Rahasia Doni

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Rahasia Doni
oleh Ismanidar
52524Rahasia DoniIsmanidar

Rahasia Doni

Ismanidar

SMA 3 Bukittinggi


Nmanya Doni, nama yang sederhana. Tapi, aku tak tahu mengapa aku selalu memikirkannya. Usianya 15 tahun. Hanya sayang, dia lupa masa lalunya, yang diingatnya hanyalah dia pernah kecelakaan dan dirawat di rumah sakit. Kemudian, panti asuhan bermurah hati merawatnya. Di sanalah ia sampai sekarang.

Hal lain yang menarik dari dirinya adalah dia pintar melukis. Melihatnya melukis, aku jadi teringat masa mudaku yang memang kuhabiskan untuk bergelut dengan kuas dan cat lukis. Sungguh, gaya melukisnya pun sangat mirip dengan gayaku dulu.

Semua itu membuat aku makin tertarik untuk mengenalnya. Untunglah galeriku dapat menam-


94

pung karya-karya lukisnya.

"Setidaknya, saya bisa menabung untuk biaya kuliah saya nanti," ujarnya ketika kutanya.

"Memangnya, Doni mau kuliah di mana?" tanyaku lebih lanjut.

"Saya ingin seperti Raden Saleh," Doni tersenyum.

"Saya ingin kuliah di IKJ jurusan Seni Lukis. Bisa melukis apa saja yang saya mau, bahkan....." ia berhenti, matanya menerawang jauh.

"Bahkan melukis ibu, jika saya bisa," dia mengucapkan kata-kata itu seolah-olah hal itu sangat mustahil dilakukannya.

"Kenapa tidak mencobanya dari sekarang?" tanyaku hati-hati.

"Saya tahu, saya masih bisa merasakan kasih sayang ibu, untuk mengobati kerinduan saya. Tapi, saya tidak tahu siapa ibu dan di mana ia sekarang. Bahkan, saya tidak tahu siapa diri saya sendiri." Dia menengadah, mencoba menahan aliran air matanya.

Dalam hati aku berpikir, “Aku bahkan lebih lemah dari Doni. Waktu Ina pergi, aku bahkan tidak sanggup melihat dunia walaupun sebenarnya kuakui akulah yang menyuruh Ina pergi. Aku meninggalkan lukisan-lukisanku, membuangnya hingga kemudian Harry, temanku, merawatnya dan memasukkannya ke museum.

"Ah, sudahlah," kembali Doni buka suara, "Hidup di sini menyenangkan, kok, di sini saya punya banyak orang tua yang menyayangi saya, juga saudara-saudara yang mau berbagi dengan saya."

Aku tersenyum, "Tak satu pun yang dapat kau ingat?”

"Saya cuma ingat, saya pernah punya keluarga, punya ibu yang menyayangi saya."

"Punya ayah juga, tentunya?"

"Mungkin, tapi saya tidak yakin," pernyataannya membuatku heran.

"Kenapa?"

"Saya sendiri tidak tahu, saya hanya merasa ayah saya tidak menyayangi saya, mungkin juga tidak menyayangi ibu," Doni tersenyum pahit. “Mungkin itu cuma pikiran kelam tentang masa lalumu. tidak mungkin seorang ayah tidak menyayangi anak dan istrinya, kan?”

Doni tidak menjawab, tapi aku tahu dia tidak setuju dengan pendapatku. Setidaknya, hal itu tidak berlaku untuk keluarganya.

Sejak saat itu aku sering mengunjungi Doni, entah kenapa aku merasa tertarik untuk menyingkap rahasia hidupnya.

***

Hari ini ada tawaran menarik untuk Doni. Seorang pengusaha sukses sekaligus pengamat seni asal Jepang tertarik dengan lukisannya. Tuan Tanaka, pengusaha tersebut sangat tersentuh dengan lukisan Doni yang bertema “Kasih Sayang”. Ketika berkunjung ke galeriku, ia memintaku untuk mengenalkannya pada Doni.

“Akan ada bea siswa dari The Japan Foundation untuk misi budaya seperti ini,” jawabnya ketika kutanya.

“Wah, ini sebuah kejutan. Aku yakin, Doni pasti senang, apalagi untuk belajar ke Jepang, seperti yang dikatakan Tuan Tanaka.

Sore ini aku bermaksud menemui Doni di panti untuk menyampaikan berita gembira tersebut.

“Jaga rumah baik-baik, ya, Bik,” pesanku pada Bik Siti

“Saya mau ke tempat Doni, mungkin malam baru kembali.”

“Baik, Tuan,” Bik Siti tidak membantah.

“Saya pergi, Bik,” kustarter honda astreaku dan melaju dijalan beraspal. Tak sengaja dari balik kaca spion, kutangkap raut muka Bik Siti yang lain dari biasanya. Ekspresi apa itu? Cemas? Atau takut? Aku jadi ingin berbalik dan bertanya pada Bik Siti. Tapi, pikiran lain membatalkan niatku.

“Ah, bisa kutanyakan nanti malam atau besok,” begitu pikirku.

Kembali kupusatkan perhatian pada keramaian lalu lintas.

“Hm, Jakarta semakin ganas,” gumamku ketika kusadar betapa banyaknya para pengemudi yang mengemudika? kendaraan dengan seenaknya.


96

Beberapa kali aku terjabak macet. Tentu saja hal ini membuatku tiba di panti jauh lebih lambat dari biasanya. Kubayangkan bagaimana reaksi Doni mendengar berita yang akan kusampaikan ini. Dia tentu gembira sekali.

"Doni baru saja pergi," aku tersedak mendengar ucapan Tanto, pengurus rumah tangga panti.

"Yaah, saya rasa Doni terlalu memaksakan diri. Dia selalu saja merasa bahwa dia amat sering menyusahkan kami dan kemudian ingin berbuat heboh banyak lagi untuk membalas jasa kami," Tanto berhenti bicara.

"Maaf, Dik, pertanyaan saya belum terjawab," aku menyela hati-hati.

"Oh, maaf," Tanto tersipu, merasa terlalu banyak bicara.

"Doni pergi ke Sanggar Citra. Di sana ia mengajarkan dasar-dasar melukis kepada anak-anak sanggar."

"Sejak kapan dia mengajar di sana?" tanyaku lagi.

"Dua bulan yang lalu, ketika Bapak Mardison, pimpinan sanggar, mengetahui kemampuan melukisnya dan kemudian memintanya mengajar di sana," Tanto menjelaskan.

Aku termangu. Betapa besar keinginan Doni membalas jasa para pengasuhnya. Andai semua anak muda bersikap seperti Doni, betapa damainya hidup ini.

"Hebat, memang," suara Tanto memutuskan lamunanku. Padahal, Doni sendiri tidak pernah belajar melukis secara formal. Ia hanya belajar dari melihat, melukis, dan memang bakat alaminya.

Tanto terus bercerita tentang keseharian Doni yang begitu sederhana, giat, rajin, dan tidak mudah mengeluh. Sampai saatnya aku pulang, Tanto masih terus bercerita hingga aku jadi lupa tujuanku datang ke sana.

"Saya sangat berharap dia dapat meraih cita-citanya?" ujar Tanto akhirnya, ketika aku pamit.

"Kita semua tentu berharap begitu," jawabku. Tetapi, tentu saja Tanto tidak mendengarnya karena aku hanya mengucapkannya dalam hati.

Besoknya Doni muncul di rumahku. Baru aku ingat kembali tentang tawaran bea siswa untuk Doni.

"Mas Tanto bilang, kemarin Bapak mencari saya?" Doni bertanya setelah kupersilakan minum. “Memang, benar,” jawabku seadanya.

“Maaf, kemarin saya ke sanggar. Melatih adik-adik sanggar melukis.”

“Doni..!”

“Ya, Pak.”

“Kurasa kau terlalu memaksakan diri. Maaf, kalau aku terlalu mencampuri. Pikirkan juga dirimu sendiri. Masa depanmu. Lagi pula, bukankah kontribusimu terhadap panti sudah terlalu banyak. Sebagian hasil penjualan lukisanmu digunakan untuk membiayai kebutuhan rumah tangga panti, bukan?”

Doni mengangguk dan tersenyum. “Tapi, tetap saja tidak mencukupi,” gumamnya seolah-olah pada diri sendiri. Lalu, tanpa menunggu komentarku, dia bertanya.

“Ada hal penting yang ingin Bapak bicarakan dengan saya?”

Aku terkejut. Rupanya Doni tidak ingin aku terlalu mencampuri urusannya.

“Ada bea siswa untukmu?” ujarku pada pokok permasalahan.

Kutunggu reaksi Doni. Dia hanya tersenyum tipis.” Dari siapa?” tanyanya datar.

Aku masih termangu melihatnya tidak terkejut, apalagi gembira. Doni terpaksa mengulangi pertanyaannya.

“Bea siswa dari siapa Pak?”

“Eh, dari....dari The Japan Foundation. Tuan Tanaka kemarin memberitahuku. Katanya, dia ingin bertemu denganmu.”

“Tuan Tanaka? Siapa dia?”

“Salah seorang peminat lukisan. Dia tertarik dengan lukisanmu.'

“Lantas, kapan dia ingin bertemu dengan saya?”

“Lusa, dia akan mengambil lukisannya. Datang saja ke galeri sekitar pukul 2.00 siang.”

Doni tidak menjawab. Wajahnya tanpa ekspresi sehingga aku tidak dapat mengetahui apakah dia gembira atau tidak mendengar berita itu.

“Doni,” kucoba memandang bola matanya untuk mengetahui isi hatinya. Tapi, tidak. Tidak ada apa-apa disana


98

"Kamu gembira tidak, mendengar hal ini?"

Kembali Doni tersenyum tipis.

"Saya tidak tahu," jawaban Doni membuatku makin terkejut.

"Saya rasa, masih ada orang lain yang berhak mendapatkannya."

"Apakah itu berarti kamu tidak merasa berhak mendapatkannya?"

Kembali Doni menggeleng, "Saya tidak tahu."

"Hm, aku tidak pernah bisa memahami cara berpikirmu, Doni," ujarku setengah mengeluh.

Doni mengangkat bahu.

"Tapi, walaupun begitu, kamu tidak keberatan, kan?" tanyaku agak khawatir.

Tentu saja tidak, Pak, Insya Allah, saya datang," Doni tersenyum. Aku juga tersenyum. Selanjutnya, pembicaraan beralih pada pameran seni lukis yang tinggal satu bulan lagi.

Tiga puluh menit kemudian, Doni minta diri. Aku menawarkan tanganku untuk mengantarkannya, tetapi Doni menolak.

"Jarak dari sini ke panti tidak terlalu jauh, kok, Pak, dalihnya.

"Tapi, kalau naik kendaraan umum, kamu akan terjebak macet," ujarku masih khawatir.

"Pak, saya Doni sudah 15 tahun."

Kutangkap ekspresi tidak senang dari suara Doni. Aku mengalah.

Hati-hati di jalan," ujarku akhirnya.

"Terima kasih. Assalamualaikum."

Ia berjalan keluar pekarangan. Aku segera mengetahui bahwa Doni tidak berniat naik kendaraan. Dia berjalan menyusuri trotoar sambil merunduk. Aku tidak dapat menerka apa yang sedang dipikirkannya.

Suara piring pecah memaksaku untuk kembali ke rumah dan melihat apa yang terjadi. Langsung kutuju dapur tempat asal suara. Di sana kulihat Bik Siti memungut pecahan piring dengan gugup. Wajahnya pucat.

"Ada apa, Bik?" tanyaku.

"Maaf, Tuan. Saya tidak sengaja," ujar terbata-bata. "Bibik sakit? Kalau sakit tidak usah bekerja, Bik," ujarku lagi.

Bik Siti terlihat makin gugup. Segera kuperbaiki kata-kataku.

Maksud saya, kalau sakit, Bik Siti istirahat saja. Untuk sementara, kita makan catering saja."

"Maafkan saya, Tuan," Bik Siti mencoba tersenyum.

Aku jadi ingat ekspresi cemas Bik Siti ketika aku hendak ke tempat Doni kemarin sore.

"Lebih baik tidak kutanyakan sekarang," pikirku mengingat Bik Siti baru saja didera perasaan gugup yang amat sangat.

Akhirnya, kutinggalkan Bik Siti, setelah yakin dia tidak sakit.

Malamnya aku tidak dapat memejamkan mata. Berbaga masalah terus saja menggangguku. Terlebih, sikap Bik Siti yang tidak biasanya.

Pukul 2.00 dini hari, aku dikejutkan oleh dering telepon.

"Halo, assalamualaikum," kataku.

"Maaf, Pak, ini dari kepolisian. Kami baru saja menemukakan seorang anak muda korban penganiayaan. Dalam dompet korban, kami menemukan nama dan alamat Bapak. Kami harap Bapak dapat memberikan keterangan."

"Ten...tentu, Pak," aku tergagap.

"Doni dianiaya," pikirku langsung, rasanya sungguh tidak masuk akal. Anak sebaik itu, siapa yang akan memusuhinya?

Segera kuganti pakaianku dengan tergesa. Kuambil kunci motor dan setengah berlari aku ke garasi. Tapi, di ruang tengah aku tertegun. Bik Siti berdiri dengan raut muka cemas.

"Ada apa, Bik?" tanyaku sepintas lalu.

"Tuan mau ke mana?" tanyanya.

"Ke kantor polisi," jawabku tanpa memperhatikannya.

Bergegas aku keluar dan melaju dengan astreaku. Sebenarnya, terpikir kembali olehku untuk bertanya pada Bik Siti, tentu saja tentang sikapnya yang aneh itu. Tapi, aku harus ke kantor polisi sekarang.

Setelah memberikan keterangan seadanya pada pihak kepolisian, aku menengok Doni ke rumah sakit. Hampir akti berteriak histeris melihat keadaannya. Doni terbaring di ICU dengan hampir seluruh tubuh terbalut selang infus. Aku belum diizinkan menemuinya. Keadaannya sangat kritis. Hanya keajaiban Tuhan yang dapat menyelamatkannya. Setidaknya, itulah yang dapat aku simpulkan dari pembicaraan dengan dokter.


Tiba-tiba pikiran itu muncul. Bik Siti..., bayangan itu begitu saja terlintas di benakku.

"Ini pasti ada hubungannya dengan sikap aneh Bik Siti akhir-akhir ini," pikiranku tanpa alasan. Setelah Tanto dan rekannya datang, bergegas aku pulang. Setiba di rumah, kudapati Bik Siti menangis di ruang tengah. Padahal, masih terlalu pagi, pukul 4.30.


"Bik," sapaku hati-hati. "Kenapa, Bik?"

"T..Tuan," Bik Siti terkejut bukan main karena tidak menyadari kedatanganku. Tentu saja karena motor kumatikan saat menuruni jalan landai menuju rumahku.

"Kenapa, Bik," ulangku.

"Ma-maafkan saya, Tuan," Bik Siti menangis makin keras. Aku makin bingung, tapi mulai menduga-duga. Kutunggu sampai tangis Bik Siti mereda.

"Tangkap saja saya, Tuan. Sayalah yang bersalah," ujarnya terbata-bata.

"Apa maksud Bibik, siapa yang akan menangkap Bik Siti dan kenapa?”

"Doni.....," tangis Bik Siti makin keras.

"Doni celaka gara-gara saya."

"Jadi, Bibik tahu?" tanyaku heran. Bik Siti mengangguk lemah.

"Saya mendengar pembicaraan Tuan di telepon tadi..." Kenapa Bik Siti tidak mengangkatnya?"

"Jadi, Bik Siti mendengar telepon berbunyi pukul 2 tadi?

"Saya takut, tuan."

"Takut? Kenapa? Memangnya Bik Siti salah apa?"

"Sayalah yang telah mencelakakan Doni. Tapi sungguh, Tuan, saya melakukannya karena terpaksa," Bik Siti mulai bisa menguasai emosinya."

"Sebaiknya, Bik Siti cerita dari awal saja. Biar lebih jelas, siapa yang memaksa Bibik?"

"Ray... Raymond," lirih suara Bik Siti. Tapi, itu sudah cukup untuk membuat Bik Siti terkejut.

"Dia memaksa saya mencari tahu tentang Doni. Saya diancamnya," Bik Siti kembali menangis.

"Bik Siti diancam apa?" tanyaku setelah dapat menguasai emosiku.

"Dia mengancam akan menghancurkan keluarga Tini jika saya tidak mau bekerja sama dengannya."

"Tini, adik Bik Siti yang di kampung itu?"

Bik Siti mengangguk, kemudian menambahkan "Bahkan, dia bilang biar dia ikut merasakan penderitaan teman masa kecilnya."

"Maksudnya, Ina?"

Bik Siti jadi takut melihat ekspresiku. Tapi, ia tetap buka suara walaupun agak takut-takut.

"Kalau boleh, saya ingin memberi tahu sesuatu kepada Tuan."

"Apa, Bik?"

"Tini yang memberi tahu saya. Katanya Ina sebenarnya tidak ingin meninggalkan Tuan karena ia sangat membenci Raymond."

"Aku tahu, Bik. Sebenarnya akulah yang menyuruh Ina pergi. Aku cukup tahu diri. Aku tidak sebanding dengan keluarga Ina. Apalagi, aku kekurangan fisik." Aku tersenyum getir.

"Oh, ya Bik, Ina banyak bercerita sama Tini?"

"Dulu ya, tapi sejak Raymond membawa Ina ke Medan, hubungan Ina dan Tini terputus."

"Dasar bajingan," umpatku. Sebenarnya aku sudah mencium bau busuknya sejak masa-masa kanak-kanak. Dasar manusia sampah." Aku terus mengumpat.

Bik Siti diam saja. Menunggu sampai emosiku normal kembali. Setelah amarahku mereda, baru aku merasakan kejanggalan dalam kasus ini.

"Tapi, Bik, apa untungnya bagi Raymond menganiaya Doni?" tanyaku segera sebelum Bik Siti beranjak.

Bik Siti menggeleng lemah. "Saya tidak tahu, Tuan. Dia tidak mau memberi tahu,"

"Aneh, punya dendam apa ia terhadap Doni?" tanyaku seolah-olah pada diri sendiri. "Hm..., apa Bibik tahu di mana Raymond sekarang?"

"Tidak, Tuan," Bik Siti menggeleng.

"Dia hanya sekali menemui saya sewaktu mengucapkan ancamannya. Waktu-waktu lainnya dia selalu menyuruh kaki tangannya."

Kemudian Bik Siti menjelaskan tentang Raymond dan kaki tangannya sebanyak yang diketahuinya. Termasuk kendaraan yang sering digunakan Raymond dan kaki tangannya.

Menjelang siang aku kembali ke kantor polisi, berbekal informasi yang diberikan Bik Siti. Tak kusangka informasi yang kuberikan ternyata sangat membantu mereka.

"Raymond ini sekarang mafia. Ia sudah lama buron. Keterangan Bapak Sandi sangat membantu kami, terima kasih," ujar Jenderal Beny saat menerima laporanku.

"Tapi, Pak, saya tak dapat menolong lebih banyak lagi karena saya sendiri tidak tahu di mana Raymond berada saat ini."

"Tak apa-apa, keterangan Bapak ini yang penting. Raymond masih di Jakarta. Jadi, kami dapat membekuknya secepatnya. Kami sudah tahu tempat-tempat persembunyian Raymond di Jakarta ini," kata-kata Jenderal Beny menegangkanku.

"Sudah saatnya, Raymond," ujarku dalam hati.

"Penjara akan menjadi rumahmu.”

Dari kantor polisi, aku langsung ke rumah sakit. Di ujung Bang menuju kamar Doni, aku berpapasan dengan dokter yang menangani Doni.

"Dokter," sapaku. "Bagaimana keadaan Doni, Pak?"

"Jauh lebih baik daripada kemarin. Denyut jantungnya Sudah lebih cepat," dokter itu tersenyum.

"Kelihatannya sangat letih. Oh ya, Anda apanya, Doni?" aku tergagap.

"Oomnya," jawabku tanpa berpikir. Cepat-cepat aku permisi agar tidak ditanya lebih lanjut.

Di kamar Doni, aku jadi berpikir sendiri. "Aku ini apanya Doni, sampai-sampai begitu men-cemaskannya."

"Hhh, tidak mau."

Sebuah suara mengejutkanku. Kulihat tangan Doni bergerak-gerak. Dengan gembira aku bermaksud memberi tahu dokter. Tapi, langkahku terhenti ketika mendengar suara Doni.

"Aku tidak sudi melaksanakan perintahmu, Raymond kunyuk. Aku tidak sudi punya orang tua seperti kau," suaranya lemah. Matanya masih tertutup. Rupanya ia bermimpi.

Aku ingin segera memberi tahu dokter. Tapi, kenapa aku hanya berdiri terpaku memandang Doni.

"Jangan kau siksa Ibu. Kalau Ibu sampai mati, kuadukan kau dan komplotanmu kepada polisi," Doni terengah-engah, keringatnya bercucuran.

Aku tak tahan lagi. Kupencet bel. Tak lama kemudian muncul dua orang perawat menenangkan Doni. Ketika dokter datang, aku keluar dengan bermacam-macam pikiran mengenai igauan Doni.

"Doni anak Raymond?" Pikirku.

"Berarti, Doni putra Ina? Tapi, kenapa Raymond ingin membunuh Doni?" Pertanyaan-pertanyaan itu baru terjawab tiga hari kemudian. Doni sudah sadar dan kata dokter ingatannya mulai kembali satu per satu.

Doni tersenyum ketika kuletakkan seikat bunga di sisinya.

"Pak saya mulai teringat masa lalu saya," ujarnya sebelum aku sempat menanyakan keadaannya.

"Aku sudah tahu," potongku.

"Oh, ya, bagaimana kalau untuk selanjutnya kau tinggal dengan bapakmu ini," dengan senyum kutunjuk dadaku.

Doni mengerutkan kening dengan heran. Tapi, sebelum dia bertanya, aku buru-buru menjelaskan.

"Doni putra Ina, kan?"

Doni mengangguk.

"Ina dulu istriku sebelum, maaf, direbut Raymond. Itu berarti, putra Ina, putraku juga kan?"

Doni tersenyum lagi. Aku ikut tersenyum. Selanjutnya, kuceritakan hal-hal yang menyenangkan pada Doni. Tapi, menjelang pulang, aku tak dapat menahan keinginanku untuk bertanya pada Doni.

"Doni, maaf, boleh aku tanya sesuatu," ujarku hati-hati. Doni mengangguk.

"Tentu saja boleh, Pak." "Hm.. Doni tahu kenapa Raymond begitu membencimu?"

"Tentu saja, karena saya juga membencinya. Selain itu, saya selalu membantah perintahnya."

"Hanya itu?"

"Mungkin ada faktor lain,"

Ragu-ragu Doni menjawab.

"Kata ibu, saya lahir tujuh bulan setelah pernikahan ibu dengan Raymond. Tapi, keadaan saya sama sekali tidak seperti bayi prematur."

Penjelasan Doni membuatku bagai tersengat lebah. Aku ingat Ina menikah dengan Raymond tepat 50 hari setelah perceraianku dengan Ina. Memang jauh, dari syariat Islam, agama kami. Tapi, orang tua Ina ngotot. Apalagi setelah ia yakin aku mempunyai kelemahan fisik. Aku mandul.

"Doni, maukah kamu melakukan sesuatu untuk kita?”

"Untuk kita? Apa itu, Pak?"

"Serangkaian tes. Mereka menyebutnya tes DNA."

"Jadi, Bapak memang mengira saya bukan anak Raymond, tapi anak.."

"Begitulah. Percayalah Doni, aku yakin kau anakku."

Akhirnya Doni mengangguk. Secercah harapan kulihat di matanya. Aku kemarin shock ketika mengetahui Ina tewas dalam kecelakaan bersama Doni. Doni sendiri harus kehilangan ingatannya selama 5 tahun. Tapi, si brengsek Raymond berhasil diselamatkan oleh kroco-kroconya.

Dua hari kemudian aku memperoleh dua berita. Pertama, hasil tes DNA menunjukkan Doni memang anakku. Tentu saja, aku dan Doni gembira sekali. Berita kedua, Raymond berhasil kabur keluar negeri setelah mengira ia berhasil melenyapkan Doni. Ini memang bukan berita baik, tapi aku tetap merasa berutang pada Raymond. Berkat dia, aku bisa kembali berkumpul dengan anakku, Doni.