Lompat ke isi

Satu Tahun Ketentuan

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Satu Tahun Ketentuan  (1957) 
oleh Soekarno

Dimuat dalam buku Dibawah Bendera Revolusi

Saudara-saudara!

Hari ini kita merayakan Ulang Tahun Proklamasi. Ulang tahun yang kedua-belas. Dan tiap-tiap kali mengadakan perayaan semacam ini, hati kita mengucapkan syukur kepada Tuhan. Dan hati kita amat terharu.

Terharu, bahwa Republik kita tetap berdiri. Terharu, – karena mengingat penderitaan-penderitaan dan korbanan-korbanan kita untuk mendirikan dan mempertahankan Republik ini. Terharu, bahwa kita dalam dua-belas tahun itu toh mencapai beberapa kemajuan juga, yang hanya orang-orang yang menderita penyakit sinisme saja akan memungkirinya. Terharu pula, bahwa kita diberi oleh Tuhan kemampuan untuk menyadari penyakit-penyakit dan keburukan-keburukan yang menghinggapi tubuh masyarakat kita dan tubuh Negara kita dalam masa dua-belas tahun itu, terutama sekali di masa yang akhir-akhir ini.

Ya, saudara-saudara, satu kaleidoskop kebaikan dan keburukan, satu gending-bindri kemajuan dan kemunduran, gending-bindri kepatriotikan dan kebodohan, telah mengisi angkasa Indonesia dalam tahun-tahun yang akhir ini, dan telah menggoncangkan angkasa Indonesia dalam masa yang akhir-akhir ini.

Ya, benar, orang boleh berkata: "Itulah Revolusi!"

"Itulah kiprahnya tiap-tiap Revolusi!" Tetapi Revolusi juga barulah benar-benar Revolusi, kalau ia terus-menerus berjuang. Bukan saja berjuang ke luar menghadapi musuh, tetapi berjuang ke dalam memerangi dan menundukkan segala segi-segi negatif yang menghambat atau merugikan jalannya Revolusi itu. Ditinjau dari sudut ini, maka Revolusi adalah satu proses yang dinamis-dialektis dan dialektis-dinamis, satu simfoni hebat dari kemenangan atas musuh dan kemenangan atas-diri-sendiri, satu simfoni hebat antara overwinning dan zelf overwinning. Hanya bangsa atau kelas yang dapat mengadakan simfoni yang demikian itulah dapat mencapai kemajuan dan kekuatan dengan jalan Revolusi!

Coba renungkan saudara-saudara, betapa perlunya kita harus berani memerangi diri kita sendiri, memperjuangkan zelfoverwinning atas diri kita sendiri.

Semula kita mencita-citakan satu kemakmuran dan keadilan yang merata. Dua-belas tahun kemudian, puluhan juta rakyat masih belum dapat hidup layak sebagaimana pantasnya bagi rakyat sesuatu negara yang merdeka.

Semula kita mencita-citakan satu Negara Republik Indonesia yang meliputi sekujur badannya bangsa Indonesia, dari Sabang sampai ke Merauke. Dua-belas tahun kemudian, seperlima dari wilajah Republik Indonesia masih dijajah oleh Belanda.

Semula kita mencita-citakan, bahwa di dalam alam kebebasan dan kemerdekaan, kita akan dapat mengembangkan segala daya-cipta kita untuk membangun sehebat-hebatnya: Membangun satu Pemerintahan nasional yang kokoh-kuat, membangun satu Angkatan Perang nasional yang kokoh-kompak, membangun satu industri modern yang sanggup mempertinggi taraf-hidup rakyat kita, membangun satu pertanian modern guna mempertinggi hasil-bumi, membangun satu kebudayaan nasional yang menunjukkan kepribadian bangsa Indonesia …

Tetapi dua-belas tahun kemudian, kita telah mengalami tujuh-belas kali pergantian Kabinet; mengalami kerewelan-kerewelan dalam urusan daerah; mengalami kerewelan-kerewelan dalam kalangan tentara; mengalami bukan industrialisasi yang tepat, tetapi industrialisasi tambal-sulam zonder overall-planning yang jitu; mengalami bukan kecukupan bahan makanan, tetapi import beras terus-menerus; mengalami bukan membubung-tingginya kebudayaan nasional yang patut dibanggakan, tetapi gila-gilaannya rock and roll; mengalami bukan merdunya seni-suara Indonesia murni, tetapi geger-ributnya swing dan jazz dan mambo-rock; mengalami bukan daya-cipta sastra Indonesia yang bernilai, tetapi banjirnya literatur komik.

Contoh-contoh ini adalah cermin daripada menurunnya kesadaran nasional kita dan menurunnya kekuatan jiwa nasional kita. Apakah kelemahan jiwa kita itu? Kelemahan jiwa kita ialah, bahwa kita kurang percaya kepada diri kita sendiri sebagai bangsa sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar-negeri, kurang percaya-mempercayai satu sama lain padahal kita ini pada asalnya ialah rakyat gotong-royong, kurang berjiwa gigih melainkan terlalu lekas mau enak dan "cari gampangnya saja". Dan itu semua, karena makin menipisnya "rasa harkat nasional", – makin menipisnya rasa "national dignity" -, makin menipisnya rasa-bangga dan rasa-hormat terhadap kemampuan dan kepribadian bangsa sendiri dan rakyat sendiri!

Ya, kemampuan dan kepribadian rakyat sendiri! Rakyat jelata, rakyat yang berpuluh-puluh juta, rakyat yang laksana semut mencari makan dan beranak dan tertawa dan menangis dan hidup dan mati, – rakyat yang dari sinar-mata merekalah berpancar kekuatan dan kepribadian bangsa, rakyat yang dari tindak-tanduk merekalah tertampak gigih bangsa dan karakteristik bangsa. Berapa orangkah dari alam pemimpin Indonesia sekarang ini yang masih benar-benar "rakyati" seperti dulu, masih benar-benar "volks" seperti dulu?

Coba ingatkan kembali pergerakan kita dulu sebelum mencapai kemerdekaan. Dulu itu kita semua adalah "rakyati", dulu itu kita semua adalah "volks". Api pergerakan kita dulu itu kita ambil dari dapur apinya rakyat. Segala fikiran dan angan-angan kita dulu itu kita tujukan kepada kepentingan rakyat. Tujuan pergerakan kita dulu itu ialah satu masyarakat adil dan makmur bagi rakyat. Segala apa-saja sebagai hasil penggabungan tenaga rakyat, dulu kita pakai sebagai alat perjuangan. Segenap kekuatan perjuangan kita dulu itu adalah kekuatan rakyat. Kekuatan Rakyat Indonesia dan bukan kekuatan rakyatnya si Willem atau si Bob, atau si Wladinir, kekuatan si Dullah, kekuatan Bang Samiun, kekuatan Pak Kromodongso, kekuatan mBok Sarinah, kekuatan Cik Zulaeha.

Dengan angan-angan rakyat, api rakyat, kekuatan rakyat inilah kita pada tanggal 17 Agustus 1945 mencapai kemerdekaan. Sekali lagi: mencapai kemerdekaan, karena mempergunakan angan-angan rakyat, karena ikut berkobar dalam kobarannya api rakyat, karena berjuang membanting-tulang di tengah-tengah gegap-gempitanya dan gegap-gemuruhnya kekuatan rakyat. Pendek kata: karena menyusun tenaga-tenaga objektif yang ada pada rakyat. Rakyat apa? Rakyat mana? Rakyat Indonesia. Rakyatnya si Bang Samiun dan Cik Zulaeha, Rakyatnya Pak Kromo dan si Kampret, bukan rakyat di tanah orang lain, bukan rakyat bangsa orang lain. Maka oleh karena itu Revolusi kita ini mempunyai karekteristik Indonesia sendiri, – berbeda dengan revolusi-revolusi orang lain. Maka oleh karena itu, Revolusi kita ini mempunyai kepribadian Revolusi Indonesia sendiri, – bukan jiplakan revolusi-revolusi orang lain – , mempunyai "cap" Indonesia sendiri, dan dus mempunyai "cap" persoalan-persoalan Indonesia sendiri, yang berbeda daripada persoalan-persoalan revolusi orang lain. Rakyat Indonesia tidak sama dengan rakyat negeri lain; bangsa Indonesia tidak sama dengan bangsa negeri lain; Revolusi Indonesia yang benar-benar Revolusi Rakyat, dus tidak sama dengan revolusi-revolusi negeri lain, dan mempunyai persoalan-persoalan yang tidak sama dengan revolusi-revolusi lain. Lebih-lebih lagi: Revolusi Indonesia mempunyai persoalan-persoalan yang tidak sama dengan persoalan rakyat-rakyat lain yang tidak di dalam revolusi!

Inilah yang banyak pemimpin kita telah lupakan! Bukan mereka think-and-rethink serta shape-and-reshape secara individualiteth bangsa Indonesia sendiri, bukan mereka pulangkan segala persoalan kepada kepribadian objektif daripada bangsa Indonesia sendiri, tetapi mereka, karena lepasnya kontak dengan rakyat, mengkopie saja dan menjiplak saja secara hantam-kromo apa yang mereka lihat sebagai satu politieke wijsheid di negeri orang lain!

Akibatnya? Segala sesuatu lepas dari buminya, segala sesuatu lepas dari rilnya! Segala sesuatu lantas rontok. Segala sesuatu peringisan, karena mukanya bukan lagi muka yang ia bawa tatkala ia ke luar dari gua-garba Ibu Pratiwi.

Sebenarnya, semua dasar-dasar daripada perjuangan kita dahulu, tetap berlaku bagi zaman sekarang. Hanya, sekarang, dalam alam kemerdekaan ini harus ditujukan kepada hal-hal yang lebih kongkrit; ditujukan kepada hal-hal yang bersangkut-paut dengan penghidupan rakyat sehari-hari. Tetapi dasar-dasarnya harus tetap. Grondgedachte-nya harus tetap. Kekuatan kita harus tetap bersumber kepada kekuatan rakyat. Api kita harus tetap apinya semangat rakyat. Pedoman kita harus tetap kepentingan rakyat. Tujuan kita harus tetap masyarakat adil dan makmur, masyarakat "rakyat untuk rakyat". Karakteristik segenap tindak-tanduk perjuangan kita harus tetap karakteristik rakyat, yaitu karakteristik rakyat Indonesia sendiri dan karakteristik bangsa Indonesia sendiri. Tidak harus ada perubahan sedikitpun dalam hal itu. Tetapi ini tidak berarti bahwa dus fikiran kita harus beku, harus "itu-itu-lagi" harus statis.

Tidak! Fikiran kita harus dinamis! Apalagi jikalau kita mengingat, bahwa persoalan kita ini ialah persoalannya rakyat dalam alam perpindahan, yaitu persoalannya rakyat dalam alam "transition". Persoalannya rakyat dalam alam "Uebergang". Perpindahan dari apa ke apa? Perpindahan dari alam penjajahan ke alam kemerdekaan. Perpindahan dari alam kolonial ke alam nasional. Perpindahan ini mengkonfrontir kita dengan persoalan-persoalan yang jawabannya tak dapat kita jiplak begitu saja dari teorinya orang lain. Karena itulah, maka, walaupun dasar-dasar atau grondgedachte-nya perjuangan kita harus tetap, kita tak boleh beku dalam fikiran, tak boleh statis dalam daya-cipta, tak boleh berhenti, tetapi harus dinamis dan tangkas dalam fikiran.

Tiga persoalan-pokok harus kita pecahkan dalam alam perpindahan ini:

Kesatu: Bagaimanakah dan dari manakah kita memperoleh modal bagi pembangunan yang harus kita tempuh?

Kedua: Bagaimanakah kita secepat mungkin dapat memperoleh kecakapan untuk membangun, yaitu memperoleh "technical and managerial know-how" untuk pembangunan itu?

Ketiga: – last but not least – Sistim politik apakah yang paling baik bagi Indonesia, paling cocok dengan dasar-dasar penghidupan rakyat Indonesia, – paling memberi atmosfir yang tepat bagi rakyat Indonesia dalam alam perpindahan ini?

Ketiga-tiga persoalan ini tak dapat dipisahkan satu sama lain, tak dapat disuruh berdiri sendirian masing-masing. Yang satu ada hubungan erat dengan yang lain, yang satu adalah komplementer kepada yang lain. Bahkan ketiga-tiganya adalah berhubungan erat dengan perjuangan nasional kita yang masih dalam tingkatan "belum selesai" itu. Siapa hendak memisahkan persoalan-persoalan ini dari perjuangan nasional kita yang masih dalam tingkatan "belum selesai", ia hanya menunjukkan kekerdilan belaka daripada pengertian-pengertiannya. la hanya menunjukkan keprimitivan belaka daripada ia punya denkwereld, kebekuan belaka daripada ia punya alam-fikiran.

Ambil misalnya persoalan modal untuk pembangunan. Ada pemimpin-pemimpin Indonesia yang belum mengerti, bahwa kita tak mungkin dapat membangun seratus prosen, selama kenyataan-kenyataan sisa-sisa ikatan K.M.B. masih bercokol di Indonesia. Ada pemimpin-pemimpin Indonesia yang tak mengerti, bahwa justru untuk memperoleh modal pembangunan sebanyak-banyaknya, kita harus secepat-cepatnya meniadakan segala sisa-sisa K.M.B., agar supaya tidak sebagian besar daripada kekayaan-kekayaan kita amblas terangkut ke luar pagar, – masuk kedalam kantongnya orang-orang bangsa lain, sehingga bagi kita sendiri hanya tersisa rontokan belaka, yang mempersulit kita membangun secara bebas menurut politik pembangunan nasional kita sendiri. Penanaman modal asing selanjutnya harus didasarkan atas Undang-undang nasional, yang disesuaikan dengan cita-cita pembangunan nasional.

Sekarang ini memang semua orang bersemboyan membangun, dan kita-semua membenarkan isi semboyan itu. Sekarang ini beberapa daerah malahan nakal, mencoba memaksa Pemerintah Pusat, memekik ingin membangun, membangun, sekali lagi membangun, – tetapi tidak seorangpun merenungkan tentang modal untuk pembangunan itu, dan tidak seorangpun mau mengerti bahwa sebagian besar modal pembangunan itu diangkut orang ke luar karena hasil-hasil K.M.B.

Tetapi bukan hanya dengan pelaksanaan pembatalan K.M.B. itu saja kita harus memperoleh modal kita untuk membangun. Pelaksanaan pembatalan KM.B. adalah satu bagian saja daripada usaha memupuk modal dan organisasi nasional untuk pembangunan. Di samping pelaksanaan pembatalan K.M.B. itu kita harus memasuki usaha-usaha lain. Usaha-usaha lain itu antaranya ialah usaha untuk mempertinggi perhatian kepada produksi ekspor dan pemakaian barang bikinan Indonesia sendiri, dan keinginan untuk impor dibatasi dan dikurangi. Usaha inipun akan amat menyumbang kepada tersusunnya modal untuk pembangunan. Di lain tempat akan saya uraikan hal ini lebih mendalam.

Soal lain yang harus kita perhatikan dalam masa perpindahan ini ialah soal kecakapan, – soal "technical and managerial know-how". Orang tak dapat membangun hanya dengan keinginan membangun saja. Bahkan orang tak dapat membangun hanya dengan adanya modal-pembangunan saja. Di samping modal, harus ada bahan, dan harus ada kecakapan. Perpaduan antara natuur, kapitaal, dan arbeid, – perpaduan antara tiga unsur inilah melahirkan produksi, – demikian ilmu ekonomi berkata.

Tidak mungkin ada pembangunan zonder arbeid, jakni zonder tenaga manusia. Tenaga manusia yang terpimpin oleh kecakapan manusia, – kecakapan otak dan kecakapan tangan. Namakanlah ini ketrampilan, namakanlah ini keprigelan. Namakanlah ini "human skill", sebagai yang sudah sering saya sebutkan di waktu yang akhir-akhir. Namakanlah ini "technical and managerial know-how", sebagai saya katakan tadi itu. Pokoknya ialah, bahwa kecakapan manusia adalah salah satu syarat mutlak untuk pembangunan. Karena itu kita harus tak bosan-bosan membangunkan pemimpin-pemimpin pembangunan dan kader. Karena itu kita harus tak putus-putus melatih, mendidik, menyekolahkan, melatih, mendidik, menyekolah-kan, – menyuruh belajar, menyuruh cari pengetahuan, menyuruh cari pengalaman. Di daerah orang teriak pembangunan, tapi kadang-kadang zonder cukup merealisir, bahwa bukan saja modal mboten wonten, tetapi juga pemimpin-pemimpin teknis dan kaderpun mboten wonten. Kegigihan memenuhi syarat-syarat untuk pembangunan itu lebih dulu – itulah yang mboten wonten.

Ya, kita ini bangsa yang aneh. Enam ratus tahun yang lalu Gajah Mada telah mencoba membukakan mata kita bahwa kebahagiaan dan kesentausaan bernegara hanyalah dapat dicapai dengan "ginöng pratidina", – salah satu sila-kegigihan-hidup yang ia berikan kepada andika-andika bhayangkari -, dan dalam permulaan Revolusi kita sekarangpun kita mengalami bahwa Revolusi menang karena kita gigih setiap hari, – tetapi dalam hal memelihara hasil Revolusi itu dan dalam hal memberi isi kepada hasil Revolusi itu kita bukan saja tidak gigih setiap hari, tetapi sebaliknja menjadi orang-orang yang cari enaknya saja, bahkan mencemooh kepada orang yang mengajak gigih setiap hari.

Ya, kataku tadi, – kita sekarang ini mengalami menurunnya jiwa nasional kita yang di zaman purbakala dan dalam permulaan Revolusi begitu dinamis, mengalami gejala menjadi satu bangsa yang hanya "mau cari enaknya saja". (Ingatkah saudara kepada sandera-sengkala runtuhnya Majapahit yang berbunyi: "Sirna hilang kertaning bhumi"? – yang berarti: "sirna hilang gigihnya bumi"?) Kita, sebagai kukatakan beberapa pekan yang lalu di Banjarmasin, kita menderita penyakit "doyan omong " , – menderita penyakit "misbegrip van demoeratie". Kita mengira bahwa omong dan kritik itulah demokrasi, dan bahwa makin banyak omong dan makin banyak kritik itulah berarti makin berjalannya demokrasi. Padahal bukan itulah demokrasi! Padahal "demokrasi" yang demikian itu, – kalau itupun yang dinamakan demokrasi -, sesudah pengalaman dua-belas tahun ini, ternyata tidak membawa kebaikan bagi Indonesia, bahkan keburukan, bahkan kemunduran. Hampir segala hal macet dalam "demokrasi" yang demikian, hampir segala hal lepas berantakan. Oleh karena itu, maka soal mencari sistim politik yang terbaik dan tercocok dengan kepribadian dan dasar-dasar penghidupan dan dasar-dasar penghidupan bangsa Indonesia, adalah salah satu soal yang terpenting bagi pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Juga bagi pembangunan!

Sistim politik yang terbaik dan tercocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia! Ya, nyata demokrasi yang sampai sekarang ini kita praktekkan di Indonesia, bukan satu sistim politik yang terbaik dan tercocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia! Nyata kita dengan apa yang kita namakan demokrasi itu, tidak menjadi makin kuat dan makin sentausa, melainkan menjadi makin rusak dan makin retak, makin bubrah dan makin bejat!

Stock-opname daripada keadaan kita antara tahun 1950 dan tahun 1957 sungguh tidak menggembirakan Ternyatalah di waktu-waktu belakangan ini, bahwa perIu diadakan koreksi dalam cara menghadapi persoalan-persoalan nasional, – koreksi pula dalam sistim politik keseluruhannya yang sampai sekarang kita anut. Ternyatalah bahwa demokrasi yang kita praktekkan selama ini telah mendjadi demokrasi liar. Ternyatalah bahwa demokrasi zonder disiplin, demokrasi zonder pimpinan, telah tidak cocok dengan kepribadian rakyat Indonesia dan dasar-dasar-hidup bangsa Indonesia. Ternyatalah, bahwa demokrasi zonder disiplin, demokrasi zonder pimpinan, telah tidak cocok dengan kepribadian rakyat Indonesia dan dasar-hidup bangsa Indonesia. Ternyatalah, bahwa demokrasi zonder disiplin dan zonder pimpinan itu telah mbeludak menjadi anarchi; telah mbeludak menjadi eksploitasi oleh golongan kecil terhadap kepada kepentingan rakyat banyak. Ternyatalah bahwa demokrasi zonder disiplin dan zonder pimpinan itu telah menjadi demokrasi omong belaka, demokrasi yang tidak mampu melahirkan fikiran-fikiran yang baru dan yang konstruktif. Ternyatalah bahwa demokrasi yang demikian itu hanya melahirkan masyarakat kepartaian saja, dan golongan atas dalam masyarakat lantas bersifat kayusinggah, bersifat benalu, bersifat mangandeuh, bersifat kemladean, bersifat parasit.

Telah sering saya katakan, bahwa demokrasi adalah alat. Demokrasi bukan tujuan. Tujuan ialah satu masyarakat yang adil dan makmur, satu masyarakat yang penuh dengan kebahagiaan materiil dan spirituil. Sebagai alat, maka demokrasi – dalam arti bebas berfikir dan bebas berbicara – harus berlaku dengan mengenal beberapa batas. Batas itu ialah batas kepentingan rakyat banyak, batas kesusilaan, batas keselamatan Negara, batas kepribadian bangsa, batas pertanggungan-jawab kepada Tuhan. Manakala batas-batas ini tidak diindahkan, maka menjelmalah demokrasi menjadi anarchi si pandai omong semata-mata.

Kita sekarang kalau tidak awas-awas, menuju kepada anarchi total. Tidakkah demikian? Segala macam krisis sudah menumpah kepada kita. Krisis demokrasi sendiri, sehingga orang ada yang meminta diktator atau junta militer. Krisis akhlak. Krisis Angkatan Perang, karena ada orang mengira bahwa demokrasi-kesasar itupun harus dilakukan dalam Angkatan Perang. Krisis cara meninjau persoalan, dalam mana sinisme merajalela, dan dalam mana segala hal dikuasai oleh demokrasi-omong itu, sehingga hasil tiap-tiap persoalan hanyalah cemooh belaka, – cemooh, cemooh, sekali lagi cemooh. Krisis Gezag, dalam mana orang tak mau mengerti bahwa Kewibawaan Gezag haruslah kita bina bersama, kita susun bersama, kita pelihara bersama, dan tidak malahan kita dongkel, kita "slopen", dengan sikap yang kini kita lihat di beberapa daerah.

Ya, krisis menyusul krisis, sehingga akhirnya mungkin nanti menjadilah krisis itu satu krisis total, krisis mental!

National dignity kita amblas samasekali, sehingga banyak di antara kita ini tidak merasa malu bahwa dunia-luaran ada yang goyang kepala, ada yang bertampik sorak kesenang-senangan. Tidak merasa malu, kalau dunia-baru berkata "Indonesia is breaking up" (Indonesia mulai runtuh), – "Quo vadis Indonesia?" (kemanakah engkau Indonesia?) – "A nation in collapse" (Satu bangsa yang sedang ambruk).

Ah, saudara-saudara, mengapa toh begini? Apa memang bangsa Indonesia itu ditakdirkan Tuhan menjadi bangsa inlander, bangsa yang pecah-belah, bangsa yang tak mampu mengangkat dirinya ke taraf yang lebih tinggi? Saya yakin tidakl Tetapi saya kira bangsa Indonesia salah sistim – politiknya, terutama sekali dalam masa perpindahan ini. Bangsa Indonesia dan rakyat Indonesia telah "disalah-gunakan" oleh pemimpin-pemimpinnya dalam rock-and-rollnya demokrasi-omong yang tak kenal batas, demokrasi-omong yang tak kenal disiplin, demokrasi-omong yang tak kenal pimpinan.

Ya, demokrasi yang tak kenal pimpinan. Demokrasi kita demokrasi yang tak terpimpin. Demokrasi kita demokrasi "free fight liberalism". Demokrasi kita demokrasi "hantam-kromo", demokrasi "asal bebas mengeluarkan pendapat", – demokrasi bebas mengkritik, bebas mengejek, bebas mencemooh, bebas – bebas – bebas – zonder leiderschap, zonder management ke arah tujuan yang satu. Demokrasi kita ialah demokrasi yang hanya mendewa-dewakan kebebasan, hanya mengkeramatkan kebebasan, – demokrasi yang di dalamnya tak ada yang keramat kecuali kebebasan itu sendiri. Demokrasi kita ialah demokrasi yang di dalamnya "niets wordt ontzien behalve de vrijheid zelve". Kritik ke kiri, diejek ke kanan, kejam di depan, fitnah ke belakang, sanggah ke atas, cemooh ke bawah. Hanya satu yang tidak dikritik, hanya satu yang tidak diejek, tidak dikecam, tidak difitnah, tidak disanggah, tidak dicemooh, yaitu … "kebebasan omong" itu sendiri.

Kita sekarang ini telah dikuasai oleh demokrasi yang demikian itu. Padahal demokrasi adalah sekedar alat. Kita telah dikuasai oleh alat. Dan saya bertanya: Siapakah yang sebenarnya dalam praktek menarik keuntungan dari demokrasi semacam ini? Bukan Pak Noyo penjual soto di pinggir jalan. Bukan Mang Ucak si tukang oncom. Bukan si Bujung penangkap ikan di danau Maninjau. Bukan si Nyong pengupas kelapa di pantai Bitung. Bukan si Jaetun pengemudi perahu di sungai Musi. Bukan mereka yang beruntung. Sebab mereka semuanya rakyat cilik yang tidak banyak omong. Mereka tidak berpidato di rapat-rapat, mereka tidak kasih interview di koran-koran, mereka tidak menulis sindiran-sindiran di pojok surat kabar. Mereka diam dan bekerja. Mereka, dalam demokrasi sekarang, teoretis mempunyai persamaan hak-omong dengan siapapun juga, tetapi mereka dalam praktik tak mempunjai kesempatan dan tak mau mempergunakan kesempatan untuk "ngomong" itu. Mereka tak akan bahagia dengan demokrasi politik saja, – apalagi demokrasi politik "free fight liberalism" sebagai yang kita jalankan sekarang ini -, mereka gandrung akan demokrasi sosial yang memberi mereka kebahagiaan di segala lapangan, terutama sekali di lapangan ekonomi.

Karena itu, maka kita perlu mengadakan koreksi dalam sistim politik yang sampai sekarang kita anut, – sistim politik yang kita jiplak mentah-mentahan dari dunia luaran. Bukan "free fight liberalism" yang harus kita pakai, tetapi satu demokrasi yang mengandung management di dalamnya ke arah tujuan yang satu , yaitu masyarakat keadilan sosial. Satu demokrasi yang berdisiplin, satu demokrasi yang sesuai dengan dasar-hidup bangsa Indonesia yaitu gotong-royong, satu demokrasi yang membatasi diri sendiri kepada tujuan yang satu, satu demokrasi met leiderschap, satu demokrasi terpimpin.

Janganlah kita beku! Janganlah kita statis dalam arti: satu kali ambil sistim politik, terus kita pertahankan sistim politik itu! Think-and-rethink, shape-and-reshape! Demikianlah pesanan saya tempo hari. Sri Jawaharlal Nehru tempo hari mempergunakan perkataan "remaking ", dan di dalam perkataan itu terasalah dinamik, dan bukan kestatisan atau kebekuan. Sebagai sering saya katakan: Revolusi adalah Gerak, Revolusi adalah Beweging, Revolusi adalah Gerak Maju meninggalkan Hari Kemaren, – "Revolution rejects yesterday".

Apakah kita hendak beku, mengamplok saja terus kepada sistim politik free fight liberalism ini? Yang di dalam dua-belas tahun saya telah mengganjari kita dengan enam-belas kabinet atau rata-rata sekali dalam tiap delapan bulan? Yang begitu meracuni Angkatan Perang kita sehingga kita sekarang télé-télé dengan krisis di dalam tentara? Yang pada dasarnya begitu invreten ke dalam kesadaran-bernegara dan kesadaran-berpemerintah kita, sehingga kita hampir-hampir saja remuk-redam dengan pelbagai peristiwa daerah, kalau kita tidak waspada? Yang hampir-hampir juga membawa kita kepada krisis kebangkrutan keuangan dan perekonomian? Yang dalam dua-belas tahun ini belum dapat membawa kita ke arah realisasi daripada cita-cita masyarakat adil dan makmur, cita-cita masyarakat yang ekonomis gotong-royong, tetapi sebaliknya masih terus menetapkan rakyat kita dalam dunia eksploitasinya ekonomis-liberalisme? Yang telah membuat banyak pemuda kita menjadi "liar", cinta mambo dan rock-and-roll, cowboy-cowboyan, – alles terwille van de vrijheid! -, sinis, kurang kompak tertuju kepada hal yang satu?

Ya, benar, ditinjau dari sudut kemajuan sejarah, maka kita sekarang ini lebih maju dari di zaman kolonial. Di zaman kolonial, kita tidak mengalami kebebasan-kebebasan demokrasi. Di zaman kolonial, kita gandrung dan berjuang mati-matian untuk kebebasan-kebebasan ini. Dan tatkala kita mencapai kemerdekaan, laksana pecahlah hati kita karena terbahak-bahak senang memperoleh kebebasan-kebebasan itu. Dan kita bukan saja menghantar kebebasan itu, kita malahan mengeksploitir kebebasan itu, ya "menghantam-kromokan" kebebasan itu, sampai kepada batas-batasnya yang paling ujung dan sampai melampaui batas-batasnya yang paling ujung.

Sekali lagi saya katakan, ditinjau dari sudut histori, kita sekarang lebih maju daripada di zaman penjajahan. Kita telah melakukan pemilihan-pemilihan-umum dengan tertib dan teratur, baik buat Parlemen maupun buat Konstituante. Kita tahun ini malahan sedang sibuk-sibuknya menjalankan pemilihan-umum untuk Dewan-Dewan Perwakilan Daerah. Tetapi soalnya bukan itu. Soalnya ialah: sistim politik apakah terbaik dan tercocok untuk kita, untuk mentransformir alam kolonial ke alam nasional, untuk mentransformir alam eksploitasi ke alam keadilan sosial? Soalnya ialah, apakah sistim politik yang sampai sekarang kita anut itu sudah sistim politik yang sebaik-baiknya bagi Indonesia, sudah satu sistim politik yang memberi kebahagiaan kepada rakyat Indonesia?

Dan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini saya menjawab: Tidak! Sistim politik yang sampai sekarang kita anut, tidak memberi kebahagiaan kepada rakyat banyak. Kita harus tinjau kembali sistim itu, kita harus herzien sistim itu.

Tinjau kembali sistim itu, dan menggantinya dengan satu sistim yang lebih sesuai dengan kepribadian bangsa kita, lebih sesuai dengan gotong-royong bangsa kita, lebih memberi pimpinan atau management ke arah tujuan yang satu itu, yaitu masyarakat keadilan sosial. Berilah bangsa kita satu demokrasi yang tidak liar. Berilah bangsa kita satu demokrasi gotong-royong yang tidak jégal-jégalan. Berilah bangsa kita satu demokrasi "met leiderschap" ke arah keadilan sosial. Berilah bangsa kita satu demokrasi terpimpin. Sebab demokrasi yang membiarkan seribu macam tujuan bagi golongan atau perseorangan, akan menenggelamkan kepentingan Nasional dalam arusnya malapetaka!

Saya harap Konstituante meninjau persoalan ini dari sudut itulah. Dari sudut, sebagai yang tempo hari saya uraikan dalam pidato pembukaan Konstituante itu.

Dalam menunggu keputusan Konstituante itu, kita telah mengadakan Dewan Nasional. Pakailah prakteknya Dewan Nasional itu nanti sebagai bahan untuk menentukan Konstitusi kita yang definitif. Sebagai bahan! Sebab tidak sekali-kali Dewan Nasional itu menarohkan Konstituante kepada suatu hal yang telah accompli. Tidak sekali-kali pembentukan Dewan Nasional melanggar Konstitusi kita yang sementara. Tidak sekali-kali Dewan Nasional itu adalah satu perbuatan inkonstitusionil. Malah saya anggap pembentukan Dewan Nasional itu sebagai satu voorziening sementara yang konstitusionil, menjelang terbentuknya satu sistim politik definitif yang menjamin kepentingan rakyat.

Boleh anggauta-anggauta Konstituante menganggap pembentukan Dewan Nasional itu sebagai satu eksperimen. Satu eksperimen yang nantinya bisa dijadikan bahan untuk menyusun Konstitusi. Bagi saya ia sebenarnya bukan satu eksperimen. Bagi saya, ia adalah hasil daripada satu perhitungan yang saksama, – hasil daripada satu berekening politik maatschappelijk yang sungguh-sungguh, – berekening politik maatschappelijk berdasarkan atas kegagalannya demokrasi yang kita pakai, dan atas perlunya satu demokrasi yang lebih terpimpin. Tigapuluh tahun telah saya memikul pertanggungan-jawab di lapangan politik, dan untuk pertanggungan-jawab itu saya tempo hari rela untuk masuk bui dan masuk pembuangan. Dua-belas tahun saya memikul pertanggungan-jawab Negara sebagai Presiden. Kali inipun saya rela memikul pertanggungan-jawab sepenuh-penuhnya atas pembentukan Dewan Nasional itu. Sejarah nanti akan menentukan verdict atas saya, mengenai pembentukan Dewan Nasional itu. Dan sekarang sudah saya hadapi verdict sejarah itu dengan kepala yang tegak, dengan mata yang tenang.

Kecuali tujuan masyarakat keadiIan sosial, ada lagi beberapa hal yang harus menjadi pedomannya sistim politik yang kita harus cari itu. Masyarakat keadilan sosial adalah tujuan isi daripada Negara. Hal-hal yang akan saya ceriterakan sekarang ini, adalah mengenai Negaranya an sich. Masyarakat adalah isi, Negara adalah wadah. Wadah dan isi kedua-duanya harus kita selamatkan. Demokrasi yang harus kita cari itu haruslah demokrasi yang menjamin kepada selamatnya wadah dan terselenggaranya isi. Kedua-duanya mutlak harus menjadi tugasnya.

Maka juga untuk selamatnya wadah itu, demokrasi kita tak boleh demokrasi-hantam-kromo.

Bilakah wadah itu terjamin selamatnya? Satu Negara seperti Indonesia ini, Negara yang rakyatnya berpuluh-puluh juta, Negara yang roman-mukanya cantik-molek, Negara yang kaya-raya, Negara yang politis strategis, ekonomis strategis, militer strategis, Negara besar seperti Indonesia ini hanyalah dapat terus hidup jika ia dapat bertahan, jikalau ia "weebaar" di tiga lapangan: weebaar di lapangan politik, weebaar di lapangan ekonomi, weebaar di lapangan militer, weebaar dalam arti, bahwa kemerdekaan nasional dapat bertahan terhadap segala kejadian-kejadian di luar pagar, tidak digoncangkan oleh kejadian-kejadian apapun di luar pagar.

Demokrasi kita harus demokrasi yang secara kolektif menuju kepada keweebaran Negara di tiga lapangan itu. Demokrasi kita harus satu Demokrasi yang "Negara-sentris", dan bukan satu demokrasi yang membawa manusia kepada ego-sentris, atau golongan-sentris, atau partai-sentris, atau kliek-sentris. Dan demokrasi yang demikian itu tak dapat lain daripada demokrasi yang mempunyai "guiding morality", satu demokrasi yang kolektif mengabdi kepada satu tugas pembinaan Negara. Demokrasi yang harus kita cari itu dus harus satu demokrasi yang terpimpin.

Menjadi dus: baik untuk terselenggaranya isi, maupun untuk keweebaran wadah, demokrasi free fight liberalism harus kita tinggalkan. Free fight liberalism tak mungkin dapat menyelenggarakan isi, dan tak mungkin pula menyelamatkan wadah. Dua-belas tahun prakteknya free fight liberalism di tanah air kita, sudah cukup menunjukkan ketidakmampuannya itu. Seluruh dada dan tubuh kita laksana telah dirobek-robek dèdèl-duwèl oleh free fight liberalism itu. Tinggalkanlah free fight liberalism itu, lepaskanlah segenap affeksi kita kepadanya! Menujulah kita kepada satu demokrasi baru yang lebih cocok dengan kepribadian kita dan lebih menjamin terselenggaranya cita-cita politik dan cita-cita sosial kita. Bangun dan bangkitlah kita semuanya kepada demokrasi stijl baru itu.

Saudara-saudara!

Alangkah molak-maliknya tahun 1957 ini! Segala macam pergolakan telah kita alami di dalamnya, dan segala macam pergolakan itu harus kita atasi pula. Hati kita kadang-kadang berdebar-debar: Akan tenggelamkah kita sebagai akibat tahun 1957 ini, atau akan tetap tegakkah kita sebagai Negara? Tahun 1957 ini sungguh akan tertulis dalam kitab-sejarah kita sebagai satu Tahun Ketentuan. "A year of decision", dalam mana kita harus menulis ya atau tidak dalam kitab Lohmahfudz-nya Negara Indonesia.

Tetapi jangan kita gentar! Asal jiwa kita jiwa yang tangkas, dan bukan jiwa yang beku, Insya Allah s.w.t. kita akan mengatasi segala pergolakan. Dalam sesuatu Negara dan masyarakat yang sedang tumbuh, apalagi dalam Negara dan masyarakat dalam perpindahan, tidak ada sesuatu hal yang statis. Tidak ada sesuatu yang diam. Segala hal dalam masa perpindahan itu bergerak, segala hal menggetar, segala hal berputar, segala hal berpusing, segala hal seperti berdansa. Semua aspek daripada penghidupan dan kehidupan nasional, baik politis maupun ekonomis, dalam masa perpindahan itu merupakan satu proses yang amat dinamis.

Sebagai seorang kanak-kanak yang sedang tumbuh, – setiap waktu ia membutuhkan baju baru, celana baru, sepatu baru, – terus demikian, sampai ia mencapai tingkatan kedewasaan. Dan bukan saja ia dinamis dalam pertumbuhan badannya, bukan saja ia dinamis phisik! Perubahan-perubahan mental, perubahan-perubahan batinnya, perubahan-perubahan yang mengenai watak, malahan yang kadang-kadang amat mendahsyatkan, selalu mengikuti perubahan-perubahan phisik itu.

Maka jika dynamisch proces yang gegap-gempita dalam penghidupan dan kehidupan-nasional sesuatu bangsa yang sedang tumbuh atau sedang dalam alam perpindahan itu tidak diawasi dan dimengerti dan ditanggulangi oleh para pemimpin bangsa itu, maka niscayalah spanningen dalam masyarakat akan menjadi eksplosif. Getaran gempa di sana-sini akan terasa, ledakan api di sana-sini akan menjulang ke langit.

Karena itu, awaslah, mengertilah, tanggulangilah segala spanningen itu dengan jiwa yang dinamis. Malahan saya berkata: 1957 hanyalah salah satu saja daripada beberapa tahun yang menentukan. 1957 hanyalah salah satu saja daripada beberapa "years of decision". Sebab pertumbuhan dan perpindahan itu memang bukan satu proses yang hanya satu tahun! Tiap-tiap bangsa dalam masa pertumbuhan, putihkah kulitnya atau kuningkah kulitnya, hitamkah warnanya atau sawo-matangkah warnanya dalam masa pertumbuhannya niscaya mengalami waktu-waktu yang menentukan, – mengalami "decisive periods", – yang menentukan kemajuan atau kemacetan, kejayaan atau break-down samasekali.

Dalam keadaan demikian, maka fikiran-fikiran beku yang ngamplok saja kepada segala macam kebiasaan-kebiasaan, fikiran-fikiran beku yang bersifat "conventional thought", hanya akan menimbulkan keragu-raguan belaka. Dan tiap-tiap keraguan tak mungkin dapat mengatasi keadaan-keadaan yang genting. Tiap-tiap keraguan malahan membuat keadaan genting menjadi makin genting.

"Wise in judgement, original in thought, resolute in action", – bijaksana dalam menimbang, orisinil dalam fikiran, tegas dan tangkas dalam tindakan -, itulah kombinasi yang dapat mengatasi pergolakan dalam pertumbuhan nasional. Karena itulah maka saya menganjurkan adanya jiwa yang tangkas dan dinamis. Jiwa yang tidak takut kepada perubahan. Jiwa yang berani mengadakan perubahan kalau perlu. Jiwa yang berani think-and-rethink, berani shape-and-reshape, berani make-and-remake. Jiwa yang berani terjun ke dalam lautan bergelora, untuk menyelam mencari mutiara!

Janganlah takut kepada "persoalan". Dalam tiap-tiap bangsa yang sedang dalam pertumbuhan dan perpindahan, maka tiap-tiap kemajuan akan menimbulkan persoalan. Siapa takut persoalan, ia sebenarnya takut kepada kemajuan. Siapa takut persoalan, ia sebenarnya beku, ia sebenarnya konservatif, ia sebenarnya takut initiatif.

Ambillah misalnya pembukaan pabrik semen Gresik beberapa hari yang lalu. Tidakkah itu satu kemajuan yang menggembirakan? Tetapi catat: pembukaan pabrik semen Gresik itu akan menimbulkan kerewelan dan kehebohan, kalau soal transport dan distribusi semen tidak diatur rapih pula berbarengan. Ambil lagi misalnya soal perikanan di Maluku. Tidak sukar untuk menambah hasil perikanan di sana itu. Tetapi catat: jika penambahan tersebut tidak dibarengi dengan penambahan perhubungan perkapalan, atau diadakannya satu industri perkalengan-ikan, atau satu industri pembubukan-ikan, maka iapun akan membangkitkan heboh dan rewel dan ribut dan onar.

Itu adalah dua contoh saja dari lapangan ekonomi. Marilah kita perhatikan sekarang hal lapangan politik. Sebagai saya katakan, kita dalam tahun 1957 ini telah lulus dalam ujian pemilihan-umum untuk D.P.R. dan Konstituante, dan Insya Allah tak lama lagipun dalam pemilihan-pemilihan untuk Dewan Perwakilan Daerah.

Katakan ini satu kemajuan, dan memang ini adalah satu kemajuan. Tetapi kalau D.P.R. pilihan rakyat tidak tahu membatasi diri, dan Konstituante tidak dapat bekerja secara dinamis, maka hal-hal inipun akan membangkitkan tidak kepuasan baru. Karena itu janganlah dikira, bahwa persoalan kita tentang demokrasi dengan selesainya pemilihan-pemilihan-umum itu dus telah selesai! Tidak!, ia belum selesai, malahan ia meminta perhatian kita yang bertambah!

Sebab demokrasi, apalagi demokrasi dalam masa pertumbuhan nasional dan perpindahan nasional sebagai di tanah air kita ini, bukanlah hanya satu soal "pemilihan secara rahasia" belaka, – bukanlah hanya satu soal "secret ballot" belaka. Demokrasi, jika ia benar-benar ingin mengabdi Negara dan Bangsa dan Rakyat dalam masa sekarang ini, harus memenuhi dan disertai beberapa syarat. Pertama ia harus "staat-gericht", kedua ia harus "natie-gericht". Ia dus harus mengabdi kepada Negara dan kepada Bangsa, dan tidak kepada perseorangan atau kepada golongan. Ketiga ia harus beranggautakan orang-orang yang jujur, orang-orang yang sungguh-sungguh mempunyai politieke en morele integriteit. Keempat ia harus penuh dengan orang-orang yang mempunyai daya-cipta, orang-orang yang benar-benar ideeëndragers, yang secara kolektif menyumbangkan ideeën-nya itu kepada Bangsa dan Negara, dan bukan hanya orang-orang yang seperti bebek pandai wèk-wèk-wèk.

Zonder dipenuhinya syarat-syarat ini, – staat-gericht, natie-gericht, politiek-moreel jujur, ideeëndragers -, maka demokrasi yang hanya pemilihan-umum saja, akan lebih membawa kesulitan daripada keuntungan. Sebab zonder sifat staat-gericht dan natie-gericht, demokrasi akan menjadi padang-usahanya koruptor-korruptor politik. Zonder beranggautakan orang-orang yang jujur, ia akan menjadi tempat-dansanya petualang-petualang tribune yang tak mempunyai moralitet melainkan keuntungan diri sendiri. Zonder orang-orang yang berdaya-cipta, ia akan menjadi rapatnya orang-orang yang impotent dalam segala persoalan, rapatnya mak-nyai-mak-nyai yang hanya mampu berdebat warung.

Maka dus: soal demokrasi bukan hanya soal pemilihan-umum saja. Persoalan-persoalan lain bersangkut-paut kepadanya.

Ia adalah soal kompleks. Ia sebenarnya adalah soal nilai bangsa, yang tak dapat dipisahkan dari kecerdasan bangsa, watak bangsa, tujuan bangsa, kepribadian bangsa. Ia dus tak boleh sekadar barang import belaka, atau sekedar barang jiplakan dari luar-negeri. Ia harus hasil cipta bangsa, hasil cipta yang tepat dan bernilai tinggi.

Dari contoh-contoh lapangan ekonomi dan politik itu tadi, saudara-saudara harus mengerti, bahwa terutama bagi kita dalam masa pertumbuhan ini persoalan-persoalan tak kunjung habis. Sekali lagi saya katakan: 1957 adalah sekedar salah satu saja daripada kesulitan-kesulitan yang harus kita atasi.

Tetapi sekali lagi pula saya katakan: jangan gentar, jangan putus-asa, melainkan tepatlah dan tangkaslah! "Wise in judgement, original in thought, resolute in action"!

Ada hal-hal yang menggembirakan dalam segala kerèwèlan-kerèwèlan belakangan ini! Apakah itu? Yang menggembirakan ialah cepatnya rakyat kita mereaksi kepada hal-hal yang tidak baik. Cepatnya rakyat kita mereaksi kepada penyelèwèngan-penyelèwèngan dalam pelaksanaan Revolusi, misalnya: birokrasi di pusat adalah satu hal yang memang tidak baik. Cepat rakyat mereaksi kepada birokrasi itu. Partai-sentrisme adalah satu penyelèwèngan. Cepat rakyat mereaksi kepada hal itu. Sejarah dari lain-lain bangsa atau lain-lain negara menunjukkan, bahwa sesuatu keburukan atau penyelèwèngan dapat berjalan berpuluh-puluh tahun tanpa reaksi apa-apa, sehingga menjadilah keburukan atau penyelèwèngan itu bersulur dan berakar, dan akhirnya merupakan satu dekadensi permanen, atau satu keruntuhan.

Reaksi rakyat Indonesia adalah cepat, dan itulah menggembirakan. Hanya caranya mereaksi itu di sana-sini kurang tepat, bahkan membahayakan. Membahayakan keutuhan Negara, membahayakan keutuhan Bangsa. Mengenai cara ini, saya di Dewan Nasional pernah memekikkan pekik Latin "non tali auxilio!", "non tali auxilio!", yang berarti: "niet op die manier! niet op die manier!" – "jangan dengan cara begitu!" Caramu salah, caramu membahayakan Negara! Apa yang harus kita ambil daripada reaksi-reaksi itu? Atau apa yang harus kita perbuat berhubung dengan reaksi-reaksi itu?

Reaksi terhadap sesuatu keadaan yang kurang baik, harus kita tanggulangi sebagai alat korektif, dan jangan sebagai tujuan. Oleh karena jika demikian, maka persoalan tidak akan terpecah, melainkan malahan akan menjadi semakin bubrah. Kesulitan nanti tidak akan hilang, tetapi malahan akan menjadi bertambah.

Ambil, untuk mengerti apa yang saya maksudkan, misalnya peperangan. Apa tujuan sesuatu peperangan? Tujuan semua peperangan ialah menundukkan musuh, mematahkan perlawanan musuh. Akan tetapi jika peperangan dilakukan hanya untuk tujuan itu saja, yaitu menundukkan bangsa lain atau menghancurkan bangsa lain, maka ia tidak-boleh-tidak niscaya menumbuhkan bibit dendam, dan ini menjadilah sumber daripada sesuatu peperangan baru. Sebaliknya jika peperangan dipergunakan sebagai alat korektif, yaitu: untuk memperkuat dasar keadilan, untuk memperkuat dasar perdamaian, untuk memperkuat dasar kemakmuran-bersama, maka peperangan ada gunanya juga.

Nah! Demikian pulalah maka semua reaksi-reaksi yang kita alami sekarang ini, harus kita tanggulangi sebagai alat korektif. Kita sekarang ini antara lain mengalami reaksi terhadap sentralisme. Tiap-tiap reaksi terhadap sentralisme tentu menunjukkan gejala separatisme, gejala sukuisme. Maka jika reaksi terhadap sentralisme itu tidak kita tanggulangi sebagai alat korektif, ia niscaya akan benar-benar menjadi sukuisme dan separatisme, meskipun ini tidak diingini dari semula.

Benar, petualang-petualang yang menunggangi reaksi-reaksi itu niscaya selalu ada, petualang-petualang bejat yang tidak mengenal nationaal idealisme dan tidak mengenal nationale integriteit.

Terhadap kepada mereka itu tidak ada lain sikap yang pantas kita ambil daripada: "Engkau adalah pendurhaka bangsa, dan nasibmu adalah nasibnya pendurhaka bangsa!" Tetapi reaksi itu an sich, harus kita ambil sebagai alat korektif.

Ya, ini satu opgaaf yang tidak gampang. Ini minta kebijaksanaan dan ketangkasan yang luar biasa. Apa boleh buat, – kita toh dalam Revolusi? Apakah yang dinamakan Revolusi? Apakah Revolusi sekedar "potong kepala saja"? Revolusi bukan sekedar "potong kepala saja". Revolusi adalah satu kejadian politiek-maatschappelijk yang amat besar. Revolusi adalah satu perubahan yang amat besar, diikuti oleh pertumbuhan-pertumbuhan yang amat cepat.

Buat pimpinan revolusi, ini membutuhkan satu dinamik yang sungguh-sungguh cepat, agar supaya tiap-tiap aksi tidak mengèksès melampaui tujuannya. Ada perkataan seorang sarjana: "Untuk memulai sesuatu revolusi, maka cukuplah orang-orang panas-kepala dipakai sebagai barisan pelopor; tetapi untuk menyelesaikan sesuatu revolusi, maka dibutuhkan orang-orang revolusioner yang berpengalaman". – "Om een revolutie te beginnen, is het voldoende om een troep heethoofden in actie te zetten. Om een revolutie tot een goed einde te brengen, is het nodig om ervaren revolutionnairen te laten werken". "Een revolutie wordt begonnen door een troepje heethoofden. Een revolutie wordt voleindigd door ervaren revolutionnairen".

Nah, demikian pula maka reaksi terhadap sentralisme mungkin dipelopori oleh orang-orang-panas-kepala; tetapi ia harus diselesaikan oleh orang-orang revolusioner yang berpengalaman.

Gerakan anti-sentralisme, anti-korupsi, anti-birokrasi dan lain-lain, sudahlah kini cukup menggetarkan suasana. Kini tibalah saatnya gerak-gerakan itu diikuti oleh gerakan-gerakan yang mengandung positivisme. Sebab jikalau tidak, maka tidak boleh tidak, sebagai tadi kukatakan, gerakan-gerakan itu nanti membeludak melampaui batas-batas tujuannya, dan tendensi-tendensi sukuisme dan separatisme niscayalah membeludak menjadi sukuisme betul-betul dan separatisme betul-betul.

Kepada seluruh bangsa Indonesia, baik yang di pusat maupun yang di daerah, dan terutama sekali malahan yang di daerah, saya tandaskan di sini, bahwa autonomi yang tak menghiraukan hukum keselarasan dan hukum keseiramaan, autonomi, yang tak menghiraukan "Wet der harmonie", niscaya akan nanti memecah-belahkan keutuhan Bangsa dan keutuhan Negara.

Autonomi bukan sekedar dan semata-mata satu perpindahan pertanggungan-jawab dari pusat ke daerah. Autonomi bukan pula satu perpindahan birokrasi atau korupsi dari pusat ke daerah, ditambah dengan kemungkinan adanya separatisme dan sukuisme. Autonomi adalah soal yang lebih pelik dari itu. Sebagaimana halnya dengan demokrasi, maka bagi autonomi, – dan tidakkah autonomi pada hakekatnya pelaksanaan daripada demokrasi administratief dan demokrasi politik? -, sebagaimana halnya dengan demokrasi, maka bagi autonomi juga mutlak diperlukan syarat-syarat yang tadi saya sebutkan: negara-sentris (staats-gerichtheid), bangsa-sentris (natie-gerichtheid), kejujuran politik dan kejujuran moril (politieke en morele integriteit), daya-cipta yang cukup banyak (ideeëndragers in grote mate).

Tanpa dipenuhinya syarat-syarat ini, maka autonomi akan kosong-melompong, bahkan akan impoten, bahkan akan menjadi padangnya korupsi belaka, bahkan akan membahayakan keutuhan dan kesentausaan Bangsa dan Negara. Tanpa dipenuhinya syarat-syarat itu, maka autonomi akan berarti perulangan di Indonesia daripada sejarah perpecahannya bangsa-bangsa Arab, bangsa-bangsa Slavonis, bangsa-bangsa Latin-Amerika, bangsa-bangsa Balkan. Tanpa dipenuhinya syarat-syarat itu, autonomi bagi kita akan berarti "Balkanisasi".

Demikian pulalah maka gerakan anti-birokrasi dan anti-korupsi tidak akan semudah seperti orang kira, sehingga bolehlah orang hantam-kromo saja beranti-birokrasi dan beranti-korupsi. Pemberantasan birokrasi barulah akan berguna, jika birokrasi itu diganti dengan administrasi yang saksama, cepat, dan efisien. Jika tidak, maka niscayalah anarchi menduduki singgasana birokrasi itu. Dan kita akan sama télé-télé, mungkin akan lebih télé-télé!

Pemberantasan korupsi tidak akan cukup, jika tidak diikuti oleh gerakan kesederhanaan digolongan atas, gerakan gotong-royong dan keadilan sosial di kalangan rakyat banyak.

Di segala lapangan kita membutuhkan lebih banyak positivisme. Negativisme belaka tidaklah mencukupi untuk dijadikan panji-panjinya Revolusi. Anti-sentralisme, anti-birokrasi, anti-korupsi, anti-diktatur, anti-Javanisme, – semua "anti" itu adalah negativisme belaka, jika tidak disertai dengan pemenuhan syarat-syarat yang positif.

Maka jadilah kita satu bangsa yang memiliki sifat-sifat-jiwa yang positif!

Saudara-saudara! Kita sekarang ini, sebagai sudah sering saya katakan dalam pidato-pidato, berada dalam tingkatan kedua daripada Revolusi kita, yaitu tingkatan "nation-building". Tingkatan membina natie, tingkatan membina bangsa. Tingkatan pertama daripada Revolusi kita ialah tingkatan "memecahkan belenggu", tingkatan "pemerdekaan", tingkatan "liberation". Di dalam tingkatan pertama itu kita hantam hancur-lebur semua rantai-rantai yang mengikat kita beratus-ratus tahun lamanya, kita main dengan bambu runcing dan bedil, dengan golok dan granat, dengan bom dan dinamit. Kita gempur semua bèntèng-bèntèngnya imperialisme, kita hantam remuk-redam semua gedung-gedungnya penjajahan. Alangkah sakit-pedihnya waktu itu, tetapi juga alangkah "heerlijknya" (sedap-segarnya) waktu itu. Jiwa-cita-cita pada waktu itu menyala-nyala, kerelaan berjuang dan berkorban tak mengenal batas. Jiwa kita pada waktu bersinar-sinar dan berseri-seri laksana ndaru. Rakyat dan pemimpin berpakaian bagor, tetapi semua mata bersinar keramat, semua mulut bersenyum-simpul. Semua hal kelihatannya mudah.

Dan memang dalam tingkatan "liberation" semua hal lebih mudah. Tidak ada persoalan-persoalan yang amat sulit. Persoalannya hanya satu: pro atau kontra penjajahan, – habis perkara! Siapa yang pro penjajahan, hantam remuk-redam sama dia! Siapa yang kontra penjajahan, hayo peganglah bambu runcing ini, hayo panggullah ini senapan! Pembagian kekuatan-kekuatan konstruktif dan destruktif sangat mudah, dan tidak adalah komplikasis. Idealisme membumbung tinggi, idealisme menyala-nyala. Rajawali Indonesia pada waktu itu benar-benar menggaruda di sapta angkasa. Sampaipun bagi bangsa-bangsa di luar-negeri, posisi adalah amat mudah pada waktu itu: pro Revolusi Indonesia, atau anti Revolusi Indonesia?; pro Indonesia Merdeka, atau anti Indonesia Merdeka?; pro Indonesia, atau pro Belanda?

Tetapi kini kita berada pada tingkatan "nation-building", yaitu tingkatan yang kedua daripada Revolusi kita. Tahun 1957 termasuk dalam rangka tingkatan nation-building itulah. Maka saya tidak heran, bahwa dalam tahun 1957 ini kita merasakan adanya pergolakan-pergolakan kekuatan-kekuatan, yang memang biasanya timbul dalam masa nation-building itu.

Dalam masa nation-building sesuatu bangsa, maka biasanya idealisme agak luntur, dan "ego-sentrisme", "aku-sentrisme", biasanya makin tumbuh. Aku-sentrisme menonjolkan diri di segala lapangan. Dulu jiwa dihikmati oleh tekad "aku buat kita-semua", – sekarang … "aku buat aku". "Aku buat aku!"

"Aku". – "aku" dalam arti aku perseorangan; aku golongan; aku partai; aku suku; aku daerah, – aku ini menonjol-nonjol. "Aku" ini minta kedudukan, aku ini minta penghargaan, aku ini minta sekian kursi dalam parlemen, aku ini minta pelayanan istimewa, aku ini minta sebagian besar dari peruangan Negara, aku ini minta autonomi, aku ini minta status yang lebih tinggi.

Sebagai kukatakan tadi, dalam masa nation-buildingnya sesuatu bangsa, memang biasa idealisme pasang surut, ego-sentrisme atau aku-sentrisme pasang tinggi. Ini kita lihat pada nation-buildingnya Amerika (sampai menimbulkan perang-saudara), pada nation-buildingnya bangsa Jepang (pemberontakan-pemberontakan Ronin dan Saigo Takamori), pada nation-buildingnya India (kesulitan di daerah sekitar Bombay dan lain-lain), pada nation-buildingnya bangsa lain-lain yang semuanya dapat kita telaah dalam sejarah.

Dan memang: kebebasan yang masih dalam pertumbuhan, selalu membangunkan rasa ego-sentris. Kebebasan yang belum menap itu selalu bersifat "bebas untuk bebas", – "vrij om vrij te zijn". Dan selalulah ia berpusat kepada kebebasan ego, kebebasan "aku". Selalulah ia membawa kepada sikap ego-sentris.

Oleh karena itu, saudara-saudara: hidupkanlah kembali idealismemu tinggi-tinggi! Kebebasan yang kita alami sekarang ini, kebebasan yang masih dalam pertumbuhan, kebebasan yang belum menap, kebebasan yang belum "anteng", – kebebasan yang kita alami sekarang ini mengandung unsur-unsur bahaya di dalamnya. Kalau tidak kita sertai kebebasan itu dengan idealisme bersatu bangsa, bersatu tanah air, bersatu bahasa, bersatu Negara, idealisme yang menyala-nyala, – kalau tidak kita sertai kebebasan itu dengan idealisme yang gemilangnya laksana bintang di langit -, maka pasti ego-sentrisme akan bercakrawarti samasekali, dan pasti kebebasan itu hanya akan menimbulkan perpecahan dan desintegrasi belaka!

Malahan dari luarpun, ego-sentrismenya bangsa-bangsa merongrong kita di zaman nation-building kita ini! Dulu, di zaman "liberation" kita, di zaman kita memperjuangkan kemerdekaan, sokongan dari luar atau simpati dari luar boleh dikatakan kompak, dengan perkecualian di sana-sini. Dulu hampir seluruh dunia adalah pro Indonesia, dulu hampir seluruh dunia mendesak Belanda untuk mengakui kemerdekaan kita. Sekarang dalam tingkatan nation-building kita ini, roman dunia sudah berubah. Ego-sentrisme sudah menghinggapi pula beberapa bangsa di dunia itu dalam sikapnya terhadap kita. Dulu dengan penuh idealisme mereka membenarkan perjuangan kita. Dulu dengan penuh idealisme mereka menuntut dilaksanakannya hak-menentukan-nasib-sendiri kepada bangsa Indonesia. Dulu mereka ikut berkobar-kobar menuntut dipenuhinya right of selfdetermination bagi Indonesia. Tetapi sekarang ego-sentrismepun telah menyelinap dalam hati mereka itu, dan sikap mereka terhadap Indonesia ditentukan oleh perhitungan "keuntungan" yang mereka dapat peroleh dari sikap itu. "Keuntungan" ini dapat berupa keuntungan ekonomis, keuntungan politis, keuntungan militer, tetapi nyata keuntungan itu adalah keuntungan mereka punya ego sebagai bangsa, dan nyata, bahwa bukan lagi prinsip dan idealismelah yang mengemudikan sikap mereka terhadap kita, tetapi ego.

Maka oleh karena itulah tekanan dari luar kepada kita dalam masa nation-building ini terasa amat keras sekali, meskipun tekanan itu dijalankan oleh mereka dengan cara yang amat samaran sekali. Dan kita harus tetap kuat menahan tekanan ego-sentrisme mereka itu, kita harus tak boleh menjadi obyek daripada ego-sentrisme mereka itu. Paling sedikit kita sekarang ini, mau tidak mau, dikenakan hukum alam yang dinamakan hukum kompetisi, yaitu "the law of competition". Kompetisi dengan negara-negara yang sudah berpengalaman, kompetisi dengan negara-negara yang sudah kaya, kompetisi dengan negara-negara yang masing-masing terjangkit pula penyakit ego-sentrisme. Janganlah kita lemah! Tetaplah kita kuat dan waspada! Tetaplah kita "kita sendiri", tetaplah kita berdiri di bumi kepribadian kita sendiri! Dan agar supaja kita teguh-kuat untuk tidak menjadi obyek, – hanya satulah jalan yang dapat membawa kita ke jurusan itu: Kita sendiri jangan terpecah-belah karena bagi ego-sentrisme itu, kita sendiri harus kompak bersatu menekan ego-sentrisme dengan idealisme yang berapi-api!

Saudara lihat: Keadaan tidak menjadi makin mudah! Persoalan kita selalu bertambah-tambah. Nation-building memang lebih sukar dan lebih "berpenyakit" daripada liberation, dan malahan pertumbuhan sesuatu negara dalam abad atom adalah lebih sukar lagi daripada pertumbuhan negara dalam abad-abad yang telah lalu. Tetapi mau apa? Mau hidup langsungkah sebagai Negara, atau mau tenggelamkah?

Mau tenggelam? Umbarkanlah segala kebebasan-kebebasan zonder memasang batas, umbarkanlah segala ego-mu zonder memasang papan-papan penciri ideal kesatuan nasional, umbarkanlah segala negativisme zonder memenuhi syarat-syaratnya positivisme! Maka kita akan tenggelam ke dasar samodera laksana perahu-lumpur yang lepas segala bagian-bagiannya.

Mau hidup langsung? Kembalilah kepada isinya Proklamasi, kembalilah kepada keutuhan Negara, dan kita sebagai bangsa dan Negara akan hidup langsung buat selama-lamanja, – Insya Allah, sampai ke akhir-zaman!

Saudara-saudara!

Masih perlu saya tandaskan kepada saudara-saudara akan pentingnya suatu hal. Hal itu mengenai pentingnya Revolusi Mental. Lebih-lebih lagi dalam sesuatu masa nation-building, – nation-building dengan segala godaan-godaannya, dan dengan segala aberasi-aberasinya, sebagai yang saya uraikan tadi itu, – maka satu Revolusi Mental adalah mutlak perlu untuk mengatasi segala kenyelèwèngan, – lebih perlu daripada dalam masa sebelum nation-building itu, yaitu dalam masa Liberation.

Sebab dalam masa liberation, idealisme masih cukup menyala-nyala, api keikhlasan masih cukup bersinar terang, kekeramatan mission sacrée masih cukup menghikmati jiwa. Dalam masa Liberation, semua orang adalah pejuang, semua orang adalah pekorban, semua orang adalah baik. "There are no bad men in a battle", – "tidak ada orang yang tidak baik dalam satu pertempuran mati-matian", – demikianlah seorang panglima perang pernah berkata.

Tetapi dalam masa nation-building, bermacam-macam kesentrisan sama timbul. Di gunung, tatkala sungai menggelora terjun dari batu ke batu dan dari tebing ke tebing, maka air sungai selalu bening dan bersih. Di dataran bawah, geloranya telah tak ada lagi, alirannya telah menjadi tenang, air bening menjadi kuning, tiap-tiap putarannya menimbulkan buih.

Karena itu maka untuk keselamatan Bangsa dan Negara, terutama dalam taraf nation-building dengan segala bahaya-bahayanya dan segala godaan-godaannya itu, diperlukan satu Revolusi Mental. Ibaratnya, diperlukanlah dalam nation-building itu satu "pensucian kembali" daripada jiwa. Atau namakanlah ia "peremajaan", atau "penatalan kembali", atau "pembangkitan kembali", atau "penggeloraan kembali " , atau … apapun! Pokoknya ialah, bahwa dalam nation-building itu, dan saya ulangi: terutama dalam nation-building itu -, jiwa kita harus kita revolusikan kembali ke arah positivisme dan dinamika, kita gelorakan kembali seperti di zaman permulaan Revolusi, kita gegap-gempitakan kepada pengabdian kepada "isi" dan "wadah" sebagai di muka tadi saya uraikan. Segala watak-watak dan kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik untuk pelaksanaan "isi" dan "wadah" itu harus kita kikis habis; segala watak-watak dan kebiasaan-kebiasaan yang baik untuk pelaksanaan "isi" dan "wadah" itu harus kita timbulkan, kita hidup-hidupkan, kita bangkit-gerakkan.

Nation-building membutuhkan bantuannya Revolusi Mental! Karena itu, adakanlah Revolusi Mental! Bangkitlah!

Ya! Bangkitlah, bangkit dan geraklah ke arah pemulihan jiwa. Pemulihan jiwa untuk apa? Bangkit dan geraklah ke arah menyadari kembali cita-cita nasional, bangkit dan geraklah ke arah menyadari kembali cita-cita sosial, bangkit dan geraklah menjadi manusia baru, een herboren mens yang bekerja, berjuang, berbakti, berkorban guna membina bangsa dan masyarakat yang sesuai dengan cita-cita nasional dan sosial itu, yaitu sesuai dengan cita-cita Proklamasi. Buangkan segala kemalasan, buangkan segala ego-sentrisme, buangkan segala ketamakan, buangkan segala keliaran, buangkan segala kecowboyan, buangkan segala kemewah-mewahan, buangkan segala kepetualangan, buangkan segala kemesuman, buangkanlah segala macam keinlanderan itu , – jadilah manusia Indonesia, manusia Pembina, manusia yang benar-benar sampai kepada tulang-sungsumnya bersemboyan "satu buat semua, semua buat pelaksanaan satu cita-cita".

Inilah inti-sari daripada anjuran saya mengadakan satu Gerakan Hidup Baru, agar supaya kita dapat menyelesaikan tugas historis kita dalam masa nation-building ini dengan cara yang gilang-gemilang. Saya katakan "gerakan", oleh karena Revolusi Mental yang harus meliputi seluruh masyarakat itu tak dapat berlangsung zonder organisasi, zonder pimpinan, zonder Gerakan. "Gerakan" pula, oleh karena Revolusi Mental ini bukan bussiness satu hari atau dua hari, melainkan adalah satu hal yang berlangsung bertahun-tahun. Membaharui mentalitet satu bangsa tidak selesai dalam satu hari. Membaharui mentalitet satu bangsa bukan seperti orang ganti baju. "Een mens wordt niet verjongd als men zijn huis opkalkt", – manusia tidak berubah kalau rumahnya dikapur putih, – demikianlah Giuseppe Mazzini pernah berkata. Membaharui mentalitet satu bangsa, incluis pimpinannya, incluis golongan atasnya, – ya barangkali terutama pimpinannya dan terutama golongan atasnya -, adalah satu usaha tiap hari, satu usaha "pratidina", satu usaha "tous les jours". Ingatlah saudara, bahwa "bangsa" juga harus dibina tiap hari, bahwa "une nation est un grand bâtiment établi tous les jours?" Karena itulah perlu adanya Gerakan, perlu adanya pimpinan, perlu adanya organisasi. Dan karena itulah pula, maka 17 Agustus 1957 ini hanyalah satu hari permulaan meloncat saja, satu penetapan hari sebagai starting-day.

Ada orang berkata: Gerakan Hidup Baru ini adalah jiplakan dari New Life Movement di luar-negeri. Alangkah piciknya ucapan demikian itu. Alangkah piciknya pula ucapan bahwa Gerakan Hidup Baru itu adalah inspirasi dari R.R.T. Sebab sebenarnya tiap-tiap revolusi yang betul-betul Revolusi adalah satu Revolusi Mental. Atau lebih tegas lagi: bersyarat satu Revolusi Mental. Golongan-golongan kontra-revolusioner dalam sesuatu revolusi adalah justru golongan-golongan yang tidak mau mengalami Revolusi Mental. "Revolution rejects yesterday" kataku tadi, dan golongan-golongan kontra-revolusioner dalam sesuatu revolusi adalah justru golongan-golongan yang tidak mau "reject yesterday".

Apalagi fasenya nation-building yang penuh dengan ego-sentrisme dan penyeléwéngan dan zelfgenoegzaamheid dan materialisme dan korupsi dan kemalasan dan cowboy-cowboyan dan seribusatu macam penyakit-penyakit lagi itu, perlulah diadakan penyadaran dan penyegaran jiwa kembali. Bukan jiplakan. Bukan karena "inspirasi" dari luaran.

Ya, alangkah banyaknya penyakit-penyakit kita sekarang ini, yang meng-hambat lancarnya nationb-uilding kita itu, dan dus menghambat bahkan menyeléwéngkan pelaksanaan cita-cita politik dan cita-cita sosial kita, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Masyarakat yang adil dan makmur!

Apa sebab masuk kantor baru jam sembilan, dan jam satu sudah kukut-kukut? Apa sebab sampah mblader di mana-mana? Apa sebab kita tergila-gila barang-barang lux impor dari luar negeri? Apa sebab kita kurang menabung? Apa sebab kita cinta kemewahan luar batas? Apa sebab kita kehilangan tangkas, dan menjadi bangsa lenggang-kangkung? Apa sebab produktivitet kerja tak melebihi 50%? Apa sebab banyak di antara kita lupa akan cita-cita Proklamasi? Apa sebab kita menjadi satu bangsa yang gemar menjiplak, padahal sudah nyata apa yang kita jiplak itu merugikan kita? Apa sebab kita seperti kehilangan kepribadian sendiri? Apa sebab rasa persatuan dan kesatuan tak begitu tebal sebagai dulu? Apa sebab ada begitu banyak petualang-petualang politik? Apa sebab buih-buih timbul di Bengawan Indonesia? Apa sebab kereta-api-kereta-api kita kotor, padahal Negara belinya dengan harga mahal? Apa sebab kita masih berjalan dengan cap inlander didahi kita?

Ya, apa sebab kita masih bangsa inlander saja?

Gerakan Hidup Baru bukan hanya gerakan "hidup sederhana" saja. Dan saya rasa kaum Marhaen-pun memang sudah cukup hidup sederhana. Hanya terutama sekali kaum atasan perlu penyederhanaan, dan kita semua, – marhaen dan atasan -, perlu mendapat pengertian baru dari kata penyederhanaan.

Apa arti baru itu? Kurang dalam kita-semua menginsafi, bahwa hanya sebagian keci1 saja daripada penghasilan rakyat hingga sekarang dipergunakan untuk menambah produksi, – artinya: dipergunakan untuk memperbesar penghasilan di kemudian hari. Sampai sekarang, boleh dikatakan tiap-tiap penambahan penghasilan, betapa kecilnyapun, dipergunakan untuk menambah konsumsi, dan khususnya konsumsi yang tak begitu perlu, sepertinya pakaian baru, perhiasan, dan lain-lain.

Sebagai akibat daripada tendensi ini, maka dalam tahun-tahun yang lalu dan bagian pertama dari tahun 1957 ini, Negara hampir-hampir saja menghadapi bangkrut.

Sekarang Alhamdulillah mulailah sudah ada perbaikan. Maka dari sekarang, janganlah kita mengulangi lagi sikap-hidup yang salah itu. Pengalaman pahit dari masa yang lalu-lalu, sebaiknya menjadi pengajaran, kalau kita tak mau lebih bodoh dari keledai yang tak membenturkan kepalanya dua kali kepada batu yang sama. Hendaknya janganlah kita salah-gunakan perbaikan yang mulai timbul itu dengan mengulangi lagi sikap hidup yang dulu itu. Hendaknya kita menyeder-hanakan penghidupan-penghidupan kita dengan penyederhanaan untuk produksi, artinya: untuk meninggikan tingkat hidup kita di kemudian hari. Ini antara lain juga berarti, bahwa perhatian harus lebih ditujukan kepada produksi ekspor dan pemakaian barang bikinan Indonesia sendiri, dan keinginan untuk impor dibatasi dan dikurangi. Sebagai di muka tadi saya katakan, dengan demikian maka modal nasional untuk pembangunan niscaya akan membumbung tinggi. Penyederhanaan dalam arti inilah harus dilakukan oleh kita-semua, – oleh kaum Marhaen dan kaum atasan!

Saya ulangi: Gerakan Hidup Baru bukan hanya pergerakan "penyederhanaan" saja. Seluruh jiwa kita harus kita permudakan kembali, harus kita "cuci" kembali, harus kita "sikat" kembali. Seluruh jiwa kita harus kita "tempa" kembali, harus kita "gembleng" kembali. Buat apa "sederhana", – kalau kesederhanaan itu ya, sederhananya seorang gèmbèl yang makan nasi dengan garam saja, tidak dari piring tetapi dari daun pisang, dan tidur di tikar yang sudah amoh, tetapi yang jiwanya mati seperti kapas yang sudah basah, – "adem tentrem kadyo siniram banyu wayu sewindu lawasé" -, jiwa mati yang tiada gelora, jiwa mati yang tiada ketangkasan nasional samasekali, jiwa mati yang tiada idealisme yang berkobar-kobar, jiwa mati yang tiada kesediaan untuk berjuang, – buat apa kesederhanaan yang demikian itu?

Tidak! Kesederhanaan yang kita kehendaki ialah kesederhanaannya prajurit perjuangan yang jiwanya berkobar menyala-nyala, jiwa yang penuh dengan daya-cipta, jiwa yang laksana terbuat daripada geloranya samodra, jiwa Idealis Indonesia yang laksana terbuat daripada sinarnya bintang di langit, jiwa anti-kebekuan yang laksana terbuat daripada zatnya gelèdèk dan guntur. Kesederhanaannya prajurit yang tidak butuh kepada emas dan berlian, tidak butuh kepada nama dan kedudukan, tetapi butuh kepada pengabdian, – mengabdi kepada Tuhan, mengabdi kepada cita-cita, mengabdi kepada tanah-air, mengabdi kepada bangsa, mengabdi kepada masyarakat, mengabdi kepada Negara Kesatuan.

Saudara-saudara, camkan: – ini adalah tahun penentuan. Ini adalah "year of desicion". Tenggelamkah kita, saudara-saudara, atau terus hidupkah? Kalau kita terus-menerus lupa-diri secara begini, saya khawatir, hari-gelap akan menimpa kita. Kita sekarang harus berani. Berani mengambil keputusan. Berani meninggal-kan apa yang lama, berani memasuki apa yang baru. Yang lama sudah nyata koyak, sudah nyata robèk, sudah nyata dalam masa nation-building ini menghambat kemajuan dan membangkitkan kerèwèlan saja. Kita harus tidak ragu-ragu lagi melangkahi garis-teluh yang memisahkan yang lama dari yang baru. Kita sudah sampai kepada satu titik, darimana kita tidak bisa balik kembali. Kita sudah sampai kepada "point of no return". Kita hanya ada satu pilihan lagi: mundur?, mandek?, atau maju? Mundur – hancur! Mandek – amblek! Maka hayo kita maju, hayo kita tinggalkan apa yang lama, memasuki apa yang baru!

Hari Proklamasi 17 Agustus 1945 pun, dua-belas tahun yang lalu, adalah pula satu "point of no return". Pada waktu itu kita dihadapkan kepada satu pilihan ya atau tidak: melangkahi atau tidak satu garis-teluh yang memisahkan alam penjajahan dari alam kemerdekaan. Dan kita pada waktu itu berani memilih. Kita memilih ya. Kita melangkahi garis itu, dan ternyata pilihan kita itu adalah pilihan yang amat tepat.

Sekarang, 17 Agustus 1957, kita datang pada satu garis-teluh lagi. Kurangkah nyata adanya garis-teluh itu? Lihatlah segala kejadian-kejadian yang telah kita alami di tahun ini. Hanya anak kecil saja yang mungkin tidak mengerti, bahwa kejadian-kejadian itu adalah tanda-tanda-bahaya. Hanya anak kecil saja yang mungkin tidak mengerti bahwa kejadian-kejadian itu adalah "writings on the wall". Meski kita berkata bahwa kejadian-kejadian itu adalah memang biasa terjadi dalam masa nation-building, atau "inhaerent" pada masa nation-building yang nanti akan hanyut pula, – namun toh, – non the less – kejadian-kejadian itu adalah semuanya "writings on the wall". Janganlah abaikan writings on the wall itu!

Sebagai Presiden daripada Republik Indonesia, dan lebih-lebih lagi sebagai anak rakyat Indonesia, sekarang pada 17 Agustus 1957 ini saya mengajak kepada segenap rakyat Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke untuk melangkahi garis-teluh itu: Hayo, mari melangkah, tinggalkanlah apa yang lama, masukilah apa yang baru! Mulai hari ini, lancarkanlah Gerakan Hidup Baru!

Tak dapat saya perincikan di sini semua hal yang harus kita perbuat dalam Gerakan ini. Pemerintah dan masyarakat harus menentukan, dengan apa kita harus mulai; hari ini adalah sekedar satu hari-permulaan, satu hari "starting-day". Dewan Nasional-pun telah memajukan usul-usulnya kepada Pemerintah mengenai Gerakan ini.

Kita semua sadar bahwa tujuan Proklamasi 17 Agustus 1945 belum tercapai.

Kita semua sadar bahwa kita harus melanjutkan perjuangan untuk mencapai tujuan Proklamasi itu.

Kita semua sadar, bahwa untuk pelanjutan perjuangan itu, perlu Bangsa Indonesia mengadakan self-koreksi, menuju kepada Manusia Indonesia Baru, yang sanggup melanjutkan perjuangan itu.

Berhubung dengan itu, kita mengadakan satu Gerakan Hidup Baru dengan:

I. TUJUAN:

Gerakan Hidup Baru bertujuan melaksanakan revolusi mental sebagai persiapan membangun masyarakat yang dicita-citakan oleh Proklamasi 17 Agustus 1945.

II. ISI:

Gerakan Hidup Baru berisi revolusi mental, yaitu:

  1. Perombakan cara berfikir, cara kerja, cara hidup, yang merintangi kemajuan.
  2. Peningkatan dan pembangunan cara berfikir, cara kerja, dan cara hidup yang baik

III. USAHA:

Dimulai pada tanggal 17 Agustus 1957:

  1. Hidup sederhana,
  2. Gerakan kebersihan/kesehatan,
  3. Gerakan pemberantasan buta huruf,
  4. Membangkitkan dan mengembangkan gotong-royong,
  5. Melancarkan Jawatan dan perusahaan Negara,
  6. Gerakan pembangunan rokhani,
  7. Membangkitkan kewaspadaan Nasional.

IV. PIMPINAN:

Pimpinan daripada Gerakan Hidup Baru ada di tangan Pemerintah (sipil dan militer) dan rakyat bersama.

Demikianlah usul Dewan Nasional. Usul ini disertai dengan beberapa penjelasan. Kekurangan waktu tak memungkinkan saya untuk membaca sendiri penjelasan itu. Mana saudara sempat bacalah sendiri penjelasan itu.

Pokok dari sekalian pokok daripada Gerakan Hidup Baru itu ialah kesadaran-kesadaran yang saya sebutkan di bawah ini:

  1. Kami, Bangsa Indonesia, menyadari sedalam-dalamnya akan besarnya korban dan penderitaan lahir-bathin berjuta-juta rakyat di dalam perjuangan kemerdekaan Bangsa dan Negara, bersujud ke hadirat TUHAN Yang Maha Esa, dan berjanji tetap setia kepada Proklamasi 17 Agustus 1945.
  2. Kami. Bangsa Indonesia, demi keselamatan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945, bersedia mengorbankan segenap jiwa-raga untuk membela dan menegakkan keutuhan dan kesatuan Negara Republik Indonesia.
  3. Kami, Bangsa Indonesia, demi kebahagiaan yang merata kepada seluruh rakyat, bertekad melanjutkan perjuangan melaksanakan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, menuju masyarakat yang bebas, bersatu, adil dan makmur.
  4. Kami, Bangsa Indonesia, demi perlanjutan perjuangan itu, berkeras hati melakukan hidup baru yang berjiwa dan bersemangat Proklamasi 17 Agustus 1945.
  5. Kami, Bangsa Indonesia, demi perlanjutan perjuangan itu pula, bersedia mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan golongan atau kepentingan diri sendiri.

Saudara-saudara!, janganlah papak Gerakan Hidup Baru ini dengan sinisme. Saya tahu ada di antara kita yang memapaknya dengan sinisme. Saya tahu itu. Memang saya telah beberapa kali katakan bahwa salah satu krisis yang menghinggapi kita sekarang ini ialah "krisis cara meninjau persoalan", – yaitu krisis sinisme, krisis suka mengejek, krisis suka mencemooh. Maka tak heranlah saya, kalau sebagian daripada masyarakat kita menyongsong Gerakan Hidup Baru itu juga dengan sinisme, dengan ejek dan dengan cemooh.

Namun demikian, saya mengharap seluruh Rakyat Indonesia memasuki Gerakan Hidup Baru ini dengan kesungguhan hati yang sepenuh-penuhnya. Minimal saya minta, – janganlah althans ada golongan yang merintang-rintangi Gerakan Hidup Baru ini. Sebab sesungguhnya, maksudnya adalah baik. Maksudnya tak lain tak bukan ialah untuk mengatasi keadaan-mesum yang kita alami sekarang ini, dan untuk melanjutkan perjuangan. Kita harus bertindak, kita tak boleh menupang dagu. Mengenai diri-pribadi saya persoonlijk: sayapun tak mau menupang dagu. Saya tak mau menjadi penonton belaka keadaan-mesum sekarang ini, sambil ongkang-ongkang di atas pagar. Lebih-lebih lagi, saya tak mau sekedar mengejek, saya tak mau sekedar mencemooh. Saya ingin positif. Saya coba menyumbang. Saya mencoba bertindak. Saya tempo hari mengusulkan apa yang dinamakan "Konsepsi Presiden". Saya ikut aktif membangunkan Dewan Nasional. Saya membanting-tulang siang dan malam mengoyag-oyag rakyat supaya sedar bernegara dan sedar berpemerintah. Saya kadang-kadang jatuh sakit karena pembantingan-tulang itu. Dan sekarang saya, dengan penuh per-tanggunganjawab pula, mengajak segenap Rakyat untuk mencoba mengadakan satu Revolusi mental pada diri sendiri, dengan menjalankan Gerakan Hidup Baru.

Sekali lagi saya katakan: Gerakan Hidup Baru bukanlah satu gerakan untuk sekedar jangan berludah di mana-mana atau jangan membuang puntung rokok di lantai atau di jubin. la adalah satu Gerakan Revolusi mental. Ia adalah satu Gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia ini menjadi manusia Baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat Elang Rajawali, berjiwa Api yang menyala-nyala. Maksudnya tidak kecil. Maksudnya Besar untuk menyelesaikan satu Perjuangan yang amat Besar.

Marilah kita-semua satu-persatu mencoba menjadi Besar. Angkatkanlah diri kita di atas segala tetek-bengek yang kecil-kecil! George Bernard Shaw pernah berkata: "The true joy in life is to align oneself with some mighty purpose". "Kebahagiaan sejati ialah membaktikan dirimu kepada sesuatu yang Besar". "If you try to do great things, the shadow of their greatness partly falls upon you also". "Jika engkau mencoba berbuat sesuatu yang Besar, maka bayangan kebesarannya sebagian jatuh kepadamu juga".

Ya! Marilah kita semua satu-persatu mencoba menjadi besar. Janganlah mengatakan bahwa saya berbicara bombast atau humbug kalau saya selalu menyebut jiwa elang rajawali! Bangsa yang selalu main di kecombèran akan menjadi bangsa kecombèran. Bangsa yang berjiwa Rajawali akan menjadi sahabatnya Tuhan. Karena itu: Terbangkanlah jiwamu setinggi-tingginya, sebagai Burung Elang Rajawali, atasilah segala tètèk-bengèk yang kecil-kecil, – terbanglah setinggi-tingginya, ke angkasa, sekali lagi ke angkasa!. Kawan kita Sri Jawaharlal Nehru sering berkata: "Lord, though I live on earth, the child of earth, yet I was fathered by the starry sky". "Ya Tuhan, meski aku hidup di dunia, sebagai anak dari dunia, maka bapakku ialah angkasa yang berbintang".

Alangkah beruntungnya seorang pemimpin yang bapaknya angkasa yang berbintang, alangkah beruntungnya sesuatu bangsa, yang bapaknya angkasa yang berbintang.

Sebab bangsa yang bapaknya angkasa yang berbintang selalu dapat mengatasi segala kesulitan. Bangsa yang bapaknya angkasa yang berbintang selalu dapat mengatasi segala kecombèran!

Saudara-saudara!

Bismillah! Mulailah sekarang dengan Gerakan Hidup Baru.

Bismillah!

Sekian!

Merdeka!