Si Bintiak Pemecah Rekor
SI BINTIAK
PEMECAH REKOR
Masyita Putri Imana
SMPN 1 Harau
“Kalau saya dengar-dengar,musim pacu sapi tahun ini akan dilaksanakan satu minggu penuh,” kata Mak Tiun sambil meneguk kopi pahitnya yang masih panas.
“Mak Tiun dapat kabar dari mana?” Tanya Tuan Sati.
“Kemarinkan panitia sudah rapat terakhir, katanya pacu kali ini banyak sapi-sapi pemula dan jokinyapun banyak joki yang baru. Kabarnya juga akan dilaksanakan seleksi mencari joki berbakat dan punya kompetensi untuk melestarikan pacu sapi ini.
Hooopppss!!! Tiba-tiba Mak Tiun berkelebat, hampir saja piring ketan yang di hadapannya terjatuh gara-gara menarik sarung yang dililitkannya ke leher.
Adalah sebuah warung kecil di sebuah kampung, yang terletak di ujung jalan. Setiap pagi dan malam hari ramai dikunjungi bapak-bapak dan nak-anak muda dengan tujuan untuk menikmati ketan goreng dan secangkir kopi, tak ketinggalan MakTiun dan Tuan Sati selalu hadir di warung itu. Di warung Bu Sani inilah tempat berceloteh bagi mereka yang minum di warung. Tak jauh dari warung Bu Sani kelihatan kandang sapi Agus. Agus adalah seorang anak laki-laki yang kesehariannya sibuk mengurus sapi-sapinya, walaupun tiap paginya Agus harus bersekolah karena Agus masih duduk di kelas tiga SMA.
“Bintiak, kalau kamu nanti menang kandangmu akan aku perbaiki. Atapnya kuganti dengan seng sehingga kamu tidak ketirisan lagi waktu hujan, lantainya kukasih alas yang bagus biar tidak basah dan becek kena kotoranmu.” Agus menggosok-gosok kepala si bintiak dengan sisir yang biasa dipakai ketika memandikan bintiak.
“Gus...” tiba-tiba Agus dikejutkan oleh teriakan Rahmat.
“Ooo kamu Mat, dari mana saja?”
“Dari rumah, akukan mau membantu kamu buat memandikan si bintiak.”
Rahmatpun mendekati si Bintiak yang sedang dimandikan Agus.
“Bagaimana Gus, jadi kamu tanyakan sama bapakmu tentang rencana kita kemarin?”
“Sudah kutanyakan, ibu dan bapakku setuju kalau si Bintiak ikut berpacu, asalkan kamu yang jadi jokinya Mat.”
“Apa benar?” Air mata Rahmat berlinang-linang ingin mengharapkan pacuan tersebut cepat datang.
“Tapi Mat, bagaimana dengan sekolah kita?” Tanya Agus. “Kitakan libur, habis ujian!” Rahmat menepuk pundak Agus.
“Ohiya ya...”
Pagi-pagi benar Rahmat sudah bangun. Hari itu adalah hari Sabtu.
“Mau kemana Mat? Tak biasanya kamu bangun sepagi ini, apalagi kamu sekarang libur pula?” Tanya ibu sambil mengambil sapu untuk membersihkan rumah.
“Aku mau pergi ke rumah Agus Bu, mau membantu Agus membersihkan kandang sapinya, membantu membuat makan sapinya. Kan aku mau ikut pacu sapi di kampung kita Bu.”
“Kamu jadi ikut pacu sapi ya Mat?”
“Iya Bu.” Rahmatpun keluar rumah sambil berteriak.
“Doakan menang ya Bu.”
“Ya, semoga kalian menang.”
Lalu Rahmat berlari menuju rumah Agus sambil berteriak.
“Ya...semoga aku menang.”
“Bintiak... Bintiak... Bintiak!”
Teriakan penonton sambil mengelu-elukan nama si Bintiak ketika berlangsungnya pacu sapi di sawah besar.
“Heik... heik... heik.”
“Ayo bang, pegang kuat-kuat talinya.” Akupun berteriak dari tribun yang terbuat dari bambu.
Setelah sampai garis finis, aku lihat abangku melambaikan tangan kanannya memberi tahu pada penonton bahwasi Bintiak yang lebih dahulu sampai di garis finis, sedangkan tangan kirinya masih memegang tali si Bintiak. Aku melihat joki-joki yang lain banyak yang jatuh sehingga sapinya terlepas dan sampai ke garis finis tanpa joki.
Sesampai di lokasi peristirahatan sapi-sapi pacuan, Bang Agus menyambut si Sintiak dengan girang.
“Kamu memang hebat Mat.” Agus menyalami Rahmat. Dengan senyum khasnya abangku mendekati aku.
"Bukan aku yang hebat, tapi si Bintiak yang larinya kencang."
Abangku duduk di sampingku.
"Bagaimana aksinya si Bintiak? Perfect kan?"
"Perfect? Tapi lebih perfect si Bintiak dari pada kamu."
"Ya..., jangan bandingkan aku sama si Bintiak."
"Maaf-maaf, tapi jangan emosi bicaranya."
"Baiklah..."
Aku melihat Bang Rahmat dan Bang Agus tengah asyik memberi Bintiak makan.
Sepertinya Bintiak memang sedang lapar karena habis perpacu di sawah besar. Tidak beberapa lama kemudian panitia menyorakkan bahwa pacu pada race kedua akan segera dimulai.
"Bintiak, sudah dulu makannya. Kamu akan segera aku bawa ke tengah sawah."
Bang Rahmat berhenti memberi si Bintiak makan.
"Bintiak nanti kalau kamu berlari kencang, maka kita akan masuk babak semi final." Bang Agus berkata dengan mimik wajah berharap.
Sesampainya Bintiak di tengah sawah, finalis lainya. tengah menyiapkan sapi-sapinya untuk berpacu kembali. Sirine tanda dimulai sudah terdengar.
Teeettt....
"Ayo Bintiak...ayo Bintiak..."
Bang Agus bersorak sorai untuk menyemangati si Bintiak, tapi ia tidak memikirkan apakah si Bintiak mengerti ucapannya atau tidak. Andaikan si Bintiak mengerti dengan ucapan Bang Agus pasti ia akan lebih semangat lagi.
Tiba-tiba saja, gubrakkk...
Semua penonton berlari menuju sumber suara itu. Pertandingan itu dihentikan sejenak, namun sialnya sedikit lagi si Bintiak menuju garis finis, tapi malah dihentikan.
Berbondong-bondong menuju ke sana. Perasaanku sudah tidak enak,pasti ada kejadian yang tidak diduga-duga.
"Agus, ayo cepat kita lihat suara apa itu."
"Ya, aku ikatkan dulu si Bintiak di pohon besar itu."
"Iya... ayo cepat."
Suasana semakin ricuh, banyak orang yang berteriak-teriak. Ketika semua penonton terkejut, juri malah tidak terkejut sama sekali. Mereka hanya duduk di tempat mereka. menilai dan menunggu pertandingan kembali dimulai.
Setelah dilihat-lihat ternyata suara besar tadi adalah suara tabrakan antara motor dan mobil.
Karena korban kecelakaan terlihat parah dan tidak ada yang menolong, Bang Rahmat dan Bang Agus mengantar korban ke rumah sakit terdekat.
Sesampainya di rumah sakit Bang Rahmat dan Bang Agus mengantar korban ke ruangan ICU, kemudian dokter segera memeriksa korban.
Setelah beberapa lama, dokter keluar dari ruangan.
"Apakah Anda keluarga korban?"
"Tidak Dok, kami hanya membantu korban tersebut." Bang Agus menjawab dengan rasa cemas.
"Korban ini beruntung karena terlambat lima belas menit saja nyawanya tidak akan terselamatkan."
"Ya sudah Dok, terimakasih banyak."
"Sama-sama dan Anda harus membayar uang adminittrasinya dulu agar pasien tersebut bisa dirawat inap."
"Iya Dokter kami akan membayar uang tersebut."
Kembali ke arena pacuan, perlombaan kembali dimulai, karena Bang Agus dan Bang Rahmat masih di rumah sakit, jadi mereka tidak mengikuti pertandingan. Sayang sekali, padahal tadi hampir finis dan stamina si Bintiak sedang bagus-bagusnya.
"Mat ada yang kita lupakan."
"Apa?" bertanya dengan penasaran
"Kitakan masih ikut pacuan." "Astaufirullah, si Bintiak bagaimana ya?"
"Kalau begitu kita kembali saja ke sawah besar."
"Ya, kita kembali saja ke sawah besar."
"Ya, mari kita berangkat."
Sesampainya di tempat tujuan, perlombaan sudah berakhir dan penonton sudah sepi. Kemudian Bang Rahmat dan Bang Agus menuju meja juri.
"Pak bagaimana ini? saya tadi sedang menolong orang yang kecelakaan."
"Ya tidak bisa, kalian sudah didiskualifikasi."
"Tidak bisa begitu Pak, kalau kami tahu kejadiannya akan seperti ini, kami tidak akan menolong orang tadi." Bang Agus berbicara dengan nada kesal.
"Gus tidak boleh berbicara seperti itu, kalau kita menolong orang itu harus ikhlas."
"Bukannya aku tidak ikhlas, tapi jurinya tidak adil."
"Saya bukannya tidak adil, tapi memang seperti itu keputusannya."
"Bapak memang tidak berperikemanusiaan."
"Kamu jangan berbicara kasar dengan saya ya."
"Saya tidak berbicara kasar, tapi Bapak yang memancing emosi saya."
Kemudian terdengar telepon juri tersebut berdering.
"Halo, ya kenapa?"
Tanpa diduga orang yang kecelakaan tadi adalah anak dari juri tersebut, setelah berunding, maka pacuan akan diulang kembali pada keesokan harinya.
Bang Agus masih mengusap-usap punggung si Bintiak yang kelihatan lelah sekali selesai berpacu di tengah sawah besar. Sorak sorai dan hiruk pikuk penonton tidak menjadi perhatian Bang Agus, yang jels si Bintiak untuk turun pada race kedua ini harus menang.
"Kalau kamu menang pada race kedua ini Bintiak, kamu akan diikutkan pada babak final nanti dan kalau kamu masing menang, aku akan memboyong piala walikota." Bang Agus memandang si Bintiak dengan senyum seolah-olah Bintiak mengerti dengan ucapannya.
Aku sudah dua hari diajak abangku untuk menyaksikan dia berpacu di sawah besar. Bang Rahmat selalu mengajakku bila dia jadi joki pacu sapi. Katanya aku menjadi spirit kemenangannya. Padahal abangku baru dua kali ikut jadi joki pacu sapi. Biasanya dia hanya jadi penonton.
"Mat, bagaimana kalau kita menggunakan jampi-jampi juga mirip sapinya Pak Madun?"
"Eh, jaga ucapanmu! Kalau yang namanya kemenangan bukan di tangan dukun, tapi tergantung pada si Bintiak, makanya si Bintiak harus di kasih dopping. Belikan dia telur itik tiga buah supaya staminanya bagus.
Aku duduk dengan cemas di tribun sambil memainkan hp abangku. Bang Agus membawa si Bintiak masuk kedalam sawah sambil mengusap-usap kepalanya.
"Tar... katutar..."
Si Bintiak menyepak, hampir saja Bang Agus terkena tanduk si Bintiak.
"Aduh...," Agus menjerit kesakitan.
Aku kaget melihat Bang Agus terpental karenaa menahan tali si Bintiak.
"Gus, apa kamu tidak apa-apa? Apa ada yang sakit?"
"Tidak apa-apa Mat, tidak ada yang sakit."
Aku rasa si Bintiak kaget, mungkin karena Bang Agus menarik paksa si Bintiak.
Aku melihat Bang Rahmat tengah bersiap untuk lomba pacu sapi ini. Bang Rahmat tampak tegang sekali, wajahnya pucat, tangannya dingin mengigil.
"Cepat...cepat....cepat...," suara penonton menyoraki sapi-sapi yang tengah berlari kencang di dalam lumpur pekat. Suasana hiruk pikuk. Mata penonton tak lepas dari sapi-sapi pacuan. Kulihat semua penonton tersenyum seakan hilang semua beban pikirannya.
Melihat semua itu hatiku merasa senang, seakan rumput-rumput jerami kering dan pepohonan rindang memberi dukungan pada si Bintiak.
"Cepat Bintiak... cepat...," Bang Agus menyoraki dari pematang sawah.
Ketika di tengah si Bintiak kembali ke belakangdan keluar dari arena. Mungkin sekarang Bintiak enggan untuk berpacu.
"Gus, bagaimana ini? Sapi larinya ke depan, eee...si Bintiak kembali ke belakang."
"Sabarlah Mat, mungkin ini belum rezekinya si Bintiak, hari esok kita coba lagi."
Aku melihat setiap hari Bang Rahmat dan Bang Agus merawat si Bintiak dengan penuh kasih sayang.
Sekarang si Bintiak akan bertanding lagi, mencoba untuk kembali berlari di sawah besar dan semuanya sudah di persiapkan dengan matang.
Lawan terberat si Bintiak adalah sapi Pak Madun. Melihat persiapan itu aku merasa yakin si Bintiak pasti akan memenangkan pacu sapi ini.
"Hia..hia..hia...," Bang Rahmat memukul punggung Bintiak supaya Bintiak berlari cepat hingga finis.
Dan ternyata.
"Yeeee...si Bintiak menang...
Karena kegirangan Bang Agus melompat-lompat, tanpa ia sadari di belakangnya ada empang yang berfungsi untuk pengairan sawah. Gubrak. Bang Agus terjatuh, namun ia tetap tertawa saking senangnya.
Karena si Bintiak menang, Pak Madun menjadi iri. Padahal uangnya sudah banyak habis untuk pergi ke dukun dan Pak Madun mengatakan bahwa Bang Rahmat dan Bang Agus berbuat curang. Ia menyoraki.
"Hai semua...si Rahmat mainnya tidak jujur!"
Semua penonton memalingkan matanya kepada Bang Rahmat dan si Bintiak. Aku merasa kasihan mengapa kemenangan si Bintiak dibilang curang. “Jangan salah sangka Pak Madun, kami tidak berbuat curang”
“Jangan mengelak lagi, kemarin si Bintiak kalah tapi mengapa sekang ia menang?”
Mereka bertiga sudah saling tinju meninju hingga babak belur. Tak ada satupun yang melerai. Akhirnya datang niniak mamak untuk menyelesaikan perselisihan.
“Apa masalah kalian sampai bertinju seperti ini?” Tanya seorang niniak mamak.
“Ini Mak, Pak Madun memacu sapinya dengan dukun, tapi Bang Rahmat dan Bang Agus memacu sapinya dengan telur itik.”
“Oh itu permasalahannya, masalah kecil kenapa diperbesar? Kitakan orang yang beradat dan beragama, tidak boleh mempercayai dukun. Itu namanya musyrik dan itu dibenci Allah SWT.”
Mendengar itu Pak Madun tetap bersikukuh menuduh bahwa Bang Rahmat dan Bang Agus berbuat curang.
“Sudah, sekarang ambillah dulu tropi untuk si Bintiak.”
Aku mengikuti Bang Rahmat dan Bang Agus untuk mengambil tropi tersebut. Ternyata ada wartawan dari tv swasta, dia hendak mewawancarai Bang Rahmat dan Bang Agus.
Mendengar semua itu, wartawan angkat bicara mengenai permasalahan itu.
“Saya tidak melihat kecurangan di sini,seandainya pemenang ini berbuat curang, pasti mereka tidak akan saya wawancarai. Sayapun melihat mereka berpacu dari awal sampai akhir, dan sayapun tahu kalau mereka berdua pernah didiskualifikasi oleh juri karena menolong korban kecelakaan.”
Aku melihat orang yang memiliki warung tempat Bang Rahmat dan Bang Agus membeli telur itik untuk si Bintiak ikut menyelinap di antara orang-orang yang sedang bertengkar. “Mereka berdua tidak bersalah Pak, saya melihat sendri bahwa mereka sangat memperhatikan kesehatan si Bintiak, makannya saja telur itik tiga buah, lebih mewah dari makanan kita.”
“Oh iya..., saya juga melihat Pak Madun pergi ke dukun. Apakah dukun bisa memenangkan sapi Pak Madun? Cobalah lihat apa yang dikalungkan Pak Madun dileher sapinya,” kata salah satu warga.
“Ayo cepat kita lihat,” sorak warga.
Tanpa diduga-duga, ternyata isi kalung tersebut adalah benang tujuh warna dan hati pukang.
Mendengar semua itu, wartawan tadi langsung menelepon polisi untuk menangkap Pak Madun dalam perkara pencemaran nama baik. Karena kejujuran Bang Rahmat dan Bang Agus, wartawan tadi menawarkan kepada mereka berdua untuk menjadi duta kebudayaan, walaupun mereka masih duduk di kelas tiga SMA, namun mereka layak dijadikan sebagai contoh. Bang Rahmat dan Bang Agus menerima dengan senang hati.