SI Semarang dan Onderwijs/Bab1

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

Bahwa sekolah SI bukan seperti sekolah particulier yang lain-lain, yakni pertama sekali buat mencari keuntungan, bolehlah kita buktikan dengan bermacam-macam jalan. Bukan saja karena ongkos buat uang sekolah adalah lebih enteng, dan pengajaran ternyata lebih baik seperti keterangan anak-anak sendiri yang datang dari sekolah-sekolah partkulier, tetapi yang terutama sekali, karena hawa (=geest) di sekolah SI ada lebih sehat dan lebih dekat pada watak dan sifat anak asal dari Timur, yakni kalau kita bandingkan dengan geewst di sekolah-sekolah partikulier atau HIS Gouvernement. Nyata buat kita yang anak-anak suka bekerja keras untuk mencari kepandaian, yang perlu kelak buat keperluan hidup (seperti membaca, menulis, berhitung, bahasa dsb) pada dunia kemodalan, yang tiada mempunyai kasihan satu sama lain, pada dunia yang memberi rezeki dan keselamatan cuma pada yang kuat dan pintar saja. Itu memang kewajiban kita sebagai gurunya, supaya kelak anak-anak yang keluar dari sekolah SI cukup membawa senjata untuk perjuangan kelak dalam hal mencari pakaian dan makanan buat anak istrinya.

Pula kita tidak lupa, bahwa ia masih kanak-kanak dalam usia mana ia belum boleh merasa sengsaranya hidup dan berhak atas kesukaan bergaul sebagai kanak-kanak.

Perkara yang ketiga kita ingat juga, bahwa murid-murid kita kelak jangan hendaknya lupa pada berjuta-juta Kaum Kromo, yang hidup dalam kemelaratan dan kegelapan. Bukanlah seperti pemuda-pemuda yang keluar dari sekolah-sekolah biasa (Gouvernement) campur lupa dan menghina bangsa sendiri.

Ringkasnya maksud kita yang terutama :

Memberi senjata cukup, buat pencari penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dsb). Memberi Haknya murid-murid, yakni kesukaan hidup, dengan jalan pergaulan (verenniging). Menunjukan kewajiban kelak, terhadap pada berjuta-juta Kaum Kromo.

I. Memberi senjata cukup, buat mencari penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis, membacara, babad, ilmu bumi, bahasa Jawa, Melayu, Belanda dan sebagainya).[sunting]

Perkara yang pertama ini tidak perlu kita panjangkan. Tiap-tiap kita yang keluar dari sekolah sudah tahu, apa artinya pengajaran sekolah hari-hari. Cuma kita dengan pengajaran sekolah itu juga mesti bangunkan hati merdeka, sebagai manusia dengan bermacam-macam jalan. Lagi pula kita mesti bangunkan sifat-sifat kuno, yang terbilang baik. Nyanyi-nyanyi jawa dan wayang-wayang begitu juga menggambarkan wayang-wayang yang begitu sukar kita hargai tinggi. Dalam dua tiga hari saja dinding sekolah kita sudah penuh dengan bermacam-macam gambaran wayang (Bambang Irawan, Prabu Doso Muko, Gatot Koco dan sebagainya), yang digambar oleh anak-anak sendiri dalam waktu temponya. Dalam kepintaran menggambar ini kita sebagai guru mengaku tunduk sama anak-anak yang berumur 10 atau 12 tahun itu. Kita berani mengatakan, yang juga anak-anak eropa yang berumur sebegitu, atau lebih, mesti akan kalah sama anak-anak kita. Nah, kalau bangsa Eropa meninggikan betul kepintaran menggambar itu, lebih-lebih bangsa Belanda1, kenapa tidak dikeluarkan kepandaian yang memang tersembunyi pada bangsa jawa itu? Jawabnya: barangkali sebab pabrik gula atau kantor post lebih suka sama yang pandai menyalin kopi, atau menghitung uang masuk dan keluar, dari pada sama orang, yang pandai menggambar Doso Muko.

Perkara berhitung, tentu kita berani tanggung. Kita tahu, bahwa orang-orang sekolah kelas II dahulu lebih pintar berhitung dari keluaran sekolah HIS sekarang, seperti juga orang-orang keluaran sekolah kweekshchool 20 tahun yang lalau umpamanya, lebih gemar dan lebih pandai berhitung dari keluaran kweekschool sekarang. Tentulah bahasa Belanda itu sangat menghambat kemajuan berhitung. Juga caranya mengajar. Dahulu orang-orang itu disuruh sendirinya saja berhitung. Cuma apa yang tidak bisa saja yang diterangkan.

Bukankah seperti sekarang guru-guru mabuk methode (cara mengajar), sehingga anak-anak tidak bisa cari jalan sendiri. Kita ingat akan babad onderwijs (sejarah pendidikan) di negeri Belanda, dimana orang-orang tani desapun, beberapa ratus tahun dulunya, turut campur berhitung. Semua isi desa memikirkan suatu persoalan, dan yang mendapat pendapatan dimuliakan betul. Kita sendiri masih ingat akan masa, dimana teman-teman kita murid sekolah kelas II (bukan HIS) kesana sini pergi mencari hitungan. Di sekolah SI kita biarkan juga kemauan berhitung itu. Yang pandai kita suruh terus, beberapa kuatnya saja, sehingga sudah ada anak yang duduk di kelas IV umpamanya, yang sekarang sama kitab hitungannya dengan kelas V HIS.

Kita memang tidak pakai Rooster (daftar pengajaran) seperti HIS. Tidak saja dalam berhitung kita lepas anak-anak sebagaimana kuatnya, tetapi dalam hal mengajar bahasa (Belanda) kita melanggar Rooster. Di kelas II umpamanya duduk anak-anak ada yang sampai berumur 13 tahun. Anak-anak ini keluar sekolah kelas II. Kita mesti terima anak-anak ini. Kalau tidak tentu dia mesti mondar-mandir saja di jalan rayat, karena sekolah yang lain buatnya tidak ada, atau terlampau mahal.

Kita jangan lupa, bahwa diantaranya banyak yang kencang otak, cuma tak bisa bahasa Belanda saja. Tetapi sebab kelak perlawanannya ialah kaum modal, yang memakai bahasa Belanda, maka perlu sekali kita ajarkan betul bahasa itu, terutama untuk mengerti, baru yang kedua untuk menulis atau berbicara dalam bahasa itu. Jadi sebab anak-anak berumur 13 tahun ke bawah itu sudah bisa berhitung buat kelas II, sementara kita pentingkan mengajarkan bahasa Belanda. Tentulah sementara saja, karena kita tidak lupa akan pengajaran lain-lain.

Anak-anak keluaran kelas II itu menjadi pertimbangan yang penting sekali buat kita. Untuk mencari pekerjaan mereka itu masih amat kecil. Tetapi ia tiada bisa meneruskan pengajaran. Sebab itulah mereka itu merasa sampai hati sanubarinya dihimpit oleh kemodalan, yang memberi onderwijs (pendidikan) buat yang kaya dan yang mampu membayar saja. Inilah anak-anak yang mudah dimasuki rasa kemerdekaan karena mau naik, tetapi tiada bisa. Pemuda-pemuda semacam inilah di Rusia, yang di muka, di medan peperangan yang menahan pelornya kaum Modal, yang mempertahankan peraturan Komunisme, yang memberi kesempatan bagi kemajuan pikiran dan perasaan pada tiap-tiap manusia. Anak-anak kita di SI school yang keluar kelas II ada serupa kaumnya di Rusia tadi.

Dialah yang rajin, gemar dan kalau menyanyikan internasional (lagunya kaum yang tertindas di atas dunia), maka suaranyalah yang keras dan matanyalah yang bercahaya api, disebabkan oleh arti lagu internasional itu.

Selain dari pada vak-vak (mata pelajaran) berhitung, menggambar, bahasa itu, tentulah vak-vak ilmu bumi, babad (sejarah) dunia, menyanyi dan sebagainya kita ajarkan dengan cara dan dasar, yang cocok dengan haluan kaum SI, ialah kaum yang melarat. Semua ini belumlah program yang sempurna. Kalau ada perlu tentu disana-sini boleh dirubah.

II. Memberi haknya murid-murid, yakni kesukaan hidup, dengan jalan pergaulan.[sunting]

Kalau kita perhatikan pergaulan anak-anak di sekolah-sekolah masa sekarang, maka sia-sialah kita mencari geest (hawa) yang sepadan dengan usianya anak-anak. Murid-murid sekarang kerjanya lain tidak semacam mesin pabrik gula, yang siang malam tak berhenti bekerja. Siang malam anak-anak mesti belajar dan menghafalkan pelajaran, sehingga tiadalah berapa waktu tinggal untuk bermain-main. Lain dari pada waktu uitspanning, (main-main di pelataran) tiadalah ada mereka sanggup bercampur-campur. Satu sama lain kenalnya di kelas saja, sehingga kanak-kanak tiada merasa enaknya kumpul-berkumpul. Sifat ini kelak kalau besar akan terbawa-bawa juga, sehingga tiap-tiapnya orang suka mencari kesenangan sendiri-sendiri saja.

Anak-anak itu memangnya suka berkumpul-kumpul. Dalam permainan apapun juga, ia ada mempunyai peraturan sendiri. Sungguhpun peraturan tadi (dalam main layangan umpamanya) tidak dituliskan pada Reglement, tetapi mereka yang kecil-kecil itu tiada akan melanggar peraturan yang tetap. Dalam permainan apapun juga kita bisa pastikan, bahwa di sana ada kepala, yang menguruskan permainan, sungguhpun kepala tadi tidak dipilih dengan cara memilih seperti dalam sebuah vereeniging. Kalau ada anak yang melanggar adat bermain, mak anak itu lekas kena tegur dan kalau tiada mau mendengar, maka ia akan kena boycot.

Sifat yang batin-batin itu, mesti kita majukan, dan mesti kita sambung. Apa yang kurang mesti kita tambah. Tetapi tidak semacam guru tidak boleh jadi diktator dalam permainannya. Dia mesti merdeka sendirinya. Cuma kalau dia salah atau tidak tahu jalan, baru kita memberi nasehat.

Sifat suka bergaul itu kita sudah mencoba membangunkan sedikit dengan perkataan. Dengan lekas anak-anak kita di SI school mau mengambil buktinya. Dengan segera terdiri suatu “Commite untuk Bibliotheek” (perkumpulan buku-buku) dan baru-baru ini Commite Kebersihan, dan Voetbal Club (klub sepakbola), Coorzitter dan bestuur yang lain-lain sama sekali dipilih oleh anak-anak. Begitupun Reglementnya dibikinnya sendiri. Dalam watku uitspanning atau sesudah sekolah, maka kita melihat mereka sering mengadakan Vergadering, untuk merembukkan ini itu. Dalam Vergadering SI (orang besar) anak-anak kita yang berumur 13 atau 14 tahun itu sudah pernah bicara, di Semarang ataupun Kali Wungu.

Sedangkan orang-orang tua dan pintar masih gentar dan takut bicara di muka orang banyak; tetapi anak-anak SI school sudah pernah menarik hati orang-orang tua, lantaran keberaniannya. Mereka yang kecil, yang memakai selempang, ditulis dengan rasa kemerdekaan, anak-anak yang berpidato dan menyanyikan internasional, sudah pernah menjatuhkan air mata beberapa lid SI yang mengunjungi Vergadering.

Anak-anak kita akan terus bikin propaganda untuk Bibliotheeknya tadi. Selama ini disambut dengan girang hati. Begitu juga murid-murid SI ada berpengarapan, yang kasnya akan lekas terisi derma, dan lemarinya akan terisi buku-buku, yang dikehendakinya.

Dalam hal organisasinya tadi, kita hampir tiada menolong apa-apa, karena maksud kita bukan hendak mendidik anak-anak jadi Gromopon. Kita mau, supaya dia berpikir dan berjalan sendiri.

Besar pengharapan kita, bahwa kelak Vereeniging yang lain-lain seperti tooneel (komidi, sandiwara), wayang menyanyi, surat kabar dan lain-lain, yang setengahnya sekarang masih dalam pikiran saja akan hidup dan maju seperti “Vereeniging Bibliotheeknya” ini.

III. Menuju kewajibannya kelak, terhadap pada berjuta-juta Kaum Kromo[sunting]

Ini maksud mudah dituliskan, tetapi tiada mudah disampaikan. Kita jangan lupa, bahwa kita mengajar kanak-kanak, yang belum pernah membanting tulang sendiri buat mencari penghidupan untuk anak istrinya. Seorang yang mempunyai hati dan pikiran yang suci mudah kemasukan iblis, kalau sudah ditimpa bahaya kemelaratan hidup. Demikian juga kelak anak-anak keluaran SI tentu akan ada juga yang pecah iman, kalau mesti masuk pada neraka kemodalan. Hal itu tentu tiada boleh menakuti kita; hanyalah menambah memaksa memikirkan daya upaya, supaya anak-anak keluaran sekolah SI jangan kelak membelakangi Rakyat.

Kalau kita periksa dalam-dalam segala perkara-perkara yang memisahkan pemuda-pemuda keluaran sekolah Governement dari Kaum Kromo, maka ternyatalah, bahwa perkara-perkara itu mesti dicari pada sifatnya didikan sekolah-sekolah tersebut.

Di sekolah Governement diajarkan kebersihan pada murid-murid, tetapi tiada dibilang, bahwa Kromo tiada tahu, apa yang bersih, kalau tahu apa bahaya kekotoran. Nanti kalau murid-murid ini sudah besar, maka tiadalah sedikit juga kehendak padanya untuk membangunkan kebiasan kebersihan itu pada kaum melarat itu. Tidak, malah mereka dalam batinnya turut benci pada si Kromo yang kotor katanya itu, dan turut membilang, bahwa kekotoran itu memang sudah sifatnya si Kromo. Jadi didikan sekolah Governement semacam itu, yang tiada disertai kecintaan atas Rakyat, tiada menanam kewajiban buat menaikkan derajat Rakyat menyebabkan, maka didikan itu menimbulkan suatu kaum (bernama kaum terpelajar) yang terpisah dari Rakyat.

Tentulah tiada perkara kebersihan saja yang mendatangkan pisahan itu. Juga kepandaian, adat istiadat, yang didengarkan atau dibacanya dalam sekolah, sama sekali tidak menanam belas kasihan pada Kromo. Dan kalau tiada dibangunkan rasa kewajiban dan kecintaan, maka sudahlah tentu yang bersih pandai dan sopan itu tiada akan tahu menahu yang kotor, bodoh dan biadab, kata kaum sana itu.

Perkara juga yang bisa mendatangkan pisahan itu ialah perceraian kerja tangan dan kerja otak. Sekolah biasa dianggap cuma buat mencari kepandaian otak saja. Itulah pula kerjanya anak-anak itu hari-hari. Dahulu kala, dan sekarang juga, anak-anak itu di desa turut mencangkul atau bertukang. Semuanya dilakukannya dengan kegemaran. Tetapi pada sekolah zaman sekarang bertukang atau mencangkul itu cuma dilihatnya saja baik dalam perjalanan atau pada gambar-gambar sekolah. Kalau pekerjaan-pekerjaan itu dilakukan oleh kaum kotor, bodoh dan sebagainya, heranlah kita, kalau pemuda-pemuda yang bernama terpelajar itu kelak berpikir: Kerja tangan itu rendah sekali?

Di sekolah SI tidak saja dibilang apa yang bersih, tetapi diajarkan sendiri mencari kebersihan. Jongos-jongosan tidak ada.

Baru-baru ini sesudah kita mencela kekotoran sekolah dan perkakasnya sekolah kita sendiri, maka segera dibangunkan “Commite kebersihan”, Commite inilah yang menjaga supaya segala pekerjaan berhubung dengan kebersihan sekolah (bangku, bord, dsb) dilangsungkan. Kalau sekarang belum pukul delapan kita memasuki kantor SI maka kelihatanlah anak-anak yang bersingsing lengan baju, memegang kain atau ember untuk membersihkan bangku atau bord (papan tulis). Ini kemajuan besar. Karena, kalau 2 atau 3 bulan yang lalu, kita sedikit minta tolong, umpamanya membersihkan papan, maka kita lihat muka yang seolah-olah mau berkata : “Ini pekejaan jongos”.2

Memandang rendah pada pekerjaan tangan, yakni kerja ibu bapaknya hari-harian, itulah yang mau kita perangi dengan sekuat-kuatnya. Anak-anak mesti cinta pada segala macam pekerjaan yang disahkan (halal).

Sesudah kita bisa buang sifat didikan yang bisa mendatangkan benci pada kaum Kromo (yang kerja tangan) itu, maka harus kita perhubungkan anak-anak kita dengan kaum melarat. Itulah gunanya, kalau ada tempo kita membicarakan nasib si kromo; kita menanam hati belas kasihan sama bangsa yang tertindas; kita menunjukkan kewajiban sebagai anak kaum yang tertindas itu. Sebab itulah kita membangunkan hatinya, supaya berani bicara dalam Vergadering SI, atau Vergadering Kaum Buruh.

Bijak dan berani berpidato, yakni kepandaian yang dimuliakan oleh segala bangsa yang merdeka, baik dahulu, baik sekarang, bisa ditanam cuma dengan jalan Vergadering saja. Kalau kita amat-amati pemimpin-pemimpin muda kita, baik dalam Commite Bibliotheek, “Commite kebersihan” atau “Voetbal Club” dalam Vergaeringnya masing-masing, maka mudah kita saksikan, bahwa dalam Vergaderingnya itu ada orde (aturan), dan ada hati sungguh (baik dari pihak speker (pembicara) ataupun yang mendengar). Kadang-kadang kita heran melihat, bagaimana seorang kanak-kanak bisa mengenggam Vergadering yang dikunjungi oleh lebih kurang 180 anak-anak. Vereeniging inilah suatu sekolah, yang besar artinya untuk mendidik rasa dan hati mereka; mendidik untuk memikirkan dan menjalankan peraturan buat pergaulan hidup, mendidik untuk fasih dan berani bicara, didikan mana dalam zaman perbudakan ini lebih besar harganya dari pada mengetahui, berapa banyaknya sungai-sungai di pulau Borneo umpamanya.

Kalau kita bisa menyambungkan perkumpulannya dalam sekolah itu dengan perkumpulannya ibu bapaknya seperti Serikat Islam, maka rasanya kelak, kalau ia keluar sekolah tidak akan berpisah dengan ibu bapaknya itu. Sebab itulah maka kalau ada vergaering SI Semarang, kita mengajak anak-anak yang sudah mengerti, mengunjungi vergadering tadi.

RINGKASNYA :

Di sekolah anak-anak SI mendirikan dan menguruskan sendiri pelbagai-bagai vereeniging, yang berguna buat lahir dan batin (kekuatan badan dan otak). Dalam urusan vereeniging-vereeniging tadi anak-anak itu sudah belajar membikin kerukunan dan tegasnya sudah mengerti dan merasa lezat pergaulan hidup. Di sekolah diceritakan nasibnya Kaum Melarat di Hindia dan dunia lain, dan juga sebab-sebab yang mendatangkan kemelaratan itu. Selainnya dari pada itu kita membangunkan hati belas kasihan pada kaum terhina itu, dan berhubung dengan hal ini, kita menunjukkan akan kewajiban kelak, kalau ia balik, ialah akan membela berjuta-juta kaum Proletar. Dalam vergadering SI dan Buruh, maka murid-murid yang sudah bisa mengerti, diajak menyaksikan dengan mata sendiri suaranya kaum Kromo, dan diajak mengeluarkan pikiran atau perasaan yang sepadan dengan usianya (umur), pendeknya diajak berpidato. Sehingga, kalau ia kelak menjadi besar, maka perhubungan pelajaran sekolah SI dengan ikhtiar hendak membela Rakyat tidak dalam buku atau kenang-kenangan saja, malah sudah menjadi watak dan kebiasannya masing-masing.