Sepercik Cinta Anduang

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Sepercik Cinta Anduang
oleh Mendayu Amarta Fitri
52501Sepercik Cinta AnduangMendayu Amarta Fitri

SEPERCIK CINTA
ANDUANG

Mendayu Amarta Fitri
SMAN 1 Gunung Talang



Sudah lewat senja. Roda angkutan umum yang aku tumpangi seolah berjalan lambat. Ah, bagaimana mungkin perjalanan biasa yang padahal aku telah hafal mati waktu tempuhnya ini terasa amat lama? Entahlah. Agaknya sebab hatiku gusar ingin menyampaikan sesuatu pada labuhan yang kurindu itu. Aku ingin berlabuh di peluk hangat itu. Sekejap lalu imajiku sampai di tempat yang kutuju, tempat dimana anduang berada. Tapi sejenak kemudian aku tersentak, benturan roda mobil dengan lubang jalan cukup mengangetkan. Kupandangi bangku-bangku penumpang lain, kebanyakan mereka sudah pada tertidur. Pandanganku berakhir pada jam di pergelangan tangan, masih tiga jam lagi sebelum sampai. Oh, Nona Waktu, mengapa kau menari lambat sekali?

***

Anduang. Begitulah aku memanggil nenek dari pihak ibuku itu, satu-satunya nenek yang masih kupunya. Aku suka anduang. Aku menyayangi anduang, sangat. Kurasa aku tak berlebihan bila bilang bahwa anduang adalah tipikal nenek idaman seluruh dunia. Anduang pandai bercerita, rasa-rasanya tak ada dongeng yang tak anduang tahu. Mulai dari dongeng-dongeng seribu satu malam dari tanah arab, kisah-kisah tauladan para rasul, hingga cerita-cerita dongeng tanah eropa yang penuh khayal manis itu. Dan bagiku tak ada yang lebih pandai mendongeng dibandingkan anduang. Dulu waktu kecil, aku dan sepupu-sepupuku suka duduk mengelilingi kursi goyang anduang sementara beliau bercerita. Anduang juga suka sekali membagi cemilan. Tapi tak pernah ada cokelat atau makanan-makanan ringan lain di rumah anduang. Anduang selalu membuatkan kue-kue kecil yang enak untuk cucunya. Kue-kue yang tak semua aku tahu namanya, tapi enak. Paling-paling yang aku tahu cuma kue mangkuk, pinukuik, pinyaram, lapek, onde-onde dan masih banyak lagi kue yang sering dibuat anduang. Sayang kami tak terlalu peduli namanya. Yang penting enak, maka tandaslah kue itu.

Anduang punya tujuh orang cucu dari tiga orang puteri beliau. Karena ibuku yang paling tua, maka akulah cucu tertua anduang sekaligus yang paling dekat dengan anduang. Anduang sering bilang aku cantik, dan aku percaya itu. Setiap mudik ke rumah anduang, aku dan sepupu-sepupuku selalu berebut posisi dekat anduang. Berhubung akulah yang paling tua dan juga paling banyak akal, maka aku selalu mendapat posisi terbaik setiap kami berkumpul dengan anduang. Meski aku tidak tinggal bersama anduang, karena keluargaku tinggal di ibukota provinsi yang jauhnya sekitar lima jam perjalanan dari ibukota kabupaten tempat anduang tinggal, tapi aku selalu merasa dekat dengan anduang.

Anduang tinggal sendiri setelah kakekku meninggal saat usiaku lima tahun. Dulu, kata ibu, anduang tinggal ditemani Etek Tanti, adik bungsu ibuku. Tapi setelah Etek Tanti menikah dan harus tinggal di luar kota, anduang tetap memaksa tinggal di rumah panggung kecil kami. Meski ketiga anaknya memaksa agar anduang ikut salah satu dari mereka, tapi anduang bersikeras tinggal, sebab kata beliau begitu banyak kenangan dengan rumah panggung kecil itu dan juga kampung kecilnya yang tak bisa beliau tinggalkan. Tapi aku tahu, yang terutama tak bisa ditinggalkannya adalah surau kecil di seberang rumah kami. Anduang bilang, dulu surau itu dibangun oleh kakekku bersama penduduk kampung lain. Sejak dulu anduang selalu suka menghabiskan waktunya di surau itu. Anduang jarang salat di rumah, lima waktu selalu dipenuhinya di surau itu. Sering anduang tertidur di surau setelah salat isya, baru pulang ke rumah lagi setelah menjalankan salat subuh di surau. Jadilah penduduk sekitar menyebut surau itu dengan istilah surau anduang, sebab memang anduanglah yang paling banyak menghabiskan waktu di sana. Anduang bahkan punya duplikat kunci surau, dan lebih sering anduang yang membuka surau itu untuk salat subuh ketimbang penjaga surau itu sendiri. Maka dengan semua alasan itu, jadilah anduang tetap tinggal di rumah panggung kecil kami dengan menyetujui syarat ibu agar anduang tinggal ditemani seorang anak gadis tetangga dekat yang bisa membantu-bantu beliau. Tujuh tahun lamanya anduang tinggal berdua saja dengang Uni Ida, anak gadis tetangga itu. Beberapa kali setahun aku, ibu dan ayah berkunjung ke rumah anduang, menjenguknya. Sampai saat aku tamat SMP, saat itu usiaku 15, aku bilang pada ibu bahwa aku ingin melanjutkan SMA di kampung halaman saja, sekaligus menemani anduang. Ibu setuju, anduangpun senang dengan keputusanku. Maka jadilah sejak dua tahun lalu aku tinggal di rumah panggung kecil kami. Awalnya bertiga dengan Uni Ida. Namun setahun lalu Uni Ida menikah dan pindah, maka tinggallah aku berdua dengan anduang.

***

Masih dua jam lagi. Oh Nona Waktu, jangan mempermainkanku. Aku merasa ini teramat lambat. Aku ingin cepat sampai dan memeluk labuhan rinduku itu kini. Tapi roda bus masih berputar konstan, menyeretku juga dalam putaran kenangan yang tiba-tiba saja berlayangan di benak.

***

"Bangun, Dayana!"

"Uh, Anduang!" Aku terkaget bangun seperti biasanya akibat percikan air anduang. Anduang memang punya kebiasaan menyebalkan. Setiap pagi paling tidak setengah jam sebelum subuh, beliau akan selalu membawa segelas air ke kamar tidurku, membangunkanku dengan memercikan air ke mukaku. Meski lama kelamaan aku terbiasa, tapi tetap saja rasanya menyebalkan. Kenapa pula harus membangunkan dengan percikan air, aku kan bisa bangun dengan baik-baik? Saat aku mengadu pada ibu, ibu bilang bahwa itu memang kebiasaan anduang sejak dahulu pada anak-anak gadisnya. Aku merengut karena baru tahu, sebab waktu aku kecil dan pulang hanya beberapa kali setahun untuk mudik, anduang tak pernah melakukannya. Tentu saja, aku waktu itu tidur dengan ibu dan ayah, anduang tentu segan masuk ke kamar. Tapi ibu bilang maklumi saja. Maka aku mencoba terbiasa. Anduang selalu membangunkanku pagi-pagi, mengajakku menuju surau, menghidupkan rekaman bacaan Alquran lalu didekatkan dengan mikrofon, membuatnya terdengar seantero kampung sehingga membuat para jamaah subuh yang setia datang satu persatu. Yang paling seru juga adalah ketika melihat ekspresi penjaga surau yang selalu datang tak berapa lama kemudian dengan wajah mengantuk seraya tersenyum kikuk dan bilang, "Eh, Anduang datang duluan ternyata". Selalu saja begitu. Padahal kalau kuingat-ingat, memang anduanglah yang pasti datang lebih dulu. Aku selalu menikmati ritual pagi bersama anduang. Catat itu, selalu! Yah, tentu terkecuali untuk bagian 'percikan air' tadi. Itu saja. Selebihnya, menyenangkan bersama anduang.

***

"Barang siapo nan maninggakan salat subuh, turun suaro nan dari langik,

Itulah urang nan tatipu! Malapeh diri dari Allah!

Jangan dihunilah alam Aku! Carilah alam selain alam Aku!

Jangan diminumlah aia Aku! Carilah aia selain aia Aku!

Jangan dimakanlah reski aku! Carilah reski selain reski Aku!"

(Siapa yang meninggalkan salat subuh, terdengar suara dari langit

Itulah orang yang tertipu, melepaskan diri dari Allah!

Jangan dihuni alam Aku! Carilah alam selain alam Aku!

Jangan diminum air aku! Carilah air selain air Aku!

Jangan dimakan rezeki aku! Carilah rezeki selain rezeki Aku!) Aku perlahan tersadar bangun. Anduang sudah di surau ternyata. Buktinya sekarang beliau sedang berdendang tentang akibat meninggalkan salat subuh dengan pengeras suara surau. Berdendang juga merupakan kebiasaan anduang yang sering dilakukannya. Oh ya, pagi ini aku tak menjalani ritual 'percik air' anduang, sebab anduang tahu aku sedang berhalangan salat. Itulah menyenangkannya bersama anduang, beliau memang disiplin terhadap jadwal, terutama jadwal salat. Tapi peraturannya bisa sedikit melonggar di beberapa waktu. Seperti kali ini, anduang membiarkanku tidur lebih lama.

Aku tengok jam, seperempat jam lagi subuh. Aku sudah tak berminat tidur lagi. Aku menuju pancuran, hendak mandi. Begitulah, bersama anduang telah mengajariku banyak hal, salah satunya tidak takut lagi pada dinginnya air di pagi buta. Padahal dulu waktu masih kanak-kanak, sekedar untuk berwuduk saja aku sudah menggigil kedinginan.

Sampai pagi melanglang buana, setelah sedikit berbenah, aku menghabiskan waktu dengan membaca novel di ruang tengah. Pukul tujuh pagi anduang pulang, menyapaku hangat.

"Anduang, akhir minggu ini ada tiga tanggal merah berturut-turut loh!" Aku membuka pembicaraan.

"Terus?" Anduang merespon seraya melipat mukenanya.

"Ada teman Dayana, ternan satu SMP dulu, mau nginap di sini, boleh?”

Anduang menoleh, tersenyum. Aku tahu, itu artinya iya.

***

"Sungguh, Na! Aku suka anduangmu," ucap Giana, setengah tertawa.

Aku mendecak kesal, apanya yang suka? Anduang kali ini keterlaluan sekali.

"Kenapa kamu marah sekali, Na? Aku saja gak marah," Giana merespon diamku. Aku sedang menemani Giana menunggu angkutan menuju ibukota provinsi, sudah dua hari Giana menginap di rumah.

"Gimana gak marah coba? Kalau anduang cuma melakukannya padaku sih sudah biasa, tapi padamu?” Aku tetap marah. Giana tertawa.

Begini asal muasal rasa kesalku. Jadi, di akhir minggu yang panjang ini Giana, teman lama satu SMP saat di ibukota provinsi, menginap di rumah. Sebenarnya aku sudah mengantisipasi kalau-kalau anduang akan melakukan ritual paginya, memercikan air, tidak hanya padaku, tapi pada Giana juga. Aku sudah meminta anduang agar selama dua hari ini tidak melakukannya, tapi waktu aku bicara beliau diam saja. Hari pertama tak ada aksi percik air anduang, sebab aku sukses mengajak Giana bahkan sebelum anduang bangun. Tapi hari kedua, kami sukses terlambat bangun, setidaknya terlambat di mata anduang, setelah seharian lelah bermain. Jadilah pagi itu anduang kembali dengan menyebalkannya membawa segelas air dan memercikkannya ke mukaku dan Giana. Itupun dibonusi pula oleh sebuah kalimat menyebalkan, "Anak Gadis kok bangun lambat! Gak dapat suami baru tahu rasa!" Muka Giana memerah waktu diperlakukan seperti itu. Aku kesal pada anduang. Keluarga Giana kaya, rumahnya bagus. Giana mau menginap di rumah panggung lama ini saja sudah bagus. Tapi anduang malah bersikap begitu. Meski Giana berkali-kali bilang tak apa, tapi tetap saja aku malu pada Giana. Dan aku kesal pada anduang. Apa salahnya membangunkan baik-baik? Kami bukan anak-anak lagi yang malas sekali bangun pagi. Kali ini anduang memang benar-benar keterlaluan.

***
Kokok ayam pagi mulai bersahutan. Aku malas sekali bangun, meski tahu resikonya. Ini sebentuk protes, sudah dua hari sejak anduang membuatku malu pada Giana. Aku kesal setengah mati pada anduang. Rumah ini rumah panggung dari kayu, maka jelas sekali terdengar langkah kaki anduang, mendekati kamarku. Aku tetap tak bergeming. Suara pintu berderit, terbuka.

"Bangun, Dayana!"

Aku masih diam.

"Dayana!" Anduang menguncang-guncangkan badanku. Aku tetap tak bergerak. Aku sedang marah pada anduang. Anduang terus saja mengguncang tubuhku. Anduang mememang keras kepala. Dan aku mewarisi wataknya. Maka beginilah jadinya.

"Dayana! Bangun!" Nada anduang meninggi, percikan air terasa mengenai mukaku. Aku diam.

Satu kali lagi percikan air. Kekesalanku bukannya padam, malah menjadi akibatnya. Tiga kali percikan air. Tiba-tiba sepersekian detik, tanpa anduang duga aku bangun. Sepersekian detik pula dan entah bagaimana aku menepis gelas air yang dipegang anduang. Gelas itu jatuh berguling-guling, airnya ruah merembesi karpet. Tak kuacuhkan ekspresi terkejut yang sangat dari anduang, aku malah menatap benci anduang lalu secepat mungkin berjalan ke pancuran. Anduang marah? Aku tak peduli lagi. Sebab tepat setelah subuh pagi itu, sebelum anduang kembali ke rumah, aku telah duduk dengan hati kesal di atas angkutan umum menuju ibukota provinsi. Aku lari.

"Sungguh, aku suka anduangmu, Na," ucap Giana. Aku diam. Kali ini bukannya tak acuh, tapi perasaanku berkecamuk.

Yah, inilah aksi pelarianku. Tak tanggung-tanggung, aku naik angkutan umum lima jam perjalanan dalam rangka 'pelarian'. Aku kabur ke rumah Giana, bukan ke rumah ayah-ibu, sebab aku takut dimarahi. Aku tahu, Anduang belum akan memberitahu ayah-ibu saat ini, panik bukan tipe beliau. Paling-paling anduang baru akan memberi tahu ayah-ibu kalau memang berhari-hari aku tetap tidak pulang. Jadi aku memutuskan untuk tinggal di rumah Giana beberapa hari.

***

Ah, Nona Waktu, aku benci saat kau seolah bermain dengan hatiku. Baru saja kenangan berpendaran di imajinasiku. Dan mirisnya, semua yang telah menjadi kenangan selalu kau buat seolah berlalu cepat. Sedang sesuatu yang belum terjadi dan kunanti, kau biarkan mengalir lambat. Nona Waktu, aku rindu anduang, tak bisakah aku sampai lebih cepat? Kulirik jam, satu jam lagi memang. Tapi kali ini Nona Waktu memang benar-benar mempermainkanku.

***

"Sungguh, Na. Aku suka anduang, kau seharusnya tahu, betapa bahagianya kalau aku punya nenek seperti anduangmu," Giana berkata lirih tanpa memandangku. Matanya fokus pada adegan tak jauh di depan kami. Aku tergugu.

Hampir tengah malam, saat aku tiba di rumah Giana. Giana tak terkejut, ia sudah tahu kondisinya, aku mengirim sms padanya. Aku tertidur di kamar Giana yang mewah setelah sedikit terisak bercerita padanya tentang betapa kesalnya aku dengan anduang. Namun rasanya baru sebentar aku berlayang dalam mimpi, suara berisik di lantai bawah membangunkanku dan Giana.

"Ada apa, Gi?" Tanyaku. Giana diam, segera berlari ke ruang depan lantai bawah. Aku mengikutinya.

Miris! Pemandangan yang kulihat sesaat kemudian sungguh miris. Ini pukul setengah empat pagi dan kulihat mama-papa Giana tampak dengan dingin memapah nenek Giana masuk ke dalam rumah. Barusan seorang anak muda mengantarnya pulang, nenek Giana mabuk! Aku tak dapat berkata-kata ketika melihatnya. Nenek Giana, usianya lima puluhan, lebih muda sedikit dari anduang, pulang dengan keadaan mabuk. Busananya, astaga! Busana yang lebih pantas dipakai oleh anak-anak seumuranku. Ia meracau saja tak jelas sejak masuk tadi. Make up tebalnya tampak sedikit luntur. Yang lebih mengiris hatiku, sebelum pergi anak muda yang tadi mengantar nenek Giana masih sempat berkata, "Dia belum bayar." Lututku benar-benar hilang tenaga saat melihat papa Giana memberikan sejumlah uang dengan ekspresi datar.

"Sudah biasa, Na." Giana berkata pelan, mengusik diamku lebih tepatnya terkejutku. Giana memandangku dengan pandangan terluka.

"Kamu mungkin bilang aku punya segalanya, Na. Tapi sayangnya aku gak punya harta berharga seperti milikmu. Seorang nenek yang baik dan menjadi teladanmu. Percayalah, Na, aku jauh lebih suka terbangun pagi buta dengan percikan air, menyuruhku salat, daripada terbangun karena hal seperti ini. Percikan air anduangmu, Na, itu wujud cintanya." Giana memandang sedih papa dan mamanya yang sedang sibuk mengurus neneknya muntah-muntah.

"Aku tak bohong, Na! Sungguh, aku suka anduangmu,"”

Aku sudah tak kuasa, tangisku pecah.

***

Aku rindu anduang. Setelah pagi yang memerih hati di rumah Giana, aku pamit. Tak langsung menuju rumah anduang, tapi aku singgah sebentar di rumah ayah-ibu. Menjelaskan sedikit pada ibu, ibu hanya tersenyum sabar. Ia hanya berkata lembut sebelum aku berangkat ke rumah anduang sehabis magrib itu, "Ibu tahu suatu saat kamu akan berontak dengan kebiasaan anduangmu, Na. Tapi kamu akan ngerti kalau percikan air pagi buta itu adalah percikan cinta anduang padamu," ibu mengusap rambutku lembut. Mataku menganak sungai. Aku memang sudah mengerti, Bu.

Maka di sinilah aku kini. Di atas bus angkutan umum yang serasa berjalan terlalu santai. Kulirik keluar jendela, sudah hampir tengah malam, tapi tak apa, aku sudah sampai. Aku turun tepat di depan rumah panggung kayu kecil kami. Satu jam lagi tengah malam, kulirik surau seberang rumah. Gelap. Berarti anduang sudah pulang ke rumah. Aku masuk ke rumah, aku memang punya kunci cadangan sendiri. Kudapati anduang sedang tertidur di atas kursi goyangnya. Anduang adalah orang yang paling disiplin terhadap jadwal. Setelah salat isya usai, anduang akan langsung menuju kamar tidurnya, istirahat untuk kemudian bangun lagi tengah malam nanti. Tapi sekarang, anduang masih duduk di kursi goyangnya, mengabaikan jadwalnya. Aku tahu, anduang sedang menungguku. Aku mendekat pelan, anduang membuka matanya. Setelah lima jam yang terasa lambat, ingin sekali rasanya aku memeluk anduang, mengucap maaf yang deras padanya. Tapi entah mengapa tubuhku kaku. Anduang memandangku dengan tatapan yang tidak kumengerti. Bukan, bukan tatapan marah. Tapi tatapan lega, bahagia, ah entahlah, sulit kujelaskan. Setelah diam cukup lama, akhirnya aku mengambil tangan anduang, menciumnya. Begitu saja, tanpa terucap maaf. Barangkali hatiku masih butuh sedikit waktu untuk benar-benar berbaikan dengan anduang. Mungkin besok kami akan bicara.

***

Aku bangun dengan masih sedikit linglung setelah perjalanan jauh. Azan subuh berkumandang. Tunggu dulu! Bagaimana mungkin aku bangun saat azan, kenapa anduang tak membangunkanku. Anduang, masih marahkah? Aku berjalan ke ruang tengah, kudapati anduang masih tertidur di kursi goyangnya. Jadi semalaman anduang tidur di sini? Bukan kebiasaan anduang, tapi mungkin anduang terlanjur lelah karena menungguiku pulang. Aku mendekati anduang, ingin membangunkannya. Aku megguncang tubuh anduang pelan,

"Anduang, sudah subuh," tapi anduang tak bergeming. Kucoba lagi, anduang tetap tak bergerak. Aku tergugu.

"Anduang, bangun," suaraku tercekat. Oh Tuhan, jangan sampai...

"Assalamualaikum," salam dari penjaga surau menyentakku. Aku membuka pintu. Penjaga surau menyempatkan diri ke rumah setelah azan karena anduang tak jua datang. Ia bertanya dimana anduang, kutunjuk kursi goyang di tengah rumah. Ia tanya anduang kenapa belum bangun juga, aku sudah tak dapat berkata-kata.

***

Oh, Nona Waktu. Lagi, kenapa kau menari lambat sekali, setelah sebelumnya kau jadikan masa seolah berbilang kejap untukku.

Aku terpekur menatap nyeri semua prosesi pemakaman anduang. Yah, anduang pergi, meninggalkanku yang bahkan tak sempat bilang maaf. Semalam, waktu berlalu cepat sekali, anduang pergi saja. Semalam aku menunggu besok untuk bicara dengan anduang, tapi ternyata sudah tak ada lagi besok itu. Aku mengikuti semua prosesi itu memang, memandikan anduang, mengafaninya, menyalatkan. Tapi semua berjalan seolah lambat sekarang. Sedari malam tadi aku hanya diam, dan orang-orang cukup mengerti untuk tidak mengusikku.

Oh Nona Waktu, mengapa kau dengan mudahnya memainkan aku di dalammu. Semalam melesat bagai kilat, kini lambat tersendat-sendat. Aku memandang pilu jenazah anduang dimasukkan ke liang lahat. Sampai bongkahan tanah terakhir pun ditimbunkan, aku masih juga tak sanggup berkata apa-apa.

Bahkan sampai pelayat satu persatu pergi, aku masih termangu di samping makam anduang. Terduduk lemas. Air mata menganak sungai, pandangku buram sesaat, sesaat kemudian sedikit terang. Dan aku sudah tercabut dari tempatku. Entah di mana. Ruang putih saja, tapi ada anduang di sana. Anduang hanya diam, sama sepertiku. Tenggorokanku masih tercekat. Tapi hatiku keras ingin mengatakan sesuatu.

Anduang, ma... maafkan a..ku,” lirihku tersendat.

Aku memandang anduang, berharap. Anduang diam saja, tapi sepersekian detik kemudian, anduang tersenyum. Dan aku sudah tahu jawabannya.