Hamzah, sambil mengisap sebatang rokok yang dibuatnya.
"Mengapa engkau berkata demikian?" tanya putri Rubiah.
"Ada suatu tanda padanya, ia akan mati berdarah dan akan menjadi musuh kita," jawab Sutan Hamzah.
Putri Rubiah termenung sejurus mendengar perkataan adiknya ini. Kemudian ia berkata pula, "Mauku sekolah Belanda ini saja, cukuplah. Sudah itu masukkan saja ia ke kantor, jadi juru tuliskah atau apa saja. Biarpun tak bergaji, tak mengapalah mulamula ini. Kelak, tentulah akan naik juga pangkatnya dan dapat juga gaji yang besar, asal ada untungnya. Bukankah sudah ada pepatah kita yang mengiaskan hal itu: Malang tak boleh ditolak, mujur tak dapat diraih. Sesudah diikhtiarkan, diserahkan! Ini tidak; karena hendak memajukan anak sampai berhabis-habisan. Harta pusaka pun hampir diganggunya pula."
"Harta pusaka kita?" jawab Sutan Hamzah dengan mengangkat kepalanya. "Hendak hamba lihat, kalau benar ia berani menghabiskan harta pusaka kita. Walaupun hamba tak berpangkat, tetapi tak takut melawannya."
"Itulah yang menjadikan bimbang hatiku siang-malam, hingga acapkali aku tak dapat tidur karena memikirkan hal ini.
Aku takut kalau-kalau benar diperbuatnya sedemikian, menjadi berbantah kita, antara saudara dengan saudara.
Bukan tak baik saja, perbuatan yang sedemikian, tetapi malu aku kepada orang lain; sebab tak layak orang yang berbangsa sebagai kita, berbuat begitu," kata putri Rubiah pula dengan mengeluh.
"Tetapi kalau tak dapat dihindarkan, apa boleh buat! Janganlah takut, Kanda! Hamba di muka kelak," jawab Sutan Hamzah dengan garangnya. "Tentu saja ia selalu tiada beruang dan dirundung susah sedemikian itu; sebab bodoh dan gila. Apakah sebabnya ditanggung, yang tak perlu ditanggung dan disuruh pula menuntut ilmu ke mana-mana.
Itulah yang dikatakan orang: Tak beban, batu digalas. Siapa yang mau berbuat sedemikian, waktu ini? Hanya ia sendiri.
Pada sangkanya, akan dipuji orang perbuatannya ini. Tidak diketahuinya, bahwa ia dicerca dan ditertawakan orang dari belakang.
Dan apakah sebabnya ia tak mau menerima segala jemputan orang dan tak suka beristri banyak? Bukankah itu sekaliannya duit saja! Apabila tiap-tiap kawin, ia beroleh uang jemputan dua ratus atau tiga ratus rupiah, tak perlu ia makan gaji lagi? Kalau habis duit, kawin lagi. Apakah salahnya dan susahnya beristri dan beranak banyak? Karena laki-laki bangsawan tak perlu memelihara dan membelanjai anak istrinya. Sekaliannya itu tanggungan orang lain. Apa gunanya bangsa dan pangkat yang tinggi, kalau tiada akan beroleh hasil? Coba lihat hamba! Walaupun tiada mempunyai pekerjaan, makan tak kurang, kocek pun tak kosong. Apabila hamba datang ke rumah istri hamba, makanan yang lezat citarasanya telah tersedia: pakaian yang bersihpun, demikian pula. Jika berjalan, kocek diisi: rokok dan segala keperluan hamba yang lain, diberi. Ingin hamba hendak berbendi pada petang hari, bendi mentua hamba telah tersedia; segala kesukaan diadakan, segala kemauan tiada dilarang. Apa lagi yang dikehendaki? Bukankah bodoh, laki-laki yang tak suka kepada adat istiadat yang sedemikian?"
"Memang engkaulah saudaraku yang sesungguhsungguhnya, membangkitkan batang terendam, yang tahu adat istiadat dan menjunjung tinggi pusaka nenek moyang kita dan tahu menghargakan ketinggian kebangsawanan kita dan menjalankan kewajiban kepada saudara dan kemenakannya," kata putri Rubiah, memuji-muji adiknya itu.
"Apa yang hamba susahkan?" kata Sutan Hamzah pula.
"Biarpun berpuluh istri hamba, beratus anak hamba, belanja tak perlu hamba keluarkan dari kocek hamba, sebab istri hamba ada orang tua dan mamaknya. Demikian pula anak hamba, bukan tanggungan hamba. Apabila mentua hamba tiada cakap atau tiada sudi lagi membelanjai hamba, hamba ceraikan anaknya dan hamba kawini perempuan lain, yang mampu; tentu dapat hamba uang jemputan dua tiga ratus rupiah dan berisilah pula kocek hamba. Bukan sebagai kakanda Mahmud; jangankan mendapat uang, bahkan berugi dan berhabis uang pula ia. Mengapakah tak dipergunakan bangsa dan pangkatnya yang tinggi itu? Sedang sekarang, anaknya masih seorang dan istrinya seorang pula, sudah tak dapat ia berkata apa-apa lagi. Bagaimanakah halnya kelak, apabila anak dan istrinya sebanyak anak dan istri hamba? Jangan-jangan mati di jalan besar sendiri saja ia. Karena hamba, walaupun muda dari padanya, tetapi telah sepuluh orang istri hamba dan delapan belas orang anak hamba.
Sungguhpurt demikian, hamba tiada susah, tiada kekurangan uang, tiada meminjam ke sana ke mari. Lebih banyak anak, bukankah lebih baik, lebih kembang biak dan lebih banyak pula orang yang berbangsa di Padang ini. Dalam Quran pun diizinkan beristri sampai empat orang sekali. Apakah sebabnya tak diturutnya itu, kalau benar ia orang Islam'? Katanya ia cerdik pandai, sebab bersekolah dan berpangkat tinggi; tetapi kepandaiannya itu menyusahkan dirinya sendiri. Bukankah lebih baik bodoh sebagai hamba ini, tetapi tak pernah susah dan menyusahkan orang.
Anaknya disuruhnya sekolah ini dan sekolah itu, belajar ini dan belajar itu, akhirnya ia akan menjadi apa? Menjadi raja, tak dapat. Walaupun berpangkat setinggi apa sekalipun, jika masih makan gaji masih di bawah perintah orang; berbuat sekehendak hati tak boleh. Segala perintah dari atas, harus diturut. Biar malam ataupun siang, biar sakit ataupun senang, lamun pekerjaan harus dikerjakan; tak boleh mengatakan tidak. Kalau enggan bekerja, tentu akan diperhentikan dari pekerjaan atau mendapat nama yang kurang baik. Tetapi hamba, bebas sebagai burung di udara; tak ada yang melarang dan menyuruh, boleh berbuat sekehendak hati: Beraja di hati, bersutan di mata hamba sendiri. Hendak pun tidur selama-lamanya atau duduk bercakapcakap saja atau bersuka-sukaan sehari-hari, berjalan ke manamana, tak ada yang membantah. Oleh karena itu benarkah orang yang berilmu dan berpangkat tinggi itu lebih senang daripada orang yang bodoh dan berpangkat rendah? Di sini ada contohnya, tak perlu mengambil misal jauh jauh. Perbandingkanlah Kakanda Mahmud dengan hamba.
Anaknya Samsu itu memang harus disekolahkannya ke mana-mana, untuk menuntut ilmu yang tinggi-tinggi, sebab jika tak demikian, tentulah anak itu tiada akan menjadi orang kelak. Orang yang sebagai dia, harus membanting tulang, jika tak kaya; sebab bangsanya kurang. Tetapi pada pikiran hamba, walaupun tak menjadi orang anak itu, apa peduli kita? Bukan tanggungan kita. Yang akan malu, mamaknya. Oleh sebab itu tak habis pikir hamba mengapa tidak mamaknya yang memajukan anak itu? Lagi pula kesalahan siapa, Kanda Mahmud sampai beroleh anak itu? Siapa yang menyuruh dia kawin dengan perempuan biasa itu? Kurangkah putri-putri yang baik di Padang ini? Apa gunanya memandang rupa saja, kalau bangsa tak ada? Coba kalau ia kawin dengan putri bangsawan, niscaya anaknya takkan turun bangsanya, tetap sutan. Sekarang anaknya hanya marah."
"Itulah yang menjadikan heran hatiku; tak dapat kupikirkan bagaimana ingatannya sekarang ini. Bukankah telah adat nenek moyang kita, yang sebagai itu? Mengapa tiada hendak diturutnya? Malu aku rasanya mempunyai saudara sedemikian ini. Orang yang tak tahu niscaya akan bersangka saudarakulah yang tak laku kepada perempuan; barangkali karena ada cacatnya. Tatkala kunyatakan kepadanya sesat pikirannya ini, jawabnya, "Binatang yang beristri banyak." Coba kaupikir! Adakah patut jawaban yang seperti itu dikeluarkannya di hadapanku?" kata putri Rubiah pula.
"Demikian jawabnya?" tanya Sutan Hamzah dengan merah mukanya.
"Sungguh," jawab putri Rubiah.
"Jadi binatanglah sekalian laki-laki yang ada di Padang ini! Sebab sekaliannya beristri banyak. Hanya ia sendiri yang beristri seorang. Jika demikian katanya, sesungguhnyalah pikirannya telah bertukar dan otaknya telah miring. Barangkali telah termakan perbuatan orang[2], sehingga lupalah ia akan dirinya dan jalan yang benar," sahut Sutan Hamzah, seraya menggelenggelengkan kepalanya.
"Pikiranmu sesuai benar dengan pikiranku. Rasa hatiku memang telah "berudang di balik batu," kata putri Rubiah pula, sambil menoleh kepada saudaranya.
"Sekarang tahulah hamba, apa sebabnya ia sebagai benci saja melihat kita. Sedangkan pekerjaan hamba sehari-hari dicelanya." sahut Sutan Hamzah.
"Pekerjaan apa?" tanya putri Rubiah pula.
"Katanya tak patut seorang bangsawan berjudi dan rnenyabung ayam. Bukankah itu permainan anak raja dan saudagar yang kaya-kaya? Yang tak beruang dan tak berbangsa itulah yang bekerja, menerima upah dari orang lain; takut kalaukalau mati kelaparan. Tetapi hamba, masakan sedemikian?" jawab Sutan Hamzah.
"Tentu," kata putri Rubiah, "orang yang berbangsa tinggi, tak perlu bekerja mencari penghidupan, melainkan bersukasukaan itulah kerjanya.
Tetapi sekarang marilah kita bicarakan, apa akal kita tentang hal si Mahmud ini. Bagaimanakah baiknya pada pikiranmu, supaya ia menjadi biasa kembali? Karena walau bagaimana sekalipun, ia saudara kita juga, tak dapat kita tidakkan; sekalian orang tahu. Apabila ada terjadi apa-apa atas dirinya, tentu kita akan terbawa-bawa juga dan nama kita pun akan bercacatlah. Jika kita bencanakan dia, menjadi sebagai: menepuk air di dulang pekerjaan kita itu; muka kita sendiri juga yang akan basah.
Kalau benar ia telah kena "perbuatan" orang, seharusnya kitalah yang akan mengobatinya. Itulah kewajiban orang bersaudara. Jangan kita musuhi dia, sebab tentulah akan bertambah-tambah penyakitnya, karena dari kanan dan dari kiri, tak dapat pertolongan. Kalau timbul sesuatu kecelakaan atas dirinya, tetapi hendaknya—malang tersebut, mujur yang datang—, misalnya ia meninggal dunia atau sakit, bukan istrinya itu yang akan bersusah payah melainkan kita. juga.
Sungguhpun demikian, oleh si Penghulu tiada diingatnya itu.
Sekarang apa akalmu?" tanya putri Rubiah.
"Baiklah kita cari dukun yang pandai untuk mengobatinya."
"Tahukah engkau seorang dukun yang pandai?"
"Tahu, rumahnya dekat di sini, Juara Lintau gelarnya."
"Adakah ia sekarang di rumahnya gerangan? Cobalah suruh lihat oleh si Abu! Barangkali ada di rumah. Biarlah kini kita suruh datang ia kemari, supaya bangat pekerjaan ini."
"Abu!" teriak Sutan Hamzah.
Tatkala datang bujang Abu, berkatalah Sutan Hamzah perlahan-lahan kepadanya, sebagai takut ia perkataannya akan terdengar oleh orang lain, "Abu, coba engkau pergi sebentar ke rumah Juara Lintau! Kalau ia ada di rumah, mintalah datang sebentar kemari, sebab ada keperluan yang hendak dibicarakan dengan dia. Akan tetapi, apabila ada orang lain di sana, tunggulah sampai orang itu pulang, supaya jangan ada orang yang tahu engkau memanggil Juara ini."
"Baiklah, Engku Muda," jawab si Abu, lalu berangkat.
"Kalau ia datang, hendaklah lebih dahulu kausuruh tenungkan olehnya, benarkah si Penghulu kena ilmu orang atau tidak. Kalau benar, suruhlah obati, supaya terlepas ia daripada perbuatan orang itu. Kemudian hendaklah kausuruh kerjakan pula, supaya ia benci kepada istrinya," kata putri Rubiah perlahanlahan.
"Tentu," jawab Sutan Hamzah. "Apa gunanya perempuan yang demikian? Baik rupa saja; harta tidak, bangsa pun rendah. Kalau untuk hamba, tak terpakai perempuan semacam itu. Tentu saja sudah diberinya ilmu, Kakanda Mahmud. Kalau tiada, masakan ia takluk kepadanya dan suka menyuruh majukan anaknya. Tentulah ia yang mengasut-asut Kakanda Mahmud, supaya benci kepada sekalian. Ia takut Kakanda Mahmud beristri pula, kalau-kalau ia tiada terpakai lagi. Sungguh keras ilmu perempuan jahat itu! Bukan takluk saja laki-laki kepadanya, tetapi pikirannya pun sampai bertukar pula," kata Sutan Hamzah seraya menggelenggelengkan kepalanya. Kemudian berkata pula ia, "Perkara Rukiah sudahkah dibicarakan dengan dia?"
"Sudah," jawab putri Rubiah.
"Apa jawabnya?"
"Baik, katanya."
"Berapa belanja hendak diadakannya?"
"Katanya tiga ribu rupiah."
"Kalau sekian, boleh cukup; asal jangan terlalu berbesarbesar. Perarakan gajah mina tanggungan hambalah.
Tetapi di manakah diperolehnya uang itu? Jangan-jangan harta pusaka kita pula yang dijual atau digadaikannya."
"Tidak," jawab putri Rubiah. "Rumahnya dengan tanahnya yang di Kampung Jawa Dalam digadaikannya kepada Datuk Meringgih."
"Kalau rumah itu, suka hatinya; karena rumah itu tiada juga akan dapat oleh Rukiah, sebab rumah itu khabarnya tertulis di atas nama istrinya. Coba! Adakah patut kelakuannya itu? Harta pencariannya dituliskannya di atas nama istrinya, supaya jangan dapat oleh kemanakannya! Tetapi biarlah, tak mengapa! Kalau ia mati, tentu dapat juga dirampas segala hartanya itu. Karena sekalian orang tahu, harta itu pencariannya sendiri."
Tiada lama mereka berkata-kata, kembalilah Abu bersamasama orang yang dipanggil tadi, lalu dipersilakan oleh Sutan Hamzah masuk ke ruang tengah (tengah rumah).
Setelah ditutupnya pintu muka dan pintu belakang, lalu duduklah ia dekat dukun ini seraya memberi rokok kepadanya.
Kemudian berkatalah Sutan Hamzah, "Hamba minta datang Kakak Juara kemari, karena adalah suatu permintaan hamba yang penting kepada Kakak. Tetapi sebelumnya hamba keluarkan apa yang terasa di hati hamba ini, lebih dahulu hamba minta, supaya Kakak Juara jangan membuka rahasia ini kepada siapa pun."
"Tentu tidak, masakan hamba berani," jawab dukun itu.
"Hamba takut kepada Tuanku Penghulu."
"Itulah yang hamba harapkan; terlebih-lebih sebab perkara ini memang perkara Tuanku Penghulu sendiri kakak hamba itu," kata Sutan Hamzah.
"Perkara apakah itu?" tanya Juara Lintau.
"Begini," jawab Sutan Hamzah. "Tiadakah Kakak Juara heran Penghulu-Penghulu yang lain? Terutama tak hendak menerima segala melihat kelakuan kakak hamba itu? Berbeda benar dengan adat jemputan orang atas dirinya dan tak mau beristri lagi rupanya, sedang kemanakan dan saudaranya, daranya, kakak hamba ini, tiada pula diindahkannya."
"Sesungguhnya hal itu telah lama menjadi buah pikiran hamba dan orang lain pun. Sedang Penghulu-Penghulu yang lain, empat istrinya, beliau itu; hanya seorang saja. Kurang patut rupanya bagi orang besar sebagai Tuanku itu," jawab Juara Lintau.
"Lihatlah, sedangkan Kakak Juara, orang lain lagi, ada berpikir demikian, istimewa pula kami yang kemanakannya dan saudara kandungnya. Hanya sendirilah yang tiada merasa kesalahan perbuatannya itu," kata Sutan Hamzah. "Oleh sebab itu timbul wasangka di dalam hati kami, kalau saudara hamba itu telah kena ilmu orang, sampai bertukar kelakuan dan pikirannya. Apabila benar ia kena ilmu, tentulah tak boleh hamba biarkan."
"Tentu sekali harus ditolong," jawab Juara Lintau.
"Oleh sebab itu berharaplah hamba, supaya Kakak sudi merenungkan hal itu," kata Sutan Hamzah pula.
"Baiklah," jawab Juara Lintau. "Hamba mohon perasapan dan kemenyan serta air bersih secambung dan sirih kuning tujuh lembar."
"Nanti hamba ambilkan," kata putri Rubiah, lalu keluar mengambil yang diminta itu. Sejurus kernudian kembalilah ia membawa barang-barang ini.
Setelah Juara Lintau membakar kemenyan, lalu membacabaca beberapa mantera. Kemudian diasapinya air secambung tadi dengan sirih tiga kali berganti-ganti, lalu dimasukkannya ketujuh helai sirih itu ke dalam cambung itu dengan membaca-baca pula. Setelah itu dipandangnyalah daun sirih itu sehelai-sehelai dengan hati-hati, lalu ia berkata, "Sesungguhnyalah persangka Engku Muda tadi. Perubahan kelakuan beliau itu memang karena perbuatan orang. Sebab keras ilmu dukun yang mengerjakannya, tak dapatlah beliau berbuat sekehendak hati beliau lagi, melainkan haruslah menurut kemauan orang yang mengerjakan beliau."
"Apa kataku? Bukankah benar sangkaku?" kata putri Rubiah, "Dan siapakah yang berbuat demikian?"
"Orang yang berbuat itu tak jauh daripada beliau; orang dalam rumah itu juga dan dekat amat rupanya kepada beliau," jawab Juara Lintau.
"Perempuan atau laki-laki?"
"Perempuan," jawab dukuh.
"Jika demikian, tentulah tak lain daripada istrinya sendiri, karena tak ada perempuan lain dalam rumahnya," kata putri Rubiah pula.
"Pikiran hamba pun demikian juga," sahut Sutan Hamzah.
"Sekarang bagaimana akal, supaya terlepas ia daripada ikatan ini?" tanya putri Rubiah.
"Akal yang lain tak ada, melainkan diobatilah Tuanku dengan ilmu dan ramuan," jawab Juara Lintau.
"Ya, tetapi hendaknya dibencinya pula istrinya itu, supaya ia diceraikan. Itulah balasan yang patut bagi perempuan yang sedemikian," kata putri Rubiah.
"Perkara itu serahkanlah kepada hamba; seberapa boleh, tentu akan hamba tolong. Hanya suatu permintaan hamba, adakah agaknya baju atau kain Tuanku Penghulu di sini yang sudah dipakainya?" tanya Juara Lintau.
"Rasa hamba ada. Coba hamba periksa dahulu," jawab putri Rubiah, lalu pergi. Tiada berapa lama antaranya, kembalilah ia membawa sehelai kain Balanipah, seraya berkata, "Ini dia! Kain ini telah beberapa lama ditinggalkannya di s ini. Lupa rupanya ia mengambil kembali."
"Bolehkah hamba bawa pulang kain ini? Sebab berguna waktu mengerjakannya," tanya Juara Lintau.
"Boleh, bawalah!" jawab putri Rubiah.
"Lagi pula hamba perlu mendapat rambut orang kaya istri Tuanku Penghulu itu; sehelai pun cukup. Sebab apabila ia tak kena kebenci, terus hamba kerjakan dengan si judai, sebab rupanya penahan ilmu padanya amat kuat. Bolehkah hamba kerjakan dia sampai gila?" tanya Juara Lintau.
"Itu lebih baik," jawab Sutan Hamzah. "Mati pun tak mengapa, karena perempuan semacam itu tak harus dipelihara. Setelah ia gila atau mati, saudara hamba tentu mau kawin pula."
"Perkara rambut itu, nantilah hamba pergi ke rumahnya untuk mengambilnya," kata putri Rubiah. Setelah itu putri Rubiah mengeluarkan kue-kue dan kopi, untuk dukun ini.
Setelah makan, diberikan oleh putri Rubiah uang seringgit kepada Juara Lintau, karena pertolongan. Kemudian minta dirilah dukun ini, lalu pulang ke rumahnya.