Rimba-Rimba/Bab 6

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

Rimba-Rimba


TRAGEDI SEBUAH TRUK

Tidak lama setelah perpisahan itu, Johan melihat sebuah truk tua yang bergerak pelan di pinggir rel kereta api. Ia pun mendekat ke arah truk itu.

"Pak, tujuannya ke arah mana? Boleh saya menumpang?" katanya pada sopir.

"Ke mana?" kata sopir dengan mimik curiga.

"Alahan Panjang."

"Naiklah di belakang? Kebetulan saya juga ke arah situ."

Johan melompat naik ke belakang truk itu. Beberapa orang yang juga hendak menumpang sudah tidak bisa lagi. Si sopir sudah menekan gas dengan kencang.

Ternyata di belakang juga sudah ada lima orang yang duduk. Mereka saling berpandangan. Cemas. Ketakutan. Pucat.

Rimba-Rimba

Tidak ada yang memulai pembicaraan. Semua sibuk mengurusi kecamuk diri masing-masing. Johan juga tidak mau memulai pembicaraan. Ia tidak tahu, orang-orang ini entah mau kemana, entah siapa, entah berpihak dimana. Situasi kian tidak menentu.

Ia masih kata Guru Yunus, yang menyerbu Sumatera Barat sekarang ini tidak hanya tentara pusat, namun juga disusupi antek komunis.

"Kalian harus hati-hati kalau di luar. Jangan asal bicara," ujar Guru Yunus suatu ketika. Ia tahu, partai komunis di Sumatera Barat juga sangat besar pengaruhnya.

Johan memilih untuk diam di tempatnya berdiri dan tidak memandang ke arah manapun. Letih berdiri, dia pun duduk. Tapi, duduk sungguh tidak nyaman karena tiap sebentar bus menghantam lobang dan melalui jalan yang kasar. Johan masih bungkam. Ia tidak mau duluan untuk berbicara.

Ia takut jangan-jangan orang yang bersamanya saat ini adalah tentara pusat yang menyamar. Atau bagaimana kalau orang komunis? la tahu orang komunis tidak menyukai anak pesantren.

Bisa saja orang yang ada di depannya adalah orang komunis yang juga ikut mengungsi. Jangan-jangan di dalam bajunya tersembunyi pistol. Bukankah dia selalu mendengar penjelasan di pesantren tentang kebencian kaum komunis terhadap orang-orang pesantren.

"Aku harus bisa membaca keadaan. Harus hati-hati jika bicara," pikir Johan.

"Mau kemana Nak?" tegur salah seorang dari mereka.

"Ke Alahanpanjang. Bapak sendiri kemana?".

Rimba-Rimba

"Ke Surian, mengantar barang-barang ini?" katanya pelan.

Kemudian ia melihat ke sudut. Di sana terdapat beberapa karung dan juga beberapa peti.

"Apa isi yang di karung Pak?" tanyanya lagi.

"Sekam untuk makanan kuda? Di Solok ini kualitas sekamnya bagus, tidak sama dengan sekam yang ada di Surian. Walau keadaan sudah kacau Nak, tetapi kuda-kudaku harus tetap makan. Hanya kuda-kuda itulah tumpuan keluarga kami.”

“Ooo."

"Kuda?"

"Iya. Memangnya kenapa?"

"Tidak apa-apa."

"Diambil dari huller di Solok ini? Beras solok terkenal nikmat, sekamnya pun lezat di lidah kuda," tambahnya.

"Ya."

Johan memutar otaknya. Sepanjang yang ia tahu di daerah Surian tidak ada orang yang memelihara kuda. Jangan-jangan orang ini salah ucap. Tapi ia tidak mau terlibat lebih jauh. la tahu, hal itu tidak menguntungkannya. Jangan-jangan orang-orang itu memang komunis dan mereka tahu ia adalah santri di Padangpanjang. Pistol itu akan meledak atau sebuah golok mendarat pelan-pelan di lehernya ketika ia sedan lengah.

"Sreett..."

Lehernya putus. 'Aku tidak boleh lengah," ujarnya.

Truk itu terus berlari. Walau jalan berlobang dan sempit, namun sopir terlihat lihai. Lobang-lobang di jalan tidak ada artinya. Semuanya dihantam begitu saja. Di

Rimba-Rimba

jalan-jalan situasi serba mencekam. Banyak orang yang memandang curiga atau menyetop mobil itu.


"Apa isinya?"

"Sekam untuk kuda?"

"Kuda di mana?"

"Surian."

"Baik, jalan," ucap salah seorang di pos jaga.

Johan mulai curiga. Perkataan mereka seperti kata sandi didengarya.


Jalan-jalan sudah mulai dijaga. Hampir tiap sepuluh kilo meter ada satu pos. Johan sendiri tidak tahu pasukan mana yang ada di pos itu. Yang jelas ia tidak melihat seorangpun petugas berbaju loreng. Berarti yang menjaga adalah tentara PRRI?

Ketika sampai di kebun teh, kebun terkenal peninggalan Belanda itu, terdengar suara mendengung di udara. Semua yang ada di dalam truk saling pandang. Kemudian tiba-tiba dari arah langit bagian utara sebuah pesawat menukik tajam.

Sopir membanting stir ke arah pepohanan di sisi kanan. Namun terlambat. Pesawat itu sudah kian mendekat. Semua yang ada di truk itu berhamburan keluar.

Johan langsung melompat turun dan bersembunyi di balik sebuah batang kayu. Sementara sopir truk masih berusaha untuk menyelamatkan truknya.

Tembakan-tembakan dari pesawat terdengar mendesing dan menyayat. Sopir truk melompat keluar. Namun malang baginya, ia tertembak.

Sebuah peluru menembus dadanya. Ia terkapar. Sementara orang tua yang tadi berbicara dengan Johan tidak kelihatan entah menyuruk dimana.

Rimba-Rimba

"Sekam....amankan sekam," hanya itu kata-kata terakhir yang keluar dari mulut sopir truk malang itu.

Itulah pertama kali Johan melihat orang mati di depannya. Mati yang tak bisa ditolong dengan cara apapun.

"Mereka mati. Mati..." teriaknya.

Asap mengepul dari bekas tembakan

Johan masih terlihat pucat. Tetapi sebagai santri yang sudah terbiasa dalam didikan keras ayahnya yang mantan pejuang 45, ia mesti terlihat tenang.

Tak lama ia melihat lelaki tua yang berbicaranya dengannya tadi muncul dari balik semak. "Alhamdulillah Kau selamat Nak," ujarnya.

Ia pun mendekat ke arah si tua itu. Mereka saling terharu.

"Sebenarnya pesawat itu mengincar isi truk ini?" ujarnya tiba-tiba. Johan terkejut.

"Saya Khaidir. Saya tentara PRRI."

Johan mengangguk pelan. Kemudian Khaidir memberinya sebatang rokok daun enau. Semula ia menolak karena memang tidak perokok. Namun situasi membuat dia mengambil sebatang. Sekali diisap dia pun langsung batuk-batuk.

"Lalu apa muatan truk itu. Mengapa pesawat itu ingin menghancurkannya?" tanya Johan.

Khaidir tidak segera menjawab.

"Kita tidak boleh berlama-lama. Sebentar lagi pesawat itu akan kembali," katanya.

"Lalu mereka yang mati bagaimana? Setidaknya kita mengubur dulu.`

"Tidak perlu. Mayat mereka nanti ada yang akan mengurus. Sekam mesti diselamatkan sebelum jatuh ke

Rimba-Rimba

tangan mereka. Mungkin saja saat ini mereka ada di belakang kita."

Johan mengangguk. "Yang pasti kita mesti pergi dari sini sebelum mereka datang. Kalau mereka mendapati kita di sini, itu artinya mati."

"Baiklah. Kita memang harus pergi. Tapi siapa yang bawa truk?"

"Saya tidak bisa. Apa kamu bisa?" tanya Khaidir.

Untung saja selama di pesantren Johan sering membawa sayuran dari kaki Gunung Marapi dengan truk tua satu-satunya kepunyaan pesantren. Dari situlah ia pandai membawa mobil. Lagipula ia tidak punya pilihan. Kampungnya masih jauh. Tidak ada salahnya ia ikut membantu.

"Baiklah, naik. Tapi saya tidak terbiasa dengan truk besar," katanya.

Johan langsung mengemudikan truk tua itu dengan cepat. Lobang-lobang di jalan dihantamnya saja karena ingin bergegas dan ketakutan.

Sesekali jalan truk tidak teratur. Kadang miring ke kanan adakalanya terlalu mengambil jalan ke kiri. Namun Johan tidak peduli semua itu, yang ia tahu, ia harus segera pergi secepatnya dari lokasi itu.

"Sebenarnya apa yang sedang kita bawa ini?"

Johan menduga lelaki tua ini bukan orang sembarangan. la pasti punya kedudukan tinggi dalam PRRI. Walau sudah berterus terang kalau isi truk itulah yang jadi incaran pesawat tentara pusat itu, namun ia masih berkilah dan belum mengatakan apa yang mereka bawa sebenarnya.

“Jadi apa isi truk ini dan mau dibawa kemana?” "Sekam. Cuma itu," seutas senyum menyembul dari bibir tua itu. Setidaknya kali ini ia berusaha tersenyum karena jalanan relatif aman.

Truk berhenti mendadak. Johan menekan pedal rem.

"Saya tidak mungkin mengorbankan nyawa untuk sekam makanan kuda."

"Baiklah. Karena kamu sudah saya anggap sebagai anggota tentara rimba, saya akan berterus terang." ujarnya mulai menggoda Johan. Johan menebak lelaki tua ini pasti ahli psikologi yang bisa bermain dengan perasaan. Kini pikirannya mulai sedikit tenang karena tidak terdengar bunyi pesawat lagi.

"Tentara rimba? Pak..., saya cuma menolong membawa truk ini. Lagipula saya hanya menumpang untuk pulang. Bukan berarti saya tentara rimba kan?”

"Mau tidak mau, kamu mesti terlibat. Dan sekarang contohnya, wajah kamu sudah dikenali intel-intel tentara pusat. Jangan-jangan di antara intel tadi ada agen Sabirin. Mereka akan memburu kamu," katanya menakuti Johan.

"Agen Sabirin? Siapa dia?"

"Agen komunis yang handal. Ia mengerikan. Sudah terlatih."

"Baik saya akan bantu, Tapi hanya sampai Alahanpanjang. Setelah itu Bapak yang bawa truk ini lagi."

"Ha ha ha. Saya tidak bisa bawa truk."

Johan mendelikkan matanya.

"Anak muda. Tanah airmu sedang bergolak. Negerimu sedang butuh bantuanmu. Tidakkah Kau peduli. Setidaknya untuk menjaga kampungmu. Apa nama kampungmu?"

"Aie Dingin." "Aie Dingin?" lelaki itu bertanya.

"Ada apa?”

"Tidak ada apa-apa. Ya, setidaknya untuk menjaga Aic Dingin dari jamahan antek-antek komunis."

"Apa? Komunis?"

"Ya. Mereka sudah mendarat dan akan menyebar dengan cepat."

"Dari mana Bapak tahu?"

"Ha ha ha...seorang mantan mata-mata masih punya banyak mata dan punya banyak telinga."

Johan terhenyak. Semula ia masih ragu-ragu untuk mendengar lebih lanjut. Karena ia pikir, ini hanya persoalan PRRI dengan tentara pusat. Namun jika sudah menyangkut komunis dan PKI, tidak ada alasan. Ia mesti ambil bagian. Lagipula, di tengah situasi tak menentu, apa yang bisa diperbuatnya. Lelaki tua itu bisa siapa saja, barangkali agen komunis yang akan membunuhnya jika ia lengah.

"Baiklah. Lalu apa isi truk ini?"

"Cuma senjata untuk modal pemberontakan."

"Senjata?"

"Ya. Senjata untuk modal berperang. Kita tidak akan bisa menang kalau tidak ada senjata bukan?"

"Dari mana semua ini berasal?" selidik Johan yang waktu itu masih menganggap semua hanya candaan lelaki tua itu.

"Ini bantuan cuma-cuma dari Mister Tua.”

"Mister Tua? Maksudnya?"

"Ha ha ha. Nanti kamu akan tahu sendiri apa maksudnya."

Tepat di pos Simpang Nan Ampek, beberapa penjaga menyetop truk yang mereka tumpangi. Lelaki tua itu, mungkin dia sudah putus asa. Tidak ada cara lain baginya kecuali berterus terang terhadap Johan. Sangat kecil kemungkinan untuk bisa meloloskan truk sampai ke basis PRRI di Sangir, Solok Selatan. Perjalanan masih panjang, setidaknya mesti menempuh 100 kilo meter lagi.

"Apa yang dibawa dan mau kemana?" teriak penjaga.

"Sekam untuk makanan kuda di Surian?"

"Sekam? Apa perlu kami cek?"

"Tidak usah. Ini hanya untuk kuda beban."

"Kuda beban?"

"Ya. Untuk pengangkut barang."

Johan mendengar semua perkataan orang itu. Ia tahu itu pasti kata-kata sandi yang punya makna. Tapi ia tidak tahu apa maknanya.

"Baik. Lapor dulu kepada komandan di dalam."

"Baiklah."

"Nak, siapa namamu tadi?”

"Johan."

"Ya, Johan, jika dalam lima menit saya tidak keluar. Kamu bawa truk ini sejauh mungkin. Secepat mungkin. Jangan pedulikan saya. Nanti ada yang akan menunggu truk ini di jalan," katanya. Johan tidak mengerti. Hanya saja bulu kuduknya berdiri.

"Baiklah. Tapi mengapa?"

"Jangan banyak tanya. Kerjakan saja. Saya curiga kepada orang-orang ini."

Hanya itu kata-kata Khaidir. Ia sudah merasa putus asa sejak pesawat itu menembaki mereka. Dia tidak tahu, siapa yang membocorkan rahasia itu. Pasti ada pengkhianat. Padahal semuanya sudah disusun secara rapi dan sangat matang. Sudah lewat lima menit namun Khaidir tidak juga menampakkan batang hidungnya. Sesuai kata-kata tadi, Johan mesti membawa kabur truk itu. Ia tahu apa yang mesti dilakukannya.

Johan menekan pedal gas sekuat-kuatnya. Lari truk tidak beraturan. Namun ia mesti lari dengan cepat. Samar-samar ia mendengar tembakan dari belakang. Johan kian mejauh. Semua penjaga di pos itu ingin mengejarnya, namun tidak jadi.

"Dor...dor...”

Beberapa letusan didengarnya. Mungkin saja Khaidir yang ditembak mereka. tapi Johan tidak peduli. la harus lari dengan cepat.

la ketakutan dan tidak menyangka semua itu akan terjadi. la ingin saja meninggalkan truk itu untuk menghilangkan tanggung jawab. Tapi ia yakin, ia butuh truk itu agar cepat sampai di kampung.

Apalagi kata Khaidir tadi ada benarnya juga. Wajahnya sudah dikenali musuh. Apalagi sekarang ia melarikan truk. Apalagi ia yang membawa mobil, pasti akan dikira dia adalah orang penting dari pasukan rimba.

Johan tidak mengerti apa yang terjadi. Tapi yang pasti, ia harus membawa lari truk itu dengan semua sekam muatannya. Kini truk itu dan semua barang yang ada di dalamnya adalah miliknya dan ia tahu tempat untuk menyembunyikan truk itu. Sebuah tempat yang tak akan mungkin ditemukan dalain waktu cepat. Lantas, truk itu disembunyikannya dengan sempurna.

'Mengapa saya jadi terlibat dengan semua ini?' batinnya. Tiba-tiba ia merasa dirinya seperti seorang pahlawan, bukan seorang santri. Jika aku ceritakan kisah ini kepada Syabilla, akankah ia percaya?" batinnya. Kini ia sudah merasa seperti pasukan rimba, dan Syabilla pastilah bangga.

Kemudian ia meneruskan perjalanan ke rumahnya dengan sebuah sepeda tua yang dipinjamnya dari warung, kebetulan yang punya warung masih ada hubungan keluarga dengannya. Namun keletihan yang sangat membuatnya tidak berniat melanjutkan perjalanan di tengah kegelapan malam. Ia menumpang tidur di rumah seorang warga.

Rimba-Rimba