Sitti Nurbaya/Bab 13

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

XIII. Samsulbahri Membunuh Diri[sunting]

"Arifin, aku belum menceritakan penglihatanku tadi malam, kepadamu bukan?" kata Samsulbahri kepada sahabatnya, pada keesokan harinya daripada malam Nurbaya kena racun, kira-kira pukul dua siang, tatkala mereka itu pulang dari rumah tempatnya membayar makan.

"Penglihatan apa, Sam?" tanya Arifin.

"Ajaib benar! Sampai kepada waktu ini belum habis kupikirkan, karena belum juga kuketahui, apa itu dan apa maksudnya?"

"Cobalah ceritakan; " kata Arifin pula.

"Sebagai biasa," kata Samsu, "pukul sepuluh malam, pergilah aku tidur. Kira-kira pukul dua belas dengan tiada kuketahui apa sebabnya, tiba-tiba terbangunlah aku dengan terperanjat, seperti ada yang membangunkan. Tatkala kubuka mataku, kelihatan olehku dekat meja tulisku, sesuatu bayangbayang putih, berdiri di belakang kursiku. Sangatlah terperanjat aku, ketika melihat bayang-bayang itu, sebab pada sangkaku, ia pencuri atau penjahat, yang telah masuk ke dalam bilikku."

"Tetapi kalau pencuri atau penjahat, mengapakah berpakaian putih?" kata Arifin.

"Itulah sebabnya maka terpikir pula olehku, barangkali aku bermimpi; lalu kupijitlah pahaku, beberapa kali. Akan tetapi, tatkala telah nyata benar kepadaku, bahwa aku tiada tidur lagi, barang yang putih itu masih kelihatan juga."

"Barangkali pemandangan tiada benar," kata Arifin, yang belum hendak percaya akan cerita sahabatnya ini.

"Oleh sebab itu, kugosoklah mataku beberapa lamanya; tetapi yang putih itu tak hendak hilang."

"Barangkali engkau takut. atau tatkala hendak tidur, banyak mengingat perkara setan dan hantu; jadi segala yang kaulihat, rupanya sebagai setan," sahut Arifin pula.

"Engkau tahu sendiri, Arifin, aku tiada penakut kepada segala yang demikian. Lagi pula, tatkala baru saja kubuka mataku, telah kelihatan bayang-bayang yang putih itu olehku.

Betapa orang yang baru bangun tidur akan takut, jika ia tiada bermimpi yang dahsyat!"

"Bagaimana bentuknya?" tanya Arifin, yang rupanya mulai percaya akan cerita Samsu ini.

"Sebagai manusia, berkepala, berbadan, bertangan, dan berkaki," sahut Samsu, "serta memakai pakaian sutera putih, yang jarang."

"Sebagai manusia?" tanya Arifin yang mulai berasa takut, walaupun hari pada waktu itu pukul dua siang dan orang penuh di jalan besar. "Hih! Seram buluku mendengar ceritamu:"

"Sesungguhnya," jawab Samsu. "Melihat hal yang ajaib ini, meskipun berapa beraniku, berdebar juga hatiku dan sejurus lamanya, tiadalah tahu aku, apa yang hendak kuperbuat.

Hendak berteriak, malu rasanya. Lagi pula suaraku tak hendak keluar, sebagai dicekik orang. Hendak berdiri, badan dan kaki berat rasanya. Dibiarkan saja, takut kalau-kalau dianiaya aku.

Walaupun kuberanikan hatiku, badanku serasa kembang dan punggungku sebagai terkena air dingin."

"Sudah itu?" tanya Arifin, yang makin bertambah-tambah takut.

"Tatkala kuamat-amati benar bayang-bayang yang putih itu, kelihatanlah mukanya seperti muka Nurbaya."

"Nurbaya?" tanya Arifin dengan heran.

"Ya, tak ada ubahnya; hanya wajah mukanya pucat sedikit.

Sebab itu meskipun hatiku masih khawatir, dapatlah juga kuberanikan diriku, akan mengeluarkan perkataan, lalu bertanya, "Siapa ini? "Dan apa jawabnya?" tanya Arifin dengan lekas.

"Tak ada apa-apa. la diam saja dan tiada pula bergerakgerak dari tempatnya."

"Kemudian?" tanya Arifin pula.

"Kemudian melumpatlah aku, hendak mengambil pestolku dari dalam lemari dan sudah itu, hendak kudekati dia. Tetapi tatkala itu juga hilanglah bayang-bayang itu; entah ke mana perginya tiada kuketahui."

"Betul berani benar engkau," kata Arifin.

"Tatkala itu datanglah takutku dan menolehlah aku ke segenap tempat kalau-kalau dicekiknya aku dari belakang.

Tetapi tak kelihatan suatu apa lagi. Lalu kupasanglah lampu dan kuambil pestolku dari dalam lemari. Ketika itu barulah berani aku memeriksa ke sana kemari, ke bawah tempat tidur, ke bawah meja dan ke belakang lemari, tetapi suatu pun tiada kelihatan, sedang jendela dan pintu pun masih terkunci."

"Jika aku bertemu yang sedemikian, tentulah aku menjerit minta tolong, kalau masih dapat, berteriak. Kalau tiada tentulah aku akan kaku di sana juga, karena ketakutan."

"Setelah kututup lampu itu dengan kertas, supaya terangnya jangan kelihatan dari luar dan kutaruh pestolku di bawah bantalku, berbaringlah pula aku. Tetapi sesudah itu tiadalah dapat aku tidur lagi; pertama karena takut akan didatanginya kembali dalam tidurku, kedua sebab memikirkan penglihatan yang ajaib itu. Apakah itu dan apakah takbir! Itulah setan atau hantu!"

"Tetapi kalau hantu, mengapakah rupanya seroman dengan Nurbaya? Yang menjadi hantu itu, bukankah orang yang telah mati, kata orang?" jawab Arifin.

"Sesungguhnya, seumur hidupku, baru sekali itu aku melihat bayang-bayang yang sedemikian," jawab Samsu, yang sekali-kali tiada mengira, bahwa Nurbaya telah mati. "Bukan mimpi tetapi sebenar-benarnya penglihatan itu."

"Sungguh ajaib penglihatanmu itu. Tetapi kuharap janganlah aku sampai bertemu dengan penglihatan yang serupa itu; takut dapat celaka."

"Karena tak dapat tidur lagi, terkenanglah aku akan Nurbaya dan ibuku, negeri dan kampung halaman kita, serta timbullah hasrat yang amat sangat dalam hatiku, hendak pulang menemui mereka sekalian dan menyesallah aku, tiada dapat pergi mengantarkan Nurbaya pulang ke Padang, barubaru ini. Belum pernah keinginan hatiku hendak pulang sekeras tadi malam. Di mukaku terbayang pula segala kesukaan dan kesusahan, yang telah kurasai, sejak kita berjalan jalan ke gunung Padang. Makin kuingat Nurbaya, makin khawatir hatiku dan makin terasa pula olehku alpa dan lengahku, melepaskan dia seorang diri, kembali ke dalam mulut harimau itu. Terkadang-kadang khawatir hatiku itu menimbulkan perasaan, sebagai benar Nurbaya mendapat celaka pula."

"Ah, masakan begitu! Tak berapa lama lagi, tentulah ia pula di sini. Jika tiada, baik kaujemput saja; perkaranya tentulah telah selesai," jawab Arifin.

"Maksudku pun demikian juga. Kalau hari Sabtu yang akan datang ini belum juga ia sampai kemari, tentulah akan kujemput sendiri ia ke Padang."

Dengan bercakap-cakap demikian, tibalah kedua mereka di rumah Sekolah Dokter Jawa, lalu terus menuju bilik masingmasing. Sejurus kemudian daripada itu, datanglah seorang opas pos membawa dua helai surat kawat, untuk Samsulbahri. Ditanyakannya kepada Arifin, di mana Samsulbahri, lalu ditunjukkanlah oleh Arifin bilik sahabatnya ini.

Tatkala Arifin, setengah jam sesudah itu, pergi ke bilik Samsu, hendak menanyakan surat kawat apakah yang diterimanya tadi dua sekali, kelihatan olehnya pintu dan jendela bilik itu telah tertutup. Pada sangkanya, Samsu tentulah telah tidur, untuk melepaskan kantuknya, karena kurang tidur malam. Oleh sebab ia tiada hendak mengganggu sahabatnya itu, ditunggunyalah sampai Samsu bangun kembali.

Maksud Samsu sebelum menerima kedua surat kawat tadi, sesungguhnya hendak pergi gidur; jendelanya pun telah ditutupnya. Setelah diterimanya surat itu, ditutupnyalah pula pintunya, karena hendak membaca kabar itu seorang diri; lebih-lebih, karena kedua surat kawat itu sangat memberi khawatir hatinya.

"Dari siapakah kabar kawat ini, dan bagaimanakah bunyinya?" katanya dalam hatinya. "O, barangkali dari Nurbaya, memberi tahu ia akan datang kemari.

"Tetapi yang sebuah lagi, dari siapa pula?" Demikianlah pertanyaan yang timbul dalam hatinya.

Sambil berpikir-pikir demikian, dibukanyalah kedua surat kawat itu dengan tangan yang gemetar. Setelah dibacanya kedua surat itu, jatuhlah ia pingsan, tiada khabarkan dirinya, sebab kedua surat itulah yang membawa kabar kematian Nurbaya dan ibunya.

Berapa lamanya ia terbaring pingsan itu, tiadalah diketahuinya. Ketika ia sadarkan dirinya pula, adalah halnya seperti seorang yang gila, tak dapat berpikir dan berkata-kata.

Menangis pun tiada kuasa, sebagai tak berair lagi matanya.

Sesudah termenung sejurus lamanya, diambilnya kertas, dan kalam, lalu ditulisnya sepucuk surat kepada ayahnya.

Begini bunyinya: Jakarta, 13 Juli 1879.

Paduka Ayahanda! Sebelum ananda menuliskan maksud ananda dan mencurahkan segala yang terasa di hati ananda kepada Ayahanda dalam surat ini, terlebih dahulu ananda memohonkan ampun beribu-ribu ampun ke bawah ribaan Ayahanda, atas kesalahan ananda yang telah ananda perbuat dahulu dan kesalahan ananda sekarang ini, karena telah berani memanggil Ayah pula kepada Ayahanda, walaupun Ayahanda tiada sudi lagi mengaku anak kepada ananda.

Ananda maklum, tentulah sangat susah bagi Ayahanda, seorang yang berbangsa dan berpangkat tinggi, akan menarik surut perkataan yang telah terlanjur. Tetapi sebab permintaan ini, ialah permintaan yang penghabisan bagi ananda, permintaan seorang yang tiada lama lagi akan hidup di dunia ini, seorang yang akan segera meninggalkan negeri yang fana ini dan pada penghabisan umurnya, tiada lain pengharapannya, hanya akan beroleh ampun dan maaf dari ayahbunda, sanak saudara dan kaum kerabatnya, maka besar gunung kata orang, tetapi lebih besarlah lagi pengharapan ananda, supaya permintaan ananda ini, Ayahanda kabulkan juga.

Bukankah orang yang akan dihukum mati itu, diturut kehendaknya dan diberi permintaannya yang akhir? Sekali inilah lagi ananda akan meminta kepada Ayahanda dan sekali inilah pula lagi, Ayahanda akan meluluskan permintaan ananda; karena bilamana Ayahanda membaca surat ini, lamalah sudah ananda tiada dalam dunia ini, melainkan telah sujud ke hadirat Tuhan rabbulalamin, akan memohonkan ampun ata!O sekalian dosa ananda yang amat besar itu; karena rupanya dalam dunia yang fana ini, tiadalah boleh ananda mendapat ampun itu, meskipun ananda telah mengaku kesalahan ananda dan telah pula mendapat hukuman yang berat.

Ayahanda, mengapakah begitu hal dunia ini? Mengapakah ananda tiada boleh mendapat keadilan? Bukankah ananda ini manusia juga, sebagai orang lain'? Bukankah manusia itu bersifat lupa, berhati lemah dan berfikir yang tiada tetap? Hanya Allah yang bersifat kadim? Bukankah manusia itu suatu maliluk yang tiada boleh berbuat sekehendak hatinya, bila tiada dengan izin Tuhan Yang Maha Kuasa? Bukankah nasib manusia itu tak dapat dibuat-buat, karena sekalian itu telah terdaftar di lauhmahfut dan sudah dijanjikan, sebelum dilahirkan ke dunia? Dan bukankah tiaptiap kesalahan itu, walau bagaimanapun besarnya, ada juga ampunannya? Akan tetapi mengapakah dunia ini tiada menimbang dengan adil, melainkan melemparkan segala kesalahan kepada ananda? Meskipun ananda insyaf dan mengaku sekalian kesalahan itu, tetapi bukan ampunan atau hukuman yang enteng yang ananda peroleh, melainkan sebagai ditambah siksaan yang diberikan kepada ananda.

Sesungguhnya kesalahan ananda itu, bukanlah suatu kesalahan yang ringan, melainkan kesalahan yang memberi aib nama ayah-bunda, kaum keluarga dan kampung halaman serta mendatangkan duka nestapa kepada beberapa manusia, memutusasakan beberapa orang, tetapi seharusnyalah hakim yang adil, mendengarkan kedua belah pihak dan tidak menuduh sebelah pihak saja.

Jangankan hati manusia yang memang lemah dan lembut, sedangkan batu yang keras, dapat juga ditembus air yang lunak, apabila selalu ia jatuh bertitik-titik ke atasnya.

Bukankah besi keras, tetapi mengapakah dapat juga ia ditajamkan dengan batu yang rapuh? Dan apakah yang lebih keras daripada intan? Tetapi dapat juga ia diasah. Apalagi ananda, seorang laki-laki muda, yang memang bersifat mudah jatuh ke dalam jaring yang sedemikian; bagaimana dapat menahan hati? Tambahan pula memanglah hati ananda yang lemah itu, tak dapat melihat kesusahan dan kesengsaraan atau kelaliman orang; terlebih-lebih bila yang teraniaya itu teman ananda sendiri, kawan bermain dari kecil, sahabat yang lebih daripada saudara kandung. Bagaimana dapat ananda membiarkan teraniaya? Bukannya pula ananda akan menjatuhkan segala kesalahan ke atas Nurbaya, sekali-kali tidak. Memang ananda merasa, bahwa hati Nurbaya telah lama tersangkut pada ananda, dan pada sangka ananda pun takkan tiada, tentu ialah kelak yang akan menjadi istri ananda. Pada pikiran ananda, persangkaan ini bukanlah pada ananda saja adanya, tetapi pada Ayahanda dan sekalian mereka yang kenal akan kami pun, tentulah ada pula. Sekarang bolehkah kita berkecil hati atau marah, apabila seekor burung yang telah dipelihara itu, meskipun dengan pemeliharaan yang sempurna sekalipun, diberi sangkar yang bagus, makanan dan minuman yang cukup, pada suata hari, tatkala ia dilepaskan, terus terbang kembali ke tempatnya asli, ke dalam hutan? Bukankah, kesenangan dan kesentosa• an itu tiada selamanya disebabkan oleh uang atau harta? Bukankah terkadang-kadang seorang kuli, boleh merasa lebih senang dan sentosa daripada seorang raja; Bagaimanakah boleh disalahkan perbuatan seorang yang telah putus asa, sebagai Nurbaya waktu itu, karena melihat maksud dait keinginannya, yang sejak dari kecil telah diidamkannya, tiba-tiba dengan paksa dihilangkan orang, sehingga tak dapat berharap lagi? Orang yang mendapat kecelakaan amat sangat, sehingga terpaksa menjalankan pekerjaan yang terlebih ditakutinya daripada mati, pikirannya tiadalah benar lagi dan segala perbuatannya tak dapat disalahkan. Herankah kita, bila seorang yang teramat dahaga, tak berpikir panjang lagi dan tak mengindahkan segala kesengsaraan yang akan diperolehnya kelak, karena perbuatannya, tetapi dengan segera meminum air telaga, yang baru dijumpainya? Jadi siapakah yang salah dalam hal ini? Nurbaya? Tidak! Ananda? Tidak! Tiada seorang pun jua; sebab masing-masing sekadar menurut jalan yang telah tentu, yang akan ditempuhnya juga. Datuk Meringgih sekalipun tak boleh disesali pula, sebab ia sekadar mengerjakan yang lazim dijalankan di tanah air kita. Walaupun ia telah memaksa Nurbaya, dengan jalan yang keji dan mempergunakan berbagai tipu muslihat untuk menyampaikan sekalian maksudnya yang keji, tak juga boleh disalahkan; karena ia tak tahu kepada yang baik. Pada sangkanya tiada jahat perbuatannya itu.

Apakah gunanya uangnya yang sebanyak itu, kalau harta itu tiada akan dapat menyampaikan segala maksudnya, walau yang hina sebagaimana jua pun? Apakah pedulinya kesusahan orang lain, putusnya pengharapan orang, karena kelakuannya, kesengsaraan orang, karena perbuatannya, asal ia dapat beroleh kesenangan dan dapat melepaskan hawa nafsunya? Bukankah sekalian orang berbuat demikian? Jangankan manusia, sedangkan hewan yang hina, lagi berbuat begitu.

Bukankah sekalian maliluk di atas dunia ini kerjanya selalu bunuhmembunuh, celaka-mencelakakan, untuk membela dirinya sendiri? Mengapakah Datuk Meringgih tak boleh berbuat sedemikian? Terlebih-lebih pula kepada perempuan, yang memang di mata bangsa kita, bukan manusia, melainkan boneka bernyawa, yang harus menurut segala kemauan suaminya dengan tiada boleh berpikir., berkata, melihat, mendengar, mencium dan merasai. Disuruh bekerja, haruslah bekerja, jika disuruh sakit, haruslah sakit dan jika disutuh mati sekalipun haruslah mati. Tentu, sebab budak namanya, boleh diperbuat sesuka hati.

Jadi apakah salahnya, jika laki-laki yang telah putih rambutnya, telah habis giginya, telah bungkuk punggungnya, karena tuanya, dikawinkan dengan seorang perawan yang sebaya dengan cucunya'? Dan apakah alangannya, jika lakilaki itu beristri lebih daripada seorang? Lihatlah ayam jantan! Betinanya pun lebih pada seekor. Kalau seekor binatang boleh berbuat sedemikian, mengapakah manusia yang terlebih mulia, terlebih berkuasa, terlebih cerdik dan pandai, tak boleh berbuat sebagai binatang itu? Tentu saja boleh, seharusnya lebih dari itu. Jika diberikan kepada seekor bapa kuda, sepuluh atau dua puluh kuda betina, menurut perbandingan, masih kurang, jika diizinkan kepada manusia beristri sampai seratus dua ratus sekalipun."

Samsu berhenti sejurus menyurat, untuk menahan hatinya yang geram. Tak puas ia, sebab segala yang terasa dalam hatinya waktu itu hanya dapat dituliskannya dalam surat itu saja: itu pun tiada pula sempurna. Kemudian diteruskanyalah menulis surat itu: Supaya surat ini jangan terlalu panjang, baiklah ananda ceritakan penanggungan ananda, sejak ananda tiada berbapa lagi. Hukuman dan deraan, azab dan sengsara yang telah ananda rasai, tak dapat ananda uraikan dengan secukupnya dalam surat ini. Sejak ananda menjadi yatim, tiada berayah berkaum keluarga, tiada berkampung berhalaman dan tiada berumah bertanah air, sampai kepada waktu ini, belumlah ananda merasai kesenangan. Setiap waktu pikiran digoda sesal yang tak putus dan kenang-kenangan yang dahsyat.

Pada siang hari terbayang-bayanglah di mata ananda segala kelakuan ananda yang keji itu; adalah sebagai hal itu baru terjadi. Muka Ayahanda yang murka, nyata kelihatan; suara Ayahanda yang garang, nyata terdengar oleh ananda sehingga kecutlah hati dan seramlah bulu ananda, seperti seorang yang akan dihukum gantung.

Apabila telah hilanglah penglihatan dan pendengaran ini, terbayanglah pula muka Bunda ananda yang sangat berdukacita, karena putus asa: bagai sampan hilang pengayuh, bagai ayam hilang induknya. Pada mukanya itu nyata tergambar, betapa sedih dan sesal hatinya, melihat anak kandungnya, yang sebiji mata, buah hatinya, tempat pengharapannya berkumpul, mendapat mara bahaya yang amat besar, sehingga luput dari matanya. Hancur luluh hati ananda melihat kesedihannya, yang tak dapat ananda lipur. .

Setelah itu berdirilah pula di muka ananda sekalian kaum keluarga, yang memandang ananda dengan benci dan merengut, sebagai melihat seekor anjing yang mencuri tulang.

Penglihatan yang sedemikian, sangatlah memberi malu ananda, sehingga hampirlah tak berani ananda memperlihatkan diri.

Pada malam hari, bertukarlah kenang-kenangan dan ingatan tadi dengan mimpi yang dalisyat. Sekalian hal yang telah terjadi, melintas kembali, sebagai sebenarnya terjadi pula sekali lagi. Rasanya Datuk Meringgih datang membawa sebilah pedang yang terhunus, hendak memancung leher ananda. Oleh sebab itu, berteriaklah ananda di dalam tidur dan terbangunlah teman-teman yang dekat dengan ananda.

Apabila ananda bermimpikan Nurbaya, menangislah ananda di waktu tidur, karena tak tahan melihat sedih hatinya, yang disebabkan oleh nasibnya yangmalang.

Demikianlah hal ananda siang malam digoda pikiran dan mimpi yang jahat. Jangankan belajar, makan dan minum pun hampir tak dapat, karena nasi dimakan serasa sekam, air diminum rasakan duri. Apabila Ayahanda melihat ananda pada waktu menulis surat ini, barangkali tiadalah kenal lagi Ayahanda kepada ananda, karena badan ananda sangat berubah.

Terkadang-kadang timbul niat di dalam hati hendak membunuh diri; tetapi ingatan kepada Bunda dan Nurbayalah yang mengalangi 'maksud itu, sebab takut, kalau-kalau bertambah pula dukacita mereka, oleh perbuatan ananda ini.

Akan tetapi walaupun ananda belum melekatkan senjata ke badan sendiri, jika demikian saja godaan-godaan yang datang, tentulah akhirnya akan ke sana juga perginya. Inilah pula yang menambahkan susah hati, sebab waktu itu ananda belum boleh meninggalkan dunia ini; bukan untuk ananda sendiri, melainkan untuk Bunda dan Nurbaya, yang telah ananda celakakan itu.

Seharusnyalah bagi ananda, mengangkat mereka kembali dari lumpur, tempat mereka ananda jatuhkan. Itulah sebabnya maka ananda kembali ke Jakarta, dengan maksud akan mencoba meneruskan pelajaran ananda.

Tetapi apa hendak dikata, Ayahanda? Rupanya hukuman dan penderitaan yang telah ananda tanggung, belumlah cukup untuk pembayar utang kesalahan ananda. Karena tatkala ananda baru berasa bebas sedikit dari godaan ini dan mulai biasa menanggung kesakitan, dan ketika ananda mulai beroleh pengharapan, akan dapat melawan, segala siksaan dan percobaan ini, sehingga dapat juga menyampaikan maksud ananda, yakni akan menyenangkan Bunda dan Nurbaya lebih dahulu, sebelum berpindah ke alam lain, ketika itulah pula datang hukuman ananda yang sebenar-benarnya.

Ketika itulah jatuh pedang yang menceraikan badan dari kepala ananda, menembus dada dan jantung ananda, menghancurkan hati dan tulang ananda seluruh tubuh; karena waktu itulah datang surat kawat, yang membawa kabar Ibu ananda dan Nurbaya, dua orang perempuan yang masih sayang kepada ananda, tatkala ananda telah jatuh ke dalam lumpur, telah meninggal dunia ini ...

Aduhai! Di situlah putus pengharapan, habis sabar dan hilang akal ananda. Sekaranglah ananda menjadi yatim piatu, tiada beribu, tiada berbapa, tiada bersanak atau saudara, tiada berkaum kerabat, kampung halaman dan tanah air lagi.

Oleh sebab itu, apal4h gunanya ananda hidup juga? Daripada hidup bercermin bangkai, baiklah mati berkalang tanah."

Tatkala sampai ke sana Samsu menulis, jatuhlah kalam dari tangannya, sebagai ia tiada berdaya lagi, memegang kayu yang sekerat kecil itu, dan penuhlah surat itu berlumur dawat.

Air matanya pun jatuh pula bercucuran, membasahi kertas yang disuratnya. Karena terlalu amat sedih hatinya, menangkuplah ia ke meja tulisnya dan menangis tersedu-sedu beberapa lamanya.

"Ya, nasib! Tiadakah engkau menaruh iba kasihan kepada bani Adam yang muda remaja itu? Bukankah ia baru akan mengenal kesenangan, kemuliaan dan kekayaan dunia ini, sebagai sekuntum bunga yang baru hendak mengembangkan kelopaknya akan menghamburkan baunya yang semerbak, dan mempertunjukkan warnanya yang cantik, kepada segala kupukupu yang melintas dekatnya. Dengan kekerasan dan kekejaman, telah kaubantun ia dari tangkainya, sehingga putus lalu gugur ke tanah, menjadi hancur."

Setelah bersedih hati sedemikian itu diangkatlah oleh Samsu kepalanya, lalu disapunya air matanya, diambilnya pula kalamnya dan diteruskannya menulis suratnya tadi: Ya, Ayahanda! Rupanya pengharapan yang ananda peroleh sedikit itu, ialah suatu tanda yang menyatakan, bahwa kesudahan nasib ananda akan datang. Sejak Ayahanda membuang ananda, kutuk telah jatuh bertubi-tubi ke atas kepala ananda dan sejak waktu itu, tiadalah ditinggalkannya lagi ananda barang sekejap pun, melainkan selalu diturutnya jejak ananda, sebagai bayang-bayang di waktu malam, menanti saat yang baik dan ketika yang sempurna, untuk menerkam ananda.

Sejak waktu itulah ananda dipermain-mainkannya, seperti kucing mempermainkan tikus; ditangkap dan dilepaskannya pula. Gelak senyum ia agaknya melihat ananda, tatkala beroleh pengharapan yang sedikit tadi. Direnggangkannya sedikit cakarnya yang panjang dan tajam itu dari badan ananda, karena pada pikirannya, "Kelak akan masuklah cakarku ini ke dalam dagingmu yang lembut itu, untuk meleburkan tubuhmu, bila engkau coba hendak melepaskan dirimu."

Sesungguhnya, Ayahanda, maksudnya itu telah dapat dilangsungkannya. Ananda telah diremasnya dalam cakarnya yang runcing dan panjang itu. T inggal menunggu hancur luluh saja lagi ...

Tentang perbuatan ananda yang akhir ini pun, ananda pohonkanlah ampun dan maaf, dunia akhirat kepada Ayahanda jangan jadi keberatan atas perjalanan ananda dalam menuruti Bunda dan Nurbaya, yang telah berangkat lebih dahulu. Mogamoga dapatlah kami bersama-sama menghadap ke hadirat Tuhan yang amat add.

Akhirnya ananda mintalah pula terima kasih banyak-banyak kepada Ayahanda serta kaum kerabat kita, atas susah payah, karena telah sudi memelihara ananda dari kecil sampai besar.

Akan kebaikan itu, tiada lain, melainkan Allahlah yang akan membalasnya, karena balasan yang telah ananda berikan, adalah jahat semata-mata, sebagai air susu dengan air tuba.

Tetapi apa hendak dikata? Karena sekalian itu pun takdir daripada Tuhan juga.

Terimalah sembah sujud yang penghabisan dari ananda.

Selamat tinggal! SAMSULBAHRI Tatkala Samsu hendak menyuratkan perkataan "selamat tinggal" itu gemetarlah tangannya, sehingga hampir-hampir tak dapat ditulisnya tanda tangannya. Napasnya sesak dan mukanya pucat karena nemahan sedih yang memenuhi dadanya. Kepala pening dan penglihatannya berputar, terlebih-lebih sebab matanya penuh dengan air mata yang tak dapat ditahannya. Maka menangislah pula Samsu dengan amat rawannya, sambil menutup mukanya dengan kedua belah tangannya dan menangkup ke atas meja.

Beberapa lamanya ia bersedih hati itu, tiadalah diketahuinya, hanya tatkala ia sadarkan dirinya pula, didengarnyalah lonceng setengah enam telah berbunyi. Maka berdirilah ia melihat surat itu dan memasukkameya ke dalam sebuah pembungkus surat. Surat itu dialamatkannya kepada ayahnya. Kemudian dicucinyalah mukanya, supaya hilang merah matanya, bekas menangis, lalu dipakainya pakaiannya.

Setelah itu ditulisnya pula sepucuk surat, untuk guru dan teman sejawatnya yang demikian bunyinya: Sekalian guru dan teman sekolah hamba! Janganlah Tuan-tuan heran bila mendengar kabar, hamba dengan paksa telah membawa diri ke pintu kubur. Tuan-tuan sekalian tentu maklum, bahwa kehidupan tiap-tiap manusia di atas dunia ini tiada sama. Ada yang beruntung, ada yang malang, ada pula yang berganti-ganti beroleh kesenangan dan kesusahan.

Walaupun nasib mereka berlain-lainan, tetapi ada juga yang bersamaan pada mereka, yaitu maksud dan harapan yang ada pada tiap-tiap manusia yang hidup. Bukankah tiap-tiap pekerjaan itu ada sebab dan tujuannya? Akan tetapi, apabila maksud itu telah hilang dan pengharapan telah putus, apakah gunanya hidup lagi? Daripada memenuh-menuhkan kampung, menghabis-habiskan makanan dan menyusahkan orang, dengan tiada berguna, baiklah mati.

Hal yang sedemikian, telah jatuh ke atas diri hamba. Oleh sebab itu, pada sangka hamba, tak ada gunanya hamba hidup lama lagi di atas dunia ini.

Hamba harap cukuplah ini bagi Tuan-tuan untuk mengetahui sebab perbuatan hamba ini. Sungguhpun hamba berbuat begitu, hamba pohonkan s iang dan malam, janganlah ada di antara teman-teman hamba, yang berniat hendak meniru perbuatan hamba ini dan terjauh jugalah hendaknya mereka daripada segala kecelakaan yang telah menimpa diri hamba.

Kemudian hamba pohonkan banyak terima kasih kepada sekalian guru dan teman sejawat, atas sekalian pelajararn dan kasih sayang, yang telah dilimpahkan kepada hamba.

Sambutlah sembah sujud dan salam maaf dari murid dan teman Tuan yang malang ini.

SAMSULBAHRI Tambahan: Sekalian barang-barang dan perkakas hamba, haraplah dibagi-bagikan kepada segala teman sekolah hamba, untuk menjadi-tanda mata dari hamba.

Setelah dilipatnya surat ini, diletakkannya di atas meja tulisnya, lalu pergilah ia membuka lemarinya, mengambil suatu benda yang kecil. Setelah diperiksanya benda itu baikbaik, dimasukkannyalah ke dalam kocek celananya. Kemudian dibukanya pintu biliknya, lalu ke luar. Di luar dilihatnya Arifin hendak mengetuk pintu biliknya. Air matanya hendak keluar pula, karena teringat, tiada berapa saat lagi, akan bercerailah ia dengan sahabat karibnya ini.

Lama ia termenung memikirkan hal itu, sampai didengarnya suara Arifin yang berkata sambil menghampirinya, "Alangkah lamanya engkau tidur hari ini, Sam. Lihatlah matamu masih merah! Kabar apa yang kau terima dari Padang tadi? Aku harap, kabar baik."

"Ya," jawab Samsu dengan susah payah mengeluarkan perkataan ..., Ibuku telah sembuh kembali."

"Syukur! Alangkah senangnya hatiku, mendengar kabar yang baik ini! Tetapi surat kawat yang sebuah lagi dan siapa?" tanya Arifin pula.

"Dari Mamanda, mengabarkan hal itu juga," jawab Samsu seraya membuang mukanya ke pintu biliknya dengan segera, supaya jangan kelihatan oleh Arifin dukacitanya.

Tatkala pintu bilik ini akan ditutupnya, diperhatikannyalah biliknya ini dengan sekalian perkakas yang ada di dalamnya, yakni segala benda, yang telah dipergunakannya sekian lama.

Setelah itu ditariknyalah pintu ini dengan keras, sebagai takut ia lama-lama memandang sekalian perkakas yang akan ditinggalkannya itu.

"Engkau hendak ke mana sekarang, Sam? Rupanya hendak berjalan?" tanya Arifin.

"Ke kantor pos, akan memasukkan sepucuk surat untuk ayahku," jawab Samsu.

"Tentulah akan membalas kawat tadi, bukan?"

"Ya," jawab Samsu dengan pendek.

"Jika demikian, marilah aku temani engkau ke sana, sebab maksudku pun hendak berjalan-jalan juga," kata Arifin.

Samsu tiada dapat menjawab permintaan sahabatnya ini dengan segera, sebab tak tahu, apa yang akan diperbuatnya.

Kalau dibawanya Arifin, tentulah tak dapat dilangsungkannya maksudnya dan jika tak dikabulkannya permintaan ini, takut ia, sahabatnya ini akan menduga niatnya; karena belum pernah ia ke luar rumah, tidak bersama-sama dengan Arifn.

Tampak seorang, tampak keduanya.

Setelah berpikir sejurus, berkatalah ia, "Baik benar; tetapi di kantor pos kita kelak harus bercerai, sebab ada maksudku yang lain."

Walaupun Arifin heran mendengar jawab Samsu ini, karena belum pernah ia berbuat sesuatu yang tiada boleh diketahuinya, tetapi dengan tersenyum dijawabnya perkataan Samsu itu. "Tentu aku tiada akan mengalangi engkau, bila engkau ada keperluan yang lain." . Meskipun ia tersenyum, tetapi hatinya tiada senang.

Bukan saja karena melihat perubahan kelakuan Samsu, tetapi karena nyata kepadanya, tatkala menghampiri sahabatnya ini.

Samsu baru saja menangis. Tambahan pula, bila benar kabar yang baru diterimanya, menyatakan ibunya telah sembuh dari penyakitnya, mengapakah dikawatkan dan dengan dua surat kawat sekali sebagai suatu kabar yang amat penting dan segera. Mengapakah tidak dengan surat biasa saja? Oleh sebab itu ditetapkannyalah hatinya, hendak mengetahui rahasia ini. Takut ia, kalau-kalau karena mendapat sesuatu kesusahanlah, maka sahabatnya sampai menangis. Dalam hal itu, tentulah akan dicobanya melipur duka nestapa Samsu.

Di tengah jalan khawatir Arifin ini makin bertambahtambah, sebab dilihatnya Samsu sebagai seorang yang sedang memikirkan sesuatu hal yang sangat penting; karena acap kali tiada didengarnya perkataan Arifin dan jawabannya pun banyak yang salah, bila ia bertanyakan barang sesuatu kepadanya. Dan lagi apakah sebabnya lama benar dipandang Samsu mukanya tadi? Dan pintu biliknya ditutupnya dengan keras, sebagai orang takut? Mengapa pula lama ia berhenti di muka sekolah, memperhatikan sekolah itu, sebagai orang yang baru melihatnya? Tiada berapa lamanya berjalan itu, sampailah kedua mereka ke kantor pos. Segera Samsu menghampiri tempat memasukkan surat, lalu mengeluarkan surat yang hendak dikirimkannya kepada ayahnya itu dari dalam koceknya. Lama dipandangnya surat itu, sebagai ia memperhatikan alamatnya, barulah dimasukkannya perlahan-lahan ke dalam lubang surat, seolaholah sayang ia rupanya hendak mengirimkannya.

Sekalian kelakuan Samsu ini diintip oleh Arifin dari sisinya, sambil pura-pura membaca suatu surat yang tergantung di dinding kantor pos itu. Tiba¬tiba menolehlah ia kepada sahabatnya ini, sebab didengarnya Samsu berkata, "Sekarang engkau jangan marah, Rif, sebab aku akan meninggalkan engkau. Bukan karena tak suka berjalan bersama-sama dengan engkau, hanya sebab aku telah berjanji, akan pergi ke rumah seorang tuan, seorang diri saja; jadi kurang baik, bila aku bawa engkau, dengan tiada memberi tahu lebih dahulu kepada yang punya rumah. Kelak, bila aku pergi pula ke sana, tentulah akan kuminta kepadanya, supaya kita boleh pergi bersama-sama ke situ."

"Ah, tak jadi apa itu. Aku pun tentu tak berani ke sana, kalau tiada dipanggil. Hanya kuharap, janganlah engkau lupa pulang kelak, karena asyik bercakap-cakap," kata Arifin dengan purapura tersenyum, supaya jangan syak hati Samsu kepadanya.

"Nah, Sam, aku harap engkau akan banyak beroleh kesukaan dan kesenangan di sana!" kata Arifin pula, sambil keluar dari kantor pos. Setelah sampai ke jalan besar, di muka kantor pos itu, menolehlah ia kebelakang. Dengan terperanjat dilihatnya Samsu masih berdiri di kantor pos itu sambil memandang ia berjalan dan nyata tampak olehnya, air mata sahabatnya ini berlinang-linang di pipinya, dengan tiada dirasainya rupanya.

Ketika itu barulah Samsu ingat akan dirinya, lalu memalingkan mukanya dan berjalan cepat-cepat menuju arah ke barat.

Melihat hal yang sedemikian, bertambah-tambahlah keras sangka Arifin, Samsu berniat akan berbuat pekerjaan yang penting, yang tiada boleh diketahui orang; siapa tahu barangkali perbuatan yang boleh mencelakakan dirinya.

Sekarang yakinlah nyata kepadanya, bahwa segala perkataan Samsu tadi tiada benar. Oleh sebab itu semangkin keraslah keinginannya hendak mengetahui maksud sahabatnya ini dan kalau benar ia berniat jahat, seboleh-bolehnya hendak dicegahnya.

Akan menyembunyikan dirinya, segeralah ia masuk ke dalam suatu kedai, pura-pura hendak membeli apa-apa, tetapi sebenarnya akan mengintai ke mana tujuan perjalanan sahabatnya itu. Setelah nyata olehnya Samsu berjalan menuju ke barat dengan tiada menoleh-noleh ke belakang, keluarlah Arifin dari kedai itu, lalu mengikut Samsu dari jauh. Sebentarbentar ia bersembunyi di balik pohon kayu atau kereta, takut terlihat oleh Samsu, kalau ia menoleh ke belakang.

Setelah beberapa lamanya berjalan itu, kelihatanlah olehnya Samsu masuk ke dalam suatu kebun bunga dan di sana luputlah ia dari pemandangan Arifin. Oleh sebab itu Arifin mempercepat langkahnya, mengejar temannya. Akan tetapi tatkala ia sampai ke kebun itu, tiadalah kelihatan olehnya Samsulbahri, karena hari telah mulai gelap.

Hati Arifin berdebar dan khawatirnya bertambah-tambah, sebagai ada sesuatu bahaya, yang mengancam sahabatnya.

Karena tak tahu ke mana akan dicarinya Samsu, berdirilah ia sejurus akan mendengarkan, adakah bunyi orang berjalan atau tidak. Tetapi lain daripada ribut di jalan besar, tiadalah kedengaran apa-apa olehnya. Sebab itu berjalanlah ia cepatcepat ke sana kemari, sambil memandang ke kiri dan ke kanan.

Setelah sejurus ia mencari, kelihatanlah olehnya dari jauh sebagai orang duduk di atas sebuah bangku, membelakang kepadanya. Tangannya yang kanan diangkatnya ke kepalanya, seperti hendak memberi tabik. Tatkala diperhatikan Arifin benarbenar orang ini, nyatalah yang duduk itu Samsu, yang sedang mengacungkan sebuah pestol ke kepalanya. Dengan tiada berpikir lagi menjeritlah ia, "Samsu, ingat akan dirimu!" sambil melompat memburu sahabatnya itu.

Akan tetapi terlambat, karena tatkala itu juga didengarnya bunyi pestol dan dilihatnya Samsu rebah ke bangku. Segera Arifin lari ke bangku itu dan di sana dilihatnya sahabatnya ini tiada ingatkan diri lagi dan kepalanya berlumuran darah. Arifin tiadalah terkata-kata dan tak tahu apa yang akan diperbuatnya, lalu berteriak minta tolong.

Tiada berapa lama kemudian, penuhlah orang di tempat itu dan kabar orang menembak diri, pecahlah ke sana kemari.

Polisi datang akan memeriksa. Setelah diceritakan Arifin kejadian itu dibawalah mayat Samsu ke rumah sakit.

Keesokan harinya tersiarlah di surat kabar, seorang muda anak Padang, murid Sekolah Dokter Jawa telah menembak diri di kebun kembang Jakarta. Entah apa sebabnya belum diketahui.