Lompat ke isi

Seni Patung Batak dan Nias/Bab 2

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

BAB II
ARTI SENI PATUNG DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
BATAK

Pada lebih kurang 3000 tahun yang lalu Sarjana lpes berkebangsaan Belanda menyatakan bahwa Tanah Batak sudah dikenal, secara luas disebabkan Bandar Tua Barus pada waktu itu berfungsi sebagai pusat perdagangan (Kapur Barus) antara benua Asia, Afrika, dan Eropah Barat. Juga daerah ini dikenal, karena memiliki aneka ragam kesenian tradisional, masih hidup baik sampai saat ini.

Rumah adat tradisional dengan aneka ragam ornamen yang mewarnai bangunan rumah sebagai peninggalan sejarah membuat kita selalu terpesona akan keahlian yang dimiliki ahli bangunan serta pengukirnya. Lebih daripada itu bangunan atau yang menjulang dalam susunan balok-balok merupakan bukti pula betapa tingginya jangkauan ilmu bangunan nenek moyang suku Batak.

Bersamaan dengan itu kita masih dapat pula melihat seni tradisional lainnya seperti seni patung, seni tenun, anyaman.

Demikianlah kehadiran seni patung primitip selain ritual magis juga memiliki arti simbolis dan perlambang. Sikap Budaya masyarakat Batak, terhadap seni patung sebagai hasil karya budaya,, sampai dewasa ini masih dapat kita lihat. Diantaranya upacara pengobatan tradisional, Kesenian rakyat seperti si Gale-Gale di Tapanuli, Tembut-tembut di Karo dan kesenian di lain-lain daerah yang termasuk dalam rumpun suku Batak.

Sikap budaya yang sedemikian itu kemudian dihubungkan dengan aliran kepercayaan seperti yang dianut oleh nenek moyang, nyata masih melekat pada sebagian suku-suku Batak. Terbukti sampai dewasa ini sikap-sikap budaya seperti yang diuraikan di atas oleh masyarakat yang tinggal jauh dipedalaman, masih dipegang teguh. Cara-upacara tradisional seperti mperumah tendi, nguncang kuta, ngarkari, ngulak, masih bisa diadakan. Kemudian dihubungkan dengan seni patung dengan berbagai macam perwujudan bentuk, ternyata dalam upacara ersilihi (upacara pengobatan tradisional) sampai sekarang masih terdapat di berbagai daerah. Dengan demikian jelaslah betapa tingginya pandangan mereka terhadap nilai seni patung dalam berbagai seginya. Namun bagi daerah yang telah menganut agama Islam dan Kristen kelihatannya mereka cukup fanatik, sehingga patung yang pada mulanya dipuja sebagai penghormatan terhadap nenek moyang, banyak yang dimusnahkan diantaranya patung-patung peninggalan nenek moyang di daerah Angkola (Tapanulis Selatan). Bagi daerah-daerah yang lebih maju cara berfikirnya sekali pun mereka telah memeluk agama baru, seperti di daerah Tapanuli (Batak Toba) berlainan halnya. Pemujaan terhadap nenek moyang dalam arti menghormati arwah leluhurnya, seni patung yang dibuat sebagai perlambang masih terus berkembang. Ini semua masih dapat kita lihat bertebaran di sepanjang jalan antara derah Simalungun sampai di perbatasan daerah Tapnuli Tengah yang dibuat sedemikian rupa selain sebagai peringatan juga sebagai alat dekorasi dengan mengabaikan fungsi aslinya yakni sebagai alat pemujaan.

Roh nenek moyang dianggap sebagai roh yang baik, oleh karenanya dipuja dan dihormati. Oleh karena nenek myang dianggap sebagai awal pelaksana adat dan tradisi (dalihan na tolu) dimana adat dan tradisi ini dipakai oleh semua rumpun suku Batak, maka upacara tradisional seperti meminta hujan, turun kesawah, membuat dan memasuki rumah baru dan lain sebagainya sampai sekarang masih dilakukannya. Pelaksanaan upacara inilah yang menyebabkan kebudayaan tradisional suku Batak sukar pupusnya sekalipun ajaran agama baru cukup kuat untuk membendungnya. Dengan demikian usaha masyarakat yang fanatik disebabkan oleh ajaran agama untuk memusnahkan seni patung baik seni patung peninggalan nenek moyang dan seni patung peninggalan budaya megalit yang ada di sekitar pulau Samosir, Nias, dan beberapa daerah lainnya agak terhalang. Akhirnya patung-patung peninggalan prasejarah yang masih tinggal menjadi saksi hasil kesenian primitif. Lebih dari pada itu patung-patung primitif bercorak monumental sebagai hasil konsepsi yang tidak hanya mengandung nilai-nilai estetis, bahkan sampai kepada bentuk yang individualitas universal yang dapat memberikan hubungan sosial terhadapa kehidupan dan perwatakan seni yang tidak akan lapuk sepanjang zaman.

Paduan motif antropormofis dan zoomorfis pada patung-patung primitif Batak merupakan ciri khas yang tersendiri, yang ditata secara serasi. Patung-patung sejenis ini masih banyak tersebar di daerah pedalaman pulau Samosisr, di hutan-hutan Pakpak Dairi dan di bebeberapa daerah lain di Sumatera Utara. Dari sekian banyak patung-patung yang diperkirakan masih ada, hanya sebagian yang baru diketemukan sedang yang lain sudah banyak yang punah, terlebih patung-patung yang terbuat dari bahan kayu. Terutama misteri patung
ninggalan prasejarah banyak yang masih belum terungkapkan. Para ahli waris yang dapat diharapkan sebagai "penterjemah" akan nilai tidak mungkin diperoleh. Kalaupun ada mereka umumnya tidak ber­gairah untuk membicarakan tentang makna patung-patung nenek mo­yang mereka pada masa yang lampau.
Lain dari pada itu orang-orang yang berbakat pengukir sendiri kurang bergairah untuk kembali berkarya patung. hal ini disebabkan penghasilan sebagai seorang pengukir tradisional jauh lebih rendah dari penghasilan seorang pedagang rendahan atau sebagai penjual rokok dikaki lima.
Akhirnya patung-patung peninggalan karya seniman masa lalu tidak lebih dari pada sekedar warisan belaka. Keadaan ini sangat men­cemaskan bagi kelangsungan kehidupan seni patung di daerah Batak. Karenanya perlu usaha untuk melestarikan kembali seni patung tra­disional daerah, dengan mendorong para seniman patung di pedala­man untuk kembali berkarya dengan memberikan bantuan peralatan, bahan dan usaha pemasarannya dengan harga yang pantas. Masyarakat digugah untuk menghargai karya seni khususnya seni patung. Tidak lagi sebagai media pemujaan leluhur, tetapi seba­gai benda pajangan. Kehidupan wisata bisa dijadikan motivasi dalam pembinaannya.
A.Peranan Batak Seniman Pematung dalam Kehidupan Seni Patung
Setelah kita mengkaji nilai magis dan artistik patung Batak, sadarlah kita betapa besar peranan Seniman pematung sebagai mah­luk pencipta karya seni itu.
Beberapa peranan meteka dapat dicatat sebagai berikut:
  1. Menunjukkan rasa mampu atau penonjolan prestasi di bidang keunggulan seni pada zamannya.
  2. Memanifestasikan daya cipta dalam bidang kebudayaan;
  3. Memancarkan nilai keindahan dan praktis; dan
  4. Menunjukkan rasa mampu menentang zaman atau tak usang diterapkan pada konstruksi-konstruksi bangunan di sepanjang zaman.

1.Menunjukkan rasa mampu atau penonjolan,prestasi.

Dalam hubungan ini, perhatikanlah kembali berbagai gambar yang dilampirkan pada halaman terdahulu. Pada setiap patung sekali­pun bentuk dan coraknya sangat primitip, tetapi padanya masih ter­dapat elemen-elemen yang cukup artistik dan dapat memberikan ide terhadap bentuk-bentuk seni yang esensial.

Dari kemampuan senimannya dilihat dari banyaknya patung­-patung yang terdapat di daerah Batak, jelas menunjukkan bahwa kemampuan membentuk, mengukir/memahat patut dibanggakan untuk mewakili daerah sebagai hasil kebudayaan yang mampu, memberi arti terhadap perkembangan sejarah kebudayaan bagi suku Batak pada khususnya, dan Indonesia pada umumnya.

Dilihat dari segi gaya yang diungkapkan oleh pemahatnya seper­ti tongkat Tunggal Panaluan, jelas untuk mewujudkannya dibutuh­kan keahlian di dalam mengatur perbandingan bobot bahan sehingga keseimbangan dan kemantapan antara bahan dan bentuk (proporsi), terdapat keselarasan perwujudan yang ekspresif, sederhana dalam gaya, primitif-magis guna mencapai suasana yang keramat.

Diukur dari segi waktu dan kecermatan bekerja, patung dengan aneka gaya dan bentuk yang terdapat di daerah Batak tentunya akan memakan waktu yang relatif lama dan meminta ketekunan dan ke­telatenan bekerja, terlebih lagi dengan hasil seni patung megalita seperti patung kuburan yang terdapat di daerah Tomok dan patung­-patung batu lainnya di daerah Bawomataluo, desa Orakili di Keca­matan Gomo dan lain-lain.

Hasil-hasil seni patung itu tidak lain merupakan bagian kemenangan, kebanggaan serta rasa unggul dari prestasi (hasil kerja) yang tekun, atau semacam perasaan dan semangat tidak mau kalah dengan kelompok lain. Atau untuk masa yang jauh, mereka ingin menonjolkan dan mendapat kesan serta penilaian dari generasi masa kini. Lihatlah nenek moyang kita ternyata cukup berkemampuan dalam berkarya, khususnya di bidang seni patung. Karena sejarah lampau, menggambarkan keseluruhan perbuatan manusia pada waktu yang lampau, kami mencoba menggambarkan kembali tentang sikap dan peranan nenek moyang terhadap seni patung, yang pengungkapannya lewat media batu dan kayu sedemikian rupa diujudkan kembali "kehidupan" nenek moyangnya untuk dipuja dan dihormati. Beberapa karya mereka dalam berbagai gayanya, yang merupakan bukti kesenimanan mereka, dapat disajikan beberapa dibawahini.

60

Gambar 44
Patung Batak Toba

Patung menunggang kerbau.

Patung berbentuk sylendris yang berukuran kecil kelihatan ekspresi wajah seseorang yang penuh wibawa. Pangkal hidungnya dipahat menyatu dengan kening sedang mulutnya dibentuk melebar kekiri dan kekanan; pandangannya tajam kedepan. Sikap patung tergambar khas gaya Batak.

Gambar 45
Patung menunggang kuda.
Motif khas patung Batak seperti ditunjukkan lewat bentuk binatang cecak atau kadal yang diletakkan pada bahagian kepala. Jenis binatang ini tidak hanya terdapat pada patung saja, tetapi dipergunakan juga sebagai hiasan pada rumah adat tradisionil sopo dan lain-lain.
Pengungkapannya masih dilekati gaya patung primitif yang memberikan sikap sosial terhadap kehidupan manusia, sesuai dengan fungsinya sebagai lambang kekuatan dan pelindung manusia dari mara bahaya. Sedang konsep estetikanya adalah gabungan empat figur yang dipahat menyatu dalam komposisi yang serasi. Fungsi patung ini adalah sebagai penutup tempayan atau guci tempat obat. Detail patung yang dipahat kerawangan tampak figur-figurnya pada bagian-bagian tertentu dikerjakan dalam bentuk plastik relif seperti tangan dan kaki makin mengecil pada bagian tubuh kuda dengan garis-garis sudutnya yang tegas. Ekor kadal dibentuk menyatu dengan ekor kuda sedemikian rupa sehingga tercipta rongga-rongga yang mempertegas bentuk patung tiga dimensional.
Di daerah Angkola bentuk patung yang menyerupai patung menunggang kuda diberi nama Si pangan anak si pangan Boru. Di Indonesikan artinya Si pemakan anak (laki-laki dan si pemakan anak-anak (perempuan).

Gambar 46

Dijelaskan bahwa patung itu adalah lambang keadilan. Ide itu kemungkinan diambil dari bentuk patungnya, dimana seekor kuda digambarkan sedang memakan manusia, sedang dibagian lain seorang manusia didudukan pada bagian kepala dan seorang lagi pada bagian pinggul. Dramatisasi dari beberapa mahluk yang diilhami dalam bentuk patung memberi arti, yang salah harus dibinasakan sedang yang benar dijunjung tinggi. Sedang menurut hemat kami patung itu boleh juga diartikan sesuai dengan fungsinya (penutup tempat obat). Didasari dengan kepercayaan (ritual) dimana ramuan obat itu dapat memberi penawar terhadap segala penyaikit, baik penyakit dari luar dan penyakit dari dalam.

Gambar 47
Patung Batak Karo
Kerbau ataupun kuda yang selalu menyertai pada setiap patung Batak adalah kendaraan perlambang menuju nirwana sesuai dengan kepercayaan suku Batak. Secara simbolis jenis binatang itu adalah perlambang kemakmuran di samping teman dalam hidup. Bentuk patung pada gambar menunjukkan karakter tentang kehidupan suku Batak.
Gambar 48
Patung pada gambar ini dibentuk dalam posisi jongkok. Patung wanita tanpa busana, dua buah payudara tampak jelas, sebagai perlambang kesuburan; sedang pada patung lainnya tampak wujud seorang tua dalam posisi duduk, lengan dan tangan yang ditumpangkan pada lutut yang memberi kesan seorang pemimpin adat yang bijaksana.
Gambar 49
Seni Patung Nias

Patung (Raja dan Permaisurinya) dalam posisi duduk bagaikan gaya seorang raja duduk di tahta kerajaan. Corak patung ini mengingatkan kita akan gaya seni patung purbawi Mesir Kuno di zamanya Firaun. Detail patung yang diolah melalui media batu dengan pahatan sederhana, namun kelihatan artistik dan harmonis.

2. Sebagai manifestasi daya cipta.

Kepuasan ungkapan rohani adalah puncak dari kebudayaan Timur. Sebaliknya ungkapan lahiriah yang melimpah adalah puncak kebudayaan Barat. Sampai dipenghujung abad XX ini masih terasa bahwa Timur masih tetap dilekati oleh kebanggan dan kepuasan keunggulan rohaniah. Hal ini tergambar dan memantul di dalam hasil daya cipta atau kebudayaannya. Sedangkan pendekatan aspek keduniawian atau kebendaan, baru beranjak setelah terjadinya setuhan dengan kebudayaan Barat.
Sifat itu dapat terlihat pada ungkapan berbagai karya seni, terutama dalam seni patung. Stilasi dan makna perlambangan dalam corak yang primitif, selalu muncul dalam pahatan patung timur. Ia hanya dapat dihayati dengan pendekatan rohaniah apabila kita ingin mengerti dan memahami sampai pada tingkat dan isi yang hakiki, dari karya-karya patung Batak dan Nias.
Demikianlah ciri-ciri utama hasil kebudayaan nenek moyang kita pada umumnya.

Gambar 50

Bentuk patung pada gambar ini jika diperhatikan jelas senimannya menyesuaikan bentuk dengan batang pohon yang silendris. Bentuk monumental yang ditampilkan dalam patung ini dicapai dengan sikap dan penyelesaian patung yang sederhana. Ekspresi wajah melahirkan makna simbolik magis, ditambah dengan mengambil motif-motif yang simbolistis.
Gambar 51.

Aneka gaya kita temukan pada patung Batak. Pada patung ini kita melihat sikap duduk dimana kedua tangannya ditumpukkan pada bagian dada. Oleh suku Batak Karo disebut pusuh (jantung), dengan matanya dalam keadaan terpejam. Serta rambutnya yang keriting. Sikap patung seperti ini diberi gelar patung penenung (patung yang dapat memberi firasat terhadap firasat baik dan buruk.

Gambar 52.
Sebuah patung Nias, melukiskan orang yang sedang bertapa disebuah gua dikawal oleh tiga lasara sejenis binatang buas. Patung batu yang berusia tua ini kelihatan magis, barangkali karena patung ini pada mulanya dipuja dan dihormati sesuai dengan kepercayaan suku Nias pada waktu itu. Ekspresi wajahnya dengan sedikit tersenyum dan mata terkatup menunjukkan ketenangan seseorang pertapa.

B.Fungsi Seni Patung Batak.

Menjelajahi kehidupan seni patung Batak sepanjang masa, da­pat dikaji berbagai fungsi dari kehadiran patung di kalangan masyarakat Batak.

1. Memantulkan pengertian simbolis magis.

Mengungkap yang tersirat dibalik yang tersurat bukanlah hal yang mudah. Yang paling kena untuk mengungkapkan arti simbolis dari hasil seni patung yang terdapat di daerah Batak pada umumnya setidaknya kita harus menyelami budaya, adat dan kepercayaan suku Batak. Ketidak mudahan mengungkap­kan nilai yang terkandung pada hasil seni patung primitif se­bagai hasil kebudayaan suku Batak, seorang ahli Barat Van Der Hoop, mengatakan antara lain :

"Sejarah kebudayaan, pengetahuan tentang yang lampau tidak hanya untuk diingat atau dituruti, tetapi juga untuk menunjukkan jalan dan memberi semangat kepada kita da­lam menciptakan hari sekarang yang lebih bagus dan hari be­sok yang sempurna".9)

Jika, hendak diselidiki arti itu, maka kita harus mencarinya kembali jauh dalam sejarah dan malahan sampai pada prase­jarah.

Dengan tulisan tersebut di atas maka jelaslah bahwa setiap bentuk materil di dalam suatu hasil karya patung yang terda­pat di daerah Batak pada umumnya mengandung arti tersen­diri (khusus), apakah arti realis, simbolis atau yang lebih kom­pleks dari itu. Sebab setiap patung yang terdapat didaerah Batak dari semula dinyatakan adanya arti dan nilai luhur yang ter­sembunyi. Bakan pula sedikit jumlah patung yang terdapat di­ daerah Batak dan Nias, baik yang baru maupun lama dengan corak dan gayanya yang berbeda-beda, dan tidak mustahil pu­la bahwa keseluruhan dari jenis patung itu mempunyai nilai dan arti yang symbolis tersendiri. Gajah dompak, singe-singe sekalipun diungkapkan dalam bentuk dua demonsion namun

––––––––––––––––––––––––

9). A.N.J. Tahun Van Der Hoop. Indonesisch Siermotieven U.V. v/p. A.C. Nix & Co, Bandung, 1949, hal. 17.

dia kelihatan artistik, dekoratf dan mengandung makna sym­bolis magis sebagai penolak dari roh-roh yang datang dari lu­ar.

Demikianlah juga dengan patung-patung lain seperti patung pulu balang, patung pagar jabu dan lain-lain mengandung makna yang sama.

Dari hasil-hasil wawancara penulis dengan para pengetua adat diperoleh keterangan-keterangan mengenai nilai dan makna seni patung yang terdapat di daerah Batak yang memang ternya­ta pada setiap ungkapan mengandung makna simbolis magis. Beberapa jenis patung tersebut dapat ditampilkan disini.


Gambar 53

a. Ulu Paung

. Motif Ulu Paung pada gambar di atas; tampak artistik dalam gaya dekoratif. Dilihat dari bentuknya, termasuk hiasan raksasa, setengah manusia dan setengah hewan. Motif ukiran ini diletakkan pada dinding atas pintu yang simetris. Jika diperhatikan, jelas akan memberikan gambaran bahwa bentuk Ulu Paung, merupakan stilasi kepala manusia bertanduk, sejalan dengan fungsinya, sebagai perlambang keperkasaan untuk melindungi penghuni rumah dari gangguan roh-roh jahat.
Gambar 54

b. Patung pemberi berkat.

Patung ini terdiri dari sebuah patung induk dan dua patung lainnya dipahat lebih kecil dari patung induk. Sikap patung kedua belah tangannya diletakkan di atas kepala patung yang kecil sedemikian rupa sehingga memberi makna tersendiri.

Menurut keterangan, fungsi patung ini adalah ma masu-masu artinya patung pemberi berkat.

Pada bagian kepala di pahatkan seekor kadal (cecak) mengandung makna/arti tertinggi bagi suku Batak, yang disebut Borospati, artinya pelindung dari perbuatan/gangguan jahat yang datangnya dari luar.

Gambar 55

c. Patung lambang kejantanan (Adu Jatua) didesa Hilisimaetano.

Memperhatikan gambar disebelah, kembali kita melihat kesederhanaan pahatan dengan sikap yang sama seperti gaya patung lainnya, fungsi patung sebagai lambang kejantanan, dapat terasa lewat alat kelamin yang ditonjolkan.
2. Fungsi Sosial.
1. Media pemujaan.

Kekuatan ekspresi magis dan makna-maksa simbolis dari berbagai motif tampil pada setiap patung tradisional, jelas terdapat unsur pengahayatan kepercayaan. Demikian pula se­ni patung yang terdapat di daerah Batak sesuai dengan keper­cayaan yang dianut di daerah Batak sesuai dengan kepercaya­an yang dianut oleh masyarakat, mempunyai peranan sosial yang penting. Pada masa prasejarah (seni patung) yang terda­pat di daerah Batak dari Nias pada umumnya kelahirannya ber­tolak dari masalah kehidupan manusia yang dikaitkan dengan unsur-unsur kepercayaan yang melandasi berbagai aspek kehi­dupannya.

Oleh karenanya patung yang terdapat pada masyarakat Ba­ tak pada umumnya dibuat bukan semata-mata untuk ke­senangan pengungkapan rasa seninya. Tetapi justru timbul dari dorongan sesuatu yang berkaitan dengan kepercayaan, tentang ketinggian martabat dari nenek moyang yang dipan­dang sebagai juru selamat.

Gangguan alam, peperangan antar suku dan lain sebagainya, memaksa mereka mencari perlindungan kepada roh-roh ne­nek moyang yang diwujudkan lewat pahatan berupa patung-pa­tung.

Pemujaan terhadap nenek moyang seperti yang diuraikan di­ atas adalah satu segi kehidupan masyarakat prasejarah yang timbul dengan kuat di kalangan masyarakat Batak dan Nias. Sekalipun pada zaman sekarang masyaraklat Batak dan Nias te­lah menganut Agama Islam dan Kristen, namun bekas-bekas kepercayaan animistis masih terasa di kalangan masyarakat Ba­tak dan Nias. Berarti kebudayaan prasejarah tetap memper­tahankan eksistensinya terhadap desakan atau pengaruh yang datangnya dari luar. Salah satu contohnya adalah patung singa-singa, gajah dompak pada rumah tradisional Batak To­ba; kuda-kuda pada rumah tradisional Karo; bohi-bohi pada ru­mah adat Simalungun, Uting-uting pada rumah adat Mandai­ling, sampai pada gaya arsitektur masa kini. Patung permi­nakan untuk penawar orang sakit.

Patung pagar jabu dan lain-lain, sampai sekarang masih dipakai oleh masyarakat Batak Karo.

  1. Peranan Patung dalam Upacara Pengobatan Tradisional.

    Pengobatan tradisional pada masyarakat Batak sampai se­karang masih banyak diperaktekkan, terlebih di pedesaan, dengan melalui mantera-mantera ataupun upacara khusus. Seperti apa yang kami lihat di tanah Karo, yakni pengobat­an tradisional melalui upacara khusus yang masih diprak­tekkan di kalangan masyrakatnya, upacara pengobatan ini dalam bahasa Karo disebut ersilihi. Pada pelaksanaan upacara ini terdapat sebuah patung yang dalam bahasa Batak Karo disebut gana-gana, yang dalam wujudnya benar­-benar menyerupai wajah manusia. Menurut kepercayaan masyarakat Karo, di atas permukaan bumi ini ada roh-roh jahat yang bergentayangan, yang mengganggu kehidupan manusia. Roh-roh inilah yang menyebabkan sukar menyem­buhkan seseorang yang menderita penyakit, sebab semangat atau tendi si sakit disandera oleh roh jahat itu.

    Untuk mengembalikan semangat sisakit agar lekas sembuh dibuatlah upacara ersilihi, dengan menghadirkan tiga orang guru dukun yang masing-masing mempunyai keahlian tersen­diri untuk dimintai pertolongannya antara lain:

    – guru per mang-mang ahli dalam mantera-mantera.

    – guru per dewel-dewel, guru sierkata kerahongna artinya guru yang dapat bicara melalui lehernya, yang dapat lang­sung berdialog dengan roh-roh jahat.

    – guru si dua lapis pengenin matana artinya guru yang dapat melihat di luar kemampuan penglihatan orang biasa.

    Untuk mengembalikan semangat sisakit pada pengobatan tradisional itu, patung mempunyai fungsi sosial yang sangat penting. Patung itu adalah sebagai pengganti sisakit untuk dikorbankan pada roh jahat. Melalui perantaraan guru/dukun, patung berikut sesajen sesuai dengan permintaan roh jahat, yang dilambangkan sebagai pengganti semangat/tendi si sakit, maka patung itu dibawa ke sungai kemudian dihanyutkan oleh guru/dukun itu, atau diletakkan dipersimpangan jalan.

    Mantera pengiring upacara ersilihi itu adalah sebagai berikut:

    O, nini enda gancih si Ane ndai ula nai kam ertunggu­-tunggu, ula nai er idau-idau, enggo seh ken kami pemindon ndu e.

Artinya dalam bahasa Indonesia:

Oh, roh-roh halus yang bergentayangan yang menuntut pengganti roh si Anu, jangan lagi engkau menunggu-nung­gu (menanti-nanti) sudah kami kabulkan permintaan itu.

Upacara ersilihi biasanya dilaksanakan dengan diiringi musik tradisional (keteng-keteng dan baluat), dengan dibarengi oleh mantera yang dibawakan oleh guru/dukun.

3. Mengandung nilai estetis (keindahan).

Penghayatan para seniman masa lalu akan bentuk, serta kepeka­an pada nilai-nilai garis dengan landasan sikap dan ekspresi wa­jah dapat melahirkan karya-karya bermutu, sebagaimana yang selalu terpahat pada setiap patung dan motif-motif hiasan. Memang kadang-kadang kita berpikir, apakah benar para seni­man masa lalu telah memiliki kesadaran keindahan yang begitu tinggi. Tidakkan kelahiran karya-karya itu semata-mata di do­rong oleh aspek simbolisme saja, dimana keindahan lahir hanya dari instink keindahan.

Sulit disimpulkan, mengingat hampir keseluruhan karya yang tertinggal memiliki mutu seni yang tinggi di samping kandung­an nilai simbolis magisnya.

Deformasi dan itilasi bentuk yang pada umumnya terdapat pada seni primitif serta simbol-simbol yang terkandung di da­lamnya, kenyataannya sekarang banyak memberi sumber ins­pirasi kepada para seniman modern yang perkembangannya begitu pesat di abad XX sekarang ini.

Kemungkinan-kemungkinan ini boleh jadi disebabkan seni primitif itu mengandung nilai-nilai estetis universal.
Gambar 56
Motif hiasan dan patung yang dibuat sebagai tiang penyangga, memberi arti yang tersendiri pada bangunan rumah tempat tinggal seperti pada gambar di atas. Patung yang dibentuk ber­tumpang tindih secara berjenjang dari bawah ke atas kelihatan artistik dekoratif. Betapa bentuk patung lama1. mengilhami pa­ra seniman dan arsitek massa kini; yang ditampilkan pada bangunan modern.

4. Tidak usang untuk diterapkan pada konstruksi bangunan sepanjang zaman.

Ada pendapat bahwa kebudayaan Nasional adalah paduan dari puncak-puncak kebudayaan daerah. Atau ada yang berpenda­pat bahwa kebudayaan asing yang mengandung unsur yang da­pat dicerna dan melebur dengan kebudayaan Nasional dapat diterima untuk memperkaya dalam rangka pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan Nasional.

Seni patung sebagai bagian dari karya seni Nasional juga terli­hat di dalam proses pertumbuhan dan perkembangan kebuda­yaan Nasional, dan ternyata seni patung mampu tampil dalam dunianya yang baru.

Dalam abad XX ini bangunan-bangunan baik bentuk dan gaya­nya mengalami kemajuan dan memberi corak tersendiri sebagai hasil kreativitas pada arsitek masa kini, bentuk arsitektural ma­sa lampau (tradisional) masih mampu memberi ilham pada bangunan-bangunan masa kini, terlepas dari kemantapan nilai artistiknya dan fungsionalnya. Sebagai contoh kita dapat me­lihat bangunan kantor DRPD Tkt. I Sumatera Utara yang ter­letak di jalan Imam Bonjol, Gedung Museum Kanwil Departe­men Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Sumatera Utara di Jalan Gedung Arca, Hotel T.D. Pardede di jalan Imam Bonjol, Juga kita dapati di beberapa daerah lain,seperti bangunan uta­ma Taman Budaya di Bali, bangunan Taman Mini di Jakarta dan lain-lain. Ternyata dia tidak kaku,bahkan menambah ke­harmonisan dan mantap disamping membantu dekorasi bangun­an itu.

Berdasarkan kenyataan itu penulis berpendapat bahwa seni patung masa lalu yang terdapat pada bangunan masa kini akan tetap memperindah penampilan bangunan modern. Dengan kata lain bahwa seni patung tradisional sekalipun dengan co­rak/gaya primitifnya tidak ketinggalan zaman dan masih dite­rima terus sepanjang zaman.
  1.    Gaya Seni Patung Primitif Batak Menurut Daerahnya.

    Di penghujung abad XX ini kesenian tradisional Batak khusus­nya seni patung tidak begitu banyak dibicarakan. Hal itu disebabkan patung-patung hasil karya peninggalan nenek moyang banyak yang sudah punah di samping senimannya sendiri tidak kreatif lagi. Boleh jadi disebabkan di daerah Batak pada umumnya sudah banyak yang memeluk agama Islam dan Kristen, sedang agama permalim awal dari anutan suku Batak sudah jarang menganutnya, akibatnya dide­sak oleh agama baru itu.

    Kemungkinan-kemungkinan lain boleh jadi penilaian terhadapkesenian rakyat tradisional dianggap sudah tidak sesuai lagi dalam lingkungan masyarakat Batak yang hidup di alam modern sekarang ini.

    Di lain hal khusus seni patung dianggap suatu hambatan pula bagi perkembangan agama Islam dan Kristen, sebab patung-pa­tung yang masih ada dapat menyebabkan timbulnya kembali pemu­jaan terhadap nenek moyang.

    Oleh karenanya patung-patung peninggalan nenek moyang awal lari pemujaan terhadap yang lebih tinggi banyak yang dimusnahkan.

    Kendatipun demikian bagi suku Batak yang masih fanatik ter­hadap leluhurnya, seni patung berkembang terus, justeru menampil­kan kembali leluhur nenek moyang, baik berupa patung atau tugu yang tetap dianggap sebagai suatu pekerjaan yang sangat mulia.

    Penampilan patung-patung masa kini sebagai lambang perwu­judan kembali rupa nenek moyang, bentuk dan gayanya lebih meng­rah kepada gaya naturalis. Sedang patung yang bergaya primitif ke­hadirannya hanya pada waktu dibutuhkan, misalnya dalam mengisi upacara-upacara adat tampa fungsi yang asli, seperti misalnya pe­nampilan sigale -gale pada upacara penyambutan hari-hari besar Nasional dan lain-lain.

    Kebudayaan daerah dengan segala jenis corak dan gaya itu tam­pak mempunyai ciri-ciri khas yang membedakan satu daerah suku dengan yang lain. Ciri-ciri khas yang dimiliki oleh daerah dimana suku-suku Batak itu berada, kiranya sejak dahulu berkembang seba­gaimana yang kita lihat dan hayati sekarang ini yakni patung-patung dari sisa-sisa peninggalan karya seni rupa nenek moyang.

    Kehadiran patung primitif tersebut itu memberikan inspirasi
pada pematung modern dalam usaha pencarian pribadinya.

Dapat kita catat beberapa gaya patung primitif dari beberapa daerah sebagai berikut:

  1. Patung primitif Batak Toba.

Yang dimaksud dengan suku Batak Toba adalah masyarakat Toba yang tinggal menetap sebagai penduduk asli di sekitar Danau Toba. Daerah ini dikenal sebagai salah satu pusat berkembangnya seni primitif. Gaya seni patung primitif, sebagaimana umumnya ada­lah sebagai peninggalan hasil karya seniman masa lalu yang lebih ter­ikat pada aspek symbolisnya daripada kaidah-kaidah keindahan.

Patung-patung primitif yang terdapat di daerah Batak Toba pada umumnya berbentuk silindris dalam berbagai ukuran menurut fungsi yang dipersiapkan. Pada bagian-bagian lain seperti patung-­patung batu yang terdapat di desa Ambarita Sialalangan kelihatan bentuknya sudah mengarah kepada corak realistis, dalam ungkapan­nya yang sangat sederhana tetapi penuh ekspresi.

Ciri-ciri khas yang terdapat pada patung primitif Batak Toba, pada umumnya dalam pengambilan motif, yang memadu wujud antropomorphis dan zoomorphis yang diungkapkan oleh pemahatnya sebagai perlambang roh nenek moyang.

Terdapat beberapa sikap patung, yang boleh dikatakan khas sikap patung Batak. Antara lain patung menggang binatang kerbau atau kuda. Patung dalam sikap jongkok dengan kedua belah tangan memeluk lutut, atau diletakkan pada bagian perut. Patung dengan sikap tegak dengan ekspresi wajah yang penuh wibawa dan memberi kesan tentang kekerasan watak dan kekuasaan serta ketegangan emo­si. Patung-patung batu hasil peninggalan kebudayaan megalit yang terdapat di desa Tomok dan Ambarita, diwujudkan sebagai orang yang sedang menghadapkan dirinya kepada kekuasaan yang lebih tinggi seperti patung upacara Horbo lele yang terdapat di desa To­mok.
Gambar 57

Gambar 57 adalah patung horbo/ kerbau dari batu dalam bentuk seekor hewan, dengan garapan yang sangat sederhana.

Gambar 58
Sekolompok patung penabuh dengan dua buah patung raja dan per­maisuri, sedang menyaksikan upacara horbo lele. (gbr. 58).
Gambar 59
Gambar 59 adalah patung orang yang sedang memohon. Biasa setelah selesai upacara lalu berwujud kepada kekuasaan yang lebih tinggi untuk mohon perlindungan dan kesejahteraan. Gaya mengarah naturalis.
Gambar 60

Pada gambar 60 kita melihat sikap duduk sebagai raja dan permai­surinya dalam sikap duduk, sedang bermohon sembari menghadap­kan diri kepada leluhur yang menguasai alam semesta.

Jenis-jenis lainnya seperti singa-singa dan Gajah Dompak, yang ba­nyak terdapat pada rumah adat tradisional Batak Toba nampak sifat tiga dimensionalnya (patung yang ditempelkan pada dinding). Kedua jenis patung ini mempunyai fungsi yang sama, yakni secara simbolis melambangkan raja yang pemurah. Dalam bahasa Batak Toba par­ bahul-bahul na bolon.

Hiasan ini juga berfungsi sebagai penjaga serta penolak bala. Melihat bentuknya, patung singa-singa menggambarkan watak wa­jah seorang manusia yang berwibawa, dalam karakter yang optimis sesuai dengan konsepsi senimannya, di samping membantu seni ukir arsitektural pada rumah adat Batak. Secara keseluruhan patung si­nga-singa dan patung Gajah Dompak merupakan hasil seni yang meliputi nilai-nilai simbolisk magis.
Gambar 61
Singa-singa (Batak Tapanuli).
Arti patung ini adalah berwibawa (kharisma). Bentuk wajah manusia raksasa terpadu dengan aneka ragam hias mewujudkan dekorasi yang kompleks.
  1. Patung Primitif Daerah Simalungun.

Di daerah Simalungun seni patung tidak begitu menonjol jika dibandingkan dengan seni patung yang terdapat di daerah Batak To­bak. Patung-patung sebagai peninggalan karya nenek moyang kini banyak yang sudah mengalami kepunahan. Peninggalan-peninggalan­nya yang tercatat hanya patung yang terdapat pada museum Si­malungun di Pematang Siantar (patung Penghulu Balang).

Bentuk dan gayanya sangat sederhana sesuai dengan kemampu­an bahan yang ada sehingga pengolahannya terbatas, namun secara keseluruhan merupakan buah intuisi perwujudan patung yang dapat memberi pengharapan terlepas dari segala gangguan roh-roh jahat. Pemahatnya jelas menghadirkan ungkapan ekspresi wajah dalam per­watakan yang dinamis kaya dan anggun dalam tatapan motif patung primitif tradisional. Bentuk keseluruhan patung memberi gambaran perpaduan nyata antara agresivitas yang keras tentang motif dan watak sesuai dengan fungsinya yakni patung Penghulu Balang berfungsi sebagai patung penjaga kampung.

Sikap patung digambarkan dalam posisi duduk dan kedua le­ngannya diletakkan di atas paha di samping ada juga kedua lengan­nya ditumpukkan pada dada sedang pandangan matanya tajam ke depan. Di bahagian lain kita melihat jenis patung yang berfungsi sebagai penutup tempat ramuan obat. Disini kita melihat adanya nilai-nilai selain yang fungsional terdapat nilai magis dengan corak dan gaya ekspresif dekoratif.

Posisi tubuh digambarkan dalam keadaan duduk sedang posisi tangan dibuat dalam sikap bermohon agar ramuan obat dapat mem­berikan penawar bagi setiap orang yang mempergunakannya.
Gambar 62

Patung penutup ramuan obat (Simalungun), Patung dalam posisi duduk melalui media kayu besi tangan dan kaki kelihatan terpotong.

3. Seni Patung Primitif Pakpak Dairi.

Seni patung primitif yang terdapat di daerah Batak seperti yang telah diuraikan terdahulu pada umumnya mempunyai kesa­maan bentuk antara satu daerah dengan daerah lainnya, hal ini di­sebabkan suku-suku Batak itu serumpun adanya.
Demikian juga halnya dengan seni patung primitif Pakpak Dairi mempunyai kesamaan bantuk dan gaya dengan patung-patung yang terdapat di daerah Simalungan, Karo dan daerah-daerah lain.

Dari pengamatan terlihat,bahwa Seni patung yang terdapat di­daerah Simalungun dan Karo banyak dipengaruhi oleh gaya seni patung Pakpak Dairi. Rupanya pengaruh ini dibawa oleh Raja Pakpak Pitu Sidalanen (Raja Pakpak tujuh seperjalanan). Menurut legenda ketujuh raja itu masing-masing mempunyai keahlian (mukjizat) dan sangat berpengaruh. Oleh sebab itu ke tujuh raja itu sangat disegani oleh masyarakat Batak.

Ditilik dari letak geografis kemudian dihubungkan pula dengan pendatang-pendatang dari luar, melalui Bandar Tua Barus yang dike­nal banyak membawa pengaruh kebudayaan Hindu, terlebih dahulu harus melalui Pakpak Dairi kemudian menyebar ke daerah Simalungun dan Karo, dan ada juga yang melalui Dolok Sanggul, Parlilitan hingga ke daerah atak Toba. Kemungkinan ini boleh jadi pengaruh bentuk ataupun gaya seni patung itu bermula dari gaya patung Pak­pak Dairi. Namun demikian hal ini masih perlu diselidiki kebenaran­nya oleh ahli (penulis) berikutnya. Patung-patung primitif seperti patung hewan (gajah) yang terdapat di daerah Pakpak Dairi berfung­si sebagai penjaga kampung dengan tujuan yang sama seperti patung Penghulu Balang yang terdapat di daerah Simalungun dan Karo, kendatipun bentuk dan gayanya berbeda. Patung ini ditempatkan pada pintu gerbang masuk kehalaman kampung bertujuan sebagai setiap orang yang ingin mengganggu atau berbuat penangkal bagi setiap orang yang ingin mengganggu atau berbuat jahat, di samping berfungsi pula sebagai tempat penyimpanan abu jenazah. Hal itu mengingatkan kita adanya pengaruh kebudayaan Hindu di daerah Pakpak Dairi.

Pengaruh ini juga terlihat pada patung orang menunggang ga­jah yang terdapat di depan Gedung Nasional di Sidikalang.

Pada mulanya jenis patung itu hanya dimiliki oleh Marga Ta­no, lazim disebut Raja atau pengetua adat, justru gajah, kuda dan kerbau dianggap sebagai lambang kenderaan roh nenek moyang ke sorga, di samping lambang ke suburan.

Analisis gaya pada patung primitif Pakpak Dairi, patung dibuat dalam sikap duduk, dan kedua tangannya diletakkan di atas kedua lutut, ada juga yang dibuat menyilang di bagian dada. Bentuk ma­ta diukir secara sirkular pada bidang muka yang datar dengan ta­tapan tajam kedepan kelihatan tampang wajah yang menakutkan. Pangkal hidung dipahat seadanya, kedua daun telinga dibuat kecil namun peka terhadap jenis suara sesuai dengan fungsinya sebagai patung penjaga kampung. Menurut kepercayaan manusia purba se­tiap suara atau gerak orang yang mencurigakan datang berkunjung ke kampung itu, maka patung itu memberitahukan penduduk agar siaga dan waspada.

Patung-patung peninggalan kultur megalit di daerah Pakpak Dai­ri masih banyak dijumpai, hanya sayangnya patung itu tidak terpe­lihara baik, akhirnya banyak yang rusak, sedang usaha-usaha untuk mengumpulkan patung-patung oleh badan resmi sampai sekarang belum mendapat gambaran yang positif. Di kalangan seniman dan ilmuwan tentu tidak menghendaki kepunahan dari sesuatu yang berharga dalam hal ini seni patung peninggalan nenek moyang sebagai warisan budaya bangsa.

Keadaan yang mengkhawatirkan ini kiranya sudah selayaknya menjadi pemikirah bagi pemerintah di samping pemikiran lain untuk menggalakkan kembali kesnian tradisional dan memberikan kegai­rahan bagi senimannya untuk kembali ke profesinya semula, yakni sebagai seniman pengukir tradisional.

Gambar 63

Sisa peninggalan patung nenek moyang Pakpak Dairi (patung me­nunggang kuda). 4. Seni patung Primitif Karo.

Kabupaten Karo di Sumatera Utara tidak hanya dikenal dengan udaranya yang segar, bunga dan hasil bumi lainnya, tetapi juga di­kenal justru kaya akan hasil karya seni rupa seperti: arsitektur ru­mah adat tradisional dengan aneka ragam corak, tenunan, anyaman, dan seni patung primitif.

Patung-patung yang terdapat di daerah Karo dilihat dari bentuk dan gayanya dibagi atas:

  1. patung tutup perminaken,
  2. patung pagar jabu,
  3. patung tongkat Tunggal Panaluan,
  4. patung tongkat Malaikat, dan
  5. patung pulu baleng.

Patung terbuat dari bahan batu, kayu dan tanduk.

a. Patung Tutup Perminaken.

Gaya seni patung primitif Karo umumnya tidak terikat ke­pada proporsi anatomi seperti lazimnya patung-patung na­turalis yang pernah kita lihar ciri-cirinya pada setiap patung primitip Karo.

Figur manusianya digambarkan sedang menunggang kuda atau kerbau. Proporsi wajah kelihatan kaku namun domi­nan dengan garis-garis sudutnya yang tegas seuai dengan konstruksi patungnya.

Dagunya dibubuhi jenggot mencuat tajam keluar, hidungnya agak lancip kedepan dengan pangkal hidung menyatu dengan kening. Mulut tertutup rapat dicukil melebar dan memberi­kan penggayaan ekspresi wajah yang penuh wibawa ditandai pula dengan pandangan mata tajam kedepan. Pangkal lengan rapat dengan bahagian tubuh dan tangan sejajar kedepan me­megang tanduk hewan sebagai tunggangan, sedang bahagian kaki digambarkan makin mengecil kebawah menyatu dengan tubuh hewan yang ditunggangi sehingga kelihatan ketidak seimbangan antara bahagian tubuh dan kepala. Namun kesemuanya ini memberi kesan tentang kekerasan watak. Bentuk hewan sebagai alat tunggangan digambarkan menyerupai sphinx (patung berkepala manusia berbadan hewan).
Apakah patung ini menerima pengaruh dari kesenian Mesir kuno.

Bentuk patung dipahat tidak terlampau besar cukup sebagai penutup tempat ramuan obat dengan perhitungan bobot dan penyesuaian konstruksi tabung (kendi). Jenis patung ini dinamai patung tutup perminaken. Patung yang berfungsi sebagai tanda kehadiran nenek moyang yang dapat memberi keselamatan atau dengan kata lain dapat memberikan pena­war penangkal terhadap orang-orang yang mendapat penya­kit.


Gambar 64
Patung tutup perminaken lengkap dengan tempat ramuan obat yang terbuat dari tanduk.

Gambar 65→
Patung tutup perminaken (tutup ramuan obat penawar).

Pada patung ini terdapat selain fungsinya sebagai penutup obat juga terkandung sifat-sifat magis, relegius, eksresif, dekoratif.

b. Patung Pagar Jabu.

Patung pagar jabu fungsinya bersamaan dengan patung perminaken, dipahat lebih mendetail dengan stilasi yang mem­beri kesan kecermatan pemahatnya. Jelasnya estetis yang mencerminkan ketangguhan seniman pemahatnya yang meng­ekspos tentang ekspresi individual yang mengagumkan.

Bentuk ragam hias dan beberapa atribut yang menyertai patung ini tidak bisa dipandang sepele justru pada patung ni diperlukan kecermatan dan ketelitian kerja yang tangguh.

Figur patung yang terdapat pada pagar jabu (patung penang­kal) terdiri dari dua media bahan yaitu bahan kayu dan bahan tanduk. Oleh pemahatnya dipahat untuk memvisualisasikan ekspresi wajah yang memberi kesan optimis tangguh meng­hadapi segala tantangan dalam pola primitif yang agak meng­arah kepada bentuk proporsional.

Bahan kayu yang sifatnya silendris diukir dengan ungkapan ekspresi yang plastis, membutuhkan keahlian serta kehalusan perasaan estetis yang mendalam di samping mewujudkan antropomorphis dan zoomorphis dengan gaya ekspressif dinamis dalam tatapan motif-motif tradisional.

Detail patung dibuat secara piramidal berjenjang dari atas kebawah, dapat dilihat ukiran seekor burung dalam posisi gaya yang sedang hinggap dengan ekornya mencuat keatas kemudian melengkung dan menindih bagian kepala burung sedemikian rupa digambarkan lewat dekorasi ornamen mo­tif sulur.

Berurut kebawah kita melihat pula sebuah patung wanita duduk di atas kepala (patung induk) dalam posisi tangan meminta restu keberkatan. Patung induk digambarkan se­dang menunggang seekor hewan seperti patung yang terda­pat pada tutup perminaken, hanya kerjanya lebih mende­tail dengan memberi ornamen pada dasar patung. Dari pan-

dangan profil pada bagian belakang terdapat relief ornamen berongga dibuat menyatu dengan figur lainnya, sehingga memberi kesan artistik, dengan nilai-nilai yang fungsional adalah bersifat magis dan sakral, ekspresif dekoratif.
Gambar 66

a. Tutup tabung.

b. Tabung tempat penyimpan ramuan obat.
Gambar 67

c. Patung Tongkat Tunggal Panaluan Karo (tongkat guru)

Tongkat tunggal panaluan yang terdapat di daerah Karo, mempunyai keunikan tersendiri, berbeda dengan tongkat tunggal panaluan yang terdapat di daerah Toba. Dari pangkal bagian atas sampai ke bawah secara berjenjang diukir bentuk antropomorfis dan zoomorfis. Pemaduan figus yang berlainan jenis sebagai ekspresi seniman pengukirnya, jelas mewujudkan bentuk dekorasi yang indah, selain dari pada itu senimannya juga memberikan gambaran karakter kehidupan orang-orang Batak zaman dahulu.

Melihat dari bentuknya tongkat tunggal panaluan tidak hanya berfungsi praktis, lebih dari itu juga mengandung nilai-nilai simbolis magis. Variasi yang dekoratif dari perpaduan aneka figur-figur sebagai komposisi antara figur sebelas atas dengan figur bagian bawah sedemikian rupa diolah sehingga terjadi suatu penyatuan bentuk yang estetis. Hal inilah yang membuat kita kagum atas prestasi yang dicapai oleh pengukirnya, justru penataan dari berbagai figur dengan ungkapan plastis yang kompleks diperlukan perasaan estetis yang luas dan dalam.

Detail patung yang terdiri dari sebelas figur manusia, dari bagian atas hingga di pertengahan tongkat bentuknya tidak dipahat secara anatomis namun memberi kesan kepada suatu keluarga yang dihimpun oleh adat yang kuat (daliha na tolu), sehingga terwujud suatu kesatuan yang tak tergoyahkan oleh siapapun.
Patung-patung yang dibuat dari cabang kayu tenggolan (ka­yu besi) mulai dari pangkal diukir sampai kebawah digambar­kan lewat pahatan plastis tanpa proporsi anatomis. Patung induk pada pangkal tongkat diukir manusia sedang menung­gang hewan motif raksasa adalah buah intuisi jiwa pemahat­nya yang mengekspresikan seorang raja sedang menunggang kuda. Perbandingan kepala dengan bentuk tubuh yang ker­dil kelihatan agak lucu, namun kesan kewibawaan terasa pada pandangan matanya yang tajam kedepan. Pada bagian kepala yang polos kita dapati benjolan, fungsinya dipakai untuk pengikat ijuk atau bulu ayam jago, sebagai pengganti rambut, sewaktu tongkat itu dipakai pada upacara-upacara adat.
Agak kebawah kita melihat enam buah relif manusia meling­kar, menopang patung induk, melambangkan kecintaan rak­yat terhadap rajanya. Sikap patung diukir dalam posisi du­duk. Lebih kebawah terdapat dua buah patung bertolak be­lakang dipahat simetris posisi tangan digambarkan sedang memohon restu, dan kedua siku ditumpukan pada paha. Tipe dan tema yang sama pada patung ini terdapat pada ba­gian bawahnya.
Di sini pemahatnya menggambarkan kepribadian perwatakan yang membawa perasaan hormat. Ketangguhan mengolah dan pengaturan komposisi patung-patung mini yang terda­pat pada tongkat tunggal panaluan merupakan bukti betapa tinggi jangkauan ilmu ukir nenek moyang kita pada masa yang lalu. Selanjutnya mari kita menatap dekorasi peleng­kap ukiran ornament bercorak zoomorfis, secara berjenjang kebawah terdapat ekor anjing, ekor lipan, kepiting, bunglon, ekor kalajengking dan ekor kodok.
Dari seluruh hewan-hewan yang menyertai tongkat tunggal panaluan itu merupakan perlambang di samping penghargaan dibata i teroh (Tuhan di bawah) menurut konsep sirienek moyang kita zaman dahulu. Fungsi ideal, keseluruhan ukiran yang terdapat pada tongkat tunggal panaluan menurut keper­cayaan animis adalah sebagai pengusir roh-roh jahat (setan) lewat acara nguncang kuta, ngarkari, ngulak dan lain-lain.
Lebih dari pada itu tongkat tunggal panaluan juga memiliki nilai-nilaispiritual yang berhu bungan dengan harapan terka­bulnya cita-cita seperti meminta hujan di waktu musim kemarau, di samping nilai-nilai estetika pada variasi hiasan beru­pa fragmen dari pengalaman hidup lingkungan yang dise­matkan pada tongkat tunggal panaluan itu.


d. Patung Tongkat Malaikat
Melihat bentuk dan motif hiasan yang diabadikan pada tong­kat Malaikat lebih sederhana dibandingkan dengan tongkat tunggal panaluan. Mukjizat tongkat Malaikat menurut keper­cayaan suku Batak Karo lebih tinggi dari tongkat-tongkat lainnya, justru tongkat ini tidak sembarang orang yang me­milikinya. Tongkat ini juga tidak boleh dipakai di daerah yang digenangi air.
Dalam bahasa Karo disebut tanah matai. Kepercayaan ini sampai sekarang masih melekat di kalangan orang-orang Karo, terlebih bagi masyarakatnya yang masih tinggal di pedesaan, oleh karena orang Karo beranggapan bahwa tongkat malaikat mempunyai kekuatan magis, sakral, disamping mempunyai nilai-nilai fungsional seperti nguncang kuta ngarkari, ngulak dan lain-lain melalui upacara-upacara ritual dengan iringan gendang dan tari.
Gambar 68

Detail patung tongkat Malaikat.

Patung induk pada pangkal tongkat, bentuknya sama dengan patung tongkat tunggal panaluan, dan patung tutup perminaken, hanya pada tongkat ini kita melihat dua figur sebagai tambahan yang ditempatkan pada bagian depan dan belakang hewan, dimaksudkan sebagai pengawal patung induk.

Posisi kedua patung mini ini diukir dalam sikap duduk, sedang kedua tangan digambarkan sedang mengadakan penyembahan terhadap sesuatu yang lebih tinggi, namun memiliki perwatakan seni yang dalam. Variasi hiasan di bagian bawah patung induk terdapat sembilan ukiran relief manusia. Motif relief kelihatan sama dengan kedua figur manusia yang terdapat pada patung induk tapi berbeda dalam variasi.

Seandainya diperhatikan secara teliti, terdapat kesan yang menggambarkan tentang kekerasan watak namun berfungsi terhadap kehidupan manusia sesuai dengan kepercayaan yang dianut.

Gambar 68
Ilustrasi tari tongkat di kampung Lingga Kabanjahe Tanah Karo.

e. Patung Pulu Baleng.

Ditilik dari fungsi patung pulu baleng yang terdapat di daerah Karo sama dengan patung penghulu baleng yang terdapat di daerah Simalungun dan Pakpak Dairi. Patung penghulu baleng mempunyai fungsi sosial yang tinggi bagi kepercayaan suku-suku Batak pada umumnya, oleh karena patung penghulu baleng dapat memberikan bantuan dalam situasi kritis seperti gangguan oleh orang yang ingin berbuat jahat. Karenanya patung sangat dihormati dan dikeramatkan. Sikap patung dipahat dalam posisi duduk, kedua tangannya memeluk kedua lutut yang tegak. Pandangan mata tajam ke depan, sedang pangkal hidung dipahat menyatu dengan kening. Mulut dicukil sedikit terbuka, sehingga gigi yang diukir rata kelihatan jelas. Pada bagian bawah patung terdapat tujuh patung tengkorak manusia, dibuat sebagai penopang patung induk. Patung penghulu baleng yang terdapat di daerah Karo selain terbuat dari bahan batu ada juga dibuat dari bahan kayu sedemikian rupa dipahat dengan ungkapan plastis yang kompleks. Jenis patung ini umumnya diberi warna
hitam sehingga memberi kesan magis terhadap ekspresi wajah yang menyeramkan, namun lebih dari pada itu ia juga memiliki nilai estetis terhadap perwatakan seni yang melingkupinya.

Gambar 69
Patung nenek moyang Penghulu baleng Karo.

D. Media bahan dan Proses pembuatan Patung.

Bahan pada patung-aptung yang terdapat di daerah Batak umumnya terbuat dari bahan kayu dan batu. Jenis kayu yang dipakai adalah jenis kayu yang keras namun mudah dipahat, disebut kayu tenggolan (kayu besi).
Peralatan yang dipakai untuk mengelola kayu-kayu itu sangat sederhana. Yakni kapak, parang, pisau, dan pahat, dibentuk oleh pandai besi disesuaikan dengan keinginan pemahatnya, sedang alat untuk penghalus dipergunakan tulang dan taring babi hutan.
Alat-alat yang bentuknya masih primitif seperti kapak batu yang dipakai oleh nenek moyang, umumnya tidak dikete­temukan lagi, namun hasil peninggalan kultur megalit yang bertebaran di Tapanuli Utara, Simalungun, Pakpak Dairi, Karo, Angkola dan di beberapa daerah lainnya. Sejak semula, telah diuraikan bahwa suku-suku Batak umumnya percaya akan adanya roh-roh di segala tempat. Demikian pula pada kayu dan batu. Karenanya bahan-bahan kayu dan batu terse­but umumnya sebelum diproses, terlebih dahulu diadakan upacara ritual sesuai anutan kepercayaan seperti yang diurai­kan di atas. Terlebih apabila patung yang akan dibuat adalah patung yang menggambarkan nenek moyang. Oleh karenanya tidak aneh bahwa untuk memperoses sebuah patung mema­kan waktu yang cukup lama, sebab mulai menebang sampai kepada memproses, pengadaan tukang (pemahat) tetap dilak­sanakan menurut adat.
Menurut kepercayaan pemahatnya diberikan persyaratan­-persyaratan berupa sesajen di samping upah-upah (dipasu­-pasu) menurut adat dengan maksud agar pemahatnya mempe­roleh kekuatan lahir dan batin baik waktu dimulai sampai ke­pada akhir pembuatan.
Dengan demikian jelaslah untuk mengerjakan sebuah patung memerlukan pembiayaan yang sangat besar pula, terlebih lebih biaya pada waktu pesta penyelesaian dan peresmian patung itu. Biaya yang lebih besar dilakukan dikala memang­gil roh nenek moyang untuk ditempatkan pada tubuh patung itu. Acara ini menurut lazimnya diadakan tujuh hari tujuh malam dengan mengadakan pesta tetabuhan dan mengorban­kan berpuluh ekor babi ataupun kerbau.
Disaat pesta inilah patung-patung itu disucikan dalam arti roh nenek moyang dimasukkan kedalam tubuh patung itu.
Bahan warna.
Berdasarkan data dokumentatif penjelasan-penjelasan pandai ukir, bahan-bahan warna yang dipergunakan adalah warna hitam, putih dan merah serta beberapa bahan warna lainnya seperti warna kuning, hijau yang lazim dipakai pada ornamen-ornamen Karo yang justru banyak mempergunakan warna-warna tersebut di atas.
Bahan warna tersebut itu pada mulanya diperoleh dari bahan­-bahan alam yang diproses secara tradisional yang kemudian secara berjenjang diwariskan turun temurun.
Warna hitam dibuat dari bahan arang, sedang warna putih dibuat dari tulang atau kapur; warna merah dibuat dari bahan tanah dan tumbuh-tumbuhan ( kulit kayu ). Selain dari bahan itu untuk mem­peroleh warna merah menurut orang-orang tua yang banyak mengetahui tentang masa lampau, ada juga yang dibuat dari darah manusia (tawanan perang kerajaan), seperti halnya contoh patung raja Sida­butar di Tomok.
Pada saat belakangan ini bahan-bahan warna seperti di atas kini tidak dipergunakan lagi oleh para seniman pemahat Batak. Me­reka lebih banyak memakai cat-cat hasil buatan industri.
Fungsi warna selain sebagai pengawet dari istetis, juga tidak lepas dari aspek perlambangannya.
Oleh karena kebanyakan pandai ukir di daerah Batak mentamsilkan arti dan makna wama-wama itu antara lain:

warna hitam melambangkan kemagisan penuh misterius,

warna putih melambangkan kesucian hati,

warna merah melambangkan gagah, berani dan penuh semangat,

wama hijau melambangkan kesuburan, dan

warna kuning melambangkan keagungan.

Selain warna untuk mempoles patung agar kelihatan mengkilat dipakai minyak kemiri, sebagai hasil alam yang banyak terdapat di daerah Batak pada umumnya.


E.Peranan Seniman.
Seniman ukir (pemahat) oleh Masyarakat Batak digelar pandai, seperti pandai rumah, pandai emas, dan pandai ukir.
Karya-karyanya sangat dihargai, oleh karenanya setiap pandai kedudukannya setingkat dengan pengetua-pengetua adat. Ia sangat dihargai dengan kedudukannya sebagai pemberi warisan seni bagi keturunannya. la dianggap memiliki rahasia misterius, ia memiliki kemampuan ekspresi keindahan, kaya akan imaginasi yang kesemua­nya ini tidak dimiliki oleh sembarang orang. Oleh karenanyalah keahlian yang dimilikinya itu membuat dia disegani sama halnya dengan keseganan rakyat terhadap rajanya. Seorang pandai setiap
tenaganya dibutuhkan, dia mempunyai hak kuasa penuh atas karya yang diciptakannya, terlebih-lebih apabila pandai itu mempunyai funsii selain sebagai seniman juga sebagai guru atau datu. Oleh ma­syarakat Batak Karo seniman seperti ini disebut guru mbelin (guru besar). Oleh karena seni patung bagi masyarakat primitif Batak mempunyai kepentingan tersendiri, disamping kepentingan hidup seperti makan, rumah tempat tinggal, pakaian, maka jelaslah beta­pa pentingnya peranan dan kedudukan seniman di dalam masyara­kat di waktu itu.

Lebih dari pada itu para seniman dianggap memiliki kemam­puan ekspresi dan keindahan yang mengagumkan, mempunyai ke­lebihan imaginasi yang tidak dimiliki oleh orang lain. Dengan kemam­puannya, membuat orang menjadi terpesona; karenanya peranan seniman ditengah-tengah masyarakat sangat dihormati.