Qin
Para pahlawan datang, karena para pendongeng telah datang. Tapi sebelum mereka: hadirin. Anda bisa mengatakan bahwa dalang bercerita, maka Arjuna ada; bahwa Homeros bersyair, maka Archilles lahir. Tapi tidak hanya itu. Pertempuran pertama dan penghabisan dalam epos yang mana pun, termasuk film Zhang Yimou mutakhir, Hero, adalah peperangan melawan dua sosok besar dalam hidup: waktu dan lupa.
Epos digubah karena ada orang-orang yang diharapkan untuk mengingat. Mengingat jadi penting karena waktu berjalan dan manusia terbatas. Epos digubah karena ada sebuah komunitas yang tak boleh lupa akan cerita-cerita keberanian (epos, dalam bahasa
Indonesia, disebut juga “wiracarita”) di masa lalu.
Tapi tentang kegagahberanian masa lalu, apa yang kita ingat sepenuhnya tertambat dengan masa kini. Itu sebabnya sebuah wiracarita seperti Hero disusun sebagai sebuah legenda. Ia berlebihan. Agaknya ia punya hak untuk berlebihan. Di hari-hari ini, ketika yang masih hidup tak mungkin ditampilkan sebagai makhluk yang menakjubkan (dan sebab itu “pahlawan” dengan sendirinya berarti sosok yang sudah mati), Zhang Yimou jadi seorang pendongeng yang menakjubkan.
Dengan kata lain, ia berbicara kepada sebuah hadirin yang telah kehilangan. Saya kira ia selalu menginginkan itu. Sutradara ini, seperti tampak dari filmnya yang terdahulu, selalu memandang mesra ke arah hal-hal yang tak lagi ada: upacara kematian dalam film Judou (1990), penggunaan lampion yang terpajang di gedung-gedung tua dalam Lampion Merah (1991), permainan wayang dalam Hidup (1994). Tapi seperti umumnya dalam nostalgia, yang dulu banal pun jadi bagus, yang bersahaja jadi seakan-akan dalam, dan yang terancam punah seakan-akan jadi azimat. Kita tak peduli lagi bila yang dianggap pernah ada jangan-jangan hanya sebuah fantasi.
Cerita wu-xia dengan mudah berbicara kepada hadirin yang telah kehilangan. Ia gabungan antara sebuah epos dan nostalgia. Ia pertautan sebuah fabel dengan sebuah ekspresi zaman ini. Sinematografi mutakhir, seperti kita lihat dalam Crouching Tiger, Hidden Dragon (Macan Merendek, Naga Sembunyi) yang disutradarai Ang Lee, demikian pula dalam Hero, menyulap kungfu jadi sebuah persenyawaan antara yang estetik dan yang brutal.
Dalam film Tiger, Dragon: Li Mu Bai bertempur dari pucuk ke pucuk bambu yang lentur dan meliuk-liuk; geraknya gerak seorang penari piawai yang tenang. Dalam Hero, yang estetik tampil di tiap bagian yang ganas. Dalam silat sengit yang dihiasi hujan. Dalam tebas-menebas senjata besi yang diiringi musik dawai seorang buta. Dalam pertarungan dua perempuan bergaun merah di musim gugur, ketika loncatan tubuh dan kelebat pedang merontokkan ribuan daun ke warna magenta. Dalam adegan duel penghormatan di air lazuardi sebuah danau.
Seakan-akan semua itu belum cukup, kita masih menyaksikan sebuah tarung pedang yang keras di balairung raja, di antara gelombang kelambu hijau yang berjuntai. Di akhir pergulatan, kain sutra itu pun runtuh, lepas, lembar demi lembar….
Telah saya katakan di atas, Zhang Yimou punya hak berlebihan. Bukankah ia hendak menghadirkan sebuah dongeng, sebagaimana kisah Sinbad dalam Seribu Satu Malam dan Odysseus dalam syair Homeros? Tapi persoalan kita dengan Hero ialah: ketika yang estetik begitu berkuasa, begitu memukau, benarkah para hadirin tak akan terlampau silau, dan epos itu pun kehilangan tujuannya, yakni memanggil ingatan?
Mungkin ingatan akan terbit. Dari layar lebar Zhang Yimou mungkin orang akan sadar tentang sebuah masa yang telah tak ada lagi. Tapi saya kira yang akan didapat dari Hero bukanlah sebuah rekaman epik, di mana keberanian merupakan bagian yang esensial dalam pengorbanan, dan pengorbanan bagian yang penting bagi keadilan. Saya duga yang akan teringat ialah seperti yang orang ingat tentang Indonesia di masa lalu: sebuah “mooie Indie“, “Hindia molek” dalam penampilan fotografi kolonial. Saya kira, film Zhang Yimou ini adalah sebuah penyajian Tiongkok molek, Tiongkok yang diperindah, ketika Cina dengan cepat berubah, mula-mula melalui sebuah revolusi sosialis yang ingin memaksa yang estetik jadi traktor, kemudian ke sebuah transformasi “ekonomi pasar” yang mengubah yang estetik jadi gincu.
Dan Hero adalah sebuah gincu layar lebar. Keindahannya tak tumbuh dari kepedihan. Tiongkok yang tampak melalui kamera Zhang Yimou sebenarnya tak bergerak, tak bergulat, tak merasakan luka dan sakit, meskipun bagian sejarah yang dikisahkan di sana adalah sejarah pembangunan “negara kesatuan” yang brutal di bawah Maharaja Qin.
Para pendekar yang melawan, termasuk si Tanpa Nama, berbicara tentang dendam, tapi kita tak merasakan mereka sebagai korban. Dalam satu adegan, ribuan anak panah yang ditembakkan meluncur dari langit bagaikan mega maut yang gelap. Orang-orang terbunuh. Tapi seakan-akan yang pedih dapat dilupakan dengan yang elegan: lihat, guru tua itu duduk dengan patutnya dan terus menorehkan kaligrafi, ketika besi-besi tajam itu menghunjam. Lihat, di atap, si Salju Terbang bagaikan menari tak henti-hentinya ketika ia dengan pedangnya menangkis beratus-ratus tembakan. Tak mengherankan bila epos ini akhirnya bukan sebuah konfrontasi berdarah yang menyebabkan sebuah dunia berubah, seperti epos Revolusi Tiongkok. Para pahlawan Zhang Yimou adalah mereka yang mengukuhkan apa yang stabil, atas nama “perdamaian”. Tanpa kita tahu bagaimana prosesnya, sang pembangkang—dimulai oleh si Pedang Patah yang berkontemplasi dalam silat dan kaligrafi—akhirnya berkesimpulan bahwa yang penting bukanlah keadilan, melainkan kekuasaan tunggal. Satu “di bawah langit”, katanya. Dan hadirin pun bertepuk senang. Sang pendongeng tahu: kini revolusi tak bisa dipasarkan.