Si Bujang Lenguang

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Si Bujang Lenguang
oleh Dina Ramadhanti

SI BUJANG LENGUANG



Dina Ramadhanti



Dahulu kala hiduplah sebuah keluarga di pinggiran perbukitan koto Lipek Pageh, sebuah desa yang berada dalam wilayah Kenagarian Salimpek. Di keluarga itu hanya tinggal dua orang ibu dan anak, Bujang dan ibunya. Ayah Bujang telah lama meninggal dunia karena diterkam harimau Sumatera ketika berburu, Saat itu usia Bujang masih kecil, kira-kira 6 bulan. Semenjak itu Bujang dan ibunya hanya tinggal berdua. Segala kebutuhan sehari-hari ditanggung oleh Ibu Bujang dengan

bekerja serabutan di ladang orang. Kadangkala Ibu Bujang mengumpulkan kayu bakar di rimba dan dijual kepada tetangga.

 Bujang sangat dimanjakan oleh ibunya. Setiap hari sebelum berangkat bekerja, Bujang selalu disediakan makanan oleh ibunya. Bujang hanya bermain dan bermain saja dengan anak-anak di sekitar tempat tinggalnya. Kemana-mana Bujang ditemani oleh anjing peninggalan ayahnya. Anjing itulah satu-satunya peninggalan ayah Bujang. Anjing itu didapat ayah Bujang dari kenalannya saat berburu. Saat itu anak anjing itu masih kecil. Ayah Bujang sangat menyayangi anak anjing itu dan diberi nama si Tomo. Ibu Bujang selalu berpesan agar  Bujang tidak bermain jauh-jauh dengan anjingnya apalagi berburu. Ibu Bujang tidak ingin lagi kehilangan anggota keluarganya. Hanya Bujanglah satu-satunya keluarga yang dimilikinya.

 "Bujang, Ibu pergi dulu ke ladang Pak Palin ya. Ayo bangun! Jangan lupa kau mandi, sekalian kau mandikan juga si Tomo," kata Bu Bujang sembari berkemas berangkat ke ladang.

 "Iya Bu. Sebentar lagi Bu. Mataku masih mengantuk. Seharian aku lelah membawa main Si Tomo," sahut Bujang dengan suara masih berat karena mengantuk.

***

 Selang berapa lama kepergian ibunya ke ladang. Bujang bersiap membawa anjingnya ke sungai. Di sana dia bertemu dengan teman-temannya.

 "Eh, Bujang. Mau kau manjakan terus anjingmu ini. Untuk apa punya anjing bagus kalau hanya kau diamkan di rumah," kata Alam teman sepermainan Bujang dari kecil.

 "Memangnya kenapa? Anjing ini kan punyaku. Suka-suka aku lah. Kenapa kau yang ribut?" Kata Bujang menimpali temannya dengan perasaan kurang senang seakan diejek Alam.

"Kau tahu! Kemarin, aku dan Wawan pergi ke rimbo. Wawan berburu rusa dengan anjingnya itu. Dia jual rusa itu dengan harga mahal," cerita Alam dengan bangga.

"Kau ini. Aku tidak mungkinlah berburu. Kau tahu sendiri, ibuku tidak akan pernah mengizinkan aku berburu.” Kata Bujang dengan pasrah.

"Bujang, kau ini sudah dewasa. Ibumu melarangmu berburu karena beliau mengira kau masih anak-anak. Lagipula kalau kau bisa mendapatkan rusa dengan berburu, kau bisa menjualnya. Hidup kau akan berubah, Bujang. Memangnya kau mau, hidupmu terus bergantung kepada ibumu?" Kata Alam seraya membujuk Bujang.

Bujang hanya termenung memikirkan perkataan Alam. Perasaaannya campur aduk. Selama ini dia tidak pernah berburu karena larangan ibunya. Ibunya tidak pernah memberitahu alasan kenapa melarang dia berburu. Tapi yang selama ini dia tahu, ibunya melarang dia berburu karena masih kecil dan takut kalau dirinya tersesat di hutan.

"Eh... Bujang, aku tidak menyuruhmu melamun. Cobalah kau pikirkan perkataanku ini. Aku pergi dulu. Kalau kau tertarik segera temui aku," bujuk Alam sambil berlalu membawa anjingnya.

Bujang kembali termenung memikirkan perkataan Alam. Hatinya mulai resah. Selama ini dia hanya mengiyakan kata ibunya tanpa pernah membantah. Mungkin dengan dia mulai bicara dengan ibunya, ibunya bisa memahami keinginannya untuk berburu.

"Tomo, mungkin sudah saatnya aku mengajakmu pergi berburu. Kau dengar tadi, Wawan mendapatkan rusa besar. Anjingnya itu tidak lebih baik darimu Tomo. Aku yakin kalau kau yang memburu rusa itu, kau pasti bisa mendapatkan rusa yang lebih besar. Kau harus bersiap Tomo!" Kata Bujang sambil berbicara sendiri dengan Tomo, anjingnya.

***

Sementara itu, di ladang bawang milik Pak Palin, Ibu Bujang sibuk membersihkan tanaman bawang dengan mencabuti rumput di sekitar rumpun bawang. Ibu Bujang telaten dan sangat ulet bekerja. Tak heran kalau Pak Palin selalu mempekerjakan Ibu Bujang di ladangnya. Saat itu, Ibu Bujang bersama dengan beberapa pekerja Pak Palin sedang duduk- duduk melepas lelah. Saat itu udara sangat panas. Tanah mulai mengering, tetapi Pak Palin sudah menyediakan bendungan air dekat ladangnya supaya tanaman bawangnya tidak kekurangan air.

"Bu Bujang, sampai kapan kau akan memanjakan Si Bujang? Dia sudah dewasa sekarang. Harusnya kau ajak dia ke ladang dan membantumu memenuhi kebutuhan hidup," kata Bu Maman kepada ibu Bujang.

"Kau benar, dia sudah dewasa sekarang. Aku tidak mengira secepat itu waktu berlalu. Aku seorang diri membesarkannya. Tak disangka dia sudah sebesar itu," jawab Ibu Bujang sambil menghela nafas.

“Kau tau, tidak akan selamanya kau bisa memenuhi kebutuhan hidup Si Bujang. Suatu saat dia akan menemukan pasangan hidupnya. Kau ajaklah dia pergi ke ladang agar nanti dia terbiasa. Kalau kau memanjakan dia terus, dia tidak akan bisa apa-apa," ujar Bu Maman menasehati ibu Bujang.

Ibu Bujang hanya mengangguk mengiyakan perkataan Bu Maman. la berpikir, mungkin benar yang dikatakan Bu Maman. Bujang harus diajak bekerja. Bujang sudah dewasa. Bujang harus bisa memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Ibu Bujang jadi berpikir. Kalau suatu hari dia pergi menyusul Ayah Bujang, dia

tidak akan khawatir dengan kehidupan Si Bujang. Selama ini dia tidak pernah mengajari Bujang bekerja. Dia hanya menyuruh Bujang bermain bersama teman-temannya. Dia jadi memikirkan kembali perkataan Ayah Bujang sehari sebelum berangkat berburu. Pesan itu terus diingatnya.

 "Aku akan pergi berburu. Tempatnya jauh dari tempat biasa aku berburu. Mungkin aku tidak akan pulang berhari-hari. Kau harus menjaga Bujang dengan baik. Dia tidak boleh sakit. Jangan kau biarkan dia kesakitan. Kau harus menjaganya. Ingat! hanya Bujang yang kita punya" pesan Ayah Bujang sehari sebelum dia pergi meninggalkan Bujang dan Ibunya.

 Ibu Bujang jadi berpikir. Rasa sayangnya pada Bujang menjadikan Bujang manja dan tidak bisa apa-apa. Dia terlalu memanjakan Bujang. Bujang tak pernah diajarinya bercocok tanam. Dia merasa telah salah mengartikan perkataan suaminya dulu. Suaminya memintanya menjaga Bujang dengan baik supaya Bujang bisa tumbuh menjadi pribadi yang  kuat, tak mengeluh menghadapi kesulitan hidup, ulet, dan menjadi pribadi yang lebih baik.

 "Iya, mulai besok akan aku ajak Bujang ke ladang supaya dia bisa belajar bercocok tanam. Aku harus mengajaknya. Tidak mungkin Bujang di rumah terus dan bermain dengan Si Tomo" pikirnya sambil berkemas untuk pulang.

***

 Malamnya Bujang dan ibunya menyantap makan malam. Dengan hidangan sederhana, seperti ikan kering dibakar, daun pucuk umbi² yang direbus, dan sambalado batu³. Bujang sangat menikmati hidangan makan malam itu dengan lahap. Sambil makan dia memikirkan cara meminta izin kepada ibunya untuk pergi berburu. Tak beda dengan Ibu Bujang, dia juga memikirkan cara mengajak Bujang untuk ikut dengannya ke ladang. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing seraya menikmati makan malam mereka. Begitu selesai, Bujang dan ibunya tak segera berlalu. Keduanya masih sibuk dengan pikiran masing-masing. Bujang mulai tak sabar,

akhirnya dia mulai bicara dengan ibunya.

"Bu, tadi aku bertemu dengan Alam di sungai. Katanya dia akan mengajakku berburu," ucap Bujang dengan hati-hati.

"Apa? berburu kau bilang? Aku tidak bisa mengizinkanmu berburu Bujang. Aku tidak bisa. Aku sudah katakan ini sebelumnya, Kau tidak boleh berburu," ucap Ibu Bujang menimpali keinginan anaknya dengan suara bergetar.

"Aku sudah dewasa sekarang Bu, Aku tidak bisa seperti ini terus, Aku ingin mencari uang juga Bu. Aku ingin berburu rusa dan menjualnya dengan harga mahal," kata Bujang seakan tak terima dengan larangan ibunya.

"Kalau Kau ingin membantuku, ayo ikut denganku ke ladang! Kau bisa belajar bercocok tanam. Kau bisa belajar banyak hal dengan orang-orang di sana. Kau bisa membantuku tanpa harus berburu Bujang," nasehat Ibu Bujang kepada Bujang.

"Bercocok tanam tidak cocok denganku Bu. Aku tidak akan bisa mengerjakan itu. Bercocok tanam itu sangat sulit, Bu. Pekerjaan itu sangat berat. Lagipula tidak ada yang berubah dengan hidup kita Bu. Ibu sudah lama bekerja di ladang tapi tidak ada yang berubah dengan kehidupan kita,” kata Bujang menimpali perkataan ibunya sambil berlalu.

Ibu Bujang tidak dapat berkata apa-apa lagi. Dia sedih dengan perkataan anaknya. Dia menyesal harusnya dari dulu dia mengajari anaknya bercocok tanam. Dia tidak menyangka kalau jawaban anaknya akan melukai perasaannya. Tadinya, dia berpikir Bujang akan mau diajak bercocok tanam. Jika saja Bujang mau belajar, tentu dia tidak akan lagi bekerja di ladang orang lain. Dia bisa menggunakan tanahnya yang tidak terlalu luas di samping rumahnya. Akan tetapi, Bujang terlalu keras hatinya. Bujang terlalu ingin berburu dan mengikuti jalan hidup ayahnya.

***

 Kemarau panjang mulai menampakkan cengkeramannya. Tanah-tanah mulai rengkah. Tanaman banyak yang kekurangan air. Matahari semakin menjadi-jadi menjilati bumi. Kehidupan masyarakat mulai sulit, air mulai sulit didapatkan. Tanaman mulai sulit tumbuh. Siapa yang mengira kemarau panjang mulai memperlihatkan kegagahannya. Tak ada yang bisa menolak kedatangannya. Kehidupan menjadi terasa sulit karena tanaman tidak lagi tumbuh dengan subur. Begitupula dengan kehidupan Bujang dan ibunya. Mereka mulai mengalami kesulitan hidup. Mereka hanya bisa memakan makanan apa adanya saja. Kadang-kadang memakan layu-layu.

 Setiap hari Ibu Bujang menjemur nasi sisa hingga kering, menumbuknya, dan mencampurnya dengan kelapa parut dan gula aren. Dengan cara itu mereka bisa makan. Ibu Bujang pun tak lagi sering ke ladang seperti sebelumnya. Musim kemarau benar-benar menguji keimanan Ibu Bujang dan penduduk sekitar. Jika mereka ingin mendapatkan air bersih, mereka harus mengambilnya ke mata air dekat hutan.

 "Ibu Bujang, mana Si Bujang, kau suruhlah dia membantumu mengambil air. Tempatnya jauh, tidak mungkin kau sendiri yang mengambil air," ucap Bu Maman karena mulai kasihan melihat Ibu Bujang.

"Tadi itu dia masih tidur. Aku kasihan harus membangunkannya dalam kondisi tidur lelap begitu. Tidak apa-apa Bu Maman. Aku masih kuat kalau hanya mengambil air ke mata air," kata Ibu Bujang dengan lirih.

Bu Maman hanya tersenyum mendengar jawaban Ibu Bujang. Sepertinya dia merasa kasihan dengan Ibu Bujang. Sementara Ibu Bujang hanya termenung mengingat perkataan Bu Maman.

"Andai Bu Maman tahu, kalau Bujang tak bicara denganku semenjak kejadian malam itu” pikirnya.

Ibu Bujang sedih karena Bujang mendiamkannya semenjak kejadian malam itu. Kejadian ketika Ibu Bujang melarang Bujang pergi berburu. Ibu Bujang tidak mengetahui kalau Bujang sering pergi berburu dengan Alam tanpa sepengetahuannya. Bujang tidak pernah memberitahu ibunya.

***

Suatu hari, Bu Maman melihat Bujang pergi berburu dengan teman-temannya. Ketika itu dia dan anaknya Wati pergi mengambil air ke mata air.

"Itu kan Si Bujang, kenapa dia pergi berburu. Bukankah ibu Bujang melarangnya pergi. Kenapa dia membantah perkataan ibunya," kata Bu Maman pada Wati anaknya sambil menunjuk ke arah Bujang.

"Biarkan sajalah Bu, lagipula itu urusan Si Bujang. Mana mau dia mendengarkan kita. Percuma saja kita melarangnya. Ibunya saja tidak didengarnya. Kenapa kita harus repot, Bu" jawab Wati seolah tak peduli.

Bu Maman hanya diam tetapi dalam hati dia mengiyakan perkataan puterinya. Meskipun begitu, dia akan berusaha memberitahu kepada Ibu Bujang. Ibu Bujang sangat

 menyayangi Bujang. Jika peristiwa serupa terulang lagi tentu Ibu Bujang akan sangat sedih. Dia yang selama ini menjadi tempat Ibu Bujang berkeluh kesah. Dia sangat memahami betapa terpukulnya Ibu Bujang mengetahui suaminya meninggal diterkam harimau. Dia hampir mengakhiri hidupnya, jika saja Bujang tidak memanggilnya ketika itu.

***

 Pagi itu, ibu Bujang sedang menyiapkan makan pagi untuk Bujang. Dia terlihat kurang sehat. Pandangan matanya tampak lelah. Dia merasa tidak kuat harus mengambil air ke mata air dekat hutan.  "Bujang, tolong ibu, Nak! Bantu ibu mengambil air ke mata air! Persediaan air kita sudah habis. Aku merasa kurang sehat," pinta ibu Bujang kepada anaknya

 "Nanti sajalah Bu, aku sudah berjanji dengan teman- temanku," jawab Bujang.

 Ibu Bujang sangat sedih dengan jawabananaknya. Dia tidak menyangka kalau Bujang tidak mau membantunya. Bujang lebih memilih pergi dengan teman-temannya daripada membantu ibunya. Bujang seolah tidak peduli dengan kesehatan ibunya. Bujang begitu keras hati. Ibu Bujang mulai mencurigai anaknya. Bu Maman mengatakan padanya kalau Bujang pernah terlihat pergi berburu dengan teman-temannya. Kala itu ibu Bujang sangat kaget mendengar laporan Bu Maman. Dia berusaha bicara dengan Bujang anaknya, tetapi tidak pernah ada kesempatan.

"Apa kau akan pergi berburu lagi dan membantahku? Kau tahu, kenapa aku melarangmu pergi? Karena ayahmu Bujang. Ayahmu meninggal karena berburu. Dia meninggal karena diterkam harimau. Kau tahu itu! Kau tidak pernah mengerti dan memahami betapa hancurnya hatiku melihat ayahmu berpulang dengan wajah yang tak bisa dikenali. Apa kau akan mengulang hal yang sama. Apa kau ingin melihatku mati seketika? Cobalah kau mengerti Nak!" ucap Ibu Bujang dengan sedih dan terbata-bata.

Bujang terkejut mendengar ibunya mengetahui jika dia pergi berburu. Akan tetapi dia lebih terkejut lagi mendengar kabar kematian ayahnya yang tidak biasa. Dia sedih, tapi keras hatinya mengalahkan segalanya. Dia tidak mempercayai perkataan ibunya.

"Ibu bohong, aku masih ingat ketika ibu mengatakan kepadaku ayah meninggal karena sakit. Itu hanya alasan ibu sajakan untuk melarangku berburu. Aku tidak mempercayai perkataanmu Bu," jawab Bujang dengan nada suara mulai meninggi kepada ibunya.

Ibu Bujang terkejut dengan jawaban Bujang yang tidak mempercayai perkataannya. Dulu dia memang pernah mengatakan kalau ayah Bujang meninggal karena sakit. Akan tetapi, ketika itu Bujang masih sangat kecil. Dia tidak mau Bujang menjadi sedih dan terpukul dengan kejadian mengerikan yang menimpa ayahnya. Ibu Bujang terlalu takut jika hal itu mempengaruhi perkembangan Bujang.

"Bujang, kenapa kau begitu keras kepala? Kenapa kau tumbuh jadi seperti ini? Apa salahku padamu? Kenapa kau harus keras hati begini? Kenapa hatimu sekeras batu? Kenapa kau tidak mau mendengarkan perkataanku, Bujang. Bujaaaaangggg" ujar ibu Bujang sambil meratap sedih.

Bujang tidak mempedulikan ibunya. Dia terus pergi meninggalkan rumah dengan keras hati. Dia tidak peduli dengan kesedihan ibunya. Dia mengira ibunya hanya mengada-ada supaya dia tidak pergi berburu.

Ketika itu langit mulai gelap. Petir mulai terdengar. Bujang merasa aneh dan bertanya-tanya, kenapa langit gelap dan petir mulai bersahut-sahutan, padahal sekarang musim kemarau.

Bujang terus saja berjalan menjauhi rumahnya bersama Tomo anjingnya. Dia sudah mulai menjauh dari rumahnya, petir terus saja terdengar tanpa henti. Sepanjang perjalanan dia mulai terpikir perkataan ibunya. Dia merasa telah melukai perasaan ibunya. Hanya karena ingin berburu dia membantah ibunya. Padahal dia tidak mendapatkan apa-apa dengan

berburu. Akan tetapi penyesalannya tidak bisa mengubah segalanya. Ketika dia mulai berbalik dan menoleh kakinya mulai terasa berat, dia tidak bisa bergerak. Seakan-akan tanah sudah menjerat kakinya. Petir masih saja bersahut-sahutan. Hujan mulai turun dengan deras. Tak berapa lama kaki Bujang mulai mengeras begitupula anjingnya si Tomo.

Bujang membatu dengan keadaan menoleh/melenguang begitupula anjingnya si Tomo. Begitulah kekuasaan Allah Swt. Jika membantah perkataan ibu dan membuat hati ibu sedih, maka Allah akan melaknat kita dan Allah sangat membenci manusia yang durhaka pada ibunya.

Sampai sekarang masyarakat Kenagarian Salimpek mempercayai keberadaan batu lenguang atau batu Si Bujang Lenguang itu. Akan tetapi jalan menuju ke sana sulit dan pepohonan yang lebat menjadikan sebagian masyarakat tidak mempercayai adanya batu Si Bujang Lenguang.

***