Sitti Nurbaya/Bab 11

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

XI. Nurbaya Lari ke Jakarta[sunting]

Walaupun hari hampir pukul tujuh pagi, tetapi di pelabuhan Teluk Bayur, belum terang benar. Di tempat-tempat yang tersembunyi, di bawah-bawah pohon kayu, masih gelap.

Beberapa pekerja yang berjalan kaki menuju ke pelabuhan untuk mencari nafkahnya, kelihatan masih berselubung kain sarung, supaya jangan ditimpa angin pagi yang sejuk. Dari jauh, dari sebelah timur, kedengaran bunyi lotong dan ungka, sebagai orang yang bertempik sorak, bersuka raya, menyambut kedatangan cahaya matahari, yang mulai menerangi hutan, tempat kediamannya.

Sesungguhnya, di sebelah timur kelihatan beberapa sinar yang merah, memancar dari balik gunung, yang memagar pelabuhan Teluk Bayur, sebagai hendak menembus awan yang tebal. Di laut, kelihatan embun, seperti asap, tergantung di atas air, berarak perlahan-lahan arah ke barat. Dari dalam kabut ini, timbullah beberapa perahu kail, yang datang dari laut, berlayar perlahan-lahan menuju ke darat, membawa ikan yang dapat dikailnya pada malam hari. Angin teduh, laut pun tenang. Di sebelah barat masih kelihatan bulan sebelah, tinggi di atas langit, sedang cahayanya, kian lama kian pudar, sebagai perak belum disepuh.

Sungguhpun hari masih pagi, tetapi di Teluk Bayur ramailah sudah oleh orang yang hendak berlayar, meninggalkan kota Padang atau mengantarkan mereka, yang hendak merantau ke negeri lain; karena pada hari itulah ada sebuah kapal yang hendak bertolak ke tanah Jawa, pukul delapan pagi.

Pekerjapekerja, ribut memuat dan membongkar barangbarang; anak kapal ribut bersiap dan bekerja, sedang penumpang, berlari-lari turun-naik, sebagai takut ketinggalan.

Pada sebuah kedai, yang ada di Teluk Bayur, kelihatan seorang laki-laki tua, sebentar-sebentar menjenguk ke luar lalu mengintip ke sana-sini, sebagai takut memperlihatkan dirinya. Setelah masuklah ia kembali ke dalam kedai itu, lalu berkata kepada seorang perempuan muda, yang berdiri di balik lemari, "Rupa-rupanya tak ada orang yang tahu akan perjalanan kita ini, karena sekarang, belum ada kelihatan seorang pun yang hamba kenal."

"Untunglah," jawab perempuan muda itu, "tetapi baik juga dilihat di luar. Siapa tahu, barangkali perjalanan kita ini diintip orang juga."

Laki-laki tua tadi, pergilah ke luar kedai, lalu berjalan ke sana kemari, pura-pura melihat ini dan itu, tetapi matanya mengintip ke segenap tempat dan memperhatikan sekalian orang yang dilihatnya.

Setelah berbunyilah seruling kapal yang pertama, keluarlah kedua mereka dari kedai itu, berjalan lekas-lekas menuju kapal, lalu naik ke atas geladak, mencari tempat yang tersembunyi dan berdiam diri di sana. Dengan tiada diketahui mereka, adalah dua orang laki-laki, yang mengintip segala kelakuan mereka dari balik sebuah gudang.

Setelah nyatalah oleh kedua laki-laki ini, bahwa yang lari naik ke kapal itu, ialah kurbannya, berkatalah seorang daripada mereka kepada temannya, "Sekarang baiklah engkau pulang, Pendekar Tiga! Kabarkanlah penglihatanmu ini kepada Engku Datuk Meringgih, dan katakanlah kepada beliau, aku akan mengikut mereka dengan kapal ini ke Jakarta, untuk menjalankan perintahnya dan akan menuntut beberapa ilmu, yang berguna untuk sasaran kita di sini. Lagi pula, aku di sana, akao mencari beberapa kenalan dan murid-murid, yang suka masuk perkumpulan kita."

"Baiklah, Kak Pendekar Lima," jawab Pendekar Tiga, "tetapi adakah Kakak berbelanja?"

"Ada, untuk sementara," kata Pendekar Lima pula. "Jika kurang, nanti akan kuminta dari Jakarta."

Kernudian daripada itu, bercerailah kedua mereka ini.

Pendekar Tiga pulang kembali ke kota Padang dan Pendekar Lima berjalan perlahan-lahan ke pangkalan.

Setelah berbunyilah seruling yang kedua dan jambatan hampir akan diangkat, barulah ia melompat naik kapal, lalu bersembunyi di bawah geladak. Tiada beberapa lamanya kemudian daripada itu, diangkatlah sauh dan berlayarlah kapal ini, meninggalkan Teluk Bayur.

Setelah keluarlah kapal ini dari pelabuhan Teluk Bayur, barulah perempuan yang melarikan diri tadi, berani keluar dari tempat ia bersembunyi; lalu melihat ke sana kemari, mencari tempat yang baik. Akhirnya dapatlah olehnya suatu tempat, dekat kamar kapitan. Laki-laki yang bersama dengan dia, lalu membentangkan tikarnya dan membuka sebuah kursi malas kain, yang dibawanya untuk perempuan itu.

"Sekarang barulah senang hatiku sedikit, Pak Ali," kata perempuan ini, setelah duduk di atas tikar itu. "Tetapi sungguhpun demikian, was-wasku belum hilang; sebagai aku ini masih diikuti oleh bala. Oleh sebab itu, baiklah Pak Ali coba juga nanti berjalan ke mana-mana pura-pura mencari apa-apa dan dilihatlah benar-benar, tiadakah diketahui orang perjalanan kita ini dan tiadakah diikuti orang kita."

"Baiklah, orang kaya Nurbaya. Nanti hamba pergi periksa, walaupun pada sangka hamba, tak ada orang yang tahu perjalanan kita ini dan tak ada orang pula orang yang mengikuti kita," jawab Ali.

Setelah duduk sejurus, berkatalah Nurbaya, "Pak Ali, sudahkah dikirim surat kawat untuk Samsu, supaya disambutnya kita di Tanjung Periuk?"

"Sudah, Orang Kaya, kemarin. Tetapi walaupun tak ada ia di Tanjung Periuk, tak mengapa, karena hamba telah biasa ke Jakarta dahulu, tatkala menjadi opas, membawa pesakitan," sahut Ali.

"Betul, tetapi baik juga diketahuinya kedatangan kita ini, supaya disediakannya tempat untuk kita," kata Nurbaya pula.

"Benar," jawab Ali. "Tetapi tiadakah Orang Kaya berasa lapar? Barang kali belum makan apa-apa tadi!"

"Sesungguhnya perutku mulai berbunyi-bunyi, minta nasi," kata Nurbaya dengan tersenyum. Hatinya makin lama makin riang, karena dapat meninggalkan kota Padang dengan tiada diketahui orang dan karena mengingat pertemuan dengan kekasihnya Samsulbahri.

"Tunggulah sebentar, hamba minta telur dan kopi," kata kusir Ali, lalu pergi. Tiada berapa lama kemudian, kembali pula ia dengan membawa beberapa butir telur dan dua mangkuk kopi. Sementara itu, Nurbaya telah mengeluarkan beberapa ketupat dan makan-makanan yang lain dari dalam rantangnya, lalu makanlah kedua mereka itu.

Kira-kira sejam setelah itu, datanglah seorang mualim kapal, meminta surat pelayaran. Tatkala sampai ia ke dekat Nurbaya dan terlihat olehnya kecantikan perempuan ini, berbisik-bisiklah ia dengan keraninya, dalam bahasa Belanda, "Bagaimana pikiranmu tentang perempuan ini, Ludi?"

"Ini sesungguhnya bunga ros dari Padang," jawab Ludi.

"Sanggup engkau membujuknya? Selusin bir upahnya," kata mualim itu pula.

"Coba-coba; tetapi rupanya ia orang baik-baik; tentu susah didekati. Tambahan pula, ada yang menjaganya," jawab Ludi.

"Jika tak cukup selusin, nanti aku tambah setengah lusin lagi," kata mualim itupula, seraya mengerling kepada Nurbaya, "Pipinya yang cekung bila ia berkata-kata dan tahi lalat yang ada pada pipinya, menambahkan asyik hati."

"Nantilah kucoba," jawab Ludi.

Segala percakapan ini didengar dan dimaklumi oleh Nurbaya dan sangatlah benci hatinya melihat kedua mereka.

Tetapi ditahannya marahnya, supaya ia jangan dianiaya pula oleh mereka.

Setelah sampai Ludi dan Mualim itu kepada Nurbaya, lalu bertanya kerani ini, "Hendak ke mana ini?"

"Ke Jakarta," jawab Nurbaya dengan pendek.

"Ada teket?" tanya Ludi pula.

"Ini," jawab Nurbaya, seraya memberikan surat kapalnya.

Setelah dikoyak Ludi surat ini, lalu ia berkata, sambil memulangkan cabikan teket itu, "Mengapa tinggal di sini? Di bawah, ada tempat yang lebih baik. Kalau suka, nanti kupilihkan."

"Terima kasih! Biarlah kami di sini, karena di sini dekat kapitan kalau ada apa-apa, boleh lekas menghadap dia."

Mendengar jawaban ini terpikirlah Ludi sejurus; tetapi lekas ia berkata pula, "Bila kelak ada hujan atau gelombang, tentulah basah di s ini."

"Tak mengapa, kami bukan garam, hancur kena air. Jika benar ada gelombang besar kelak, kami carilah tempat yang baik pada pikiran kami," jawab Nurbaya, sambil melihat ke tempat lain.

Setelah melihat Nurbaya menoleh itu, pergilah kedua pegawai kapal ini, memeriksa surat-surat penumpang yang lain.

"Apa kataku? kata Ludi. "Memang dari jauh telah nyata padaku, perempuan yang sedemikian sebagai burung merpati: rupanya jinak, tetapi susah ditangkap."

"Tak peduli, Ludi; jika tak dapat dengan baik, dengan keras. Carilah akal! Hilang semangatku melihat matanya dan pandangannya yang tenang itu. Jika dapat olehmu nanti kucari akal supaya gajimu ditambah." sahut mualim itu.

"Baiklah, nanti kucoba juga; tetapi kalau tak dapat, jangan marah," jawab Ludi.

Sepeninggal kedua pegawai ini pergi, dikatakanlah oleh Nurbaya kepada kusir Ali segala percakapan mereka.

"Jangan takut " kata kusir Ali, "nanti hamba berjaga benarbenar. Jika berani juga ia mengganggu kita adukan saja kepada kapitan kapal."

Tatkala itu angin teduh, laut pun tenang. Muka air, adalah sebagai kaca besar yang berkilat-kilat ditimpa cahaya matahari. Dari ujung langit selatan sampai ke ujung langit utara, tiadalah lain yang kelihatan, melainkan dataran yang amat luas, yang biru warnanya. Hanyalah pada buritan kapal, air sebagai mendidih dikacau roda kapal yang berpusing.

Kapal pun berlayar seolaholah meluncur di atas dataran yang rata, sebagai ditarik tali ajaib, meninggalkan jejaknya yang berbaris-baris putih dan makin lama makin besar memecah. Di sebelah utara dan di sebelah barat, kelihatan beberapa pulau kecil yang berjejer jejer letaknya. Cuaca terang, langit pun jernih pada segenap tempat. Tiada berapa jauhnya dari kapal, kelihatan ikan berlompat-lompatan, sebagai bermain-main berkejar-kejaran. Ada yang melompat sebagai bermain-main jauhnya karena terkejut dilanggar kapal. Dari jauh kelihatan ikan lumba-lumba, berenang beriringiringan, sebentar timbul, sebentar hilang. Burung camar yang putih warna bulunya, beterbangan kian kemari. Ada yang mengintai ikan-ikan yang lengah, mengapungkan dirinya ke muka air laut; ada yang tiada bergerak dari tempatnya sebagai tergantung di udara, tetapi tiba-tiba menunjam ke bawah, sampai ke atas air dengan deras terbangnya, seolah-olah anak panah yang dilepaskan dari busumya. Tatkala terbang pula ia membumbung, digonggongnyalah seekor ikan dalam paruhnya. Ada pula yang melayang menyambar makanannya dengan jarinya.

Tiada berapa lamanya berlayar itu, luputlah daratan di sebelah timur dari mata, hilang di balik ujung langit yang hampir tiada berwatas dengan lautan.

Ke mana mata memandang, tiada lain yang kelihatan lagi melainkan air semata-mata, disungkup oleh langit yang melengkung. Ketika itu terasa benar oleh Nurbaya kecil dirinya, karena sedangkan kapal yang besar itu, seolah-olah sebutir pasir di padang sahara rupanya. Kebesaran dan kekuasaan Allah yang menjadikan semesta alam ini, makin bertambah-tambah terasa olehnya dan kecutlah rasa hatinya bila diingatnya halnya, tak dapat lari ke mana-mana, lain daripada di atas kapal itu, jika terjadi apa-apa di laut ini; karena lepas dari tempat yang kecil ini, mautlah yang menunggunya. Nyata benar olehnya, bahwa tempat nyawanya bergantung, tiada seberapa besamya. Di kapal itulah saja kehidupan, tetapi di luar itu, kematian. "Adakah akan sampai kembali aku ke darat?" pikimya dalam hatinya. "Di darat itulah yang tiada berbahaya."

Rupanya ia lupa bahwa orang itu lebih banyak mati di daratan daripada di lautan.

Setelah malamlah hari, terang benderanglah di kapal itu disinari cahaya lampu listrik. Angin bertiup dari selatan, menyegarkan segala kelasi kapal, yang telah bekerja berbelah payah sehari itu. Setelah selesai makan, naiklah beberapa kerani dan pegawai kapal, dari kelas dua, ke atas geladak; masingmasing membawa permainan musiknya. Ada yang menggesek biola, ada yang memetik gitar. mendolin, keroncong dan ada pula yang meniup seruling, sedang yang baik suaranya, menyanyikan lagu keroncong dan setambul, serta berpantun berbalas-balasan, sebagai di bawah ini: "Dari mana hendak ke mana, dari Jepun ke bandar Cina.

Jangan marah saya bertanya, bunga yang kembang siapa punya?"

"Siapa yang punya," berteriak Ludi, menyahuti temannya yang bernyanyi itu. Orang yang kedua menyela pantun itu, "Buah cempedak buah nangka, apa obatnya hati yang luka?"

Kemudian berpantun pula seorang lagi: "Bajang-bajang tertali sutera, tulang dibakar baunya sangit.

Dilihat gampang dipegang susah, sebagai bulan di atas langit."

"Itukah dia!" teriak Ludi pula. Rupanya ia hanya pandai bersorak-sorak saja. "Tarik, Yakub! Jangan malu-malu!"

Pantun itu dibalas oleh seorang lagi: "Dari mana datangnya lintah, dari sawah turun ke kali Dari mana datangnya cinta, dari mata jatuh ke hati."

Pantun ini disela demikian, "Oleleh Kota Raja; jika boleh dibawa saja." "Ei... ei jangan!" kata Ludi pula, "Jangan merampas orang punya!" Kemudian berpantun pula orang yang pertama: "Laju-laju perahu laju, kapal berlayar ke Surabaya. Biar lupa kain dan baju, jangan lupa kepada saya.

"Siapa itu?" kedengaran seorang bertanya.

"Adik saya," jawab Ludi.

Sesungguhnya lagu keroncong dan Setambul ini, bila dimainkan dengan bunyi-bunyi yang sedemikian, dalam terang bulan, di tempat yang sunyi, sebagai di atas kapal waktu itu, sangatlah merdu bunyinya, memberi asyik segala yang mendengarnya. Itulah lagu yang selalu menarik hati anak mudamuda yang suka bermain musik dan tiada jemu mereka menyanyikannya. Akan tetapi, sebab yang memainkan lagu ini acap kali orang yang kurang baik, di tempat yang sunyi-sunyi, pada jauh malam, terkadang-kadang dengan maksud yang kurang baik, menjadilah permainan ini, kurang disukai orang baik-baik. Oleh sebab itulah sangatlah benci Nurbaya mendengar bunyi-bunyian dan pantun mereka, lalu ia berbuat pura-pura tidur, seraya menutup muka dan telinganya, supaya jangan terdengar olehnya sekalian nyanyian itu.

Tatkala jauhlah sudah malam dan sunyilah di atas kapal, datanglah Ludi berjalan perlahan-lahan, pura-pura hendak memeriksa apa-apa. Setelah sampai ia ke tempat Nurbaya, lalu dibangunkannya perempuan ini, sambil berkata, "Marilah ikut aku, nanti kuberi tempat yang baik dan jika suka engkau menurut kemauanku, kelak kuberi uang berapa sukamu."

Nurbaya lalu berdiri dan menolakkan Ludi, sambil berkata dalam bahasa Belanda, "Jika berani engkau mengganggu aku sekali lagi, kuadukanlah kelakuanmu yang tiada senonoh ini kepada kapitan kapal. Akan menyusahkan penumpanglah kerjamu di sini? Atau kausangka aku ini seorang perempuan jahat? Buka matamu, lihat terang-terang; jangan samakan saja orang baik-baik dengan orang jahat! Nyah engkau dari,s ini!"

Kusir Ali sementara itu telah berdiri, melindungi Nurbaya; tetapi Ludi rupanya tiada barani berbuat apa-apa lagi, lebihlebih karena mendengar Nurbaya berkata-kata dalam bahasa Belanda, lalu pergi dari s itu.

Walaupun sejak waktu itu Ludi tak kembali lagi, tetapi semalam-malaman itu tiadalah berani mereka memicingkan matanya, barang sekejap pun, takut kalau-kalau diganggu pula oleh kerani itu.

Malam itu juga masuklah kapal ini ke pelabuhan Bengkulu, akan tetapi tiadalah dapat memunggah atau memuat barangbarang, sebab gelombang amat besar jadi ditunggulah sampai keesokan harinya. Walaupun kapal ini berlabuh, tetapi Nurbaya berasa badannya kurang enak, karena kapal itu sangat oleng dipermainkan gelombang Ketaun. Oleh sebab tiada dapat berdiri, tidurlah saja ia di atas bangkunya, sampai kapal itu berlayar pula, meneruskan pelayarannya ke Jakarta.

Tatkala itu, barulah Nurbaya berasa senang sedikit, dapat berdiri dan berjalan jalan.

Hari baik pula dan pelayaran pun adalah selamat.

Akan tetapi pada malamnya, kira-kira pukul sepuluh, cuaca yang terang itu, sekonyong-konyong bertukar menjadi gelap gulita. Bintang-bintang yang gemerlapan cahayanya, tiada kelihatan lagi, sebab ditutup awan yang tebal, yang mengandung hujan. Angin teduh, lautan tenang, dan walaupun waktu itu malam hari, tetapi udara rasanya panas.

Tiba-tiba kelihatan kilat di langit sebelah selatan, disertai bunyi halilintar yang amat kerasnya. Tiada berapa lama kemudian daripada itu, turunlah hujan yang amat lebat, sebagai dicurahkan dari langit, disertai angin topan yang berembus dari segenap pihak, berganti-ganti. Gelombang yang besar pun datanglah, menggulung setinggi gunung; kadang-kadang bertumbuk sama sendirinya, memecah di tengah lautan. Kapal yang besar itu terbanting ke sana kemari dipermainkan gelombang sebagai sekerat kayu yang tiada berharga.

Maka olenglah kapal itu ke kiri ke kanan, serta mengangguk ke muka ke belakang. Air taut menyimbah dari segala pihak masuk ke geladak, terkadang-kadang menghanyutkan petipeti atau barang-barang yang ringan, menyusahkan sangat kepada segala penumpang; yang telah basah kuyup kena air dari atas dan dari bawah: Oleh sebab itu, sangatlah ribut mereka, masingmasing mencari tempat akan melindungkan diri serta barangbarangnya. Bertambah-tambah kesukaran mereka, karena kapal sangat oleng, sehingga banyaklah penumpang yang mabuk taut.

Dalam hal yang sedemikian, tiba-tiba kelihatan seorang lakilaki, yang berpakaian serba hitam, datang dengan cepat mendekati Nurbaya, yang sedang duduk di kursinya, tak dapat berdiri, karena pusing. Dengan segera orang itu memegang badan Nurbaya, lalu mengaggkat dan membawanya ke sisi kapal, hendak melemparkannya ke dalam taut. Tatkala dilihat oleh Nurbaya orang itu yaitu Pendekar Lima, yang dikenalnya, hendak menikam Samsulbahri dahulu, berteriaklah ia minta tolong serta berkuat, hendak melepaskan dirinya dari tangan penjahat ini.

Kusir Ali, terperanjat, lalu berdiri mengejar Pendekar Lima hendak menolong Nurbaya, sehingga berkelahilah mereka itu bergumul, hendak empas mengempaskan. Oleh karena itu terlepaslah Nurbaya dari tangan penjahat ini. Tetapi malang, tatkala Pak Ali hendak mendekati Pendekar Lima pula, kenalah ia disepak penjahat itu, lalu jatuh tergelimpang. Orang gempar, dan karena takut, Pendekar Lima lari menyembunyikan dirinya, lalu hilang pada suatu tempat yang gelap, di buritan kapal.

Tatkala datang kapitan kapal ke tempat perkelahian itu, diceritakanlah oleh kusir Ali segala hal yang telah terjadi.

Kapitan yang berhati santun dan iba kasihan, segera memberi perintah kepada anak buahnya, menyuruh bawa Nurbaya ke kamar sakit, karena pada ketika itu ia, entah sebab sangat terkejut, entah sebab diempaskan oleh Pendekar Lima, jatuh pingsan, terhantar di sisi kapal, tiada khabarkan dirinya lagi.

Dan pada ketika itu juga disuruhnya pula cari s i penjahat itu di segenap kapal. tetapi tiada ketemu.

Keesokan harinya, kelihatan seorang anak muda, berjalan pulang balik di pelabuhan Tanjung Periuk; rupanya ada yang dinantinya di sana. Setelah berlabuhlah kapal yang ditumpangi Nurbaya. naiklah anak muda itu ke kapal itu, sdinbil melihat ke sana kemari, tetapi rupanya tiada tampak yang dicarinya. Oleh sebab itu bertanyalah ia kepada beberapa penumpang, kalaukalau ada seorang perempuan muda bernama Nurbaya, menumpang bersama-sama. Setelah didengarnya dari mereka, sekalian yang terjadi di atas diri Nurbaya, segeralah ia masuk ke kamar sakit itu dan sesungguhnya di sana dilihatnya Nurbaya terbaring di atas sebuah tempat tidur. Maka tiadalah tertahan hatinya lagi, lalu ia berlari mendapatkan Nurbaya dan dipeluk serta diciumnya perempuan ini, sambil menangis, "Aduh Nurbaya, adikku yang tercinta! Rupanya hampir tiada dapat kita bertemu lagi."

Mendengar perkataan ini, terbangunlah Nurbaya. dan tatkala dilihatnya yang memeluknya itu Samsulbahri, menangislah pula ia tersedu-sedu, seraya memeluk kekasihnya ini.

"Sungguh celaka benar, untungku ini," katanya. "tiada putusputusnya dirundung mara bahaya. Bilakah habisnya azab sengsaraku? Jika tiada Pak Ali yang menolong aku, tentulah aku sekarang telah berkubur di dalam laut."

"Sudahlah adikku, jangan menangis lagi! Barangkali sekarang inilah datang waktunya, kita akan mendapat kesenangan, karena telah jauh daripada segala setan dan iblis.

Sabarlah, nanti aku ikhtiarkan, supaya kita beroleh kesenangan itu. Dapatkah engkau berjalan, supaya boleh kita turun dari kapal "Dapat," jawab Nurbaya, "hanya aku masih letih dan pening sedikit."

"Tak mengapa," jawab kusir Ali, yang mengikut Samsu, masuk kamar sakit, tetapi belum tampak oleh anak muda ini, "nanti hamba dukung!"

Mendengar perkataan ini, menolehlah Samsu ke belakang lalu segera menjabat tangan kusir Ali, minta terima kasih atas pertolongan dan setianya.

Tengah mereka berkata, masuklah kapitan kapal dengan seorang schout polisi, ke kamar sakit itu, lalu berkata. "lniluh dia!"

Melihat hal Nurbaya sedemikian, terdiamlah schout ini sejurus, kemudian diajaknya Samsu ke luar. Setelah sampai ke luar kamar itu, berkatalah schout ini, "Engkau ini s iapa?"

"Hamba seorang murid Sekolah Dokter Jawa, nama hamba Samsulbahri," sahut Samsu.

"Perempuan ini apamu," tanya polisi ini pula.

"Walaupun bukan saudara hamba sejati, tetapi lebih baik daripada adik kandung hamba, " jawab Samsu pula.

"Siapa namanya? "Siti Nurbaya."

"Dan orang yang bersama-sama dia?"

"Ali, kusir ayah hamba, yang berpangkat Penghulu di Padang."

"Datang dari Padangkah kedua mereka itu?"

"Memang: yang perempuan itu, anak seorang saudagar di sana."

"Jika demikian, benarlah dia ini," kata schout itu pula.

"Apakah sebabnya maka Tuan bertanya demikian?" tanya Samsu.

"Bacalah telegram ini," jawab schout itu, sambil mengunjukkan sehelai surat kawat.

Setelah Samsu membaca kabar kawat ini, pucatlah mukanya dan gemetarlah bibirnya. Tangannya dikepalkannya dan giginya digertakkannya; lalu berkata, "Bilakah puas hati jahanam itu menggoda Nurbaya ini?"

Kemudian berkata pula ia kepada schout itu. "Pengaduan ini takkan tiada bohong belaka; maksudnya semata-mata hendak menganiaya perempuan ini. Sebagai nyata pada akhirnya yang hendak dilakukan orang atas dirinya malam tadi. Datuk Meringgih ini ialah suaminya, seorang yang sangat kejam. Itulah sebabnya Nurbaya sampai lari kemari. Ia hendak dibuangkan ke laut, tentulah pekerjaan jahanam itu juga, karena penjahat yang membuangkan Nurbaya, ialah orangnya." Kemudian dicetitakanlah oleh Samsu hal-ihwal Nurbaya dengan pendek, dari awal sampai kepada akhirnya.

"Aku percaya akan perkataanmu," kata schout, "tetapi aku tiada dapat berbuat apa-apa, lain daripada menurut perintah yang kuterima ini."

"Tentu," jawab Samsu.

Setelah termenung sejurus, berkata pula ia, "Sekarang apakah maksud Tuan."

"Hendak kuperiksa segala barangnya," jawab pegawai polisi.

"Baiklah, nanti hamba ambil bawa-bawaannya," lalu masuklah Samsu ke kamar Nurbaya dan sebentar lagi keluar pula ia, membawa barang-barang adiknya ini. Setelah diperiksa, oleh Schout nyatalah tiada kedapatan apa-apa, lain daripada uang kira-kira lima puluh rupiah dan pakaian perempuan. Kemudian diperiksanya pula peti kusir Ali. Itu pun tiada juga kedapatan apa-apa, lain daripada beberapa helai pakaian.

"Uang ini siapa punya?" tanya Schout, "Uang Nurbaya," jawab Ali.

"Kamu tahu, dari mana diperolehnya uang ini?"

"Tahu, yaitu uang gadaian gelangnya, yang harganya kirakira dua ratus rupiah. Hamba sendiri Yang menggadaikannya, delapan puluh rupiah tatkala kami akan berangkat kemari. Ini suratnya. Yang tiga puluh rupiah kami pakai untuk biaya kapal, tinggal lagi lima puluh rupiah itu.

"Tahu benarkah. engkau, bahwa gelang itu kepunyaannya sendiri dan bukan harta suaminya?"

"Tahu: gelang itu pusaka dari emaknya yang telah meninggal dunia; diberikan kepadanya sebelum ia kawin dengan Datuk Meringgih."

"Memang," menyela Samsu, "hamba pun tahu hal itu."

"Baiklah," kata Schout pula, sambil menuliskan segala perkataan mereka. "Tetapi aku harus juga memeriksa perempuan ini."

"Tiada ada alangannya; hanya hamba minta, supaya perkara ini jangan dikabarkan dahulu kepadanya, sebab ia masih sakit; kalau-kalau bertambah penyakitnya, mendengar kabar yang tak baik ini. Dan sesudah itu, tentulah ia harus dibawa ke rumah sakit, berobat di sana dahulu," kata Samsu pula.

"Memang," kata dokter kapal, yang ada juga di sana." la masih sakit belum boleh dibawa pulang."

"Apabila tuan suka memberi suatu surat keterangan tentang halnya, tentulah dapat ditunggu sembuhnya dahulu," jawab Schout.

"Nanti aku beri surat itu," kata dokter kapal, lalu pergi.

Samsu dan schout masuk ke dalam kamar Nurbaya, lalu Samsu berkata kepadanya, "Ini tuan schout hendak memeriksa badanmu, kalau-kalau ada bekas kecelakaan tadi malam; karena penganiayaan itu akan diperkarakan."

Samsu pura-pura berkata demikian, supaya jangan diketahui Nurbaya, maksud kedatangan pegawai polisi ini.

Setelah diperiksa, berkata pula schout, "Marilah, berangkat sekarang! Nanti kutunjukkan rumah sakit tempat berobat.' "Baiklah," jawab Samsu.

Setelah siap, berangkatlah mereka sekalian. Nurbaya berjalan perlahan-lahan, dipimpin oleh Samsu, menuju setasiun. Di sana naiklah mereka ke kereta api yang menuju ke kota Jakarta. Dalam kereta api, berkata Samsu kepada Nurbaya, "Engkau di Jakarta berobat dahulu ke rumah sakit supaya baik benar. Bila telah sembuh nanti, boleh kita musyawaratkan, yang baik diperbuat."

"Bagaimana yang baik padamu sajalah," jawab Nurbaya, "aku menurut."

Setelah sampai ke kota Jakarta, dimasukkanlah Nurbaya ke rumah sakit; setiap hari dilihati oleh Samsu dan kusir Ali. Tiada beberapa lamanya Nurbaya dalam rumah sakit ini sembuhlah ia dari penyakitnya, lalu keluar dari rumah sakit tinggal menumpang di rumah seorang kepala kampung, kenalan Samsu, sementara menanti kapal yang akan membawanya pulang kembali ke Padang.

"Nurbaya!" kata Samsu pada suatu ketika yang baik, kepada adiknya ini. "Ada suatu kabar penting yang hendak kuceritakan kepadamu, yang sampai kepada waktu ini kurahasiakan; sebab aku khawatir penyakitmu, karena mendengarnya, akan menjadi bertambah. Tetapi sekarang badanmu telah sehat kembali, mogamoga dapat kausabarkan hatimu."

"Kabar apa itu?' tanya Nurbaya dengan terkejut, sambil melihat kepada Samsu.

"Jangan khawatir," jawab Samsu, tatkala dilihatnya muka Nurbaya berubah. Dicobanya tersenyum, hendak menghilangkan khawatir kekasihnya ini. "Barangkali engkau masih ingat kedatangan schout, ke kapal yang kautumpangi dahulu tatkala kapal itu baru berlabuh dan ingat pula bahwa schout itu memeriksa peti petimu dan peti Pak Ali. Dan tentulah engkau belum lupa pula, engkau dari kapal terus dimasukkan ke rumah sakit. Barangkali hal yang keniudian ini menimbulkan syak wasangka dalam hatimu, bahwa aku kurang mengindahkan engkau.

Walau ada sekalipun pikiranmu yang sedernikian, tak boleh aku marah, sebab memang demikianlah rupanya kelakuanku pada waktu itu. Seakan-akan kurang mengindahkan engkau.

Akan tetapi sebenarnyalah hanya Allah yang mengetahui betapa besarnya hatiku, tatkala mendapat kabar dan melihat engkau datang dan Tuhanlah yang mengetalrui betapa sedihnya hatiku melihat kedatanganmu dengan hal yang serupa itu: karena baru saja kita bertemu sekarang sudah harus bercerai pula. Ah ..."

"Apa kataniu?' tanya Nurbaya dengan terkejut, "sekarang ini kita harus bercerai pula? Apa sebabnya?' Maka diceritakanlah oleh Samsu, bahwa ada suatu dakwaan datang dari Datuk Meringgih, mengatakan Nurbaya dan kusir Ali melarikan barang-barang dan uang Datuk itu dan meminta, supaya mereka ditahan dan dikirimkan kembali ke Padang selekas-lekasnya.

"Sesungguhnyalah Datuk Meringgih itu manusia yang sebengis-bengisnya. Sebelum mati aku belumlah puas hatinya," kata Nurbaya dengan sangat marahnya. "Percayakah engkau akan sekalian dakwaannya itu?"

"Masakan aku percaya Nur; masakan engkau dapat berbuat sedemikian," jawab Samsu. Sekalian orang yang mendengar cerita ini, tak seorang pun percaya akan dakwa itu. Tetapi apa hendak dikata? Kita sekarang berlawan dengan polisi; tiada dapat berbuat apa-apa, harus menurut. Jika kita berlawan dengan Datuk celaka itu, sebelum melayang nyawaku, tiadalah engkau akan kembali ke Padang."

Nurbaya tidak menjawab, agaknya sebab sesak dadanya, sampai didengarnya Samsu bertanya "Bagaimana pikiranmu, Nur? Mengapa engkau berdiam diri?"

"Sebab perkara ini sangat sulit. Kehendak hatiku, sebolehbolehnya janganlah aku sampai kembali pula ke Padang. Tak dapat kukatakan bagaimana susahnya aku sampai kemari, tak dapat kuceritakan bagaunana aku akan dihinakan orang Padang, karena aku, sebagai seorang perempuan yang bersuami, telah meninggalkan suaminya lari kepada laki-laki lain. Kalau aku kembali ke Padang, niscaya akan kulihatlah sekalian mulut yang niengejekkan aku dan akan kudengarlah pula segala perkataan yang menghinakan aku. Akan tetapi ... ya adakah jalan lain yang dapat diturut?' Setelah berdiam sejurus berkata pula Samsu perlahanlahan, "Bagaimana pikiranmu, kalau kita lari dari sini supaya terlepas dari tangan polisi?"

"Pada sangkaku akan sia-sia juga pekerjaan kita itu," jawab Nurbaya dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. "karena akhirnya tentulah kita akan jatuh juga ke dalam tangan polisi.

Di mana hendak menyembunyikan diri? Seluruh tanah Jawa ada polisi. Lagi pula kalau kita berbuat demikian, sebagai benarlah aku bersalah. Bukankah aku takut karena salah dan berani karena benar? Lari artinya takut, oleh karena itu, tentulah sekalian orang akan bersangka, aku ini benar bersalah. Pada pikiranku, tak dapat aku menyatakan kebenaranku, kalau tiada melawan dakwa itu. Oleh sebab itu biarlah aku kembali dahulu. Tak susah bagiku akan menyatakan kebenaranku dan perkara ini niscaya lekas putus.

Bila telah putus, lekaslah pula aku kembali kemari.

"Ah ya. Tetapi sesungguhnyakah tak ada jalan lain yang dapat melepaskan engkau dari jahanam itu?" kata Samsu, sambil mengepal tangannya, serta memukul meja, sebagai hendak melepaskan panas hatinya. "Keinginan hatiku hendaknya sekarang, setelah kita bercampur ini, janganlah bercerai pula; karena kinilah kita dapat bersama-sama. Bila telah pulang engkau ke Padang, harus kita bertemu pula dahulu, baru dapat bercampur kembali. Padang Jakarta bukan semalalam, lautan besar harus diseberangi, baru sampai.

Sedangkan di dalam waktu yang sesaat boleh banyak yang terjadi, apalagi dalam perceraian yang tak tentu lamanya ini."

"Perkataanmu itu memang benar, Sam. Tetapi apa daya kita dalam hal ini, lain daripada menurut kehendak polisi? Bukan bagimu saja berat perceraian ini, tetapi terlebih-lebih bagiku, yang sebagai burung telah lepas dari penjara dan sekarang harus menyerahkan diri pula, masuk ke dalam sangkarnya kembali, bertemu dengan algujunya.

"Ya Allah!' keluh Nurbaya. "Kepada siapakah hamba-Mu akan meminta pertulungan lagi, lain daripada-Mu ... ?"

Samsu tiada dapat mengeluarkan suaranya, karena sedih melihat adiknya ini.

"Sungguhpun hatiku rasakan hancur akan meninggalkan engkau pula, tetapi tiadalah akan senang hatiku, bila perkara ini belum selesai. Biar dikatakan perempuan yang tiada setia kepada suaminya, sebab memang Datuk jahanam itu bukan suamiku, melainkan algojoku, yang telah dilindungi surat kawin, tetapi aku tiadalah sekali-kali suka dikatakan pencuri, sebab memang aku bukan pencuri. Oleh sebab itu kebenaranku dalam hal ini, harus dinyatakan. Hanya suatu yang terpikir dalam hatiku, tidakkah buleh perkara ini diperiksa di Jakarta ini saja? Jika sekiranya boleh bcrapakah baiknya!"

"Ya, memang itu suatu akal," kata Samsu tiba-tiba, lalu berdiri dan memakai topinya.

Hendak ke mana engkau?" tanya Nurbaya, yang belum mengerti maksud Samsu ini.

"Hendak pergi ke kantor Asisten Residen, menanyakan, bolehkah perkara ini diperiksa di sini saja,"

"Ya, baik. Cobalah!" kata Nurbaya. "Mudah-mudahan disampaikan Allah juga maksudmu itu."

Seketika itu juga berangkatlah Samsu dan kira-kira pukul dua, barulah ia kembali. Tetapi dari jauh telah kelihatan oleh Nurbaya pada mukanya, bahwa maksudnya tiada berhasil, karena Samsu datang dengan berdukacita.

"Bagaimana?" tanya Nurbaya dari jauh. pulang."

"Ah, tak boleh. Engkau harus juga pulang."

"Memang telah kusangka," kata Nurbaya. "Apa boleh buat!"

"Ya, memang; malang itu tak dapat ditolak. Sungguhpun demikian baik juga engkau berhati-hati. Siapa tahu algojomu itu ada lagi akalnya, untuk membinasakan engkau; sebab ia rupanya tak takut dan tak ngeri berbuat segala kejahatan.

Sementara itu, akan kucarilah pekerjaan di sini, supaya ada penghidupan kita, bila engkau telah kembali dan hidup bersama-sama dengan aku kelak. Jika aku teruskan pelajaranku, tentulah susah kita hidup di sini. Bagiku, biar tak menjadi dokter, asal hidup bersama-sama dengan engkau."

"Benar sekali perkataanmu itu, Sam. Itulah jalan yang sebaikbaiknya diturut, supaya selamat kita. Dan walaupun kusayangkan benar, engkau meninggalkan sekolahmu, tetapi harus juga kubenarkan maksudmu ini. Oleh sebab itu berjanjilah aku kepadamu, bila kita telah bersama-sama kelak, akan kubalas jasamu itu dengan penjagaan dan bantuan yang sebaik-baiknyadalam kehidupanmu."

"Ah, perkara sekolahku janganlah kaupikirkan. Ingatlah akan janjiku kepada ayahmu! Tidak pun demikian, seharusnyalah juga aku membela engkau," kata Samsu, "lagi pula, memang aku tak dapat meneruskan pelajaranku, karena kurang belanja. Engkau tahu sendiri, ayahku tak hendak membantu lagi."

"Oleh sebab itu, pada pikiranku, bila kita telah bersamasama kelak, akan kusuruh juallah rumah dan tanahku serta sekalian barang-barangku yang masih ada di Padang, supaya uang itu dapat kita pakai pembeli rumah di sini, atau untuk apa-apa saja yang perlu; karena aku tak hendak kembali lagi ke Padang, biarlah mati di rantau orang. Di tanah airku sendiri tiada lain daripada kesusahan dan kesengsaraaq yang kuperoleh. Barangkali di negeri orang dapat aku beroleh kesenangan," kata Nurbaya.

"Ya, benar; sesungguhnyalah itu. Pikiranku pun deniikian juga. Padaku, apa lagi yang akan menarik hatiku ke Padang? Engkau telah ada di sini dan ibuku akan kusuruh datang kemari, tinggal bersama-sama dengan kita," jawab Samsu.

"Wahai, alangkah senang hatiku, bila ibumu pun telah bersama-sama pula dengan kita! Tentulah hilang segala sengsara yang telah kurasai itu; tentulah tinggal kesenangan dan kesukaan lagi; tentulah... Ah, sesungguhnya cita-cita itu sangat elok rasanya," kata Nurbaya setelah termenung sejurus, sedang keriangan hatinya yang mulai timbul, hilang kembali, bertukar dengan sedih, sehingga mendatangkan khawatir pula, dalani hatinya, takut kalau-kalau tiada disampaikan Tuhan.

"Masih ingatkah engkau akan segala cita-cita pada malam, tatkala engkau akan berangkat kemari, Sam? Apakah jadinya sekarang?"

"Jangan berpikir sedemikian!" jawab Samsu. "Jangan putus asa! Engkau masih muda dan aku pun begitu pula. Siapa tahu, tidak sekarang, barangkali kelak kita beroleh kesenangan.

Masakan hujan saja dari pagi sampai petang. Panas sesudah hujan, menimbulkan kesegaran badan dan kesenangan hati."

"Kuharap demikian jugalah hendaknya! Akan tetapi, karena segala kecelakaan dan kedukaan telah datalig bertubi-tubi menimpa diriku, tak beranilah aku berharap lagi; istimewa pula sebab aku sekarang harus pulang ke Padang.

Sesungguhnya sangat berat hatiku hendak meninggalkan engkau dan Jakarta ini, karena aku di sini sungguh berasa senang; pertama sebab ada dalam tanganmu. kedua sebab jauh dari tempat aku beroleh mara bahaya. Dan lagi, sebagai ada yang melarang aku kembali ke Padang, sebagai di sana telah menunggu pula sesuatu kecelakaan yang mengancam diriku."

"Hilangkanlah pikiran yang seperti itu! Ingatlah akan nasihat orang tuamu!" kata Samsu dengan perlahan-lahan, membujuk kekasihnya, walaupun hatinya sendiri berasa khawatir pula.

"Apalagi karena dalatn perkara ini, kita tak boleh mengatakan tidak; harus menurut. Sebab itu nienyerahlah engkau dan berhatihatilah menjaga diri! Selama-lamanya engkau sebulan di sana; sudah itu tentulah kita bertemu pula.

Aku sesungguhnya ingun benar hendak mengantarkan engkau; tetapi waktu ini tiada dapat aku berangkat, karena ada sesuatu pekerjaan yang hendak kuminta. Kalau aku pergi dari s ini, tentulah lepas pekerjaan itu dari tanganku. Keinginan hatiku, bila engkau telah kembali pula kemari, aku telah mempunyai pekerjaan.

Lagi pula, engkau kembali ke Padang diantarkan oleh seorang opas yang kukenal. Nanti kupesankan kepadanya, supaya engkau dijaganya baik-baik. Jika engkau kelak hendak kembali kemari dan tak ada teman, kirimlah kabar kepadaku! Tentu aku datang menjemput. Dengan demikian, tak lama aku di Padang. Bila aku menumpang dengan kapal Jakarta yang bertemu di Padang dengan kapal dari Aceh, barangkali hari itu juga dapat aku kembali, sehingga tak perlu bermalam di Padang.

Seboleh-bolehnya jangan aku bertemu pula dengan ayahku. Bagaimana pikiranmu Nur? Baikkah begitu?"

"Baiklah, kalau engkau suka demikian," jawab Nurbaya, sambil memandang muka Samsu dengan tersenyum.

"Memang engkau baik hati, segala menurut," kata Samsu pula, seraya mencium adiknya ini.

"Sekarang kenakanlah pakaianmu, supaya dapat kita berjalan-jalan, melihat-lihat kota Jakarta ini, sebab besok kapal berangkat ke Padang."

"Besokkah aku harus berangkat dan bercerai pula denga engkau?" tanya Nurbaya.

"Untuk sementara," jawab Samsu.

Setelah selesai memakai, berjalanlah kedua mereka, berpegang-pegangan tangan, melihat tamasya kota Jakarta pada malam hari. Oleh Samsu dibawalah Nurbaya berjalan ke sana kemari, naik bendi dan kereta, sekeliling kota Jakarta.

Tidaklah dapat dikatakan senang hati Nurbaya melihat keindahan kota ini.

"Sesungguhnya kota Jakarta ini sangat besar dan sangat ramai; penuh dengan toko dan rumah yang besar-besar dan bagus-bagus. Harus jadi ibu negeri Indonesia," kata Nurbaya.

Setelah puas bersiar-siar, masuklah kedua mereka ke dalam sebuah rumah makan, karena perutnya berasa lapar.

Bila kenyanglah sudah makan. lalu dibawa oleh Samsu Nurbaya melihat komedi kuda, yang kebetulan sedang bermain di sana. Kemudian barulah mereka pulang kembali, sambil berjalan perlahan-lahan.Semalam itu lupalah Nurbaya akan hal ihwal yang telah di-tanggungnya, dan dirasainyalah kesenangan seorang perempuan yang bebas, yang berdekatan dengan kekasihnya. Malam itulah malam yang ketiga kali.

Nurbaya merasa untungnya mujur.

"Tak banyak permintaanku tak banyak keinginan hatiku, biarlah tak kaya atau tak berpangkat tinggi, asal mendapat kcsenangan sebagai waktu ini," katanya. "Inilah surga dunia, yang baru kukenal, Sam. Adakah akan dapat selama-lamanya kita seperti ini?"

"Mengapa tidak? Kalau engkau telah ada pula di sini nanti, apakah yang akan menjadi alangan lagi atas diri kita untuk selalu bersama-sama?"

Dengan bercakap-cakap sedemikian, sampailah mereka ke rumah tempat Nurbaya menumpang, lalu duduk di serambi muka bertutur-turut, sebagai hendak memuas-muaskan hatinya.

"Sam!" kata Nurbaya tiba-tiba, "aku mendengar suatu pantun yang demikian bunyinya: "Dari jauh kapalmu datang, pasang bendera atas kemudi.

Dari jauh adikmu datang, melihat Kakanda yang baik budi."

"Jawabnya begini," kata Samsu, sambil tersenyum: "Selasih di kampung Batak, perawan luka tentang kaki.

Terima kasih banyak-banyak, sudi datang melihati."

"Suatu lagi," kata Nurbaya: "Sultan Iskandar raja Sikilang, raja Barus pegang tongkatnya, Tidak disesal badanku hilang, sudah harus pada tempatnya."

"Jawabnya," kata Samsu: "Sukar membilang buah kelapa, burung pipit terbang sekawan. Biar hilang tidak mengapa, asal bersama dengan Tuan."

Demikianlah kedua mereka itu bercakap-cakap dan berpantun-pantun serta bersenda gurau. (Oo-dwkz~http://kangzusi.com/ O) Pada keesokan harinya, berlayarlah Nurbaya pulang ke Padang, bersama-sama kusir Ali, diantarkan oleh seorang opas polisi. Dengan tolong Allah, adalah selamat perjalanan itu tiada kurang suatu apa.

Setelah sampai ke Padang diperiksalah perkara itu, dan nyatalah bahwa Nurbaya tiada bersalah apa-apa, dalam perkara ini, hanyalah khianat Datuk Meringgih, yang pura-pura berbuat sebagai barang dan uangnya dilarikan Nurbaya, supaya istrinya ini dikirimkan kembali ke Padang.

Katanya mula-mula, tak tahu di mana barang-barang dan uang itu disimpan Nurbaya, dan sebab ia lari; disangkanya uang dan barang itu dibawanya. Tetapi setelah ditunjukkan Nurbaya tempat barang-barang dan uang itu disimpan, nyatalah istrinya tiada bersalah apa-apa.

Walaupun dimaklumi orang, Datuk Meringgih dengan sengaja berbuat demikian tetapi tiadalah ia beroleh hukuman apa-apa sebab ia seorang saudagar yang amat kaya di Padang.

Tatkala kapal telah berangkat, termenunglah Samsu sejurus di pelabuhan Tanjung Periuk, karena sebagai didengarnya suara yang timbul dalam hatinya mengatakan: Nurbaya tiada akan kembali lagi dan itulah pertemuan mereka yang penghabisan di atas dunia ini. Walaupun sangat khawatir dan kabur pikirannya tetapi disabarkannya juga hatinya, dan meminta pertolongan Tuhan yang pengasih penyayang.