Semangat dari Sepotong Singkong

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Semangat dari Sepotong Singkong
oleh Risma Oktavia
52500Semangat dari Sepotong SingkongRisma Oktavia

SEMANGAT DARI SEPOTONG SINGKONG

RISMA OKTAVIA
MAN Koto Baru, Padang Panjang


Kabut Merapi masih sangat terasa. Merasakan hawa dingin dan aroma basah rerumputan sudah menjadi bagian dari keseharian hidup Rina. Masih terlalu pagi memang. Gesekan batang bambu dan bau wangi bunga sedap malam masih bisa dirasakan. Alang-alangpun masih terlihat basah dengan menggantungkan tetesan embun di ujung daunnya. Bak lampion yang tergantung dengan indahnya. Apalagi bila dikenai sinar mentari pagi.

Pagi ini dengan langkah mantap dan senyum yang mengembang Rina berjalan menuju sebuah madrasah aliyah yang berjarak kira-kira lima kilometer dari rumahnya. Jarak yang cukup jauh bila harus ditempuh dengan berjalan kaki. Tetapi itulah perjuangan, Perjuangan yang akan terus dia lakukan dalam menggapai masa dapan. Hanya dengan satu harapan yaitu dapat mengubah nasib dan membahagiakan hati orang tua di suatu saat nanti.

Kampung Rina terletak di lereng Gunung Merapi. Sebuah kampung yang terisolir dan masih belum banyak tersentuh oleh moderenisasi dan kemajuan zaman. Bahkan untuk transportasi saja masih sangat sulit. Kalaupun ada itu hanya dua kali seminggu yaitu pada hari Selasa dan Kamis. Itu pun harus berebutan dengan para petani yang harus membawa hasil panen mereka ke pasar. Menaiki mobil bak terbuka secara bersama-sama bercampur baur dengan hasil panen yang dibawa para petani membuat bau pakaian dan aroma badan kita harus rela menjadi berbaur dengan aroma daun bawang, saledri atau yang lainya.

Tidak jarang Rina menjadi minder dan takut menjadi olok-olokan teman karena aroma yang melekat pada seragam sekolah yang dipakainya. Pernah suatu kali ada siswa yang usil dan menyolot Rina dengan mengatakan, "Oh..., wanginya parfum ini. Aroma saledri alami," kontan saja celotehan itu membuat muka Rina panas dan memerah.

Sejak saat itu Rina lebih memilih berjalan kaki ke sekolah dari pada harus menumpang dengan kendaraan pembawa hasil panen. Walaupun jauh dan melelahkan tetapi itu sudah menjadi tekadnya. "Semangat! Aku yakin bisa jadi orang sukses." Kalimat itulah yang selalu dia serukan berulang-ulang setiap hari sebelum berangkat dari rumah. Ternyata benar seruan itu terasa memberi energi positif bagi dirinya sehingga membuat dia selalu bersemangat menjalani hari-harinya. Tanpa harus mengeluh lelah atas penat yang dirasakanya.

Sebenarnya Rina bukan satu-satunya remaja yang bersekolah di kampungnya. Masih ada beberapa anak lainnya. Tapi mereka lebih memilih indekos di sekitar lingkungan sekolah dari pada harus bolak-balik jauh-jauh setiap pagi untuk berangkat ke sekolah. Berbeda kondisi dengan Rina yang harus pulang tiap hari untuk membantu ibunya mengurus rumah dan adik-adiknya. Sebagai sulung dari lima bersaudara Rina harus bersedia menjalaninya.

"Akhirnya sampai juga!" Seru Rina dalam hati. Setelah menempuh perjalanan kira-kira satu setengah jam sekarang Rina sampai juga di gerbang sekolah. Belum banyak yang datang tapi gerbang sudah terbuka lebar. Di sana terlihat seorang satpam sedang berdiri di pos jaga. Pak Madi namanya. Biasanya tiap pagi Pak Madi akan berdiri di depan gerbang sambil memperhatikan para siswa yang memasuki halaman sekolah. Bila ada yang melanggar peraturan akan langsung di tegur olehnya.

"Assalamualaikum Pak," sapa Rina. Pak Madi menjawab salam Rina kemudian menunjuk ke arah kaki Rina seolah bertanya sepatu Rina mana? Rina langsung menjawab "Tenang Pak..., ini ada dalam tas plastik." Biasanya Rina selalu berangkat dari rumah dengan menggunakan sandal jepit. Hal ini sengaja dilakukan dengan alasan menghemat sepatu. Rina cuma mempunyai satu pasang sepatu sekolah. Sepatu itu pun sudah tidak baru lagi. Seingat Rina dia dibelikan ibu sepatu ketika dia baru naik kelas dua sekarang Rina sudah kelas tiga berarti sudah hampir dua tahun umurnya. Setelah merasa Pak Madi percaya padanya kemudian Rina dengan segera menuju samping pos jaga untuk memasang sepatu yang sudah dia jinjing dari tadi. Begitulah keseharian Rina. Walaupun hidupnya sangat sederhana tapi dia tetap berusaha untuk selalu ceria dan semangat untuk menyonsong masa depannya.

Kelas Rina masih kosong. Rina adalah orang yang pertama sampai di kelasnya. Bahkan hampir selalu begitu, walaupun rumahnya jauh dan ditempuh dengan berjalan kaki akan tetapi dia tidak pernah terlambat untuk sampai di sekolah. Semuanya telah diperhitungkan dengan cermat. Jam berapa harus bangun, mandi, membersihkan rumah dan berangkat ke sekolah sudah diatur sedemikian rupa. Kedisiplinan terhadap waktu dan jadwal yang sudah direncanakan adalah bagian dari kepribadian Rina.

Hal ini terlihat sangat kontras dengan beberapa teman-teman Rina yang lainnya. Baik yang tinggal di indekos maupun di asrama yang jaraknya hanya beberapa puluh meter saja dari sekolah. Kebanyakan dari mereka baru datang setelah bel pertama terdengar berbunyi. Dari tempat Rina berdiri terdengar saja tapak-tapak sepatu berdentuman. Dan dengusan napas siswa-siswa yang berlarian. Beberapa di antara mereka terlihat mengapit beberapa buah buku. Bahkan karena tergesa-gesanya sering buku mereka berceceran di sepanjang jalan.

Lain lagi ceritanya dengan beberapa teman cowok Rinal yang berangkat pagi dari rumah tetapi tidak segera masuk ke lingkungan sekolah. Mereka lebih memilih nongkrong dulu di beberapa warung di sekitar sekolah. Mencuri-curi untuk menghisap barang sebatang atau dua batang rokok. Dengan cara sembunyi-sembunyi seperti inilah mereka mencoba menikmati kenakalan masa remaja mereka. Sebab bila ketahuan oleh guru atau penjaga sekolah pastilah mereka akan mendapatkan sanksi. Siswa-siswa seperti itu biasanya baru akan berhamburan dan berkejar-kejar masuk bila Pak Madi satpam sekolah sudah terlihat menarik pintu gerbang yang akan segera ditutup. Itulah sedikit cerita tentang teman-teman Rina.

Tidak ada yang spesial hari ini. Semua berjalan sebagaimana biasanya. Pelajaran dimulai pada pukul 7.30 dan berakhir pada pukul 14.00. Dengan dua kali jeda istirahat untuk jajan dan istirahat shalat. Karena seriusnya belajar tidak terasa jam pulang sudah tiba. Sebelum pulang Rina menyempatkan diri untuk melihat pengumurnan yang baru ditempel di dekat mading. Rupanya itu adalah jadwal tambahan belajar sore bagi kelas tiga yang empat bulan lagi akan menghadapi ujian akhir nasional.

Sejenak Rina berpikir, ini artinya Rina harus mengatur jadwal baru untuk membagi waktu antara belajar danmembantu keluarganya. Walaupun ada adik tapi untuk urusan dapur biasanya Rina yang bertanggung jawab di sana. Pada jadwal belajar sore yang baru dikeluarkan terlihat bahwa proses belajar baru berakhir pada jam 16.00. Bila ditambah dengan waktu untuk salat asar dan perjalanan untuk pulang ke rumah Rina baru akan sampai di rumah pada pukul 17.40. 'Wah sore sekali,' batinnya.

Hari ini adalah hari pertama Rina memulai belajar sore. Berbeda dari hari sebelumnya berarti mulai hari ini Rina akan pulang lebih lambat dari biasanya. Sesuai dengan saran wali kelas agar setiap siswa yang tinggal jauh dari lingkungan sekolah membawa perbekalan makanan atau uang lebih untuk jajan agar bisa mengganjal perut dan tetap semangat ketika belajar. Hal ini juga untuk mengantisipasi agar tidak ada yang sakit menjelang ujian nanti karena belajar yang telah ekstra sebelumnya.

Dari kemarin-kemarin Rina memutar otak mencari cara bagaimana agar saran wali kelas bisa dilaksanakan. sepenuhnya. Kalau meminta tambahan uang jajan sama bapak itu rasanya sangat tidak mungkin sekali. Rina sangat paham dengan kondisi keuangan keluarganya. Satu-satunya tumpuan keluarga untuk mencari nafkah adalah bapak. Penghasilan bapak sebagai seorang buruh tani hanya cukup untuk memberi makan kami sekeluarga saja. Itupun hanya untuk satu atau dua kali makan sehari. “Bahkan tak jarang kami harus mengutang kanan dan kiri atau hanya memanfaatkan apa yang ada dalam kebun," saja ucap Rina dalam hati. Belum lagi biaya untuk pengobatan ibu.

Ibu Rina adalah seorang wanita yang saat ini hanya bisa terbaring di tempat tidur. Sejak terjatuh setahun yang lalu hingga saat ini Ibu hanya bisa berbaring di tempat tidur. Kaki Ibu mengalami kelumpuhan dan karena ada keretakan pada tulang punggung membuat ibunya menjadi sangat susah untuk bergerak. Untuk membantu ibu di rumah selain Rina ada Rara adiknya yang nomor dua. Rara sebenarnya tahun ini sudah harus masuk SLTA tetapi karena belum ada biaya untuk mendaftar masuk sekolah jadi terpaksa untuk tahun ini dia nganggur saja dahulu. Mungkin setelah Rina tamat nanti Rara bisa mencoba untuk melanjutkan kembali sekolahnya. Adik Rina yang tiga orang lagi masih duduk di bangku SD ada yang kelas satu, kelas dua dan kelas lima. Mereka masih bisa tetap sekolah karena kebetulan untuk sekolah dasar tidak ada pungutan biaya dan untuk buku-buku pelajaranpun sudah ada bantuan dari sekolah. Kalau seandainya harus mengeluarkan biaya juga mungkin nasib mereka akan sama dengan Rara.

Satu opsi sepertinya sudah tersingkirkan berarti Rina harus memikirkan cara kedua yaitu membawa bekal dari rumah. Tapi apa ya? Pikir Rina. Untuk makan sehari-hari saja sudah susah. Di rumah dia sering masak seadanya. Bahkan daun singkong di kebun sudah hampir tak pernah absen di meja makan mereka. Jika bapak ada kelebihan uang baru mereka bisa makan dengan lauk yang berbeda seperti tempe, tahu, dan yang paling mewah telur. Di kebun yang ditanam saat ini cuma batang singkong. Berarti aku harus bisa memanfaatkan itu ucap Rina. Jadi sudah di putuskan bahwa Rina akan memanen singkong yang ada di kebun dan dijadikan bekal buat ke sekolah.

Jadilah pada hari ini Rina membawa singkong rebus ke sekolah. Rina sengaja membawa satu potong singkong rebus yang agak besar dan sebotol air minum ke sekolah. Ketika jam istirahat siang datang beberapa teman Rina mengeluarkan bekal makan yang telah mereka bawa dari rumah. Mereka mengajak Rina untuk makan berkelompok bersama mereka. Awalnya Rina bersedia. Dengan segera dia mengambil posisi duduk di sebelah Wati. Satu persatu dari mereka membuka bekal makan yang telah mereka bawa dari rumah. Semuanya terlihat enak dan memancing selera. Ada yang membawa ikan, ayam, daging dan sebagainya. Mata Rina terbelalak, spontan Rina menelan ludah seolah-olah menikmati rasa dari apa yang dia lihat.

Ketika giliran Rina yang diminta untuk membuka bekal mendadak muka Rina memerah, tampak gugup dan salah tingkah. Dia khawatir kalau teman-teman akan tertawa bila melihat bekal apa yang dia bawa. Rina benar-benar bingung bercampur takut. Tiba-tiba dia mengambil tindakan dengan berakting pura-pura mules. "Aduh..., tiba-tiba perutku mulas banget. kalian makan saja duluan ya. Sepertinya aku harus ke kamar mandi. Silahkan makan saja duluan, gak usah tunggu aku. Sepertinya aku agak lama kembalinya. Mulas banget nih soalnya," ucap Rina.

"Ya sudah. Tapi gak apa-apa kita duluan makan?” Tanya Wati.

"Gak apa-apa kok," jawab Rina. Kemudian Rina berjalan keluar kelas sambil berlari dan memegang perutnya. Rina berlari menuju toilet wanita. Di sana yang dia lakukan hanya mondar-mandir saja sambil memikirkan kira-kira teman-teman tahu gak ya kalau aku pura-pura. Capek mondar mandir dia keluar dan duduk di samping aula sambil mengawasi kelasnya dari jauh. Untuk melihat apakah teman-temanya sudah keluar atau belum.

Tiga puluh menit kemudian Rina kembali ke kelas. Dilihatnya teman-temannya sudah bubar dan kelas sekarang sudah kosong. Dengan hati-hati dia melirik ke kiri dan kanan, setelah dirasa aman kemudian Rina mengeluarkan bekal makanan yang dia bungkus dengan kantong kresek. Sedikit demi sedikit Rina menyantap singkong rebusnya hinggal habislah satu potongan besar dan sebotol minum yang dia bawa dari rumah. Kenyang sekali rasanya.. Senyum Rina mengembang. Sekarang aku bisa belajar dengan tenang serunya dalam hati. Beberapa waktu berjalan seperti itu. Rina selalu punya alasan untuk menghindar agar tidak makan bersama teman-temanya. Hingga suatu hari terjadi peristiwa yang tidak dia duga. Beberapa teman mendapati Rina sedang makan singkong rebus dengan lahap. Rina mengira teman-temanya tidak akan kembali secepat itu pada waktu istirahat. Ketika asyik makan salah seorang teman menepuk pundak Rina dari belakang. Kontan saja hal itu membuat Rina tersedak dan susah bernapas. Dan sebagian dari singkong yang ada dalam mulut Rina berhamburan keluar.

Beberapa orang tertawa sedangkan Rina salah tingkah dan malu dibuatnya. Lalu Vivi teman yang telah mengejutkan Rina tadi berkata. "Wahhhhhh..., Rina makan singkong sendiri-sendiri aja. Bagi-bagi dong. Aku kan juga mau." Perlahan hati Rina mulai tenang. Awalnya dia mengira akan ditertawakan oleh teman-temannya karena bekal yang dia punya. Tetapi ternyata hal itu diluar sangkaanya. Malah yang terjadi adalah sebaliknya. Teman-temanya suka dan ingin agar Rina sering-sering membawanya ke sekolah. Agar mereka bisa ikut mencicipi singkongnya. Ada beberapa teman yang mengusulkan agar Rina mencoba mengolah singkong itu dan menjadikannya berbagai macam makanan yang enak-enak. Bahkan mereka bersedia untuk membelinya.

Perlahan jiwa bisnis Rina bangkit, semangatnya menggejolak. Kepercayaan dirinya timbut. Rina mulai berfikir untuk mengajak adiknya Rara untuk memulai bisnis olahan singkong itu. Barangkali saja dengan ini bisa membantu Rara mengumpulkan uang untuk persiapan masuk sekolah. Dengan bantuan dan petunjuk dari ibu, Rina dan Rara memulai usahanya. Kebetulan ibu adalah seorang yang pandai memasak jadi berbagai macam olahan singkong bisa dihasilkan. Dari tempat tidur ibu dengan sabar membimbing Rina dan Rara. Beruntung keduanya anak yang telaten dan giat. Jadi tidak begitu payah bagi ibu untuk mengajarkannya.

Di luar dugaan. Semuanya di luar dugaan. Ternyata olahan singkong buatan Rina dan Rara sangat diminati oleh teman-temannya bahkan tidak hanya itu, ibu penjaga kantin pun tahu dan mempersilahkan Rina menaruh dagannya di sana. Rara pun jadi begitu gembiranya. Sekarang dia punya aktifitas yang dapat dilakukan untuk mengisi waktu senggang selain menjaga ibu dan adik-adiknya.

Keuntungan dari penjualan olahan singkongnya ditabung untuk masuk sekolah tahun depan. Rina pun sekarang sudah tidak perlu malu lagi jikalau harus membawa bekal ke sekolah. Toh ternyata bekalnya diminati oleh teman-temanya. Dan yang lebih menyenangkan hati lagi sekarang dia sudah punya uang untuk membeli lauk yang bermacam-macam walaupun tidak berlebihan. Meskipun demikian singkong-singkong olahannya tetap dibawa ke sekolah sebagai cemilan pengganti jajan. Sekarang semuanya bisa tersenyum dan tetap semangat berawal dari sepotong singkong.

Ujian akhir sudah semakin dekat. Rina semakin fokus belajar dan untuk usaha olahan singkong tetap dilanjutkan oleh Rara dengan arahan dari ibu. Pada ujian akhir ini Rina sudah bertekad untuk berusaha sekuat tenaga belajar dengan giat sehingga bisa memperoleh nilai yang bagus. Semangat. Semangat. Semangat. Aku yakin bisa sukses. Kalimat yang tidak pernah lupa dia ucapkan setiap paginya.

Sekarang semangat itu juga dia tularkan kepada adik-adiknya. Dia mau semua tetap semangat dalam menjalani kehidupan. Pelajaran penting yang selalu dia ingat adalah tidak ada alasan untuk berputus asa dan tidak semua apa yang kita duga rendah dan memalukan itu sesuai dengan sangkaan kita. Untuk sesuatu yang baik dan halal buat apa malu. Terima kasih singkong. Terima kasih teman. Terima kasih keluargaku yang telah membangkitkan semangatku. Semangat.