Lompat ke isi

Sembilan Belas Tahun

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Sembilan Belas Tahun
oleh Reinitha Amalia Lasmana

Sembilan Belas Tahun

Reinitha Amalia Lasmana
SMA Don Bosco




Hatiku terusik oleh bayangan Chico, anakku yang sulung. Empat minggu silam, aku dan suamiku menemukan sekotak rokok, pemantik, sten-silan, dan sepak kondom dalam ranselnya ketika bermaksud menaruh kado di sana, malam sebelum ulang tahunnya yang ketujuh belas. Ia berusaha meyakinkan kami bahwa barang miliknya cuma rokok beserta pemantik, sementara kondom dan stensilan kepunyaan teman sekelas yang dititipkan. Mungkin ia benar sebab aku melihat kejujuran di matanya. Namun, dengan kejujuran itu ia menjadi amat mengecewakan.

Ternyata sudah lima tahun ia merokok. Selama itu pulalah aku tak pernah tahu anakku

67 perokok. Yang kutahu adalah ia seorang pemalu dan patuh, kakak yang penyayang, jarang menggerutu, atau minta dibelikan macam-macam. Kalau saja dulu aku sempat memergokinya, ini takkan terjadi. Ia boleh minta sepatu sepak bola atau video game terbaru apa saja, bisa kuusahakan, asalkan bukan rokok. Jantungnya cukup bermasalah sewaktu ia masih kecil, kini aku tak akan membiarkan ia mengeroposi paru-parunya.

Namun, Chico tak mau mengerti. Belakangan ini ia sering pergi bersama teman-temannya, pulang larut malam, dan aku selalu membaui tembakau bercampur dengan wangi tubuhnya yang manis. “Kau masih merokok!”

“Mama sudah membatalkan perayaan ulang tahunku, memberikan kadoku pada Sandrina, aku tak keberatan! Aku kan tidak merokok di kamar dan membuat kordin Mama berbau asap!”

Aku terkejut. Ia menjawab dan mengira aku lebih mementingkan sehelai kordin. Kularang ia keluar malam bersama teman-temannya, yang kupikir dapat berpengaruh buruk. Semenjak itu, Chico berhenti berbicara padaku dan ayahnya.

Tiga minggu yang lalu ia pun kabur dari rumah.

Pagi itu seperti biasa ia berjalan ke sekolah bersama ketiga adiknya. Namun, ketika hari menua dan putri-putriku sudah kembali, Chico tak kunjung muncul, setelah mempermainkan emosi kami semua, akhirnya pukul sembilan malam ia memberi kabar lewat telepon meski hanya mau bicara dengan adiknya, Sandrina. Kabar itu adalah ia kini tinggal di rumah seorang karibnya. Ia tetap bersekolah, tetapi ini takkan kembali ke rumah sebelum aku berjanji menghentikan omelanku dan membiarkan dia keluar malam.

Suamiku gusar dalam diamnya, bagiku terserah. Kukira dalam dua tiga hari Chico akan pulang jika kehabisan uang saku, rindu pada masakanku, atau adik laki-lakinya yang masih bayi. Aku menyisakan pai lemon, minum teh, membersihkan ranjang dan sepreinya, membuat churros' kegemarannya, kalau-kalau ia pulang malam ini. Namun, setiap Chico menelepon, ia cuma mengatakan kepada Sandrina dirinya baik-baik saja. "Mama sebenarnya bisa menemui Chico di sekolah," ujar Sandrina saat mencuci piring sehabis makan malam kemarin.

"Tidak perlu. Nanti, toh, ia pulang juga."

"Sampai kapan Mama mau membiarkan dia?"

"Sampai ia mau menurut."

"Kalau ia tetap berkeras, apa Mama akan mendatanginya?"

"Dia yang harus datang kemari. Di sinilah rumahnya."

"Mama tidak rindu padanya?"

Rindu? Aku mengetuk kamarnya setiap pagi, mengira ia sudah kembali. Kadang melalui tangga belakang aku suka naik ke atas atap tempat Chico biasa duduk-duduk menantang matahari, mengharap bisa melihat rambut hitam, tengkuk yang pucat, batang tubuhnya yang ramping. Rindukah aku kepadanya? Masihkah ada rindu untuk seorang anak yang tabiatnya berbalik? Mungkin aku merindukan betapa manisnya ia dulu.

Ah, bayangan Chico benar-benar mengusikku.

Tiba-tiba segala lamunan ini buyar sewaktu putriku yang baru lima tahun menarik-narik ujung blusku. "Kau seharusnya tidur, ini sudah malam," bisikku mengecup pipinya

"Mama, Abuela2 Dia di luar!" ia menunjuk-nunjuk ke arah ruang depan. Tergesa aku menggantungkan lap meja di sisi lemari es. Dari dapur, aku mengikutinya ke ruang depan dengan heran. Di sana, mendapati tamuku, aku terhenyak.

Dua orang berdiri di ambang pintu. Sesosok wanita yang tak bisa lagi disebut muda, berambut ikal cokelat, berwajah tirus dengan bibir tipis, dan sorot tajam dari mata yang sama dengan milikku. Mata itu selalu menusuk ke lubuk hati, bibir yang tipis itu hanya mengalunkan suara yang selalu menyimpan tegas. Aku tersadar wanita itu adalah Ibuku.

"Apa kabarmu, Sofiana? Kau tak menyilakan kami masuk?" Ibu berbahasa Spanyol dialek Andalusia 3, tanah kelahirannya, tanah kelahiranku juga. Sudah sangat lama kami tak bertemu. Kini ibuku datang, bersama seorang leaki muda yang tak kukenal.

"Oh, iya, t-tentu," gagap aku menjawab. Segenap urat di leherku terasa mengencang. Kubantu mereka mengangkat tas bawaan ke dalam rumah supaya dingin malam tak lebih lama menyentuh kulit mereka.

“Apa kabar?” aku memberi Ibu ciuman dan pelukan sekilas, berusaha bersikap sewajar mungkin.

“Baik-baik saja. Oh, Sofiana kau kurus sekali! Aku kurang suka udara Irlandia, sangat berbeda dari Côrdoba. Tapi, perjalanan bus dari Dublin ke sini cukup menyenangkan.” Ibu menghela napas seraya merapikan rambut. “Ini si kecil MariaFatima? Ia cuma mengerti kata abuela, lalu berlari memanggilmu.” Wajah Ibu berseri pada putriku. Aku memaksa tersenyum, berucap, “Padahal, suamiku sedang di Dublin menemani atasannya. Anak-anakku yang lain sudah tidur.”

Ibu memperkenalkan lelaki dua puluhan yang menemaninya sebagai Paco, adikku yang bungsu. Kami berpelukan,juga kuperkenalkan Maria-Fatima pada pamannya itu. Terakhir kali aku melihatnya, Paco masih bocah, kini ia seorang pria.

“Waktu amat cepat berlari, namun, hidup cuma roda yang berputar,” cetus Ibu.

Kupikir mereka harus segera istirahat sehabis perjalanan panjang dari Côrdoba kemari, lagi pula malam telah larut. Selesai menidurkan Maria-Fatima, Ibu kutempatkan di kamar tamu, sedangkan Paco sementara ini memakai kamar Chico (kukatakan putraku sedang menginap di rumah sahabatnya).

Aku sendiri tak mampu memejamkan mata di tempat tidurku yang lapang dan nyaman. Ada bayangan Chico... , kini bayangan Ibu.

Saat anakku lari, mengapa Ibu datang tiba-tiba? Mengapa ia muncul lagi dalam kehidupanku saat Chico justru menghilang? Mengapa tak ketika kami sedang tenang dan bahagia? Mengapa sekarang saat aku dirundung masalah? Mengapa ia datang?

Mengapa aku harus bertanya-tanya?

Mengapa?

Sebab, sosok Ibu membawa serta sebuah kisah lama.

Sembilan belas tahun yang lalu di Côrdoba, kota kami, ada seorang gadis muda yang baru menyelesaikan sekolah. Ia memutuskan untuk mencari hidup di Madrid, padahal sang Ibu menginginkan dia belajar di universitas. Ini mungkin ke sekian ratus kalinya dia bertentangan dengan ibunya. Kali ini


70

si gadis tak mau mengalah.


Meski serabutan, gadis itu senang bekerja di ibu kota. Sungguhpun ia tinggal bersama seorang teman di kamar sewaan yang sesempit sangkar merpati, ia bahagia sebab di Madrid ia temukan kebebasan (lepas dari ibu) juga cinta pertamanya. Namanya Darren, dia orang Irlandia yang sedang bertugas setahun di salah satu museum di Pusro de Prado. Mereka bertemu di sebuah restoran dan saling jatuh cinta. Pertemuan mereka adalah saat-saat istimewa yang menghangatkan hati, di sepanjang Gran Via yang hiruk-pikuk atau kedai minum terpencil di pinggiran kota. Si pemuda sering bercerita tentang negerinya, negeri terdapat melodi yang tak kalah eksotis dan denting gitar Andalusia. Negerinya sunyi, dingin berkabut, hijau, bagai bola matanya. Si gadis terbuai oleh janji si pemuda mengajaknya ke sana suatu saat.


Tetapi, lagi-lagi ibu! Ibu gadis itu menentang hubungan mereka sebab tak percaya pada Darren yang orang asing. Dua generasi bertengkar hebat malam itu. Hati dan badan si gadis berontak. Ia memutuskan untuk pergi ke negeri pemuda yang ia cintai meski itu berarti meninggalkan Sang Ayah, kakak lelaki, dan tiga adiknya.


Pemuda itu amat gembira. Ia bersemangat mengurus segala sesuatunya, dari prosedur yang gadis itu tak mengerti hingga akhirnya ia boleh hidup dan bekerja di negeri asal kekasih. Ia memberi gadis itu rumah kecil, juga membantu penghidupannya sehari-hari. Alih-alih bahagia kekal, cuma tiga bulan, madu itu terasa manis. Darren tiba-tiba menghilang. Bahkan, hingga kini mungkin si gadis tak menahu apakah ia sudah mati atau menikah dengan orang lain. Yang jelas, gadis itu amat putus asa kehilangan cinta, tak mau sendiri di negeri asing, pun malu kembali ke Cordoba. Ia hilang arah hingga nyaris gila.


Mujur takdir masih berbelas kasih. Seseorang menyelamatkan gadis itu, memberinya tempat tinggal di rumah saudara, menangani segala urusan imigrasi, menjadi amat dekat, dan akhirnya mengaku jatuh cinta dengan si gadis. Orang itu Edzer, bernama asli Eduardo, dibesarkan keluarga Irlandia walau seluruh darahnya Iberia, teman Daren juga. Tahu-tahu mereka menikah tujuh bulan kemudian. Mereka tinggal di kota kecil tempat keluarga Edzer berasal, di Connacht¹. Ada lembaran baru yang gadis itu jalani penuh cinta, tetapi tak ada sisa kasih tersemai pada ibu dan putri yang terpisah. Kelahiran anak-anak mereka mungkin bisa membangkitkan harapan itu. Namun, sang Ibu bergeming.


Si gadis-kini ia seorang wanita-tak pernah bertemu keluarganya lagi, berkirim kabar pun sesekali. Cuma selintas lalu ia bercerita perihal keluarganya apabila anak-anaknya bertanya. Tahun demi tahun dilewati masing-masing dengan berusaha melupakan satu sama lain.

Sekarang keadaan sudah sedemikian berubah. Waktu amat cepat berlari, sedangkan hidup cuma roda yang berputar. Berputar...

Akulah gadis itu.

Seperti putraku sekarang, aku pun lari dari ibuku.

Lelah menata peristiwa dalam benak, malah mataku tak mau terpejam sampai fajar. Pipiku pedih seperti habis tertampar.

"Kalian semua baik-baik saja?" tanya Ibu pagi ini sehabis makan, sewaktu kami duduk di ruang tengah. Usia Ibu pastilah sudah memasuki enam puluh tahun, tetapi ia tak banyak berubah.

Aku mengangguk. Ibu melanjutkan, "Anak pertamamu? Theodoro?"

"Ah, ya. Kami memanggilnya Chico."

"Di mana dia?"

"Dia sudah beberapa hari ini menginap di rumah temannya. Aku sudah memberi tahu Ibu."

"Kau sungguh-sungguh?"

Jantungku berdetak keras. Ibu sudah tahu? Haruskah aku berbohong? Perlukah dusta? Aku sangat takut Ibu menertawai aku kalau tahu Chico kabur. Segenap keberanian kukumpulkan untuk menatap wajahnya, tetapi aku melihat warna lain di mata ibu, aneh sekali, seperti kasih sayang- Pendaran tulus, pembuat hatiku penuh sesak.

"Sofiana?" Ibu menyebut namaku.

Jauh dari sadar aku menghambur ke pelukannya, menangis tersedu-sedu. Mungkin menangisi Chico, mungkin juga meratapi sembilan belas tahun yang kuhabiskan tanpa
keluargaku. Aku tak tahu. Pelukannya nyaman, ibu menenangkanku, seperti menghibur anak kecil. Ketika kuceritakan segala masalah tentang Chico, aku tak menemukan perubahan pada sinar matanya "Baru dua minggu, itu semua belum terlambat," ucapnya kemudian.

"Belum terlambat bagaimana?"

"Kau menghilang selama sembilan belas tahun, toh aku bisa memelukmu lagi."

"Tetapi, aku membiarkan ia tinggal di luar sana."

"Seperti aku dulu membiarkanmu pergi, bukan?"

"Chico tak mau pulang, Ibu. Ini di luar perkiraanku!'

"Aku pun mengira kau akan segera pulang apabila Irlandia itu memutuskanmu, ternyata tidak kau lakukan."

"Edzer ingin menyeret Chico pulang."

"Kalau ayahmu dahulu berbuat sama, mungkin kau akan lari ke Argentina dan lebih jauh?"

"Sepertinya anak itu amat tidak suka padaku, Ibu!"

"Mungkin dia hanya tak menyukai caramu?"

Aku menghela napas. Hampir aku berpikir, Ibu memang tak bisa mengerti aku, sebelum Ibu melanjutkan, "Satu hal yang kuakui sekarang padamu, Sofiana, dan aku minta maaf karenanya, aku telah menjadi sangat angkuh selama ini. Hatiku terlalu angkuh untuk hati seorang ibu, dan amat pongah bagi jiwa-jiwa yang masih ingin bebas."


Pandangannya amat teduh. Kudekap Ibu erat-erat. Untuk pertama kalinya, aku bersyukur memiliki ibu di sini. Mulai aku memahami perkataan Ibu tentang keangkuhan, jiwa-jiwa yang ingin bebas... hatiku pun angkuh.... Ah, betapa agung kekuatan yang mendorong Ibu mengunjungi aku, juga yang meluluhkan hatiku untuk kembali ke cintanya. Kami menghabiskan waktu bercerita perjalananku semenjak meninggalkan rumah malam itu, sambil meracik makan siang dengan pertalian baru ibu dan putrinya.

Tak kuduga keesokan siangnya, Chico pulang! Cuma yang kudapati pada wajah dan pakaiannya. Kulitnya pucat, ia kelihatan amat kurus. "Aku pulang karena rindu Maria-Fatima. Aku juga ingin makan churros Mama. Barang-barang itu sudah semuanya kukembalikan pada

73 Pearse,” ujar Chico dengan mimik muram.

Aku percaya, anakku. Aku takkan menertawaimu. Dari hatimu sendiri, aku sudah mendengar kejujuran yang membanggakan.

Aku menyuruh dia mandi dengan air hangat, sementara aku membuatkan makanan kegemarannya. Setelah lama baru ia turun ke ruang makan, disambut nenek, paman, dan adik-adiknya. Aku memeluk putraku dan mendapatkan wangi manis yang selalu kurindukan, bercampur bau tembakau itu sedikit.

“Kau masih merokok, Chico?” aku bertanya, kini kucoba dengan pendaran mata menyejukkan.

“Tadi sebatang, kuusahakan itu yang terakhir untuk hari ini,” matanya masih menyimpan kejujuran itu. Mata yang sama dengan milikku.

Kuusap kepalanya dan tersenyum menahan limpahan air mata. Takkan kuulangi kesalahan ibuku dahulu. Aku takkan mau kehilangan putraku selama sembilan belas tahun—tidak sedetik pun. “Teruslah berusaha, aku mendukungmu sepenuhnya.”

Chico tersenyum padaku. Ibu juga.


Keterangan:

1Nama sejenis kue tradisional Spanyol

2Spanyol: Nenek

3Nama provinsi di selatan Spanyol

4Nama provinsi di barat Republik Irlandia



74