Sitti Nurbaya/Bab 16

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

XVI. Peperangan Antara Samsulbahri Dan Datuk Meringgih[sunting]

Setelah masuklah kapal yang membawa Letnan Mas ke pelabuhan Teluk Bayur, turunlah sekalian bala tentara itu ke daiat, lalu langsung berjalan ke kota Padang, Di sana gemparlah isi kota, melihat bala tentara sekian banyaknya datang; cukup dengan alat senjata dan meriamnya.

Yang seorang bertanya kepada yang lain: "Mengapakah didatangkan serdadu sekian banyaknya ini?"

"Tidakkah engkau tahu?" jawab yang ditanyai. "Seluruh tanah jajahan Belanda akan rusuh, sebab anak negeri hendak melawan; tak mau membayar belasting."

Kabar kedatangan bala tentara, ini, sekejap itu juga pecah ke sana kemari, sampai ke luar-luar kota, sehingga perempuan dan anak-anak pun tahu hal ini. Maka ramailah dibicarakan peperangan yang akan terjadi. Yang penakut, larilah bersembunyi ke gunung-gunung dengan anak bini dan harta bendanya; yang berani tinggallah di dalam kota, karena ingin hendak melihat tamasya perang. Yang kaya, berharta banyak, khawatir kalau-kalau harta bendanya dirampas orang.

Yang banyak beranak dan bersanak saudara, ngeri, takut anak-istri dan kaum keluarganya terbawa-bawa mendapat kesusahan. Hanya bangsa penjahatiah yang gembira hatinya, karena ada harapan akan dapat mencuri dan menyamun dengan mudah dan sepuas, puas hatinya. Saudagar-saudagar pun tak kurang khawatirnya, sebab pada sangkanya, tentulah perniagaannya akan jatuh, karena peperangan ini. Begitu pula pegawai-pegawai Pemerintah, berdebar-debar hatinya, takut kalau-kalau serdadu kalah. Jika demikian, tentulah mereka tiada akan mendapat ampunan dari perusuh, karena sekalian yang tiada hendak ikut melawan, dipandang mereka sebagai musuhnya. Hanya perusuhlah yang geram melihat, bala tentara Pemerintah datang sebanyak itu dan panas hatinya, lalu berpikir mencari akal akan memperdayakan serdadu ini.

Setelah sampailah bala tentara itu ke tangsi Padang, pergilah Letnan Mas kepada Kapitannya, minta izin akan pergi sebentar dengan berjanji, segera akan kembali pula, karena adalah suatu keperluan yang sangat penting baginya.

Mula-mula rupanya kapitannya tiada hendak memberi izin ini tetapi tatkala dilihatnya Mas meminta amat sangat, diperkenankanyalah juga permintaan itu dengan pesan, supaya jangan lewat daripada pukul enam petang kembali.

Sebab pada waktu itu hari baru pukul setengah lima, berpikirlah Letnan Mas dalam hatinya, "Tentu tidak terlambat aku kembali."

Dengan segera dipanggilnya sebuah bendi sewaan, lalu berangkat menuju ke Muara. Setelah sampailah ia ke sana, diseberanginyalah sungai Arau dengan perahu dan didakinya Gunung Padang. Di tengah jalan bertemulah ia dengan seorang fakir, yang tinggal di atas gunung itu, lalu ditanyakannya di mana kubur Baginda Sulaiman, saudagar yang berpulang kirakira sepuluh tahun telah lalu. Walaupun fakir itu sangat heran mendengar perkataan ini dan berpikir dalam hatinya, apakah sebabnya seorang letnan menanyakan kubur seorang Melayu, tetapi ditunjukkannya juga kubur itu.

Setelah sampai ke makam ini, kelihatanlah oleh Letnan Mas tiga buah kubur dalam suatu tempat yang berpagar tembok.

Dua buah daripada kubur ini, letaknya berdekat-dekatan; yang sebuah lagi agak jauh sedikit. Tatkala dibacanya huruf yang tertulis pada batu nisan kubur yang berdekat-dekatan itu nyatalah kepadanya, bahwa kubur itulah yang dicarinya.

Karena tiada tertahan oleh Letnan Mas hatinya, segeralah ia masuk ke dalam makam ini, lalu berlutut di antara kedua kubur yang berjauh-jauhan itu, sambil memeluk keduanya dengan kedua belah tangannya. Di situ menangislah ia tersedu-sedu, seraya meratap demikian, "Aduhai Nurbaya dan Ibu yang sangat hamba cintai! Mengapakah sampai hati benar meninggalkan hamba seorang diri di atas dunia ini? Berjalan tiada hendak berkata-kata, pergi tiada hendak membawabawa.

Mengapakah tiada diajak hamba pergi bersama-sama dan tiada dinantikan hamba, supaya boleh hamba temani, dalam perjalanan yang jauh itu? Dan tatkala telah ditinggalkan, mengapakah tidak lekas dijemput, dibiarkan sepuluh tahun lamanya hamba mengembara ke sana kemari, mencari jalan akan mengikut Bunda dan Adinda, sehingga sampai kepada waktu ini pekerjaan itu sia-sia belaka.

Aduhai! Bilakah masanya kita akan dapat berjumpa pula dan bilakah waktunya kita akan dapat berkumpul dan bercakapcakap, sebagai dahulu? Bunda dan Nur, pintakanlah kepada Allah subhanahu wataala, supaya jangan dipanjangkan-Nya lagi umur hamba ini dan lekaslah dipertemukan-Nya kita sekalian; karena hidup bercinta seperti ini, sesungguhnyalah tiada terderita oleh hamba. Cukuplah sepuluh tahun lamanya hamba menanggung siksa dan azab yang tiada tertanggung oleh manusia dan patutlah sudah hamba dilepaskan daripada penjara yang sedemikian.

Aduh Nur, aduh Adikku! Tiada kusangka sekali-kali akan beginilah akhirnya kita ini. Mengapakah segala pengharapan dan cita-cita orang dikabulkan, tetapi harapan dan cita-cita kita dijadikan seperti ini? Apakah salahmu, dan salahku dan salah kita ini, maka beroleh nasib yang sedemikian ini? Sudahlah di dunia ini, segala pengharapan dan permintaan kita, yang kita pohonkan sebilang waktu, tiada dikabulkan, di akhirat kelak ada akan disampaikan Allah, segala cita-cita itu? Ah, pada rasaku tak adalah manusia yang malang sebagai kita ini! Sepuluh tahun lamanya aku menanggung sengsara dan dukacita; sepuluh tahun pula aku menanggung rindu dendam, kepadamu, tetapi sampai sekarang ini, belum disampaikan Tuhan juga maksudku ini. Berapakah lamanya lagi aku harus menunggu? Tetapi oya, Nur; aku telah beroleh alamat, bahwa aku segera akan dipertemukan dengan engkau, karena inilah penghabisan sisaku. Mudah-mudahan demikianlah hendaknya; doakan bersama-sama.

Suatu yang belum kuketahui, yaitu dapatkah aku menuntutkan belamu atau tiada? Tetapi biarpun tak dapat, Allah Yang Maha Kuasa takkan lupa, bahwa tiap-tiap kesalahan itu tiada akan luput daripada hukumannya. Biarlah bersama-sama kita kelak menyembahkan kesalahannya ini."

Setelah itu diciumlah oleh Letnan Mas kedua nisan kubur itu, lalu berdiri perlahan-lahan dan berkata kepada fakir yang masih tercengang berdiri di sana, melihat kelakuan letnan ini, karena heran, mengapakah seorang Belanda, menangis di kubur seorang Islam! "Fakir, mengajilah Tuan di sana, bagi arwah segala yang telah meninggal itu. Inilah hamba beri sedekah!" lalu dikeluarkannya uang kertas sepuluh rupiah dari dalam tempat uangnya, diberikannya kepada fakir ini. Karena seumur hidupnya, belum pernah fakir ini menerima hadiah sekian banyaknya, sangatlah sukacita hatinya, lalu mengaji semalammalaman di makam itu.

Sementara Letnan Mas pergi ke Gunung Padang, datanglah kabar dari Gubernur Padang, mengatakan malam itu perusuh akan masuk ke dalam kota, membuat huru-hara. Oleh sebab itu dimintalah sebagian daripada serdadu yang ada itu, pergi ke luar kota, mengadang musuh ini, supaya jangan sampai berperang di dalam kota.

Kira-kira pukul tujuh malam, berangkatlah sepasukan serdadu yang dipimpin oleh Letnan Mas dan Van Sta, ke luar kota Padang menuju Kota Tengah. Pukul sembilan, sampailah mereka ke Tabing dan tiada berapa lama kemudian, hampirlah mereka ke Kota Tengah. Dari jauh telah kelihatan berpuluhpuluh orang; sekaliannya memakai serba putih, berkumpulkumpul di pinggir jalan, di muka sebuah kedai; rupanya mereka sedang bermusyawarat, bagaimana hendak menyerang. Sekaliannya bersenjata sebuah golok.

Tatkala kelihatan oleh perusuh serdadu datang, gemparlah sekaliannya; ada yang mengambil senjatanya, ada yang menghunus kerisnya, ada yang memencak, ada yang berteriak memanggil kawan, ada yang memaki-maki dan ada pula yang mengacu-acukan senjatanya; berbagai-bagai kelakuan mereka. Setelah hampir kepada mereka ini, Letnan Mas menyuruh berhenti serdadunya dan membariskan mereka.

Seorang kemendur yang mengikut bersama-sama maju ke muka, menyuruh perusuh menyerahkan dirinya. Tetapi jangankan diindahkan mereka, kemendur itulah yang dimakimakinya, seraya memencak mengajak berkelahi. Setelah tiga kali kemendur membujuk dengan lemah-lembut, menyuruh mereka menyerahkan diri, tiada juga didengar oleh orangorang itu, diserahkannyalah kekuasaan ke tangan Letnan Mas.

Letnan Mas menyusun serdadunya, lalu menyuruh menembak ke udara. Seketika itu juga berbunyilah kira-kira tiga puluh bedil, sekaligus. Tatkala didengar perusuh bunyi bedil ini dan dilihatnya, tiada seorang pun yang kena, bertambahtambahlah berani mereka, karena pada sangkanya sesungguhnyalah mereka tiada dimakan anak bedil lagi, berkah ajimat yang diperolehnya dari gurunya. Maka bertempiklah mereka bersorak dan ratib mengucap "La illaha illallah" lalu maju ke muka. Setelah hampirlah mereka, barulah Letnan Mas memerintahkan membedilnya.

Tatkala berbunyilah bedil kedua kalinya, rebahlah sebaris orang yang di muka, jatuh ke tanah. Ada yang menjerit, ada yang memekik, ada yang meminta tolong dan ada pula yang terus ratib, tetapi banyak yang tiada bersuara lagi karena terus mati. Perusuh yang berdiri di belakang, bingunglah sejurus, tiada tahu apa yang dibuatnya. Ketika berbunyi pula bedil ketiga kalinya, pecahlah perang perusuh itu, karena banyak yang mati. Mana yang tinggal larilah cerai-berai kian kemari, membawa dirinya masing-masing.

Akan tetapi seketika itu juga, keluarlah beberapa orang tuatua dan haji-haji dari dalam sebuah rumah, lalu berteriak memanggil sekalian orang yang lari itu, serta mencabut kerisnya dan maju ke muka. Karena melihat keberanian ini, berbaliklah sekalian yang lari, lalu mengikut guru-gurunya dengan bertempik sorak pula, menyerang serdadu-serdadu dari dua pihak. Oleh sebab cepat datang mereka menyerbukan dirinya, serdadu-serdadu Letnan Mas, tiadalah sempat menembak lagi, lalu mempergunakan bayonetnya. Dengan segera menjadi ramailah peperangan itu, masing-masing mencari lawannya. Ada yang bertikam-tikaman, ada yang bertetak-tetakan pedang, ada yang tangkis-menangkis, berpukul-pukulan, tangkap-menangkap dan bantingmembantingkan.

Yang mati, jatuh, yang luka, berdarah, yang takut, lari, yang berani mengejar. Ada yang maju, ada yang mundur, ada yang melompat, berbagai-bagai kelakuan mereka. Suara pun bermacam-macam kedengaran, gegap gempita, tiada disangka bunyi lagi, dicampuri pula oleh bedil, pistol, pedang dan parang. Walaupun bulan terang cahayanya, tetapi di tempat itu gelap, karena asap bedil. Dan jika pakaian mereka tiada sangat berlainan, yakni hitarn dan putih, niscaya tiadalah tentu lawan kawan. Letnan Mas dengan kepala perusuh, kelihatan sama-sama mengerahkan bala tenteranya, menyuruh maju sambil membedil dan menetak.

Tiada berapa lamanya berperang itu, banyaklah yang mati dan yang luka pada kedua belah pihak. Darah mengalir di jalan raya dan mayat tersiar-siar di sana-sini. Oleh sebab dari kampung tiada putus-putusnya datang bantuan perusuh, tiadalah tertahan oleh Letnan Mas serangan musuhnya, sehingga disuruhnya serdadunya undur perlahan-lahan. Bila tiada datang bantuan dari Letnan Van Sta, pastilah pecah perang Letnan Mas. Untunglah pada waktu itu juga kedengaran tempik sorak serdadu Letnan Van Sta, yang menyerbukan diri ke medan peperangan. Tiada berapa lamanya kemudian daripada itu, undurlah perusuh perlahanlahan dan akhirnya, tatkala bantuan mereka tak datang lagi, pecahlah perang mereka, lalu lari kian kemari, bertemperasan, diburu oleh serdadu-serdadu kedua letnan itu.

Tatkala mengejar perusuh, kelihatan oleh Letnan Mas, seorang daripada kepala mereka, bangun badan, perjalanan dan suaranya serupa benar dengan bangun badan, perjalanan dan suara Datuk Maringgih, musuhnya yang sekian lama dicaricarinya. Maka berdebar-debarlah hati Letnan Mas dan gemetar tangannya serta berubah mukanya, sebagai suka bercampur duka. Suka karena ada pengharapan akan dapat membalaskan sakit hatinya, dan duka karena ingat akan segala kejahatan yang telah diperbuat jahanam itu. Ketika kepala perusuh ini hendak melarikan dirinya, diburunyalah orang itu dengan tiada berpikir panjang lagi. Setelah berhadap-hadapan mereka, nyatalah pada Letnan Mas, bahwa persangkaannya tadi benar, karena sesungguhnya Datuk Meringgih, algojo Nurbaya, yang berdiri di mukanya, lalu berkatalah ia, "Datuk Meringgih! Benarkah engkau ini?"

"Ya, akulah Datuk Meringgih, saudagar yang kaya di Padang ini," jawab kepala perusuh itu. "Engkau ini siapa, maka kenal kepadaku? Setelah diamat-amatinya Letnan Mas ini, terperanjatlah ia lalu surut beberapa langkah ke belakang, seraya berteriak, "Samsulbahri! Engkau tiada mati? Atau setannyakah ini?"

"Seketika itu juga melompatlah ia kembali ke muka, hendak menetak Letnan Mas. Letnan Mas melompat ke kanan, lalu berkata, "Tunggu dahulu, Datuk Meringgih! Karena banyak yang terasa dalam hatiku, yang hendak kukatakan kepadamu, sebelum aku terpaksa mencabut nyawamu."

Mendengar perkataan ini berdirilah Datuk Meringgih, karena hendak mengetahui, apakah yang akan dikatakan musuhnya itu.

"Datuk Meringgih! Sesungguhnya akulah Samsulbahri, yang sepuluh tahun telah lalu, sudah mati, tetapi yang dikeluarkan kembali dari dalam kubur, untuk menghukum engkau atas segala kejahatanmu yang keji itu. T atkala aku membedil diriku di Jakarta, karena terlebih suka mati daripada hidup menanggung sengsara yang asalnya daripada perbuatanmu, tiadalah disampaikan Tuhan maksudku itu. Rupanya aku terlebih dahulu harus menuntut bela atas segala kesalahanmu.

Itulah sebabnya maka peluru yang kutujukan ke kepalaku, tiada menembus otakku. Karena aku terperanjat, mendengar suara sahabatku, Arifin, yang tatkala itu berteriak, dan tanganku bergoyang, sehingga anak bedil, sekadar merusakkan tulang kepalaku saja. Ketika aku sadar akan diriku, kupintalah kepada dokter dan sekalian orang yang tahu akan halku, supaya kabar aku hidup kembali, tiada disiarkan ke mana-mana, karena pada pikiranku, lebih baik aku disangka orang telah mati daripada hidup sedemikian.

Beberapa kali aku mencari kematian, tetapi tiada juga dapat, karena Tuhan masih memanjangkan umurku, supaya dapat menghukum engkau atas segala dosamu.

Sepuluh tahun lamanya aku menanggung sengsara dan dukacita yang tiada terderita, sepuluh tahun pula aku menaruh dendam dalam hatiku kepadamu. Sekarang barulah disampaikan Tuhan maksudku itu; sekarang barulah dapat aku menuntutkan bela sekalian orang yang telah engkau aniaya, hai penjahat yang sebesar-besarnya! Karena kekayaanmu, menjadilan engkau sombong dan angkuh serta tekebur kepada Tuhan, yang telah memberunu kekayaan itu. Pada sangkamu dengan kekayaan itu tentulah 'kan dapat engkau berbuat sekehendak hatimu. Yang tinggi kaujatuhkan, yang mulia kauhinakan, yang kaya kau miskinkan dengan tiada pandang-memandang, tiada tilik-menilik dan tiada menaruh belas kasihan, asal nafsumu yang jahat dan hina itu dapat kaupenuhi.

Hai Datuk durhaka! Kekayaanmu itu tiada memberi paedah kepada teman sejawatmu, sahabat kenalanmu, sesamamu manusia dan kepada dirimu sendiri sekalipun, melainkan mendatangkan segala bahaya, sengsara, duka nestapa kepada isi negeri. Tiada layak engkau dikurniai Tuhan senjata yang sekuat itu.

Dengan kekayaanmu itu kauceraikan anak daripada bapanya, adik daripada kakaknya, asyik daripada masyuknya, sahabat daripada karibnya. Dengan kekayaanmu itu kaujatuhkan Baginda Sulaiman, sampal berpulang ke rahmatullah, karena dukacita; dengan kekayaanmu itu kaupaksa anaknya menurut kesukaanmu yang keji, kekasih dan saudaranya kauaniaya ini sampai hampir mati di dalam laut. Kemudian kaudakwa ia mencuri barangbarangmu yang kauperoleh dengan tipu daya, darah keringat orang lain.

Tatkala engkau tiada berdaya lagi akan memaksa Nurbaya, yang tiada bersalah itu, kaubunuhlah ia dengan racun.

Dengan kekayaanmu itu kauceraikan aku daripada ibu-bapa dan kaum keluargaku dan kauputuskan, pengharapanku akan menjadi orang baik-baik, sehingga ibuku meninggal dunia karena kesedihan hati. Sungguhpun demikian, sekalian itu belum lagi seperseratus dari segala dosamu yang harus kautanggunl.

Hai Datuk Meringgih! Tiadakah terasa olehmu kesalahnmu itu? Tiadakah takut engkau kepada Tuhan, yang memberikan segala kekuasaan itu kepadamu? Tiadakah malu engkau kepada sesamamu manusia, yang engkau perdayakan? Dan tiadalah belas kasihan engkau kepada sekalian mereka, yang telah menjadi kurbanmu?"

Samsulbahri berhenti sejurus berkata-kata itu, karena penuh rasa dadanya dan sesak rasa napasnya, menahan hatinya yang tak dapat direncanakan di sini.

Datuk Meringgih tiada menjawab sepatah kata pun, sebab baru dirasanya waktu itu, kebenaran perkataan Samsulbahri ini. Di situlah baru nyata padanya, bahwa sebenarnya sampai kepada waktu itu, belumlah lagi ia berbuat kebaikan dengan hartanya yang sekian banyaknya itu. Bila ia mati dalam peperangan ini, tentulah segala hartanya itu akan terbagi-bagi kepada yang tinggal dan apakah akan dibawanya ke dalam kubur? Tak lain nama yang jahat, sumpah, umpat dan maki segala mereka yang telah dianiaya. Dan tentulah sekalian itu akan memberatinya dalam kuburnya. Bila ada ia berbuat kebaikan, barangkali adalah juga yang akan mendoakan arwahnya.

Di sana, tatkala ia telah hempir ke pintu kubur, baru diinsyafinya, bahwa harta dunia itu sangat sedikit harganya, untuk kehidupannya di negeri yang baka. Maka timbullah sesal dalarn hatinya atas perbuatannya yang telah lalu. Akan tetapi apa hendak dikata, karena tatkala itu dirasainya, ia tak dapat lagi memperbaiki kesalahannya itu.

Setelah sejurus berdiam diri, berkatalah pula Samsulbahri dengan menyapu air matanya, yang tak dapat ditahannya, "Hai Datuk Meringgih! Sekaranglah akan kuperlihatkan kepadamu, bahwa ada lagi yang terlebih berkuasa daripada hartamu itu. Walaupun seratus kali lebih banyak hartamu dari yang ada sekarang ini, tiadalah akan dapat ia mengubah pikiranku, hendak membalas kejahatanmu itu dan tiadalah dapat ia menolong melepaskan engkau dari dalam tanganku.

Terimalah olehmu hukumanmu!" lalu Samsu mengangkat pestolnya, menembak Datuk Meringgih. Tetapi tatkala itu juga Datuk Meringgih melompat ke muka, menetak Samsulbahri dengan parangnya, sambil berteriak, "Rasailah pula olehmu bekas tanganku, hai anjing Belanda!"

Setelah itu juga rebahlah keduanya ke tanah; Datuk Meringgih karena kena peluru Samsulbahri, yang menembus dada dan jantungnya dan Samsulbahri, karena kena parang Datuk Meringgih kepalanya.

Tatkala diangkat Letnan Mas oleh serdadwrya, kelihatan di antara mayat-mayat perusuh itu, dua mayat yang memakai serba hitam yang seorang lehernya hampir putus, rupanya kena kelewang, yang seorang lagi dadanya tembus kena bayonet. Itulah mayat Pendekar Lima dan Pendekar Empat, yang beroleh hukuman daripada Yang Maha Kuasa, atas segala kejahatannya.

Dua hari kemudian daripada peperangan yang tersebut di atas ini, kelihatanlah dalam rumah sakit di Padang, seorang opsir, sedang tidur di atas sebuah ranjang, berselimutkan kain selimut putih. Rupanya ia sakit keras, karena hampir seluruh kepalanya terbungkus perban putih, sehingga hanya mukanya saja yang tampak, yang pucat warnanya. Dekat tempat tidur ini, berdirilah seorang penjaga, yang sedang mengatur gelasgelas obat, perlahan-lahan; rupanya ia takut, kalau-kalau si sakit ini terkejut bangun. Ketika itu masuklah seorang dokter Belanda, hendak memeriksa keadaan si sakit ini.

Mendengar bunyi sepatu dokter si sakit membuka matanya dan memandang kepada dokter. Di situ nyata, mata si sakit telah kabur warnanya dan pemandangannya telah lemah.

Dokter yang masuk ini segera memberi salam, lalu bertanya, "Apa kabar?"

"Perasaan badan ada baik sedikit, walaupun sakit kepala belum hilang benar," jawab si sakit perlahan-lahan. .

"Memang, sakit kepala itu dalam dua tiga hari ini barangkali masih ada," lalu dokter memeriksa kulit muda mata dan jalan darah pada pangkal lengan si sakit. "Berapa panas badannya pagi ini?" tanya dokter kepada penjaga.

"Ada hamba tuliskan," jawab penjaga, seraya mengunjukkan sehelai daftar. Setelah doukter melihat daftar ini, terdiamlah ia sejurus.

"Tuan Dokter," kata si sakit pula dengan tiba-tiba.

"Walaupun hamba katakan tadi, perasaan badan hamba senang sedikit, tetapi kesenangan itu, pada sangka hamba, bukan kesenangan karena akan sembuh. Jangan marah, bila hamba katakan, bahwa hamba tiada lama lagi akan hidup di atas dunia ini; karena demikianlah perasaan hamba. Janganlah Tuan sembunyikan pendapatan Tuan kepada hamba, karena misalnya Tuan kuatir, hamba takut mati. Sekali-kali tidak.

Kematian telah lama hamba ingini dan telah hamba cari di mana-mana. Baru sekarang hamba peroleh. Syukurlah! Lagi pula tadi malam hamba telah dikunjungi oleh kekasih dan ibu hamba, yang telah lama meninggalkan dunia ini.

Mereka berjanji hari ini akan datang kembali menjemput hamba supaya dapat pergi bersama-sama ke tempat mereka."

Di sini berhentilah si sakit berkata-kata sejurus lamanya karena percakapan ini rupanya sangat melemahkannya.

Kepalanya dipegangnya, sebagai ia berasa sakit di sana.

"Jika berasa lelah, lebih baik jangan berkata-kata dahulu." kata dokter.

Setelah berdiam sejurus si sakit menggagahi dirinya, untuk meneruskan perkataannya, "Tak apa-apa Tuan Dokter. Jangan kuatir! Sakit kepala hamba datang pula sedikit. Sebelum hamba meninggalkan dunia ini ada suatu permintaan hamba kepada Tuan."

"Permiritaan apa itu? Katakanlah! Jika dapat, tentu akan hamba kabulkan." sahut dokter.

"Hamba ingin benar hendak bertemu dengan Sutan Mahmud, Penghulu di Padang ini. Bolehkah?" tanya si sakit perlahan-lahan putus-putus suaranya.

"Tentu sekali boleh." jawab dokter, walaupun ia tiada mengerti apakah sebabnya seorang opsir tentara, hendak berjumpa dengan seorang Melayu Padang. "Dengan segera ia akan hamba minta datang kemari. Adakah lagi permintaan Tuan?"

"Tidak. Hanya itu. Terima kasih!" jawab si sakit.

"Baiklah," kata dokter pula, lalu ke luar, untuk menyuruh panggil Sutan Mahmud.

Setelah keluar dokter, si sakit tertidur kembali, sebagai kelelahan karena berkata-kata tadi.

Dua jam kemudian datanglah Sutan Mahmud ke rumah sakit ini, lalu dibawa penjaga masuk bilik opsir tentara yang sakit tadi.

Tatkala dilihat Sutan Mahmud muka si sakit, sangatlah terperanjat ia, karena rupa opsir ini tak ubah dengan rupa anaknya Samsulbahri, yang telah ineninggal dunia di Jakarta, sepuluh tahun yang telah lalu.

Dengan tiada dapat ditahannya, berlinang-linang air matanya, sebab terkenang nasib anaknya yang malang itu, yang telah membunuh dirinya, karena putus asa. Sekali-kali tiada disangkanya akan demikian untung anaknya yang sebiji mata itu.

Sebenarnya ia telah lama menyesal akan perbuatannya, yang tergopoh-gopoh atas anaknya itu. Karena akan perbuatan anaknya itu berhubung dengan bangsa dan pangkatnya yang tinggi, diusirnya anaknya ini, sehingga istrinya yang hanya seorang, mati karena kesedihan hati dan anaknya yang tunggal mernbunuh diri, karena kedukaan.

Setelah meninggal anaknya ini dan setelah dipikirkannya benar-benar perkara ini, terasa olehnya, bahwa kesalahan anaknya itu sebenarnya tiada seberapa.

Percintaannya kepada Nurbaya, tak dapat disalahkan; karena sejak kecil ia bercampur gaul dengan anak sahabatnya ini, sebagai seorang yang bersaudara kandung.

Persangkaannya, bahkan pengharapannya pun, Nurbaya akan menjadi istri anaknya. Walaupun Nurbaya tiada berbangsa tinggi, tetapi tak mengapa. Kecantikan parasnya, kepandaiannya dan tingkah lakunya yang baik, telah cukup untuk pengganti kerugian kebangsawanan Padang. lstrinya, Ibu Samsu, bukan orang berbangsa, tetapi tiada menjadi alangan apa-apa bagi kehidupan bersuami-istri. Memang patut Samsu bersanding dengan Nurbaya, seorang cantik, seorang tangkas. Demikian kenangkenangan Sutan Mahmud.

Maka terbayanglah di matanya pada waktu itu, anaknya duduk bersuka-sukaan dengan Nurbaya, sebagai orang yang bersuami-istri. Samsu sebagai seorang dokter dan Nurbaya, sedang memangku seorang anak laki-laki, cucunya.

"Ah, kalau tak ada Datuk Meringgih jahanam itu, niscaya kenang-kenanganku ini bukan cita-cita, melainkan sebenarnyalah. Dan jika tiada karena bangsa dan pangkatku yang tinggi, barangkali tiada sampai kuusir anakku yang sebiji mata.

Sekarang apa hendak dikata? Karena keduanya tak ada di dunia ini lagi. Semoga di akhirat dapat disampaikannya sekalian cita-cita dan hasrat hatinya, yang tiada diperolehnya di dunia ini."

Di s itu bercucuran pula air matanya, jatuh berderai dengan tiada dirasainya.

Sesungguhnya demikianlah, hati Sutan Mahmud. Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna, kata pepatah. Walaupun engkau menjerit sampai ke langit sekalipun, kesalahanmu ini tak dapat diperbaiki lagi. Jika tiada tergesa-gesa engkau menjatuhkan hukurnan atas anakmu waktu itu, barangkali tiada terjadi kesengsaraan dan kesedihan ini dan dapatlah kaucapai cita-citamu tadi. Tetapi karena engkau masih sangat terikat oleh kemegahan pangkat dan bangsamu, jadilah demikian kesudahannya.

Tentu; mulut terdorong, mas padahannya; hukumanmu terdorong kepada anakmu, kesengsaraan dan kematian beberapa orang balasnya. "Terlebih besar dosamu atas kesalahanmu ini, karena engkau seorang kepala negeri, ibubapa, tempat meminta, tempat bertanya, tempat berlindung kepanasan, tempat berteduh kelrujanan, bagi anak buahmu.

Engkaulah yang harus menyelesaikan yang kusut, memperjemih yang keruh dan memperbaiki yang rusak.

Bila engkau kepada anakmu sendiri telah menjatuhkan hukuman yang seberat itu, hanya karena engkau bersangka harus berbuat sedemikian, karena kebangsawananmu dan pangkatmu yang tinggi, betapakah engkau akan melakukan kewajibaumu dengan seadil-adilnya dan sebaik-baiknya kepada oiang lain fiap-tiap kesalahan itu memang ada hukumannya dan inilah hukuman yang telah dijatuhkan Tuhan ke atas dirimu.

Mudahmudahan dapatlah engkau memetik ibaratnya! Sementara Sutan Mahmud berdiri termenung memikirkari untung nasib anaknya yang malang dan merindukannya serta menyesal akan perbuatan yang tergesa-gesa, menunggu si sakit bangun, masuklah dokter tadi ke dalam bilik itu dan karena itu si sakit terjaga daripada tidurnya, lalu membuka matanya dan menoleh ke kanan ke kiri. Tatkala dililiatnya Sutan Mahmud, lalu diperhatikannya Penghulu ini sejurus lamanya. Kemudian ditutupnya pula matanya dan dilambainya Penghulu ini dengan tangannya, supaya datang mendekatinya.

Dokter dan penjaga berdiri agak jauh sedikit, karena tiada hendak mendengarkan percakapan yang mungkin tiada boleh didengar orang lain.

Setelah hampirlah Nenohulu Sutan Mahmud, lalu berkatalah si sakit perlahan-lahan dengan putus-putus suaranya, "Tuanku Penghulu! Hamba minta datang Tuanku kemari, karena adalah suatu rahasia yang hendak hamba bukakan, sebelum hamba berpulang. Rahasia itu ialah permintaan anak Tuanku sendiri, Samsulbahri."

"Anak hamba Samsulbahri yang telah meninggal dunia di Jakarta?" tanya Sutan Mahmud dengan terkejut.

"Ya, Samsu itu, yang tiada jadi mati," sahut si sakit.

"Samsu tiada mati. Anak hamba tiada mati?" tanya Sutan Mahmud dengan tergesa-gesa dan amat herannya.

"Benar," sahut si sakit.

"Jadi ia masih hidup sekarang? Di manakah ia waktu ini? ...

Tetapi betapakah Tuan tahu akan hal ini."

"Sebab hamba waktu itu ada dalam rumah sakit, tempat ia diobati," lalu diceritakanlah oleh si sakit tentang penembakan diri Samsu di Jakarta dan apa sebabnya ia dikatakan telah mati. Kemudian ia masuk tentara, untuk mencari kematian, tetapi tiada diperolehnya juga. Akhirnya ia disuruh ke Padang untuk memadamkan huru-hara belasting.

"Jika demikian, ia ada di Padang sekarang ini." kata Sutan Mahmud dan mukanya bercahaya karena kesukaan.

"Benar ia datang bersama-sama hamba kemari dan berperang pun bersama-sama hamba pula. Pangkatnya Letnan dan namanya Mas, yaitu kebalikan namanya yang sebenarnya.

Sam."

Karena bercakap-cakap ini rupanya si sakit bertambah lelah sehingga berkata pun hampir tak dapat. Mukanya semakin pucat dan acap kali ia memegaug kepalanya, karena kesakitan.

Setelah berhenti sejurus, berkata pula ia sambil mengangkat kepalanya sedikit, sebagai kuatir, suaranya tiada akan terdengar oleh Sutan Mahmud.

"Inilah pesannya: bila . . . ia ... mati minta ... dikuburkan ... antara ... ibunya ... dan ... Nurbaya ... Allahu Akbar!"

Tatkala habis perkataan ini, habislah pula napas si sakit, lalu rebah ke tempat tidurnya dan berpulanglah ia dengan tenangnya.

Walaupun kamatian si sakit ini amat tenang dan mudah rupanya, karena muka mayatnya tiada berubah, sebagai orang yang tidur biasa saja, sedang pada bibirnya masih berbekas senyum, seolah-olah suka meninggalkan dunia yang fana ini, tetapi Sutan Mahmud sangat terperanjat, melihat kematian yang tiba-tiba ini. Setelah ia berkomat-kamit membaca doa sejurus lamanya, seraya bertanya, "Kenalkah Tuan, Letnan Mas yang datang dari Jakarta, bersama-sama Tuan yang baru meninggal ini? Di manakah ia sekarang ini?"

"Letnan Mas?" tanya dokter dengan heran.

"Ya, Letnan Mas, yang datang kemari untuk berperang dengan perusuh di Padang ini." kata Sutan Mahmud pula.

"Tiada lain, melainkan inilah dia, yang baru meninggal dunia ini." jawab dokter.

Tatkala Sutan Mahmud mendengar perkataan dokter ini, terpekiklah ia, lalu memeluk dan mencium mayat itu, sambil menangis tersedu-sedu; karena sekarang nyatalah olehnya, si sakit yang baru meninggal itu, tiada lain melainkan anaknya sendiri, Samsulbahri, yang telah sepuluh tahun dirindurindukannya, sekarang meninggal di hadapannya, dengan tiada dikenalnya.

"Aduhai Anakku, biji mataku!! Mengapakah tiada dikatakan lebih dahulu, sehingga ayahda tiada tahu akan anak sendiri.

Memang sejak terpandang mukamu tadi, ayanda telah syak wasangka; tetapi tiada berani membenarkan persangkaan itu, karena mustahil rasanya. Wahai! Mengapakah Ananda tiada hendak mengaku terus terang, melainkan menyembunyikan diri, sampai ananda tak ada lagi. Barangkali ananda masih marah kepada ayanda, sehingga tiada hendak mengaku bapa lagi kepada ayanda.

Telah lama ayanda rasai dan ketahui kesalahan ayanda, karena telah menjatuhkan hukuman yang berat, ke atas diri Ananda, dengart tiada usul periksa yang sebaik-baiknya, sehingga sesal yang tak kunjung putus, telah menggoda ayanda. Oleh sebab itu, beringin benar ayanda beroleh maaf dari Ananda, dunia dan akhirat.

Aduhai Ananda! Mengapakah tatkala hidup dalam sepuluh tahun, tiada hendak kembali kepada ayanda, sehingga ayanda hanya diberi kesempatan sejurus lamanya, untuk bercakap-cakap dengan Ananda, yang tiada ayanda kenal lagi, pada penghabisan umur Ananda? Kesalahan ayanda kepada Ananda memanglah besar, tetapi patut juga Ananda maklumi kekurangan orang tua, yang terikat oleh adat istiadat negerinya, sebagai ayanda ini.

Sekarang apalah gunanya ayanda hidup lagi, seorang diri di atas dunia ini, karena Ananda tak ada lagi; sedang bunda Ananda pun telah lama pula meninggalkan ayanda. Bawalah ayanda bersama-sama, supaya dapat pula kita bercampur gaul, sebagai dahulu. Janganlah ayanda ditinggalkan seorang diri, di atas dunia ini! "Ya Allah, ya Tuhanku! Lekaslah cabut pula nyawaku ini, supaya dapat bertemu kembali dengan anak-istriku!"

Maka pingsanlah Sutan Mahmud, tiada khabarkan dirinya lagi.

Pada keesokan harinya diusunglah sebuah jenazah dari rumah Sutan Mahmud, Penghulu di Padang, yang dipikul oleh empat orang Kepala Kampung. Jenazah ini, sebagai kebiasaan di Padang, ditutup dengan kain putih, yang penuh ditaburi bungabungaan. Sebelah ke muka, di tengah-tengah dan sebelah ke belakang, jenazah itu dipayungi dengan payung kuning, tanda yang meninggal itu seorang bangsawan tinggi.

Di muka jenazah, berjalan dua orang muda. Yang membakar setanggi dan gaharu dalam perasapan yang ditaruh di atas dulang perak. Yang seorang lagi membawa bunga-bungaan dan air cendana. Di kiri kanan jenazah ini, berjalan beberapa pemuda bangsawan, yang membawa tombak dan perisai, pedang dan panji-panji, dan lainlainnya, yang biasa dibawa dalam upacara penguburan anak raja-raja. Hanya gendang dan serunailah yang tiada kedengaran bunyinya, karena tiada dibenarkan oleh ulama-ulama.

Di belakang jenazah ini, kelihatan haji-haji, syekh-syekh, ulama-ulama, yang tiada putus-putusnya zikir dan membaca doa. Di belakang mereka, berjalan pembesar, pegawai-pegawai, Kepala-Kepala, orang tua-tua, cerdik pandai, kaum bangsawan dan rakyat biasa. Di belakang itu pula, berbaris serdadu yang memakai pakaian kebesaran.

Mulanya akan disertakan musik dan penembakan bedil, menurut aturan tentara, tetapi ini pun tiada dapat dibenarkan oleh kaum ulama. Sebagai penutup, kelihatan kendaraan pembesarpembesar kota Padang, dari sekalian bangsa yang berjejer sampai jauh ke belakang.

Jenazah siapakah itu? Itulah jenazah Samsulbahri, anak Sutan Mahmud, Penghulu Padang yang terkenal, sebagai seorang bangsawan tinggi, yang dihormati dan dimuliakan orang. Bagi sahabat kenalannya, Samsulbahri adalah seorang yang baik budi, peramah pengasih penyayang, penolong dengan tiada menilik rupa dan bangsa. Dalam tentara ialah Letnan Mas, yang masyhur gagah beraninya dan telah menolong Pemerintah dalam beberapa kesukaran peperangan.

Itulah sebabnya, tatkala hidupnya dadanya dihiasi beberapa bintang. Bagi kaum keluarganya, ialah seorang anak yang disayangi.

Di antara orang yang banyak, yang mengantarkan jenazah ini, kelihatan seorang tua bungkuk, yang telah berambut putih, berjalan perlahan-lahan di sisi jenazah, sebentarsebentar meminta ikut mendagang jenazah ini, dengan air matanya yang tergenang di pelupuk matanya, seraya berkata seorang diri, "Ya, inilah penanggungan orang yang dikurniai Tuhan umur yang panjang. Segala yang muda-muda, yang mendahuluinya, harus diantarkannya seorang ke dalam kubur, sampai datang gilirannya, ia sendiri diantarkan orang ke makamnya.

"Alangkah beratnya bagi mereka yang harus melihat kekasihnya dilahirkan dan diambil kembali, oleh Yang Maha Kuasa. Ibunya kulihat dilahirkan, dan sepuluh tahun yang lalu, kuantarkan ia kekuburan. Anaknya ini, kulihat pula dilahirkan.

Sekarang harus pula kuantarkan ia ke makamnya. Tetapi aku sendiri, bilakah datang giliranku? Dan siapakah yang akan mengantarkan aku ke kuburku?" Demikianlah pikiran orang tua itu, yakni kusir Ali yang sangat terikat hatinya kepada Samsulbahri dan ibunya.

Di antara perempuan, yang banyak pula pergi mengantarkan, kelihatan Sitti Alirnah dengan ibu-bapanya, karena teringat akan Sitti Nurbaya, kekasih yang meninggal ini.

Setelah jenazah Samsulbahri dibawa ke mesjid dan disembahyangkan di sana, barulah dibawa ke Gunung Padang, tempat makam yang diminta oleh yang meninggal. Setelah sampai ke sana diturunkanlah jenazah Samsulbahri ke dalam kubur, yang letaknya antara kubur ibunya dan Sitti Nurbaya, kekasihnya, sebagaimana permintaannya, pada penghabisan umurnya, lalu diernbangkan dan ditimbunlah liang kubur itu.

Kemudian dibacakan talkin.

Sekalian pembesar Belanda dan bangsa lain turut menimbun kubur itu dengan sekepal tanah dan akhirnya disiramilah kubur itu dengan air cendana dan disebarkanlah bunga-bungaan ke atasnya. Setelah itu berpidatolah seorang pembesar tentara, memperingati kegagahan dan kesetiaan yang meninggal, kepada Pemerintah. Ialah anak negeri yang mula-mula dapat mencapai pangkat yang setinggi itu dalam golongan tentara. Kemudian diucapkannya, supaya arwah yang meninggal mendapat kesentosaan dan kesejahteraan di alam yang baka.

Setelah Sutan Mahmud mengucapkan terima kasih kepada pembesar ini dan kepada sekalian orang yang telah datang memperlihatkan kesedihan hatinya, dengan bersusah payah, ikut serta menyelamatkan jenazah anaknya dan setelah dimintakannya maaf atas sekalian dosa kesalahan anaknya ini, yang dapat memberatinya di dalam kuburnya dan setelah dimintakannya pula doa sekalian yang hadir kepada Allah taala, untuk keselamatan Samsulbahri, pulanglah sekaliannya ke rumah masing-masing. Hanya Sutan Mahmud dengan beberapa hajilah yang masih tinggal mengaji di sana.

Kemudian mereka ini pun pulang pula dan tinggallah Sutan Mahmud dengan kusir Ali, termenung duduk di atas sebuah batu. Rupanya Sutan Mahmud terlalu berdukacita karena kematian anaknya ini dan amat menyesal akan perbuatannya yang telah lalu.

Setelah malamlah hari, berjalanlah kedua mereka itu dari sana dan sunyilah di makam itu. Hanya Samsulbahrilah yang tinggal seorang diri, di tempatnya yang awal dan akhir ini.

Insaflah insan akan dirimu, demikianlah juga akhirnya akan jadimu! Dua bulan kemudian, kelihatan pada suatu hari, dua orang muda naik bendi menuju ke Muara. Walaupun pakaian mereka cara Eropah, tetapi kopiahnya yang hitam itu menyatakan, bahwa mereka bangsa Bumiputra, anak negeri di sana.

Seorang daripada mereka, berpangkat dokter dan seorang lagi, berpangkat opseter. Keduanya memegang seikat bunga dalam tangannya. Setelah sampai ke Muara, lalu mereka menyeberang sungai Arau dan mendaki Gunung Padang.

Tatkala mereka tiba di tempat yang ditujunya, kelihatanlah di sana olehnya, lima buah kubur sejejer berdekat-dekatan.

Kelima kubur itu sama besar dan sama bentuknya. Pada tiaptiap kepala kubur ini, ada batu nisan dari marmer, yang bertulis dengan huruf air mas. Di kubur yang pertama tertulis "Inilah kubur Baginda Sulaiman, meninggal pada tanggal 5 Ramadan, tahun 1315"

Pada nisan yang kedua tertulis "Inilah kubur Siti Nurbaya, binti Baginda Sulaiman meninggal pada tanggal 5 Zulhidjdjah tahun 1315".

Pada nisan yang ketiga tertulis "Inilah kubur Samsulbahri, anak Sutan Mahmud, Penghulu Padang, meninggal tanggal 5 Syafar, tahun 1326".

Pada nisan yang keempat tertulis, "Inilah kubur Sitti Maryam, istri Sutan Mahmud, Penghulu Padang, meninggal pada tanggal 5 Zulhijah 1315."

Pada nisan yang kelima tertulis "Inilah kubur Sutan Mahmud, Penghulu Padang, meninggal pada tanggal 8 Rabiulawal, tahun 1326".

Kedua anak muda tadi, lalu menaburkan bunga yang dibawanya ke atas kelima kubur ini, terlebih-lebih ke atas kubur yang kedua dan ketiga, sedang air matanya berlinanglinang.

"Bakhtiar!" kata dokter itu. "Adakah engkau sangka, tatkala kira-kira sebelas tahun yang lalu, berjalan-jalan dengan Samsu dan Nurbaya kemari, kita pada waktu ini akan melawat kuburnya di sini? Masihkah engkau mengingat waktu itu, tiga bulan sebelum kita berangkat ke Jakarta?"

"Sesungguhnya, Arifin," jawab opseter, "tidak kusangka sekali-kali. Tetapi apa hendak dikata? Karena manusia itu tiada dapat berbuat sekehendak hatinya, melainkan haruslah menepati segala janji, yang telah diperbuat. Meskipun demikian, kelima mereka ini telah nyata dan tetap tempatnya, berdekat-dekatan kelimanya. Akan tetapi kita ini, belum tentu lagi, entah di mana, entah dengan siapa."

"Tetapi apakah sebabnya Engku Sutan Mahmud meninggal dengan tiba-tiba? Apakah sakitnya?" tanya Arifin pula.

"Rindu akan anak-istrinya, menyesal akan perbuatannya," jawab Bakhtiar.

"Kasihan," sahut Arifin.

Setelah disuruh mereka beberapa fakir mengaji di sana, kembalilah keduanya pulang ke rumahnya. Hanya yang telah berkubur itu jugalah yang tinggal di sana, untuk selamalamanya.

TAMAT