Sebuah Daftar di Balik Banjir Darah

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Galat templat: mohon jangan hapus parameter kosong (lihat petunjuk gaya dan dokumentasi templat).
Sebuah Daftar di Balik Banjir Darah
Majalah Tempo No.31/XXX 01 Oktober 2001
September selalu mengingatkan kita pada tragedi pembunuhan para jenderal dan pembantaian massal anggota PKI. TEMPO melacak kembali "zaman gelap" itu: menemui mantan agen badan intelijen Amerika (CIA) dan staf Kedutaan Amerika yang bertugas di Jakarta pada seputar tahun 1965. Dalam dokumen CIA, yang semula dibuka untuk umum tapi kemudian ditarik kembali, mereka disebut-sebut berperan dalam peristiwa berdarah itu. Benarkah CIA membuat "daftar target" anggota PKI yang harus dihabisi? Inilah jawaban mereka.
RUMAH kayu bertingkat dua itu bersahaja, tidak besar, tidak pula mentereng. Rumah tersebut berdiri di kawasan asri Bethesda, Maryland, kira-kira setengah jam berkendaraan dari pusat kota Washington. Sebuah Ford biru sederhana terparkir di pinggir jalan di depan rumah.

"Silakan," kata pemiliknya. Lelaki tua itu memang menunggu TEMPO. Seperti orang-orang seusianya, kulit mukanya penuh kerut. Rambutnya, yang tipis, memutih seperti kabut salju. Suaranya terdengar serak dan bergetar. Itulah Robert J. Martens, ahli komunisme, staf Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta pada 1965. Lelaki berusia 75 tahun yang pernah menderita kanker ini merupakan saksi kunci yang disebut-sebut sebagai penyusun daftar target anggota PKI yang harus dihabisi tentara.

Misteri "daftar target" ini mencuat bersamaan dengan publikasi dokumen Badan Intelijen Amerika (CIA) seputar peristiwa berdarah September 1965, April lalu. Sesuai dengan ketentuan Freedom of Information Act, semua dokumen rahasia dan surat-menyurat pejabat CIA, termasuk radiogram—yang kini telah berumur 30 tahun lebih—dibuka untuk umum. Volume tentang Indonesia disatukan dalam buku Foreign Relations of the United States (FRUS) 1964-1968: Indonesia, Malaysia, Singapore, Philippines, Volume XXVI. Dokumen rahasia tentang Indonesia terdiri atas bab setebal 300-an halaman.

Anehnya, buku yang bisa dibaca dari situs National Security Archive itu tiba-tiba ditarik CIA kembali begitu Megawati dilantik sebagai Presiden RI, menjelang akhir Juli silam. Dokumen yang memuat kisah penggulingan Sukarno ini dianggap bisa merusak hubungan Amerika dengan Megawati. Bagian rawan yang dimaksud adalah bab "Coup and Counter Reaction: October 1965-March 1966".

Dalam catatan editorial halaman 387 disebut ada radiogram Marshall Green—Duta Besar AS untuk Indonesia ketika itu—pada 10 Agustus 1966 ke Washington. Green melaporkan bahwa daftar pemimpin PKI bersama "geng" Partindo dan Baperki yang dibuat Kedutaan AS telah digunakan tentara Indonesia. Kepada Gedung Putih ia juga melaporkan nama para petinggi PKI yang telah mati atau dipenjarakan. Catatan itu menyebutkan bahwa daftar yang kemudian dijadikan "target-mati" itu disiapkan Sekretaris Pertama Kedutaan Besar AS di Jakarta, Robert J. Martens.

Munculnya nama Martens seolah membuktikan kebenaran tulisan Kathy Kadane yang menghebohkan pers Amerika, 11 tahun silam. Wartawan dan pengacara ini menulis artikel berjudul CIA Menyusun Daftar Kematian di Indonesia. Tulisan untuk kantor berita States News Services ini diterbitkan 140 media di Amerika. Isinya adalah upaya para pejabat CIA di Washington dan pejabat Kedutaan Besar AS di Jakarta bahu-membahu menghimpun, memilih, mencoret—singkatnya menyeleksi—nama-nama tokoh PKI. Ada 5.000 nama yang didaftarkan Kedutaan Amerika dan diserahkan kepada tentara. Kadane menghimpun data tulisannya dari pengakuan mantan agen CIA atau pejabat Kedutaan Amerika yang bertugas di Jakarta seputar masa-masa gelap itu. Salah satu pengakuan diperoleh Kadane dari Robert "Bob" J. Martens.

Menurut Kadane, dengan blakblakan Martens bercerita bahwa ia memasok ribuan nama selama beberapa bulan kepada ajudan Adam Malik yang bernama Tirta Kentjana (Kim) Adhyatman. "Mereka mungkin telah membunuh banyak orang dan mungkin tangan saya sendiri telah tercemar darah, tapi ini tak selamanya buruk. Ada saat-saatnya Anda harus memukul sangat keras pada saat yang tepat," kata Martens. Pada 1990, Kadane pun "terbang" ke Indonesia mencari konfirmasi dari Adhyatman. Dan Adhyatman, kata Kadane, mengakui bertemu dengan Martens. Ia juga mengaku menerima daftar nama yang ia berikan kepada Adam Malik, yang kemudian meneruskannya ke Soeharto.

Tak puas hanya berhenti di situ, Kadane menemui mantan pejabat teras Kedutaan AS di Jakarta, yaitu Marshall Green, Wakil Kepala Misi Jack Lydman, dan Kepala Bagian Politik Edward Masters, bos langsung Bob Martens. Sebagaimana Bob, ketiganya mengakui pembuatan daftar target itu. Kadane berkesimpulan, para pejabat puncak Kedutaan AS di Jakarta dan CIA telah membuat "daftar kematian".

Daftar target ini, menurut Kadane, merupakan bagian kebijakan antikomunis Direktur CIA William Colby. Mantan asisten menteri luar negeri untuk divisi Timur Jauh inilah yang mengarahkan strategi rahasia AS di Asia. Pada waktu itu, para agen CIA di Jakarta berada dalam koordinasi Marshall Green, setelah sebelumnya bekerja sendiri-sendiri. Kegagalan CIA dalam operasi pemberontakan PRRI dan Permesta memaksa Presiden John F. Kennedy menyatukan koordinasi agen CIA di Jakarta di bawah sang Duta Besar. Melalui Green, terciptalah jalur Washington-Jakarta.

Yang menghebohkan dari artikel Kadane, pejabat-pejabat CIA yang pernah dia wawancarai merasa Kadane memelintir ucapan-ucapan mereka. "Bukan itu yang saya maksudkan," kata Jack Lydman kepada koran Times sesudah membaca artikel Kadane. Di Washington, TEMPO berusaha melacak kembali mantan agen CIA dan pejabat kedutaan yang masih hidup. Jack Lydman, 87 tahun, salah satunya. Ingatannya sudah tak begitu baik. Ia menolak diwawancarai karena "penggalian hal lama itu", menurut dia, bisa membahayakan hubungan Indonesia-Amerika kini. Adapun Bernardo Hugh Tovar, mantan Kepala CIA di Jakarta, tergeragap tatkala dihubungi melalui telepon (lihat Kepala CIA Hugh Tovar: "CIA Tidak Melakukannya" ). "Anda tahu dari siapa nomor telepon saya?" suaranya gemetar. Umurnya kini sekitar 80 tahun. Ia tak mengira di senja usia akan menerima telepon dari negeri yang mungkin telah dilupakannya.

Tapi negeri yang jauh itu meninggalkan terlalu banyak detail yang sulit dilupakan. Salah satu detail ada dalam buku Shared Hopes, Separate Fears. Penulisnya, Paul Gardner—mantan staf Kedutaan Besar AS di Indonesia—melukiskan betapa terkejutnya Tovar pada pagi hari sesudah peristiwa G30S saat ia melihat seorang atase Angkatan Udara yang rumahnya berdekatan dengan Jenderal Pandjaitan tergopoh-gopoh lari ke kedutaan. Rupanya, Tovar sama sekali tak tahu apa yang terjadi. Toh, Kadane menjadikan Tovar salah satu sumber utamanya dalam penelusuran tentang peran CIA dan pemerintah AS di balik banjir darah pasca-peristiwa 1965.

Tatkala diwawancarai di Washington, kakek ini melontarkan kritik kepada si wartawati. "Kathy Kadane adalah jurnalis yang tidak dewasa. Ia mendistorsi apa yang dikatakan Marshall Green," ujarnya kepada TEMPO. Ia juga menuding Kadane tidak etis karena menyamar sebagai mahasiswa saat mewawancarai Martens antara 1989 dan 1990 itu. "Daftar yang Martens buat jelas bukan representasi yang dominan, tapi itu diputarbalikkan oleh Kadane," katanya.

Paul Gardner senada dengan Hugh Tovar. "Saya tak percaya CIA terlibat dalam penggulingan Sukarno. Jumlah korban pembantaian terlalu dibesar-besarkan," ujarnya melalui saluran telepon internasional. Menurut Gardner, tak ada bukti Washington terlibat. Menteri Pertahanan AS McNamara memang sempat memerintahkan agar armada perang Angkatan Laut AS berangkat ke Indonesia. Tapi, dua hari kemudian, kekuatan laut ditarik kembali. Edward Masters idem dito. Ia mengatakan, pihak AS di Jakarta sama sekali tak tahu apa yang terjadi setelah tragedi 30 September 1965.

Apa komentar Kathy Kadane? Dalam wawancaranya dengan TEMPO, wanita ini bersikeras, baik para pejabat kedutaan maupun CIA tahu persis apa yang terjadi. Bukti-bukti yang ada dalam dokumen yang dideklasifikasi membuat ia makin yakin pada hasil investigasinya (lihat Kathy Kadane: "Pemerintah AS dan CIA Menghancurkan PKI"). Lagi pula wartawati itu bukan tanpa teman dalam urusan menuding CIA. David Ransom, mantan editor di Ramparts Press, Palo Alto, California, tak kalah gencarnya menuduh CIA bergandeng tangan dengan lembaga semacam Ford Foundation untuk melenyapkan PKI dari Indonesia (lihat Sang Derwaman Berwajah Ganda?). Akan halnya Kadane, ia mencontohkan sejumlah bukti untuk memperkuat pernyataannya.

Salah satunya kasus Bob Martens. "Tak mungkin ia mengumpulkan ribuan nama hanya dari koran, sementara ia tak bisa berbahasa Indonesia," ujarnya kepada TEMPO. Dan Kadane tidak asal mencuap. Sebuah transkip wawancaranya dengan Jack Lydman menunjukkan Lydman mengakui bahwa untuk mengetahui seluk-beluk PKI, kedutaan amat bertumpu pada keahlian Robert Martens. Ia menyebut Martens sebagai orang yang memiliki informasi amat dalam mengenai PKI.

Bob Martens memang spesialis komunisme. Tadinya bertugas di Moskwa, ia pindah ke Indonesia pada September 1963. Bahasa Rusianya fasih. Pengetahuannya tentang struktur sel organisasi komunis Rusia diperlukan untuk menganalisis perkembangan organisasi PKI yang pesat. Sekian lama bungkam kepada pers, Martens akhirnya bersedia bercerita tentang aktivitasnya di Indonesia kepada TEMPO dalam wawancara sepanjang hampir dua jam.

Menurut Martens, tugasnya di Jakarta adalah mengikuti perkembangan aktivis-aktivis PKI, Pemuda Rakyat, Gerwani, Baperki, dan partai afiliasinya seperti Partindo, Murba, dan PNI. Karena itu, semenjak awal, dia aktif mencatat nama-nama tokoh PKI yang menonjol. "Misalnya seorang pemimpin partai di Semarang berpidato hari ini, maka saya tulis di kartu. Dalam dua tahun, kartu saya bertambah terus," ujarnya mengenang. Ia menolak tuduhan bahwa kartu-kartu itu dipersiapkannya khusus untuk membantu Angkatan Darat. "Tidak, tidak seorang pun memerintahkan saya… (suaranya meninggi)."

Menurut Martens, seluruh data nama tokoh PKI itu ia kumpulkan dari koran Harian Rakjat. Ia membenarkan apa yang dikatakan Kathy Kadane:

bahasa Indonesianya tidak lancar. Tapi Martens mengaku menggunakan setiap waktu luang untuk menghafal sebanyak mungkin kata. Sambil menunggu kelahiran anak pertamanya di rumah sakit, misalnya, ia terus membaca kamus.

Daftar nama yang ia kumpulkan akhirnya jatuh ke tangan militer Indonesia. Namun, menurut Martens, itu bukan atas inisiatif resmi. Seorang utusan Adam Malik mengunjunginya seminggu setelah kudeta. "Kami tahu bahwa Anda lebih paham tentang PKI dibandingkan dengan siapa pun di Indonesia," Martens menirukan ucapan utusan itu kepadanya. "Tentu saja saya senang sekali membantu," ujarnya sembari tertawa. Kepalanya yang uzur masih mengingat baik detail peristiwa di Jakarta lebih dari tiga dasawarsa lalu itu.

Alhasil, tatkala dokumen-dokumen CIA yang dipublikasikan pada April silam membikin heboh, ia langsung membaca seluruh dokumen tersebut dari internet. Kesan Martens? Tak ada yang salah dari informasi itu. Cuma, cara membacanya harus diletakkan pada konteks yang benar. Misalnya soal dana bantuan Marshall Green. Tertera dalam surat, pada 2 Desember 1965 Green mem-berikan bantuan sebesar Rp 50 juta kepada gerakan Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan Septemper Tiga Puluh (KAP-Gestapu) untuk membiayai aksi penumpasan komunis. "Rp 50 juta saat itu hanya sekitar US$ 6.000. Tapi rupiah setiap hari menyusut sampai tak berharga sama sekali. Jadi, uang yang kelihatannya banyak itu paling hanya bernilai US$ 3.000," katanya.

Dana itu, seperti dikemukakan Green, dipakai untuk membeli walkie-talkie. Menurut Martens, situasi saat itu masih menimbulkan ketakutan warga kedutaan. Misalnya, ada isu Angkatan Laut dan Kepolisian RI yang tak suka Angkatan Darat bakal mendukung Sukarno. Orang-orang juga bisa melemparkan bom molotov ke kedutaan dan membakar mobil. Atas dasar itu, kedutaan memberikan bantuan uang untuk membeli radio agar informasi bisa cepat mereka terima. Apakah ada bantuan senjata? "Tidak ada. Green menegaskan hal itu secara pribadi kepada saya," kata Martens.

Martens tak lupa mengingatkan bahwa kegiatannya mendaftar nama di kartu hanyalah sesuatu yang spontan. Kisah ini sejalan dengan apa yang ditulis Gardner: lima tahun sebelum pembunuhan massal anggota PKI, satu perwira polisi Indonesia pernah memperlihatkan kepada seorang pejabat Kedutaan Besar AS daftar ratusan anggota PKI di Jawa Tengah. Ini indikasi bahwa basis data Angkatan Darat sudah lengkap dan sistematis sebelum peristiwa 30 September 1965. Jadi mustahil, demikian Gardner, bahwa AD bersandar pada data Martens yang cuma bersumberkan Harian Rakjat.

Kebenaran peran CIA dalam soal daftar nama ini memang masih terus mengundang perdebatan. Bahkan, Thomas Blanton, Kepala National Security Archive, mengatakan kepada TEMPO bahwa informasi dari pendeklasifikasian dokumen CIA tidak sepenuhnya akurat. "Misalnya volume tentang Jepang. Kami tidak percaya dokumen itu memuat catatan sejarah yang akurat tentang Jepang," kata lelaki yang meraih penghargaan Newcomer Prize dari Harvard pada 1979 untuk bidang sejarah itu.

Toh, semua ini masih terbuka untuk perdebatan. Apalagi jika kita merujuk pada tulisan mantan redaktur pelaksana The Washington Post, Howard Simon: asas pertama jurnalistik adalah jangan percaya kepada segala dokumen atau keterangan yang diberikan CIA. Maka, menjelang pamit dari rumahnya selepas wawancara, TEMPO dengan hati-hati bertanya kepada Kakek Martens: apakah tidak pernah terpikir olehnya bahwa dengan menyerahkan daftar itu—dari mana pun sumbernya—ia telah meneguhkan pihak AD untuk menangkapi dan membunuh orang-orang PKI? Pernahkah terpikir ia melakukan semua itu karena otoritas ahli komunisme yang dimilikinya?

Martens berpikir beberapa saat sebelum menjawab dengan terbata-bata, "Mmm… tentu ada kemungkinan akibat seperti itu. Tapi cobalah lihat keadaan waktu itu. Ini perang. Orang terbunuh dari kedua belah pihak…." Ia tak melanjutkan jawabannya dan mengganti topik obrolan dengan memperkenalkan kucing istrinya yang tengah berleha-leha di sofa.

Sisa jawaban Robert Martens tetap menggantung hingga saat ia mengantarkan TEMPO ke stasiun kereta api bawah tanah Maryland, sore itu.

Seno Joko Suyono, Purwani Diyah Prabandari, Gita W. Laksmini, Arief Kuswardono (Jakarta), Ahmad Fuadi (Washington, DC)