Sitti Nurbaya/Bab 14

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

XIV. Sepuluh Tahun Kemudian[sunting]

Walaupun waktu itu telah diberi berukuran, seperti detik, menit, jam, hari, Jumat, bulan, tahun dan abad, tetapi tiadalah sama juga ia pada yang setahun. Bagi kebanyakan orang, waktu itu sesungguhnya setahun lamanya, yaitu 12 bulan atau 52 Jumat atau 365 hari. Akan tetapi ada juga orang yang merasa waktu itu 365 X 24 jam atau 364 X 1440 menit lamanya dan akhirnya ada pula yang meyangka setahun itu lebih lama lagi sebagai sepuluh tahun atau seabad.

Kebalikannya, ada pula yang berkata, waktu yang setahun itu tiada seberapa lama, hanya sebulan atau sejumat saja.

Orang-orang kaya, yang setiap hari beroleh kesenangan, kesukaan dan kemuliaan dan seumur hidupnya belum pernah merasai atau mengenal kesengsaraan, dan belum pula ditimpa mara bahaya dan kecelakaan dunia, tentulah tiada akan merasai perjalanan waktu itu. Bagi mereka, waktu itu sebagai melompat, dari pagi ke petang, dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun. Pada orang yang mencari penghidupannya dengan harus membanting tulang, atau orang yang asyik akan pekerjaannya, waktu itu tiadalah sampai-menyampai. Orang inilah yang tahu menimbang mahal harga waktu itu. Acap kali mereka mengeluh, karena kekurangan waktu.

"Alangkah baiknya bila siang itu lebih daripada 12 jam lamanya," katanya.

Akan tetapi bagi insan yang mengandung kedukaan dan kesengsaraan atau dendam dan pengharapan, yang tak mudah diperolehnya, terkadang-kadang waktu itu suatu penggoda yang amat sangat tiada terhingga. Itulah sebabnya, maka sehari serasa setahun, yang setahun serasa seabad.

Sungguhpun waktu itu tiada sama, pada perasaan tiap-tiap manusia, tetapi janganlah alpa, bahwa waktu itu sangat mahal 'harganya, bila tahu menghargakannya dan sangatlah berpaedah, bila tahu mempergunakannya. Terlebih-lebih, karena tiap-tiap makhluk, telah ditetapkan waktu yang diperolehnya daripada Allah taala, guna hidup di atas dunia ini. Bila waktu yang telah diberikan itu telah dilalui, tak dapat tiada, haruslah makhluk itu meninggalkan dunia ini, berpulang ke negeri yang baka. Pada waktu itulah kebanyakan manusia baru insyaf akan dirinya dan menoleh ke belakang, melihat jalan yang jauh, yang telah ditempuhnya. Oleh mereka yang beruntung baik, tiadalah lain yang dilihatnya sepanjang jalan itu, melainkan pohon rimbun daun, yang melindungi sekalian yang lalu-lintas di situ, dari panas matahari; serta pula beberapa tempat perhentian untuk berteduh, melepaskan lelah. Buah-buahan yang lezat citarasanya, yang menghilangkan lapar dan dahaga dan bunga-bungaan yang cantik molek warnanya, yang menyedapkan pemandangan mata dan yang harum baunya, menyegarkan perasaan badan, bergantungan dan berkembangan pada segala tempat. Telaga yang jernih dan sejuk airnya, terdapat sepanjang jalan.

Akan tetapi, mereka yang malang dan celaka, tiadalah lain yang diperolehnya di jalan itu, melainkan panas terik atau hujan lebat dan angin topan, yang disertai oleh kilat dan petir.

Dan adalah jalan itu sangat berbelok-belok, sehingga tak mudah ditempuh serta turun-naik dengan susahnya. Oleh sebab itu sebelum sampai kita ke ujung jalan ini, baiklah diingat, bahwa jalan itu kelak akan ditempuh juga oleh anak cucu, kaum kerabat, handai tolan kita atau sesama manusia.

Bukankah kewajiban kita, yang dahulu menempuh jalan ini, untuk berbuat barang sesuatu, yang mendatangkan faedah kepada mereka kelak, lebih-lebih kepada yang bernasib malang? Tanamlah di pinggir jalan yang belum sempurna itu, pohonpohonan yang rindang dan buah-buahan yang dapat dimakan. Perbuatlah bangku-bangku tempat berhenti, galilah telaga yang berair sejuk, adakanlah taman bunga-bungaan yang menyedapkan pemandangan mata dan menyenangkan pikiran, serta ubahlah jalan itu, supaya menjadi jalan yang datar dan lurus lagi mudah ditempuh; jalan yang tiada memberi bahaya dan keselamatan kepada barang siapa yang melaluinya. Apabila telah sampai lagi, karena jalan itu tiada akan ditempuh pula.

Sepuluh tahun sesudah Samsulbahri menembak diri di Jakarta, kelihatanlah pada suatu hari, kira-kira pukul lima petang, dua orang posir, berjalan perlahan-lahan serta bercakapcakap, menuju setasiun kerera api di Cimahi.

Walaupun kedua mereka itu sama-sama petah lidahnya berkata dalam bahasa Belanda dan pakaiannya serupa pula, tetapi dari jauh, telah nyata sangat berlainan. Yang seorang tubuhnya pendek dan gemuk, tanda kuat tenaganya.

Rambutnya perang, matanya biru, hidungnya mancung, tiada bermisai atau berjanggut dan kulitnya pun putih, menyatakan ia bukan anak negeri di sana, melainkan bangsa di atas angin.

Yang seorang lagi, badannya tinggi semampai, tanda cepat dan lentuk; rambut dan matanya hitam hidungnya sedang, bermisai dan berjanggut yang runcing dan kulitnya kuning, menyatakan ia bangsa anak Indonesia. Lain daripada itu adalah pula perbedaannya yang nyata benar kelihatan, yaitu air muka kedua mereka itu. Opsir barat itu, cahaya mukanya riang dan lucu; kelakuannya pun bersetujuan benar dengan air mukanya, karena selalu bersukacita dan berolok-olok, seolaholah tidak dikenalnya kedukaan hati dan kesusahan dunia, melainkan kesukaan dan keriangan itulah yang selalu diingat dan dipikirkannya.

Katanya, "Apa gunanya aku berdukacita, bila dapat bersukacita? Apa gunanya aku menangis bila dapat tertawa? Bukankah menangis itu menyedihkan hati dan sedih itu merusakkan badan? Tetapi tertawa menambah kesehatan tubuh. Apalah gunanya sejengkal, dipikirkan sampai sedepa? Bukankah lebih baik digulung, jadi pendek dan disimpul sampai mati? Apakah gunanya dipikirkan hal yang akan terjadi pada esok lusa, sebulan atau setahun lagi? Karena hal itu belum ada dan belum tentu. Jika terjadi juga, bagaimana nanti saja. Ada umur, ada rezeki. Dan lagi, apa faedahnya diingat juga sekalian yang telah lalu? Bukankah barang yang telah terjadi, tiada dapat diubah lagi, walau dikejar sekarang ini saja terjadi, tiada dapat diubah lagi, walau dikejar dengan kuda sembrani sekalipun? Tidakkah lebih baik hal yang sekarang ini saja yang dipikirkan dan dibuat seboleh-boleh, supaya menjadi hal yang dapat menyenangkan hati dan menyentosakan pikiran?"

Demikianlah pikir opsir putih itu. Segala kesusahan dan kemalangan tiada diindahkan dan dipikirkannya benar-benar melainkan kesukaan dan kesenangan itulah yang dicintainya.

Pikirannya ini benar juga, karena dalam pekerjaannya waktu itu di mana sekalian keperluan hidup telah ada, memang dapat ia berbuat sedemikian.

Sesungguhnya. tabiat yang semacam ini acap kali menyenangkan hati, menggemukkan badan dan memudakan rupa. Akan tetapi tiada sekalian orang dapat berbuat begitu.

Orang yang harus bekerja dahulu, baru mendapat sesuap nasi, susah akan meniru kelakuan yang sedemikian; kerena halnya, tiada seperti pada tentara; makanan, pakaian dan rumah tangga telah tersedia. Sungguhpun demikian, baik juga barang sesuatu itu dipikirkan dengan sempurna, karena: pikir itu pelita hati; asal jangan dilebih-lebih. Sebab pikiran yang banyak dan bercabangcabang, tiada dapat menyehatkan tubuh.

Jika dipandang muka opsir Bumiputra tadi, nyata kelihatan, bahwa ia tiada seriang temannya, bahkan pendiam, sebagai seorang yang telah tua fahamnya. Acap kali juga ia tersenyum, bila sahabatnya tadi berolok-olok tetapi pada air mukanya terang berbayang, bahwa ia seorang yang telah banyak menanggung azab sengsara dan senantiasa digoda oleh suatu kedudukan, yang tak dapat dilipur lagi.

Sungguhpun pada kedua mereka banyak yang sangat berbeda, tetapi ada juga yang bersamaan. Lain daripada pangkatnya, banyak tabiat dan kelakuannya yang sepadan, misalnya: baik, lurus daq rendah hati, lagi berani. Sifat-sifat yang sama inilah, yang mempertalikan mereka, sehingga jadi bersahabat karib. Walaupun percampuran keduanya baru enam bulan, tetapi tali silaturrahim antara mereka, telah sangat teguh, sebagai persahabatan yang sudah bertahuntahun lamanya.

"Alangkah baik hari ini! Segar rasanya badanku berjalan jalan." kata opsir Barat.

"Sungguh katamu itu, Yan," jawab opsir Bumiputra, "karena hari baru hujan, tiada terlalu lebat, sehingga lumpur tak ada, tetapi debu hilang. Ke mana kita berjalan-jalan?"

"Marilah kita ke setasiun kereta api dahulu, kemudian berputar lalu ke ruinah bola," jawab Letnan Yan Van Sta.

"Baiklah," jawab Letnan Bumiputra.

"Tadi pagi ke mana engkau pergi dengan serdadumu, Mas?" tanya Yan Van Sta.

"Menembak, ke padang pembedekan," jawab Letnan Mas.

"Siapa yang beroleh ros[1]?" tanya Van Sta pula.

"Ada beberapa orang: Vander Ha, de Kuip, Lewikawang, Mahutu, Suwoto dan Prawira," jawab Mas.

"Memang kudengar, mereka pandai benar menembak. Acap kali mendapat ros."

"Tangan dan hati mereka rupanya tetap, tiada gemetar, dan pemandangannya pun tajam. Itulah sifat-sifat yang terutama sekali bagi orang yang masuk golongan bala tentara.

Dengan serdadu sedemikian, mudali merampas benteng yang kukuh dan mengalahkan musuh yang kuat. Telah kurasai sendiri, tatkala aku di Aceh."

"Nah, kejadian itu nanti kuceritakan kepadaku, Mas! Banyak pendengaran, banyak pula pengetahuan. Itulah sebabnya maka aku tak putus-putus bertutur dan bercakap-cakap dengan engkau."

"Baiklah," jawab Mas dengan tersenyum. "Nanti, bila kita telah duduk bersenang-senang di rumah bola atau rumah sendiri! Tetapi cerita ini, hanya cerita peperangan yang biasa saja."

"Biar bagaimanapun biasanya, acap kali banyak juga pelajaran yang dapat dipetik dari dalamnya; terlebih-lebih bagiku yang baru datang ke Indonesia ini. Aku belum tahu adat dan peraturan orang di sini," kata Van Sta.

"Hai,dengan tiada kita ketahui, kita telah ada di setasiun.

Marilah kita masuk sebentar, sebab kebetulan ada kereta api yang hendak ke Bandung. Barangkali ada kupu-kupu Bandung, yang hendak pulang ke sarangnya," kata Van Sta pula, sambil tersenyum.

"Walaupun ada hendak kauapakan? Sebab ia dalam perjalanan. Masakan dapat dipegang, burung di udara'."jawab Mas.

"Dengan tangan tentu tidak, sebab tentulah tanganku harus berpuluh meter, panjangnya. Tetapi dengan pemegangnya, misalnya bedil atau jerat. Dan biar tak dapat memegangnya, melihat pun cukuplah. Mata pun hendak senang pula," jawab Van Sta.

Maka masuklah kedua mereka ke dalarn setasiun. Di sana seNungguuhnya kelihatan oleh mereka, seorang nona yang cantik parasnya, duduk seorang diri di kelas satu.

"Nah, apa kataku!" bisik Van Sta kepada Mas. "Memang tak salah sangkaku. Lihatlah olehmu bidadari yang duduk di kelas satu itu. Alangkah manis pemandangan matanya. Lihat! Ditentangnya aku. Matilah gua."

Ketika itu, berbunyilah lonceng tiga, dan tiada berapa saat kemudian, keluarlah kereta api dengan mengembus ke kiri ke kanan, dari setasiun Cimahi, menuju Bandung, diikuti dengan mata oleh Letnan Van Sta.

"Hai, Mas, bila kita pergi ke Bandung? Aku telah beberapa lamanya tiada tamasya ke sana," kata Van Sta dengan tibatiba, tatkala permainan matanya telah lenyap dari pemandangannya, seraya mengajak sahabatnya ke luar setasiun.

"Bila saja engkau suka, aku menurut" jawab Mas.

"Malam Ahad ini,' kata Van Sta pula.

"Baik," jawab Mas. "Tetapi Yan, mengapakah engkau tiada hendak beristri. Bukankah lebih baik beristri, daripada membujang sedemikian ini?"

"Aku beristri?" tanya Van Sta dengan tersenyum, sambil menunjuk dadanya. "Ha ha, ha! Yang akan menjadi istriku itu, belum ddahirkan lagi."

"Mengapakah begitu'? Masakan tak ada perempuan yang baik bagimu?" kata Mas.

"Jika aku mencari istri, bukan kecantikannya saja yang kupandang, tetapi yang terutama bagiku, ialah kelakuan dan kesayangannya kepadaku karena aku kawin, bukan sebab hendak berperempuan, tetapi sebab hendak beristri.

Perempuan mudah diperoleh, tetapi sukar didapat. Yang cantik banyak di jalan, yang baik susah dicari. Bagiku biar buruk, asal baik, biar bodoh asal pandai."

"Hai, hai! Apa pula artinya itu?" jawab Mas. "Masakan yang buruk itu boleh baik dan yang bodoh itu pandai pula. Ada-ada saja peribahasamu."

"Boleh, mengapa tidak? Sebab buruk dan baik itu hanya perkataan orang. Jika buruk dikatakan, menjadi buruklah ia, dan jika baik dikatakan, menjadi baiklah pula ia. Misalnya nona tadi, jika dibandingkan dengan orang yang cantik-cantik di Eropa, buruk kata kita; tetapi jika dibandingkan dengan orang Papua, amat cantik ia, kurang baik rupanya asal kelakuannya dan hatinya baik kepadaku; biar kurang pandai dalatu ilmu yang lain-lain, asal cakap mengurus aku dan anakku serta rumah tanggaku."

"Benar katamu itu, Yan. Pikiranku pun demikian pula," jawab Mas.

"Akan tetapi meskipun ada yang seperti itu waktu ini belumlah juga aku hendak kawin."

"Mengapa tidak?" tanya Mas.

"Kawin itu adalah suatu perkara yang penting, terlebihlebih bangsa Eropa; sebab kami terikat oleli beberapa perjanjian, sehingga tak mudah bercerai. Bila dapat yang sesungguhnya baik, sudahlah. Tetapi jika tidak, bagaimana?"

"Itulah gunanya bertunangan dahulu, supaya yang seorang kenal benar yang lain, bukan?"

"Benar, walaupun tiada selamanya memadai; karena terkadang-kadang dalam bertunangan itu, bukan kelakuan dan hati sejati, yang diperlihatkan, melainkan kedua-duanya bermain komidi, sehingga sesudah kawin, baharulah diketahui, bahwa mereka sama-sama tertipu. Akan tetapi yang menjadi alangan besar bagiku, ialah karena badan terikat, apalagi telah kawin; bukan untuk sementara, melainkan untuk hidup.

Sesungguhnya beristri itu ada kebaikannya, tetapi kejahatannya ada pula. Kebaikannya yaitu: kehidupan tetap, uang jika habis pun ada bekasnya, rumah tangga terpelihara, yang suka beranak, dapat beroleh anak akan penghiburkan hatinya. Istri yang baik, memang terlebih menyenangkan daripada menyusahkan suaminya. Tetapi kejahatannya yang amat sangat bagiku, yaitu kita tidak bebas lagi; segala kehendak hati tak dapat diturutkan. Terkadang-kadang harus minta izin pula kepada si nyonya, kalau hendak berbuat apaapa.

Dan jika dapat istri yang cemburu, sudah, rusuhlah negeri! Dan terikatlah kaki tangan."

"Tetapi, Yan, cemburu itu bukankah tanda cinta? Bila engkau tiada cinta kepada istrimu, masakan engkau cemburu? Tentu katamu: Biar diambil orang, aku tak perduli; kucari yang lain," kata Mas.

"Benar, tak salah katamu itu! Tetapi kalau terlalu cemburu, menjadi tak baik juga. Enakkah itu, apabila tak boleh berkatakata dengan atau melihat perempuan lain? Tak boleh berjalan ke rumah bola atau ke mana-mana?" '"Ah, kalau terlalu, tentulah menjadi buruk. Segala yang terlalu memang tak baik. Terlalu penuh melimpah, terlalu baik dipermainkan orang, kata pepatah Belanda."

"Benar, benar, benar! Itulah sebabnya, maka aku tak hendak beristri sekarang ini. Jika dapat istri yang sedemikian, celakalah aku. Bila aku telah tua kelak, hendak dikurung pun boleh, tetapi tatkala masih muda ini, masih cinta aku kepada kemerdekaan: tak hendak aku diikat-ikat perempuan. Bila telah puas membujang, biarlah terikat."

"Bila engkau telah tua, perempuan mana pula yang Ian suka mengikut engkau? Yang suka kepadamu pun barangkali tak ada lagi," kata Mas, sambil tertawa. "Tambahan pula, apabila engkau telah tua, tentu tak diikat lagi, sebab biasanya yang tua itu tak suka lari, karena kakinya telah lemah dan ia tak kuat berjalan lagi. Yang diikat itu, ialah yang muda, yang kakinya masih kuat akan melarikan dirinya..."

"Aha, itulah yang kusukai, Mas!" jawab Van Sta. "Makin lama, engkau makin riang. Barangkali tadi malam engkau dapat mimpi yang baik. Itulah yang sebaik-baiknya. Nyahkan segala waswas dan pikiran yang kusut, ganti dengan kesukaan! Turutlah fahamku, riang selama-lamanya. Hidup keriangan!"

"Sungguhpun dernikian, hidup sendiri-sendiri, bukanlah hidup sejati," kata Mas pula, sebagai tak mengindahkan kesukaan hati sahabatnya. "Sebab perempuan harus bersuami dan laki-laki harus beristri. Bukankah kewajiban sekalian makhluk yang hidup, mengembangkan bangsanya? Bagaimanakah akhirnya dunia ini, bila sekalian orang hendak hidup bebas, sebagai engkau?"

"Di tanah Eropah telah mulai banyak yang berbuat begitu," jawab Van Sta.

"Ya, tapi pikiran yang sebagai itu, tak hendak kawin seumur hidup, tak dapat kubenarkan. Bila ada sesuatu cacat di badan, misalnya penyakit atau celaan yang lain, sudahlah; tak mengapa.

Tetapi jika membujang itu, karena hendak menurutkan kesukaan hati saja, kurang baik. Bagaimanakah jadinya manusia itu kelak?"

"Jadinya, ialah laki-laki dan perempuan terlebih merdeka daripada sekarang ini dalam perkara perkawinan. Jika hendak berhubung atau bercerai dengan siapa pun, dapat pada sebilang waktu, dengan tiada ada alangan apa-apa, asal suka sama suka."

"Ya, itulah yang hendak kukatakan! Bukankah itu yang dinamakan percintaan rahasia atau percintaan b9bas, bukan? Yaitu perhubungan antara laki-laki dan perempuan, yang tiada dipertalikan oleh perkawinan? Perempuan tak tentu suaminya, laki-laki pun tak tentu istrinya; masing-masing hidup dengan kekasihnya. Bila telah jemu dengan yang seorang, dibuang, dicari pula yang lain. Dan anak yang dilahirkan, tak tentu bapanya. Wahai! Kalau begitu, akhirnya berbaliklah kita kepada zaman purbakala, tatkala manusia belum berpakaian, hidup biadab sebagai binatang."

Tatkala itu sampailah kedua letnan ini ke rumah bola, lalu duduk di luar, di tempat yang sunyi.

"Perhatikanlah dahulu. perbantahan kita ini," kata Van Sta,."dan katakan¬lah apa yang hendak kauminum?"

"Wiski soda," jawab Mas.

Van Sta lalu meminta dua gelas wiski soda kepada bujang iumah bola.

Sementara itu Letnan Mas mengeluarkan serutunya; sebatang diberikannya kepada sahabatnya dan sebatang diisapnya sendiri. Setelah datang minuman yang diminta mereka, rriin`umlah keduanya.

"Sebuah lagi yang tak dapat kubenarkan pikiran perempuan dewasa ini, yaitu hendak menjabat pekerjaan laki-laki dan bekerja sebagai laki-laki. Kalau sekalian perempuan berbuat demikian, apakah kelak akan pekerjaan laki-laki? Harus ke dapurkah mereka, mengurus rumah tangga dan menjaga anak? Berbalik hujan ke langit.

Bertambah besar bahayanya, karena kebanyakan orang yang memberi pekerjaan, suka memakai perempuan; sebab perempuan mau menerima gaji sedikit. Itulah suatu hal yang menambahkan perempuan tak suka bersuami. Pikirannya, apakah gunanya bersuami lagi, karena pendapatan telah cukup untuk kehidupan? Akan tetapi adakah benar pikiran ini? Kita hidup di atas dunia ini, tak boleh dengan mengingat keperluan diri sendiri saja, melainkan harus juga mengingat keperluan umum. Sebagai seorang laki-laki, harus mempunyai kewajiban atas anak dan istrinya, sehingga tak boleh membela dirinya sendiri saja, demikian pula tiap-tiap manusia, harus berkewajiban atas sesamanya manusia.

Pada sangkaku pikiran perempuan tadi salah. Apa gunanya perempuan menuntut kepandaian laki-laki dan memegang pekerjaan laki-laki? Bukankah sesuatu pekerjaan itu ada maksudnya? Dalam hal itu yang diutamakari ialah kehidupan dan kesenangan. Apabila maksud ini dapat diperoleh dari suami, apakah perlunya perempuan hendak mencari sendiri? Bukan aku cemburu dan dengki, perempuan akan sepandai laki-laki; tidak sekali-kali! Lebih dalam, lebih tinggi dan lebih banyak ilmu perempuan, lebih baik, asal jangan lupa ia akan kewajibannya yang asli."

"Apakah kewajibannya yang asli itu?" tanya Van Sta.

"Perkara anak, perkara rumah tangga dan perkara makanan."

"Benar, tetapi perempuan, lain pula katanya. Untuk menjaga rumah tangga ada bujang, untuk memasak ada juru masak, untuk menjahit ada tukang jahit, untuk menjaga anak ada babu, untuk mencuci ada tukang cuci dan untuk menjaga kebun ada tukang kebun. Masakah sekalian itu ia sendiri yang harus mengerjakannya?"

"Tentu tidak. Akan tetapi meskipun ada bujang, juru masak babu dan lain-lain, perempuan, harus juga faham dalam segala hal itu, karena sekalian orang-orangnya tadi sekadar pekerja, yang harus bekerja, yang akan mengatur dan memerintah, tentulah ia sendiri. Dapatkah didikan anaknya, diserahkannya kepada babunya yang bodoh itu? Lagi pula perkara berbujang, berjuru masak, berbabu itu, hanya dapat dilakukan oleh orang yang mampu saja, walau bangsa Eropah sekalipun. Jika tak dapat berbuat sedemikian, bagaimana? Ingatlah, manusia itu terlebih banyak yang miskin daripada yang kaya. Si laki-lakilah pula yang harus mengerjakan pekerjaan babu, juru masak, tukang kebun dan lain-lain itu, bila ia telah letih karena membanting tulang, pulang dari pekerjaannya? Dan apakah pekerjaan si perempuan? Menjadi bunga dalam rumah sajakah? Tak adil benar pembagian kerja yang seperti itu. Herankah kita, bila laki-laki yang kurang maju, kelak akan takut beristri dan berpikir pula, "Apakah faedahnya aku beristri, jika akan menambah susah badanku sendiri dan tiada dapat menolongku dalam kehidupanku sehari-hari? Lebih baik aku membujang, karena jika perempuan itu saja, banyak di jalan."

Kalau demikian, bukankah jadi bertambah dalam, jurang yang menceraikan laki-laki dengan perempuan.

Bila laki-laki itu kaya, seharusnyalah ia memenuhi segala keinginan istrinya dan haruslah ia menjadikan perempuan, putri dalam istana. Akan tetapi jika laki-laki itu sungguh tak cakap mengadakan sekalian permintaan istrinya, janganlah dipaksa. Keadaan suaminya harus ditimbang juga oleh perempuan. Jangan membuta tuli, mengingat yang senang untuk diri sendiri saja!"

"Ya, tetapi perempuan bersuami, karena hendak mendapat penghidupan dan kesenangan pula. Jika akan susah juga, apa gunanya bersuami? Lebih baik bekerja, mencari penghidupan sendiri," jawab Van Sta. '"Inilah yang hendak kukatakan. Pikiran semacam inilah yang tak boleh ada, baik pada laki-laki ataupun pada perempuan; sebab itulah tanda mereka hanya mengingat keperluan sendiri saja, tiada mengindahkan keperluan bersama. Kalau diteruskan peraturan yang begitu, tentulah akan bermusuh-musuhan suami dengan istri dan akhirnya akan terjadilah peperangan antara perempuan dengan lakilaki.

Itulah sebabnya maka aku sesungguhnya khawatir, kalau kepandaian segenapnya diturunkan kepada perempuan dengan tiada mengindahkan keadaan dan kewajiban perempuan. Sebab karena kepandian itu, bukannya menjadi benar, melainkan menjadi salah pikiran; misalnya tak dapat hidup cara biasa lagi, sebagai adatnya sediakala melainkan hendak hidup besar. Bercampur, dengan orang biasa saja tak dapat pula. Jika hendak bersuami, haruslah yang kaya atau yang berpangkat tinggi Tetapi sebab laki-laki itu, lebih-lebih pada bangsaku, belum banyak yang sedemikian, tentulah perempuan yang telah pandai itu akan lari kepada bangsa lain, umpamanya kepada bangsamu atau bangsa Cina, sehingga akhirnya akan hilanglah bangsa sendiri. Dan jika sekalian perempuan, yang telah terpelajar berbuat begitu apakah yang tinggal pada bangsanya sendiri dan bagaimanakah akhirnya bangsaku itu? Siapakah yang akan memajukannya lagi? Sesungguhnya tak baik perempuan atau laki-laki menaruh pikiran hendak hidup sendiri-sendiri, berebut-rebutan pekerjaan, atas mengatasi kepandaian dan bermusuhmusuhan dalam penghidupan, karena laki-laki dan perempuan itu satu, tak boleh bercerai, harus tolong-menolong. Laki-laki perlu kepada perempuan dan perempuan perlu pula kepada laki-laki. Bukankah telah dikatakan dalam bahasa Belanda: seia sekata itu mendatangkan kekuatan, akan tetapi perselisihan itu memecah belah tenaga. Peperangan kehidupan di atas dunia ini memang tak mudah. Apa gunanya diperbuat lagi dengan perselisihan antara perempuan dan lakilaki?"

"Memang, memang," jawab Van Sta, sambil meminum wiski sodanya.

"Ada lagi yang masih terasa di hatiku," kata Mas, setelah meminum wiskinya pula.

"Apa itu?"

"Yaitu tentang pelajaran anak perempuan bangsaku. Oleh sebab kewajiban perempuan memang tiada sama dengan kewajiban laki-laki, pada pikiranku tak perlu segala ilmu lakilaki dipelajari oleh perempuan. Laki-laki pun tak perlu pula mempelajari kepandaian perempuan, yang tak perlu baginya, misalnya ilmu menjahit atau memasak, kalau ia tiada harus menjadi tukang jahit atau tukang masak. Apa gunanya kepandaian insinyur dan hakim misalnya bagi perempuan? Bukankah lebih baik dipelajarinya kepandaian yang berguna baginya? Aku katakan sekalian itu kepadamu, Yan, sebab sesungguhnya hatiku khawatir perempuan Indonesia ini dengan buta tuli meniru segala aturan dan pikiran perempuan Eropah, dengan tiada menimbang baik-baik, sebenarnyakah berguna sekalian aturan dan pikiran itu bagi perempuan di sini? Pada pikiranku, tidak sekalian yang baik bagi perempuan Eropah, baik pula bagi perempuan Indonesia. Ada yang baik di sana, tak baik di sini dan kebalikannya ada yang berguna di sini tak berguna di sana. Yang sesungguhnya baik ambillah, tirulah dan pakailah!"

"Baiklah Mas! Sekalian pikiranmu telah kudengar, hanya ada suatu yang belum kuketahui. Tadi engkau suruh aku beristri dan kaucacat niatku hendak membujang, tapi mengapakah engkau sendiri tiada hendak beristri?"

Mendengar pertanyaan ini, terkejutlah Letnan Mas Wiski yang diangkatnya ke mulutnya, tiada jadi diminumnya, melainkan diletakkannya kembali, lalu termenunglah ia sejurus lamanya, tiada berkata-kata. Kemudian menunduklah ia dan tatkala itu jatuhlah setitik air mata kepangkuannya.

Van Sta sangat heran melihat kelakuan sahabatnya ini, karena tiada diketahuinya, apakah sebabnya ia tiba-tiba jadi demikian. Oleh sahabat itu bertanyalah ia, "Apakah sebabnya engkau sekonyong-konyong berdiam diri. Mas? Tak enakkah badanmu?"

"Bukan begitu," jawab Mas, seraya mengangkat kepalanya kembali. "Sudahlah, jangan kautanyakan lagi hal itu! Tak apaapa."

Sebab nyata oleh Van Sta, muka Mas sesungguhnya menjadi muram, karena mendengar pertanyaan tadi, tiadalah hendak dipanjangkannya perkara itu, lalu diputarnya haluan percakapannya.

"Telah sepuluh tahun lamanya aku masuk bala tentara, mulai di Aceh. Bagaimana ceritanya?"

"O, ya" jawab Mas. Sungguhpun dicobanya hendak melenyapkan muram durja yang terbayang di mukanya, tetapi tiadalah dapat, karena pikiran, yang menyebabkan ia bermuram durja, tiada hendak hilang dari kalbunya; adalah sebagai luka lama yang hampir sembuh, terbuka kembali.

"Hampir lupa aku akan janjiku itu. Dengarlah! Tetapi baiklah kumulai menceritakan halku dahulu supaya terang ceritanya ini. Hanya kuminta kepadamu, janganlah engkau gusar mendengar cerita ini, karena banyak mengandung kesedihan."

Dalam berkata-kata itu, rupanya muka Letnan Mas, makin lama makin bertambah muram, sehingga segala keriangan hatinya tadi, tiadalah kelihatan sedikit juga lagi.

"Pada mukaku tentu telah nyata kepadamu, aku ini bukan bangsa Eropah, melainkan anak Indonesia," demikian permulaan cerita Letnan Mas.

"Tadi engkau berjanji akan menceritakan peperanganmu dari serdadu sampai kepada pangkatku sekarang ini. Aku masuk jadi bala tentara ini bukan karena apa, hanya karena hendak ..." di situ terhenti Letnan Mas bercakap, sebagai tak dapat ia mengeluarkan perkataannya ..." mencari kematian."

"Apa katamu?" tanya Van Sta dengan takjub.

"Mencari kematian, kataku," jawab Mas dengan sedih.

"Tetapi sekarang, belumlah kuperoleh maksudku ini. Rupanya benar kata pepatah Melayu: sebelum ajal, berpantang mati.

Telah beberapa kali kucoba hendak mendapat maut, tetapi ada-ada saja alangannya, sehingga tak sampailah maksudku.

Barangkali belum boleh aku meninggalkan dunia ini, sebelum aku menyampaikan janjiku. Oleh sebab itu tawakal aku, sambil menunggu waktu itu. Ketika itulah kuketahui benar, bahwa manusia tak dapat berbuat sekehendak hatinya, jika tiada dengan gerak Tuhan. Berapa orang yang tiada hendak mati, karena takut atau karena masih perlu hidup, tetapi dicabut nyawanya. Tetapi aku ini yang beringin benar akan maut itu dan di atas dunia ini tiada berguna lagi, masih dipeliharakan.

Barangkali engkau tiada percaya ceritaku ini, dan bersangka, bahwa aku sangat percaya kepada segala takhyul.

Atau engkau berpikir, bila kutembak kepalaku, tentulah aku mati; tiada siapa dapat melarang. Itu pun telah kucoba, tetapi ada saja yang melepaskan aku dari bahaya. Lihatlah, ini tandanya di kepalaku, bahwa aku telah menembak kepalaku."

Lalu Letnan Mas memperlihatkan suatu tanda luka, pada kepalanya sebelah kanan.

"Pada suatu hari hendak kugantung diriku. Terlebih dahulu kuperiksa tali dan tiang tempat aku akan menggantung diriku itu, karena aku takut kalau-kalau tiada berhasil pula pekerjaanku. Rupanya tali dan tiang itu kuat; tetapi apakah sebabnya, tatkala aku tergantung di sana, tiang itu patah, roboh bersama-sama aku ke tanah, sehingga maksudku itu tiada sampai pula. Ketiga kalinya hendak kumakan racun.

Akan tetapi ketika gelas itu sampai ke mulutku, berbunyilah bedil musuh yang ditembakkannya kepadaku. Pelurunya melalui jendela kacaku dan menghancurkan gelas yang ada dalam tanganku. Keempat kalinya aku terjun ke dalam air, pada tempat yang kusangka sunyi. Tetapi mengapakah tiada kelihatan olehku, di sana ada orang mengail tersembunyi di tempat gelap! Si pengail itulah yang menolongku, tatkala aku akan tenggelam. Lain daripada itu membabi buta dalam peperangan. Itu pun tak juga menyampaikan hajatku, karena aku sampai sekarang belum mati, melainkan bintanglah yang diberikan kepadaku, sebab sangka orang, aku gagah berani dan dinaikkanlah pula pangkatku sampai menjadi letnan."

"Memang keberanaianmu dan hadiah yang kauperoleh dari Pemerintah, acap kali dipercakapkan orang."

"Bukan sebab keberanian dan kegagahanku, maka aku beroleh hadiah dan pangkat itu; hanya semata-mata karena untung. Kepadaku yang tiada beringin apa-apa lagi, diberikan pangkat dan hadiah ini.

Kepada orang lain yang bercinta akan anugerah itu, tiada diberikan bukan...? Sekarang tentulah maklum engkau, apa sebabnya aku tiada beristri.

Orang yang putus asa, sebagai aku tak boleh beristri.

Apakah jadinya kelak dengan anak dan istriku, bila kuperoleh keinginan hatiku tadi?"

"Tetapi siapa tahu, barangkali, dapat dilipur oleh anak dan istrimu."

"Tak boleh, tak boleh aku berbuat demikian! Karena aku telah bersumpah, selekas-lekasnya akan meninggalkan dunia ini."

Maka termenunglah pula Letnan Mas, sedang air matanya pun berlinang-linang kembali.

"Sangat ajaib ceritamu ini!" kata Van Sta dengan sangat sedih melihat hal temannya. Sebenarnya ingin hatinya hendak mengetahui, apa sebab sahabatnya ini, jadi putus asa sedemikian itu. Tetapi tiadalah berani ia bertanya, karena terasa olehnya, tentulah sebabnya itu sangat penting; barangkali melukakan hatinya pula, apabila disuruh menceritakan. Karena itu diputarnyalah haluan percakapan itu.

"Tetapi perkara peperangan itu, bagaimana pulakah?" tanya Van Sta akan membawa Mas dari kenang-kenangan yang menghancurkan hatinya.

"Ah, ya; kejadian itu belum juga lagi kuceritakan. Demikian riwayatnya. Akan tetapi ada suatu yang hendak kupinta kepadamu sebelum kita meninggalkan perkara yang sedih ini, yakni janganlah kaubukakan rahasiaku ini kepada orang lain.

Engkaulah baru sahabatku yang mengetahui halku ini."

"Masakan gila aku akan menceritakannya, bila tak boleh," jawab Van Sta.

"Dengarlah," kata Letnan Mas. "Pada suatu hari, tatkala aku di Aceh, dapatlah aku perintah pergi memeriksa beberapa kampung dekat Sigli, dengan tiga puluh orang serdadu marsose, karena kabarnya di sana banyak musuh membuat ribut, dikepalai oleh Teuku Putih. Penunjuk jalan kami, rupanya belum tahu benar jalan-jalan di sana; jadi sesatlah kami. Ketika hampir malam, belum juga dapat jalan pulang.

Kira-kira pukul tujuh malam bertemulah kami dengan bala tentara Teuku Putih, lebih kurang 150 orang banyaknya.

Mulamula sangkaku musuh tiada sebanyak itu, karena hari gelap, tak dapat ditaksir. Oleh sebab itu kukerahkanlah serdaduku ke muka, mengadang musuh, lalu berperanglah kami dengan bedil, amat ramainya. Belum berapa lamanya berperang, nyatalah kepadaku, bahwa kami telah tertutup dart muka, kiri dan kanan. Sejurus kemudian, terdengar bunyi bedil dari belakang.

Tatkala diketahui oleh serdaduku, bahwa kami telah tertutup gemparlah mereka, karena tak tahu, apa hendak diperbuatnya. Ada yang hendak lari, ada yang tak mau mendengar perintah lagi. Hanya adalah kira-kira sepuluh orang yang masih setia kepadaku. Kataku kepada serdaduku yang sepuluh itu, "Jangan alang kepalang! Jika akan mati pun, biarlah karena berkelahi, jangan karena diazab musuh dalam tawanan. Sandang bedilmu dan cabutlah kelewangmu, maju ke muka, sambil tertempik. Hanya satu jalan yang dapat menolong kita, yaitu keluar dari lingkungan musuh ini."

"Baiklah," jawab sekalian serdadu yang setia itu, lalu bertempiklah kami, menyerukan diri dengan kelewang, kepada musuh yang di muka. Mujur! Sekalian serdadu yang telah kehilangan akal tadi menurut pula, sehingga pecahlah perang musuh di muka, undur ke kiri ke kanan.

Tatkala kami akan lari, kudengar musuh berteriak, "Kafir hitam, Mas! Kafir hitam, Mas!"

Rupanya telah dikenalnya namaku. Lagi pula dalam peperangan itu Teuku Putih kena kelewang serdaduku. Oleh sebab itu undurlah musuh selangkah-selangkah, sehingga akhirnya tiada kedengaran lagi suara bedilnya. Sesudah berperang, kuhitunglah serdaduku; tinggal 16 orang yang masih dapat berkelahi. Dan yang 14 orang lagi 10 orang mati dan 4 orang luka parah. Aku dengan beberapa serdadu yang setia tadi luka juga, tetapi tiada berbahaya. Karena aku khawatir akan diserang musuh pula, berikhtiarlah aku hendak pulang, tetapi tak tahu jalan. Kebetulan di antara orang Aceh yang tinggal di sana, ada seorang yang luka kakinya, tak dapat lari. Aku tanyakanlah kepadanya ke mana jalan pulang serta berjanji akan memberi hadiah kepadanya, bila ia berkata benar, dan akan menderanya, bila ia berbuat bohong. Orang itu mau mengabulkan permintaanku itu, asal aku menetapi janjiku.

Setelah kuperiksa benar-benar sekalian serdadu yang telah rubuh itu dan nyata sesungguhnya mereka telah mati, barulah aku pulang. Keempat serdadu yang luka tadi, kami usunglah berganti-ganti.

Tiada lama berjalan itu, sampailah kami ke jalan yang kami kenal dan tiada berapa lamanya kemudian daripada itu, sampailah kami ke kota.

Orang Aceh yang luka tadi kuberi hadiah duit dan kulepaskan di jalan, atas permintaannya. Ada juga kutanyakan kepadanya di mana tempat Teuku Putih, tetapi katanya ia tiada tahu, sebab pada sangkanya Teuku itu tak bertempat diam yang tetap, melainkan mengembara selama-lamanya.

Tatkala hampir sampai ke kota berhentilah kami sejurus, dan kukatakanlah kepada serdadu yang hendak lari tadi, sekali itu kuberi maaf kelakuan mereka, tetapi bila kemudian hari diperbuatnya pula sedemikian, takkan tiada kubedil atau kutuntut mereka. Sekali itu dengan sengaja hendak kuperlihatkan kepada mereka, bahwa dalam hal terdesak dan terkepung, hanya hati yang tetap dan pikiran yang terang itulah, yang acap kali dapat menolong. Sekalian mereka minta ampun dan bersumpah, tiada lagi akan berbuat demikian.

Di Sigli itulah gelasku dibedil musuh, sebagai kuceritakan tadi."

"Sesungguhnya hulubalang itu harus tetap hatinya; tak boleh lekas hilang akal," kata Van Sta.

"Memang! Sekarang hendak minum apa lagi engkau? Karena aku ingin segelas bir?"

"Aku pun bir pula."

Setelah datang bir ini, minumlah pula kedua mereka.

"Rupanya orang Aceh kenal kepadamu," kata Van Sta.

"Barangkali. Sebab aku acap kali beruntung dalam peperangan, disangkanya aku berilmu, tak dapat dikalahkan."

"Memang, mereka itu sangat percaya kepada takhyul.".

"Yang kedua di Lhokseumawe," kata Letnan Mas menyambung ceritanya. Akan tetapi waktu itu kelihatan seorang serdadu datang tergopoh-gopoh kepada mereka.

Sesudah memberi hormat, lalu diunjukkannya sepucuk surat kepada kedua letnan itu. Setelah dibaca Letnan Mas surat ini, diunjukkannyalah kepada sahabatnya sambil berkata, "Mengapa-kah Tuan Kapitan menyuruh datang kita dengan segera? Ayuh, marilah kita berangkat bangat-bangat!"

Sesudah dibayarnya harga minuman tadi, berjalanlah mereka ke rumah Kapitan yang memanggilnya. Baru sampai mereka ke sana, Kapitan itu berkata, "Mas dan Van Sta, aku dapat perintah menyuruh kamu kedua bersama-sama serdadurnu, segera berangkat ke Padang. Esok hari juga kamu harus berangkat dari sini ke Jakarta dan dari sana bersamasama bala tentara dari tempat lain-lain, dengan kapal, ke Padang; karena di sana telah timbul perusuhan, perkara belasting. Beritahulah sekalian serdadumu, supaya mereka bersiap malam ini juga. Aku harap engkau di sana akan beruntung pula, sebagai sedia kala," kata Kapitan itu kepada Letnan Mas, sambil menjabat tangannya. "Dan engkau, Van Sta, supaya pulang dengan kemenangan." katanya kepada Van Sta, seraya bersalam pula. "Selamat jalan!"

"Terima kasih Kapitan," jawab kedua letnan ini, lalu keluar dan berjalan menuju tangsinya, akan mengabarkan perintah itu kepada sekalian serdadunya.

Serdadu-serdadu ini gempar semalam-malaman, karena bersiap tergesa-gesa.

"Sekarang aku dapat berperang bersama-sama dengan engkau dan dapat belajar padamu," kata Van Sta kepada Letnan Mas. Akan tetapi perkataan ini tiada didengar oleh Letnan Mas, sebagai ia sedang memikirkan sesuatu hal yang penting.

Semalam-malaman itu Letnan Mas tiada dapat tidur.

Apakah sebabnya? Takutlah ia pergi berperang ke Padang? Mustahil! Letnan Mas yang telah termasyhur gagah beraninya dan telah berpuluh kali berperang, selamanya mendapat kemenangan. Letnan yang tiada takut, melainkan beringin mati itu, tak boleh jadi 'kan menaruh gentar. Sungguhpun demikian, pucat mukanya dan gemetar tangannya, sampai jauh malam, belum hendak hilang.

Karena tak dapat tidur, berjalan-jalanlah ia bolak-balik dalam rumahnya; kemudian duduk di atas kursi, sudah itu berdiri pula seraya berpikir, sebagai sebenarnya ia takut berperang, sekali itu. Dengarlah apa katanya! "Belum cukup jugakah azabku, setelah disiksa sedemikian ini? Sudahlah kesengsaraanku sendiri tak dapat kutanggung rasanya, sekarang disuruh pula aku membunuh bangsaku.

Berapa yang telah jatuh karena senjataku, berapa yang binasa karena tanganku, berapa ibu yang kehilangan anaknya, berapa perempuan yang kematian suaminya dan kanak-kanak yang ditinggalkan bapanya. Berapa kaum yang bercerai, terbuang dan terhukum dan lumbung yang roboh dan terbakar, kampung dan desa yang binasa, karena tugasku.

Bilakah aku dapat berhenti dari pekerjaan jahanam ini dan menjadi algojo bangsaku sendiri? Sesungguhnya untung yang sebagai untungku ini, agaknya tak adalah bandingannya dalam dunia ini. Dan apa sebabnya? Apa dosaku maka diazab sedemikian ini? Mereka yang tiada tahu akan nasibku, barangkali menyangka, bahwa aku gemar akan pekerjaanku sekarang ini. Tetapi hanya Tuhanlah yang tahu, betapa hancur hatiku, melihat berpuluh-puluh perempuan menjadi janda, berpuluh kanak-kanak menjadi yatim, beratus nyawa yang melayang, beratus laki-laki remaja menjadi daif, karena kehilangan kaki atau tangan atau bagian badannya yang lain; beratus rumah yang roboh dan terbakar, berpuluh kampung dan desa yang rusak binasa dan beberapa pula harta yang dirampas. Akan tetapi apa hendak kukatakan? Sebab aku terpaksa berbuat sedemikian, untuk mendapat kematianku.

Mengapakah sampai sekarang belum juga kuperoleh keinginan hatiku ini? Mengapakah nyawaku ini belum juga dicabut? Masih saja aku dipelihara! Belumkah juga habis hukumanku? Kini aku bukan disuruh membunuh bangsaku saja lagi, tetapi disuruh pula membunuh kaum keluarga, sahabat kenalanku sendiri.

Ya Allah, ya Rabbi! Belumkah juga sampai waktunya hamba-Mu ini akan dilepaskan dari kesengsaraan ini? Berapa lamakah lagi hamba-Mu harus bernanti?"

Setelah ia berkata demikian itu, sebagai terdengarlah olehnya suara berkata dalam hatinya, "Sekarang inilah, akan dapat disampaikan keinginan hatimu itu. Sekarang inilah, akan terlepas engkau dari azabmu dan sekarang inilah akan dapat engkau bercampur kembali dengan sekalian mereka yang kaucintai!"

Maka terperanjatlah Letnan Mas mendengar jawaban ini, dan berdebar-debar hatinya, karena pikirannya, "Benarkah suara yang kudengar itu atau pikiranku pulakah yang tiada sempurna?"

Kemudian duduklah ia di atas sebuah kursi, lalu termenung memikirkan perkataan yang timbul dalam hatinya tadi.

Sekalian kesengsaraannya, sejak dari mulanya sampai kepada waktu itu, terbayanglah pula di mukanya. Dalam pada itu terlalailah ia dengan tiada diketahuinya, lalu tertidur di atas kursi ini.

Akan tetapi tiada berapa lamanya kemudian, terperanjatlah ia bangun mendengar bunyi selompret, karena hari telah pukul setengah enam pagi. Dengan segera berdirilah ia, lalu menyuruh bawa sekalian perkakasnya ke setasiun, dan setelah ia membasuh mukanya dan minum kopi secangkir, berjalanlah ia ke tangsi.

Tiada beberapa lamanya kemudian, berangkatlah kereta api yang membawa mereka, nienuju kota Jakarta.

  1. Pusat pembedekan (alamat).