Sitti Nurbaya/Bab 15

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

XV. Rusuh Perkara Belasting di Padang[sunting]

"Sudahkah Engku Datuk Malelo mendengar kabar yang kurang baik itu?" tanya seorang tua, di pasar Bukit Tinggi, kepada temannya.

"Kabar apakah itu, Engku Malim Batuah?" sahut sahabatnya.

"Kompeni akan meminta uang belasting kepada kita," jawab Malim Batuah.

"Uang belasting? Uang apa pula itu?" tanya Datuk Malelo dengan senyum merengut. "Ada-ada saja kompeni itu, untuk mencari uang. Dan siapakah yang akan susah karena aturan itu? Tentulah anak negeri juga. Belumkah cukup uang rodi, uang jaga, uang ini dan uang itu? Sekarang ditambah pula dengan uang belasting? Uang apakah artinya itu, Malim?"

"Uang belasting, yaitu uang pajak harta benda atau pencaharian, dalam setahun-setahun," jawab Malim Batuah.

"Belanda kekurangan duit rupanya, jadi dicari-carinya akal untuk memperoleh uang. Tetapi perbuatan yang sedemikian, tak boleh dibiarkan. Kalau diturutkan saja, cobalah Engku Malim lihat! Sudah ini ada pula lagi uang yang akan dibayar.

Di mana kita peroleh sekalian itu? Dan apakah sebabnya maka kita harus membayar uang-uang itu? Karena kita budak, bukan tawanan, bukan pula orang yang membayar upeti kepada kompeni. Dan lagi apakah gunanya uang itu?"

"Hamba pun tak tahu, hanya sekedar mendengar cerita orang pula. Kabarnya sekalian Tuanku Laras akan dipanggil ke kantor Tuan Residen, untuk memupakatkan perkara ini.

Tentulah kita akan mendapat kabar yang nyata dari Datuk- Datuk dan Tuanku kita betapa yang sebenarnya."

"Biar bagaimana sekalipun, hamba tak mupakat dengan peraturan ini," jawab Datuk Malelo.

Demikianlah anak negeri menyambut kedatangan kabar perkara belasting ini. Bukan di Padang Hilir dan Padang Hulu saja, anak negeri berpikir sedemikian, tetapi pada seluruh negeri, yang akan menerima aturan baru ini.

Kabar perkara belasting itu segeralah pecah dan kembang pada seluruh negeri, kota dan lorong, sampai ke kampung dan dusun yang kecil-kecil, sehingga tua muda, kecil besar, lakilaki perempuan, tahulah kabar ini. Sekalian mereka mencomel, karena berasa kurang adil diperintahi Belanda, yang pada pikiran mereka berbuat sekehendak hatinya, memaksa mereka membayar belasting, untuk menambah kekayaannya.

Oleh sebab Pemerintah merasa khawatir, anak negeri tiada hendak menurut saja aturan baru ini, melainkan boleh jadi membantah, bermupakatlah pegawai-pegawai Belanda dengan pegawai anak negeri. Di Padang Hilir dengan Tuanku- Tuanku Penghulu, di Padang Hulu dengan Tuanku-Tuanku Laras, untuk mencari akal yang baik, supaya dapat juga menjalankan belasting itu, dengan amannya.

Sekalian pegawai bumiputra, disuruhlah menyampaikan dan memperbincangkan perkara ini dengan pegawai-pegawai kampung dan anak negeri, serta disuruh terangkan pula sebabsebab dan keperluan belasting itu, supaya mereka jangan salah sangka. Oleh sebab itu ramailah orang berkumpul-kumpul di sana-sini, membicarakan hal itu.

Tuanku-Tuanku Laras atau Tuanku-Tuanku Penghulu dengan Kepala-Kepala Negeri, Kepala-Kepala Negeri dengan anak buahnya dan anak buah dengan kaum keluarganya.

Supaya kita ketahui benar perkara ini, marilah kita turut tiaptiap permupakatan itu! Pada suatu hari berkumpullah di kantor Residen Bukit Tinggi, sekalian Tuanku Laras keresidenan Padang Hulu[1].

Asisten-Asisten Residen dengan Kemendur-Kemendur dan Aspiran-Aspirannya pun ada serta hadir. Setelah cukup sekaliannya dalam majelis, berdirilah Tuan Residen, lalu berkata dalam bahasa Melayu Minangkabau, "Tuan-Tuan dan Tuanku-Tuanku sekalian yang hadir di sini! Sebelum kami nyatakan perintah yang kami teruna, terlebih dahulu kami ucapkan selamat datang kepada Tuan-tuan dan Tuanku-Tuanku yang telah menurut permintaan kami, datang berkumpul kemari, karena adalah suatu perintah, yang penting dari Pemerintah Agung, yang hendak kami memupakatkan di sini dengan Tuan-tuan dan Tuanku-Tuanku sekalian.

Sebagai Tuanku-Tuanku ketahui, tanah Hindia ini diperintahi oleh Pemerintah Belanda. Tuan-tuan tahu pula, tanah Hindia ini bukan kecil, melainkan sangatlah besar dan luasnya. Beberapa pulau yang besar-besar, seperti pulau Sumatra, pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, sampai ke pulau Papua, masuk jajahannya. Lain daripada itu, banyak pula pulau yang kecilkecil, yang masuk bagiannya, sebagai pulau Bali, Loinbok, Sumbawa, Flores, Timor, Sumba, Sawu, Roti dan lain-lain sebagainya. Sekaliannya itu harus dijaga dan diurus oleh Pemerintah Belanda, sebaik-baiknya, supaya segala penduduknya mendapat keselamatan dan kesejahteraan.

Akan menyampaikan maksud ini, diadakan oleh Pemerintah pegawai-pegawai, cukup dengan alat perkakas, rumah dan kantornya. Marilah kami sebutkan berapa macam pegawai, akan jadi misal. Pertama pegawai yang memerintah dan mengemudikan negeri, yaitu pegawai sebagai kita sekalian ini.

Pegawai ini bukan sedikit orangnya, perkakasnya, rumahnya dan kantornya.

Beribu orangnya, dari yang berpangkat Residen sampai ke juru juru tulis dan Kepala Kampung, sedang Gubernur Jenderal pun, boleh dimasukkan golongan ini.

Kedua, pegawai yang memajukan bumiputra tentang pengetahuan dan kerajinannya, yaitu guru-guru. Beribu pula banyaknya dengan rumah-rumah sekolahnya, kecil besar; perkakasnya pun bermacam-macam pula.

Ketiga, pegawai yang memajukan perusahaan tanah dan perniagaan, sedemikian pula banyak orang tempatnya dan perkakasnya.

Keempat, pegawai yang membuat rumah-rumah, jalan jalan, serokan-serokan, sungai-sungai dan lain-lain. Pegawai itu pun tak kurang orang, kantor dan perkakasnya.

Kelima, pegawai yang menjaga keamanan negeri, yaitu bala tentara. Pegawai inilah yang sangat banyak belanja, tetapi keperluannya pun sangat besar pula. Bukannya di daratan saja, tetapi di lautan pun diadakan pula bala tentara, untuk menjaga keamanan laut, perniagaan dan musuh. Bala tentara ini dilengkapi dengan kapal-kapal perang dan senjatanya.

Pegawai yang mengurus uang Pemerintah pun diadakan pula. Lain daripada itu banyak lagi tiada kami sebutkan di sini, sebab tentulah akan menjadi lanjut percakapan ini. Tuanku- Tuanku lihat, semuanya diurus dengan sebaik-baiknya; segala yang berguna, diadakan dan yang tak perlu, dibuang.

Jangankari hal manusia, perkara hewan-hewan, tumbuhtumbuhan, tanah¬tanah, air-air dan yang lain-lain pun tidak dilupakan. ' Tuanku-Tuanku tentulah maklum, sekalian itu bukansedikit belanjanya, mana penggaji pegawai, niana pembuat tempat atau rumahnya, mana pembeli perkakasnya, dan mana pula biaya perjalanannya. Cobalah pikirkan dan hitung belanja sebuah rumah atau kantor Gubernemen saja, dalam sebulan dengan gajigaji orang, biaya perkakas dan lain-lain sebagainya. Di situ barulah nyata, bahwa belanja ini bukan sedikit. Berpuluh juta rupiah Pemerintah harus mengeluarkan uang tiap-tiap tahun, untuk biaya sekaliannya itu.

Di manakah diperoleh uang yang sekian banyaknya? Benar ada hasil dari tanah, dari kopi, dari perniagaan, dari ini dan dari itu, tetapi hasil ini sekarang nyata tiada memadai.

Bagaimana akal kini akan mencari uang penambah yang kurang ini? Bila Tuanku-Tuanku di rumah hendak memakai tikar, lainpu, kursi dan meja, siapakah yang harus membelinya? Tentu Tuanku sendiri, bukan? Masakan dapat diminta kepada orang lain? Demikianlah juga perkara negeri kita ini, tak boleh kita meminta bantuan kepada kerajaan lain, melainkan kita sendirilah, yang harus memikulnya. Bukankah aturan itu sejak dahulu kala, telah ada juga di sini? Segala sesuatu yarig perlu bagi negeri, negeri itu sendirilah yang mengadakan, dipungut dari anak negeri.

Dahulu penghasilan yang kami sebut tadi, memang cukup, untuk membiayai sekalian keperluan tadi, tetapi sebab keperluan itu makin lama makin bertambah, sebab orang pun kian lama kian banyak pula, sekarang hasil-hasil itu tak mencukupi lagi. Barangkali tambahan keperluan itu, di sini belum nyata benar, tetapi di negeri-negeri asing, terang kelilhatan. Sungguhpun demikian, harus juga kita bersamasama menolong. Janganlah kita berpikir, apa perlunya ditolong negeri asing itu? Sebab sebagai telah kami katakan tadi, sekalian pulau yang masuk tanah Hindia, menjadi satu. Biar bangsa Melayu atau Jawa. Dayak atau Papua. Belanda ataupun Cina, sekalian penduduk Hindia ini, harus menjadi satu dan harus bersama-sama memajukan tanah kita.

Janganlah tiada percaya, bahwa segala yang diperbuat di negeri lain, membawa hasil juga ke mana-mana. Lihatlah Sekolah Dokter Jawa, diadakan hanya di tanah Jawa; tetapi bukan urang Jawa saja yang beroleh hasil dari sekolah itu; orang Minangkabau, orang Batak, Menado. Ambun dan lainlain pun dapat pula belajar di sana, untuk menjadi dokter.

Dalam sekolah Raja[2], di sini, bukannya bangsa Minangkabau saja yang dapat menuntut ilmu guru, tetapi orang Tapanuli, Aceh, Palembang- Lampung, Bengkulu sampai ke Pontianak dan Sambas pun, boleh juga. Demikian pulalah perbaikan-perbaikan yang diadakan di negeri lain-lain itu, tak dapat tiada mendatangkan kebaikan juga kepada kita di s ini.

Oleh sebab itu, diputuskanlah oleh Pemerintah Agung, sekalian penduduk tanah Hindia ini, haruslah bersama-sama, membantu kekurangan ini. Yang miskin tentulah sedikit, yang kaya banyak. Uang bantuan itu dinamakan "Uang belasting", dibayar tiap-tiap tahun. Jadi tak ada ubahnya dengan uang jakat dan fitrah. Hanya uang belasting, dipakai untuk keperluan kita bersama dan bukan dihadiahkan kepada orang miskin, untuk keperluan mereka itu sendiri.

Belasting ini telah dijalankan di mana-mana, baik di negeri di atas angin atau negeri di bawah angin; sedang di tanah Hindia ini pun hampir pada segenap tempat dan sekalian penduduknya menerima aturan ini dengan rela. Hanya di Minangkabau inilah yang belum lagi. Tuanku-Tuanku tentu maklum, bila orang di sini dibebaskan dari belasting itu, perbuatan Pemerintah ini niscaya tidak adil. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.

Tambahan pula, bila orang di sini suka menuntut aturan ini dengan senang hati. Pemerintah suka membebaskan orang Minangkabau daripada kontrak menjual kopi kepada Gubernemen, sehingga kopi boleh dijual kepada orang lain, dengan harga lima atau enam kali lipat ganda. Apalagi kalau dipikir benar-benar, nyatalah kontrak menjual kopi itu pada masa ini tiada adil lagi; tak sesuai dengan zamannya, karena timbanglah: Siapakah yang bertanam kopi din menjualnya ke gedung Gubernemen? Bukankah orang-orang peladang, artinya orang-orang miskin? Orang kaya-kaya, saudagarsaudagar, adakah berbuat sedemikian? Tidak. Jadi siapakah yang membayar belasting pada hakikinya? Bukankah si miskin? Si kaya bersenang-senang saja.

Inilah maksud kami meminta datang Tuanku sekalian kemari supaya disampaikan pemerintah ini kepada anak negeri, dengan diterangkan apa sebabnya dan apa gunanya uang belasting itu. Mengerti benarlah hendaknya mereka tentang perkara ini, supaya jangan sampai mereka berpikir, uang itu diminta, sekedar hendak memenuhi kantung orang Belanda. Sekali-kali negeri tiada beroleh hasil dari belasting ini, melainkan kita yang di sini jugalah.

Lagi pula janganlah salah sangka. Sekalian kami bangsa Belanda yang ada di sini, ialah pegawai Gubernemen, sebagai Tuanku-Tuanku juga, dan yang Gubernemen itu bukanlah bangsa Belanda atau kerajaan Belanda, sekali-kali tidak lain melainkan penduduk tanah Hindia inilah. Bangsa Belanda di sini sekadar memerintah, menolong mengatur.

Pada rasa hati kami cukuplah itu, untuk menerangkan maksud kami. Bila ada di antara Tuan-tuan dan Tuanku- Tuanku yang merasa apa-apa tentang perkara ini, keluarkanlah! Supaya dapat diperbincangkan bersama-sama."

Lalu Residen duduk di atas kursi, bernanti, adakah orang yang hendak berkata atau tidak. Tetapi seorang pun tiada yang hendak mengeluarkan pikirannya, tentang hal ini.

Setelah berdiam-diam sejurus, bertanya pula Residen, "Tak adakah orang yang hendak berkata apa-apa, tentang hal ini?"

Tatkala itu berdirilah seorang Tuanku Laras, yang tertua daripada sekalian laras yang hadir, lalu memberi hormat kepada Residen dan segala yang hadir dalam majelis itu; kernudian berkatalah ia, "Sepanjang pikiran hamba yang tua ini, tak adalah yang akan dijawab lagi dalam perkara ini, karena sekaliannya telah diputuskan oleh Pemerintah Agung.

Walaupun ada yang terasa dalam hati kami, terkalang di mata kami, tetapi pada sangka hamba, tak ada paedahnya diperkatakan lagi, sebab tak dapat mengubah aturan yang telah ditetapkan itu. Tak ada yang lain yang dapat kami perbuat dalam hal ini, melainkan kami sampaikan perintah ini kepada anak negeri serta kami terangkan kepada mereka, guna dan sebabnya diadakan belasting itu. Seboleh-bolehnya kami akan berdaya upaya, supaya anak negeri menurut peraturan ini. Meskipun demikian, tentulah tak dapat kami pastikan, anak negeri akan menerima aturan ini dengan senang hati; sebab tiap-tiap yang baru, tiada lekas diterima, lebih-lebih jika tak nyata kebaikannya. Tambahan pula, aturan ini, ialah aturan yang mengenai pura[3] anak negeri. Oleh sebab itu marilah kita bersama-sama berikhtiar dan memohon kepada Tuhan, supaya perintah ini dapat dilangsungkan dengan selamat."

Sekarang marilah kita dengar pula jawab pegawai kampung, tentang perkara ini, dalam perkumpulan yang diadakan di rumah atau balairung.

Rapat itu dikepalai oleh Tuanku Laras.

Setelah berkumpullah sekalian Datuk, Penghulu, Hulubalang, orang kaya, besar bertuah, Kepala Negeri, Cerdik pandai dan lain-lainnya, berkatalah Tuanku Laras, menyampaikan perintah yang diterimanya dari Residen, serta menerangkan guna dan sebabnya belasting itu dijalankan.

Setelah selesai ia berkata-kata, menjawablah beberapa orang daripada yang hadir.

"Tentang peraturan Gubernemen ini, belum kami ketahui buruk baiknya. Tetapi yang mula-mula terasa dalam hati kami dalarn perkara belasting ini, ialah orang Belanda rupanya telah lupa akan janjinya, kepada orang Minangkabau. Bukankah sudah ditetapkan dalam "Pelekat Panjang", bahwa kami anak Minangkabau tak perlu membayar bia, yang sebagai belasting ini? Apakah sebabnya maka kami disuruh juga membayar, sekarang? Mungkirkah orang Belanda akan janjinya? Kedua, orang Belanda sudah lupa pula, bahwa kami bukan orang takluk, yang harus membayar upeti kepada bangsa Belanda. Negeri kami tiada diambil dengan asap bedil, oleh orang Belanda, melainkan dengan perjanjian, antara sahabat dengan sahabat.

Ketiga Tuan Residen berkata, orang Belanda di sini menolong memerintahkan. Tetapi siapakah yang meminta pertolongan itu? Kami tidak minta tolong diperintah, melainkan minta tolong mengalahkan paderi di zaman paderi, lain tidak. Pada pikiran kami, tiada perlu kami diperintahi bangsa asing, sebab dari nenek moyang kami dahulu kala, kami biasa diperintah Raja bangsa kami sendiri dan dalam pemerintahan itu kami pun merasa senang, tiada berasa kurang adil. Oleh sebab itu, tak perlu kami meminta pertolongan kepada bangsa asing, untuk memerintahi kami.

Keempat, kata Tuan Residen uang belasting itu untuk menambah kekurangan belanja Pemerintah, sebab banyak perubahan yang akan diadakan. Perubahan apakah itu, tiada kami ketahui; sebab tiada dimupakatkan dahulu dengan kami, sehingga kami tak tahu pula sungguhkah perubahan itu berguna bagi kami. Pada pikiran kami, segala yang ada sekarang ini pun cukuplah; tak perlu diadakan perubahan lagi.

Adapun perubahan, bukannya untuk kami saja, hanya terutama untuk mereka yang berpangkat tinggi, yang kaya dan orang kota.

Kelima, Tuan Residen berkata sendiri, keperluan kita tak boleh diminta kepada orang lain, mengapakah tidak tiap-tiap kampung atau negeri mengadakan keperluannya sendirisendiri? Mengapakah kami harus menolong orang Selebes, Timor dan Papua? Melihat rupanya pun kami belum! Dan siapakah yang akan menanggung, mereka itu kelak akan rnenolong kami pula, bila kami dapat kesusahan atau ada keperluan apa-apa? Keenam, Tuan Residen berkata, kita sekalian ini yang Gubernemen, bukan bangsa Belanda. Mengapakah segala sesuatu diputuskan dan diperbuat oleh orang Belanda saja; suara anak negeri sekali-kali tiada didengar? Perkara belasting ini pun tiada dimupakatkan dahulu dengan kami. Setelah terjadi, disuruh kami menurut, dengan tiada boleh mengatakan tidak. Bagaimanakah kami namanya itu, orang yang diperintahkan atau orang yang memerintah? Ketujuh, dikatakan ada pegawai yang membuat rumah, jalan dan lain-lain. Rumah siapakah yang dibuatnya? Rumah kami, kami sendiri yang membuat. Jalan pun kami pula yang mengerjakan. Apa paedahnya pegawai-pegawai yang diadakan itu untuk kami? Pegawai perusahaan tanah, belum kami ketahui di s ini dan orang itu tak ada perlunya bagi kami.

Apakah yang akan diajarkannya kepada kami? Bertanam padi? Telah diketahui nenek moyang kami beratus tahun yarig telah lalu. Perkara hewan? Kerbau kami kembang biak juga, walaupun tiada dipelihara benar-benar. Dari dokter itu adakah ia sampai mengobat ke kampung-kampung kami? Hanya di kota itulah ia tinggal, di tempat orang yang kaya-kaya. Kami anak kampung, miskin, tak cakap membayar upahnya.

Balatentara, gunanya yang baru kelihatan oleh kami, lain tidak akan memaksa kami menurut perintah Kompeni. Musuh dari darat dan dari laut, siapakah itu? Jika bangsa kami, cukuplah kami saja yang akan melawannya dan kalau bangsa asing, apakah gunanya kami lawan? Orang Belanda bukankah bangsa asing? Perkara sekolah pun demikian pula, adanya hanya di kota saja, untuk orang kota. Jika anak kami hendak bersekolah, haruslah ia berjalan berpal-pal jauhnya; sebab di kampung hanya langgar yang ada."

Begitulah jawab kebanyakan Penghulu, Kepala-Kepala Negeri dan Kepala Kampung atas perintah belasting itu.

Sekarang marilah kita dengar pula pikiran anak negeri sendiri.

Di kampung Kota Tengah, dekat kota Padang, berkumpullah pada suatu malam, sekalian isi kampung ini, dalam mesjid.

Sesudah sembahyang isya, kelihatanlah beratus-ratus orang di sana, orang kampung itu dan orang kampungkampung lain, yang rupanya telah diberi tahu, bahwa pada malam itu akan diadakan rapat besar, untuk membicarakan perkara belasting. Orang yang seakan-akan menjadi kepala permusyawaratan ini, ialah haji-haji, orang alim, guru agama dan orang tua-tua. Di antara orang tua-tua itu kelihatanlah Datuk Meringgih, saudagar yang amat kaya di Padang.

Setelah hadir sekalian, mulailah Datuk Meringgih membuka bicara.

"Sebabnya maka kami minta datang ninik mamak, adik kakak, sanak saudara sekalian, malam ini berkumpul di sini, ialah karena hendak membicarakan aturan baru yang akan dipikulkan Kompeni kepada kita, yaitu pembayaran uang belasting. Rupanya orang Belanda, belum puas mengisap darah kita, memeras tenaga kita mengeluarkan keringat kita.

Cobalah pikir, uang rodi, uang jaga, dan beberapa uang yang lain-lain, sudah kita bayar, katanya untuk kita; padahal untuk dirinya sendiri, untuk mengenyangkan perutnya, melepaskan dahaganya dan mengayakan bangsanya. Bagi kita anak negeri, paedah apakah yang kita terima dari uang-uang yang telah kita bayar itu? Adakah di antara saudara yang hadir ini, yang telah merasainya? Hamba yang telah setua ini, tinggal di dalam kota, siang malam bercampur gaul dengan Belanda, Cina, Keling, Arab dan bangsa yang lain-lain, sampai sekarang, belum tahu akan paedahnya itu. Ke mana perginya dan apa gunanya uang itu, hanya Kompenilah yang tahu. Sebab dilihatnya kita suka saja membayar uang-uang itu, sekarang dimintanya pula uang belasting. Kalau belasting ini kita bayar juga esok, ada lagi uang yang dimintanya dari kita. Barangkali rumah tangga, pakaian dan perkakas, anak-istri kita dibiayainya pula.

Bukankah pepatah kita telah menunjukkan betapa tamak dan lobanya bangsa Belanda? Bukankah telalt dikatakan seperti Belanda minta tanah, diberi sejengkal, mau sedepa.

Peraturan yang serupa ini, dalam jajahan bangsa lain seperti bangsa Inggris, tak ada. Hamba sendiri sudah pergi ke Singapura, Pulau Pinang, Perak dan Johor, tak ada hamba lihat orang yang membayar belasting di sana. Hanya di sini saja yang ada. Jadi aturan ini dibuat-buat saja olelt orang Belanda, untuk memeras kita, supaya kering sekeringkeringnya.

Memang kemauan orang Belanda, kita anak negeri, miskin dan bodoh hendaknya, supaya mudah dipermain-mainkannya dan bila kita tiada berdaya lagi kelak, tentulah akan dijualnya seperti budak."

Mengapakah Datuk Meringgih ada di situ, mengasut anak negeri, kepada Pemerintah? Mengapakah ia tiada pada perniagaannya? Karena ia mengerti, kalau jadi dijalankan belasting itu, tentulah ia yang banyak harus membayar. Lagi pula rupanya Pemerintah di Padang, sedang mengintip perjalanannya, karena orang makin lama makin kurang percaya akan kelurusan hatinya. Hal ini diketahui oleh Datuk Meringgih, itulah sebabnya maka sangat panas hatinya kepada Pemerintah Belanda. Ketika itu, sebab ada jalan, hendakk dibalaskannya sakit hatinya ini. Oleh sebab itulah dicarinya akal, supaya maksud Pemerintah ini tiada sampai. Disuruhnya orang-orangnya ke sana kemari, mengasut anak negeri, supaya melawan; jangan mau membayar belasting.

Setelah selesai Datuk Meringgih beikata-kata, berdirilah pula seorang haji, katanya, "Pada pikiran hamba benarlah kata Engku Datuk itu, karena hamba telah pergi ke Mekah, Madinah, Jedah, tetapi di sana pun tak ada hamba dapat aturan sebagai ini. Memang susah, kalau di bawah perintah kapir; selamanya kita hendak dianiaya saja. Akhirnya niscaya agama kita akan ditukarnya dengan agama Nasrani, sehingga menjadi kapirlah kita, masuk api neraka seperti mereka. Tentu tak senang hati mereka, melihat kita masuk surga; jadi dicarinya kawan mati."

Mendengar perkataan haji ini, geramlah hati sekalian yang hadir dan kedengaranlah comel di sana-sini, mengatakan, "Sesungguhnya tak patut!"

Ada pula yang berkata, "Memang Belanda tak boleh dipercayai, bicaranya putar balik, sebagai lidah Keling."

Setengahnya berkata pula, "Memang Belanda musuh kita, dunia akhirat, dalam perkara agama dan perkara yang lain-lain pun."

Datuk Meringgih berseri mukanya melihat kegembiraan hati sekalian orang itu dan sangatlah benci hatinya, tatkala ada seorang di antara mereka yang berani menyahut, "Sepanjang pendengaran hamba, uang itu akan dipergunakan, untuk keperluan kita juga."

"Keperluan apa?" tanya Datuk Meringgih dengan segera.

"Pembuat jalan jalan, rumah-rumah dan sekolah, kantorkantor misalnya," jawab yang berkata itu.

"Untuk siapa jalan yang baik, untuk kita atau untuk dia? Kita tak perlu akan jalan yang baik, tetapi tak mau jalan yang buruk; sebab itu disuruhnya kita membuat jalan untuk dia.

Sekarang jalan apa pula lagi yang akan dibuat dengan uang belasting itu? Tentang rumah sekolah itu untuk siapa pula? Anak siapakah yang banyak bersekolah, anak kita atau anaknya? Ada beberapakah di antara Engku-Engku yang ada di sini, yang sudah bersekolah Pemerintah? Tahukah Engku-Engku akan maksud sekolah itu? Supaya anak-anak kita suka kepadanya dan benci kepada bangsanya sendiri.

Di mana ada sekolah di kampung ini? Hamba tidak bersekolah tetapi jadi kaya juga. Jadi, apa perlunya sekolah itu kepada kita? Yang perlu bagi kita, yaitu langgar dan mesjid.

Adakah diperbuatnya itu? Tidak, bukan? Tetapi gerejanya dibesarkannya, diperbuatnya bagus-bagus dengan uang kita.

Dan tentang kantor itu, tak perlu hamba katakan gunanya; setiap hari Engku-Engku dapat melihat sendiri. Bukankah di sana kita dihukumnya, terkadang-kadang dengan tiada bersalah? Bila tak mau menurut kehendaknya, dimasukkannya ke gedung yang sebuah lagi, yaitu penjara.

"Apa lagi?" tanya Datuk Maringgih kepada orang yang menjawab tadi. "Coba katakan, supaya hamba terangkan yang sebenar-benarnya. Jangan suka mendengar kata orang saja dan menurut kata itu dengan tiada dipikirkan dalam-dalam; menjadi kita burung tiung."

Orang yang berkata tadi, tiadalah dapat menjawab lagi lalu berdiam diri.

Setelah berdiam sejuruh, kedengaianlah pula suara Datuk Meringgih, "Sekarang hendak hamba tanyakan kepada sekalian saudara-saudara yang hadir ini, haruslah diturut saja perintah ini dan dibiarkan hidung kita diberi bertali, sebagai kerbau, supaya dapat ditariknya ke mana sukanya? Kita ini bukan binatang, melainkan manusia juga, sebagai dia; bermata, berkepala, berkaki dan bertangan. Mengapakah kita mau diperbodoh orang datang? Adakah patut, limau dialahkan bendalu?"

"Sesungguhnya tak baik dibiarkan," jawab seorang guru tua, "jadi bertambah-tambah lalim dia. Akhirnya diusirnya kita dari negeri kita ini. Ke mana hendak pergi?"

"Jadi, jika tiada hendak dibiarkan, bagaimana?" tanya seorang.

"Lawan saja," jawab beberapa anak muda. ' "Melawan itu mudah asal hati sungguh berani dan perkakas cukup, diadulah untuk kelak," jawab yang bertanya tadi."

Tetapi tak adakah jalan lain-lain yang lebih baik, daripada melawan, karena pekerjaan berperang itu tak baik dipermudah? Bukan sedikit kesengsaraan dan kemalangan yang dibawanya. Kita ini bukan sebatang kara, melainkan beranak beristri, berkaum keluarga, berkampung, berhalaman.

Yang berperang tidak dipikirkan: esa hidup, kedua mati, namanya anak laki-laki. Tetapi yang tinggal itulah, yang menjadi pikiran. Betapa hal mereka kelak, bila kita kalah?"

Perkataan itu rupanya mendatangkan pikiran kepada yang mendengarnya dan hal itu lekas dimaklumi oleh Datuk Maringgih. Karena itu segeralah ia menjawab; katanya, "Barangkali Engku takut berhadapan dengan Belanda. Jika dua hati, tak perlu mengikut; karena tentulah akan mendatangkan beban kepada kami. Kami bukannya perempuan; tak takut mati.

Yang tinggal itu kami serahkan kepada Tuhan. Dia terlebih sempurna memelihara daripada kami."

"Bukan hamba takut," jawab orang itu pula. "Jika perlu, hamba pun rela menyerahkan nyawa hamba. Tetapi yang hendak hamba katakan, yaitu tak adakah jalan lain, yang lebih baik daripada melawan, untuk memperoleh maksud kita? Kalau ada, mengapakah takkan diturut?"

"Bagaimanakah jalan itu?" tanya orang banyak, yang rupanya kurang suka berperang.

"Tak baiklah, bila kita pergi bersama-sama kepada Pemerintah Tinggi di sini, minta diurungkan saja aturan itu?" kata orang tadi pula.

"Ha, ha, ha!" tertawa Datuk Meringgih." Engku belum tahu rupanya adat Belanda, sebab belum bercampur gaul dengan mereka. Tetapi hamba ini, bukan sehari dua hari kenal pada Belanda! Berpuluh tahun telah bercampur dengan mereka; sebab itu tahu benar hamba akan adatnya. Belanda itu tiada nienaruh kasihan tiada pandang-memandang, tiada tahu membalas guna, hendak berkeras saja; apa-apa maksudnya harus terjadi. Bukankah ia katanya bangsa yang memerintah, yaitu bangsa yang tinggi? Kita ini dipandangnya sebagai budak, sebagai binatang, tak boleh membuka bicara, melainkan harus buta tuli, menurut kemauannya. Hamba berani bertaruh, seribu lawan, serupiah, kalau dikabulkannya permjntaan kita itu. Lagi pula perintah datangnya dari Jakarta, bukannya dari Pemerintah Tinggi di s ini. Walaupun Pemerintah Tinggi di sini memperkenankan permintaan kita, kalau Pemerintah Tinggi di Jakarta tak suka, masakan boleh jadi.

Tambahan lagi siapa tahu, barangkali perintah itu dari negeri Belanda datangnya. Siapa yang hendak pergi ke sana, bertemu dengan raja Belanda? Pada pikiran hamba, jika kita tiada hendak menurut perintah ini, baiklah ditunjukkan dengan melawan. Itulah jalan yang sependek-pendeknya. Bila akan dikabulkannya, tentu lekas diturutnya kemauan kita.

Berperang sedikit dikabulkannya, tentu lekas diturutnya kemauan kita. Berperang sedikit apa salahnya, permainan anak laki-laki. Untuk beroleh keuntungan, bukankah harus rugi lebih dahulu?"

Muka mereka yang telah mulai sabar sedikit, menjadilah gembira pula,mendengar kata Datuk Meringgih ini.

"Yang hamba pikirkan, ialah akhir kelaknya. Jika melawan, adakah akan dapat kemenangan? Karena Belanda banyak serdadunya dan cukup senjatanya. Kalau tiada terlawan, menjadi sia-sialah pekerjaan kita dan akhirnya rusak binasa, tiada bertentu; sedang belasting harus juga dibayar."

"Perkara kalah memang itu tiada dapat ditentukan lebih dahulu, karena sekaliannya itu takdir Allah. Jika ditolongnya kita walau berjuta banyaknya serdadu musuh dan berkapal perkakas dan senjatanya, tentulah kita akan beroleh kemenangan juga. Jika tak menang pun, tak mengapa, karena telah kita perlihatkan kepadanya, bahwa kita bukan perempuan, melainkan laki-laki, yang tak boleh diperbuat sembarang saja. Apabila ia kemudian hari hendak membuat peraturan baru pula, tentulah akan dipikirnya baik-baik, sebelum dijalankannya. Inilah suatti daripada keuntungan kita.

Akan tetapi, kalau kita berdiam diri saja dan menurut segala kemauannya, niscaya dikatakannya kita takut dan sebab lemah tentulah akan dititinya benar-benar, sehingga tiadalah terlepas lagi kita daripada aniayanya, makin lama, makin bertambah.berat. Lihatlah orang Aceh! Apa senjatanya? Tetapi dapat mereka melawan, sehingga sampai sekarang, belum juga takluk lagi. Pendeknya asal hati jantan, tentu boleh menjadi." jawab Datuk Meringgih.

"Benar perkataan Engku Datuk itu," teriak beberapa anak muda, yang masuk perkumpulan Datuk Meringgih. "Itulah perkataan laki-laki sejati. Pendeknya sekarang begini saja, barang siapa yang tak hendak ikut melawan, boleh tinggal di rumah. Jika hendak menyebelah kepada kapir itu pun, tak dilarang; asal jangan ada di sini lagi, sebab tentulah takkan kami beri ampun."

Karena perkataan ini, tak adalah lagi yang berani membantah kamauan Datuk Meringgih ini, sehingga sekaliannya terdiam sejurus, sampai berkata pula seorang haji tua, "Berperang dengan Belanda itu ada akalnya. Jika tak ada perkakas lawan dengan yang lain."

"Akal apa itu? Cobalah nenek haji katakan!" teriak beberapa orang yang kurang berani.

"Akal orang Aceh; bedil dan meriam itu dilawannya dengan isim; sehingga bedil tak berbunyi atau tak mengenai dan pedang tak makan."

"Tahukan Nenek ilmu itu?"

"Jika tak tahu, apa gunanya aku berkata-kata di sini? Bukan cuma-cuma saja rambutku telah putih. Aku sendiri sudah pergi ke tanah Aceh, menuntut ilmu itu."

"Kalau begitu tak perlu takut. Tetapkanlah hati, untuk melawan dan suruhlah dia datang beribu-ribu kemari," kata yang berani kepada yang tak berdaya.

Demikianlah pikiran kebanyakan anak negeri, tentang belasting itu.

Oleh sebab pada sangkanya, Pemerintah berbuat tak semenamena kepada mereka, ditetapkannyalah, tiada hendak membayar belasting dan jika dipaksa juga, tentu melawan.

Sesungguhnya, tatkala seorang menteri di Padang Hulu datang hendak menangkap beberapa orang, yapg disangka menjadi kepala dalam perusuhan itu, melawanlah anak negeri dan dibunuhnyalah menteri ini. Beberapa Datuk yang keras kepala, dipenjarakan dalam penjara Bukit Tinggi. Pada keesokan harinya. datanglah beratus-ratus anak negeri, meminta lepaskan mereka itu. Seorang Tuanku Laras yang dengan keras hendak menjalankan belasting itu dibunuh; dikatakan menolong bangsa Belanda. Demikian pula seorang Kemendur, diserang anak negeri dalam rumahnya. Tatkala ia telah dibunuh, mayatnya dilembarkan ke dalam api rumahnya yang dibakar. Seorang Asisten Residen diserang, ketika bekerja dalam kantornya. Banyak gudang Pemerintah yang berisi kopi, dirampas dan dibakar begitu juga rumah-rumah dan kantor-kantor Pemerintah.

Dengan demikian, gemparlah seluruh Padang Hulu dan Padang Hilir. Di mana-mana kedengaran rusuh dan orang melawan, sebagai mereka telah mupakat lebih dahulu samasama hendak berontak.

Serdadu yang ada, tak dapat, disuruh memadamkan huruhara itu. sebab tak cukup, lalu disuruh menjaga kota saja.

Sekalian pegawai Pemerintah disuruh berkumpul dalam kota.

Di dalam kota, yang selalu dikelilingi serdadu, dicarilah akal sebolehbolehnya akan melindungkan diri, bila musuh datang menyerang. Dan lagi dilarang orang berkumpul-kumpul di sana, supaya jangan dapat bermupakat.

Pada malam hari tak boleh berjalan di tempat-tempat yang gelap, dengan tiada membawa api (suluh). Memakai pakaian serba putih pun dilarang, supaya jangan disangkakan musuh.

Pada malam hari, serdadu-serdadu ronda di dalam kota menjaga keamanan. Sementara itu dimintalah serdaduserdadu datang dari negeri lain lalu dikirimkan mereka ke tempat-tempat yang yang berbahaya dan disuruh pula ronda ke luar kota atau ke kampungkampung. Ada pula yang disuruh menjaga rumah-rumah dan harta benda Pemerintah. Jalan kereta api dari pelabuhan Teluk Bayur sampai ke Padang Hulu pun, dijaga oleh serdadu, supaya jangan dirusak perusuh.

Akan tetapi anak negeri selalu pula berkumpul-kumpul di luar kota di tempat yang sunyi, bermupakat akan melawan atau menyerang. Masing-masing bersiap, menyediakan senjata, untuk berperang. Perempuan-perempaan dan anakanak dikirim ke gunung-gunung. Harta benda mereka dikuburkan di dalam tanah atau disembunyikan di tempat yang sunyi. Utusan dikirim ke segenap tempat, supaya dapat santa-sama menyerang. Ada yang dikirim ke Aceh hendak mengajak orang Aceh bersama-sama melawan dan ada pula yang diutus ke negeri Turki, akan mengadukan kelaliman Pemerintah Belanda.

  1. Pada ketika itu keresidenan Sumatra Barat sekarang ini masih terbatas atas dua keresidenan: pertama, keresiden Padang Hulu (Bukit Tinggi) kedua, keresidenan Padang Hilir (Padang).
  2. Kweekshool
  3. pundi-pundi uang