Sebelum Minangkabau Berbenteng Adat
SEBELUM MINANGKABAU
BERBENTENG ADAT
oleh:
A. DAMHOERI.
SEBUAH pepatah berbunyi: " Belanda berbenteng besi, Minangkabau berbenteng adat yang maksudnya Belanda mempertahankan dan menjaga kekuasaannya dengan benteng yang dipersenjatai atau dengan tangan besi. Kalau kekuatan senjata itu dapat dilumpuhkan maka lemahlah Belanda tak bisa berkutik lagi. Biar bagaimana jua kekuatan senjata namun kalau bedil tak meletus lagi dan semua senjata sudah bungkem maka harus bertekuk lutut kepada musuh. Demikian yang terjadi dalam sejarah. Persenjataan Belanda dibungkemkan oleh Jepang, maka Belanda bertekuk lutut. Jepang dengan persenjataan dan segala macam semangat Busido, Jibaku, Samurai dan sebagainya dibungkemkan oleh bom atom maka Jepang terpaksa bertekuk lutut jua Jerman begitu, ya dalam peperangan pakai senjata itulah akhirnya. Tetapi dalam perlawanan antara tentara Belanda diawal kemerdekaan mereka berhadapan dengan semang dan persatuan yang sangat kuat dari sekian puluh juta rakyat Indonesia yang lepas dari kungkungan belenggu penjajahan dan senjata Belanda juga bungkam tak dapat bicara apa-apa.
Dalam menghadapi segala expansi yang datang dari luar bangsa Minangkabau mekai adat sebagai tameng dan bentengnya dan kekuatannya sama dengan jenis senjata apapun dan benteng adat itu sangat sukar untuk ditembus apalagi dimasuki. Sampai sekarang beberapa segi dari benteng adat itu masih berdiri dengan kokohnya dan a tetap demikian sampah pada satu kurun masa yang menentukan karena tak diperlukan lagi. Karena kekuatan adat itu pulalah Minangkabau dalam satu zaman kecemerlanganya tak membutuhkan polisi dan sampai tidak mempunyai angkatan perang yang dapat digunakan keluar kedalam. Kedalam memang tidak perlu tetapi keluar dalam menghapi lawan yang mempunyai persenjataan mereka tak dapat berbuat apa-apa. Mungkin garawan-negarawan Minang pada masa itu tak mengira bahwa negara yang mereka dirkan dengan berbenteng adat itu akan diserbu musuh dari luar atau oleh tangan-ta expansi dengan menghandalkan kekuatan senjatanya.
Tetapi sekarang timbul satu pertanyaan bagi kita: Bagaimanakah bentuknya dan dengan apakah Minang menyusun pemerintahan dan masyarakatnya sebelum adat itu dibentuk dan disusun oleh negarawan yang bertiga itu yakni Datuk Suri Dirajo, Dat Ketemanggungan dan Datuk Perpatih nan Sebatang? Atau bagaimana peralihan dari lum ada adat dan berangsur-angsur sampai ada adat yang mengatur susunan masyaa Minang dan sampai akhirnya berbentuk sebagai yang kita dapati sekarang?
Untuk mencoba menjawab pertanyaan itu marilah kita uraikan bagaimana tent kedatangan nenek moyang bangsa Minangkabau sampai mempunyai satu lembaga pemeran di Galundi nan Baselo sebagai sudah kita uraikan juga dalam beberapa artike ta yang dahulu,
Menurut keyakinan para ahli kedatangan bangsa Minangkabau atau keturunan I raja di Minangkabau dari Dinasti Raja Iskandar Zulkarnain (Alexander the Grea) yang mempunyai tiga orang putera. Seorang bergelar Maharaja Alif dan pergi ke geri Turki dan lainnya Maharaja Dipang dan pergi kenegeri Cina dan yang ketig Maharaja Diraja dan inilah keturunan yeng berketurunan di Minangkabau. Kedatangan raja ini diperkirakan beberapa abad sebelum Masehi.
Beberapa para ahli menerangkan juga bahwa bangsa yang kemudiannya sampai ke Minangkabau itu datangnya dari India. Mereka datang dari satu bangsa pengembara di Asia Tengah yang sampai di India dan ini terjadi kira-kira 600 tahun sebelum Masehi. Di India bangsa itu menjadi bangsa Wedda dan mengembara lagi arah ketimur dan sampai di Minangkabau dan ini terjadi kira-kira 2500 tahun sebelum Masehi. Kita tak tahu bagaimana kisah ekspedesi mereka dan berapa lama baru sampai dikaki gunung Merapi tetapi pada satu saat sampailah mereka di Labuan masuk daerah Tambago dan kemudian menurun lagi ke Guguk Ampang yang kemudian bertukar dengan Guguk Aceh.
Pada masa itu adat yang dikenal sebagai zaman sekarang belum dikenal dan belum ada. Sistim yang mengatur masyarakat bernama: Undang-undang Si mumbang jatuh, si Gamak-gamak dan Si Lamo-lamo".
Sebagai sudah diuraikan juga dalam artikel kita bahwa negari yang tertua yang mula-mula mempunyai sisten kemasyarakatan yang teratur ialah Pariangan Padang-panjang yang sebenarnya adalah dua buah negari yang disatukan namanya. Negari inilah dianggap tertua yang letaknya: Sehiliran batang Bengkawas, seedaran gunung Merapi. Seri Maharaja Diraja yang membentuk kerajaan pertama yang dalam kata-kata adat disebutkan: Pesemaian Kota Batu. Dan pusat pemerintahan itu di Galundi nan Baselo, disebelah Bukit Siguntang, di Batu Hamparan Putih, dibawah Banto Berayun, di Sawah Setampang Benih sampai di Bukit Tembusu Mudik.
Dinasti pemerintahan Datuk Segi Maharaja mendapat perubahannya dengan kedatangan " Rusa " dari laut sedang kedatangan Adityawarman dikatakan kedatangan "Enggang " dari laut. Siapakah yang dimaksud dengan rusa ini? Dalam tambo adat dikatakan kedatangan rusa itu: " Datanglah rusa dari laut, seletus bedil berbunyi, melompat ikan dalam laut, melenguh jawi dalam bajak, meringkik kuda dalan kandang". Dan rusa itu ialah seorang raya dari Palembang yang bergalar Sang Sepurba yang nama sebenarnya sepanjang tali beruk yakni: Sang Sepurba Tri Buana Mauliarnadewa atau Sang Sepurba Sri Tri Buana Raya Mauliawarman dan sampai ke Padang Panjang. Karena raja ini pakai pedang panjang diubahlah nama tempat itu dengan Pedangpanjang yang di Minangkabaukan padang jadi Padangpanjang. Raja ini diambil jadi semenda oleh Seri Maharaja Diraja dikawinkan dengan Puteri Indera Jati atau Puteri Indah Jelita. Dari perkawinan ini berlahir seorang putera yang bergelar Sutan Panduko Basa yang kemudian bergelar Datuk Ketemenggungan. Setelah wafatnya Sang Sepurba Indah Jelita atau Indera Jati kawin dengan Cati Bilang Pandai dan dari perkawinan ini mereka mendapat dua orang putera dan empat orang puteri. Yang seorang Sutan Balun yang kemudian bergelar Datuk Perpatih nan Sebatang, dan yang seorang Datuk Maharajo nan Banego-nego sedang nama kecilnya si Kalap Dunie.
Sesudah dewasa Datuk Ketemenggungan dan Datuk Perpatih nan Sebatang barulah adat Simumbang Jatuh, Sigamak-gamak dan Silamo-lamo itu diganti dengan adat yang baru. Team yang menyusun adat itu Ialah Datuk Suri Dirajo sebagai badan perancang dan penasehat Datuk Naharajo Dirajo, Sebagai kata pepatah adat: " Dibuatlah adat, dikaranglah undang, disusun tangkainya satu demi satu, lalu dipakukan ke Tiang Panjang. Untuk menurunkan adat yang baru disusun itu ditanamlah dua orang penghulu seorang di Pariangan dan seorang di Padangpanjang đan kedua penghulu inilah penghulu yang pertama-tama ada di Minangkabau. Yang di Pariangan bergelar Datuk Bandaro Kayo dan di Padangpanjang Datuk Maharaja Besar.
Tetapi dalam menyusum undang-undeng đan peraturan itu antara dua orang negarawan yang satu ibu berlainan bapak ini terdapat đưa perbedaan faham. Cara Datuk Ketemenggungan " titik dari atas " bertangga turun. Cara Datuk Perpatih nan Sebatang membersut dari bumi berjenjang naik. Sehingga keduanya digabungkan dengan kata-kata bartangga turun berjenjang naik yang zaman sekareng đikenal dengan " hierarchie ". Tidak mengherankan kedua sistim yang jauh berbeda ini mengakibatkan đua corak pemerintahan yang dinamakan "kelarasan" yaitu kelarasan Kota Piliang dan kelarasan Bodi Caniago, satu bersifat kerajaan dan satu bersifat republik seperti pada zanan kita sakarang. Tetapi ada pula yung mempergunakan campuan antara kedua sistim itu sehingga muncullah satu pantun adat:
Pisang sikalek-kalek hutan,
pisang tembatu yang bergetah,
Koto Piliang dia bukan,
Bodi Caniago dia entah.
Jika dibawakan kepada zaman sekarang ialah kerajaan yang bersifat Parlementer, jadi raja harus takluk dengan satu Dewan Rakyat. Pada zaman kedua negarawaan ini kalau terjadi persengketaan maka dibawalah kedalam kerapatan adat di Balai nan Saruang yaitu balai tertua di Minangkabau ( Lihat Singgalang No. 514 ). Kerapatan ini pada permulaannya dipimpin oleh Datuk Maharajo nan Banego-nego.
Perkambangan yang pesat dari rakyat kerajaan barmula itu menyebabkan para pemimpin mencari daerah-daerah baru. Datuk Ketemenggungan menemui daerah yang "airnya tawar, ikannya jinak, buminya sejuk dan dinamakan oleh Datuk Suri Diraja dengan Luhak Tanah Datar. Datuk Perpatih nan Sebatang menemui daerah yang "airnya keruh, ikannya liar, buminya hangat dan dinamakan dengan Luhak Agam. Datuk Maharajo nan Banego-nego menemukan daerah yang: " Airnya jernih, ikannya jinak dan buminya tawar " dan đinamakan dengen Luhak Lima Puluh.
Pusat pemerintahan dipindahkan pula ke Bukit Batu Patah yang manjadi rajanya Seri Mabaraja Indo dan inilah Kerajaan Pagar Ruyung yang pertama pada awal abad yang ket 14.
Lurah Bukit, 30-8-1974.
Karya ini dilepas di bawah lisensi Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa 4.0 Internasional, yang memperbolehkan penggunaan bebas, distribusi, dan penciptaan turunan, selama lisensi tidak diubah dan ditulis secara jelas, dan pengarang asli diatribusikan—dan jika Anda mengubah, memodifikasi, atau membuat di atas karya ini, Anda boleh mendistribusikan hasil karya selama di bawah lisensi yang sama.